Kemiskinan Pada Masyarakat Petani Sebuah
Kemiskinan Pada Masyarakat Petani:
Sebuah Analisis Masalah Sosial
Paper Masalah Sosial
Disusun untuk memenuhi Ujian Tengah Semester matakuliah
Masalah-Masalah Sosial yang diampu Dra.Agnes Sunartiningsih,M.S.;
Drs.Soetomo,M.Si.; Dr.Hempri Suyatna, M.Si.
Mukhammad Fatkhullah
16/404184/PSP/05857
JURUSAN PEMBANGUNAN SOSIAL DAN KESEJAHTERAAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016
1.
Latar Belakang
Salah satu indikator untuk mengukur kesejahteraan suatu masyarakat ialah dengan
melihat bagaimana masalah-masalah sosial dalam masyarakat tersebut. Penanganan yang tepat
menjadi penting untuk mengangkat kembali masyarakat penyandang masalah sosial menjadi
masyarakat yang sejahtera seperti sebelumnya. Oleh karenanya pemerintah melaui berbagai
bentuk kebijakan sosialnya memiliki tanggung jawawab yang besar untuk menyelesaikan
berbagai macam masalah sosial yang dihadapi oleh rakyatnya. Tentunya, hal tersebut juga tidak
dapat dilepaskan dari masyarakat itu sendiri selaku penyandang masalah untuk bisa
mengaspirasikan persoalannya sehingga dapat dicapai sebuah komunikasi yang baik antar
kedua pihak.
Namun, dalam pelaksanaannya alih-alih dapat menyelesaikan persoalan ataupun masalah
sosial yang ada, beberapa kebijakan yang dirumuskan justru menimbulkan masalah sosial
lainnya. Pada pengertian ini, identifikasi masalah sosial kemudian menjadi penting sebagai
sebuah keharusan dalam menyelesaikan setiap persoalan yang ada. Pasalnya, beberapa gejala
atau fenomena yang ditunjukkan oleh individu yang terpisah belum tentu berasal dari variabel
yang melekat pada individu tersebut, namun lebih pada struktur dan sistem sosial yang
mengatur individu tersebut. Sebaliknya, beberapa masalah dan persoalan yang terkait dengan
struktur dan sistem belum tentu sepenuhnya berasal dari sistem yang cacat, bisa jadi karena
kurangnya kompetensi pihak yang menjalankan sistem atau berada dalam struktur tertentu, atau
bahkan ada perbedaan kepentingan dari beberapa orang yang menjalankan sistem.
Kompleksitas definisi masalah sosial dan bagaimana masalah tersebut begitu rancu jika
dibandingkan dengan masalah pada umumnya membuat banyak pihak enggan untuk membuka
pembahasan dan diskusi terkait dengan masalah sosial. Akibatnya, perhatian dan tindakan
nyata terkait dengan masalah sosial tersebut hanya akan dilakukan jika masalah tersebut benarbenar dirasa perlu untuk diselesaikan. Pada tingkat ini, usaha-usaha yang dilakukan hanya akan
benar-benar dilakukan ketika masalah sosial telah menimbulkan dampak yang begitu
kompleks, sedangkan penanganan yang diberikan hanya sebatas penanganan yang parsial tanpa
melihat akar permasalahan yang sebenarnya. Pada pengertian ini, diagnosis terhadap masalah
sosial menjadi kunci utama dalam menanganan masalah sosial. Harapannya, tentu untuk
mencari sumber-sumber permasalahan dari suatu masalah sosial untuk kemudian disusun
strategi untuk mengatasinya.
Salah satu contoh dari masalah sosial klasik yang hingga kini masih menjadi PR
pemerintah, masyarakat, dan seluruh warga Negara ini adalah kemiskinan. Kendati telah
diketahui sebagai salah satu sumber dan pemicu masalah-masalah sosial lainnya sepertihalnya
1
kekerasan, kriminalitas, eksploitasi anak, prostitusi, serta perdagangan manusia, masalah
kemiskinan agaknya tidak benar-benar digarap dengan serius oleh pemerintah. Hal ini dapat
dilihat
bagaimana
program-program
pemerintah
untuk
menanggulangi
kemiskinan
mendapatkan reaksi pro dan kontra dalam masyarakat. Parahnya, alih-alih memperbaiki
kesejahteraan masyarakat miskin, beberapa program yang ada justru cenderung menimbulkan
permasalahan lain dalam masyarakat mulai dari kecemburuan sosial, konflik terselubung,
hingga konflik rill yang muncul karena pelaksanaanya yang melenceng atau memang tidak
dikonsepkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Akibatnya nilai-nilai, hubungan sosial, dan
solidaritas sosial pada masyarakat penyandang masalah kemiskinan yang didominasi oleh
masyarakat pedesaan mulai terdistorsi. Padahal, di masa lalu nilai-nilai, hubungan sosial, dan
solidaritas sosial antar masyarakat di pedesaan ini merupakan salah satu katup penyelamat yang
mampu membuat banyak elemen masyarakat miskin tetap bertahan bahkan pada masa-masa
krisis.
Melihat bagaimana telah terjadi perubahan pada dimensi-dimensi sosial masyarakat
pedesaan, penulis tertarik untuk kembali mengangkat diskusi tentang analisis masalah sosial
berupa kemiskinan pada masyarakat petani. Masyarakat petani atau kelompok yang memiliki
profesi sebagai sendiri dipilih berdasarkan realitas bahwasanya secara statistik masyarakat
miskin memang sebagian besar merupakan orang-orang yang berprofesi sebagai petani.
2.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah di uraikan di atas, maka dapat ditarik beberapa pertanyaan
yang kemudian akan menjadi rumusan masalah untuk di jawab pada bahasan selanjutnya,
antara lain:
1. Bagaimana fenomena kemiskinan pada masyarakat petani bisa dikatakan sebagai
masalah sosial dalam konteks Pembangunan?
2. Bagaimana gejala-gejala kemiskinan pada masyarakat petani sebagai sebuah masalah
sosial bisa dilihat dan diamati berdasarkan unit analisis?
3. Bagaimana analisis terhadap identifikasi sumber/faktor/penyebab kemiskinan
berdasarkan gejala-gejala yang nampak pada masyarakat petani?
4. Bagaimana solusi untuk mengatasi masalah sosial kemiskinan pada masyarakat petani?
3.
Pembangunan, Kesenjangan, dan Kemiskinan Masyarakat Petani
Pada tahun 2013, DIY (0.439) termasuk dalam 4 provinsi yang memiliki tingkat
kesenjangan lebih tinggi dari kondisi nasional yaitu sebesar 0.413 (Ruslan, 2014). Dari trend
2
yang ditunjukkan dari tahun ke-tahun mulai tahun 2009-2013 kondisi ketimpangan terus
mengalami lonjakan yang signifikan. Namun pada realitasnya kesenjangan tersebut bahkan
bisa lebih besar dari data yang ditunjukkan oleh angka statistik yang ditunjukkan oleh BPS.
Pasalnya, kalkulasi indeks gini saat ini hanya didasarkan atas belanja atau konsumsi, bukan
pada pendapatan yang diterima perkapita.
Investor tertarik membangun investasi pada sektor bisnis, seperti hotel dan mal. “Pemilik
modal besar paling menikmati pertumbuhan ekonomi. Kesenjangan ekonomi tergolong
tinggi,” kata Bambang kepada Tempo di Yogyakarta, Jumat, 11 Desember 2015 (Maharani,
2015). Sedangkan, sektor pertanian dan industri pengolahan untuk menyerap banyak tenaga
kerja tidak dikelola dengan serius. Industri pengolahan itu misalnya industri kreatif.
Sedangkan, kemiskinan paling banyak menimpa penduduk yang bekerja di sektor pertanian
Tiga urutan terbesar lapangan usaha pemberi kontribusi struktur ekonomi DIY pada
triwulan I-2016 adalah Industri Pengolahan, Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan, dan
Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum. Ketiga lapangan usaha ini memberikan kontribusi
sebesar 35,74 persen (BPS, 2016). Hal ini tentu merupakan sebuah hal yang ironis. Pertanian
yang masuk dalam tiga lapangan yang memberikan kontribusi pada struktur ekonomi terbesar
pada DIY justru merupakan sektor yang didominasi oleh masyarakat miskin.
Ada kesenjangan antara yang seharusnya/diharapkan terjadi (dassolen) dengan apa yang
senyatanya terjadi (dassein) jika melihat ilustrasi yang telah digambarkan di atas. Bagaimana
kemudian sektor pertanian yang sangat berkontribusi dibandingkan dengan sektor-sektor lain
dipenuhi dengan masyarakat yang menyandang masalah sosial kemiskinan. Pembangunan,
kemudian menjadi fenomena yang dapat dikatakan sebagai masalah sosial. Karena, kotribusi
yang diberikan oleh para petani ini tidak sejalan dengan apa yang mereka dapatkan.
Akibatnya, berbagai proses pembangunan yang dilakukan di daerah istimewa ini rasarasanya tidak memberikan banyak kontribusi pada masyarakat khususnya yang tinggal pada
strata sosial yang ada di bawah. Bukti lain yang menunjukkan hal tersebut adalah angka
kemiskinan di DIY lebih tinggi 14% di atas rata-rata angka kemiskinan nasional (Mustaqim,
2015). Hal ini karena dalam proses selanjutnya tidak ada warga lokal yang dilibatkan dalam
proses ekonomi yang berlangsung, misalkan saja tidak ada warga lokal yang terserap untuk
jadi karyawan dalam setiap proyek pembangunanan.
Seolah ada dua dua pusaran besar terkait dengan pembangunan. Ketika mereka yang kaya
semakin diuntungkan dengan berbagaimacam program pembangunan yang membantu mereka
untuk menumpuk dan mengakumulasikan modalnya, sedangkan mereka yang miskin terus
3
berkutat dengan pemenuhan kebutuhan konsumsi yang tak kunjung terpenuhi. Keadilan sosial
dan kesejahteraan kemudian menjadi suatu hal yang utopis untuk dibicarakan.
Dalam konteks ini, kesenjangan sosial pada masyarakat yang dipercaya merupakan
dampak dari pembangunan yang kurang bisa dirasakan oleh kaum marjinal dalam masyarakat
kemudian menjadi masalah sosial lain tidak lain merupakan dampak dari masalah sosial
kemiskinan yang terus menjerat masyarakat miskin untuk terus tinggal didalamnya.
4.
Fenomena dan Gejala Kemiskinan pada Masyarakat Petani
Masalah sosial sebagai realita objektif dapat diartikan bahwasanya masalah tersebut
dalam masyarakat menimbulkan kerugian baik fisik maupun nonfisik pada segmen tertentu
dalam suatu masyarakat.
Pertama, kemiskinan merupakan masalah sosio kultural yang menghalangi sejumlah
anggota masyarakat untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi mereka secara penuh.
Pada konteks ini, kemiskinan sebagai belenggu yang membuat masyarakat petani terus berkutat
pada persoalan konsumsi dibanding pada kegiatan yang lebih produktif. Kedua, kemiskinan
pada masyarakat petani menunjukkan kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan apa
yang senyatanya terjadi. Pertanian sebagai salah satu sektor yang menymbang pada
pembangunan infrastruktur terbesar dan merupakan sektor unggulan di DIY didominasi oleh
masyarakat miskin. Ketiga, masalah kemiskinan sebagai suatu masalah yang menjadi pemicu
atau pemantik bagi masalah-masalah sosial lainnya seperti kekerasan, kriminalitas, eksploitasi
anak, prostitusi, serta perdagangan manusia
Kemiskinan merupakan suatu fenomena yang dapat diukur melalui seperangka indikator
tertentu, dan biasanya unit analisis kemiskinan itu sendiri adalah pada masing-masing individu.
Ada beberapa ukuran kemiskinan yang telah diterapkan di Indonesia dewasa ini, diantaranya
adalah ukuran dari Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN), dan World Bank.
Oleh karenanya, secara parsial dapat dikatakan bahwa gejala kemiskinan merupakan
sebuah masalah sosial yang menampakkan gejalanya pada level individu. Kendati demikian,
realitas yang menunjukkan bahwa masyarakat miskin didominasi oleh petani menunjukkan
sedikit gambaran bahwasanya gejala kemiskinan ini juga bisa muncul pada level struktur atau
sistem sosial. TIdak heran, kemudian dikenal kawasan kumuh atau pemukiman orang miskin,
dimana masyarakat yang tinggal disana sebagian besar merupakan masyarakat miskin yang
kurang berada.
4
5.
Identifikasi Sumber-sumber Kemiskinan pada Masyarakat Petani
5.1. Dimensi Kemiskinan Kultural pada Masyarakat Petani
Menurut Oscar Lewis (1959 dalam (Suparlan, 1984), masalah kemiskinan
menyangkut sikap mental, pola perilaku, dan predisposisi yang berpangkal pada state of
mind yang tak bersenyawa dengan spirit perubahan, kemajuan, dan peningkatan status
serta kualitas kehidupan. Pada lingkungan masyarakat miskin seringkali muncul sikap
pemberontakan tersembunyi terhadap diri mereka sendiri maupun terhadap masyarakat,
tetapi di lain pihak juga terdapat sikap-sikap masa bodoh dan pasrah kepada nasibnya
sendiri dan pasrah serta tunduk kepada mereka yang mempunyai kekuasaan ekonomi dan
sosial. Begitu mudah mereka mengikuti petunjuk tetapi dengan mudah melupakannya,
apalagi kalau dirasakan sebagai beban hidup atau tidak menguntungkan mereka.
Kemiskinan di masyarakat seringkali diakibatkan oleh adanya budaya gadai
menggadai dan hutang menghutang untuk dapat hidup serta tidak adanya kesetiaan
terhadap satu jenis pekerjaaan. Pola hidup pada masyarakat ketika panen raya, adat istiadat
yang konsumtif seperti berbagai pesta rakyat atau upacara perkawinan, kelahiran dan
bahkan kematian yang dibiayai di luar kemampuan dikarenakan prestise dan keharusan
budaya juga turut melanggengkan kemiskinan di masyarakat. Lebih lanjut, kebudayaan
tersebut dapat dilihat melalui beberapa ciri antara lain:
1.
Kurang efektifnya partisipasi dan integrasi kaum miskin ke dalam lembagalembaga utama masyarakat. Mereka berpenghasilan rendah namun mengakui nilainilai yang ada pada kelas menengah ada pada diri mereka. Mereka sangat sensitif
terhadap perbedaan-perbedaan status namun tidak memiliki kesadaran kelas.
2.
Di tingkat komunitas, dapat ditemui rumah-rumah bobrok, penuh sesak,
bergeerombol dan rendahnya tingkat organisasi di luar keluarga inti dan luas.
3.
Di tingkat keluarga, ditandai oleh masa kanak-kanak yang singkat dan kurang
pengasuhan oleh orang tua, cepat dewasa, hidup bersama/kawin bersyarat,
tingginya jumlah perpisahan antara ibu dan anaknya, cenderung matrilineal dan
otoritarianisme, kurangnya hak-hak pribadi, solidaritas semu.
4.
Di tingkat individu, ditandai dengan kuatnya perasaan tak berharga, tak berdaya,
ketergantungan dan rendah diri (fatalisme).
Keempat ciri di atas, merupakan ciri yang umumnya ditemukan pada keluarga
miskin khususnya masyarakat petani yang memiliki ciri dasar kemiskinan. Pada
pengertian ini, kemiskinan kultural bersumber dari pola pemikiran masyarakat itu sendiri.
Kendati hadir pada masing-masing individu, ketika hal tersebut diwariskan kepada
5
generasi berikutnya melalui proses sosialisasi—baik secara langsung maupun tak
langsung—yang panjang, fenomena kemiskinan kemudian menjadi sebuah permasalahan
yang bersumber dari kultur atau kebudayaan pada masyarakat tertentu. Dalam konteks ini
adalah masyarakat petani yang kemudian mengakar kedalam sistem kepercayaan dan
kebiasaan yang dianut dan terus direproduksi.
5.2. Dimensi Kemiskinan Struktural pada Masyarakat Petani
Jika melihat dari definisinya, kemiskinan structural adalah suatu masalah sosial yang
disandang oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat tersebut tidak
mampu memanfaatkan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka
(Alfian, 1980). Sedangkan pendapat lain menyebutkan bahwa kemiskinan struktual adalah
kemiskinan yang terjadi bukan dikarenakan ketidakmamuan si miskin untuk bekerja
(malas), melainkan karena ketidakmampuan sistem dan struktur sosial dalam menyediakan
kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja (Suharto, 2005).
Dorodjatun Kuntjoro Jakti yang menghimpun sejumlah hasil penelitian
kependudukan dan masalah kemiskinan dalam “Kemiskinan di Indonesia” (1986), melihat
masalah kemiskianan muncul sebagai dampak dari kebijakan pembangunan khususnya
pembangunan desa-kota yang tidak seimbang, sehingga berdampak pada berkembangnya
fenomena kemiskinan—khususnya di perkotaan (Astika, 2010).
Pada pengertian ini, kemiskinan structural dapat diartikan sebagai kemiskinan yang
disebabkan oleh faktor-faktor sosial yang berasar dari luar diri penyandang masalah
kemiskinan. Faktor-faktor tersebut meliputi rendahnya tingkat pendidikan yang
disebabkan oleh kurangnya kemudahan untuk mendapatkan akses pedidikan, rumitnya
birokrasi dalam mengurus segala urusan administratif sehingga menyebabkan masyarakat
petani kurang memiliki bargaining position, serta kurangnya akses terhadap informasi,
serta kebijakan pemerintah dalam mengendalikan harga pokok hasil pertanian.
Dalam tataran yang ekstrim, kemiskinan structural dapat juga dikatakan sebagai
“kemiskinan buatan”, dimana kemiskinan dalam masyarakat khususnya pada masyarakat
petani dikondisikan sedemikian rupa melalui struktur dalam masyarakat yang membatasi
kelompok petani untuk menguasai dan memanfaatkan sarana ekonomi serta fasilitasfasilitas dan mendistribusikannya secara adil dan merata. Pada gilirannya, struktur inilah
yang menekan masyarakat petani untuk terus berada dalam konfisi kemiskinan dan serba
kekurangan (Suyanto, 2013).
6
5.3. Dinamika, Perubahan Sosial, dan Fleksibilitas Idividual
Kendati berada dalam kondisi yang serba kekurangan, masyarakat petani memiliki
mekanisme survival tersendiri untuk tetap bertahan hidup dalam bentuk tatanan, kebiasaan
dan cara hidup sehari-hari. James C. Scott (1983) menggambarkan beberapa tampilan
penting dari kehidupan sosial ekonomi dan organisasi kultural pada masyarakat petani,
khususnya yang berkenaan dengan orang miskin. Scott menyoroti respon-respon mereka
terhadap penetrasi negara dan pasar selama periode kolonial. Scott juga melihat kontrol
negara dalam bentuk pajak yang telah ditetapkan, naik turunnya harga untuk komoditaskomoditas utama—khususnya beras, registrasi tanah dan komodifikasinya, kepemilikan
tanah, spesialisasi ekonomi dan individualisme serta polarisasi klas. Scott menggambarkan
transformasi tanah menjadi komoditas yang dijual telah mempunyai efek yang sangat
mendalam. Kontrol terhadap tanah semakin terlepas dari tangan-tangan orang desa; petani
secara progresif kehilangan hak-hak kebebasan hak guna hasil dan menjadi penyewa atau
petani pekerja berupah; nilai-nilai yang diproduksi semakin diukur dengan fluktuasi pasar
yang bersifat impersonal Negara sendiri menjadi agen yang mengeksploitasi sumber daya
petani. Berbagai bentuk administrasinya dilakukan dengan cara menghitung serta
mensurvei para petani dan tanah hanya bertujuan untuk pajak.
Pada pengertian ini, Scott melihat bahwasanya petani adalah kaum yang lemah dan
hanya mampu melakukan resistensi kecil-kecilan serta sekedar subsisten atau hanya
mampu menghidupi ekonominya di hari itu saja (King, 2011). Kendali berada dalam
tekanan dan dominasi sruktural, Scott juga menunjukkan suatu hubungan etika moral
resiprositas terhadap suatu institusi kunci yang berperan dalam menjamin terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhan anggota komunitas yang kemudian disebut dengan “ikatan patronclient. Ikatan tradisional inilah yang disorot Scott sebagai salah satu moral dalam
masyarakat petani yang dalam dunia kontemporer disebut-sebut sebagai jaminan sosial
yang mampu melindungi masyarakat petani terhadap berbagai kerentanan dan
ketidakberdayaan dalam menghadapi permasalahan yang ada.
Dalam melihat masyarakat yang selalu bergerak dinamis, apa yang dikatakan Scott
kemudian menjadi realitas yang begitu relatif. Muncul kemudian pertanyaan apakah nilai
dan moral tersebut masih ada dan dipertahankan pada kalangan masyarakat petani? Atau
justru yang tertinggal hanyalah sepenggal diskriminasi dan dominasi tanpa adanya
jaminan-jaminan sosial dalam bentuk hubungan resiprositas? Beberapa kebijakan untuk
pengentasan kemiskinan yang tidak tepat sasaran justru terbukti melahirkan kecemburuan
(Iqbal, 2008) dan memberikan dampak pada hilangnya nilai-nilai dan moralitas dalam
7
komunitas khususnya pada masyarakat miskin di sektor pertanian. Akibatnya tentu bisa
dikatakan bahwasanya masyarakat petani di era ini berada dalam kondisi yang lebih
mengkhawatirkan dan memprihatinkan jika dibandingkan dengan kondisi masyarakat
yang kala itu diteliti oleh Scott. Ironisnya, diluar permasalahan tersebut gemerlap
pembangunan kian bersinar terang tanpa menyisakan sisa-sisa kehangatan untuk petani
miskin. Itulah yang kemudian kita sebut ketimpangan dan kesenjangan.
6.
Mengatasi Masalah Sosial Kemiskinan pada Masyarakat Petani
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwasanya identifikasi masalah kemiskinan
pada masyarakat petani dapat dilihat secara individual melalui beberapa indikator. Ada
beberapa ukuran kemiskinan yang telah diterapkan di Indonesia dewasa ini, diantaranya adalah
ukuran dari Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN), dan World Bank. Kriteria menurut BPS, kemiskinan adalah suatu kondisi seseorang
yang hanya dapat memenuhi makanannya kurangdari 2.100 kalori perkapita perhari.
Sedangkan kriteria BKKBN, kemiskinan adalah keluarga miskin prasejahtera apabila pertama,
tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya. Sedangkan masalah sosial tersebut dapat
berasal dari dua sumber. Pertama, masalah sosial kemiskinan bersumber dari individu melalui
pemikiran-pemikiran dan pola pikir tradisional yang cenderung fatalis, kurang bisa menangkap
peluang, mudah menyimpan rasa curiga tau kurang optimis, serta cenderung menggantungkan
dirinya pada orang lain. Kedua, masalah sosial kemiskinan pada petani bersumber dari sistem
sosial yang ada. Sistem tersebut mencakup kendala-kendala structural yang dihadapi
masyarakat petani untuk bangkit dengan merebut ataupun mengumpulkan sumber-sumber
produksi karena terbatasnya akses dan aturan birokrasi yang terlalu rumit.
Kendati sebagian penyebab masalah kemiskinan pada masyarakat petani bersumber dari
dalam diri masyarakat miskin petani itu sendiri, namun hal tersebut juga tidak bisa dilepaskan
dari sistem sosial yang berbentuk kebudayaan. Dimana perilaku, kebiasaan, dan cara pandang
tersebut diwariskan melalui sistem budaya dari yang tua ke yang muda. Cara hidup dalam
bertani yang cenderung menggantungkan diri pada alam membuat mereka sangat rentan dan
pada gilirannya cenderung akan merespon berbagai upaya pengentasan kemiskinan melalui
reaksi ketergantungan (Nasution, 2014). Tabel berikut dapat memberikan ilustrasi bagaimana
masalah sosial kemiskinan pada masyarakat petani bisa dianalisis berdasarkan gejala-gejala
yang muncul dan dari mana masalah itu bersumber.
8
Tabel 1.1 Identifikasi Gejala dan Sumber Masalah Sosial
Sumber
Individu
Sistem
Individu
1
2
Sistem
3
4
Gejala
Melihat bagaimana masalah sosial bersumber dari sistem kebudayaan dan struktur sosial
yang ada, maka pendekatan dan penyelesaian masalahnya pun harus dilakukan melalui
pendekatan yang sama. Selama ini, program-program pengentasan kemiskinan hanya
dilakukan melalui pendekatan individual, bukan komunal lantaran gejala kemiskinan Nampak
pada diri perseorangan. Untuk itu, ada beberapa langkah yang harus dilakukan:
1. Karena masyarakat petani selalu bergantung dengan alam untuk terus hidup, maka
masyarakat petani dikatakan sebagai masyarakat yang rentan. Hal ini, dikarenakan
bencana alam dan situasi/kondisi cuaca yang tidak menentu kapanpun bisa
menyebabkan mereka gagal panen dan kehilangan sumber-sumber penghidupan
mereka. Oleh karenanya, masyarakat petani membutuhkan asuransi sosial terhadap
hasil-hasil pertaniannya. Asuransi tersebut, meliputi solusi pemecahan masalah ketika
terjadi bencana alam, penyakit menular, ataupun hasil-hasil pertanian mengalami gagal
panen. Sehingga, siklus kehidupan masyarakat petani bisa tetap berjalan tanpa harus
terlilit hutang yang akan semakin menjeratnya kedalam jurang kemiskinan dan mulai
bisa berfokus pada pengembangan usaha pertanian padat modal.
2. Masalah kemiskinan pada masyarakat petani juga tidak terlepas dari ketidakberdayaan,
dimana masyarakat petani miskin kurang bisa berdaya untuk menyuarakan haknya. Hal
ini, tentu dipengaruhi oleh rendahnya tingkat pendidikan dan bargaining position
dalam masyarakat. Oleh karenanya, pengadaan akses terhadap pendidikan pada
masyarakat petani miskin menjadi penting. Selain itu, pendistribusian lahan pertanian
pada buruh petani yang selama ini hanya menggarap sawah milik juragan tahan juga
menjadi salah satu solusi untuk mengatasi ketidakberdayaan ini. Karena dengan begitu,
petani bisa dengan leluasa mengatur alokasi dan mendapatkan hasil yang lebih banyak
berdasarkan banyak lahan yang digarapnya.
3. Kemiskinan itu sendiri membuat masyarakat miskin hanya dan akan terus berkutat pada
persoalan konsumsi dibanding fokus pada pengembangan modal dan inovasi sosial.
Oleh karenanya, pemerintah melalui kebijakan afirmatifnya diharapkan dapat
9
memberikan setidaknya bantuan dalam bentuk subsidi pada berbagai kebutuhan
konsumsi masyarakat petani miskin. Sehingga, hasil-hasil dari pertanian dapat
dimanfaatkan untuk sedikit demi sedikit dialokasikan dan didistribusikan pada
pengembangan modal dan inovasi pertanian. Tidak hanya akan merangsang
peningkatan pendapatan, namun akan mengeluarkan masyarakat petani dari jeratan
lingkaran setan kemiskinan.
4. Ketiga langkah tersebut, hendaknya dilakukan tidak secara personal. Namun, secara
komunal melalui pemberdayaan komunitas petani. Dimana bentuk-bentuk bantuan
bukan merupakan bantuan rill dalam bentuk uang, namun dalam bentuk kemudahan
akses yang ditujukan khusus untuk masyarakat petani. Sehingga sedikit demi sedikit
kesejahteraan petani akan meningkat.
Meningkatkan kesejahteraan petani adalah suatu tindakan penting yang harus dilakukan.
Pasalnya, hingga saat ini sektor pertanian dianggap sebagai salah satu sektor yang kurang
menjanjikan. Padahal, Indonesia memiliki potensi alam yang mendukung untuk mewujudkan
ketahanan sosial melalui sektor tersebut. Untuk itulah, memperbaiki kesejahteraan sosial
masyarakat petani menjadi suatu langkah yang strategis guna memperbaiki pemahaman
masyarakat terkait dengan potensi sektor ini. Sehingga, pembangunan di Indonesia dapat
memasuki sebuah babak baru, dimana rasio kesenjangan sosial dapat diminimalisir melalui
pengembangan komunitas masyarakat petani yang menjadi basis alamiah dari negeri ini
sebagai Negara agraris yang berdaulat.
10
DAFTAR PUSTAKA
Buku & Jurnal
Alfian, M. G. T. S. S., 1980. Kemiskinan Struktural Suatu Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan
Ilmu-Ilmu Sosial.
Astika, K. S., 2010. Budaya Kemiskinan di Masyarakat: Tinjauan Kondisi Kemiskinan dan
Kesadaran Budaya Miskin di Masyarakat. Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Volume I, p. 24.
Iqbal, H., 2008. Implementasi Kebijakan Program Bantuan Langsung Tunai Tahun 2008,
Semarang: Universitas Diponogoro.
Nasution, F. S., 2014. Corporate Social Responsibility (SCR) dan Ketergantungan
Masyarakat Miskin, Bengkulu: Departemen Sosiologi Universitas Bengkulu.
Suharto, E., 2005. Membangun Masyarakat, Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis
Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: Refika Aditama.
Suparlan, D. P., 1984. Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta: Sinar Harapan dan Yayasan Obor
Indonesia.
Suyanto, B., 2013. Anatomi Kemiskinan dan Strategi Penanganannya. Malang: In-TRANS
Publishing.
Publikasi Online
BPS, 2016. Pertumbuhan Ekonomi di Yogyakarta Triwulan I Tahun 2016. [Online]
Available at: http://yogyakarta.bps.go.id/Brs/view/id/417
[Accessed 1 October 2016].
King, V. T., 2011. Ulasan Buku: Moral Ekonomi Petani: Antara Subsistensi dan Resistensi.
[Online]
Available at: http://etnohistori.org/moral-ekonomi-petani-antara-subsistensi-danresistensi.html
[Accessed 4 October 2016].
Maharani, S., 2015. BPS Ungkap Kesenjangan Ekonomi di Yogyakarta Tinggi. [Online]
Available at: https://m.tempo.co/read/news/2015/12/12/058727170/bps-ungkapkesenjangan-ekonomi-di-yogyakarta-tinggi
[Accessed 2 October 2016].
Mustaqim, A., 2015. Bandara Kulon Progo Bisa Pertajam Ketimpangan Sosial. [Online]
Available at: http://jateng.metrotvnews.com/read/2015/11/21/193235/bandara-kulonprogo-bisa-pertajam-ketimpangan-sosial
[Accessed 3 October 2016].
Ruslan, K., 2014. Kesanjangan Ekonomi di Daerah Istimewa Yogyakarta Kian
Mengkhawatirkan. [Online]
Available at: http://www.kompasiana.com/kadirsaja/kesanjangan-ekonomi-di-daerahistimewa-yogyakarta-kian-mengkhawatirkan_552964356ea8344e0b8b456f
[Accessed 27 September 2016].
Sebuah Analisis Masalah Sosial
Paper Masalah Sosial
Disusun untuk memenuhi Ujian Tengah Semester matakuliah
Masalah-Masalah Sosial yang diampu Dra.Agnes Sunartiningsih,M.S.;
Drs.Soetomo,M.Si.; Dr.Hempri Suyatna, M.Si.
Mukhammad Fatkhullah
16/404184/PSP/05857
JURUSAN PEMBANGUNAN SOSIAL DAN KESEJAHTERAAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016
1.
Latar Belakang
Salah satu indikator untuk mengukur kesejahteraan suatu masyarakat ialah dengan
melihat bagaimana masalah-masalah sosial dalam masyarakat tersebut. Penanganan yang tepat
menjadi penting untuk mengangkat kembali masyarakat penyandang masalah sosial menjadi
masyarakat yang sejahtera seperti sebelumnya. Oleh karenanya pemerintah melaui berbagai
bentuk kebijakan sosialnya memiliki tanggung jawawab yang besar untuk menyelesaikan
berbagai macam masalah sosial yang dihadapi oleh rakyatnya. Tentunya, hal tersebut juga tidak
dapat dilepaskan dari masyarakat itu sendiri selaku penyandang masalah untuk bisa
mengaspirasikan persoalannya sehingga dapat dicapai sebuah komunikasi yang baik antar
kedua pihak.
Namun, dalam pelaksanaannya alih-alih dapat menyelesaikan persoalan ataupun masalah
sosial yang ada, beberapa kebijakan yang dirumuskan justru menimbulkan masalah sosial
lainnya. Pada pengertian ini, identifikasi masalah sosial kemudian menjadi penting sebagai
sebuah keharusan dalam menyelesaikan setiap persoalan yang ada. Pasalnya, beberapa gejala
atau fenomena yang ditunjukkan oleh individu yang terpisah belum tentu berasal dari variabel
yang melekat pada individu tersebut, namun lebih pada struktur dan sistem sosial yang
mengatur individu tersebut. Sebaliknya, beberapa masalah dan persoalan yang terkait dengan
struktur dan sistem belum tentu sepenuhnya berasal dari sistem yang cacat, bisa jadi karena
kurangnya kompetensi pihak yang menjalankan sistem atau berada dalam struktur tertentu, atau
bahkan ada perbedaan kepentingan dari beberapa orang yang menjalankan sistem.
Kompleksitas definisi masalah sosial dan bagaimana masalah tersebut begitu rancu jika
dibandingkan dengan masalah pada umumnya membuat banyak pihak enggan untuk membuka
pembahasan dan diskusi terkait dengan masalah sosial. Akibatnya, perhatian dan tindakan
nyata terkait dengan masalah sosial tersebut hanya akan dilakukan jika masalah tersebut benarbenar dirasa perlu untuk diselesaikan. Pada tingkat ini, usaha-usaha yang dilakukan hanya akan
benar-benar dilakukan ketika masalah sosial telah menimbulkan dampak yang begitu
kompleks, sedangkan penanganan yang diberikan hanya sebatas penanganan yang parsial tanpa
melihat akar permasalahan yang sebenarnya. Pada pengertian ini, diagnosis terhadap masalah
sosial menjadi kunci utama dalam menanganan masalah sosial. Harapannya, tentu untuk
mencari sumber-sumber permasalahan dari suatu masalah sosial untuk kemudian disusun
strategi untuk mengatasinya.
Salah satu contoh dari masalah sosial klasik yang hingga kini masih menjadi PR
pemerintah, masyarakat, dan seluruh warga Negara ini adalah kemiskinan. Kendati telah
diketahui sebagai salah satu sumber dan pemicu masalah-masalah sosial lainnya sepertihalnya
1
kekerasan, kriminalitas, eksploitasi anak, prostitusi, serta perdagangan manusia, masalah
kemiskinan agaknya tidak benar-benar digarap dengan serius oleh pemerintah. Hal ini dapat
dilihat
bagaimana
program-program
pemerintah
untuk
menanggulangi
kemiskinan
mendapatkan reaksi pro dan kontra dalam masyarakat. Parahnya, alih-alih memperbaiki
kesejahteraan masyarakat miskin, beberapa program yang ada justru cenderung menimbulkan
permasalahan lain dalam masyarakat mulai dari kecemburuan sosial, konflik terselubung,
hingga konflik rill yang muncul karena pelaksanaanya yang melenceng atau memang tidak
dikonsepkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Akibatnya nilai-nilai, hubungan sosial, dan
solidaritas sosial pada masyarakat penyandang masalah kemiskinan yang didominasi oleh
masyarakat pedesaan mulai terdistorsi. Padahal, di masa lalu nilai-nilai, hubungan sosial, dan
solidaritas sosial antar masyarakat di pedesaan ini merupakan salah satu katup penyelamat yang
mampu membuat banyak elemen masyarakat miskin tetap bertahan bahkan pada masa-masa
krisis.
Melihat bagaimana telah terjadi perubahan pada dimensi-dimensi sosial masyarakat
pedesaan, penulis tertarik untuk kembali mengangkat diskusi tentang analisis masalah sosial
berupa kemiskinan pada masyarakat petani. Masyarakat petani atau kelompok yang memiliki
profesi sebagai sendiri dipilih berdasarkan realitas bahwasanya secara statistik masyarakat
miskin memang sebagian besar merupakan orang-orang yang berprofesi sebagai petani.
2.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah di uraikan di atas, maka dapat ditarik beberapa pertanyaan
yang kemudian akan menjadi rumusan masalah untuk di jawab pada bahasan selanjutnya,
antara lain:
1. Bagaimana fenomena kemiskinan pada masyarakat petani bisa dikatakan sebagai
masalah sosial dalam konteks Pembangunan?
2. Bagaimana gejala-gejala kemiskinan pada masyarakat petani sebagai sebuah masalah
sosial bisa dilihat dan diamati berdasarkan unit analisis?
3. Bagaimana analisis terhadap identifikasi sumber/faktor/penyebab kemiskinan
berdasarkan gejala-gejala yang nampak pada masyarakat petani?
4. Bagaimana solusi untuk mengatasi masalah sosial kemiskinan pada masyarakat petani?
3.
Pembangunan, Kesenjangan, dan Kemiskinan Masyarakat Petani
Pada tahun 2013, DIY (0.439) termasuk dalam 4 provinsi yang memiliki tingkat
kesenjangan lebih tinggi dari kondisi nasional yaitu sebesar 0.413 (Ruslan, 2014). Dari trend
2
yang ditunjukkan dari tahun ke-tahun mulai tahun 2009-2013 kondisi ketimpangan terus
mengalami lonjakan yang signifikan. Namun pada realitasnya kesenjangan tersebut bahkan
bisa lebih besar dari data yang ditunjukkan oleh angka statistik yang ditunjukkan oleh BPS.
Pasalnya, kalkulasi indeks gini saat ini hanya didasarkan atas belanja atau konsumsi, bukan
pada pendapatan yang diterima perkapita.
Investor tertarik membangun investasi pada sektor bisnis, seperti hotel dan mal. “Pemilik
modal besar paling menikmati pertumbuhan ekonomi. Kesenjangan ekonomi tergolong
tinggi,” kata Bambang kepada Tempo di Yogyakarta, Jumat, 11 Desember 2015 (Maharani,
2015). Sedangkan, sektor pertanian dan industri pengolahan untuk menyerap banyak tenaga
kerja tidak dikelola dengan serius. Industri pengolahan itu misalnya industri kreatif.
Sedangkan, kemiskinan paling banyak menimpa penduduk yang bekerja di sektor pertanian
Tiga urutan terbesar lapangan usaha pemberi kontribusi struktur ekonomi DIY pada
triwulan I-2016 adalah Industri Pengolahan, Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan, dan
Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum. Ketiga lapangan usaha ini memberikan kontribusi
sebesar 35,74 persen (BPS, 2016). Hal ini tentu merupakan sebuah hal yang ironis. Pertanian
yang masuk dalam tiga lapangan yang memberikan kontribusi pada struktur ekonomi terbesar
pada DIY justru merupakan sektor yang didominasi oleh masyarakat miskin.
Ada kesenjangan antara yang seharusnya/diharapkan terjadi (dassolen) dengan apa yang
senyatanya terjadi (dassein) jika melihat ilustrasi yang telah digambarkan di atas. Bagaimana
kemudian sektor pertanian yang sangat berkontribusi dibandingkan dengan sektor-sektor lain
dipenuhi dengan masyarakat yang menyandang masalah sosial kemiskinan. Pembangunan,
kemudian menjadi fenomena yang dapat dikatakan sebagai masalah sosial. Karena, kotribusi
yang diberikan oleh para petani ini tidak sejalan dengan apa yang mereka dapatkan.
Akibatnya, berbagai proses pembangunan yang dilakukan di daerah istimewa ini rasarasanya tidak memberikan banyak kontribusi pada masyarakat khususnya yang tinggal pada
strata sosial yang ada di bawah. Bukti lain yang menunjukkan hal tersebut adalah angka
kemiskinan di DIY lebih tinggi 14% di atas rata-rata angka kemiskinan nasional (Mustaqim,
2015). Hal ini karena dalam proses selanjutnya tidak ada warga lokal yang dilibatkan dalam
proses ekonomi yang berlangsung, misalkan saja tidak ada warga lokal yang terserap untuk
jadi karyawan dalam setiap proyek pembangunanan.
Seolah ada dua dua pusaran besar terkait dengan pembangunan. Ketika mereka yang kaya
semakin diuntungkan dengan berbagaimacam program pembangunan yang membantu mereka
untuk menumpuk dan mengakumulasikan modalnya, sedangkan mereka yang miskin terus
3
berkutat dengan pemenuhan kebutuhan konsumsi yang tak kunjung terpenuhi. Keadilan sosial
dan kesejahteraan kemudian menjadi suatu hal yang utopis untuk dibicarakan.
Dalam konteks ini, kesenjangan sosial pada masyarakat yang dipercaya merupakan
dampak dari pembangunan yang kurang bisa dirasakan oleh kaum marjinal dalam masyarakat
kemudian menjadi masalah sosial lain tidak lain merupakan dampak dari masalah sosial
kemiskinan yang terus menjerat masyarakat miskin untuk terus tinggal didalamnya.
4.
Fenomena dan Gejala Kemiskinan pada Masyarakat Petani
Masalah sosial sebagai realita objektif dapat diartikan bahwasanya masalah tersebut
dalam masyarakat menimbulkan kerugian baik fisik maupun nonfisik pada segmen tertentu
dalam suatu masyarakat.
Pertama, kemiskinan merupakan masalah sosio kultural yang menghalangi sejumlah
anggota masyarakat untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi mereka secara penuh.
Pada konteks ini, kemiskinan sebagai belenggu yang membuat masyarakat petani terus berkutat
pada persoalan konsumsi dibanding pada kegiatan yang lebih produktif. Kedua, kemiskinan
pada masyarakat petani menunjukkan kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan apa
yang senyatanya terjadi. Pertanian sebagai salah satu sektor yang menymbang pada
pembangunan infrastruktur terbesar dan merupakan sektor unggulan di DIY didominasi oleh
masyarakat miskin. Ketiga, masalah kemiskinan sebagai suatu masalah yang menjadi pemicu
atau pemantik bagi masalah-masalah sosial lainnya seperti kekerasan, kriminalitas, eksploitasi
anak, prostitusi, serta perdagangan manusia
Kemiskinan merupakan suatu fenomena yang dapat diukur melalui seperangka indikator
tertentu, dan biasanya unit analisis kemiskinan itu sendiri adalah pada masing-masing individu.
Ada beberapa ukuran kemiskinan yang telah diterapkan di Indonesia dewasa ini, diantaranya
adalah ukuran dari Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN), dan World Bank.
Oleh karenanya, secara parsial dapat dikatakan bahwa gejala kemiskinan merupakan
sebuah masalah sosial yang menampakkan gejalanya pada level individu. Kendati demikian,
realitas yang menunjukkan bahwa masyarakat miskin didominasi oleh petani menunjukkan
sedikit gambaran bahwasanya gejala kemiskinan ini juga bisa muncul pada level struktur atau
sistem sosial. TIdak heran, kemudian dikenal kawasan kumuh atau pemukiman orang miskin,
dimana masyarakat yang tinggal disana sebagian besar merupakan masyarakat miskin yang
kurang berada.
4
5.
Identifikasi Sumber-sumber Kemiskinan pada Masyarakat Petani
5.1. Dimensi Kemiskinan Kultural pada Masyarakat Petani
Menurut Oscar Lewis (1959 dalam (Suparlan, 1984), masalah kemiskinan
menyangkut sikap mental, pola perilaku, dan predisposisi yang berpangkal pada state of
mind yang tak bersenyawa dengan spirit perubahan, kemajuan, dan peningkatan status
serta kualitas kehidupan. Pada lingkungan masyarakat miskin seringkali muncul sikap
pemberontakan tersembunyi terhadap diri mereka sendiri maupun terhadap masyarakat,
tetapi di lain pihak juga terdapat sikap-sikap masa bodoh dan pasrah kepada nasibnya
sendiri dan pasrah serta tunduk kepada mereka yang mempunyai kekuasaan ekonomi dan
sosial. Begitu mudah mereka mengikuti petunjuk tetapi dengan mudah melupakannya,
apalagi kalau dirasakan sebagai beban hidup atau tidak menguntungkan mereka.
Kemiskinan di masyarakat seringkali diakibatkan oleh adanya budaya gadai
menggadai dan hutang menghutang untuk dapat hidup serta tidak adanya kesetiaan
terhadap satu jenis pekerjaaan. Pola hidup pada masyarakat ketika panen raya, adat istiadat
yang konsumtif seperti berbagai pesta rakyat atau upacara perkawinan, kelahiran dan
bahkan kematian yang dibiayai di luar kemampuan dikarenakan prestise dan keharusan
budaya juga turut melanggengkan kemiskinan di masyarakat. Lebih lanjut, kebudayaan
tersebut dapat dilihat melalui beberapa ciri antara lain:
1.
Kurang efektifnya partisipasi dan integrasi kaum miskin ke dalam lembagalembaga utama masyarakat. Mereka berpenghasilan rendah namun mengakui nilainilai yang ada pada kelas menengah ada pada diri mereka. Mereka sangat sensitif
terhadap perbedaan-perbedaan status namun tidak memiliki kesadaran kelas.
2.
Di tingkat komunitas, dapat ditemui rumah-rumah bobrok, penuh sesak,
bergeerombol dan rendahnya tingkat organisasi di luar keluarga inti dan luas.
3.
Di tingkat keluarga, ditandai oleh masa kanak-kanak yang singkat dan kurang
pengasuhan oleh orang tua, cepat dewasa, hidup bersama/kawin bersyarat,
tingginya jumlah perpisahan antara ibu dan anaknya, cenderung matrilineal dan
otoritarianisme, kurangnya hak-hak pribadi, solidaritas semu.
4.
Di tingkat individu, ditandai dengan kuatnya perasaan tak berharga, tak berdaya,
ketergantungan dan rendah diri (fatalisme).
Keempat ciri di atas, merupakan ciri yang umumnya ditemukan pada keluarga
miskin khususnya masyarakat petani yang memiliki ciri dasar kemiskinan. Pada
pengertian ini, kemiskinan kultural bersumber dari pola pemikiran masyarakat itu sendiri.
Kendati hadir pada masing-masing individu, ketika hal tersebut diwariskan kepada
5
generasi berikutnya melalui proses sosialisasi—baik secara langsung maupun tak
langsung—yang panjang, fenomena kemiskinan kemudian menjadi sebuah permasalahan
yang bersumber dari kultur atau kebudayaan pada masyarakat tertentu. Dalam konteks ini
adalah masyarakat petani yang kemudian mengakar kedalam sistem kepercayaan dan
kebiasaan yang dianut dan terus direproduksi.
5.2. Dimensi Kemiskinan Struktural pada Masyarakat Petani
Jika melihat dari definisinya, kemiskinan structural adalah suatu masalah sosial yang
disandang oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat tersebut tidak
mampu memanfaatkan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka
(Alfian, 1980). Sedangkan pendapat lain menyebutkan bahwa kemiskinan struktual adalah
kemiskinan yang terjadi bukan dikarenakan ketidakmamuan si miskin untuk bekerja
(malas), melainkan karena ketidakmampuan sistem dan struktur sosial dalam menyediakan
kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja (Suharto, 2005).
Dorodjatun Kuntjoro Jakti yang menghimpun sejumlah hasil penelitian
kependudukan dan masalah kemiskinan dalam “Kemiskinan di Indonesia” (1986), melihat
masalah kemiskianan muncul sebagai dampak dari kebijakan pembangunan khususnya
pembangunan desa-kota yang tidak seimbang, sehingga berdampak pada berkembangnya
fenomena kemiskinan—khususnya di perkotaan (Astika, 2010).
Pada pengertian ini, kemiskinan structural dapat diartikan sebagai kemiskinan yang
disebabkan oleh faktor-faktor sosial yang berasar dari luar diri penyandang masalah
kemiskinan. Faktor-faktor tersebut meliputi rendahnya tingkat pendidikan yang
disebabkan oleh kurangnya kemudahan untuk mendapatkan akses pedidikan, rumitnya
birokrasi dalam mengurus segala urusan administratif sehingga menyebabkan masyarakat
petani kurang memiliki bargaining position, serta kurangnya akses terhadap informasi,
serta kebijakan pemerintah dalam mengendalikan harga pokok hasil pertanian.
Dalam tataran yang ekstrim, kemiskinan structural dapat juga dikatakan sebagai
“kemiskinan buatan”, dimana kemiskinan dalam masyarakat khususnya pada masyarakat
petani dikondisikan sedemikian rupa melalui struktur dalam masyarakat yang membatasi
kelompok petani untuk menguasai dan memanfaatkan sarana ekonomi serta fasilitasfasilitas dan mendistribusikannya secara adil dan merata. Pada gilirannya, struktur inilah
yang menekan masyarakat petani untuk terus berada dalam konfisi kemiskinan dan serba
kekurangan (Suyanto, 2013).
6
5.3. Dinamika, Perubahan Sosial, dan Fleksibilitas Idividual
Kendati berada dalam kondisi yang serba kekurangan, masyarakat petani memiliki
mekanisme survival tersendiri untuk tetap bertahan hidup dalam bentuk tatanan, kebiasaan
dan cara hidup sehari-hari. James C. Scott (1983) menggambarkan beberapa tampilan
penting dari kehidupan sosial ekonomi dan organisasi kultural pada masyarakat petani,
khususnya yang berkenaan dengan orang miskin. Scott menyoroti respon-respon mereka
terhadap penetrasi negara dan pasar selama periode kolonial. Scott juga melihat kontrol
negara dalam bentuk pajak yang telah ditetapkan, naik turunnya harga untuk komoditaskomoditas utama—khususnya beras, registrasi tanah dan komodifikasinya, kepemilikan
tanah, spesialisasi ekonomi dan individualisme serta polarisasi klas. Scott menggambarkan
transformasi tanah menjadi komoditas yang dijual telah mempunyai efek yang sangat
mendalam. Kontrol terhadap tanah semakin terlepas dari tangan-tangan orang desa; petani
secara progresif kehilangan hak-hak kebebasan hak guna hasil dan menjadi penyewa atau
petani pekerja berupah; nilai-nilai yang diproduksi semakin diukur dengan fluktuasi pasar
yang bersifat impersonal Negara sendiri menjadi agen yang mengeksploitasi sumber daya
petani. Berbagai bentuk administrasinya dilakukan dengan cara menghitung serta
mensurvei para petani dan tanah hanya bertujuan untuk pajak.
Pada pengertian ini, Scott melihat bahwasanya petani adalah kaum yang lemah dan
hanya mampu melakukan resistensi kecil-kecilan serta sekedar subsisten atau hanya
mampu menghidupi ekonominya di hari itu saja (King, 2011). Kendali berada dalam
tekanan dan dominasi sruktural, Scott juga menunjukkan suatu hubungan etika moral
resiprositas terhadap suatu institusi kunci yang berperan dalam menjamin terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhan anggota komunitas yang kemudian disebut dengan “ikatan patronclient. Ikatan tradisional inilah yang disorot Scott sebagai salah satu moral dalam
masyarakat petani yang dalam dunia kontemporer disebut-sebut sebagai jaminan sosial
yang mampu melindungi masyarakat petani terhadap berbagai kerentanan dan
ketidakberdayaan dalam menghadapi permasalahan yang ada.
Dalam melihat masyarakat yang selalu bergerak dinamis, apa yang dikatakan Scott
kemudian menjadi realitas yang begitu relatif. Muncul kemudian pertanyaan apakah nilai
dan moral tersebut masih ada dan dipertahankan pada kalangan masyarakat petani? Atau
justru yang tertinggal hanyalah sepenggal diskriminasi dan dominasi tanpa adanya
jaminan-jaminan sosial dalam bentuk hubungan resiprositas? Beberapa kebijakan untuk
pengentasan kemiskinan yang tidak tepat sasaran justru terbukti melahirkan kecemburuan
(Iqbal, 2008) dan memberikan dampak pada hilangnya nilai-nilai dan moralitas dalam
7
komunitas khususnya pada masyarakat miskin di sektor pertanian. Akibatnya tentu bisa
dikatakan bahwasanya masyarakat petani di era ini berada dalam kondisi yang lebih
mengkhawatirkan dan memprihatinkan jika dibandingkan dengan kondisi masyarakat
yang kala itu diteliti oleh Scott. Ironisnya, diluar permasalahan tersebut gemerlap
pembangunan kian bersinar terang tanpa menyisakan sisa-sisa kehangatan untuk petani
miskin. Itulah yang kemudian kita sebut ketimpangan dan kesenjangan.
6.
Mengatasi Masalah Sosial Kemiskinan pada Masyarakat Petani
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwasanya identifikasi masalah kemiskinan
pada masyarakat petani dapat dilihat secara individual melalui beberapa indikator. Ada
beberapa ukuran kemiskinan yang telah diterapkan di Indonesia dewasa ini, diantaranya adalah
ukuran dari Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN), dan World Bank. Kriteria menurut BPS, kemiskinan adalah suatu kondisi seseorang
yang hanya dapat memenuhi makanannya kurangdari 2.100 kalori perkapita perhari.
Sedangkan kriteria BKKBN, kemiskinan adalah keluarga miskin prasejahtera apabila pertama,
tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya. Sedangkan masalah sosial tersebut dapat
berasal dari dua sumber. Pertama, masalah sosial kemiskinan bersumber dari individu melalui
pemikiran-pemikiran dan pola pikir tradisional yang cenderung fatalis, kurang bisa menangkap
peluang, mudah menyimpan rasa curiga tau kurang optimis, serta cenderung menggantungkan
dirinya pada orang lain. Kedua, masalah sosial kemiskinan pada petani bersumber dari sistem
sosial yang ada. Sistem tersebut mencakup kendala-kendala structural yang dihadapi
masyarakat petani untuk bangkit dengan merebut ataupun mengumpulkan sumber-sumber
produksi karena terbatasnya akses dan aturan birokrasi yang terlalu rumit.
Kendati sebagian penyebab masalah kemiskinan pada masyarakat petani bersumber dari
dalam diri masyarakat miskin petani itu sendiri, namun hal tersebut juga tidak bisa dilepaskan
dari sistem sosial yang berbentuk kebudayaan. Dimana perilaku, kebiasaan, dan cara pandang
tersebut diwariskan melalui sistem budaya dari yang tua ke yang muda. Cara hidup dalam
bertani yang cenderung menggantungkan diri pada alam membuat mereka sangat rentan dan
pada gilirannya cenderung akan merespon berbagai upaya pengentasan kemiskinan melalui
reaksi ketergantungan (Nasution, 2014). Tabel berikut dapat memberikan ilustrasi bagaimana
masalah sosial kemiskinan pada masyarakat petani bisa dianalisis berdasarkan gejala-gejala
yang muncul dan dari mana masalah itu bersumber.
8
Tabel 1.1 Identifikasi Gejala dan Sumber Masalah Sosial
Sumber
Individu
Sistem
Individu
1
2
Sistem
3
4
Gejala
Melihat bagaimana masalah sosial bersumber dari sistem kebudayaan dan struktur sosial
yang ada, maka pendekatan dan penyelesaian masalahnya pun harus dilakukan melalui
pendekatan yang sama. Selama ini, program-program pengentasan kemiskinan hanya
dilakukan melalui pendekatan individual, bukan komunal lantaran gejala kemiskinan Nampak
pada diri perseorangan. Untuk itu, ada beberapa langkah yang harus dilakukan:
1. Karena masyarakat petani selalu bergantung dengan alam untuk terus hidup, maka
masyarakat petani dikatakan sebagai masyarakat yang rentan. Hal ini, dikarenakan
bencana alam dan situasi/kondisi cuaca yang tidak menentu kapanpun bisa
menyebabkan mereka gagal panen dan kehilangan sumber-sumber penghidupan
mereka. Oleh karenanya, masyarakat petani membutuhkan asuransi sosial terhadap
hasil-hasil pertaniannya. Asuransi tersebut, meliputi solusi pemecahan masalah ketika
terjadi bencana alam, penyakit menular, ataupun hasil-hasil pertanian mengalami gagal
panen. Sehingga, siklus kehidupan masyarakat petani bisa tetap berjalan tanpa harus
terlilit hutang yang akan semakin menjeratnya kedalam jurang kemiskinan dan mulai
bisa berfokus pada pengembangan usaha pertanian padat modal.
2. Masalah kemiskinan pada masyarakat petani juga tidak terlepas dari ketidakberdayaan,
dimana masyarakat petani miskin kurang bisa berdaya untuk menyuarakan haknya. Hal
ini, tentu dipengaruhi oleh rendahnya tingkat pendidikan dan bargaining position
dalam masyarakat. Oleh karenanya, pengadaan akses terhadap pendidikan pada
masyarakat petani miskin menjadi penting. Selain itu, pendistribusian lahan pertanian
pada buruh petani yang selama ini hanya menggarap sawah milik juragan tahan juga
menjadi salah satu solusi untuk mengatasi ketidakberdayaan ini. Karena dengan begitu,
petani bisa dengan leluasa mengatur alokasi dan mendapatkan hasil yang lebih banyak
berdasarkan banyak lahan yang digarapnya.
3. Kemiskinan itu sendiri membuat masyarakat miskin hanya dan akan terus berkutat pada
persoalan konsumsi dibanding fokus pada pengembangan modal dan inovasi sosial.
Oleh karenanya, pemerintah melalui kebijakan afirmatifnya diharapkan dapat
9
memberikan setidaknya bantuan dalam bentuk subsidi pada berbagai kebutuhan
konsumsi masyarakat petani miskin. Sehingga, hasil-hasil dari pertanian dapat
dimanfaatkan untuk sedikit demi sedikit dialokasikan dan didistribusikan pada
pengembangan modal dan inovasi pertanian. Tidak hanya akan merangsang
peningkatan pendapatan, namun akan mengeluarkan masyarakat petani dari jeratan
lingkaran setan kemiskinan.
4. Ketiga langkah tersebut, hendaknya dilakukan tidak secara personal. Namun, secara
komunal melalui pemberdayaan komunitas petani. Dimana bentuk-bentuk bantuan
bukan merupakan bantuan rill dalam bentuk uang, namun dalam bentuk kemudahan
akses yang ditujukan khusus untuk masyarakat petani. Sehingga sedikit demi sedikit
kesejahteraan petani akan meningkat.
Meningkatkan kesejahteraan petani adalah suatu tindakan penting yang harus dilakukan.
Pasalnya, hingga saat ini sektor pertanian dianggap sebagai salah satu sektor yang kurang
menjanjikan. Padahal, Indonesia memiliki potensi alam yang mendukung untuk mewujudkan
ketahanan sosial melalui sektor tersebut. Untuk itulah, memperbaiki kesejahteraan sosial
masyarakat petani menjadi suatu langkah yang strategis guna memperbaiki pemahaman
masyarakat terkait dengan potensi sektor ini. Sehingga, pembangunan di Indonesia dapat
memasuki sebuah babak baru, dimana rasio kesenjangan sosial dapat diminimalisir melalui
pengembangan komunitas masyarakat petani yang menjadi basis alamiah dari negeri ini
sebagai Negara agraris yang berdaulat.
10
DAFTAR PUSTAKA
Buku & Jurnal
Alfian, M. G. T. S. S., 1980. Kemiskinan Struktural Suatu Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan
Ilmu-Ilmu Sosial.
Astika, K. S., 2010. Budaya Kemiskinan di Masyarakat: Tinjauan Kondisi Kemiskinan dan
Kesadaran Budaya Miskin di Masyarakat. Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Volume I, p. 24.
Iqbal, H., 2008. Implementasi Kebijakan Program Bantuan Langsung Tunai Tahun 2008,
Semarang: Universitas Diponogoro.
Nasution, F. S., 2014. Corporate Social Responsibility (SCR) dan Ketergantungan
Masyarakat Miskin, Bengkulu: Departemen Sosiologi Universitas Bengkulu.
Suharto, E., 2005. Membangun Masyarakat, Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis
Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: Refika Aditama.
Suparlan, D. P., 1984. Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta: Sinar Harapan dan Yayasan Obor
Indonesia.
Suyanto, B., 2013. Anatomi Kemiskinan dan Strategi Penanganannya. Malang: In-TRANS
Publishing.
Publikasi Online
BPS, 2016. Pertumbuhan Ekonomi di Yogyakarta Triwulan I Tahun 2016. [Online]
Available at: http://yogyakarta.bps.go.id/Brs/view/id/417
[Accessed 1 October 2016].
King, V. T., 2011. Ulasan Buku: Moral Ekonomi Petani: Antara Subsistensi dan Resistensi.
[Online]
Available at: http://etnohistori.org/moral-ekonomi-petani-antara-subsistensi-danresistensi.html
[Accessed 4 October 2016].
Maharani, S., 2015. BPS Ungkap Kesenjangan Ekonomi di Yogyakarta Tinggi. [Online]
Available at: https://m.tempo.co/read/news/2015/12/12/058727170/bps-ungkapkesenjangan-ekonomi-di-yogyakarta-tinggi
[Accessed 2 October 2016].
Mustaqim, A., 2015. Bandara Kulon Progo Bisa Pertajam Ketimpangan Sosial. [Online]
Available at: http://jateng.metrotvnews.com/read/2015/11/21/193235/bandara-kulonprogo-bisa-pertajam-ketimpangan-sosial
[Accessed 3 October 2016].
Ruslan, K., 2014. Kesanjangan Ekonomi di Daerah Istimewa Yogyakarta Kian
Mengkhawatirkan. [Online]
Available at: http://www.kompasiana.com/kadirsaja/kesanjangan-ekonomi-di-daerahistimewa-yogyakarta-kian-mengkhawatirkan_552964356ea8344e0b8b456f
[Accessed 27 September 2016].