KRISIS EKONOMI 2008 AMERIKA SERIKAT

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Krisis ekonomi global pada tahun 2008 disebabkan oleh pola konsumsi konsumtif
masyarakat Amerika Serikat. Mereka terlalu boros dan melakukan beberapa pinjaman
sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Karena banyaknya pinjaman yang jatuh tempo pada
waktu yang bersaman, membuat debitur (perusahaan peminjam) tidak mampu membayar
pinjamannya dan jatuh bangkrut. Akibat banyak perusahaan peminjam yang tidak mampu
membayar pinjamannya, membuat lemabag keuangan juga mengalami kebangkrutan.
Banyaknya perusahaan Amerika yang bangkrut, membuat Wall Street menjadi lesu dan harga
sahamnya anjlok. Akibat hal tersebut negara Amerika melakukan beberapa kebijakan untuk
mengatasi permasalaahn tersebut.
Akibat diberlakukannya beberapa kebijakan ekonomi, membuat banyak negara
pengekspor ke Amerika mengalami kemunduran ekonomi juga. Hal ini juga terjadi di
Indonesia. Negara-negara yang berhubungan secraa ekonomi dengan Amerika juga
mengalami kelesuan ekonomi.
1.2 Tujuan
a. Mengetahui penyebab krisis ekonomi Amerika Serikat tahun 2008.
b. Mengetahui Kebijakan apa yang diambil oleh pemerintah Amerika terkait krisis 2008.
c. Mengetahui dampak krisis ekonomi Amerika terhadap perekonomian Indonesia.


1

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Penyebab Krisis Ekonomi Amerika Serikat
Krisis ekonomi global yang terjadi pada tahun 2008 bermula dari krisis ekonomi
negara Amerika Serikat yang selanjutnya menyebar ke negara-negara lain di seluruh dunia,
termasuk Indonesia. Krisis ekonomi di Amerika sebenarnya diawali karena masyarakatnya
yang terlalu konsumtif. Rakyat Amerika hidup dalam kemewahan yang dimana keadaan
tersebut bertolak belakang dengan kemampuan finansial mereka. Akhirnya mereka hidup dari
hutang, belanja dengan kartu kredit, dan melakukan kredit perumahan yang biasanya
dilakukan secara bersamaan. Bukan hanya individu yang melakukan pinjaman, namun
banyak juga perusahaan yang terlalu konsumtif sehingga hidup dari hutang juga. Pada
akhirnya perusahaan yang melakukan pinjaman harus bangkrut karena tidak mampu
membayar seluruh hutang-hutangnya yang jatuh tempo pada saat yang bersamaan. Akibatnya
banyak lembaga keuangan yang memberikan kredit tersebut bangkrut karena pinjaman yang
mereka

berikan


tidak

dapat

dlunasi.

Runtuhnya

perusahaan-perusahaan

tersebut

mengakibatkan bursa saham Wall Street (Bursa Efek Amerika Serikat) menjadi tak berdaya
karena banyak perusahaan yang harga sahamnya jatuh akibat perusahaan tersebut bangkrut.
Krisis tersebut terus merambat ke sektor lainnya di seluruh dunia. Karena krisis keuangan
yang melanda Amerika Serikat pada awal dan pertengahan tahun 2008 menyebabkan daya
beli masyarakat turun. Amerika Serikat yang dikenal sebagai konsumen terbesar atas barangbarang dari negara lain harus mengurangi impor untuk menstabilkan ekonomi.
Beberapa penyebab dari krisis Amerika Serikat adalah:



Rendahnya suku bunga pinjaman
Hal pertama yang menjadi penyebab krisis ekonomi AS adalah rendahnya
suku bunga pinjaman dari Bank Federal Reserve, (Bank Sentral Amerika Serikat)
untuk bank-bank konvensional di AS. Karena rendahnya suku bunga pinjaman,
menggugah banyak bank-bank konvensional melakukan pinjaman ke Bank Sental AS
termasuk Bank Lehman Brothers. Rendahnya bunga juga membuat masyarakat AS
melakukan banyak pinjaman guna meningkatkan produktivitas dan untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi. Seperti halnya kita ketahui bahwa bank mendapatkan
keuntungan dari bunga pinjaman atau kredit ke masyarakat (konsumen maupun
2

produsen). Dengan banyaknya pinjaman yang diambil (oleh Bank maupun masyrakat)
maka semakin tinggi pula keuntungan yang didapat. Hal ini disebabkan karena
dengan adanya penambahan modal, maka produktivitas juga akan semakin naik dan
laba yang didapatkan meningkat, dan berlaku sebaliknya. Sesuatu yang menyebabkan
AS mengalami krisis adalah karena terlalu banyaknya pinjaman tanpa jaminan,
membuat para peminjam gagal bayar dan lembaga keuangan yang meminjamkan uang
mengalami kerugian dan bangkrut. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh satu lembaga
keuangan saja (memberikan kredit tanpa pinjaman) namun dilakukan oleh banyak
lembaga keuangan, sehingga menyebabkan banyak lembaga keuangan yang bangkrut.

Karena bayak yang bangkrut, membuat lembaga keuangan tidak mampu memberikan
kredit lagi, sehingga perputaran uang macet dan perekonomian mengalami stagnan
dan krisis.


Subprime Mortgage
Subprime Mortgage adalah suatu istilah yang digunakan pada praktik
pemberian kredit kepada peminjam (debitur) yang tidak memenuhi persyaratan kredit
untuk diberikan pinjaman berdasarkan suku bunga pasar oleh karena debitur tersebut
memiliki "catatan kredit" yang kurang baik. Awal mula adanya subprime mortgage
adalah karena tingginya permintaan akan rumah, dan secara kebetulan tingkat bunga
yang diberikan oleh Bank Sentral AS hanya 1%, sehingga banyak investor yang
membeli rumah dari makelar (dengan uang pinjaman dari Bank) yang kemudian
dijual kembali ke keluarga di AS secara kredit. Awalnya kredit perumahan ini berjalan
dengan lancar, namun karena hampir semua orang yang memiliki catatan kredit baik
sudah memiliki rumah, ketatnya persaingan, dan keinginan mendapatkan keuntungan
banyak, akhirnya investor mencari konsumen baru dengan memberikan kredit
perumahan kepada orang yang memiliki catatan kredit yang kurang baik atau bahkan
belum memiliki catatan kredit tanpa jaminan yang berarti. Karena keberanian investor
melakukan hal tersebut, membuat banyak kredit perumahan macet dan membuat

investor bangkrut sehingga perekonomian menjadi stagnan dan mengalami krisis.



Naiknya Harga Minyak Dunia
Naiknya harga minyak dunia membuat AS harus menambah dana untuk
melakukan subsidi bahan bakar. Hal ini membuat ada beberapa dana yang dialihkan

3

untuk dana subsidi tersebut sehingga dana untuk pembangunan ekonomi mengalami


pengurangan
Meningkatnya Pengangguran Membuat Perekonomian Mengalami Stagnasi
Tingginya pengangguran (yang disebabkan banyak lembaga keuangan dan
perusahaan bangkrut dan mem-PHK pekerjanya) membuat perputaran uang di AS
mengalami kemacetan. Uang yang harusnya berputar dari lembaga kuangan, produsen
dan konsumen harus mengalami kemacetan karena banyak konsumen yang tidak
mampu melakukan kegiatan konsumsi karena tidak memiliki penghasilan. Hal ini

membuat terjadinya stagnasi perekonomian karena banyaknya masyarakat lebih
memilih menyimpan uangnya daripada membelanjakannya.

2.2 Kebijakan yang Diambil Pemerintah Amerika Serikat
Respon pemerintah bersama Bank Indonesia terhadap dampak krisis 2008,
menyepakati akan diperlakukannya kebijakan tight money. Sejak Januari 2009, Bank
Indonesia mulai mengurangi tingkat suku bunga. Dengan tingkat bunga turun akan
meningkatkan konsumsi dan investasi sehingga agregat output akan naik, namun kebijakan
menimbulkan spekulatif terjadinya depresiasi nilai tukar akibat menurunnya likuiditas bank
akibat penurunan interest rate.
Kebijakan melakukan recovery terhadap perbankan juga dilakukan pada periode krisis
tahun 2008. Untuk menghindari dampak sistemik akibat bank sakit yang bisa menimbulkan
efek domino seperti tahun 1997, BI menginjeksi modal baru pada bank besar yang sakit
sedangkan bank kecil ditutup. Namun, kebijakan ini tidak efektif karena tidak didukung
dengan kebijakan fiskal yang kuat. Pemerintah menunjukkan manajemen fiskal yang lemah
yaitu 80 persen kebijakan fiskal dialokasikan sebagai tax saving dan subsidi, bukan untuk
pengeluaran langsung. Dengan tingkat defisit yang meningkat dari 1 persen (51triliun)
menjadi 2,6 persen (137triliun). Pemerintah Indonesia kemudian mengubah kembali
kebijakan pada sektor riil dengan lebih menekankan pada penambahan value added hal ini
terbukti dengan kelanjutan pemerintah terhadap Konsensus Washington dan mulai terbuka

dalam Free Trade Area strategi.
Krisis yang melanda Amerika sangatlah berdampak besar terhadap perekonomian
Amerika. Banyak perusahaan bangkrut, banyak lembaga keuangan tutup dan tidak
memberikan kredit, harga saham di Wall Street merosost tajam dan banyak pengangguran
akibat produktivitas menurun. Dampak tersebut bukan hanya dirasakan oleh Amerika saja
4

namun juga dirasakan oleh negara-negara lain yang memiliki hubungan ekonomi dengan
Amerika. Hal ini menyebabkan terjadinya krisis ekonomi global. Guna mencegah krisis ini
semakin besar, pemerintah Amerika menerapkan beberapa kebijakan, yaitu:


Beberapa langkah kebijakan yang diambil pemerintah AS dalam mengatasi dampak
krisis keuangan adalah memberikan dana talangan (bailout) sebesar USD700 miliar.
Dana ini ditujukan untuk menyelamatkan institusi keuangan dan perbankan demi
mencegah krisis ekonomi yang berkepanjangan. Bailout dilakukan dalam bentuk
pembelian surat utang subprime mortgage yang macet dari investor.




Langkah berikutnya yang diambil Bank Sentral adalah menaikkan suku bunga 0,5
persen menjadi 1,5 persen. Hal tersebut dilakukan agar dana-dana masyarakat tidak
mengendap di bank dan bisa menggerakkan sektor riil.



Selain itu, pemerintah juga berjanji membeli surat berharga jangka pendek USD900
miliar. Adapun Bank Sentral Amerika (Federal Reserve) juga mengumumkan
rencana radikal untuk menutup sejumlah besar utang jangka pendek yang bertujuan
menciptakan terobosan dalam kemacetan kredit yang mengakibatkan krisis finansial
global.
Kebijakan ini diambil pada tahun 2008 untuk merespon krisis finansial yang

berdampak global. Ketika krisis finansial terjadi, Amerika Serikat berada di bawah
pemerintahan George W. Bush. Kebijakan Bush yang lebih mengedepankan pendekatan
militer dengan anggaran militer yang besar dan memberikan keistimewaan kepada pengusaha
dan korporat menjadi salah satu penyebab terjadinya krisis finansial Amerika Serikat.
Pemerintahan Bush (Republik) dikenal dengan loyalitas mutlak pada sistem pasar bebas.
Pasar bergerak tanpa pengawasan sehingga efeknya terasa ketika terjadi salah urus dalam
kebijakan finansial.

Pasca pemerintahan Bush, dengan berbagai gejolak krisis finansial, Amerika Serikat
pun dipimpin oleh kubu Demokrat, Barack Obama. Obama mewarisi krisis parah, setelah
great depression 1930, yang dibuat pendahulunya. Obama lantas mengambil langkah
penyelesaian krisis yang berkembang makin parah dengan beberapa kebijakan:

5



Menggelontorkan paket bantuan lebih dari 700 miliar dollar AS. Paket ini
dimaksudkan untuk menyelamatkan perekonomian Amerika Serikat, terutama warga
kelas menengah ke bawah.



Menjamin adanya pengawasan yang ketat terhadap lembaga-lembaga keuangan.
Selama ini para direktur, manajer, dan pejabat lembaga-lembaga keuangan menikmati
gaji dan bonus yang besar, jet-jet dan kapal pesiar, dan hidup yang glamour.




Melakukan penghematan di berbagai sektor dalam upaya mengatasi krisis namum
tetap mendorong investasi, yakni di sektor energi, asuransi kesehatan, dan pendidikan.



Menaikkan plafon utang negara dari 14,3 triliun dollar AS (2011) dimana sebelumnya
berjumlah 10,6 triliun dollar AS sejak Obama memimpin pemerintahan (2009).

2.3 Dampak Bagi Indonesia dan Kebijakan Pemerintah Indonesia
Krisis yang melanda negara Amerika Serikat pada tahun 2008 silam bukan hanya
berdampak bagi negara tersebut saja, melainkan juga dirasakan oleh negara lainnya yang
melakukan hubungan dengan negara tersebut. Banyak negara yang terkena dampak krisis
Amerika juga mengalami krisis ekonomi. Negara Eropa dan Asia adalah negara yang paling
besar menerima dampak dari krisis AS. Indonesia yang merupakan negara benua Asia juga
ikut terkena dampak. Dampak yang dirasakan Indonesia akibat krisis Amerika tahun 2008
adalah sebagai berikut:


Dampak terhadap Perbankan

Dalam konteks perbankan, Pemerintah perlu berhati-hati, karena tidak ada
yang dapat memperkirakan dalam dan luasnya krisis keungan global ini. Menyikapi
permasalahan ini, pemerintah dan otoritas moneter telah melakukan beberapa langkah
yang sangat tepat untuk mengurangi kekhawatiran/ketidakpercayaan publik terhadap
kapabilitas dan likuiditas bank-bank nasional, yaitu antara lain:
a. Penaikkan BI rate menjadi 9,5% untuk mengantisipasi depresiasi terhadap
nilai Rupiah dengan meningkatkan atraktifitas investasi dalam nilai Rupiah
akibat spread bunga domestik dan luar negeri yang cukup tinggi.
b. Peningkatan jumlah simpanan di bank yang dijamin oleh pemerintah dari Rp
100 juta menjadi Rp 2 milyar, untuk mengantisipasi rush akibat kekhawatiran

6

masyarakat terhadap keamanan simpanannya di bank. Hal ini dilakukan
dengan pengeluaran Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu).
c. Perluasan jenis aset milik bank yang boleh diagunkan kepada BI, yang tadinya
hanya meliputi aset kualitas tinggi (SBI dan SUN), namun melalui Perpu, aset
yang dapat dijaminkan diperluas dengan kredit lancar milik bank (ditujukan
untuk mengantisipasi turunnya harga pasar SUN, yang terlihat dengan naiknya
yield). Hal ini ditujukan untuk mempermudah Bank dalam mengatasi kesulitan
likuiditas, sehingga dapat memperoleh jumlah dana yang cukup dari BI.
d. Meningkatkan kapasitas pelayanan industri perbankan syariah. Sistem
perbankan syariah terbukti lebih tahan terhadap hantaman krisis. Sistem
perbankan ini juga sudah mulai digiatkan oleh negara-negara non-muslim
seperti Inggris, Italia, Hong Kong, China, Malaysia, dan Singapura. Bahkan
menurut anggota Komite Ahli Bank Indonesia, perbankan syariah tetap stabil
di saat krisis global berlangsung dikarenakan perbankan syariah merupakan
pilihan yang komprehensif, progresif, dan menguntungkan
Kekhawatiran yang dialami oleh masyarakat terhadap dunia perbankan,
sebenarnya lebih berdasarkan pada sentimen negatif yang berlebihan akibat krisis di
Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Apabila penanganan krisis di negaranegara tersebut berhasil, maka otomatis kekhawatiran masyarakat terhadap perbankan
nasional pun akan hilang. Namun sebaliknya, apabila krisis global bertambah parah,
maka kekhawatiran masyarakat juga akan meningkat yang dapat mengakibatkan
meningkatnya animo masyarakat untuk mengambil simpanannya di bank-bank
nasional, sehingga akan membuat ambruknya sendi-sendi perbankan nasional. Untuk
mengantisipasi hal ini, maka salah satu alternatif yang perlu dipikirkan oleh
Pemerintah adalah dengan menjamin 100% semua dana nasabah, termasuk dana
kredit yang dikucurkan oleh bank. Hal ini bertujuan agar masyarakat tidak khawatir
terhadap simpanannya dan dunia perbankan bisa berjalan dengan normal sekaligus
menjaga sektor riel bisa tetap bergerak dengan terjaminnya kebutuhan dana dari
perbankan.
Kebijakan perbankan ditujukan pada upaya mengurangi imbas krisis global
pada perbankan domestik. Keketatan likuiditas yang terjadi akibat krisis disikapi BI
7

dengan mempermudah akses bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
terhadap fasilitas pendanaan. Namun upaya tersebut tetap dilakukan BI dengan
memperhatikan risiko yang terjadi pada perbankan nasional serta dampak yang lebih
luas pada perekonomian rakyat. Untuk itu, upaya menjaga ketersediaan pendanaan
bagi sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) sebagai bantalan perekonomian
rakyat, juga senantiasa dicermati.
Terkait dengan kebijakan di sektor perbankan ini, BI telah mengeluarkan
ketentuan-ketentuan yang bertujuan untuk memberikan ruang bagi perbankan dalam
menyalurkan kredit dengan tetap memperhatikan unsur kehati-hatian dan kestabilan
ekonomi secara umum.


Dampak terhadap Nilai Tukar dan Inflasi
Krisis ekonomi Amerika tersebut yang semakin lama semakin merambat
menjadi krisis ekonomi global karena sebenarnya perekonomian di dunia ini saling
terhubung satu sama lainnya, peristiwa yang terjadi di suatu tempat akan berpengaruh
di tempat lainnya. Dan tidak jarang dampak yang terjadi jauh lebih besar daripada
yang terjadi di tempat asalnya. Oleh karena itu Indonesia juga turut merasakan krisis
ekonomi global ini. Indonesia merupakan Negara yang masih sangat bergantung
dengan aliran dana dari investor asing, dengan adanya krisis global ini secara otomatis
para investor asing tersebut menarik dananya dari Indonesia. Hal ini yang berakibat
jatuhnya nilai mata uang kita. Aliran dana asing yang tadinya akan digunakan untuk
pembangunan ekonomi dan untuk menjalankan perusahaan-perusahaan hilang,
banyak perusahaan menjadi tidak berdaya, yang pada ujungnya Negara kembalilah
yang harus menanggung hutang perbankan dan perusahaan swasta.
Dampak krisis keuangan juga jelas terlihat pada nilai tukar Rupiah yang
melemah terhadap dolar AS bahkan sempat mencapai RP 10.000/USD pada minggu
kedua Oktober 2008. Hal ini lebih dikarenakan adanya aliran keluar modal asing
akibat kepanikan yang berlebihan terhadap krisis keuangan global.
Dampak sejenis juga akan terjadi pada inflasi. Karena melemahnya Rupiah
terhadap USD, maka harga barang-barang juga akan terimbas untuk naik, karena
Indonesia masih mengimpor banyak kebutuhan termasuk tepung dan kedelai. BI
8

mengarahkan kebijakan pada penurunan tekanan inflasi yang didorong oleh tingginya
permintaan agregat dan dampak lanjutan dari kenaikan harga BBM yang sempat
mendorong inflasi mencapai 12,14 persen pada bulan September 2008. Untuk
mengantisipasi berlanjutnya tekanan inflasi, BI menaikkan BI rate dari 8 persen
secara bertahap menjadi 9,5 persen pada Oktober 2008. Dengan kebijakan moneter
tersebut ekspektasi inflasi masyarakat tidak terakselerasi lebih lanjut dan tekanan
neraca pembayaran dapat dikurangi.
Selanjutnya, memasuki triwulan II-2008, seiring dengan turunnya harga
komoditi dunia serta melambatnya permintaan agregat sebagai imbas dari krisis
keuangan global, BI memperkirakan tekanan inflasi ke depan menurun, sehingga BI
Rate pada bulan Desember 2008 diturunkan sebesar 25 basis point (bps) menjadi 9,25
bps.


Dampak terhadap Ekspor dan Impor
Krisis keuangan global ini sudah pasti akan sangat berdampak kepada ekspor
Indonesia ke negara-negara tujuan ekspor, bukan hanya ke AS. Selama 5 tahun
terakhir ini, ekspor Indonesia ke Amerika menempati urutan ke-2 setelah Jepang
dengan kisaran masing-masing 12% – 15%. Selain itu, negara-negara importir produk
Indonesia pada urutan ke 3 sampai dengan 10 (Singapura, RRC, India, Malaysia,
Korsel, Belanda, Thailand, Taiwan) menyumbang sekitar 45% dari total ekspor
Indonesia. Dari informasi tersebut, hampir dapat dipastikan bahwa keseluruhan
negara-negara tersebut sedang mengalami dampak krisis keuangan global yang
berakibat pada perlambatan ekonomi di setiap negara. Lebih lanjut hal ini akan
mengakibatkan penurunan kemampuan membeli atau bahkan membayar produk
ekspor yang dihasilkan Indonesia, sehingga pada akhirnya akan memukul industri
yang berorientasi ekspor di Indonesia. Hal ini sudah terkemuka di publik melalui
media massa, terutama untuk sektor garmen, kerajinan, mebel dan sepatu, banyak
keluhan para pelaku bisnis yang mengatalami penurunan order dan kelambatan
pembayaran dari rekanan bisnis yang mengimport barangnya.
Dampak yang tidak menguntungkan juga terjadi di sisi impor, karena dengan
melemahnya Rupiah, maka nilai impor akan melonjak yang selanjutnya akan
menyulitkan para importir untuk menyelesaikan transaksi impor. Dampak berikutnya
9

adalah melonjaknya harga-harga bahan yang berasal dari impor di pasar sehingga
inflasi meningkat dan daya beli masyarakat juga akan menurun. Hal ini selanjutnya
mengakibatkan turunnya daya serap masayrakat terhadap barang-barang impor
sehingga pada akhirnya akan mengakibatkan penurunan jumlah impor.



Dampak terhadap Sektor Riel dan Pengangguran
Dampak terhadap sektor riel dapat dilihat dari dua aspek, yaitu:
a. Menurunnya order dari rekanan di luar negeri sehingga banyak
perusahaan kesulitan memasarkan produknya yang pada akhirnya
harus melakukan efisiensi atau rasionalisasi supaya dapat bertahan
hidup.
b. Melemahnya daya beli masyarakat Indonesia karena melemahnya mata
uang Rupiah dan kenaikan inflasi serta kesulitan likuiditas atau modal
kerja dari perbankan yang mengetatkan kebijakan pemberian
kreditnya.
Kedua hal tersebut mengakibatkan industri di sektor riel menjadi tertekan,
sehingga apabila hal ini berlarut-larut akan melemahkan daya tahan perusahaan yang
akan berimbas pada kemungkinan melakukan PHK bagi para karyawannnya demi
mengurangi beban perusahaan atau karena memang perusahaan sudah tidak mampu
lagi beroperasi.

10

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Krisis ekonomi yang melanda Amerika Serikat pada tahun 2008 disebabkan oleh pola
kehidupan masyarakat Ameika yang sangat konsumtif dan hidup dalam kemewahan yang
berlebihan. Rendahnya tingkat bunga pinjaman membuat masyarakat Amerika semakin
banyak yang berani dalam melakukan kredit, termasuk kredit perumahan yang diberikan
tanpa jaminan yang berarti. Akibat banyaknya pinjaman yang gagal bayar membuat banyak
lembaga keuangan dan perusahaan bangkrut dan membuat perekonomian hancur. Untuk
menanggulangi krisis tersebut, pemerintah Amerika menerapkan beberapa kebijakan yang
nantinya mampu menurunkan tingkat krisis.
Krisis yang dirasakan oleh Amerika bukan hanya berdampak dalam negara tersebut
saja, melainkan juga berdampak pada perekonomian negara lainnya yang berhubungan
dengan Amerika, seperti Indonesia. Guna menurunkan dampak krisis Amerika terhadap
Indonesia, pemerintah menerapkan kebijakan seperti kebijakan dalam perbankan, bursa
saham dan sektor keuangan lainnya.

11