ADOLESCENCE Hubungan Remaja dengan Orang

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Remaja merupakan masa perkembangan yang paling banyak disoroti oleh
para psikolog. Ini karena masa remaja merupakan masa yang di dalamnya
individu berusaha menemukan jati dirinya

untuk kelangsungan hidupnya di

masa yang akan datang.
Dalam menemukan jati dirinya, seorang remaja dihadapkan pada perilaku
positif dan perilaku menyimpang. Perilaku remaja, baik yang positif maupun
menyimpang, sangat erat hubungannya dengan orang tua, dan teman sebaya.
Berangkat dari hal ini lah, makalah yang berjudul “Adolescence: Perilaku
Positif dan Perilaku Bermasalah, Resiliensi, Serta Hubungan Remaja Dengan
Orang Tua dan Teman Sebaya” ini, disusun.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perilaku yang positif dan perilaku yang bermasalah pada
remaja?
2. Apa yang dimaksud dengan resiliensi pada masa remaja?
3. Apa hakikat dari hubungan remaja dengan orang tua?

4. Apa hakikat dari hubungan remaja dengan teman sebaya
C. Tujuan Penyusunan
1. Mengetahui dan memahami perilaku positif dan perilaku bermasalah pada
remaja.
2. Mengetahui dan memahami resiliensi pada masa remaja.
3. Mengetahui dan memahami hubungan remaja dengan orang tua.
4. Mengetahui dan memahami hubungan remaja dengan teman sebaya.

1

BAB II
PEMBAHASAN
A. Perilaku Positif dan Perilaku Bermasalah Pada Masa Remaja
E.B. Hurlock (1986) mengemukakan bahwa penyesuaian yang sehat atau
kepribadian yang sehat (healthy adjustment) ditandai dengan karakteristik sebagai
berikut.
1. Mampu menilai diri secara realistik. Individu yang berkepribadian sehat
mampu menilai dirinya sebagaimana apa adanya, baik kelebihan maupun
kekurangan/ kelemahannya, yang menyangkut fisik (postur tubuh, wajah,
keutuhan, dan kesehatan) dan kemampuan.

2. Mampu menilai sesuatu secara realistik. Individu dapat menghadapi situasi
atau kondisi kehidupan yang dihadapi secara realistik dan mau menerimanya
secara wajar. Dia tidak mengharapkan kondisi kehidupan itu sebagai sesuatu
yang harus sempurna.
3. Mampu menilai prestasi yang diperoleh secara realistik. Individu dapat
menilai prestasinya (keberhasilan yang diperolehnya) secara realistik dan
mereaksinya secara rasional. Dia tidak menjadi sombong, angkuh, atau
mengalami “superiority complex”, apabila memperoleh prestasi yang tinggi,
atau kesuksesan dalam hidupnya. Apabila mengalami kegagalan, dia tidak
mereaksinya dengan frustasi, tetapi dengan sikap optimistik (penuh harapan).
4. Menerima tanggung jawab. Individu yang sehat adalah individu yang
bertanggung jawab. Dia mempunyai keyakinan terhadap kemampuannya
untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan yang dihadapinya. 1
5. Kemandirian (autonomi). Individu memiliki sikap mandiri dalam cara berpikir
dan

bertindak,

mampu


mengambil

keputusan,

mengarahkan

dan

mengembangkan diri serta menyesuaikan diri secara konstruktif dengan norma
yang berlaku di lingkungannya.
1

Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, PT Remaja Rosdakarya:
Bandung, hal. 130-131

2

6. Dapat mengontrol emosi. Individu merasa nyaman dengan emosinya. Dia
dapat menghadapi situasi frustasi, depresi, atau stres secara positif atau
konstruktif, tidak destruktif (merusak).

7. Berorientasi tujuan. Setiap orang mempunyai tujuan yang ingin dicapainya.
Namun, dalam merumuskan tujuan itu ada yang realistik dan ada yang tidak
realistik. Individu yang sehat kepribadiannya dapat merumuskan tujuannya
berdasarkan pertimbangan secara matang (rasional), tidak atas dasar paksaan
dari luar. Dia berupaya untuk mencapai tujuan tersebut dengan cara
mengembangkan kepribadian (wawasan) dan keterampilan.
8. Berorientasi keluar.

Individu yang sehat mempunyai orientasi keluar

(ekstrovert). Dia bersikap respek, empati terhadap orang lain dan mempunyai
kepribadian terhadap situasi, atau masalah-masalah lingkungannya dan
bersikap fleksibel dalam berpikirnya. Barrett Leonard mengemukakan sifatsifat individu yang berorientasi keluar, yaitu (a) menghargai dan menilai orang
lain seperti dirinya sendiri; (b) merasa nyaman dan terbuka terhadap orang
lain; (c) tidak membiarkan dirinya dimanfaatkan untuk menjadi korban orang
lain dan tidak mengorbankan orang lain karena kekecewaan dirinya.
9. Penerimaan sosial. Individu dinilai positif oleh orang lain, mau berpartisipasi
aktif dalam kegiatan sosial, dan memiliki sikap bersahabat dalam berhubungan
dengan orang lain.
10. Memiliki filsafat hidup. Dia mengarahkan hidupnya berdasarkan filsafat hidup

yang berakar dari keyakinan agama.
11. Berbahagia. Individu yang sehat, situasi kehidupannya diwarnai kebahagiaan.
Kebahagiaan ini didukung oleh faktor-faktor achievement (pencapaian
prestasi), acceptance (penerimaan dari orang lain), dan affection (perasaan
dicintai dan disayangi oleh orang lain).
Adapun kepribadian yang tidak sehat itu ditandai dengan katakteristik seperti
berikut.
1. Mudah marah (tersinggung).
2. Menunjukkan kekhawatiran dan kecemasan.

3

3. Sering merasa tertekan (stres atau depresi).
4. Bersikap kejam atau senang menganggu orang lain yang usianya lebih muda
atau terhadap binatang (hewan).
5. Ketidakmampuan untuk menghindar dari perilaku menyimpang meskipun
sudah diperingati atau dihukum.
6. Mempunyai kebiasaan berbohong.
7. Hiperaktif.
8. Bersikap memusuhi semua bentuk otoritas.

9. Senang mengkritik/mencemooh orang lain.
10. Sulit tidur.
11. Kurang memiliki rasa tanggung jawab.
12. Sering mengalami pusing kepala (meskipun penyebabnya bukan bersifat
organis)
13. Kurang memiliki kesadaran untuk menaati ajaran agama.
14. Bersikap pesimis dalam menghadapi kehidupan.
15. Kurang bergairah (bermuram durja) dalam menjalani kehidupan.
Kelainan tingkah laku diatas berkembang, apabila anak hidup dalam
lingkungan yang tidak kondusif dalam perkembangannya. Seperti lingkungan
keluarga yang tidak berfungsi (dysfunction family) yang bercirikan: “broken
home”,

hubungan

antar

anggota

keluarga


kurang

harmonis,

kurang

memperhatikan nilai-nilai agama dan orang tua bersikap keras atau kurang
memberikan curahan kasih sayang kepada anak.
Oleh karena kelainan kepribadian itu berkembang pada umumnya
disebabkan oleh faktor lingkungan yang kurang baik, maka sebagai upaya
pencegahan (preventif), seyogyanya pihak keluarga (orangtua), sekolah (guru dan
staf sekolah lainnya) dan pemerintah perlu senantiasa berkerja sama untuk
menciptakan iklim lingkungan yang memfasilitasi atau memberi kemudahan
kepada anak untuk mengembangkan potensi atau tugas-tugas perkembangan
secara optimal.2

22

Ibid, hal. 132.


4

B. Resiliensi Pada Masa Remaja
1. Pengertian resiliensi
Menurut Emmy E. Werner (2008), sejumlah ahli tingkah laku
menggunakan istilah resiliensi untuk menggambarkan tiga fenomena:
a. Perkembangan positif yang dihasilkan oleh anak yang hidup dalam konteks
“berisiko tinggi (high-risk), seperti: anak yang hidup dalam kemiskinan kronis
atau perlakuan kasar orang tua.
b. Kompetensi

yang

dimungkinkan

muncul

dibawah


tekanan

yarng

berkepanjangan, seperti: peristiwa- peristiwa di sekitar orang tua mereka yang
bercerai.
c. Kesembuhan dari trauma, seperti: ketakutan dari peristiwa perang saudara.

Resiliensi (daya lentur) adalah kemampuan atau kapasitas insani yang
dimiliki seseorang, kelompok atau masyarakat yang memungkinkannya untuk
menghadapi, mencegah, meminimalkan dan menghilangkan dampak-dampak
yang merugikan dari kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan atau bahkan
mengubah kondisi kehidupan yang menyengsarakan menjadi hal yang wajar.
Resiliensi merupakan suatu kemampuan yang sangat di butuhkan dalam
kehidupan setiap orang. Hal ini karena kehidupan manusia senantiasa diwarnai
dengan adversity (kondisi yang tidak menyenagkan). Adversity ini menentang
kemampuan manusia untuk mengatasinya, untuk belajar darinya, dan bahkan
untuk berubah darinya. Setiap individu, termasuk remaja, pada dasarnya memiliki
kemampuan untuk menghadapi kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan dalam
hidupnya. Remaja yang resilien dicirikan sebagai individu yang memiliki

kompetensi secara sosial, dengan ketrampilan-keterampilan hidup seperti :
pemecahan masalah, berpikir kritis, kemampuan mengambil inisiatif, kesadaran
akan tujuan dan prediksi masa depan yang positif bagi dirinya sendiri. Mereka

5

memiliki minat-minat khusus, tujuan-tujuan yang terarah, dan motivasi untuk
berprestasi di sekolah dan di dalam kehidupan (Henderson & Milstein, 2008).
Menurut Grotberg (1991) kualitas resiliensi tidak sama pada setiap orang,
sebab kualitas resiliensi seseorang sangat ditentukan oleh tingkat usia, taraf
perkembangan, intensitas seseorang dalam menghadapi sesuatu yang tidak
menyenangkan, serta seberapa besar dukungan sosial dalam pembentukan
resiliensi seseorang tersebut.

2. Sumber Pembentukan Resiliensi
Upaya mengatasi kondisi-kondisi adversity dan mengembangkan
resiliency remaja, sangat tergantung pada pemberdayaan tiga faktor dalam diri
remaja, yang oleh Gritberg (1994) disebut sebagai tiga sumber dari resiliensi
(three source of resiliency), yaitu I have (aku punya), I am (aku ini), I can (aku
dapat).

I have (aku punya) merupakan sumber resiliensi yang berhubungan
dengan pemaknaan remaja terhadap besarnya dukungan yang diberikan oleh
lingkungan sosial terhadap dirinya. Sumber I have memiliki beberapa kualitas
yang memberikan sumbangan bagi pementukan resiliensi, yaitu:
1) Hubungan yang dilandasi oleh kepercayaan penuh;
2) Struktus dan peraturan di rumah;
3) Model-model peran;
4) Dorangan untuk mandiri (otonomi);
5) Akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan keamanan dan kesejahteraan.
I am (aku ini) merupakan sumber resiliensi yang berkaitan dengan
kekuatan pribadi yang dimiliki remaja, yang terdiri dari perasaan, sikap dan
keyakinan pribadi. Beberapa kualitas pribadi yang mempengaruhi I am adalah:
1) Disayang dan disukai oleh banyak orang
2) Mencinta, empati, dan kepedulian pada orang lain
6

3) Bangga dengan dirinya sendiri
4) Bertanggung jawab terhadap perilaku sendiri dan menerima konsekuensinya
5) Percaya diri, optimistik, dan penuh harap.
I can (Aku dapat) sumber resiliensi yang berkaitan dengan apa saja yang
dapat dilakukan oleh remaja sehubungan dengan keteramppilan-keterampilan
sosial dan interpersonal.
Keterampilan-keterampilan ini meliputi:
1) Berkomunikasi
2) Memecahkan masalah
3) Mengelola perasaan dan impuls-impuls
4) Mengukur temperamen sendiri dan orang lain
5) Menjalin hubungan-hubungan yang saling mempercayai.
3. Interaksi antara Faktor I have, I am, dan I Can
Resiliensi merupakan hasil kombinasi dari faktor-faktor I have, I am dan I
can. Untuk menjadi seorang yang resilien, tidak cukup hanya memiliki satu faktor
saja, melainkan harus di tompang oleh faktor-faktor lain. Ketiga faktor tersebut
harus saling berinteraksi satu sama lain. Interaksi tersebut sangat dipengaruhi oleh
kualitas lingkungan sosial dimana remaja hidup.
Terdapat lima faktor yang sangat menentukan kualitas interaksi dari I
have, I am dan I can (Grotberg, 1999), yaitu:
1) Kepercayaan (trust)
Faktor berhubungan dengan bagaimana lingkungan mengembangkan rasa
percaya remaja. Kepercayaan akan menjadi sumber pertama bagi pembentukan
resiliensi pada remaja. Oleh kareana itu, bila remaja diasuh dan dididik dengan
perasaan penuh kasih sayang dan kemudian mampu mengembangkan relasi yang
berlandaskan kepercayaan (I have), maka akan tumbuh pemahaman darinya
bahwa ia dicintai dan dipercaya (I am). Kondisi demikian pada saatnya akan

7

menjadi dasar bagi remaja ketika ia berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya
secara bebeas (I Can).
2) Otonomi (autonomy)
Faktor yang berkaitan dengan seberapa jauh remaja menyadari bahwa
dirinya terpisah dan berbeda dari lingkungan sekitar sebagai kesatuan diri
pribadi.pemahaman bahwa dirinya merupakan sosok mandiri yang terpisah dan
berbeda dari lingkungan sekitar, akan membentuk kekuatan-kekuatan tertentu
pada remaja. Kekuatan tersebut sangat menentukan tindakan remaja ketika
menghadapi masalah.
Oleh sebab itu, apabila remaja berada di lingkungan yang memberikan
kesempatan padanya untuk menumbuhkan otonomi dirinya (I have), maka ia akan
memiliki pemahaman bahwa dirinya adalah seorang mandiri, independen (I am).
3) Inisiatif (initiative)
Berperan dalam penumbuhan minat remaja melakukan sesuatu yang baru.
Inisiatif juga berperan dalam mempengaruhi remaja mengikuti berbagai macam
aktivitas atau menjadi bagian bagi suatu kelompok. Dengan inisiatif, remaja
menghadapi kenyataan bahwa dunia adalah lingkungan dari berbagai macam
aktivitas, di mana ia dapat mengambil bagian untuk berperan aktif dari setiap
aktivitas yang ada.
4) Industri (industry)
Yakni faktor resiliensi yang berhubungan dengan pengembangan
keterampilan-keterampilan berkaitan dengan akitvitas rumah, sekolah dan
sosialisasi. Melalui penguasaan keterampilan-keterampilan tersebut remaja akan
mampu mencapai prestasi, baik dirumah sekolah, maupun dilingkungan sosial.
5) Identitas (identity)
Faktor yang berkaitan dengan pengembangan pemahaman remaja akan
dirinya sendiri, baik kondisi fisik maupun psikologisnya. Identitas membantu
8

remaja mendefinisikan dirinya dan mempengaruhi self-image-nya. Identitas ini
diperkuat melalui hubungan dengan faktor-faktor resiliensi lainnya. Apabila
remaja memiliki lingkungan yang memberikan umpan balik berdasarkan kasih
sayang, penghargaan atas prestasi dan kemempuan yang dimilikinya (I have),
maka remaja akan menerima keadaan diri dan orang lain (I am). Kondisi demikian
akan menumbuhkan perasaan mampu untuk mengendalikan, mengarahkan dan
mengatur diri, serta menjadi dasar untuk menerima kritikan dari orang lain (I
Can).
C. Hubungan Remaja Dengan Orang Tua
Perubahan-perubahan fisik, kognitif dan social yang terjadi dalam
perkembamgan remaja mempunyai pengaruh yang besar terhadap relasi orang
tua dan remaja. Salah satunya yang menonjol dari remaja yang mempengaruhi
relasinya dengan orang tua adalah perjuangan memperoleh otonomi, baik secara
fisik maupun psikologis. Karena remaja meLuangkan lebih sedikit waktunya
untuk bersama orang tua dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk saling
berinteraksi dengan dunia yang lebih luas, maka mereka berhadapan dengan
bermacam-macam nilai da ide-ide. Seiring dengan terjadinya perubahan kognitif
selama masa remaja, perbedaan ide-ide yang dihadapi sering mendorongnya untuk
melakukan pemeriksaan terhadap nilai-nilai dan pelajaran pelajaran yang berasal
dari orang tua. Akibatnya remaja mulai mempertanyakan dan menentang
pandangan-pandangan orang tua serta mengembangkan ide-ide mereka sendiri.
Orang tua tidak lagi dipandang sebagai otoritas yang serba tahu. Secara optimal
remaja mengembangkan pandangan-pandangan yang lebih matang dan realistis
dari orang tua mereka. Kesadaran bahwa mereka adalah seorang yang memiliki
kemampuan, bakat, dan pengetahuan tertentu, mereka memandang orang tua
sebagai orang yang harus dihormati, dan sekaligus orang yang dapat melakukan
kesalahan. Sebagian dari proses pencapaian otonomi psikologis ini mengharuskan
anak remaja untuk meninjau kembali gambaran dengan orang tua dan
mengambangkan ide-ide pribadi.

9

Berapa peneliti tentang perkembangan anak remaja menyatakan bahwa
pencapaian otonomi psikologis merupakan salah satu tugas perkembangan yang
penting dari masa remaja. Akan tetapi terdapat peredaan mengenai tipe
lingkungan keluarga yang lebih kondusif bagi perkembangan otonomi ini.
Sejumlah teoritis dan peneliti kontemporer menyatakan bahwa otonomi yang baik
berkembang dari hubungan orang tua yang positif dan supportif. Menurut mereka
hubungan orang tua yang supportif memungkinkan untuk mengungkapkan
perasaan positif dan negative, yang membantu perkembangan kompetensi social
dan otonomi yang berrtanggung jawab. Hasil penelitian Lamborn dan Steinberg
(1993) misalnya, menunjukkan bahwa perjuangan remaja untuk meraih otonomi
tampaknya berhasil dengan sangat baik dalam lingkungan keluarga serta simultan
yang memberikan dorongan dan kesempatan bagi remaja untuk memperoleh
kebebasan emosional. Sebaliknya, remaja yang tetap tergantung secara emosional
kepada orang tuanya mungkin dirinya selalu merasa enak, mereka terlihat kurang
kompeten, kurang percaya diri, kurang berhasil dalam belajar dan bekerja
dibanding dengan remaja yang mencapai kebebasan emosional (Dacey & 1997)
Belakangan, para ahli perkembangan mulai menjelajahi peran keterkaitan yang
aman (secure attachment) dengan orang tua terhadap perkembangan remaja.
Mereka yakin bahwa keterkaitan dengan orang tua pada masa remaja dapat
membantu kompetensi social dan kesejahteraan sosialnya, seperti tercermin dalam
cirri-ciri harga diri, penyesuaian emosional, dan kesehatan fisik. Misalnya, remaja
yang memiliki hubungan yang nyaman dan harmonis dengan orang tua mereka,
memiliki harga diri dan kesejahteraan emosional yang lebih baik. Sebaliknya,
ketidakdekatan emosional dengan orang tua berhubungan dengan perasaanperasaan akan penolakan oleh orang tua yang lebih besar serta perasaan lebih
rendahnya daya tarik social dan romantic yang dimiliki diri sendiri ( Santrock,
1995).
Dengan demikian, keterikatan dengan orang tua selama masa remaja dapat
berfungsi adaptis, yang menyediakan landasan yang kokoh dimana remaja dapat
menjelajahi dan menguasai lingkungan-lingkungan baru dan suatu dunia social
yang luas dengan cara-cara yang sehat secara psikologis. Keterikatan yang kokoh

10

dengan orang tua akan meningkatkan relasi dengan teman sebaya yang lebih
kompeten dan hubungan yang erat yang positif di lingkungan keluarga.
Keterikatan dengan orang tua yang kokoh juga dapat menyangga remaja dari
kecemasan dan perasaan-perasaan depresi sebagai akibat dari masa transisi dari
masa kanak-kanak menuju masa dewasa.
Begitu pentingnya faktor keterikatan yang kuat antara orang tua dan
remaja dalam menentukan arah perkembangan remaja, maka senantiasa harus
menjaga

dan

mempertahankan

keterikartan

ini.

untuk

mempertahankan

keterikatan atau kedekatan antara orang tua dengan anak remaja mereka, orang tua
harus membiarkan mereka bebas untuk berkembang. Hanya dengan cara
melepaskan mereka suatu kehidupan yang koeksistensi yang penuh kedamaian
dan makna antara orang tua dan ramaja dapat dicapai. Dengan perkataan lain,
bahwa ketika remaja menuntut otonomi, maka orang tua yang bijaksana harus
melepaskan kendali dalam bidang-bidang dimana ramaja dapat mengambil
keputusan-keputusan yang masuk akal, disamping terus memberikan bimbingan
untuk mengambil keputusan-keputusan yang masuk akal di mana pengetahuan
anak remajanya masih terbatas.
D. Hubungan Remaja Dengan Teman Sebaya
1. Hakikat Dasar Hubungan Teman Sebaya
a. Pengertian teman sebaya
Teman sebaya adalah anak-anak atau remaja dengan tingkat usia
atau tingkat kedewasaan yang sama.3
b. Fungsi Kelompok Teman Sebaya
Salah satu fungsi utama dari kelompok teman sebaya adalah untuk
menyediakan berbagai informasi mengenai dunia di luar keluarga. Dari
kelompok teman sebaya, remaja menerima umpan balik mengenai
kemampuan mereka.

3

John W. Santrock, ADOLESCENCE Perkembangan Remaja, (Jakarta: Eirlangga, 2003),
hal. 219.

11

Pengaruh teman sebaya dapat positif maupun negatif. Jadi,
hubungan teman sebaya yang baik diperlukan untuk perkembangan social
yang normal pada masa remaja.
c. Hubungan Keluarga Dengan Teman Sebaya pada Masa Remaja
Remaja tinggal di dunia orang tua dan teman sebaya yang
berhubungan, bukannya di dunia yang terpisah. Maka ikatan orang tua
yang aman berhubungan dengan hubungan teman sebaya yang positif, dan
sebaliknya.
d. Konformitas Teman Sebaya
Konformitas (conformity) muncul ketika individu meniru sikap
atau tingkah laku orang lain dikarenakan tekanan yang nyata maupun
yang dibayangkan oleh mereka.4 Tekanan ini berasal dari teman sebaya
dan ukuran lingkungan sosial. Selain remaja konformis ada juga remaja
Nonkonformis dan Anti-konformis. Nonkonformitas muncul ketika
individu mengetahui apa yang diharapkan oleh orang-orang di
sekitarnya, tapi mereka tidak menggunakan harapan tersebut untuk
mengarahkan tingkah laku mereka.5 Remaja ini sangat mandiri.
Sedangkan Anti-konformitas muncul ketika individu bereaksi menolak
terhadap harapan kelompok dan kemudian dengan sengaja menjauh dari
tindakan atau kepercayaan yang dianut oleh kelompok.6 Anti-konformis
masa kini antara lain “punks”.
Kekuatan tekanan sebaya terhadap remaja dapat diamati melalui
hampir tiap sisi kehidupan mereka, seperti gaya berpakaian, bahasa, dan
sebagainya. Orang tua, guru dan orang dewasa lainnya dapat membantu
remaja untuk menghadapi tekanan teman sebaya.
e. Popularitas, Pengabaian dan Penolakan Teman Sebaya
Setiap remaja ingin jadi populer. Popularitas di antara teman
sebaya memiliki beberapa kriteria, yaitu kemampuan mendengar,
komunikasi yang efektif, menjadi diri sendiri, bahagia, menunjukkan
4

Ibid, hal. 221.
Ibid, hal. 222.
6
Ibid, hal. 223.
5

12

antusias dan perhatian kepada orang lain, dan percaya diri tapi tidak
sombong. Berlainan dengan remaja yang populer, remaja yang diabaikan
menerima perhatian yang sedikit dari teman sebaya mereka, sementara
mereka yang ditolak tidak begitu disukai oleh teman sebaya mereka.
Risiko remaja yang diabaikan tidak jelas. Sementara remaja yang ditolak
berisiko terhadap masalah perkembangan. Oleh karena itu, program
pelatihan hendaknya diadakan dengan tujuan untuk meningkatkan
hubungan antar teman sebaya dari remaja yang diabaikan dan ditolak.
f. Pengetahuan sosial dan pemrosesan informasi.
Pengetahuan sosial dan pemrosesan informasi sosial berhubungan
dengan hubungan teman sebaya yang meningkat. Kenneth Dodge (1983)
menyatakan bahwa remaja melewati 5 tahap pemrosesan informasi sosial:
1) menerima isyarat sosial, 2) menginterpretasikan, 3) mencari respon, 4)
memilih respon yang optimal, dan 5) menghasilkan tindakan.
g. Strategi yang tepat untuk mencari teman di sekolah
-

Menciptakan interaksi

-

Bersikap menyenangkan

-

Tingkah laku prososial

-

Menghargai diri sendiri dan orang lain

-

Menyediakan dukungan sosial
Dan hindarilah agresi psikologi, sikap diri yang negatif dan tingkah laku
antisosial.

2. Persahabatan
a. Fungsi persahabatan
-

Kebersamaan dalam berbagai aktivitas.

-

Stimulasi, seperti informasi menarik, kegembiraan, dan menarik.

-

Dukungan fisik, seperti pertolongan.

-

Dukungan ego, seperti harapan dan feed back.

-

Perbandingan sosial.

-

Keakraban atau perhatian.

13

Berkaitan dengan hal di atas, Sullivan berpendapat bahwa dalam
hal perkembangan remaja, sahabat menjadi salah satu hal yang sangat
diandalkan untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan sosial dasar (seperti
kasih sayang, dan penerimaan) pada masa remaja, dan segala pengalaman
keberhasilan dan kegagalan dengan sahabat meningkatkan kondisi
kesejahteraan remaja.
b. Keakraban dan kesamaan
Ada dua karakteristik dari persahabatan yang umum. Pertama,
keakraban dalam persahabatan, yang secara sempit diartikan sebagai
pengungkapan diri atau membagi pikiran-pikiran pribadi. Keakraban
merupakan bagian penting dari persahabatan. Kedua, kesamaan, diartikan
sebagai kesamaan dalam umur, jenis kelamin, etnis, tujuan hidup,
lingkungan,

dan

faktor

lainnya.

Kesamaan

juga

penting

untuk

persahabatan.
c. Persahabatan beda usia
Remaja yang menjadi teman dekat individu yang lebih tua lebih
terlibat dalam tingkah laku yang menyimpang dibandingkan remaja yang
berteman dengan mereka yang berusia sama. Anak perempuan yang lebih
matang lebih awal bila dibandingkan dengan rekannya yang matang lebih
lambat, lebih memilih teman yang berusia lebih tua yang mendorong
dilakukannya tingkah laku menyimpang.
3. Kelompok remaja.
a. Fungsi Dari Kelompok
-

Memenuhi kebutuhan pribadi remaja

-

Memberi penghargaan kapada remaja

-

Memberikan informasi

-

Menaikkan harga diri

-

Memberikan mereka identitas

b. Pembentukan kelompok
Tiap kelompok di mana remaja di dalamnya, memiliki dua hal
umum yang sama pada tiap kelompok tersebut, yaitu: Pertama, Norma

14

(Norm), merupakan aturan yang berlaku pada seluruh anggota kelompok.7
Misal, tim futsal Muntasir mengharuskan anggotanya berlatih setiap
malam Minggu. Kedua, Peran (Role), yaitu posisi tertentu dalam
kelompok yang disusun oleh aturan-aturan dan harapan-harapan.8 Peran
menentukan bagaimana remaja harus bertingkah laku dalam posisi
tersebut.
c. Kelompok anak-anak dan Kelompok Remaja
Kelompok anak-anak merupakan kelompok yang tidak begitu
formal, tidak terlalu heterogen dan kurang heteroseksual dibandingkan
dengan kelompok remaja.
d. Perbedaan etnis dan Budaya
Agresi lebih besar diarahkan kepada anak yang berstatus rendah
pada kelompok kelas bawah. Pada hampir semua sekolah, kelompok
teman sebaya merupakan kelompok yang terpisah berdasarkan kelompok
etnis dan kelas sosial. Akan tetapi, hubungan antar teman sebaya
berlangsung pada situasi yang berbeda-beda. Remaja dari etnis minoritas
memiliki 2 bentuk teman sebaya, satu di sekolah dan satu lagi di
lingkungan masyarakat. Perhatian khusus diberikan kepada dukungan
teman sebaya terhadap orientasi keberhasilan dari remaja etnis minoritas.
Remaja etnis minoritas, khususnya imigran, lebih mengandalkan
kelompok teman sebaya daripada remaja kulit putih. Pada beberapa
budaya, anak-anak ditempatkan pada kelompok teman sebaya yang lebih
lama dan pada waktu yang lebih awal.
e. Klik
Klik berada di antara persahabatan dan kerumunan dalam hal
ukuran dan keakraban dalam hubungan teman sebaya. Kerumunan
(crowd) merupakan bentuk yang terbesar, diartikan secara luas, dan
hubungannya paling tidak bersifat personal di lingkungan teman sebaya
remaja. Anggota kerumunan bertemu karena minat yang sama dalam
7
8

Ibid, hal. 231
Ibid, hal. 233

15

sebuah aktivitas.9 Klik (Cliques) merupakan kelompok dengan jumlah
yang lebih besar dalam anggota dan lebih kohesif daripada kerumunan.
Namun klik memiliki ukuran yang lebih besar dan tingkat keakraban yang
lebih rendah daripada persahabatan.10 Keanggotaan pada klik tertentu
dihubungkan dengan meningkatnya harga diri.
f. Organisasi Kepemudaan.
Organisasi kepemudaan dapat memberikan pengaruh yang penting
ke dalam perkembangan remaja.
4. Kencan dan Hubungan Romantis
a. Fungsi kencan
Kencan memiliki beberapa fungsi, di antaranya sebagai bentuk
rekreasi, sumber status sosial dan keberhasilan, sebagai bagian dari proses
sosialisasi, melibatkan proses belajar tentang keakraban, menyediakan
situasi untuk kontak seksual, menyediakan kebersamaan, memberikan
sumbangan untuk perkembangan identitas dan menjadi sarana untuk
memilih dan menyeleksi pasangan.
b. Usia awal kencan dan alasan kencan
Kebanyakan remaja perempuan berkencan pertama kali, rata-rata,
pada usia 14 tahun dan para remaja laki-laki antara usia 14 dan 15.
Berpacaran menjadi hal yang lebih serius pada masa akhir remaja.
Kesamaan dan daya tarik merupakan alasan yang penting mengapa remaja
mau mengajak kencan seseorang. Validasi Konsensual menjelaskan
bahwa sikap dan tingkah laku dari remaja, didukung atau divalidasi
ketika sikap dan tingkah laku orang lain mirip dengan yang mereka
miliki.11 Hipotesa kecocokan menyatakan bahwa walaupun individu lebih
memilih seseorang yang terlihat lebih menarik, pada akhirnya mereka
akan memilih seseorang yang dekat dengan tingkat kemenarikan mereka.12
c. Pola dan aturan kencan
9

Ibid, hal. 236
Ibid, hal. 236
11
Ibid, hal. 242
12
Ibid, hal. 242
10

16

Wanita memunculkan minat yang kuat dalam pengungkapan
kepribadian dan diri sendiri, sementara para pria menunjukkan minat yang
kuat pada seksualitas. Aturan kencan pria bersifat proaktif, sedangkan
wanita reaktif.
d. Macam Cinta
Ada dua macam cinta, yaitu cinta romantis dan cinta kasih sayang.
Cinta romantis juga disebut cinta penuh nafsu atau eros; memiliki
dorongan seksual yang kuat dan komponen “tergila-gila”, dan ini lebih
sering awal berkembang pada bagian awal dari hubungan percintaan.13
Cinta kasih sayang disebut cinta kebersamaan yang muncul saat adanya
keinginan individu untuk memiliki orang lain secara dekat dan mendalam,
dan memberikan kasih sayang untuk orang tersebut.14 Cinta romantis lebih
kuat pada masa remaja dan kuliah, sedangkan cinta kasih sayang pada
masa pertengahan dan akhir dewasa dan lebih mengarakteristikkan tahap
yang lebih lanjut dari cinta.

BAB III
13
14

Ibid, hal. 243.
Ibid, hal. 243.

17

PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Dari pemaparan dalam BAB II, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Baik perilaku menyimpang maupun perilaku bermasalah, rentan dilakukan
oleh para remaja;
2. Resiliensi sangat diperlukan setiap remaja, agar eksistensinya diakui;
3. Hubungan remaja dengan orang tua dan teman sebaya sangat menentukan
perilakunya, maka hubungan yang baik sangat diperlukan adanya.
B. Saran
1. Kepada pembaca untuk lebih banyak membaca dari buku atau artikel
lainnya mengenai tema makalah ini, karena makalah ini hanya mengambil
referensi dari 3 sumber.
2. Kepada pembaca dan dosen pengampu untuk memberikan feed back.

DAFTAR PUSTAKA

18

Desmita. 2008. Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Santrock, John W. 2003. Adolescence Perkembangan Remaja. Eirlangga: Jakarta.
Yusuf, Syamsu. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. PT Remaja Rosdakarya:
Bandung.

19