BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gizi 2.1.1. Definisi Gizi - Hubungan Status Gizi dengan Prestasi Belajar Siswa Siswi Kelas 5 SD Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah Medan
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gizi
2.1.1. Definisi Gizi
Gizi adalah asupan makanan yang sesuai dengan kebutuhan diet tubuh. Gizi
baik adalah keseimbangan antara asupan makanan dan aktivitas fisik. Kurang gizi dapat menyebabkan kekebalan tubuh berkurang, peningkatan kerentanan terhadap penyakit, gangguan perkembangan fisik dan mental, serta mengurangi produktivitas (WHO, 2013).
Gizi kurang didefinisikan sebagai asupan makanan yang tidak mencukupi dan menyebabkan terjadinya penyakit infeksi yang berulang. Dalam hal ini termasuk kurus untuk usia seseorang, terlalu pendek, dan kekurangan vitamin dan mineral (UNICEF, 2006).
Gizi lebih didefinisikan sebagai asupan nutrisi yang berlebihan atau makanan yang berlebihan dimana akhirnya mempengaruhi kesehatan yang dapat berkembang menjadi obesitas, yang meningkatkan risiko gangguan kesehatan yang serius, termasuk penyakit jantung, hipertensi, kanker dan diabetes tipe 2 (UNITE FOR SIGHT, 2012).
Status gizi adalah keadaan tubuh yang merupakan hasil akhir dari keseimbangan antara zat gizi yang masuk ke dalam tubuh dan penggunaannya (Cakrawati, 2012). Status nutrisi berbanding lurus dengan kesehatan tubuh dari individu (Goon et al, 2011).
2.1.2. Klasifikasi status nutrisi
Menurut DEPKES RI tahun 2010 kategori dan ambang batas status gizi anak adalah sebagai mana terdapat pada tabel dibawah ini:
Tabel 1. Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks Indeks Kategori Ambang Batas Status gizi (z-score) Gizi Buruk < -3 SD Berat Badan menurut Umur Gizi Kurang -3 SD sampai dengan < -2 SD
(BB/U) 0 – 60 Bulan Gizi Baik -2 SD sampai dengan 2 SD Gizi Lebih > 2SD Sangat Pendek < -3 SD Panjang Badan menurut Umur Pendek -3 SD sampai dengan < -2 SD
(PB/U) atau Tinggi Badan Normal -2 SD sampai dengan 2 SD menurut Umur (TB/U) 0 – 60 Tinggi > 2SD Bulan Berat Badan menurut Panjang Sangat Kurus < -3 SD Badan (BB/PB) atau Berat Kurus -3 SD sampai dengan < -2 SD Badan menurut Tinggi Badan Normal -2 SD sampai dengan 2 SD (BB/TB) Umur 0 – 60 Bulan Gemuk > 2 SD Sangat Kurus < -3 SD
Kurus -3 SD sampai dengan < -2 SD Indeks Massa Tubuh menurut Normal -2 SD sampai dengan 2 SD Umur (IMT/U) 0 – 60 Bulan
Gemuk > 2 SD Sangat Kurus < -3 SD Indeks Massa Tubuh menurut Kurus -3 SD sampai dengan < -2 SD Umur (IMT/U) 5 – 18 Tahun Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Gemuk >1 sampai dengan 2 SD Obesitas >2 SD
Sumber: Depkes RI 2013
2.1.3. Faktor – faktor yang mempengaruhi status gizi
A. Faktor Eksternal Faktor eksternal yang mempengaruhi status gizi antara lain: 1)
Pendapatan Masalah gizi karena kemiskinan indikatornya adalah taraf ekonomi keluarga, yang hubungannya dengan daya beli yang dimiliki keluarga tersebut (Santoso, 1999). 2)
Pendidikan Pendidikan gizi merupakan suatu proses merubah pengetahuan, sikap, dan perilaku orang tua atau masyarakat untuk mewujudkan status gizi baik (Suliha, 2001). 3)
Pekerjaan Pekerjaan adalah sesuatu yang harus dilakukan terutama untuk menunjang hidup keluarganya. Bekerja umumnya merupakan kegiatan yang menyita waktu. Bekerja bagi ibu – ibu akan mempunyai pengaruh terhadap keluarga (Markum, 1991).
4) Budaya
Budaya adalah suatu ciri khas, akan mempengaruhi tingkah laku dan kebiasaan (Soetjiningsih, 1998).
B. Faktor Internal Faktor internal yang mempengaruhi status gizi antara lain:
1) Usia
Usia akan mempengaruhi kemampuan atau pengalaman yang dimiliki orang tua dalam pemberian nutrisi anak balita (Nursalam, 2001).
2) Jenis Kelamin
Jenis kelamin sepertinya mempengaruhi status nutrisi dari segi genetik (Felix, 2010).
3) Kondisi Fisik
Mereka yang sakit, yang sedang dalam penyembuhan dan lanjut usia, semuanya memerlukan pangan khusus karena status kesadaran mereka yang buruk. Bayi dan anak – anak yang kesehatannya buruk, adalah sangat rawan, karena pada periode hidup ini kebutuhan zat gizi digunakan untuk pertumbuhan cepat. 4)
Infeksi Infeksi dan demam dapat menyebabkan menurunnya nafsu makan atau menimbulkan kesulitan menelan dan mencerna makanan (Suhardjo, et, all, 1986).
2.1.4. Masalah gizi anak usia sekolah
Ada beberapa masalah gizi yang terjadi pada anak usia sekolah dalam buku Peranan Gizi dalam Siklus Kehidupan tahun 2012, antara lain: 1.
Anemia defisiensi besi Keadaan ini terjadi, karena terlalu sedikit kandungan zat besi dalam makanan yang dikonsumsi terutama pada anak yang sering jajan sehingga mengendurkan keinginan untuk menyantap makanan lain (Adriani, 2012) 2. Penyakit Defisiensi Yodium
Salah satu gambaran penyakit kekurangan yodium adalah pembesaran kelenjer gondok yang disebut penyakit gondok oleh awam atau nama ilmiahnya struma simpleks (Adriani, 2012).
3. Karies gigi
Karies gigi sering terjadi pada anak, karena terlalu sering makan cemilan yang lengket dan banyak mengandung gula. Karies yang terjadi pada gigi sulung memang tidak berbahaya, namun kejadian ini biasanya terus berlangsung sampai anak menjadi dewasa. Gigi yang berlubang akan menyerang gigi yang permanen bahkan sebelum gigi tersebut menembus gusi (Adriani, 2012).
4. Berat badan berlebih (Obesitas) Jika tidak teratasi, berat badan berlebih akan berlanjut sampai remaja dan dewasa. Sama seperti pada orang dewasa, kelebihan berat badan terjadi karena ketidakseimbangan antara energi yang masuk dengan energi yang keluar. Berbeda dengan dewasa, berat badan anak tidak boleh diturunkan, karena penyusutan berat akan sekaligus menghilangkan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan. Laju pertumbuhan berat selayaknya dihentikan atau diperlambat sampai proporsi berat badan terhadap tinggi badan kembali normal. Perlambatan ini dicapai dengan cara mengurangi makan dan memperbanyak olahraga (Adriani, 2012).
5. Berat Badan Kurang Kekurangan berat yang berlangsung pada anak yang sedang tumbuh merupakan masalah serius. Kondisi ini mencerminkan kebiasaan yang buruk. Sama seperti masalah kelebihan berat, langkah penanganan harus didasarkan kepada penyebab serta kemungkinan pemecahannya (Adriani, 2012).
2.1.5. Pemeriksaan antropometri
Antropometri adalah pengukuran dimensi tubuh manusia dalam hal ini dimensi tulang, otot, dan jaringan lemak (Hendarto, 2011). Antropometri saat ini telah digunakan untuk menilai status nutrisi, kesehatan, dan perkembangan dari anak (Srivastava, 2012). Ada beberapa dasar pengukuran tinggi dan berat badan, berdasarkan buku Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metabolik tahun 2011, ukuran – ukuran yang lazim digunakan dalam menilai tumbuh kembang anak, antara lain:
1. Tinggi badan Panjang badan diukur dengan menggunakan papan pengukur panjang untuk anak dibawah 2 tahun atau PB kurang dari 85 cm. Pengukuran panjang badan dilakukan oleh 2 orang pemeriksa. Pemeriksa pertama memposisikan sang bayi agar lurus dipapan pengukur sehingga kepala sang bayi agar lurus di papan pengukur sehingga kepala sang bayi menyentuh papan penahan kepala dalam posisi bidang datar. Pemeriksa kedua menahan agar lutut dan tumit sang bayi menempel dengan papan penahan kaki (Hendarto, 2011).
Untuk anak yang dapat berdiri tanpa bantuan dan kooperatif, tinggi badan diukur dengan menggunakan stadiometer, yang memiliki penahan kepala yang bersudut 90 terhadap stadiometer yang dapat digerakkan. Sang anak diukur dengan telanjang kaki atau dengan kaus kaki tipis dan dengan pakaian minimal agar pengukur dapat memeriksa apakah posisi anak tersebut sudah benar. Saat pengukuran sang anak harus berdiri tegak, kedua kaki menempel, tumit, bokong, dan belakang kepala menyentuh stadiometer, dan menatap kedepan pada bidang datar (Hendarto, 2011).
2. Berat badan Berat badan diukur dengan menggunakan timbangan berat badan.
Sampai anak berumur 24 bulan atau berdiri sendiri, maka digunakan timbangan bayi. Sebelum menimbang, timbangan dikalibrasi sehingga jarum menunjuk angka nol. Pada saat melakukan penimbangan, sebaiknya menggunakan pakaian seminimal mungkin. Berat badan dicatat dengan ketelitian 0,01 Kg pada bayi dan 0,1 Kg pada anak yang lebih besar (Hendarto, 2011).
3. Lingkar kepala Lingkar kepala diukur dengan menggunakan pita pengukur fleksibel yang tidak dapat diregangkan. Panjang lingkar sebaiknya diambil dari lingkar maksimum dari kepala, yaitu diatas tonjolan supraorbital dan melingkari oksiput. Saat pengukuran harus diperhatikan agar pita pengukur tetap datar pada permukaan kepala dan paralel di kedua sisi. Pengukuran dicatat dengan ketelitian sampai 0,1 cm (Hendarto, 2011).
4. Lingkar lengan atas (LILA) Untuk pengukuran LILA, anak harus berdiri tegak lurus dengan lengan dilemaskan disisi tubuh. Pita ukur yang fleksibel dan tidak dapat diregangkan diletakkan tegak lurus dengan aksis panjang dari lengan, dirapatkan melingkari lengan, dan dicatat dengan ketelitian sampai ke 0,1 cm. sebaiknya dilakukan 3 kali dan diambil nilai rata – ratanya (Hendarto, 2011).
5. Tebal lipatan kulit triseps (TLK) Dalam mengukur TLK, seorang anak harus dalam posisi tegak dengan lengan disisi tubuh. TLK diukur di pertengahan lengan atas, tepat ditengah otot triseps di lengan bagian belakang (diukur dan diberi tanda sebelumnya). Pengukur mencubit lemak dengan ibu jari dan jari telunjuk, sekitar 1 cm diatas titik tengah yang telah ditandai, dan dengan menempatkan caliper pada titik yang telah ditandai. Empat detik kemudian, caliper dilepaskan, hasil pengukuran diambil lalu caliper dilepaskan. Pengukuran sebaiknya dilakukan 3 kali, lalu diambil rata – ratanya (Hendarto, 2011).
2.2. Belajar
2.2.1. Definisi Belajar
Belajar adalah kegiatan berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan, hal ini berarti keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan sangat bergantung pada keberhasilan proses belajar siswa di sekolah dan lingkungan sekitarnya.
Pada dasarnya belajar merupakan tahapan perubahan perilaku siswa yang relatif positif dan mantap sebagai hasil interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif (Syah, 2003).
Hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar (Abdurrahman,1999). Dalam kegiatan pembelajaran, biasanya guru menetapkan tujuan belajar. Siswa yang berhasil dalam belajar adalah yang berhasil mencapai tujuan – tujuan pembelajaran atau tujuan intruksional.
Menurut Benjamin S. Bloom tiga ranah hasil belajar yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Menurut A.J. Romizowski hasil belajar merupakan keluaran (output) dari suatu sistem pemrosesan masukan (input). Masukan dari sistem tersebut berupa bermacam – macam informasi sedangkan keluarannya adalah perbuatan atau kinerja (performance) (Abdurrahman, 1999).
Untuk memperoleh hasil belajar, dilakukan evaluasi atau penilaian yang merupakan tindak lanjut atau cara untuk mengukur tingkat penguasaan siswa. Kemajuan prestasi belajar siswa tidak saja diukur dari tingkat penguasaan ilmu pengetahuan tetapi juga sikap dan keterampilan. Dengan demikian penilaian hasil belajar siswa mencakup segala hal yang dipelajari di sekolah, baik itu menyangkut pengetahuan, sikap, dan keterampilan.
Hasil belajar adalah segala sesuatu yang menjadi milik siswa sebagai akibat dari kegiatan belajar yang dilakukannya (Juliah, 2004). Menurut Hamalik (2003) hasil belajar adalah pola – pola perbuatan, nilai – nilai, pengertian – pengertian dan sikap – sikap, serta persepsi dan abilitas. Dari kedua pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian hasil belajar adalah perubahan tingkah laku siswa secara nyata setelah dilakukan proses belajar sesuai dengan tujuan pengajaran.
Tujuan belajar adalah sejumlah hasil belajar yang menunjukkan bahwa siswa telah melakukan perbuatan belajar, yang umumnya meliputi pengetahuan, keterampilan dan sikap – sikap baru, yang diharapkan dapat dicapai oleh siswa (Hamalik, 2005).
2.2.2. Faktor – faktor yang mempengaruhi belajar
Secara garis besar, Suryabrata (1989) menyatakan bahwa faktor – faktor yang mempengaruhi belajar dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
1. Faktor – faktor yang berasal dari dalam diri pembelajar, yang meliputi: (a) faktor – faktor fisiologis (b) faktor – faktor psikologis.
2. Faktor – faktor yang berasal dari luar diri pembelajar, yang meliputi: (a) faktor – faktor sosial (b) faktor – faktor non sosial. Faktor – faktor fisiologis yang mempengaruhi belajar mencakup dua hal, yaitu:
1. Keadaan jasmani pada umumnya. Keadaan jasmani yang segar akan siap dan aktif dalam belajarnya, sebaliknya orang yang keadaan jasmaninya lesu dan lemas akan mengalami kesulitan untuk menyiapkan diri dalam melakukan aktifitas belajar.
2. Keadaan fungsi – fungsi fisiologis tertentu. Keadaan fungsi – fungsi fisiologis tertentu, terutama kesehatan pancaindra merupakan alat untuk belajar. Karenanya, berfungsinya indra dengan baik merupakan syarat untuk dapatnya belajar itu berlangsung dengan baik. Indra yang terpenting dalam hal ini adalah mata dan telinga karena kedua indra inilah yang merupakan pintu gerbang masuknya berbagai informasi yang diperlukan dalam proses belajar.
Faktor – faktor psikologis yang mempengaruhi belajar antara lain mencakup: 1.
Minat, adanya minat terhadap objek yang dipelajari akan mendorong orang untuk mempelajari sesuatu dan mencapai hasil belajar yang maksimal. Karena minat merupakan komponen psikis yang berperan mendorong seseorarng untuk meraih tujuan yang diinginkan, sehingga ia bersedia melakukan kegiatan berkisar objek yang diminati.
2. Motivasi, motivasi belajar seseorang akan menentukan hasil belajar yang dicapainya. Bahkan dua orang yang sama, namun memiliki motivasi belajar yang berbeda. Maslow (dalam Frandsen, 1961) mengemukakan motif – motif belajar itu ialah: a.
Adanya kebutuhan fisik b.
Adanya kebutuhan akan rasa aman c. Adanya kebutuhan akan kecintaan dan penerimaan dari orang lain d.
Adanya kebutuhan untuk mendapat kehormatan e. Adanya kebutuhan untuk aktualisasi diri 3. Intelegensi, merupakan modal utama dalam melakukan aktivitas belajar dan mencapai hasil belajar yang maksimal. Orang berintelegensi rendah tidak akan mungkin mencapai hasil belajar yang melebihi orang yang berintelegensi tinggi.
4. Memori, kemampuan untuk merekam, menyimpan, dan mengungkapkan kembali apa yang telah dipelajari akan sangat membantu dalam proses belajar dan mencapai hasil belajar yang baik.
5. Emosi, penelitian tentang otak menunjukkan bahwa emosi yang positif akan sangat membantu kerja saraf otak untuk “merekatkan” apa yang dipelajari ke dalam memori (Goleman, 1995; LeDoux, 1993, MacLean, 1990). Karena informasi pelajaran yang dikirim ke pusat memori melalui amygdala sebagai pusat emosi berjalan tanpa halangan.
Faktor – faktor sosial yang mempengaruhi belajar merupakan faktor manusia baik manusia itu hadir secara langsung maupun tidak. Faktor ini mencakup:
1. Orang tua, diakui bahwa orang tua, fasilitas belajar yang disediakan, perhatian, dan motivasi merupakan dukungan belajar yang harus diberikan orang tua untuk kesuksesan belajar anak.
2. Guru, terutama kompetensi pribadi dan profesional guru sangat berpengaruh pada proses dan hasil belajar yang dicapai anak didik.
3. Teman – teman atau orang – orang di sekitar lingkungan belajar, kehadiran orang lain secara langsung maupun tidak langsung dapat berpengaruh buruk atau baik pada belajar seseorang.
Faktor – faktor non-sosial yang memengaruhi belajar merupakan faktor – faktor luar yang bukan faktor manusia yang memengaruhi proses dan hasil belajar, diantaranya: 1.
Keadan udara, suhu, dan cuaca. Keadaan udara dan suhu yang terlalu panas dapat membuat seseorang menjadi tidak nyaman belajar sehingga juga tidak mencapai hasil belajar yang maksimal.
2. Waktu. Sebagian besar orang lebih mudah memahami pelajaran di pagi hari dibanding siang dan sore hari.
3. Tempat. Seseorang biasanya sulit belajar ditempat yang ramai dan bising.
4. Alat – alat atau perlengkapan belajar. Dalam pembelajaran tertentu yang memerlukan alat, belajar tidak akan mencapai hasil yang maksimal jika tanpa alat tersebut.
2.3. Nutrisi dan Kognitif
Hubungan antara nutrisi dengan otak telah menjadi fokus dari banyak penelitian. Penelitian telah menunjukkan dampak asupan nutrisi terhadap fungsi otak. Pembawa pesan kimia dalam otak yang disebut neurotransmitter telah dipelajari dalam hubungannya dengan gizi. Growden dan Wurtman (1980) mengemukakan bahwa otak tidak bisa lagi dipandang sebagai organ otonom, bebas dari proses metabolisme lainnya di dalam tubuh; sebaliknya, otak perlu dipengaruhi oleh asupan nutrisi, konsentrasi asam amino dan kolin (dalam darah) yang merangsang otak untuk membentuk banyak neurotransmiter seperti serotonin, asetilkolin, dopamin, dan norepinefrin. Asupan nutrisi sangat penting untuk otak, yang fungsinya untuk membentuk asam amino dan kolin dalam jumlah yang tepat. Asam amino dan kolin merupakan dua molekul prekursor yang diperoleh dari darah yang dibutuhkan bagi otak untuk berfungsi secara normal. Hal ini tidak mengherankan jika apa yang kita makan langsung mempengaruhi otak (Colby-Morley,1981).
Wood didalam Kretsch et al. (2001) menunjukkan kemungkinan lebih lanjut bahwa nutrisi memiliki peran dalam mempengaruhi fungsi kognitif. Penelitian telah dilakukan pada anak usia sekolah untuk melihat korelasi langsung antara gizi buruk dan prestasi sekolah yang menurun. Zat besi memainkan peranan penting dalam fungsi otak. Kretsch et al. mengutip hasil penelitian yang dilakukan pada pria berusia 27-47 dan terbukti bahwa zat besi mempengaruhi konsentrasi. Skor yang rendah pada tes konsentrasi sejalan dengan rendahnya zat besi yang ada dalam tubuh. Penelitian dilakukan untuk melihat hubungan antara zat besi dengan konsentrasi anak; anak-anak dengan anemia defisiensi besi terbukti memiliki konsentrasi yang rendah. Kretsch et al. juga menemukan bahwa zinc adalah zat nutrisi lain yang ikut berperan dalam fungsi kognitif, khususnya memori. Dalam tes fungsi mental, peneliti menemukan bahwa kemampuan responden untuk mengingat kata - kata sehari - hari melambat secara signifikan setelah tiga minggu mengurangi konsumsi zinc (Wood, 2001).
Erickson (2006) menyebutkan lima zat nutrisi kunci, berdasarkan penelitian, diperlukan untuk menjaga agar otak berfungsi dengan baik. Keseluruhan zat ini dapat diperoleh dari makanan yang dikonsumsi. Protein dapat ditemukan dalam daging, ikan, susu, dan keju. Protein digunakan untuk membentuk sebagian besar jaringan tubuh, termasuk neurotransmitter pembawa pesan kimia yang membawa informasi dari satu sel otak ke sel-sel otak lainnya. Kurangnya protein, menyebabkan performa sekolah yang buruk dan menyebabkan anak-anak menjadi lesu, dan pasif, yang semuanya membantu mempengaruhi perkembangan sosial dan emosi anak.
Karbohidrat biasanya ditemukan dalam biji-bijian, buah-buahan, dan sayuran. Karbohidrat dipecah menjadi glukosa (gula) sehingga dapat digunakan otak sebagai sumber energi. Mengkonsumsi karbohidrat dalam jumlah yang banyak dapat menyebabkan seseorang merasa lebih tenang dan santai karena zat kimia otak yang disebut serotonin. Serotonin dibuat dalam otak melalui penyerapan dan konversi triptofan. Tryptophan diserap dalam darah dan penyerapan ini ditingkatkan dengan karbohidrat (Erickson, 2006).
Erickson juga menyebutkan bahwa lemak membentuk lebih dari 60% dari bagian otak dan bertindak sebagai kontrol aspek parsial contohnya suasana hati. Asam lemak omega-3 sangat penting untuk meningkatkan kinerja otak dan kurangnya lemak ini dapat menyebabkan depresi, memori lemah, IQ rendah, ketidakmampuan belajar, dan disleksia. Makanan penting untuk memastikan asupan asam lemak Omega-3 adalah ikan tertentu dan kacang-kacangan (Erickson,2006).
Erickson (2006) menyebut vitamin dan mineral sebagai zat penting untuk fungsi otak optimal. Yang paling penting adalah vitamin A, C, E, dan vitamin B kompleks. Mangan dan magnesium adalah dua mineral penting untuk fungsi otak; natrium, kalium dan kalsium berperan dalam transmisi pesan dan proses berpikir.