BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Obesitas - Hubungan Kebiasaan Konsumsi Makanan Cepat Saji (Fast Food) dengan Obesitas pada siswa Kelas V dan VI SD Shafiyyatul Amaliyyah Medan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Obesitas

  2.1.1. Definisi Obesitas Obesitas merupakan hasil akhir dari ketidakseimbangan antara ambilan energi dengan keluaran energi karena adanya ambilan yang melebihi keluaran dan menghasilkan penimbunan dalam jaringan dan disimpan sebagai cadangan energi tubuh. Penimbunan lemak secara berlebihan tersebut dapat menyebabkan gangguan kesehatan. (Batubara dkk., 2010).

  2.1.2. Etiologi Obesitas Menurut hukum termodinamik, obesitas terjadi akibat masukan dan pengeluaran energi yang tidak seimbang sehingga menyebabkan penimbunan dalam jaringan lemak dan disimpan sebagai cadangan energi tubuh. Asupan energi tinggi disebabkan oleh konsumsi makanan yang berlebihan, sedangkan keluaran energi rendah disebabkan oleh rendahnya metabolisme tubuh, aktifitas fisik, dan efek termogenesis makanan. Efek termogenesis makanan ditentukan oleh komposisi makanan. Lemak memberikan efek termogenesis lebih rendah (3% dari total energi yang dihasilkan lemak) dibandingkan dengan karbohidrat (6-7% dari total energi yang dihasilkan karbohidrat) dan protein (25% dari total energi yang dihasilkan protein) (Sjahrif dkk., 2011).

  Sebagian besar gangguan homeostasis energi ini disebabkan oleh faktor idiopatik (obesitas primer atau nutrisional) sedangkan faktor endogen (obesitas sekunder atau nonnutrisional, yang disebabkan oleh kelainan hormonal, sindrom, atau defek genetik), hanya mencakup kurang dari 10% kasus (Sjahrif dkk, 2011).

  Obesitas idiopatik (obesitas primer atau nutrisional) terjadi akibat interaksi multifaktorial. Secara garis besar faktor-faktor yang berperan tersebut dikelompokkan menjadi: (Sjahrif dkk., 2011)

  1. Faktor genetik Faktor genetik yang diketahui mempunyai peranan kuat adalah

  parental fatness , anak yang obesitas biasanya berasal dari keluarga

  yang obesitas. Obesitas sudah dapat terjadi sejak bayi, diperkirakan kemungkinan menetap sampai dewasa berkisar antara 8% pada obesitas batita dengan kedua orang tua tidak obesitas sampai 80% pada remaha usia 10-14 tahun dengan salah satu orang tua obesitas.

  Tujuh gen diketahu menyebabkan obesitas pada manusia yaitu gen leptin receptor, melanocortin receptor-4 (MC4R), alpha

  melanocyte stimulating hormone (alpha MSH), prohormone convertase-1 (PC1), leptin, Bardert-Biedl, dan Dunnigan Partial Lypodystrophy .

  2. Faktor lingkungan Kral (2001) mengelompokkan faktor lingkungan yang berperan sebagai penyebab terjadinya obesitas menjadi lima, yaitu nutrisional, aktivitas fisik, trauma (neurologis atau psikologis), medikasi (steroid), dan sosial-ekonomi.

  Peranan diet terhadap terjadinya obesitas sangat besar terutama diet tinggi kalori yang berasal dari karbohidrat dan lemak. Masukan energi tersebut lebih besar daripada energi yang dipergunakan. Anak-anak usia sekolah mempunyai kebiasaan mengonsumsi makanan cepat saji (fast food), yang umumnya mengandung energi tinggi karena 40-50% berasal dari lemak. Kebiasaan lain adalah mengonsumsi makanan camilan yang banyak mengandung gula sambil menonton televisi. Selain itu, anak-anak juga memiliki nafsu makan yang baik (Sjahrif dkk., 2011).

  Suatu data menunjukkan bahwa aktivitas fisik anak-anak cenderung menurun. Anak-anak lebih banyak bermain di dalam rumah dibandingkan di luar rumah, misalnya bermain games komputer maupun media elektronik lain, obesitas cenderung menurunkan aktivitas karena untuk mengurangi pergesekan antar kedua tungkai bagian atas dan antar lengan dan dada, paru dan jantung harus bekerja lebih berat untuk mengakomodasi kelebihan berat badan, dan terakhir peningkatan massa tubuh memerlukan tambahan energi untuk melakukan kegiatan yang sama (Sjahrif dkk., 2011).

  Perubahan pengetahuan, sikap, perilaku hidup, gaya hidup, dan pola makan, serta faktor peningkatan pendapatan, mampu mempengaruhi perubahan dalam pemilihan jenis makanan dan jumlah yang dikonsumsi. Kehidupan keluarga di perkotaan dewasa ini cenderung makan di luar rumah. Makanan jajanan yang tersedia dan sering menjadi pilihan orang tua maupun anak adalah makanan cepat saji (fast food) (Sjahrif dkk., 2011).

  Menurut Kliegman (2007), prediktor utama overweight dan obesitas pada anak adalah berat badan lahir, yang dihubungkan dengan obesitas maternal atau diabetes maternal. Orang tua yang obesitas meningkatkan risiko obesitas pada anak usia di bawah 10 tahun sebesar dua kali. Berdasarkan penelitian Reilly ad al (2005) tentang faktor risiko obesitas pada anak <7tahun dengan studi kohort, ditemukan ada beberapa faktor, seperti parental fatness, berat badan lahir tinggi, peningkatan berat badan pada tahun pertama kehidupan, durasi menonton televisi >8 jam/minggu, dan durasi tidur <10.5 jam pada usia 3 tahun.

  2.1.3. Hubungan Peningkatan Ambilan Makanan, Peningkatan Berat Badan, dan Peningkatan Energi Total

  Berlebihnya ambilan energi dibandingkan dengan keluarannya menyebabkan peningkatan berat badan dan obesitas disertai peningkatan enrgi total. Pengeluaran energi total terdiri dari metabolisme basal, termogenesis postprandial, dan aktivitas fisik. Diantara ketiga komponen ini, aktivitas fisik merupakan komponen yang paling praktis untuk diukur (Batubara dkk., 2010).

  Peningkatan ambilan makanan dapat meningkatan termogenesis setelah makan dan timbunan energi yang berpengaruh terhadap peningkatan massa lemak dan peningkatan sedikit masa bebas lemak yang mengakibatkan berat badan bertambah. Lemak bebas berpengaruh terhadap proses pengeluaran energi basal serta peningkatan berat badan. Adanya peningkatan energi untuk pergerakan bersama-sama dengan peningkatan proses termogenesis akan meningkatkan pengeluaran energi total (Batubara dkk., 2010).

  Ambilan energi dan keluaran energi ini pada keadaan tertentu misalnya dalam keadaan puasa dapat tidak seimbang sehingga diperlukan suatu senyawa cadangan jangka pendek seperti glikogen dan triasilgliserol. Tetapi bila ambilan lemak berlebih dalam waktu lama maka akan terjadi timbunan triasilgliserol dalam jaringan lemak (Batubara dkk., 2010).

Gambar 2.1. Hubungan Peningkatan Ambilan Makanan, Peningkatan Berat

  Badan, dan Peningkatan Energi Total

  Peningkatan ambilan makanan Peningkatan termogenesis postprandial Peningkatan timbunan energi

  Peningkatan Sedikit peningkatan massa lemak masa bebas lemak Peningkatan Peningkatan berat badan pengeluaran energi basal

  Peningkatan Peningkatan energi untuk pengeluaran energi pergerakan (aktivitas fisik) total

  Sumber: IDAI, 2010

  2.1.4. Diagnosis Obesitas Obesitas berarti terdapatnya timbunan lemak yang berlebih. Dari anamnesis perlu ditanyakan saat mulai timbulnya obesitas (prenatal, early adiposity rebound, remaja), riwayat tumbuh kembang yang mendukung obesitas endogen, keluhan mengorok (snoring), tidak tidur nyenyak, dan nyeri pinggul. Riwayat gaya hidup perlu digali mengenai pola makan/kebiasaan makan serta aktivitas fisik (misal sering menonton televisi). Riwayat keluarga dengan obesitas menjadi pertimbangan kemungkinan adanya faktor genetik, disertai risiko seperti penyakit kardiovaskuler di usia muda, hiperkolesterolemia, hipertensi, dan diabetes mellitus (Batubara dkk., 2010).

  Pada pemeriksaan fisik, dapat dibedakan bentuk tubuh berdasarkan distribusi jaringan lemaknya, yaitu apple shaped body (distribusi jaringan lemak banyak di bagian dada dan pinggang), dan pear shape body/gynecoid (distribusi jaringan lemak banyak di bagian pinggul dan paha). Secara klinis, anak obesitas mudah dikenali karena memiliki ciri-ciri yang khas, antara lain : wajah bulat dengan pipi tembem dan dagu rangkap, leher relatif pendek, dada membusung dan payudara membesar, perut membuncit, dan striae abdomen (Batubara dkk., 2010).

  Pengukuran antropometri seperti Indeks Massa Tubuh (IMT), berat badan/tinggi badan² (kg/m²), pengukuran lingkar perut atau pinggang, dan penaksiran lemak tubuh dengan mengukur tebal lipatan kulit pada tempat-tempat tertentu, dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis obesitas pada anak (UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik, 2011).

  Penentuan status nutrisi dilakukan berdasarkan berat badan (BB) menurut panjang badan (PB) atau tinggi badan (TB) (BB/PB atau BB/TB). Grafik pertumbuhan yang digunakan sebagai acuan adalah Grafik WHO 2006 untuk anak kurang dari 5 tahun dan Grafik CDC 2000 untuk anak lebih dari 5 tahun. Grafik WHO 2006 digunakan untuk usia 0 sampai 5 tahun karena mempunyai keunggulan metodologi dibandingkan CDC 2000. Subyek penelitian pada WHO 2006 berasal dari 5 benua dan mempunyai lingkungan yang mendukung untuk pertumbuhan optimal. Untuk usia di atas 5 tahun hingga 18 tahun digunakan Grafik CDC 2000 dengan pertimbangan Grafik WHO 2000 tidak memiliki grafik BB/TB (UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik, 2011).

Tabel 2.1. Penentuan Status Gizi menurut Kriteria Waterlow, WHO 2006, dan

  CDC 2000

  Status Gizi BB/TB (% BB/TB WHO

IMT CDC 2000

  Obesitas >120 >+3 >P95

  Overweight >110 >+2 hingga +3 SD P85-P95

  Normal >90 +2 SD hingga -2 P50-P85 SD

  Gizi kurang 70-90 <-2 SD hingga <-3 <P50 SD

  Gizi buruk <70 <-3 SD Sumber: UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik, 2011 Status gizi lebih, obesitas atau overweight ditentukan berdasarkan IMT.

  Bila pada hasil pengukuran didapatkan, terdapat potensi gizi lebih (>2 SD) atau BB/TB >110%, maka grafik IMT sesuai usia dan jenis kelamin digunakan untuk menentukan adanya obesitas. Untuk anak <2 tahun, menggunakan Grafik IMT WHO 2006 dengan kriteria overweight Z score >+2, obesitas >+3, sedangkan untuk anak usia 2-18 tahun menggunakan Grafik IMT CDC 2000. Ambang batas yang digunakan untuk overweight ialah di atas P85-P95 sedangkan untuk obsitas ialah lebih dari P95 Grafik CDC 2000 (UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik, 2011).

  2.1.5. Penatalaksanaan Obesitas Prinsip penatalaksanaan obesitas adalah mengurangi asupan energi serta meningkatkan keluaran energi dengan cara menentukan target berat badan, pengaturan diet, peningkatan aktivitas fisik, dan mengubah/modifikasi pola hidup. Tujuan tatalaksana obesitas adalah mengurangi indeks massa tubuh dan massa lemak, menormalkan toleransi glukosa, konsentrasi lemak plasma, fungsi ginjal, hepar, dan tekanan darah, mencegah atau mengatasi komorbiditas akut dan kronik (Batubara dkk., 2010).

Tabel 2.2. Komponen Keberhasilan Rencana Penurunan Berat Badan

  Komponen Komentar penurunan berat kg per bulan badan Pengaturan diet Nasihat diet yang mencantumkan jumlah kalori per hari dan anjuran komposisi lemak, protein,dan karbohidrat Aktivitas fisik Awalnya disesuaikan tingkat kebugaran anak dengan tujuan akhir 20-30 menit per hari di luar aktivitas fisik di sekolah Modifikasi perilaku Pemantauan mandiri, pendidikan gizi, mengendalikan rangsangan, memodifikasi kebiasaan makan, aktivitas fisik, perubahan perilaku, penghargaan, dan hukuman

  Keterlibatan Analisis ulang aktivitas keluarga, pola menonton televise, keluarga melibatkan orang tua dalam konsultasi gizi. Sumber: IDAI, 2011

  Anak masih bertumbuh dan berkembang maka prinsip pengaturan diet pada anak obesitas adalah diet seimbang sesuai dengan RDA. Secara garis besar prinsip pengaturan diet adalah menghindari obesitas serta mempertahankan berat badan dan pertumbuhan normal, masukan makanan dengan kandungan karbohidrat rendah (48% energi total), menurunkan masukan lemak (<30% energi total) dengan lemak tak jenuh (10% energi total), kolesterol tidak lebih dari 300mg per hari, meningkatkan makanan tinggi serat, makanan dengan garam cukup (5g per hari), meningkatkan masukan besi, kalsium, dan fluor (Sjahrif dkk., 2011).

  Pengaturan aktivitas fisik dapat dilakukan dengan melakukan latihan dan meningkatkan aktivitas harian. Aktivitas fisik mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap penggunaan energi. Peningkatan aktivitas pada anak obesitas dapat menurunkan nafsu makan dan meningkatkan laju metabolisme. Latihan aerobik teratur yang dikombinasikan dengan pengurangan energi akan menghasilkan penurunan berat badan yang lebih besar dibandingkan hanya diet saja. Aktivitas sehari-hari dioptimalkan, misalnya berjalan kaki atau bersepeda ke sekolah, menempati kamar tingkat agar naik turun tangga, mengurangi lama menonton televisi atau bermain games komputer, menganjurkan bermain di luar rumah. Dianjurkan melakukan aktivitas fisik sedang selama 20-30 menit setiap hari (Sjahrif dkk., 2011).

  Anak di bawah usia 2 tahun tidak dianjurkan diet, akan tetapi pada anak dengan usia di atas 2 tahun dengan adanya komplikasi penurunan berat badan secara berkala direkomendasikan. Penurunan berat badan pada 20% anak dengan obesitas dapat dicapai dengan hanya melakukan restriksi beberapa makanan tertentu seperti soda, jus, dan kelebihan susu dari dietnya. Peran keluarga sangat besar dalam mengubah pola makan yang sehat, sebaiknya makanan dengan nilai kalori tinggi dihindarkan seperti es krim, makanan gorengan, chips, dll, bahkan dengan hanya mengurangi asupan makanan sebanyak 100 kkal perhari dapat mengurangi berat badan sekitar 5 kg pertahunnya (Batubara dkk., 2010).

2.2. Makanan Cepat Saji (Fast Food)

  Makanan cepat saji (fast food) mulai dikenal sejak abad ke 19 di Amerika Serikat, saat era industri mulai tumbuh dimana terjadi perubahan budaya dari budaya agraris yang longgar dalam penggunaan waktu, menuju budaya industri yang ketat dalam soal penggunaan waktu. Sebagai solusi untuk dapat mengefisenkan waktu mereka, muncullah makanan cepat saji (fast food) (Sari, dkk., 2008).

  Kemudahan memperoleh makanan cepat saji (fast food), peningkatan jam kerja orang tua, dan kegiatan anak sekolah yang berlebihan membuat makanan cepat saji (fast food) menjadi makanan pokok sebagian besar keluarga di Amerika. Satu per tiga anak di Amerika memakan makanan cepat saji (fast food) setiap hari. Satu porsi cemilan dapat mengandung 2000 kkal, 84g lemak, dan hanya 12g fiber. Pola hidup tersebut tentunya meningkatkan risiko overweight dan obesitas (Kliegman dkk., 2007).

  2.2.1. Definisi Makanan Cepat Saji (Fast Food) Menurut Sulistijani (2002) dalam Tarigan (2011), makanan cepat saji (fast food) didefinisikan sebagai makanan yang tersedia dalam waktu cepat dan siap untuk dikonsumsi, seperti ayam goreng kentucky, pizza, spaghetti, dan lain-lain.

  2.2.2. Jenis Makanan Cepat Saji (Fast Food) Berikut ini beberapa makanan siap saji (fast food) yang paling populer di seluruh dunia yang berasal dari beberapa negara, diantaranya adalah sebagai berikut: (Sihaloho, 2012) 1.

  Hamburger

  Hamburger (atau seringkali disebut dengan burger) adalah sejenis

  makanan berupa roti berbentuk bundar yang diiris dua dan ditengahnya diisi dengan patty yang biasanya diambil dari daging, kemudian sayur- sayuran berupa selada, tomat dan bawang bombay. Hamburger berasal dari negara Jerman. Saus diberi berbagai jenis saus seperti mayones, saus tomat dan sambal. Beberapa varian burger juga dilengkapi dengan keju, asinan, serta bahan pelengkap lain seperti sosis.

  2. Pizza Pizza adalah adonan roti yang umumnya berisi tomat, keju, saus dan bahan lain sesuai selera. Pizza pertama kali populer di negara Italia.

  3. Kentang goreng (French fries) Kentang goreng adalah hidangan yang dibuat dari potongan - potongan kentang yang digoreng dalam minyak goreng panas. Kentan goreng berasal dari negara Belgia. Kentang goreng bisa dimakan begitu saja sebagai makanan ringan, atau sebagai makanan pelengkap hidangan utama. Kentang goreng memiliki kandungan glukosa dan lemak yang cukup tinggi.

  4. Ayam goreng Kentucky Ayam goreng kentucky pada umumnya jenis makanan siap saji (fast food) yang umum dijual di restoran makanan siap saji. Ayam goreng kentucky umumnya memiliki protein, kolesterol dan lemak.

  5. Spaghetti

  Spaghetti berasal dari Italia, namun sudah popular di Indonesia. Spaghetti

  adalah mie Italia yang berbentuk panjang seperti lidi, yang umumnya di masak 9-12 menit di dalam air mendidih dengan tambahan daging diatasnya.

  6. Hot Dog Hot dog merupakan makanan siap saji berupa sosis yang diselipkan dalam

  roti. Mustard, saus tomat, bawang dan mayones dapat melengkapi isiannya. Yang tergolong dalam makanan cepat saji modern antara lain hamburger, ayam goreng kentucky, pizza, spagehetti, chicken nugget. kentang goreng (french

  

fries) , donat dan makanan cepat saji yang tradisional adalah mie instant, bakso,

mie ayam, gorengan, dan siomay (Tarigan, 2011).

  2.2.3. Kandungan Gizi Makanan Cepat Saji (Fast Food) Menurut penelitian Mulyani (2005) dalam Tarigan (2011), kandungan nilai gizi dari beberapa jenis makanan cepat saji (fast food) yang saat ini banyak dikonsumsi oleh masyarakat karena pengaruh tren globalisasi: 1.

  Komposisi gizi Pizza (100 g) Kalori (483 KKal), Lemak (48 g), Kolesterol (52 g), Karbohidrat (3 g), Gula (3 g), Protein (3 g).

  2. Komposisi gizi Hamburger (100 g) Kalori (267 KKal), Lemak (10 g), Kolesterol (29 mg), Protein (11 g), Karbohidrat (33 g), Serat kasar (3 g), Gula (7 g).

  3. Komposisi gizi Donat (I bh = 70 g) Kalori (210 Kkal), Lemak (8 g), Karbohidrat (32 g), Serat kasar (1 g), Protein (3 g), Gula (11 g), Sodium (260 mg).

  4. Komposisi gizi ayam goreng Kentucky (100 g) Kalori (298 KKal), Lemak (16,8 g), Protein (34,2 g), Karbohidrat (0,1 g).

  5. Siomay 170 gr 162 kalori 6.

  Mie bakso sepiring 400 kalori 7. Chicken nugget 6 potong: 250 kalori

  Protein 15,5%, Lemak 9,7%, Karbohidrat 66,7% 8. Mie Instant (1 bungkus) 330 Kalori 9.

  Kentang goreng mengandung 220 kalori

  2.2.4. Dampak Makanan Cepat Saji (Fast Food) Terhadap Kesehatan Bahaya makanan cepat saji (fast food) yang telah dijabarkan oleh peneliti ilmiah dari beberapa ilmiah pakar serta pemerhati nutrisi adalah sodium (Na). Untuk ukuran orang dewasa, sodium yang aman jumlahnya tidak boleh lebih dari 3300 mg. Inilah sama dengan 1 3/5 sendok teh. Sodium yang banyak terdapat dalam makanan cepat saji (fast food) dapat meningkatkan aliran dan tekanan darah sehingga bisa membuat tekanan darah tinggi. Tekanan darah tinggi juga akan berpengaruh munculnya gangguan ginjal, penyakit jantung dan stroke. Lemak jenuh yang juga banyak terdapat dalam makanan cepat saji (fast food) yang berbahaya bagi tubuh karena zat tersebut merangsang organ hati untuk memproduksi banyak kolesterol. Kolesterol sendiri didapat dengan dua cara, yaitu oleh tubuh itu sendiri dan ada juga yang berasal dari produk hewani yang kita makan dan dimasak terlalu lama. Kolesterol banyak terdapat dalam daging, telur, ayam, ikan, mentega, susu dan keju. Bila jumlahnya banyak, kolesterol dapat menutup saluran darah dan oksigen yang seharusnya mengalir ke seluruh tubuh.

  Tingginya jumlah lemak jenuh dalam makanan cepat saji (fast food) akan menimbulkan kanker, terutama kanker usus dan kanker payudara (Septiyani, 2011).

  2.2.5. Upaya Mengurangi Dampak Makanan Cepat Saji (Fast Food) Menurut Lubis (2009) dalam Tarigan (2011), ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk meminimalisasi dampak dari makanan cepat saji (fast food), yaitu: 1.

  Bukan larangan yang menakutkan atau suatu keharusan menghindari makanan cepat saji (fast food). Walaupun hidangan yang akan dinikmati umumnya mengandung garam dan lemak tinggi, sebenarnya jenis makanan cepat saji (fast food) beresiko yang identik dengan ayam goreng Kentucky juga memliki kandungan protein yang cukup tinggi. Bila harus 1 atau 2 kali dalam sebulan atau 1 kali dalam seminggu hendak menikmati makanan ayam goreng Kentucky cukup aman dilakukan. Tetapi, apabila frekuensi menikmati makanan ini dilakukan lebih sering lagi, maka sebaiknya ketika menyantap sajian ini hendaknya disertai dengan mengonsumsi sayuran dan buah-buahan.

2. Anjuran yang paling cocok bagi penggemar makanan cepat saji (fast

  food) adalah mengimbangi konsumsi makanan tinggi lemak protein

  dengan makanan tinggi serat seperti sayuran, baik yang disajikan dalam bentuk mentah misalnya lalapan atau dalam bentuk olahan seperti sop atau salad dari berbagai sayuran dan buah-buahan.

  3. Dianjurkan meminum air putih 8-10 gelas per hari untuk mengimbangi minuman bersoda tinggi. Disamping itu, untuk mengurangi risiko makanan cepat saji (fast food) yang mengandung tinggi lemak dan tinggi kadar garamnya agar mengurangi porsi makanan atau memilih makanan dalam porsi kecil. Kemudian, membagi porsi itu dengan rekan atau teman. Dan jangan lupa untuk berolahraga secara disiplin dan teratur. Bagi pecinta makanan cepat saji (fast food) hendaknya memulai sarapan pagi dengan menu sehat seperti jus buah, susu rendah lemak atau sereal tinggi serat, dan jangan lupa mengonsumsi sayuran. Asupan makanan yang mengandung tinggi serat sangat bermanfaat dan dapat membantu memperlambat rasa lapar, sehingga akan menekan keinginan untuk mengonsumsi makanan berlemak atau paling tidak hasrat untuk menikmati akan tertunda.

2.3. Hubungan Makanan Cepat Saji (Fast Food) terhadap Obesitas

  Hubungan antara konsumsi makanan cepat saji (fast food) dengan obesitas dikaitkan oleh fakta bahwa makanan cepat saji (fast food) memiliki indeks glikemik dan densitas energi yang tinggi (Rosenheck, 2008 dan Rouhani dkk, 2012). Makanan dengan indeks glikemik akan meningkatkan konsentrasi gula darah dan akan mempengaruhi regulasi nafsu makan melalui hormon yang akan menstimulasi rasa lapar. Pada hari ketika anak mengonsumsi makanan cepat saji

  (fast food), densitas energi per gram dan level energi dari diet akan meningkat,

  dimana bersamaan dengan hal ini, konsumsi dari sayur dan buah menjadi menurun, menjadi diet tersebut menjadi kurang sehat jika dibandingkan dengan hari ketika tidak mengonsumsi makanan cepat saji (fast food) (Paeratakul ad al, 2003).

  Semakin tinggi indeks glikemik, semakin tinggi kadar glukosa di dalam darah, dan akan semakin banyak insulin yang akan diproduksi untuk dapat menyalurkan glukosa ke dalam sel, yang menyebabkan peningkatan yang sangat tinggi pada insulin, sehinga dapat terjadi inflamasi, penambahan berat badan, peningkatan hormon, bahkan dapat menyebabkan resistensi insulin. Resistensi insulin menyebabkan peningkatan glukosa plasma dan keadaan ini akan merangsang lagi peningkatan sekresi insulin oleh pankreas sehingga mengakibatkan terjadinya hiperinsulinemia lebih lanjut. Keadaan hiperinsulinemia ini akan merangsang sekresi enzim LPL sehingga penimbunan lemak dalam adiposit akan makin bertambah dan proses terjadinya obesitas pun akan berlangsung terus. Di samping terus berlangsungnya proses obesitas, hiperinsulinemia ini akan menyebabkan perubahan profil lipid dan hipertensi, dua hal yang merupakan risiko utama penyakit kardiovaskular di masa dewasa (Batubara dkk., 2010).

Dokumen yang terkait

Perilaku Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Tentang Konsumsi Makanan Siap Saji (Fast Food) Medan Tahun 2015

8 136 147

Perilaku Makan Siap Saji (Fast Food) dan Kejadian Obesitas pada Remaja Putri di SMAN 1Barumun Kecamatan Barumun Kabupaten Padang Lawas Tahun 2014

4 54 114

Hubungan Kebiasaan Konsumsi Makanan Cepat Saji (Fast Food) dengan Obesitas pada siswa Kelas V dan VI SD Shafiyyatul Amaliyyah Medan

8 93 83

Hubungan Frekuensi Konsumsi Makanan Cepat Saji dengan Status Gizi pada Remaja Usia 13-15 tahun di SMP St.Yoseph Medan

8 89 73

Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Kebiasaan Konsumsi Makanan Cepat Saji (Fast Food) Siswa SMAN 2 Jember

0 10 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Hubungan Usia Saat Menarche dengan Pola Siklus Menstruasi dan Dismenorea Remaja Putri di SMP Shafiyyatul Amaliyyah Medan

0 0 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Makan Remaja - Perilaku Makan Siap Saji (Fast Food) dan Kejadian Obesitas pada Remaja Putri di SMAN 1Barumun Kecamatan Barumun Kabupaten Padang Lawas Tahun 2014

0 1 21

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Perilaku Makan Siap Saji (Fast Food) dan Kejadian Obesitas pada Remaja Putri di SMAN 1Barumun Kecamatan Barumun Kabupaten Padang Lawas Tahun 2014

0 1 7

Perilaku Makan Siap Saji (Fast Food) dan Kejadian Obesitas pada Remaja Putri di SMAN 1Barumun Kecamatan Barumun Kabupaten Padang Lawas Tahun 2014

0 0 13

Hubungan Kebiasaan Konsumsi Makanan Cepat Saji (Fast Food) dengan Obesitas pada siswa Kelas V dan VI SD Shafiyyatul Amaliyyah Medan

0 0 28