BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Arsitektur - Kajian Potensi Pengembangan Rumah-Hotel di Kawasan Permukiman Kelurahan Aur

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Arsitektur

  Arsitektur dan pariwisata memiliki keterkaitan yang erat. Salah satu cakupan arena pariwisata adalah aspek arsitektural dan perencanaan yang meliputi kawasan, tata ruang, daya tarik, strategi, kebijakan dan program. Dilihat dari sudut pandang keruangan, pariwisata merupakan bentuk kegiatan dari sebuah pergerakan manusia yang melakukan perjalanan lintas wilayah dan lintas nilai yang akhirnya bermuara pada penciptaan pola dan sistem aksesibilitas, akomodasi, sarana prasarana, dan berbagai fasilitas pendukung lainnya. Selain menfasilitasi aset-aset pariwisata dan mengorganisir aktivitas, arsitektur juga menciptakan identitas dan menghasilkan imagery and, iconography yang berhubungan dengan branding pariwisata (Nuryanti, 2009; Deda, 2011).

  Seiring dengan meningkatnya kepedulian terhadap isu-isu keberlanjutan

  (sustainability) , pelestarian lingkungan maupun warisan budaya (heritage),

  pariwisata telah mengalami pergeseran paradigma dari jenis wisata massal (mass

  

tourism) yang bertumpu di sumbu 3S (sun, sand, sea) ke arah pariwisata yang

  lebih mengutamakan pengayaan pengalaman dan wawasan (quality tourism) yang bertumpu di sumbu 3E (education, entertainment, environment). Jenis wisata yang mengutamakan kualitas cenderung memiliki dampak negatif yang lebih kecil karena wisatawan memperlihatkan motivasi yang berorientasi pada pengayaan pengalaman batin yang mendalam, menghargai pelestarian dan kelokalan

  8

  

(locality) . Oleh karena itu, pariwisata dengan sumber daya arsitektur warisan

  budaya (heritage) terus-menerus diprediksikan akan menjadi inspirasi dan tulang punggung perekonomian dunia, baik komponen berwujud (tangible) seperti bangunan historis, kawasan kota lama, struktur desa tradisional, maupun komponen tak berwujud (intangible) seperti cara hidup, tradisi, seni pertunjukan adat, atau kerajinan tradisional (Çetin, 2010; Nuryanti, 2009).

  Hal penting lainnya adalah kegiatan kepariwisataan sebagai suatu industri jasa yang bersifat ramah lingkungan di dalam proses pembangunannya dibatasi oleh persyaratan-persyaratan yang ketat bagi kegiatan eksploitasi dan alokasi sumber dayanya dibandingkan dengan sektor lain, sehingga pariwisata bisa dimanfaatkan sebagai alat yang sangat efektif untuk menggerakkan pembangunan yang berkelanjutan (Nuryanti, 2009).

  Menurut Pawitro (2011), secara garis besar pembangunan berkelanjutan dapat diartikan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengancam atau memberi dampak negatif pada pemenuhan kebutuhan generasi mendatang. Terdapat tiga (3) pilar utama dalam konsep pembangunan keberlanjutan, yakni: 1.

  Pilar Lingkungan: Aspek integritas ekosistem, aspek daya dukung lingkungan, aspek keanekaragaman hayati.

  2. Pilar Ekonomi: Aspek pertumbuhan ekonomi, aspek tingkat produktivitas ekonomi, aspek trickle down effect (efek menetes ke bawah atau pemerataan).

  3. Pilar Sosial-Masyarakat: Aspek pemberdayaan masyarakat, aspek aksesibilitas pada lingkungan masyarakat, aspek identitas budaya setempat, dan aspek kesetaraan sosial dalam masyarakat. Arsitektur berkelanjutan merupakan konsekuensi dari komitmen internasional tentang pembangunan berkelanjutan karena arsitektur berkaitan erat dengan pembangunan dan fokus perhatiannya mengarah kepada faktor manusia dengan menitikberatkan pada pilar utama konsep pembangunan berkelanjutan yaitu aspek lingkungan binaan dengan pengembangan lingkungannya, di samping pilar pembangunan ekonomi dan sosial. Berbagai konsep dalam arsitektur yang mendukung arsitektur berkelanjutan, antara lain dalam efisiensi penggunaan energi, efisiensi penggunaan lahan, efisisensi penggunaan material, penggunaan teknologi dan material baru, dan manajemen limbah. Konsep-konsep ini dapat diterapkan dalam merancang bangunan akomodasi, fasilitas, maupun aktivitas di kawasan atau daerah tujuan wisata.

2.2 Tinjauan Pariwisata

2.2.1 Potensi Pariwisata

  Dalam dunia kepariwisataan, potensi dapat diarikan sebagai kekuatan dan sumber daya yang dimiliki suatu wilayah/kawasan yang memungkinkan wilayah/kawasan tersebut untuk berkembang menjadi daerah tujuan wisata(tourists destination area).

  Yang dimaksud dengan daerah tujuan wisata ini menurut Pendit N.S. (2002) adalah kawasan yang menjadi obyek kebutuhan wisatawan karena atraksinya, kondisi lalu-lintasnya, dan fasilitas-fasilitas kepariwisataannya. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa ada tiga kebutuhan utama yang harus dipenuhi suatu daerah untuk menjadi tujuan wisata, yakni atraksi atau obyek yang menarik, kemudahan pencapaian dengan berbagai moda transportasi, dan ketersediaan fasilitas-fasilitas. Hal ini sejalan dengan teori Medlik dan Middleton (Yoeti, 1996) yang menyatakan bahwa produk industri pariwisata terdiri dari tiga unsur pokok, yaitu:

  (1) Daya tarik-daya tarik destinasi, yaitu segala sesuatu yang terdapat di

  daerah tujuan wisata yang membuat orang-orang mau datang berkunjung di antaranya adalah sebagai berikut:

  a.

   Natural amenities, yakni benda-benda yang terdapat di alam (iklim,

  bentuk/konfigurasi tanah dan pemandangan, hutan-hutan, flora, fauna, sumber air mineral atau sumber air panas) b.

  Man-made supply, yakni benda-benda buatan manusia yang bersifat

  historical, cultural dan religious (monumen bersejarah dan sisa

  peradaban masa lampau, museum, galeri seni, perpustakaan, kesenian rakyat, kerajinan tangan, acara tradisional, rumah-rumah ibadah) c.

  The way of life, yakni tata cara hidup masyarakat (gaya hidup, kebiasaan setempat, adat istiadat)

  (2) Aksesibilitas destinasi, mencakup transportasi yang menghubungkan

  negara asal wisatawan (tourist generating countries) dengan daerah tujuan wisatawan (tourists destination area) serta transportasi di tempat tujuan (transfer/transportasi lokal) ke obyek-obyek maupun fasilitas- faslitas pariwisata yang tersedia.

  

(3) Fasilitas-fasilitas yang terdapat di destinasi, mencakup prasarana

(infrastructure) dan sarana kepariwisataan (tourism superstructure).

  Prasarana terdiri dari prasarana umum atau general infrastructure (seperti jalan raya, jembatan, bandara, pelabuhan laut, telekomunikasi, pembangkit tenaga listrik, sumber air tawar, drainase) dan prasarana kebutuhan masyarakat banyakatau basic needs of civilized life (seperti rumah sakit, apotik, shoppig center, bank, kantor pos, badan legislatif, kantor polisi, pengadilan, pom bensin, kantor pariwisata, tourist

  

information center , dan sebagainya). Sarana kepariwisataan dibagi atas

  tiga bagian penting, yaitu: a.

  Sarana pokok kepariwisataan (main tourism superstructure), yaitu perusahaan-perusahaan yang menyediakan fasilitas dan pelayanan pokok bagi wisatawan, terdiri daritravel agent atau tour operator,

  money changer, tourist transportation (bus pariwisata, taksi, rental mobil), akomodasi, usaha makan-minum (catering trades).

  b.

  Sarana pelengkap kepariwisataan (supplementing tourism

  superstructure) , yaitu perusahaan-perusahaan yang berfungsi

  melengkapi sarana pokok sekaligus membuat wisatawan lebih lama tinggal di daerah tujuan wisata. Sarana ini mencakup fasilitas rekereasi dan olahraga seperti berlayar (boating facilities), berkuda

  (horse riding), memancing (fishing, sky resort, hunting safari, hunting camera and photograph , kolam renang, lapangan tenis,

  lapangan golf, dan lain-lain.

  c.

  Sarana penunjang kepariwisataan (supporting tourism

  superstructure) , yaitu perusahaan-perusahaan yang tidak hanya

  menunjang sarana pokok dan memperpanjang lama tinggal wisatawan, tapi juga membuat wisatawan mengeluarkan uang lebih banyak di tempat yang dkunjunginya. Yang termasuk dalam sarana ini antara lain night club, casino, steambath, bioskop/teater, pertokoan (butik, jewelry, souvenir shop), dan lain-lain. Potensi-potensi diatas terangkum pada tabel di bawah ini yang merupakan persyaratan penelitian potensi pariwisata yang dikemukakan oleh para ahli dalam rangka membangun dan mengembangkan daerah tujuan wisatadi suatu negara (Pendit, 2002).

Tabel 2.1 Persyaratan penelitian potensi pariwisata Faktor Kriteria Pertimbangan

  Topografi umum seperti flora dan fauna di sekitar danau, sungai, pantai, laut, Keindahan pulau-pulau, mata air panas, sumber

  Alam mineral, teluk, gua, air terjun, cagar alam, hutan, dsb.

  Sinar matahari, suhu udara, cuaca, angin, Iklim hujan, tingkat kelembaban, dsb.

  Pakaian, makanan, tata cara hidup Sosial Adat-istiadat daerah, pesta rakyat, kerajinan tangan, dan produk-produk lokal lainnya. Budaya

  Arsitektur setempat seperti candi pura, Seni bangunan masjid, gereja, monumen, bangunan adat. Pentas, pagelaran, Gamelan, musik, seni tari, pekan dan festival olahraga, kompetisi, pertandingan, dsb.

  Pameran, pekan Pekan raya-pekan raya yang bersifat raya industri komersial.

  Bekas-bekas istana, tempat peribadatan, kota tua, dan bangunan-bangunan Sejarah Peninggalan purbakala peninggalan sejarah, dongeng, purbakala atau legenda.

  Kehidupan beragama tercermin dari Kegiatan kegiatan penduduk setempat sehari-

  Agama masyarakat harinya dalam soal beribadah, upacara, pesta, dsb. Berburu, memancing, berenang, main ski,

  Olahraga berlayar, golf, naik kuda, mendaki, dsb. Fasilitas

  Museum arkeologi, museum ethnologi, rekreasi Edukasi kebun binatang, kebun raya, akuarium, planetarium, laboratorium, dsb.

  Spa mengandung mineral, spa air panas, Untuk istirahat,

  Fasilitas sanatorium, tempat mendaki, piknik, berobat, dan kesehatan tempat semedi, tempat istirahat, dan ketenangan sebagainya. Toko-toko sovenir, toko-toko barang

  Fasilitas Beli ini-itu kesenian dan hadiah, toko-toko keperluan berbelanja sehari-hari, toko kelontong, dsb.

  Fasilitas Kasino, night club,disco, bioskop, teater Waktu malam hiburan atau sandiwara,dan sebagainya.

  Jalan-jalan raya, taman (park), listrik, air, Infrastruktur Kualitas wisata pelayanan keamanan, pelayanan kesehatan, komunikasi kendaraan umum.

  Fasilitas Hotel, motel, bungalow, inn,cottage, Makanan dan pangan dan coffeshop, restoran, rumah makan, dsb. penginapan akomodasi

  Sumber : Pendit (2002)

2.2.2 Potensi dan Permasalahan Pariwisata Kota Medan

  Kota Medan memiliki banyak potensi wisata, baik wisata budaya, wisata sejarah, wisata pendidikan, maupun wisata-wisata lainnya. Pariwisata Kota Medan tidak menawarkan obyek wisata berupa pemandangan alam, jadi secara keseluruhan Kota Medan merupakan merupakan kawasan pariwisata kota berbasis heritage buildings karena banyaknya bangunan-bangunan peninggalan kolonial, baik berupa bangunan kantor, pertokoan, maupun gedung ibadah. Berikut ini adalah rincian obyek-obyek wisata Kota Medan

  1 .

  b. Objek Wisata Sejarah

  Pemerintah Kota Medan

  resmi

  (5) Gedung Lonsum

  (4) Menara Air Tirtanadi

  (3) Gedung Kantor Pos

  (2) Tugu Jenderal Ahmad Yani

  (1) Tugu Guru Patimpus

  (9) Graha Bunda Maria Annai Velangkanni

  a. Obyek Wisata Kebudayaan

  (8) Mesjid Gang Bengkok

  (7) Mesjid Raya Lama (Al - Osmani)

  (6) Klenteng Hindu Shri Mariamman

  (5) Vihara Gunung Timur

  (4) Gereja Lama (Gereja Immanuel)

  (3) Mesjid Raya

  (2) Rumah Tjong A Fie

  (1) Istana Maimun

1 Website

  c. Objek Wisata Pendidikan

  (1) Museum Bukit Barisan

  (2) Museum Sumatera Utara

  (3) Rahmat Wildlife Museum & Gallery

  d. Objek Wisata lainnya

  (1) Taman Buaya Medan

  (2) Kebun Binatang Medan

  (3) Pekan Raya Sumatera Utara

  (4) Ramadhan Fair

  (5) Taman Sri Deli

  (6) Taman Mora Indah

  Begitu banyak sebenarnya potensi yang bisa dikembangkan, namun perhatian Pemko Medan terhadap kemajuan pariwisata Kota Medan masih kurang, terlihat dari ketidakseriusan dalam mengelola obyek-obyek wisata tersebut. Misalnya penghancuran bangunan-bangunan historis untuk membangun pusat perbelanjaan, taman buaya dan kebun binatang yang tidak didukung sarana dan prasarananya, maupun obyek wisata budaya yang kurang dioptimalkan pengelolaannya; misalnya Istana Maimun yang dari dulu hanya mengandalkan segi fisik bangunan beserta isinya saja, tidak ada hal-hal baru yang dikembangkan. Akibatnya, citra Kota Medan menjadi kabur dan kehilangan daya tarik khas yang mampu menggugah wisatawan untuk berkunjung. Hilangnya sebutan Kota Medan sebagai Parijs van Sumatera dapat dicermati sebagai kelemahan daya taik industroi kepariwisataan Kota Medan (Agustini, dkk, 2011).

  Menurut penelitian yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara tahun 2011, faktor-faktor yang penghambat perkembangan pariwisata Kota Medan secara umum adalah:

  (1) Peningkatan jumlah perusahaan-perusahaan pariwisata yang tak terkendali, sehingga tidak seimbang dengan volume kunjungan wisatawan dan juga tidak didukung oleh fasilitas dan permodalan yang memadai.

  (2) Kurangnya tenaga kerja yang baik, siap pakai, dan profesional. (3)

  Menurunnya kualitas obyek wisata andalan Kota Medan (4)

  Paket wisata yang sudah ditawarkan, yakni city tour kurang menarik (5)

  Persaingan yang ketat dengan sesama negara ASEAN (6)

  Belum ada publikasi dan promosi yang optimal (7)

  Faktor keamanan dan ketepatan waktu tidak memadai (8)

  Kondisi kota secara keseluruhan tidak nyaman (masalah kebersihan dan kerapian kota, polusi udara akibat kendaraan bermotor, lalu-lintas yang semrawut, dan masalah karakter masyarakat Kta Medan yang dinilai tidak sabar, tidak sopan, dan tidak disiplin mengikuti peraturan).

2.2.3 Persyaratan Destinasi Wisata

  Yang penting diperhatikan dalam pengembangan suatu kawasan untuk menjadi suatu destinasi atau daerah tujuan wisata adalah bagaimana caranya agar dapat menarik wisatawan aktual maupun wisatawan potensial untuk berkunjung. Oleh karena itu, menurut Yoeti (1996) destinasi tersebut harus memenuhi tiga syarat, yaitu: a.

  Harus mempunyai something to see: di destinasi tersebut harus ada yang obyek atau atraksi wisata yang berbeda dengan apa yang dimiliki tempat lain, berarti destinasi tersebut harus mempunyai daya tarik khusus yang dapat dijadikan sebagai entertainment bila wisatawan datang ke sana.

  b.

  Harus tersedia something to do: selainharus ada yang dapat dilihat dan disaksikan, harus pula disediakan amusement berupa fasilitas-fasilitas rekreasi/olahraga yang dapat membuat wisatawan betah tinggal lebih lama di destinasi tersebut.

  c.

  Harus tersedia something to buy: di destinasi tersebut harus tersedia fasilitas berbelanja (shopping), terutama barang-barang sovenir dan kerajinan rakyat sebagai oleh-oleh untuk dibawa pulang oleh wisatawan ke tempat asal masing-masing.

2.3 Tinjauan Rumah-Hotel

2.3.1 Tren Pariwisata Terkini : Fenomena Homestay atau Rumah-Hotel

  Tren dalam dunia pariwisata senantiasa berganti. Menurut Tourism

  Highlight 2013 Edition, kawasan Asia dan Pasifik mencetak angka

  pertumbuhan terkuat selama dua tahun berturut-turut dengan 7% peningkatan, jauh mengungguli Eropa yang hanya meningkat sebesar 3%. Meskipun kawasan Eropa masih tetap memegang predikat most visited region in the

  

world, dapat dikatakan bahwakiblat pariwisata dunia saat ini mengarah ke

  kawasan Asia dan Pasifik, tepatnya ke negara-negara ASEAN mencetak angka pertumbuhan terkuat selama dua tahun berturut-turut. Buktinya pada tahun 2013, kota Bangkok (Thailand) berhasil meraih peringkat pertamaworld’s top

  

tourist destination dengan 15,98 juta kedatangan, disusul oleh Singapura di

  peringkat keempat dan Kuala Lumpur (Malaysia) di peringkat kedelapan (UNWTO, 2013).

  Adapun wisatawan di Indonesia beberapa tahun terakhir ini mulai mengurangi lama tinggal di hotel dan mulai mengincar kawasan perdesaan atau kawasan kampung di perkotaan untuk disinggahi dan ditinggali beberapa hari.Di Bali, berdasarkan Kajian Ekonomi Regional Provinsi Bali Triwulan I 2011 oleh Bank Indonesia, rata-rata masa tinggal wisatawan mancanegara di hotel berbintang ataupun kelas melati tercatat sekitar tiga hari. Padahal, beberapa tahun sebelumnya bisa mencapai lebih dari lima hari masa tinggalnya. Pemerintah setempat memperkirakan turis asing memilih berpindah-pindah untuk menginap, sehingga masa tinggal di satu hotel pun menjadi pendek (Kompas, 2011)..

  Demikian halnya dengan pariwisata di Sumatera Utara, berdasarkan Berita Resmi Statistik Provinsi Sumatera Utara 2014, tingkat penghunian kamar (TPK)seluruh klasifikasi hotel berbintang pada bulan Januari hampir semuanya mengalami penurunan, kecuali hotel bintang satu yang mengalami peningkatan sebesar 0,20 persen. Sedang penurunan TPK terbesar terjadi pada hotel bintang dua yaitu sebesar 22,48 poin diikuti oleh hotel bintang empat yang turun sebesar 13,78 poin, hotel bintang tiga dan bintang lima masing-masingmengalami penurunan TPK yaitu sebesar 12,52 poin dan 4,51 poin. Jelas terlihat bahwa akomodasi berbiaya rendah lebih diminati (Badan Pusat Statistik, 2014).

  Fakta ini juga ditegaskan oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI, Mari Elka Pangestu, yang menyatakan bahwa tren pariwisata tahun 2014 ini adalah tingginya minat wisatawan terhadap wisata budaya karena warisan budaya kini menjadi aset yang semakin berharga dalam tataran global dan menyatu dengan pariwisata. Indonesia yang kaya akan ragam warisan budaya sangat berpeluang untuk mengintegrasikan ekonomi kreatif berbasis budaya sebagai daya tarik wisata (Puskompublik Kemenparekraf, 2014).

  Salah satu peluangnya adalah dengan pengembangan homestay atau rumah-hotel. Fasilitas akomodasi yang menerapkan konsep “home away from

  home” ini menekankan pada perasaan nyaman, rileks dan serasa berada di

  rumah sendiri padahal sebenarnya sedang berada jauh dari rumah atau negara asal.Kota-kota destinasi wisata utama di Indonesia seperti Bali, Yogyakarta dan Bandung sudah menanggapi gelagat tren wisata yang melirik rumah- rumah penduduk ini.

  Di Bali, sebanyak tujuh desa di enam kabupaten dari sembilan kabupaten/kota mendapatkan dana untuk mewujudkan desa wisata dengan memperbaiki infrastruktur hingga pelatihan SDM dari warga setempat.Beberapa rumah diharapkan bisa menjadi tempat tinggal wisatawan dengan standar yang sesuai sehingga tidak kalah dengan hotel-hotel.

  Di Yogyakarta, telah terdapat beberapa desa wisata, misalnya Desa Sambi di Kabupaten Sleman yang menyediakan fasilitas homestay di rumah- rumah penduduk desa. Kawasan Prawirotawan dan Sosrowijayan sendiri telah lama mendapat predikat sebagai Kampung Turis atau Kampung Internasional, walaupun kawasan tersebut berupa kampung perkotaan dengan ciri khas gang-gang sempit, daerah tersebut senantiasa menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan di samping obyek wisata lainnya (Prihandaya, 2012).

  Bandung juga sedang menggalakkan pengembangan jenis akomodasi

  

low budget ini di kampung-kampung wisata yang saat ini sudah beberapa

  berdiri di Bandung. Istilah rumah-hotel pun dicetuskan pertama kali oleh Pemko Bandung ketika memberi penjelasan mengenai kehadiran rumah-hotel yang secara prinsipal sama artinya dengan istilah homestay Asdhiana, 2013)

  ( .

2.3.2 Definisi Rumah-Hotel

  Istilah rumah-hotel dicetuskan oleh Pemerintah Kota Bandung yang menyatakan bahwa rumah-hotel merupakan rumah-rumah penduduk kelas menengah ke bawah yang dijadikan tempat menginap untuk wisatawan yang sedang berkunjung ke Bandung. Rumah-rumah yang terdaftar dalam jaringan rumah-hotel akan diberi bantuan dana supaya rumah dapat di-upgrade sedapat mungkin sehingga fasilitasnya setara dengan kamar standar di sebuah hotel tanpa menghilangkan suasana kampung yang masih orisinil. Jaringan rumah-hotel tersebut tersebar di beberapa kawasan, seperti Dago Pojok, Sarijadi, dan Cipaku (Galih dan Eni, 2013).

  Pada dasarnya pengertian rumah-hotel sama dengan homestay. Menurut

  

ASEAN Tourism Standards (2007), homestay merupakan salah satu bentuk

  akomodasi yang menggunakan rumah tinggal, menyediakan kesempatan bagi tamu/wisatawan untuk menjalani kehidupan sehari-hari keluarga atau komunitas sekaligus sebagai daya tarik wisata. Unlumlert dalam Mapjabil,dkk (2011) mendefinisikan homestay sebagai berikut:

  “as one type of lodging that the tourist share with home owner with intention to learn culture and lifestyle from the home owner who is willing to

transmit and sharing culture. The home owner is the one who prepared

lodging and foods for the tourist with reasonable pay.”

  Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa

  homestay adalah salah satu alternatif akomodasi berupa rumah tinggal dengan

  fasilitas dan pelayanan yang murah dan sederhana bagi wisatawan untuk memberikan kesempatan bagi wisatawan, pemilik rumah maupun komunitas sekitar untuk saling mempelajari gaya hidup (way of life), bahasa, dan budaya masing-masing.

  Terkadang istilah homestay merujuk pada fasilitas untuk pelajar/mahasiswa yang studi di luar negeri dimana mereka dapat tinggal serumah dengan keluarga setempat yang berdomisili di dekat sekolah/kampus yang bersangkutan. Namun, dalam penelitian ini, homestay merujuk pada akomodasi pariwisata.

2.3.3 Konsep Rumah-Hotel

  Dalam dunia kepariwisataan, rumah-hotel atau homestay termasuk dalam kategori akomodasi non-hotel/akomodasi tambahan (supplementary

  

accomodation) yang bertujuan menyempurnakan komplementaritas antara

  kebutuhan wisatawan dan jasa kepariwisataan. Jenis akomodasi ini memberi kesempatan bagi wisatawan untuk menginap menurut keinginan hatinya sebab akomodasi ini sewanya lebih murah, lebih bebas (tidak ada ketentuan yang mengikatmengenai pengaturan jadwal, cara berpakaian ataupun bergaul seperti di hotel), lebih dekat dengan alam, lebih banyak kontak dengan sesama wisatawan dan penduduk setempat, dan mendekatkan tamu pada suasana kehidupan biasa seperti di rumah sendiri (Soekadijo, 1996: 114 ; Pendit, 2002: 97).

  Maksud dari pengadaan homestay adalah untuk mengakomodasi wisatawan di kampung/desa bersama dengan tuan rumah dan keluarga setempat (host family), sehingga memampukan wisatawan untuk belajar tentang gaya hidup lokal, budaya, dan alam setempat (Ibrahim, 2010) sekaligus dalam rangka profitable purposes untuk meningkatkan kualitas ekonomi host family tersebut (Kontogeorgopoulos, 2013). Usaha akomodasi berupa rumah tinggal pribadi ini oleh Lynch (2005) disebut dengan istilah commercial home enterprise atau rumah komesial.

  Ada banyak bentuk akomodasi yang menggunakan prinsip rumah komersial ini, misalnya guest house, bed and breakfast (B&B), rumah sewa

  

(boarding house), losmen (lodging), maupun pondok wisata. Namun,

  

homestay pada dasarnya tidak menekankan unsur komersial atau pencarian

  keuntungan pribadi semata, tetapi lebih kepada lifestyle experience dan memberdayakan host family dan komunitas setempat dari segi ekonomi maupun budaya. Jadi yang membuat rumah-hotel atau homestay ini berbeda dengan akomodasi sejenis lainnya adalah konsep “rumah” atau lebih dikenal dengan istilah “home away from home”.

  Ciri utamanya adalah elemen tinggal bersama dengan host family sehari-harinya, melibatkan wisatawan makan, memasak, ataupun beraktivitas bersama (Ibrahim, 2010). Jadi, host family tinggal di tempat atau living upon

  

the premises (Lynch, 2005), bukan sekedar menyewakan ruang atau

bangunan yang ‘bernuansa’ rumah.

  Ciri lainnya menurut Lynch (2005) adalah batasan (boundaries) antara ruang publik dan ruang privat . Ruang privat dalam rumah dibuka menjadi ruang publik, berbeda dari akomodasi lain yang ruang privatnya hanya terbuka bagi staf saja. Adapun Rivers dalam Seubsamarn (2009) menyatakan pada akomodasi homestay utilitas dan makanan biasanya disertakan, lama menginap bisa harian, mingguan, bulanan, bahkan tidak terbatas kecuali ditentukan oleh pemilik rumah.

  Berdasarkan teori-teori di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep rumah-hotel atau homestay adalah tinggal satu atap dan berinteraksi langsung dengan host family, ruang privat dibuka menjadi ruang publik, serta dilengkapi sarapan (breakfast included) dan segala keperluan utilitas seperti listrik (penerangan), air bersih, maupun pemanas.

2.3.4 Kriteria dan Persyaratan Rumah-Hotel

  Menurut Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, I Gede Pitana, s ampai saat ini belum ada standar baku mengenai rumah-hotel ataupun homestay di Indonesia yang telah dibuat oleh pemerintah Indonesia. Sementara ini, disarankan setiap kota atau daerah yang memiliki homestay harus memperhatikan lima aturan dasar, yakni sanitasi dan higienis, pencahayaan, tidak ada gangguan suara, toilet yang menempel dengan rumah (tidak terpisah), dan air yang sehat. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sedang mengerjakan standar tersebut yang nantinya akan terbagi menjadi standar usaha dan standar kompetensi tenaga kerja sebagai acuan dalam pengelolaannya di Indonesia. Standarisasi tersebut disusun dengan mempertimbangkan standarisasi serupa di ASEAN yang juga sedang dalam proses penyusunan Adapun homestay-homestay yang beroperasi di beberapa wilayah, seperti di Bali dan Sawahlunto, masih berpedoman pada Peraturan Pemerintah dan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), misalnya toilet bersih dalam rumah dan ranjang dengan sprei putih polos. Kriteria yang ditekankan adalah aspek kebersihan, pencahayaan, kebisingan, toilet, dan persediaan air bersih. Sedangkan rumah- hotel yang sedang dalam tahap pengembangan di Bandung saat ini menerapkan konsep yang mirip dengan konsep bed and breakfast, yaitu menyediakan kamar yang bersih dan sarapan pagi (Siahaan, 2013).

  Akan tetapi, untuk kawasan Asia Tenggara telah ditetapkan suatu standar oleh organisasi ASEAN yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam pengembangan homestay, yakni Final ASEAN Homestay Standard (2011) yang terdiri dari sembilan kriteria, antara lain host, accomodation, activities,

  

management, location, hygiene, safety and security, marketing and

promotion, dan sustainability principles. Di bawah ini akan diuraikan kriteria

  dan persyaratan homestay yang berhubungan dengan kajian potensi dan konsep desain saja, yaitu host, accomodation, activities, location, dan

  sustainability principles.

  a. Location (lokasi dan aksesibilitas)

  • Lokasi homestay dapat dicapai oleh moda transportasi yang mana saja.
  • Penanda (signage) yang jelas sebaiknya disediakan untuk memandu wisatawan menuju homestay.

  b. Accommodation (akomodasi)

   Rumah - Struktur rumah (atap, dinding, pintu, lantai, dan sebagainya) harus dalam keadaan baik, stabil, dan aman kondisinya.

  • Desain dan material bangunan merefleksikan arsitektur vernakular dan identitas lokal.
  • Kamar tidur untuk tamu/wisatawan harus terpisah dari kamar tidur lainnya di rumah tersebut.
  • Harus ada minimal satu kamar mandi/toilet untuk wisatawan di dalam rumah dan/atau di dalam kamar wisatawan.
  • Memiliki suplai listrik dan air bersih yang memadai.

   Kamar Tidur - Menyediakan perabotan dasar di dalam kamar wisatawan, misalnya kipas angin, meja, lemari kecil, cermin, soket listrik, kawat/kasa nyamuk, dan lain-lain.

  • Maksimum empat kamar dari total jumlah kamar di rumah yang tidak digunakan oleh anggota keluarga host dialokasikan untuk wisatawan.
  • Menyediakan tipe ranjang yang standar dan tepat seperti single bed dan double bed dengan kasur dan bantal.

   Toilet/Kamar Mandi - Menyediakan tipe kloset duduk atau jongkok di dalam rumah (bila diluar harus dekat dengan rumah) dengan fasilitas kamar mandi standar.

  • Air bersih dan memadai harus disediakan setiap saat.

c. Activities (aktivitas)

   Aktivitas Desa dan Komunitas - Sebaiknya menunjukkan sumber daya lokal seperti : 1.

  Budaya lokal dan warisan/pusaka 2. Usaha lokal (UKM, pertanian, industri lokal, kerajinan tangan) 3. Sumber daya alam (hutan, sungai, gua, danau, dan lain-lain)

  • Bentuk dan pelaksanaan aktivitas sebaiknya yang mendorong partisipasi interaktif antara komunitas lokal dengan wisatawan.

   Aktivitas Sekitar - Kunjungan ke atraksi wisata popular di area sekitar diintegrasikan ke dalam paket homestay dengan homestay sebagai basisnya.

  • Berkolaborasi dengan desa/kampung yang lain di area sekitar untuk menambah variasi aktivitas sekaligus menciptakan efek ganda.

   Keotentikan - Komunitas homestay harus mempertahankan identitas, nilai, dan budaya untuk menggambarkan pengalaman yang berbeda dan otentik.

  • Mempersilakan dan melibatkan tamu dalam aktivitas komunitas untuk menunjukkan semangat komunitas dan kesatuan sosial.
  • Memelihara kerajinan tangan lokal dan menunjukkan pertunjukan seni dengan mendirikan kelompok dan asosiasi budaya.

d. Host (tuan rumah/penyedia dan komunitas)

   Desa/Kampung dan Komunitas - Homestay terletak dekat dengan atraksi wisata alam dan budaya yang ada di sekitarnya

  • Ada pusat/area komunitas untuk digunakan sebagai basis operasi homestay dan aktivitas seperti acara penyambutan, pertunjukan budaya, dan lain-lain

   Penyedia Homestay (tuan rumah)

  • Penyedia homestay harus bersih dari catatan kriminal dan dalam kondisi sehat (tidak menderita penyakit menular).
  • Penyedia homestay harus menghadiri dan menyelesaikan kursus basic homestay (perihal kemampuan hospitability dan skill communication).

e. Sustainability principles (prinsip-prinsip keberlanjutan)

   Pilar Economic Sustainability : a.

  Employment (merekrut dan mempekerjakan staf dari komunitas lokal, mengalokasikan insentif dan bonus untuk prestasi yang baik dan/atau sebagai predikat level pelayanan untuk memotivasi staf, memperlengkapi badan-badan keuangan mikro setempat untuk berpartisipasi dalam aktivitas bisnis terkait dengan homestay.

  b.

  Purchasing (merekomendasikan pengelola homestay untuk membeli material dan produk dari pengusaha mikro setempat, meminta wisatawan membeli produk lokal, dan mengatur area penjualan kerajinan tangan di sekitar homestay atau area umum.

  c.

  Local Product/Attraction (mempromosikan festival lokal dn mengunjungi pasar-pasar tradisional terdekat, menawarkan kepada wisatawan kerajinan tangan tradisional, makanan, dan mengorganisir perayaan/upacara dan pertunjukan seni budaya.

   Pilar Environmental Sustainability : Membatasi dan mengurangi dampak fisik dari wisatawan, khususnya di lingkungan alam dan budaya yang sensitif/rentan, tidak mendukung partisipasi wisatawan yang dapat merusak flora dan fauna lokal, menjaga kebersihan pantai, sungai, hutan/taman dan mengorganisir kegiatan memungut sampah bersama wisatawan, memastikan masyarakat setempat sudah teredukasi tentang pentingnya pelestarian keanekaragaman hayati, dan memastikan bahwa desain dan konstruksi fasilitas dan pelayanan kepariwisataan ramah lingkungan.

   Pilar Sociocultural Sustainability : Membuat information corner dan

  cultural display di pusat homestay dan area-area umum,

  menginformasikan pada wisatawan mengenai pentingnya menghormati dan menghargai kebiasaan setempat dan perilaku-perilaku yang pantas, memastikan masyarakat setempat sudah teredukasi tentang pentingnya melestarikan budaya, dan secara aktif melarang partisipasi atau pengesahan aktivitas seksual komersial dan obat-obatan terlarang.

2.4 Studi Banding

2.4.1 Dago Pojok, Bandung

  Kampung-kampung di kota Bandung sedang giat-giatnya berbenah diri menjadi destinasi wisata internasional. Gang-gang disulap menjadi kawasan kampung wisata kreatif dan ke depannya akan hadir rumah- rumah hotel di permukiman warga sebagai alternatif tempat menginap bagi wisatawan. Program ini dilakukan dalam rangka meningkatkan kunjungan wisatawan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.

  Saat ini sudah ada beberapa kampung kreatif di Kota Bandung, bahkan beberapa diantaranya menggelar festival untuk mengangkat keunggulan dan produk lokal. Salah satu contohnya Festival Kampung Pasundan, yang berlokasi 100 meter dari Alun-Alun Kota Bandung. Dengan keunggulan lokalnya, Kampung Pasundan menjadi daya tarik baik kuliner, fashion, kerajinan serta seni budaya. Dengan adanya rumah hotel, kata dia maka memungkinkan wisatawan menginap di rumah- rumah penduduk di kampung kreatif, lebih dekat dengan obyek wisata dan menikmati suasana kampung dengan berbaur dengan masyarakat setempat. Jelas hal tersebut adalah daya tarik wisata yang potensial.

  Kawasan Dago Pojok dan Pasundan merupakan kampung yangdipastikan pas untuk konsep rumah hotel karena wisatawan akan mendapat suguhan khas di sana dan lokasinya yang berdekatan dengan kompleks perhotelan sangat strategis (Asdhiana, 2013).

Gambar 2.1 Suasana kampung kreatif di Dago Pojok

  (atas)

  Sumber: Hasil capture image dari

  (bawah

  Walikota Bandung, Ridwan Kamil, turun tangan sendiri dalam memantau pengembangan jaringan rumah hotel di Dago Pojok, salah satunya dengan mencoba menginap di salah satu rumah warga yang akan dijadikan jejaring rumah-hotel di Kawasan Wisata Kreatif Dago Pojok.

  Menurut beliau, tujuan utama rumah-hotel adalah agar peningkatan ekonomi dari sektor pariwisata tidak hanya dinikmati oleh pengusaha perhotelan, namun “menetes” juga kepada penduduk kampung kota.

Gambar 2.2 Salah satu rumah-hotel di Bandung

  Sumber: Hasil capture image dari

2.4.2 Sosrowijayan Wetan, Yogyakarta

  Di sebelah utara Yogyakarta terdapat kampung Sosrowijayan Wetan yang letaknya strategis, dekat dengan Jalan Malioboro yang merupakan kawasan pariwisata populer dan tidak jauh dari stasiun kereta api (Stasiun Tugu). Di sekitarnya dapat ditemukan berbagai jenis hotel dan penginapan, dari kelas melati hingga hotel berbintang lima.

  Sosrowijayan Wetan ini dikenal dengan sebutan kampung turis atau kampung internasional karena disana banyak dijumpai wisatawan- wisatawan (wisaman maupun wisnus) yang tersebar hingga masuk pelosok gang yang kecil dan sempit (tidak dapat dilalui oleh kendaraan roda empat). Begitu sampai di pertigaan jalan, wisatawan akan disambut oleh sapaan ramah pengayuh becak dayungyang mampu berbahasa Inggris, meskipun ala kadarny. Biasanyamereka menawarkan untuk mencari penginapan, berkeliling ke Malioboro, atau membeli bakpia Pathuk. Banyak pula guideyang siap sedia jika diminta mengantar wisatawan untuk menunjukkan penginapansesuai keinginan dan bercerita tentang kekhasan tempat-tempat wisatadi Yogyakarta.

Gambar 2.3 Suasana di depan jalan masuk Kampung Sosrowijayan Wetan

  Sumber: Akomodasi atau penginapan di kampung ini menyatu dengan penduduk karena kebanyakan terletak di gang. Tentu hal itu memberi kelebihan karena anda bisa berinteraksi dengan penduduk setempat. Namun, jika menginginkan penginapan yang lebih privat, anda bisa memilih hotel yang ada di pinggir Jalan Sosrowijayan. Sebagai kampung turis, fasilitas yang ada disana terbilang lengkap, mulai dari akomodasi, rental motor, money changer, bookshop,warung makan tradisional, cafe murah yang menyediakan sandwich sekedar untuk sarapan, house of

  

internet (warnet), hingga agen biro perjalanan wisata. Kampung ini

  semakin hidup di malam, banyak cafe yang menawarkan live music menghibur tamu yang mayoritas adalah para backpacker.

Gambar 2.4 Aneka fasilitas di Kampung Sosrowijayan Wetan

  Sumber: Bagi para backpacker, kampung ini layaknya sebuah rumah karena disini mereka dapat saling berkumpul dan berinteraksi meskipun tidak saling mengenalkarena datang dari berbagai bangsa dan negara.

  Hal lain yang ditawarkan kampong turis Sosrowijayan adalah kursus membatik . Terdapat juga studio batik yang dikelola oleh seorang warga setempat. Jenis batik yang digarap di studio ini adalah batik lukis, yang warnanya yang lebih bervariasi dan bercorak masa kini.Pada sore hari setelah lelah mengelilingi Yogyakarta, wisatawansambil bersantaibisa melihat kehidupan anak-anak Sosrowijayan yang bermain permainan tradisional atau sekedar bercakap di suatu rumah Sementara remaja kampung ini banyak yang sekedar duduk santai sambil bermain gitar dan kadang berpentas ketika ada acara tertentu. Sebagai kawasan yang tiap hari dikunjungi wisatawan asing, kampung Sosrowijayan menjadi kawasan yang unik dengan perpaduan budaya Indonesia dengan budaya negara-negara belahan dunia barat.

Gambar 2.5 Fasilitas kursus membatik di Kampung Sosrowijayan Wetan

  Sumber: