BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Tuberkulosis - Karakteristik Penderita Tuberkulosis Paru Pada Balita yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Vita Insani Pematangsiantar Tahun 2010-2012

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

  2.1. Pengertian Tuberkulosis

  Menurut WHO, Tuberkulosis (TB) disebabkan oleh Mycobacterium

  

tuberculosis dan yang paling sering menginfeksi bagian paru-paru. TB merupakan

  4

  penyakit yang dapat diobati dan dicegah. Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2012, TB merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan oleh infeksi

  

Mycobacterium tuberculosis . TB menjadi salah satu penyakit yang pengendaliannya

  7 menjadi komitmen global dalam MDGs.

  TB paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium

  10 tuberculosis dan merupakan salah satu penyakit saluran pernapasan bagian bawah.

  TB paru adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yakni bakteri aerob yang dapat hidup terutama di paru atau di berbagai organ tubuh yang

  11 lainnya yang mempunyai tekanan parsial oksigen yang tinggi.

  2.2. Anak dan Balita

  Anak adalah individu yang berada dalam satu rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Masa anak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari bayi (0-1 tahun), usia bermain (1-2,5 tahun), pra sekolah (2,5-5 tahun), usia sekolah (5-11 tahun) hingga remaja (11-18 tahun). Anak yang sehat adalah anak yang terpenuhi kebutuhan fisik, sosial dan psikologinya. Kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan akan gizi atau nutrisi, kebutuhan dalam pemberian perawatan dalam hal meningkatkan dan mencegah penyakit, kebutuhan hygiene dan sanitasi lingkungan yang sehat, pemberian kasih sayang yang akan

  12 menentukan perkembangan psikososial anak.

  13 Balita adalah anak yang berumur di bawah 5 tahun. Balita atau dikenal juga

  14

  dengan anak pra sekolah adalah anak yang berusia antara 1 sampai 5 tahun. Balita sangat rentan terserang penyakit, semakin bertambah usia balita maka semakin tinggi risiko balita tersebut tertular penyakit karena kemungkinan tertular penyakit dari

  15 waktu ke waktu menjadi lebih besar.

2.3. Tuberkulosis pada Balita

  Tuberkulosis termasuk salah satu mayoritas penyakit yang menyerang anak di dunia. Penyakit TB pada anak merupakan penyakit yang bersifat sistemik yang dapat

  2

  bermanifestasi pada berbagai organ terutama paru. Menurut CDC, diantara kasus TB

  3

  pada anak, kasus TB paling banyak ditemukan pada anak usia 5 tahun (balita). Di Indonesia, TB pada anak masih menjadi masalah dan termasuk dalam salah satu program pengendalian TB secara nasional. Hal ini terjadi karena diagnosis TB pada anak umumnya masih sulit ditegakkan sehingga sering mengalami misdiagnosis baik

  16,17

overdiagnosis maupun underdiagnosis. Di Rumah Sakit Vita Insani

  Pematangsiantar, yang termasuk dalam kategori balita penderita TB paru adalah anak dengan usia 0 - 5 tahun.

  2.4. Etiologi

  Penyebab Tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, bakteri berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4 µm dan tebal 0,3-0,6 µm. Sebagian besar dinding bakteri ini terdiri atas asam lemak (lipid), kemudian peptidoglikan dan

  18 arabinomannan.

  Bakteri TB mempunyai sifat istimewa, yaitu dapat bertahan terhadap perwarnaan dengan asam sehingga sering disebut Basil Tahan Asam (BTA), serta tahan terhadap zat kimia dan fisik. Bakteri TB mati pada pemanasan 100 C selama 5- 10 menit atau pada pemanasan 60 C selama 30 menit, dan dengan alkohol 70-95% selama 15-30 detik. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara terutama di tempat yang lembab dan gelap (bisa berbulan-bulan), namun tidak tahan terhadap sinar

  1 matahari.

  Bakteri TB memiliki sifat dormant yang membuat bakteri dapat bertahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin untuk waktu yang relatif lama dan dapat bangkit kembali menjadikan penyakit Tuberkulosis menjadi aktif lagi. Bakteri ini juga bersifat aerob yang menunjukkan bahwa bakteri ini lebih menyukai jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari bagian lain, sehingga bagian apikal ini merupakan tempat

  18 predileksi penyakit tuberkulosis.

  2.5. Patogenesis

  Proses terjadinya infeksi oleh Mycobacterium tuberculosis biasanya secara inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei, khususnya yang didapat dari penderita TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung Basil

18 Tahan Asam. Bakteri ini dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar

  getah bening, sehingga bakteri TB dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh seperti paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain-lain. Meskipun demikian, organ tubuh yang paling sering terinfeksi adalah paru-

  19 paru.

  Kelompok yang paling rawan terinfeksi bakteri TB adalah anak usia kurang dari 1 tahun. Anak-anak yang menderita TB jarang bahkan tidak dapat menularkan bakteri TB kepada anak lain ataupun kepada orang dewasa. Hal ini disebabkan TB pada anak biasanya bersifat tertutup. Sehingga, apabila terdapat anak yang terinfeksi TB, dapat dipastikan sumber penularannya adalah orang dewasa yang dekat dengan

  19 anak tersebut.

  Tidak semua orang yang terinfeksi bakteri TB akan menderita TB. Pada sebagian orang dengan sistem imun yang baik, bakteri ini akan tetap dormant sepanjang hidupnya. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang kurang, bakteri ini akan mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel bertambah banyak dan akan membentuk ruang di dalam paru-paru yang nantinya menjadi sumber sputum (dahak). Seseorang yang telah memproduksi sputum dapat diperkirakan sedang mengalami pertumbuhan tuberkel berlebih dan positif terinfeksi

19 TB. Daya penularan dari seseorang ke orang lain ditentukan oleh banyaknya bakteri

  yang dikeluarkan, patogenesitas bakteri yang bersangkutan serta lamanya seseorang

  20 menghirup udara yang mengandung bakteri tersebut.

  10 Faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya infeksi adalah: a.

  Harus adanya sumber infeksi.

  b.

  Jumlah basil sebagai penyebab infeksi harus cukup.

  c.

  Virulensi yang tinggi dari basil tuberkulosis.

  d.

  Daya tahan tubuh yang menurun memungkinkan basil berkembang biak dan keadaan ini menyebabkan timbulnya penyakit TB paru.

2.5.1. Tuberkulosis Paru Primer

  Tuberkulosis primer adalah penyakit yang terjadi akibat infeksi primer oleh basil tuberkulosis dan mencakup kompleks primer (lesi parenkim dan nodus

  21

  limfatikus regional) serta perluasan komponennya secara langsung. Tuberkulosis

  18

  primer disebut juga dengan tuberkulosis anak (childhood tuberculosis). Setelah inhalasi Mycobacterium tuberculosis, berkembang suatu lesi kecil subpleura yang disebut fokus Ghon. Selanjutnya infeksi menyebar ke kelenjar limfe hilus dan mediastinum untuk membentuk kompleks primer. Pada 95% kasus, kompleks primer sembuh secara spontan dalam 1-2 bulan. Pada 10-15% kasus, infeksi menyebar dari

  22 kompleks primer dan berlanjut menjadi TB milier atau meningeal.

  Tuberkulosis paru primer adalah peradangan paru yang disebabkan oleh basil tuberkulosis pada tubuh penderita yang belum pernah mempunyai kekebalan yang

  10 spesifik terhadap basil tersebut.

  Pada permulaan infeksi, basil tuberkulosis masuk ke dalam tubuh yang belum mempunyai kekebalan dan selanjutnya tubuh mengadakan perlawanan dengan cara yang umum yaitu melalui infiltrasi sel-sel radang ke jaringan tubuh yang mengandung basil tuberkulosis. Reaksi tubuh ini disebut dengan reaksi non spesifik atau pra-alergis yang berlangsung kurang lebih 3-7 minggu. Pada tahap ini tubuh menunjukkan reaksi radang yaitu kalor, rubor, tumor, tetapi uji kulit dengan

  10 tuberkulin masih negatif.

  Setelah reaksi radang non spesifik dilampaui, reaksi tubuh memasuki tahap alergis yang berlangsung kurang lebih 3-7 minggu. Pada saat itu sudah terbentuk zat anti sehingga tubuh dapat menunjukkan reaksi yang khas yaitu tanda-tanda

  10 peradangan umum ditambah uji kulit dengan tuberkulin yang positif.

  Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan dari infeksi primer tergantung bakteri yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh. Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan bakteri TB paru. Meskipun demikian, ada beberapa kuman yang akan menetap sebagai bakteri persisten. Kadang- kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan bakteri, akibatnya dalam beberapa bulan yang bersangkutan akan menjadi penderita TB

  23

  paru. Menurut Meyer yang dikutip oleh Alsagaff ada 3 jenis TB paru primer,

  10

  yaitu: a.

  TB paru primer sederhana (simple primary tuberculosis) i.

  Terjadi pada 43,5% dari kasus TB ii. Secara radiologis, tidak tampak kelainan iii. Uji kulit tuberkulin memberikan reaksi positif

  b. Infeksi TB paru primer dengan kelainan radiologis (primary infection

  tuberculosis ) i.

  Kelainan radiologis berupa pembesaran kelenjar limfe mediastinum ii.

  Uji kulit tuberkulin menunjukkan reaksi positif iii. Kelainan ini dijumpai pada 18,5% kasus

  c. Infeksi TB paru primer dengan kelainan radiologis lain (primary infection

  tuberculosis ) i.

  Kelainan radiologis terdapat pada parenkim paru dan pleura ii. Uji kulit tuberkulin menunjukkan reaksi positif iii. Kelainan ini dijumpai pada 37,5% kasus Pada umumnya TB paru primer sembuh sendiri, tetapi ada kemungkinan di kemudian hari mengalami kekambuhan yang prosesnya lebih cepat pada organ lain yang sumbernya berasal dari TB paru primer tersebut.

  10

2.5.2. Tuberkulosis Paru Post Primer

  Banyak istilah yang digunakan untuk TB paru post primer seperti : post

  

primary tuberculosis, progressive tuberculosis, adult type tuberculosis, phthysis dan

lain-lain.

10 Infeksi TB paru post primer dapat berasal dari :

  10 a.

  Dari luar (eksogen) : infeksi ulang pada tubuh yang pernah menderita tuberkulosis b.

  Dari dalam (endogen) : infeksi berasal dari basil yang sudah berada dalam tubuh, merupakan proses lama yang pada mulanya tenang dan oleh suatu keadaan menjadi aktif kembali

  Jenis kerusakan jaringan dan komplikasi yang dihubungkan dengan TB paru post primer adalah :

  18,24 a.

  Kavitas TB, diameter bervariasi biasanya 3-10 mm dan berada di puncak lobus atas paru. Kavitas berisi suatu materi yang banyak mengandung basil tahan asam. b.

  TB milier, menggambarkan pembentukan granuloma TB berukuran kecil dan multipel yang tersebar di seluruh paru dan organ lain. Terjadi sebagai hasil penyebaran Mycobacterium tuberculosis secara hematogen ke dalam peredaran darah arteri.

  c.

  Hemoptisis, terjadi akibat erosi arteri pulmonal kecil pada dinding kavitas yang menghasilkan pendarahan sehingga menyebabkan terjadinya batuk darah.

  d.

  Fistula bronkopleura, terjadi apabila kavitas pada subpleura pecah ke dalam rongga pleura.

  e.

  TB usus, terjadi mengikuti masuknya bakteri TB ke dalam usus.

2.6. Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis

  17

  2.6.1. Tuberkulosis Paru

  Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

  2.6.2. Tuberkulosis Ekstra Paru

  Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh di luar paru, termasuk pleura yakni yang menyelimuti paru, serta organ lain seperti selaput otak, selaput jantung perikarditis, kelenjar limpa, kulit, persendian, ginjal

  20

  saluran kencing, dan lain-lain. Berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, TB

  

16

  ekstra paru dapat dibagi menjadi dua, yaitu : a.

  TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal. b.

  TB ekstra paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.

2.7. Gejala Klinis

  Gejala yang dirasakan penderita tuberkulosis paru dapat bermacam-macam atau

  18

  malah tanpa keluhan sama sekali. Gejala klinis TB Paru secara umum dibagi menjadi dua yaitu sebagai berikut:

  25

2.7.1. Gejala Umum

  Menurut Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (2002), gejala umum TB pada anak-anak adalah sebagai berikut: a.

  Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas dan tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi yang baik.

  b.

  Nafsu makan tidak ada dan berat badan tidak naik dengan adekuat.

  c.

  Demam lama atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifus, malaria atau infeksi saluran nafas akut) dan dapat juga disertai dengan keringat malam d.

  Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit biasanya multipel dan paling sering terdapat pada daerah leher, ketiak dan lipatan paha.

  e.

  Gejala-gejala dari saluran nafas misalnya batuk lama lebih dari 30 hari dan nyeri dada.

  f.

  Gejala-gejala dari saluran cerna misalnya diare berulang yang tidak sembuh dengan pengobatan diare, benjolan di bagian abdomen dan tanda-tanda cairan dalam abdomen

  19

2.7.2. Gejala Khusus

  Gejala khusus yaitu:

  a. Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, apabila terjadi penyumbatan pada sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara ‘mengi’, suara nafas melemah disertai dengan sesak.

  b. Apabila terdapat cairan di rongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada.

  c. Apabila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.

  d. Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.

2.8. Epidemiologi Tuberkulosis

2.8.1. Distribusi Frekuensi TB Paru pada Anak Menurut Orang

  Penderita TB anak jarang menularkan bakteri TB kepada anak lain atau orang dewasa di sekitarnya. Hal ini disebabkan karena bakteri TB sangat jarang ditemukan dalam sekret endobrokial dan jarang terdapat batuk. Anak usia ≤5 tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit TB dikarenakan imunitas selulernya belum berkembang sempurna. Pada bayi <1 tahun yang terinfeksi TB, yang menjadi sakit TB ada sekitar 43%, sedangkan pada anak usia 1-5 tahun yang

  26 terinfeksi TB, yang menjadi sakit ada sekitar 24%.

  Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2012, jumlah penderita TB paru usia 0-14 tahun yaitu 1.703 orang (0,84%). Pada kelompok umur yang sama, apabila dilihat dari jenis kelamin, jumlah penderita TB paru pada jenis kelamin perempuan lebih tinggi yaitu 879 orang (51,61%) dibandingkan pada jenis kelamin laki-laki yaitu

  7 824 orang (48,39%).

2.8.2. Distribusi Frekuensi TB Paru pada Anak Menurut Tempat

  TB merupakan penyakit infeksi paling umum di dunia, menginfeksi 8,7 juta kasus baru pada tahun 2000 dengan angka insidensi global yang meningkat sebanyak 0,4% per tahun. Jumlah terbanyak infeksi baru terdapat di Asia Tenggara (3 juta) dan

22 Afrika (2 juta). Pada tahun 2012, Indonesia berada pada peringkat keempat setelah

  5 India, China, Afrika Selatan dengan jumlah kasus TB terbanyak. TB berada pada

  29 peringkat kedua sebagai penyebab kematian tertinggi di Indonesia.

  Di negara berkembang, TB pada anak usia <15 tahun adalah 15% dari seluruh kasus TB, sedangkan di negara maju, angkanya lebih rendah yaitu 5-7%. Pada tahun 2002, di Amerika Serikat dan Kanada, peningkatan TB pada anak usia 0-4 tahun adalah 19% dan pada usia 5-15 tahun adalah 40%. Di Asia Tenggara, selama 10

  26 tahun, diperkirakan bahwa jumlah kasus baru TB paru adalah 35,1 juta kasus.

  Berdasarkan Profil Ditjen PP&PL tahun 2013, pada tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 proporsi TB anak usia 0-14 tahun diantara semua kasus TB berada dalam batas normal, namun apabila dilihat pada tingkat provinsi, menunjukkan proporsi yang sangat bervariasi dari 1,6% sampai 15%. Pada tahun 2012, provinsi dengan proporsi TB anak >15% adalah Papua, sedangkan provinsi dengan proporsi TB anak <5% adalah Sulawesi Tenggara, Aceh, Gorontalo, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Sumatera Selatan, Jambi, Kepulauan Riau,

  9 Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat dan Jawa Timur.

  2.8.3. Distribusi Frekuensi TB Paru pada Anak Menurut Waktu

  TB anak merupakan faktor penting di negara-negara berkembang karena jumlah anak usia dibawah 15 tahun adalah 40-50% dari jumlah seluruh populasi. Pada tahun 2000, jumlah kematian anak karena TB di dunia diperkirakan sebesar 3,5 juta kematian. Jumlah seluruh kasus TB anak dari 7 Rumah Sakit Pusat Pendidikan di Indonesia selama 5 tahun (1998-2002) adalah 1.086 kasus dengan angka kematian yang bervariasi dari 0-14,1%, kelompok usia terbanyak adalah 12-60 bulan

  26 (42,9%).

  Proporsi TB anak diantara semua kasus TB di Indonesia pada tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 berada dalam batas normal, namun apabila dilihat pada tingkat Provinsi, menunjukkan proporasi yang sangat bervariasi mulai dari 1,6% sampai 15%. Proporsi TB anak antara tahun 2011 dengan tahun 2012 tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan kecuali beberapa Provinsi seperti Banten, Kepulauan Riau, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Kalimantan Selatan. Provinsi-Provinsi

  9 tersebut menunjukkan penurunan proporsi kasus TB anak yang cukup signifikan.

  2.8.4. Determinan Tuberkulosis

a. Umur

  30 TB paru pada dasarnya dapat terjadi pada semua golongan umur. Anak dengan

  usia ≤5 tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit

  TB dikarenakan imunitas selulernya belum berkembang secara sempurna. Namun, risiko sakit TB ini akan berkurang secara bertahap seiring pertambahan usia. Pada bayi usia <1 tahun yang terinfeksi TB, 43% diantaranya akan menjadi sakit TB, sedangkan pada anak usia 1-5 tahun, yang menjadi sakit TB jika terinfeksi TB hanya

  26 24%.

  Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Erni Murniasih pada tahun 2007 di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru Ambarawa, penderita TB paru pada anak balita

  40 sebagian besar ditemukan pada balita berumur ≤3 tahun (68%).

  b. Jenis Kelamin

  Berdasarkan jenis kelamin, risiko anak yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB hampir tidak ada perbedaan antara jenis kelamin laki-laki maupun perempuan sampai pada umur pubertas. Pada dasarnya, anak terutama bayi dan balita memiliki daya tahan tubuh yang masih lemah dimana imunitas selularnya belum terbentuk secara

  30 sempurna.

  Berdasarkan Profil Kesehatan D.I. Yogyakarta tahun 2013, angka prevalensi TB paru tahun 2012 berdasarkan jenis kelamin lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki yaitu sebesar 50 per 100.000 penduduk dibandingkan dengan jenis kelamin

  39 perempuan yaitu sebesar 36 per 100.000 penduduk.

  c. Gizi

  Gizi merupakan salah satu variabel yang sangat berperan dalam timbulnya kejadian TB. Bakteri TB adalah bakteri yang dapat tidur (dormant) selama bertahun- tahun dan apabila bakteri tersebut memiliki kesempatan aktif kembali, salah satu yang dapat mencegah agar seseorang tidak menjadi sakit TB adalah status gizi yang

  20 baik, baik pada wanita, laki-laki, anak-anak maupun dewasa.

  Penyakit TB dapat dengan mudah menyerang anak yang mempunyai status gizi kurang. Status gizi pada anak sangat penting, karena status gizi yang baik akan meningkatkan daya tahan dan kekebalan tubuh anak, sehingga anak tidak mudah menderita penyakit TB. Anak dengan status gizi yang baik apabila terinfeksi dengan bakteri TB cenderung menderita TB ringan dibandingkan dengan yang mempunyai

  31 status gizi buruk.

  Penelitian yang dilakukan oleh Windy Rakhmawati dengan menggunakan desain penelitian case control pada tahun 2008 di wilayah kerja Puskesmas Ciawi Kabupaten Tasikmalaya menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi dengan kejadian TB pada anak dimana terdapat perbedaan antara status gizi kurang dan status gizi baik. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai OR=7,111 yang artinya anak dengan gizi kurang memunyai risiko 7,111 kali lebih besar untuk

  38 menderita TB paru dibandingkan dengan anak yang bergizi baik.

d. Kondisi Sosial Ekonomi

  Menurut WHO (2003) yang dikutip oleh Achmadi yaitu 90% penderita TB di dunia menyerang kelompok dengan sosial ekonomi rendah atau miskin. Kondisi sosial ekonomi mungkin tidak berhubungan secara langsung dengan kejadian TB, namun dapat merupakan penyebab tidak langsung seperti adanya kondisi gizi memburuk, perumahan yang tidak sehat, dan akses terhadap pelayanan kesehatan

  20 juga menurun kemampuannya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Emita Ajis dengan menggunakan desain penelitian case control pada tahun 2009 di Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau, kondisi sosial ekonomi merupakan salah satu faktor risiko yang berperan terhadap kejadian TB paru, dapat dilihat dari nilai OR=2,458 artinya balita dengan status ekonomi keluarga rendah beresiko 2,458 kali lebih besar untuk menderita TB dibandingkan dengan balita dengan status ekonomi keluarganya

  36 tinggi.

  e. Penyakit Lain

  Penyakit TB lebih sering dan lebih mudah terjadi pada seseorang pada kondisi tertentu yang menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap penyakit TB. Beberapa penyakit yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap penyakit TB adalah HIV/AIDS, silikosis, immunocompromised, keganasan (terutama leukimia dan limfoma), diabetes melitus tergantung insulin, gagal ginjal kronik dan penyakit

  22

  saluran pencernaan dengan malnutrisi. Pada anak, penyakit TB lebih mudah terjadi pada penyakit campak dan batuk rejan. Apabila penyakit tersebut diderita oleh anak yang menderita infeksi primer TB, TB dapat meluas hingga menjadi TB milier atau

  30 meningitis TB.

  f. Riwayat Kontak

  Pada umumnya, seorang anak menderita TB dikarenakan tertular dari orang dewasa di sekitarnya dengan TB BTA positif. Penderita TB anak jarang menularkan TB kepada anak lainnya, hal ini dikarenakan bakteri TB sangat jarang ditemukan

  32 pada sekret endobronkial pasien anak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Abdullah dengan menggunakan desain penelitian case control pada periode waktu tahun 2007 sampai dengan triwulan II tahun 2009 di Puskesmas Namlea Kabupaten Buru Provinsi Maluku, kontak serumah merupakan faktor risiko TB paru yang signifikan, dapat dilihat dari nilai OR=3,05 yang artinya seseorang yang memunyai riwayat kontak dengan penderita TB paru di rumahnya memiliki risiko 3,05 kali lebih besar untuk menderita TB paru dibandingkan dengan seseorang yang tidak memunyai riwayat kontak

  37 dengan penderita TB paru.

g. Tempat Tinggal

  Kondisi kesehatan lingkungan rumah memiliki pengaruh secara tidak langsung terhadap kejadian penyakit TB paru. Lingkungan dan rumah yang tidak sehat seperti pencahayaan rumah yang kurang (terutama cahaya matahari), kurangnya ventilasi rumah, kondisi ruangan yang lembab, hunian yang terlalu padat mengakibatkan kadar CO2 di rumah meningkat. Peningkatan CO2, sangat mendukung perkembangan

1 Mycobacterium tuberculosis .

  Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Erwin dengan menggunakan desain penelitian case control di Balai Kesehatan Paru Masyarakat Semarang, kualitas fisik rumah memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian TB paru, dapat dilihat dari nilai OR=45,50 yang artinya kualitas fisik rumah yang tidak sehat memiliki risiko 45,50 kali lebih besar untuk terjadinya TB paru dibandingkan dengan kualitas

  28 fisik rumah yang sehat.

2.9. Pencegahan Tuberkulosis

2.9.1. Pencegahan Primer

  a. Memberikan promosi kesehatan dengan cara penyuluhan kepada masyarakat tentang cara-cara penularan dan cara-cara pemberantasan serta manfaat penegakan diagnosa dini.

  33

  b. Mengurangi dan menghilangkan kondisi sosial yang dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi misalnya kepadatan hunian.

  33

10 Peningkatan daya tahan tubuh seseorang dapat dilakukan dengan cara sebagai

  c. Peningkatan daya tahun tubuh

  berikut: i.

  Mengkonsumsi makanan yang bergizi. ii.

  Melengkapi perumahan dengan ventilasi yang cukup. iii.

  Mengusahakan agar setiap hari tidur dengan cukup dan teratur. iv.

  Berolahraga di tempat-tempat yang mempunyai udara segar. v.

  Vaksinasi Bacille Calmette-Guerin (BCG)

  19,26

  Vaksinasi BCG sangat penting untuk mengendalikan penyebaran penyakit TB dan menimbulkan sensitivitas terhadap tuberkulin. Vaksin BCG akan sangat efektif apabila diberikan segera setelah lahir atau paling lambat 2 bulan setelah lahir. Vaksinasi BCG tidak mencegah infeksi TB tetapi mengurangi risiko TB berat seperti meningitis dan TB milier. Efek proteksi timbul 8-12 minggu setelah penyuntikan. Efek proteksi bervariasi antara 0-80%. Hal ini mungkin disebabkan vaksin yang dipakai, lingkungan dengan Mycobacterium apitik atau faktor pejamu (umur, keadaan gizi, dan lain-lain).

2.9.2. Pencegahan Sekunder

  a. Case finding (penemuan kasus)

  

Case finding (penemuan kasus) yaitu menemukan kasus ataupun penderita TB

  paru baik secara aktif dengan mencari penderita TB paru di masyarakat maupun secara pasif dengan menunggu penderita TB paru yang mendatangi fasilitas kesehatan.

  Apabila ditemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari sumber penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB dan apabila sumbernya telah ditemukan, perlu dilakukan pelacakan sentrifugal yaitu mencari anak lain di sekitarnya yang mungkin juga tertular dengan cara uji tuberkulin. Sebaliknya, jika ditemukan penderita TB dewasa aktif, maka anak di sekitarnya atau yang kontak erat dengan orang dewasa tersebut harus ditelusuri ada atau tidaknya infeksi TB dengan cara

  16 anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang yaitu uji tuberkulin.

  b.

  Pengobatan TB paru pada anak Anak dengan TB tidak harus dirawat di rumah sakit karena jumlahnya cukup banyak dan dapat dirawat di rumah, kecuali telah terjadi komplikasi pada anak maka anak tersebut perlu dirawat di rumah sakit. Anak dapat sembuh benar jika anak dibawa berobat secara teratur dan mematuhi pengobatan dokter dengan pemberian obat minimum selama 6 bulan. Obat yang biasanya diberikan adalah yang sering dikenal sebagai kombinasi Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk anak, yaitu Isoniasid

  19 (INH), Rifampisin dan Pirazinamid.

  Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup adekuat. Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik secara klinis maupun pemeriksaan penunjang. Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter terbaik untuk menilai keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran radiologik tidak menunjukkan perubahan yang berarti, OAT

  17 tetap dihentikan.

  Semua anak yang tinggal serumah atau kontak dengan penderita TB paru BTA positif beresiko lebih besar untuk terinfeksi bakteri TB paru. Infeksi pada anak ini dapat berlanjut menjadi penyakit TB paru dan pada sebagian anak akan menjadi penyakit yang lebih serius (misalnya meningitis dan milier) yang dapat menimbulkan

  25

  kematian. Pada semua anak, terutama balita yang tinggal serumah atau kontak erat dengan penderita TB paru BTA positif, perlu dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan sistem skoring. Apabila hasil evaluasi dengan menggunakan sistem skoring menunjukkan skor < 5, kepada anak tersebut diberikan Isoniazid (INH) dengan dosis 5-10 mg/kg BB/hari selama 6 bulan. Apabila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, imunisasi BCG dilakukan setelah pengobatan

  17 pencegahan selesai.

  Dikarenakan diagnosis TB pada anak sulit dilakukan, maka Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) telah membuat Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak dengan menggunakan sistem skor (scoring system), yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang ditemukan. Pedoman tersebut secara resmi digunakan oleh program

  17 nasional oleh program nasional pengendalian TB untuk diagnosis TB anak.

Tabel 2.1 Sistem skor gejala dan pemeriksaan penunjang TB Parameter

  1

  2

  3 Jumlah

  Kontak TB Tidak jelas Laporan BTA keluarga, positif BTA negatif atau tidak tahu, BTA tidak jelas

  Uji tuberkulin Negatif Positif (≥10 mm, atau ≥ 5 mm pada keadaan imunosu presi)

  Berat badan/ Bawah garis Klinis gizi keadaan gizi merah (KMS) buruk (BB/U atau BB/U <60%) <80% ≥

  Demam tanpa 2 minggu sebab jelas ≥

  Batuk 3 minggu ≥

  Pembesaran 1 cm, kelenjar limfe jumlah >1, koli, aksila, tidak nyeri inguinal Pembengkakan Ada tulang/sendi pembengkaka panggul, lutut, n falang Foto toraks Normal/ Kesan TB tidak jelas

  Jumlah Sumber : Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis tahun 2011 Catatan : a. Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.

  b. Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik lainnya seperti Asma, Sinusitis dan lain-lain. c. Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), penderita dapat langsung didiagnosis TB.

  d. Berat badan dinilai saat penderita datang (moment opname) dengan melampirkan tabel berat badan.

  e. Foto toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak.

  f. Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul <7 hari setelah penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.

  g. Anak didiagnosis TB jika jumlah skor >6, (skor maksimal 14).

  h. Penderita usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut. i.

  Tujuan Pengobatan

   Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,

  mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya

  17

  resistensi bakteri terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Tujuan pengobatan TB pada anak adalah menyingkirkan resiko penyebaran dari lesi dan membunuh bakteri TB pada fokus primer dan kelenjar getah bening terkait yang merupakan

  30 bagian dari kompleks primer.

  17 ii.

  Prinsip Pengobatan

   Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut: a.

  OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi dengan beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan.

  Sebaiknya tidak menggunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-

  Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

  b.

  Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). iii.

  Pedoman Pengobatan Kategori Anak

  

Prinsip pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam

  waktu 6 bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun pada tahap lanjutan dan dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak. Susunan panduan obat TB pada anak adalah dikenal sebagai 2HRZ/ 4HR yang terdiri dari tahap intensif dan tahap lanjutan. Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), dan Pirasinamid (Z) yang diberikan setiap hari selama 2 bulan. Tahap lanjutan terdiri dari Isoniasid (H) dan Rifampisin (R) yang

  17,25 diberikan setiap hari selama 4 bulan.

Tabel 2.2 Dosis OAT Kombipak pada anak Jenis Obat BB <10 kg BB 10-19 kg BB 20-32 kg

  Isoniasid 50 mg 100 mg 200 mg Rifampisin 75 mg 150 mg 300 mg Pirasinamid 150 mg 300 mg 600 mg

  Sumber : Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis tahun 2011

Tabel 2.3 Dosis OAT KDT pada anak Berat badan (kg) 2 bulan tiap hari 4 bulan tiap hari RHZ (75/50/150) RH (75/50)

  5-9 1 tablet 1 tablet 10-14 2 tablet 2 tablet 15-19 3 tablet 3 tablet 20-32 4 tablet 4 tablet

  Sumber : Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis tahun 2011

  Keterangan : a. Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg, dirujuk ke rumah sakit.

  b. Anak dengan berat badan 15-19 kg dapat diberikan 3 tablet.

  c. Anak dengan berat badan lebih dari 33 kg, dirujuk ke rumah sakit.

  d. Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah.

  e.

  OAT KDT dapat diberikan dengan cara ditelan secara utuh atau digerus sesaat sebelum diminum .

  c. Pensterilisasian barang-barang yang telah tercemar oleh bakteri TB dengan cara menjemur misalnya sprei, kasur pakaian penderita TB di bawah sinar matahari secara langsung yang akan membunuh bakteri TB.

  d. Penetapan diagnosis TB paru anak Diagnosis pasti TB ditegakkan dengan ditemukannya Mycobacterium tuberculosis pada pemeriksaan sputum (dahak), bilasan lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura, atau pada biopsi jaringan. Pada anak, kesulitan dalam menegakkan diagnosis pasti disebabkan oleh dua hal, yaitu sedikitnya jumlah bakteri (paucibacillary) dan sulitnya pengambilan spesimen sputum. Jumlah bakteri TB di sekret bronkus anak penderita TB lebih sedikit daripada pada orang dewasa dikarenakan lokasi kerusakan jaringan TB paru primer terletak di kelenjar limfe hilus dan parenkim paru tidak seberat pada orang dewasa. Bakteri Tahan Asam (BTA) baru dapat dilihat dengan mikroskop apabila jumlahnya paling sedikit 5000 bakteri dalam 1 ml spesimen

  26 sputum.

  Karena berbagai alasan di atas, maka diagnosis TB anak tergantung pada penemuan klinis dan radiologis, pemeriksaan uji tuberkulin dan laboratorium.

  Adanya riwayat kontak dengan penderita TB dewasa BTA positif, uji tuberkulin positif dan foto paru yang mengarah pada TB (sugestif TB) merupakan bukti kuat

  

26

yang menyatakan anak telah menderita TB.

  i.

  Uji Tuberkulin Pemeriksaan ini masih banyak digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis TB terutama pada anak-anak(balita). Biasanya digunakan tes Mantoux yaitu dengan menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin PPD (Purified Protein Derivative)

  18 intrakutan berkekuatan 5 TU (intermediate strength).

  Hasil tes Mantoux dinyatakan positif apabila setelah menyuntikkan sejumlah kecil (0,1 ml) bakteri TB yang telah dimatikan dan dimurnikan ke dalam lapisan dermis (lapisan kulit teratas) pada lengan bawah anak, indurasi (tonjolan keras tetapi tidak sakit) yang terbentuk memiliki diameter 10 mm atau lebih. Pada bayi dan anak kurang dari 2 tahun, hasil tes dinyatakan positif apabila indurasinya berdiameter 15 mm atau lebih, hal ini dikarenakan pengaruh vaksin BCG yang

  19 diperoleh anak ketika baru lahir masih kuat.

  Pada anak dengan kontak erat dengan penderita TB dewasa aktif dan BTA positif, atau anak dengan imunokompromais misalnya gizi buruk, keganasan dan lain-lain, diameter indurasi ≥5 mm harus dicurigai terinfeksi TB. Pada anak tanpa risiko tetapi tinggal di daerah endemis TB, uji tuberkulin perlu dilakukan pada umur 1 tahun, 4-6 tahun dan 11-16 tahun. Tetapi pada anak dengan risiko tinggi di

  26 daerah endemis TB, uji tuberkulin perlu dilakukan setiap tahun.

  ii.

  Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan radiologis merupakan cara yang praktis untuk menemukan lesi

  TB. Pemeriksaan ini memang membutuhkan biaya lebih dibandingkan dengan pemeriksaan sputum, tetapi dalam beberapa hal pemeriksaan ini memberikan

  18

  keuntungan seperti pada TB anak dan TB milier. Secara umum, gambaran radiologis yang mengarah pada TB adalah pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan atau tanpa infiltrat, konsolidasi segmental atau lobar, milier,

  26 kalsifikasi, atelektasis, kavitas dan efusi pleura.

  Pada anak, pemeriksaan radiologis biasanya dilakukan dengan foto rontgen dada yang dilakukan untuk memperkuat diagnosa. Foto sebaiknya dilakukan dari arah depan dan dari arah samping, supaya adanya infiltrat tidak tertutup oleh bayangan jantung, karena pada anak-anak seringkali bakteri TB membangun

  19 sarang di kelenjar getah bening yang lokasinya berdekatan dengan jantung.

  19 iii.

  Pemeriksaan Darah Pada pemeriksaan darah, yang diperiksa adalah LED dan dan kadar limfosit, yang hanya digunakan sebagai data pendukung. Nilai LED dan limfosit yang tinggi (diatas batas normal) hanya menunjukkan terjadinya infeksi dalam tubuh.

  34 iv.

  Pemeriksaan Patologi Anatomi Pada pemeriksaan patologi anatomi, biasanya yang diperiksa adalah kelenjar getah bening, hepar, pleura, peritonium, kulit, dan lain-lain. Apabila anak yang telah mendapat BCG, langsung terdapat reaksi lokal kemerahan yang lebih cepat dan besar dalam waktu kurang dari 7 hari setelah penyuntikan , maka harus dicurigai menderita TB dan diperiksa lebih lanjut.

  35

2.9.3. Pencegahan Tersier

  a. Mencegah jangan sampai terjadi cacat atau kelainan permanen, mencegah bertambah parahnya penyakit atau mencegah kematian dengan cara memperpanjang sistem pengobatan yang diberikan.

  b. Upaya rehabilitasi untuk mencegah terjadinya akibat efek samping dari penyembuhan seperti pengembalian fisik, fungsi psikologis, dan sosial seoptimal mungkin yang meliputi rehabilitasi fisik atau medis, rehabilitasi fungsi mental atau psikologis serta rehabilitasi sosial misalnya melalui pemberian nutrisi tinggi kalori dan tinggi protein.

2.10. Model Kerangka Konsep Karakteristik Balita Penderita TB Paru yang Dirawat Inap

  1. Sosiodemografi a.

  Umur b.

  Jenis Kelamin c. Suku d.

  Agama e. Tempat tinggal

  2. Status gizi

  3. Status imunisasi BCG

  4. Diganosa penyakit

  5. Lama rawatan rata-rata

  6. Keadaan sewaktu pulang

  7. Sumber biaya