Peranan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perpajakan dan Penyidik POLRI dalam Penanganan Tindak Pidana Perpajakan.

(1)

PERANAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS)

PERPAJAKAN DAN PENYIDIK POLRI DALAM PENANGANAN

TINDAK PIDANA PERPAJAKAN

TESIS

OLEH:

SITI MAIMANA SARI KETAREN

107005008/ HK

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERANAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS)

PERPAJAKAN DAN PENYIDIK POLRI DALAM PENANGANAN

TINDAK PIDANA PERPAJAKAN

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

Dalam Program Magister Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

SITI MAIMANA SARI KETAREN

107005008/ HK

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis

:

PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS)

PERPAJAKAN DAN PENYIDIK POLRI DALAM

PENANGANAN TINDAK PIDANA PERPAJAKAN

Nama

:Siti Maimana Sari Ketaren

Nim

:107005008

Program Studi

:Ilmu Hukum

Menyetujui

Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS)

Ketua

(Dr. Madiasa Ablisar, SH, MS)

(Dr. M. Hamdan, SH, M.Hum)

Anggota

Anggota

Ketua Program Studi Ilmu Hukum

Dekan

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH)

(Prof. Dr. Runtung, SH,M.Hum)


(4)

Telah Diuji Pada

Tanggal 15 Febuari 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua

: Prof. Alvi Syahrin, SH, MS

Anggota

: 1. Dr. Madiasa Ablisar, SH, MS

2. Dr. M. Hamdan, SH, M.Hum

3. Dr. T. Kaizerina Devi, SH, CN, MH

4. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, MH


(5)

ABSTRAK

Pajak dipandang sangat penting di dalam negara yang bersifat kesejahteraan

(welfare state)

yaitu sebagai salah satu pendapatan untuk meningkatkan

kesejahteraan sosial masyarakat di negara yang bersangkutan. Indonesia termasuk

salah satu negara yang menempatkan pajak sebagai salah satu sumber pendapatan

negara, walaupun belum menempatkan pajak sebagai salah satu sumber peningkatan

kesejahteraan rakyat. Dalam proses penegakan hukum dimana penegakan hukum

pidana pajak termasuk di dalamnya, maka akan selalu berhadapan dengan suatu

sistem peradilan pidana (

criminal jutice system

). Sistem ini adalah suatu sistem dalam

masyarakat untuk menanggulangi kejahatan.

Sistem peradilan pidana terdapat komponen, yaitu kepolisian, kejaksaan,

pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Selain komponen dalam sistem peradilan

pidana sebagaimana yang disebutkan , maka perlu ditambahkan lagi satu komponen

yang khusus untuk perkara tindak pidana perpajakan, yakni penyidik pegawai negeri

sipil (PPNS) yang juga berwenang melakukan penyidikan bilamana terjadi suatu

tindak pidana di bidang pajak demi menunjang keberhasilan penuntut umum

menangani perkara tindak pidana pajak.

Penelitian ini mengunakan pendekatan yang bersifat normatif yang mana

diterangkan dengan secara deskriptif analitis yang menggambarkan suatu peraturan

hukum dalam konteks teori-teori

hukum dan pelaksanaanya, serta menganalisis fakta

secara cermat tentang

peranan PPNS dalam penyidikan tindak pidana

perpajakan.Peranan PPNS sebagai institusi di luar Polri untuk membantu tugas-tugas

kepolisian dalam melakukan penyidikan dengan tegas diatur dalam Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana

dan

Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia. PPNS maupun penyidik POLRI harus saling

memberikan dukungan, khususnya dukungan informasi tentang suatu tindak pidana

yang ditangani agar pelaksanaan penyidikan tindak pidana dapat berjalan lancar dan

tuntas dalam pelaksanaannya.

untuk menghindari terjadinya tumpang tindih

kewenangan dalam melakukan penyidikan yang diperlukan peningkatan koordinasi

dan pengawasan antar institusi yang terkait dalam penegakan hukum, serta sosialisasi

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kewenangan melakukan

penyidikan agar diperoleh pemahaman yang tepat terkait tugas dan kewenangan

masing-masing institusi. Melalui sosialisasi ini diharapkan dapat mempersempit

jurang pemisah di antara masing-masing institusi sekaligus dapat mewujudkan

institusi penyidik yang saling melengkapi


(6)

ABSTRACT

Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS

1

Dr. Madiasa Ablisar, SH, MS

2

Dr. M. Hamdan, SH, M.Hum

3

Siti Maimana Sari Ketaren

4

The tax is an important thing as welfare state as one of income source for the

increasing of social welfare in a state. Indonesia is one of nation that put tax as one

of state income source although it has not yet put tax as one of increasing of society

welfare. In the law enforcement process include the tax law enforcement, it always

face to criminal justice system. This system is one of system to eradicate the crime in

a society.

Crimnal justice system has any components, i.e. police, attorney, court, and

correctional instituation. In addition to the component of the criminal justice system,

there is one specific component for the case of tax, i.e. the civil servant investigator

(PPNS) who has responsibility to do the investigation if there is a crime in tax to

support the public attorney in handle the tax case.

This research applies the normative approach in which will describe

analytically about a law regulation in law theories and its implementation and

analyze the fact accurately about the role of PPNS an investigation of tax crime. The

role of PPNS as instuation out of Police aims to help the task of police in to the

investigation that determined in the Crime Procesure Law and Act No. 2 of 2002

concerning to the Police of republic of Indonesia. PPNS or Police must helpot one to

the others especially in provide the required information about the crime case to

support the crime investigation actually and completely to avoid the intersect of

authority in do the investigation that requires the coordination and supervision

between the related instituation in enforcement, and socialization of the rule related

to the authority in any investigation and to obtain the understanding about the task

and authority for each instituation. Through this socialization it will eliminate the

gap between the instituation and realize the complete instituation.

Keywords : Police Investigator, PPNS, Tax Crime

1

The Chief Of Guide Commitee 2

The Second Guide Commitee 3

The Third Guide Commitee 4


(7)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas

segala karunia-Nya, akhirnya tersusunlah tesis ini dengan judul: Peranan Penyidik Pegawai

Negeri Sipil (PPNS) Perpajakan dan Penyidik POLRI dalam Penanganan Tindak Pidana Perpajakan.

Penulisan tesis merupakan syarat untuk menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera. Selesainya tesis ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. untuk itu, dengan sepenuh hati penulis menghaturkan terima kasih kepada mereka.

Secara khusus terima kasih yang mendalam penulis sampaikan kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc. (CTM),

Sp. A(K), selaku pimpinan tertinggi di Universitas Sumatera Utara.

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum.

3. Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara, Prof. Dr. Suhaidi, SH. MH.

4. Pembimbing dalam penulisan tesis yaitu: Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH. MS, Dr. Madiasa

Ablisar, SH. MS, Dr. M.Hamdan, SH. MH, yang telah memberikan bimbingan dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini

5. Penguji tesis Dr. T. Keizerina Devi, SH, CN, M.H. dan Dr. Mahmud Mulyadi, SH, MH,

yang telah memberi masukan dan saran yang bersifat konstruktif demi kesempurnaan tesis ini.


(8)

6. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda ir. H. Kumala Ketaren,MM dan Ibunda Hj. Tengku Zam-Zam Safinah yang telah mencurahkan segenap doa, perhatian, cinta kasih, kesabaran dan dukungan.

7. Saudara yang tersayang , Budi Prakarsa Ketaren. SH, MH, Faisal Lafi Sa’din Ketaren

dan Abdurahman Harit’s Ketaren makasi telah mencurahkan doa dan memberi dorongan semangat buat penulisan ini

8. Kepada teman temanku , Khairuna Malik Hasibuan ,Khairunissa Ginting ,Riyan Hidayat

,Junaedy Sebayang ,Lukman Arief Sebayang ,Hanif Marcello ,Hadi Nugraha, Kartika dan O.K.Zulkhairi, yang telah mencurahkan doa ,memberi semangat dan bantuan dalam penulisan ini.

9. Kepada bapak Supianto ,ibu Suryati ,bapak Ahmad Jamal Sebayang ,dan ibu Marina

Ginting yang telah mencurahkan doa ,perhatian dan bantuannya dalam penulisan ini 10. Civitas akademika Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu penulis

dalam proses perkuliahan di Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara

11. Teman-teman Angkatan 2010 yang selalu memotivasi penulis agar cepat menyelesaikan

kuliah, semoga kebersamaan yang sudah terjalin menjadi lebih erat dimasa mendatang

Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan

kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu

dilimpahkan kebaikan, kesehatan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua.

Amin ya Rabbal Alamin.

Akhirnya demi kesempurnaan tesis ini penulis mengharapkan kritik dan saran


(9)

sempurna, namun tak ada salahnya jika penulis berharap kiranya tesis ini dapat

memberikan manfaat kepada semua pihak.

Medan, Febuari 2013

Penulis


(10)

RIWAYAT HIDUP I. IDENTITAS PRIBADI

Nama Lengkap : Siti Maimana Sari Ketaren

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 5 Oktober 1989

Status : Belum Menikah

Alamat : Jl.Singgalang No.4 Medan

II. KELUARGA

Nama Ayah : Ir. H. Kumala Ketaren, MM

Nama Ibu : Hj. Tengku Zam-Zam Safinah

Nama Abang : Budi Prakarsa Ketaren

Nama Adik : 1. Faisal Lafi Sa’din Ketaren 2. Abdurahman Harit’s ketaren

III. PENDIDIKAN

SD : SD Bhayangkari 1 Medan (Tahun 1994 s/d 2000)

SMP : SMP WR.SUPRATMAN 1 Medan (Tahun 2000 s/d 2003)

SMA : SMA WR.SUPRATMAN 2 Medan (Tahun 2003 s/d 2006)

Perguruan Tinggi/S1 : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan (Tahun 2006 s/d 2010)

Perguruan Tinggi/S2 : Fakultas Hukum Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Medan (Tahun 2010 s/d 2013)


(11)

DAFTAR ISI

ABSTRAK….……… i

ABSTRACT……….. ii

KATA PENGANTAR……….………. iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ………….………... vi

DAFT

AR ISI…...………... vii

BAB I PENDAHULUAN ... ... 1

A.

.

Latar Belakang ... 1

B.

Permasalahan ... 6

C.

.

Tujuan Penelitian ... 7

D.

.

Manfaat Penelitian... 7

E.

.

Keaslian Penelitian... 8

F.

Kerangka Teori dan Konsepsi... ... 8

1.

Kerangka Teori

... 8

2.

Landasan Konsepsi... 20

G.

.

Metode Penelitian... 22

1.

Jenis Penelitian ...

22

2.

Sumber Data

...

22

3.

Teknik Pengumpulan Bahan Hukum...

24

4.

Teknik Analisis Data ...

25

BAB II. PENGATURAN HUKUM TERHADAP PENYIDIK PEGAWAI

NEGERI SIPIL ... .. 26

A.

PPNS dan Masalah Penegakan Hukum ...

26

B.

PPNS sebagai Bagian dari Sistem Peradilan Pidana ...

37

C.

Hubungan Kerja antara PPNS dengan Penyidik Polri dalam

Penyelenggaraan Peradilan Pidana ...

43

BAB III. PERANAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM

PENYIDIK TINDAK PIDANA PERPAJAKAN ...

57

A.

Urgensi Keberadaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) ...

57

B.

Kedudukan dan Sejarah perkembangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil

(PPNS) di Lingkungan Pemerintah Daerah ...

64

C.

Tugas, Wewenang dan Kewajiban PPNS Perpajakan dan Penyidik Polri


(12)

BAB IV. HUBUNGAN HUKUM ANTARA PENYIDIK PEGAWAI

NEGERI SIPIL PERPAJAKAN DENGAN PENYIDIK

KEPOLISIAN DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA

PERPAJAKAN ...

85

A.

Pemberitahuan dimulainya Penyidikan ...

86

B.

Pemberian Petunjuk ...

87

C.

Bantuan Penyidik ...

88

D.

Penyerahan Berkas Perkara ...

90

E.

Penyanderaan dan Barang Bukti ...

94

F.

Penghentian Penyidikan ...

98

G.

Pelimpahan Proses Penyidikan ... 100

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ...

105

A.

Kesimpulan ... 105

B.

Saran ... 107


(13)

ABSTRAK

Pajak dipandang sangat penting di dalam negara yang bersifat kesejahteraan

(welfare state)

yaitu sebagai salah satu pendapatan untuk meningkatkan

kesejahteraan sosial masyarakat di negara yang bersangkutan. Indonesia termasuk

salah satu negara yang menempatkan pajak sebagai salah satu sumber pendapatan

negara, walaupun belum menempatkan pajak sebagai salah satu sumber peningkatan

kesejahteraan rakyat. Dalam proses penegakan hukum dimana penegakan hukum

pidana pajak termasuk di dalamnya, maka akan selalu berhadapan dengan suatu

sistem peradilan pidana (

criminal jutice system

). Sistem ini adalah suatu sistem dalam

masyarakat untuk menanggulangi kejahatan.

Sistem peradilan pidana terdapat komponen, yaitu kepolisian, kejaksaan,

pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Selain komponen dalam sistem peradilan

pidana sebagaimana yang disebutkan , maka perlu ditambahkan lagi satu komponen

yang khusus untuk perkara tindak pidana perpajakan, yakni penyidik pegawai negeri

sipil (PPNS) yang juga berwenang melakukan penyidikan bilamana terjadi suatu

tindak pidana di bidang pajak demi menunjang keberhasilan penuntut umum

menangani perkara tindak pidana pajak.

Penelitian ini mengunakan pendekatan yang bersifat normatif yang mana

diterangkan dengan secara deskriptif analitis yang menggambarkan suatu peraturan

hukum dalam konteks teori-teori

hukum dan pelaksanaanya, serta menganalisis fakta

secara cermat tentang

peranan PPNS dalam penyidikan tindak pidana

perpajakan.Peranan PPNS sebagai institusi di luar Polri untuk membantu tugas-tugas

kepolisian dalam melakukan penyidikan dengan tegas diatur dalam Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana

dan

Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia. PPNS maupun penyidik POLRI harus saling

memberikan dukungan, khususnya dukungan informasi tentang suatu tindak pidana

yang ditangani agar pelaksanaan penyidikan tindak pidana dapat berjalan lancar dan

tuntas dalam pelaksanaannya.

untuk menghindari terjadinya tumpang tindih

kewenangan dalam melakukan penyidikan yang diperlukan peningkatan koordinasi

dan pengawasan antar institusi yang terkait dalam penegakan hukum, serta sosialisasi

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kewenangan melakukan

penyidikan agar diperoleh pemahaman yang tepat terkait tugas dan kewenangan

masing-masing institusi. Melalui sosialisasi ini diharapkan dapat mempersempit

jurang pemisah di antara masing-masing institusi sekaligus dapat mewujudkan

institusi penyidik yang saling melengkapi


(14)

ABSTRACT

Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS

1

Dr. Madiasa Ablisar, SH, MS

2

Dr. M. Hamdan, SH, M.Hum

3

Siti Maimana Sari Ketaren

4

The tax is an important thing as welfare state as one of income source for the

increasing of social welfare in a state. Indonesia is one of nation that put tax as one

of state income source although it has not yet put tax as one of increasing of society

welfare. In the law enforcement process include the tax law enforcement, it always

face to criminal justice system. This system is one of system to eradicate the crime in

a society.

Crimnal justice system has any components, i.e. police, attorney, court, and

correctional instituation. In addition to the component of the criminal justice system,

there is one specific component for the case of tax, i.e. the civil servant investigator

(PPNS) who has responsibility to do the investigation if there is a crime in tax to

support the public attorney in handle the tax case.

This research applies the normative approach in which will describe

analytically about a law regulation in law theories and its implementation and

analyze the fact accurately about the role of PPNS an investigation of tax crime. The

role of PPNS as instuation out of Police aims to help the task of police in to the

investigation that determined in the Crime Procesure Law and Act No. 2 of 2002

concerning to the Police of republic of Indonesia. PPNS or Police must helpot one to

the others especially in provide the required information about the crime case to

support the crime investigation actually and completely to avoid the intersect of

authority in do the investigation that requires the coordination and supervision

between the related instituation in enforcement, and socialization of the rule related

to the authority in any investigation and to obtain the understanding about the task

and authority for each instituation. Through this socialization it will eliminate the

gap between the instituation and realize the complete instituation.

Keywords : Police Investigator, PPNS, Tax Crime

1

The Chief Of Guide Commitee 2

The Second Guide Commitee 3

The Third Guide Commitee 4


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pajak dipandang sangat penting di dalam negara yang bersifat kesejahteraan (welfare state) yaitu sebagai salah satu pendapatan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial

masyarakat di negara yang bersangkutan.5 Indonesia termasuk salah satu negara yang

menempatkan pajak sebagai salah satu sumber pendapatan negara, walaupun belum menempatkan pajak sebagai salah satu sumber peningkatan kesejahteraan rakyat.

Beberapa pakar di bidang perpajakan merumuskan pajak sebagai bentuk iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada pemerintah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, untuk digunakan membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Penarikan pajak dilakukan oleh pemerintah berdasarkan pada peraturan yang berlaku umum dan dapat dipaksakan.

Meskipun terdapat contradictio in terminis “iuran wajib” dalam pengertian pajak,

tetapi banyak orang memahami pajak adalah bentuk pungutan uang kepada rakyat yang dapat dipaksakan berlakunya melalui badan-badan kekuasaan negara. Iuran pada umumnya diberi

pengertian sokongan dalam bentuk uang pada perkumpulan secara suka rela,6 dan apabila

5

Romli Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional, (Jakarta: Mandar Maju, 2004), hal. 39

6

W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1982), hal. 390.


(16)

yang bersangkutan tidak membayar, maka yang bersangkutan tidak dapat diberikan sanksi hukum. Seseorang membayar iuran lebih merupakan kewajiban etis dari pada kewajiban hukum. Sebaliknya, apabila hal itu ditempatkan sebagai kewajiban, maka kepada mereka yang tidak membayar dapat diancam dengan sanksi hukum, termasuk sanksi pidana yang telah ditetapkan sebelumnya. Pengertian iuran wajib pada pajak, bertitik tolak dari kewajiban yang ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan penggunaan uang dari wajib pajak untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, sehingga atas pelanggaran iuran wajib dapat dikenai dengan sanksi pidana.

Begitu pentingnya pajak sebagai sumber pendapatan negara untuk membiayai pembangunan, serta pemberian fasilitas oleh pemerintah guna kepentingan orang pribadi atau badan, maka dalam beberapa referensi hukum pidana dan kriminologi pelanggaran atas perundang-undangan pajak digolongkan sebagai kejahatan berat (felony) yang dapat diancam dengan pidana penjara dan denda secara komulatif.

Penggolongan kejahatan di bidang perpajakan sebagai kejahatan berat tercermin pada UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada UU tersebut, kejahatan di bidang perpajakan dikategorikan sebagai salah satu kejahatan korupsi yang sulit diberantas.

Hukum pajak adalah sebagian dari hukum publik, dan ini adalah begian dari tata tertib hukum yang memuat cara-cara untuk mengatur pemerintahan. Yang termasuk kedalam hukum ini ialah: hukum tata negara, hukum pidana dan hukum administratif,sedangkan hukum pajak merupakan anak bagian dari hukum administratif ini, sekalipun ada yang menghendaki (a.l. Prof. Adriani tsb.dimuka) agar supaya kepada hukum pajak diberikan tempat tersendiri disamping hukum administratif (otonomi hukum pajak) karena hukum pajak juga mempunyai tugas yang bersifat lain daripada hukum administratif pada umumnya,


(17)

yaitu hukum pajak dipergunakan juga sebagai alat untuk menentukan politik perekonomian lagipula hukum pajak umumnya mempunyai tata tertib dan istilah-istilah tersendiri untuk

lapangan pekerjaannya.7

Referensi hukum pidana juga menempatkan tindak pidana di bidang pajak sebagai white collar crime dan sekaligus merupakan salah satu jenis dari business crimes.8 Bahkan dewasa ini, sejalan dengan perkembangan teknologi informasi dan transportasi abad ke 21, tindak pidana pajak sudah merupakan tindak pidana lintas batas negara atau sering dikenal

sebagai transfer pricing, yang selalu tumpang-tindih dengan tindak pidana pencucian uang.9

Dilihat dari segi normanya, peraturan di bidang perpajakan termasuk bidang hukum administrasi, yaitu merupakan bagian dari keseluruhan aturan hukum yang menentukan bagaimana negara sebagai penguasa menjalankan usaha-usaha untuk memenuhi tugas-tugas, atau cara bagaimana penguasa itu seharusnya bertingkah laku dalam mengusahakan tugas-tugasnya.10

7 Brotodihardjo R.Santoso ,

Penghantar Ilmu Hukum Pajak, Cet. 3, (Bandung: Rafika Aditama, 1998), hal. 10.

8

Michael Clarke (1990); Ellen S. Podgor (1993); Marshal B. Clinard (1980) sebagaimana dikutip oleh Romli Atmasasmita, Tax Crimes merupakan salah satu dari 9 (sembilan) "corporate crimes" yaitu: tindak pidana di bidang perbankan, tindak pidana di bidang pasar modal, tindak pidana dalam bidang kepailitan, tindak pidana dalam bidang lingkungan hidup, tindak pidana dalam bidang komputer, dan tindak pidana dalam bidang keuangan.

9

Tindak pidana pencucian uang berdasarkan Pasal 2 UU No 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dinyatakan sebagai bentuk tindak pidana yang berpotensi menghasilkan uang yang cukup besar dan hasil disamarkan, sehingga menyulitkan pelacakan. Bidang perpajakan merupakan salah satu bentuk tindak pidana yang berpotensi menghasilkan uang yang cukup besar dan uang hasil dari tindak pidana tersebut dapat disamarkan melalui penyedia jasa keuangan.

10 Kusumadi Pudjosewojo dalam Kansil,

Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hal. 345-346


(18)

Dalam proses penegakan hukum dimana penegakan hukum pidana pajak termasuk di dalamnya, maka akan selalu berhadapan dengan suatu sistem peradilan pidana (criminal jutice system). Sistem ini adalah suatu sistem dalam masyarakat untuk menanggulangi

kejahatan.11 Dalam sistem ini terdapat komponen, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan

lembaga pemasyarakatan. Keempat komponen ini saling terkait dan harus dapat bekerja sama

untuk mencapai tujuan sistem ini, yaitu:12

1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan

2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa

kaeadilan telah ditegakkan dan yang bersalah telah dipidana

3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi

kejahatannya.

Kegiatan penyidikan merupakan tahapan kegiatan beracara pidana sebagai penegakan hukum pidana, yang mungkin didahului dengan kegiatan penyelidikan dan harus dilaksankaan dengan kegiatan berikutnya, yaitu kegiatan penuntutan, kegiatan pemeriksaan perkara di pengadilan dan eksekusi atau pelaksanaan putusan pengadilan sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Oleh karena itu, penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981). Dari pernyataaan tersebut, berarti kegiatan penyidikan baru dimulai apabila terdapat bukti

11

Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pusat Pelayanan keadilan dan pengabdian hukum, Universitas Indonesia, 1999), hal. 84

12


(19)

permulaan yang cukup tentang telah terjadinya suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Sebelum melakukan penyidikan, maka penyidik harus menerbitkan surat perintah penyidikan. Apabila suatu perintah penyidikan dan pelaksanaan penyidikan dilakukan oleh pejabat pegawai negeri sipil, maka PPNS tersebut harus segera menyampaikan hasil penyidikannya kepada penyidik POLRI.

Berkas hasil penelitian dibuat dalam berita acara pemeriksaan (BAP), sedangkan untuk dapat disampaikan kepada pengadilan melalui penuntut umum harus memenuhi syarat formal dan syarat material. Syarat formal berkaitan dengan dipenuhinya syarat procedural menurut ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sedangkan syarat material berkaitan dengan kelengkapan data hasil penyidikan yang akan dijadikan bahan argumentasi untuk membuktikan di pengadilan.

Sehubungan dengan penanganan perkara tindak pidana pajak, maka ada satu unsur yang tidak dapat diabaikan, yakni penyidikan yang dilakukan oleh pejabat pegawai negeri sipil yang memegang peranan cukup penting karena ada kalanya berhadapan langsung dengan pelaku di lapangan dengan para pelaku tindak pidana pajak.

Selain komponen dalam sistem peradilan pidana sebagaimana yang disebutkan di atas, maka perlu ditambahkan lagi satu komponen yang khusus untuk perkara tindak pidana pajak, yakni penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) yang juga berwenang melakukan penyidikan bilamana terjadi suatu tindak pidana di bidang pajak demi menunjang keberhasilan penuntut umum menangani perkara tindak pidana pajak.

Berangkat dari pemikiran tersebut di atas, penulis tertarik untuk meneliti tentang kewenangan penyidik pegawai negeri sipil dalam penyidikan tindak pidana perpajak ini ke


(20)

dalam sebuah penelitian yang berjudul: Peranan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perpajakan dan Penyidik POLRI dalam Penanganan Kasus Tindak Pidana Perpajakan.

B. Permasalahan

Permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengaturan hukum terhadap penyidik pegawai negeri sipil menurut

perundang-undangan di Indonesia?

2. Bagaimanakah peran penyidik pegawai negeri sipil dalam penyidikan tindak pidana

perpajakan?

3. Bagaimanakah hubungan hukum antara penyidik pegawai negeri sipil perpajakan

dengan penyidik kepolisian dalam penanganan tindak pidana perpajakan?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pengaturan hukum terhadap penyidik pegawai negeri sipil

menurut perundang-undangan di Indonesia

2. Untuk mengetahui peran penyidik pegawai negeri sipil dalam penyidikan tindak

pidana perpajakan

3. Untuk mengetahui hubungan hukum antara penyidik pegawai negeri sipil perpajakan

dengan penyidik kepolisian dalam penanganan tindak pidana perpajakan D. Manfaat Penelitian

1. Teoritis

Secara teoritis penelitian ini memberikan manfaat dalam memahami peran penyidik pegawai negeri sipil di bidang perpajakan. Selain itu hasil penelitian ini dapat menjadi bahan kajian ilmiah dan wacana bagi kalangan akademis, peneliti, dan


(21)

praktisi perpajakan yang tertarik pada masalah peran penyidik pegawai negeri sipil di bidang perpajakan

2. Praktis

Hasil penelitian dapat menjadi bahan kajian awal bagi Direktorat Jenderal Pajak untuk melakukan peningkatan kualitas PPNS dan fakta penelitian dapat dijadikan pertimbangan bagi PPNS dalam menjalankan peran penyidikan dalam tindak pidana perpajakan.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan, khususnya di lingkungan Sekolah Pascasarjana Unversitas Sumatera Utara terhadap hasil-hasil penelitian yang ada, ternyata belum ada yang melakukan penelitian mengenai “Peranan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perpajakan dan Penyidik POLRI dalam Penanganan Kasus Tindak Pidana

Perpajakan”. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan dalam penulisan ini adalah asli

sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara akademis

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka Teoritis dalam penulisan ilmiah berfungsi sebagai pemandu untuk mengorganisasi, menjelaskan dan memprediksi fenomena-fenomena dan atau objek masalah yang diteliti dengan cara mengkonstruksi keterkaitan antara konsep secara deduktif ataupun induktif. Oleh karena objek masalah yang diteliti dalam tesis ini berada dalam ruang lingkup ilmu hukum, maka konsep-konsep yang akan digunakan sebagai sarana analisis adalah konsep-konsep, asas-asas, dan norma-norma hukum yang dianggap paling relevan. Sebagai acuan pokok untuk mengorganisasi dan menganalisa masalah tesis ini, penulis mengunakan “teori penegakan hukum” dan “teori sistem peradilan pidana”.


(22)

Penegakan hukum dalam arti luas ditegaskan oleh Mardjono Reksodipuro sebagai berikut:

Dalam arti luas, penegakan hukum harus termasuk pula kewaspadaan pembuat undang-undang yang ada di masyarakat yang belum dapat terjaring oleh sistem peradilan pidana, baik karena celah-celah dalam hukum pidana yang memungkinkan pelaku menghindari sanksi pidana maupun hukum itu sendiri telah secara sadar, namun secara tidak adil memihak kepada kelompok-kelompok yang kuat dengan

tidak merumuskan perbuatan-perbuatan tersebut sebagai kejahatan.”13

Ini berarti bahwa konteks penegakan hukum harus diantisipasi sejak dini melalui proses pembuatan undnag-undang. Dengan demikian diharapkan setiap bentuk penyimpangan atau kejahatan dapat dijaring dengan undang-undang dalam rangka supremasi hukum. Proses pembuatan undang-undang ini merupakan faktor pengaruh yang berasal dari sistem hukum itu sendiri, antara lain dilator belakangi oleh kemampuan perumus undang-undang agar mampu menutup celah-celah yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Dalam kaitan dengan penegakan hukum tersebut, Farouk Muhammad menyatakan bahwa “Penegakan hukum itu sendiri hanyalah suatu sarana untuk mencapai tujuan”.14

Hal ini dapat difahami, karena tujuan akhir dari penegakan hukum adalah untuk menciptakan kondisi kehidupan masyarakat yang aman, tentram dan serasi. Namun demikian diakui bahwa tanpa sarana, termasuk melalui proses penegakan hukum maka harapan akan sulit tercapai.

13

Mardjono Reksodipuro, Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1997), hal 7.

14


(23)

Penegakan hukum dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya adalah sarana dan fasilitas pendukung, seperti halnya kelembagaannya, proses peningkatan kemampuan aparat penegak hukum dan berbagai fasilitas penunjang lainnya. Dalam konteks penegakan hukum tindak pidana pajak, nampaknya kelima faktor berpengaruh di dalamnya. Faktor hukum terletak pada ketidakjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1993. Sinyalemen

tersebut diperkuat Luhut MP Pangaribuan yang menyatakan bahwa “Sistem peradilan pidana

yang belum jelas mengenai konsep penyidik tunggal ini membawa akibat buruk pada proses penegakan hukum.”15 Selanjutnya faktor penegak hukumnya terletak pada penindakan oleh PPNS yang tidak didampingi oleh penyidik Polri dan penyampaian berkas kepada penuntut yang dilakukan secara langsung.

Di sisi lain, faktor sarana dan fasilitas yang terbatas juga ikut memberikan andil karena terbatasnya dana, faktor masyarakat dan faktor budaya yang kurang disiplin juga ikut berperan di dalamnya. Di sisi lain, masyarakat juga berpotensi memberikan pengaruh terhadap berhasilnya penegakan hukum. Dalam hal ini peran yang diharapkan dari masyarakat antara mengenai pengetahuan dan pemahaman di bidang hukum, sikap terhadap hukum serta perilakunya. Selanjutnya budaya atau kultur yang tumbuh ditengah masyarakat juga member pengaruh langsung terhadap proses penegakan hukum, karena hukum itu tumbuh dan berkembang sejalan dengan aspek kebudayaan.

Pendapat lain mengenai landasan dalam penegakan hukum dikemukakan oleh M. Mastra Liba, yaitu meliputi:

a. Landasan ajaran/faham agama,

15

Luhut MP. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana Surat-surat Resmi di Pengadilan Oleh Advokat, (Jakarta: Djambatan, 2002), hal. 3.


(24)

b. Landasan ajaran kultur/adat-istiadat, dan

c. Landasan aturan hukum positif yang jelas.16

Walaupun pendapat ini mirip dengan pendapat Soejono Soekanto tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, namun tidak ditegaskan pentingnya pengaruh kepribadian dan mentalitas aparat penegak hukum. Dalam pendapat ini, pengaruh aparat tercakup dalam ajaran/faham agama yang justru dalam kondisi saat ini terlalu jauh ditinggalkan atau diabaikan.

Upaya untuk menegakkan hukum tidaklah merupakan sesuatu yang mudah, dalam arti banyak kendala yang dihadapi. Empat belas kendala penegakan dikemukakan oleh M. Mastra Liba sebagai berikut:

1. Sistem ketatanegaraan yang menempatkan Jaksa Agung sejajar Menteri,

2. Sistem perundangan belum memadai,

3. Faktor sumber daya manusia,

4. Faktor kepentingan yang melekat pada aparat pelaksana,

5. Corpsgeist dalam institusi,

6. Tekanan yang kuat kepada aparat penegak hukum,

7. Faktor budaya,

8. Faktor agama,

9. Legislatif sebagai Lembaga Legislasi perlu secara maksimal mendorong dan member

contoh teladan yang baik dalam penegakan hukum,

10. Kemauan politik pemerintah,

11. Faktor kepemimpinan,

16

Liba, M. Mastra, 14 kendala penegakan hukum : mahasiswa dan pemuda sebagai pilar reformasi tegaknya hukum & HAM, (Jakarta : Yayasan Annisa, 2002) , hal. 15.


(25)

12. Kuatnya jaringan kerjasama pelaku kejahatan (organiza crime),

13. Kuatnya pengaruh kolusi dalam jiwa pensiunan aparat penegak hukum,

14. Pemanfaatan kelemahan peraturan perundang-undangan.17

Apabila berbagai kendala di atas dicermati secara baik, maka pada umumnya member pengaruh yang cukup signifikan. Artinya, upaya penegakan hukum merupakan suatu harapan yang masih jauh untuk dapat diwujudkan, mengingat banyaknya batu sandungan yang menghadangnya. Walaupun secara kontekstual bahwa kebijakan penegakan hukum tersebut telah tertuang dalam perundang-undangan tertinggi yaitu Garis-garis Besar Haluan Negara, namun masih diperlukan kemauan politik serta tekad dari semua pihak yang terkait di dalamnya.

Dari berbagai kendala tersebut, faktor yang dipandang cukup dominan terutama adalah kepemimpinan, sumber daya manusia, adanya konflik kepentingan yang sulit dilepaskan, tidak diterapkannya nilai-nilai agama, budaya, kemauan politik pemerintah, serta peran DPR yang hingga kini masih belum optimal.

Idealnya, setiap proses penegakan hukum harus terlebih dahulu dijamin bahwa aparat patuh dan taat terhadap hukum. Apabila dalam penegakan hukum aparatnya belum bersih, maka ibarat sapu yang kotor digunakan untuk membersihkan lantai, maka juga tidak terwujud kondisi bersih yang diinginkan.

Selanjutnya penelitian ini menggunakan teori sistem peradilan pidana. Peradilan pidana merupakan suatu sistem. Penjelasan sederhana terhadap pengertian ini adalah sejak dilakukannya suatu penyidikan tindak pidana, kemudian ditindaklanjuti dengan penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, hingga akhirnya pelaksanan putusan pengadilan

17


(26)

merupakan suatu rangkaian proses satu kesatuan. Rangkaian ini dibagi dalam tahap-tahap (empat tahap), yakni penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, dan pelaksanaan putusan pengadilan. Meskipun masing-masing penanggung jawabnya secara organisatorial terpisah, namun satu sama lain saling tergantung dan saling mempengaruhi

untuk menghasilkan suatu output atau produk bersama sebagai hasil bekerjanya sistem.Jika

peradilan pidana adalah suatu sistem, maka empat tahap tersebut merupakan empat sub

sistem yang menjadi pondasi bangunan sistem.18

Dengan mendasarkan pada pengertian sistem ini, maka peradilan pidana, eksistensinya untuk mencapai hasil yang diinginkan hanya dapat dipertahankan dengan terpeliharanya hubungan antara sub sistem. Apabila kinerja suatu sub sistem yaitu produk yang dihasilkan buruk, maka dapat diperkirakan produk sub sistem yang mengikuti berikutnya menjadi tidak baik. Demikian seterusnya dan penyimpanganya akan semakin melebar hingga pada kinerja sistem secara keseluruhan akan menjadi sangat buruk. Produk sistem penyidikan adalah BAP. Dengan bahan dasar BAP, sub sistem penuntutan

menghasilkan surat dakwaan yang akan dikontes (adversary system)19 dengan pembelaan

terdakwa dibantu advokatnya, pada pemeriksaan di sidang pengadilan (sub sistem ketiga). Putusan pengadilan yang dihasilkan selanjutnya diterapkan oleh sub sistem pelaksanaan putusan pengadilan. Jika BAP tidak mampu menyajikan kebenaran materiil dari suatu tindak pidana, mudah dibayangkan pada akhir proses, putusan pengadilan yang dihasilkan dan dilaksanakan juga akan tidak tepat. Adapun yang paling ekstrim adalah jika dalam putusan yang tidak bersalah dihukum, sementara yang bersalah dibebaskan.

18 Joseph O’Connor and Ian McDermott,

The Art of Systems Thinking, Essential Skills for Creativity and Problem Solving (London: Thorsons, 1997), hal. 2-3.

19 Luhut M.P. Pangaribuan,

Hukum Acara Pidana Satu Kompilasi Ketentuan-ketentuan KUHAP dan Hukum Internasional yang Relevan, Cet. 2, (Jakarta: Djambatan, 2003), hal. XXI.


(27)

Tujuan sistem peradilan pidana sebagaimana cakupan tugasnya adalah:

(1) mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;

(2) menyelesaikan kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, serta;

(3) berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi

perbuatannya.20

Sepintas, tugas pertama sepertinya terus-menerus menjadi tugas sub sistem penyidikan (institusi kepolisian) dan tugas ketiga menjadi tanggung jawab sub sistem pelaksanaan putusan pengadilan (Institusi Pemasyarakatan). Hal ini tidak sepenuhnya benar. Tugas mencegah agar masyarakat tidak menjadi korban kejahatan adalah benar tugas kepolisian, apabila tugas ini dilihat sebagai tugas antara. Jika sistem diartikan sebagai siklus, maka tugas ini adalah tugas sistem secara keseluruhan, bukan hanya kepolisian. Begitu pula halnya dengan tugas mengupayakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi perbuatannya, juga sebagai tugas sistem, tidak cuma lembaga

pemasyarakatan.21

Membahas peradilan pidana sebagai suatu sistem, berarti mempelajarinya tidak hanya dari segi hukum tetapi juga non hukum, terutama manajemen. Terkait dengan hukum, berprosesnya sistem peradilan pidana harus menggunakan hukum acara pidana sebagai

20

Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kedua, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1994), hal. 140.

21


(28)

pedoman.22Proses peradilan pidana sebagai wujud konkrit dari sistem peradilan pidana akan berlangsung apabila terjadi suatu tindak pidana yang melanggar hukum pidana substansif

(hukum pidana materil).23 Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum

pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum

pidana.24 Hukum acara pidana berfungsi untuk menjalankan hukum pidana substansif,

sehingga hukum acara pidana disebut sebagai hukum pidana formil.25

Hubungan PPNS dan kepolisian sendiri terutama berkaitan dengan tugas penyidikan suatu tindak pidana pajak. Untuk menghindari kesimpang-siuran tugas, penyalahgunaan kewenangan, tumpang tindihnya kewenangan, serta kegagalan mencapai tugas menyelesaikan kejahatan yang terjadi di masyarakat, perlu ada suatu hukum yang di dalamnya antara lain memuat siapa aparat penegak hukum yang oleh negara diberikan tugas penegakan hukum pidana, bagaimana tata cara penegakannya, apa saja tugas dan kewajibannya, serta apa sanksi bila ternyata pelaksanaannya tidak sesuai dengan cara atau tugas dan kewenangannya. Hukum tersebut dikenal sebagai hukum pidana formal atau hukum acara pidana, Wirjono Prodjodikoro merumuskan hukum acara pidana ini sebagai suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah

22 A. Soetomo,

Hukum Acara Pidana Indonesia dalam Praktek, Cet. 1, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1990), hal. 1-2.

23

H. Oemar Seno Adji, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, Cet. 4, (Jakarta: Erlangga, 1984), hal. 151-153.

24

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Bandung: Sumur Batu, 1970) hal. 13.

25

Darwan Prints, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, (Jakarta: Djambatan, 1989), hal. 1-2.


(29)

yang berkuasa, yaitu kepolisian dan PPNS harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana. Oleh karena itu, keempat subsistem ini memiliki hubungan yang erat satu dengan yang lainnya dimana tujuannya adalah satu, tetapi tugasnya

berbeda.26

Dalam Konteks bekerjanya hukum di masyarakat, khususnya dalam penanganan perkara tindak pidana pidana pajak, kepolisian dan PPNS sebagai organisasi kenegaraan (birokrasi) diarahkan untuk mencapai tujuan negara, tujuan hukum dan tujuan sosial. Mengenai hal ini Peter M. Blau dan Marshall M. Meyer menyatakan bahwa kini dalam masyarakat kontemporer birokrasi telah menjadi suatu lembaga yang menonjol, sebagai lembaga negara yang melambangkan era modern, dan tidak mungkin memahami kehidupan

sosial masa kini kalau tidak mengerti tentang bentuk lembaga ini.27

Herbert L. Packer dalam bukunya “The Limits of The criminal Sanction”,

mengungkapkan ada 2 (dua) model dalam proses Peradilan Pidana yaitu Model Pengendalian

Kejahatan (Crime Control Model) dan Model Perlindungan Hak (Due Process Model).

Packer mengajak untuk memahami betapa rumitnya proses kriminal, dia berusaha mengambil karakteristik dari model-model yang berlawanan. Perbedaan kedua model itu akan terlihat pada saat penangkapan sampai orang itu diputuskan bersalah. Adapun karakteristik dari Crime Control Model adalah efisiensi yang mana proses kriminal itu bekerja, cepat ditangkap

dan diadili, seakan-akan tersangka itu bersalah, sedangkan Due Process Model,

karakteristiknya adalah perlindungan hak-hak tersangka, untuk menentukan kesalahan

26

Wirjono Prodjodikoro, Asas-AsasHukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Eresco, 1986), hal. 20.

27

M Blau, Peter dan M. Meyer, Marshall, Birokrasi dalam Masyarakat Modern, (Jakarta: UI Press, 1987), hal. 14.


(30)

seseorang harus melalui suatu persidangan. Dalam kenyataaanya kedua model ini sangat

banyak mempengarui hukum acara pidana indonesia, karakteristik Due Process Model

menonjol pada KUHAP yaitu dilindunginya hak-hak tersangka, namun dalam bekerjanya

KUHAP, maka Crime Control Model yang paling menonjol.28

Sebagai teori pendukung, digunakan teori koordinasi. Dalam nota kesepakatan telah disinggung bahwa penyidik Polri berperan sebagai koordinator, pengawasan dan Pembina teknis terhadap pelaksanaan tugas PPNS. Terkait dengan itu, di dalam instruksi Kapolri Nomor Pol. Ins/08/IX/1999 dinyatakan juga bahwa keberadaan PPNS sebagai penyidik pembantu bagi penyidik Polri.

Hal itu ditegaskan oleh M. Mastra Liba yang menyatakan sebagai berikut: Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 KUHAP menjelaskan bahwa kewenangan penyidik Polri atau PPNS sama seperti yang tercantum dalam Pasal 7. Hal tersebut sebenarnya tercermin pula di dalam Kputusan Menteri Kehakiman Nomor M.01.PN.07.03 Tahun 1982, tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP pada bidang penyidikan, yang antara lain disebutkan Polri sebagai Penyidik Utama wajib mengkoordinasikan PPNS dengan memberikan pengawasan, petunjuk dan bantuan.

Pengertian koordinasi sendiri menurut Stoner dan Wankel dalam Moekijat adalah: “Proses penyatu paduan tujuan-tujuan dan kegiatan-kegaiatan dari bagian-bagian atau bidang-bidang fungsional atau organisasi yang terpisah untuk mencapai suatu sasaran organisasi secara efisien.”29 Dengan demikian, upaya penyatupaduan yang tidak dapat

28

R. Indra Sanjaya, Relevansi Kejaksaan dengan KPK dalam Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi ditinjau dari Sistem Peradilan Pidana, diakses dari situs: http://www.hukum-ku.blogspot.com/2008/07/sistem-peradilan-pidana.html. Diakses tanggal 12 Maret 2012.

29 Moekijat,


(31)

diwujudkan cenderung dapat menggagalkan sasaran yang ingin dicapai dalam konteks koordinasi tersebut.

Kecenderungan penyimpangan PPNS dalam penindakan hukum terhadap tindak pidana pajak juga tidak dapat dipisahkan dari teori koordinasi, dimana problematic penerapan

koordinasi berkisar pada perbedaan-perbedaan, yaitu “Perbedaan dalam orientasi sasaran,

perbedaan dalam orientasi waktu, perbedaan dalam orientasi hubungan antra pribadi dan perbedaan dalam formalitas struktur”.30

Ini berarti bahwa faktor perbedaan tersebut dalam beberapa hal akan menghambat koordinasi yang dilakukan oleh penyidik Polri selaku koordinator, pengawas dan Pembina teknis terhadap penyidik PPNS. Dalam hal ini, perbedaan kepentingan seringan mewarnai koordinasi yang ditandai dengan gejala egoism sektoral yang cenderung mengutamakan kepentingan unit/pihaknya masing-masing daripada kepentingan bersama.

Dengan demikian apabila PPNS melakukan penindakan tindak pidana pajak dengan tanpa dikoordinasikan dengan Polri merupakan bentuk penyimpangan yang mencerminkan pelanggaran kewenangan hukum, karena bertentangan dengan peran Polri sebagai Korwas dan Pembina Teknis PPNS serta tidak sesuai dengan peraturan yang ada.

Dari teori koordinasi di atas diperoleh pemahaman bahwa dalam upaya terkait itu seharusnya diselaraskan dan dipadukan berbagai gerak, langkah serta kegiatan untuk sampai pada sasaran yang sama melalui koordinasi. Apabila koordinasi tidak berjalan dengan baik, sedang berbagai pihak terkait tersebut memiliki misi, fungsi dan kepentingan yang berbeda maka dapat diperhitungkan bahwa pencapaian pada tujuan yang sama tidak akan tercapai.

30


(32)

Demikian halnya dengan peran Polri sebagai koordinator bagi PPNS, apabila Polri tidak melaksanakan fungsi sebagai koordinator sebagaimana mestinya, maka penindakan terhadap tindak pidana pajak oleh PPNS cenderung menyimpang dari konsep dan rencana yang dicanangkan oleh Polri dan mereka akan berupaya mencapai sasarannya sendiri dengan ukuran dan kriterianya sendiri pula. Fenomena itulah yang kemudian mengindikasikan munculnya pelanggaran kewenangan hukum dalam penindakan tindak pidana pajak.

Pengertian pengawasan Polri terhadap PPNS yang dimuat dalam Nota Kesepakatan Bersama tanggal 24 Februari 1999 tidak mengandung aspek penindakan, namun menyangkut penyusunan pelaporan, pelaporan berkala dalam penyidikan, evaluasi hasil pelaporan serta evaluasi pelaksanaan tugas penyidikan.

Pengertian pengawasan secara umum dikemukakan oleh Sujamto, bahwa pengawasan adalah: “Segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan atau kegiatan, apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak”31

Salah satu peran Polri terhadap PPNS untuk melakukan pengawasan, maka dalam hal ini Polri berwenang melakukan pengamatan, pemantauan serta penilaian terhadap kegiatan PPNS, termasuk dalam aktivitas penindakan terhadap tindak pidana pajak.

2. Landasan Konsepsi

Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi adalah

pendapat, pangakalan pendapat; Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa

sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan

operational

31

Sujamto, Beberapa Pengertian Dibidang Pengawasan, (Jakarta: Galia Indonesia, 1993), hal. 17.


(33)

definition

.

32

Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan

pengertian atau penafsiran mendua (

dubius

) dari suatu istilah yang dipakai. Guna

menghindari kesalahpahaman atas berbagai istilah yang dipergunakan dalam

penelitian ini, maka berikut akan dijelaskan maksud dari istilah-istilah sebagai

berikut:

a. Tindak pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”. Walaupun istilah ini terdapat dalam Wet Boek van Strafrecht voor Nederlands Indie, akan tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang

dimaksud dengan strafbaar feit tersebut. Karena itu para ahli hukum berusaha

memberi arti dari istilah tersebut walau sampai saat ini belum ada keseragaman

pendapat.33

Moeljatno, memakai istilah “perbuatan pidana” untuk menggambarkan isi pengertian strafbaar feit dan beliau mendefinisikannya sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Beliau tidak setuju dengan istilah “tindak pidana” karena menurut beliau “tindak” lebih pendek daripada perbuatan, “tindak” tidak menunjukkan kepada hal yang abstrak seperti perbuatan,

tetapi hanya menyatakan keadaan konkrit.34

32

Tan Kamello, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia: Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, (Medan: PPs USU), hal. 35.

33

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum PidanaI, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal 67. 34

Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan yang dapat Dihukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), hal. 3


(34)

b. Pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan

jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.35

c. Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang

berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup

undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.36

d. Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi

sesuai dengan peraturan perundang-undangan.37

e. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang

diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan

tersangkanya.38

f. Peranan adalah serangkaian tingkah laku yang dihubungkan dengan suatu posisi

tertentu.39 Di dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan peranan Penyidik Pegawai

Negeri Sipil (PPNS) Perpajakan dan penyidik POLRI adalah serangkaian tindakan oleh PPNS dan penyidik POLRI sesuai dengan fungsi dan wewenangnya untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana bidang perpajakan yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

35

Erly Suandy, Hukum Pajak, (Yogyakarta: PT. Salemba Empat, 2005), hal. 5.

36 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, Pasal 1 angka (11) 37

Ibid, Pasal 1 angka (1)

38 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka (2). 39 Indria Samego,

Reformasi Berkelanjutan: Institusi Kepolisian Republik Indonesia, Bidang Sumber Daya Manusia, Kemitraan, (Jakarta: LMUI dan Kepolisian Negara RI, 2006), hal. 7.


(35)

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, yakni penelitian

yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaedah-kaedah atau norma normadalam hukum

positif. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Tujuan penelitian deskriptif adalah

menggambarkan secara tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu.40

Deskriptif analitis berarti bahwapenelitian ini menggambarkan suatu peraturan hukum dalam

konteks teori-teorihukum dan pelaksanaanya, serta menganalisis fakta secara cermat tentang

peranan PPNS dalam penyidikan tindak pidana perpajakan.

2. Sumber data

Sumber-sumber penelitian dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang

berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder, yangdigunakan dalam

penelitian ini

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Terdiri dari perundang-undangan mengenai Kepolisian RI dan Perpajakan, yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan Perubahannya, dan lain-lain, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum primer yang otoritasnya di bawah undang-undang adalah Peraturan Pemerintah, Peraturan

40 C.G.F. Sunaryati Hartono,

Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung: Alumni, 1994), hal. 89.


(36)

Presiden atau peraturan suatu badan hukum atau lembaga negara. Putusan pengadilan merupakan konkretitasi dari perundang-undangan.

b. Bahan hukum sekunder

Berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan. Bahan hukum sekunder terutama adalah buku teks karena buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan

klasik para sarjana yang mempunyai klasifikasi tinggi.41

c. Bahan hukum tertier

Berupa bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, kamus kesehatan,

majalah dan jurnal ilmiah.42 Jadi penelitian ini menggunakan bahan hukum

primer, sekunder dan tertier sebagai sumber penelitian. 3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi dokumentasi. Studi tersebut sangat berguna dalam membantu penelitian ilmiah untuk memperoleh pengetahuan yang dekat dengan gejala yang dipelajari, dengan memberikan pengertian penyusunan persoalan yang tepat, mempertajam perasaan untuk

menilai, membuat analisis dan membuka kesempatan memperluas pengalaman ilmiah.43

41

Petter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hal 141. 42 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudi,

Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), hal. 14.

43

Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1991), hal. 65.


(37)

Teknik pengumpulan bahan hukum yang akan digunakan dalam penelitian ini

dilakukan dengan cara studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan untukmengumpulkan

data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan,literatur-literatur,

tulisan-tulisan para pakar hukum, bahan kuliah, dan putusan-putusan pengadilan yang

berkaitan dengan penelitian ini

4. Teknik Analisis Data

Lexy J. Moloeng mengatakan bahwa "proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari pengamatan yang sudah dituliskan

dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto, dan sebagainya.44

Dalam penelitian ini, semua data yang diperoleh dikelompokkan sesuai dengan penelitian dan diteliti serta dievaluasi keabsahannya. Setelah itu diseleksi dan diolah lalu dianalisa sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku untuk melihat kecenderungan yang ada. Analisa data termasuk penarikan kesimpulan dilakukan secara induktif dan deduktif, sehingga diharapkan akan memberikan solusi dan jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini.

44

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hal. 247.


(38)

BAB II

PENGATURAN HUKUM TERHADAP

PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

A. PPNS dan Masalah Penegakkan Hukum

PPNS yang mempunyai tugas dan wewenang di bidang penyidikan merupakan salah satu aparat penegak hukum yang melaksanakan tugas penegakan hukum sebagai bagian dari penyelenggaraan sistem pidana.

Mengenai penegakan hokum, Sudarto45 mengatakan “Pengertian penegakan hukum

dapat juga diartikan penyelenggaraan hukum oleh petugas penegak hukum dan oleh setiap orang yang berkepentingan sesuai dengan kewenangannya masing-masing menurut aturan hukum yang berlaku”.

Sementara itu, menurut Soerjono Soekanto46 penegakan hukum adalah “Kegiatan

menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah/pandangan-pandangan menilai yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan (sebagai social engineering) memelihara dan

mempertahankan (sebagai social control) kedamaian pergaulan hidup.”

Dengan demikian penegakan hukum merupakan suatu sistem yang menyangkut penyerasian antara nilai dengan kaidah serta perilaku nyata manusia. Kaidah-kaidah tersebut

45

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana (Bandung : Alumni, 1981), hal. 122. 46


(39)

kemudian menjadi pedoman atau patokan bagi perilaku atau tindakan yang dianggap pantas atau seharusnya. Perilaku atau sikap itu bertujuan untuk menciptakan memelihara, dan mempertahankan kedamaian.

Maka dapat dikatakan bahwa masalah penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor yang mempengaruhinya. Adapun faktor-faktor tersebut sebagai berikut:

1. Hukumnya sendiri, atau peraturan itu sendiri.

2. Penegakan hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan

hukum.

3. Sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4. Masyarakat, yakni faktor lingkungan dimana hukum tersebut diterapkan.

5. Kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada

karsa manusia di dalam pergaulan hidup.47

Kelima faktor tersebut di atas saling berkaitan, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, serta juga merupakan tolak ukur dari efektivitas penegakan hukum. Akan tetapi di antara semua faktor tersebut, faktor penegak hukum menempati titik sentral. Hal itu disebabkan oleh karena undang-undang disusun dan dibuat oleh penegak hukum, penerapannya dilaksanakan oleh penegak hukum, demikian juga penegak hukum dianggap sebagai golongan panutan hukum oleh masyarakat luas.

Membicarakan masalah penegakan hukum di sini tidak hanya membicarakan bagaimana hukumnya, tetapi apa yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum dalam menghadapi masalah-masalah dalam penegakan hukum. Oleh karena itu, dalam penyelesaian

47


(40)

masalah-masalah hukum yang terjadi di masyarakat (termasuk hukum pidana), tidak seluruhnya diselesaikan melalui prosedur berdasar ketentuan hukum.

Membahas tugas dan wewenang penyidik sebagai aparatur penegak hukum yang menduduki urutan pertama dalam sistem peradilan pidana, juga tidak dapat terlepas dari sikap dan perilaku sebagai aparatur penegak hukum yang selalu mengundang perhatian masyarakat

untuk mengikuti gerak-geriknya dalam perjalanan penegakan hukum, Satjipto Rahardjo48

dalam kaitannya dengan kegiatan Penyidik Polri sebagai penegak hukum mengemukakan sebagai berikut:

“Di antara pekerjaan-pekerjaan penegakan hukum, pekerjaan polisi adalah yang paling menarik, oleh karena di dalamnya banyak dijumpai keterlibatan manusia sebagai pengambil keputusan. Polisi pada hakikatnya bisa dilihat sebagai hukum yang hidup. Karena memang di tangan polisi itulah hukum mengalami perwujudan setidak-tidaknya di bidang hukum pidana. Apabila hukum itu bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat di antaranya dengan melawan kejahatan, maka pada akhirnya, polisi itulah yang akan menentukan ketertiban, siapa-siapa yang

harus ditundukkan, siapa-siapa yang harus dilindungi dan seterusnya.”

Apa yang digambarkan di atas menunjukkan memang demikianlah pandangan masyarakat terhadap aparatur penegak hukum (penyidik). Hal ini disebabkan ada kecenderungan yang kuat di kalangan masyarakat untuk mengartikan hukum sebagai petugas atau penegak hukum.

48

Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis. (Bandung : Sinar Baru, 1984), hal. 95.


(41)

Polisi, dan demikian pula PPNS sebagai penegak hukum pidana adalah aparatur pertama dalam proses penegakan hukum, ia menempati posisi sebagai penjaga, yaitu melalui

kekuasaan yang ada (police direction) ia merupakan awal mula proses pidana. Karena

keahliannya maka polisi merasa lebih tahu dalam menjalankan tugasnya. Akibatnya, dapat terjadi polisi lalu memperbesar penekanan kebijakan-kebijakan yang kurang memperhatikan ancaman hukum formal.

Hal ini akan Nampak menjadi lebih sulit jika penekanan tersebut dilakukan oleh oknum sehingga masyarakat tidak segan-segan menafsirkan hal tersebut sebagai cerminan hukum atau tindakan dari lembaganya. Apalagi jika sampai terjadi sifat prosedural hukum acara pidana (KUHAP) dipandang membatasi perkembangan polisi sebagai spesialisasi penyidikan dengan karakteristik “tidak mudah percaya”, “selalu curiga”, dan sebagainya.

Lembaga kepolisian dalam melaksanakan tugasnya berperan sebagai aparat penegak hukum sekaligus sebagai penjaga ketertiban dalam masyarakat. Hal itu dipergunakan oleh Jerome H. Skolnick adanya dua peranan sosial berbeda yang dituntut masyarakat atas diri polisi.

Polisi sebagai pemegang peran (role occupant) pada masyarakat, apabila “ketertiban”

lebih ditunjukan pada hal-hal yang bersifat sosiologis, sementara itu “hukum” lebih

mengandung pengertian pengendalian secara rasional terhadap peraturan-peraturan dan prosedur-prosedurnya sehingga berakibat hukum dan ketertiban sering ditemui dalam posisi berlawanan, padahal polisi ditugasi untuk mencapai tujuan social (ketertiban) dengan melalui metode hukum. Selain itu, masih ada lagi faktor-faktor yang akan bisa membuat semakin rumitnya pekerjaan polisi dalam kedudukannya sebagai salah satu unsur penyelenggara


(42)

hukum (pidana) di Indonesia dan sekaligus membedakannya dari unsur-unsur penegak hukum yang lain.

Faktor-faktor lain yang tak kalah pentingnya adalah polisi merupakan penyelenggara hukum yang langsung berhadapan dengan masyarakat beserta segala jenis tingkah laku dan perbuatannya, baik berupa tindak pidana maupun bukan tindak pidana. Selanjutnya jika polisi senantiasa mengembangkan suatu konsepsi hukum bukan professional manajerial, mereka hanya akan melakukannya jika lingkungannya menurut kepatuhan dan menyediakan ganjaran atas kepatuhan itu semata-mata dengan melihat polisi hanya bertanggung jawab dalam menghadapi kriminalitas. Fungsi polisi dalam suatu lingkungan cenderung secara normatif maupun substantif mendukung gagasan efisiensi administratif, yang telah menjadi ciri tugas pekerjaan polisi. Kejadian-kejadian pelanggaran hukum umpamanya, oleh pihak polisi lebih dilihat dari segi masalah kepolisian dari pihak pada masalah keadilan.

Hal itu antara lain karena tugas pokok dari kepolisian, yang memandang keamanan masyarakat secara langsung sebagai tugasnya. Lebih cepat seseorang yang melanggar tertib masyarakat “diamankan” lebih cepat masalah kepolisian tersebut teratasi. Dengan demikian, polisi secara perorangan maupun organisatoris akan selalu dihadapkan pada suasana tugas yang secara sadar atau tidak sadar bahwa mereka pada keasyikan dalam pekerjaannya yang lebih diwarnai masalah-masalah yang melingkupi dan mungkin bukan masalah hukum, sehingga tidak dapat disangkal akan dapat mengalihkan kesadarannya dari tuntutan-tuntutan tugas utamanya dalam rangkaian tugas sistem peradilan pidana. Misalnya, polisi sering dirintangi oleh norma-norma, nilai-nilai dan kebiasaan yang berkembang di lingkungan kerjanya yang ditunjukkan oleh atasannya.


(43)

Demikian pula dalam bekerjanya polisi, setiap anggota polisi belajar berperilaku yang sesuai dengan “adicita” pekerjaannya melalui dua ciri dari pekerjaannya sehari-hari yaitu bahaya dan kekuasaan. Unsur bahaya menjadikan polisi sebagai orang yang selalu “curiga”. Karena sifat pekerjaannya, membuat kurang mempunyai kemauan untuk berteman sebab norma-norma persahabatan dapat mempengaruhi pekerjaannya. Dengan demikian unsur bahaya telah mengasingkan polisi dalam hubungan sosial dengan kelompok penduduk yang dia anggap symbol bahaya, sedangkan unsur kekuasaan memperkuat unsur bahaya

dalam mengasingkan dirinya49.

Demikian pula, kewenangan polisi yang terlalu luas dan menjadi kabur akan membuat beban baginya, sehingga dalam mengambil keputusan mereka sering melandasi

dengan faktor-faktor “nonhukum” yang diwarnai perasaan ketidakpastian. Misalnya, dapat

diajukan gambaran seorang poisi yang lebih memperhatikan dan mempertimbangkan konduitenya yang dihubungkan dengan persetujuan atau ketidaksetujuan atasan nya terhadap tindakan nya dari pada mengaitkan dengan pertanggungjawabannya melalui aturan-aturan hukum yang ada.

Kepolisian yang mempunyai fungsi antara lain menegakkan hukum, menjaga ketertiban dalam rangka dan untuk melindungi masyarakat dan membimbing masyarakat menjadi warganegara yang patuh hukum. Selain itu fungsi yang tidak kalah pentingnya adalah sebagai kekuatan sosial politik. Ia harus ikut berprestasi dalam lapangan sosial politik dalam rangka mengamankan pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Oleh karena itu, dalam melaksanakan tugasnya, Polri tidak hanya

49

Jerome H. Skolnick, Justice Without Trial. Law Enforcement in Democratic Siciety (New York: John Wiley & Sons, 1975) hal. 44.


(44)

melaksanakan law enforcement semata, tetapi melakukan pula tindakan-tindakan lain yang dapat menunjang kelancaran pelaksanaan tugasnya sebagai penegak hukum.

Mengingat kekuasaan yang dimiliki polisi terlalu luas, diperlukan persyaratan-persyaratan yang harus dimiliki oleh polisi, terutama dalam hal menilai suatu perkara yang dihadapi. Sebagai contoh sebelum melaksanakan penyidikan polisi melakukan penyelidikan terlebih dahulu, sesungguhnya tindakan penyelidikan ini merupakan filter terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi, apakah dapat dilakukan penyidikan atau tidak. Sebagaimana dikatakan

Kadri Husin50, sebagai berikut.

Berdasarkan wewenang yang ada padanya, polisi dapat menilai dan menentukan suatu peristiwa sebagai tindak pidana atau bukan. Jika peristiwa tertentu dianggap sebagai tindak pidana, polisi melakukan tindakan penyidikan. Kewenangan yang dimiliki oleh polisi tersebut tidak dapat diartikan bahwa polisi boleh menggunakan hak atau wewenangnya didasarkan kriteria “mau atau tidak mau”, wewenang kepolisian atau police discretion lebih ditekankan kepada “kewajiban” menggunakan wewenangnya. Di sinilah menurut hemat kami dituntut kemampuan intelektual dan pengabdian dari polisi sebagai aparat penegak hukum.

Masalah diskresi yang ada pada polisi bukanlah masalah yang sangat sederhana karena dapat saja terjadi konflik kepentingan antara hukum dan masyarakat, dengan demikian dalam penggunaan diskresi harus berhati-hati. Penerapannya harus dengan penuh pertimbangan dan dilakukan oleh anggota polisi yang mempunyai dedikasi dan intelektual yang tinggi.

50Kadri Husi , “iste Peradila Pida a Me urut: KUHAP , Tesis Jakarta: Progra Pascasarjana Universitas Indonesia, 1985), hal. 93.


(45)

Menyangkut masalah diskresi, Soerjono Soekanto51 mengatakan “Diskresi merupakan pengambilan keputusan untuk mengatasi masaah yang dihadapi, dengan tetap berpegang pada peraturan. Walaupun ada diskresi yang memungkinkan tanpa berpegang pada peraturan, karena belum ada peraturannya”.

Persoalan penggunaan diskresi seperti diuraikan di atas, dialami pula oleh polisi dalam melaksakan tugasnya di Amerika Serikat. Diuraikan Jerome H. Skolnick, polisi yang menjalankan tugasnya dalam kerangka susunan Negara demokrasi, di satu pihak dituntut untuk menjamin berjalannya “ketertiban”, sedangkan di lain pihak untuk menjalankannya dalam kerangka rule of law. Diterimanya kedua ide tersebut, yaitu hukum dan ketertiban (law and order), menyebabkan timbulnya komplikasi dalam pelaksanaan penegakan hukum oleh polisi.

Hukum dan ketertiban memiliki posisi yang bertentangan karena di dalam hukum terkandung pembatasan-pembatasan terhadap tata kerja untuk mencapai ketertiban. Mengenai hal ini, secara tegas dikatakan Skolnick, “seorang polisi cenderung untuk memelihara praduga bersalah. Jika ia melakukan penahanan dan memutuskan untuk memproses seorang tersangka, seorang polisi merasa bahwa tersangka telah melakukan kejahatan sebagaimana disangkakan. Ia percaya bahwa sebagai “seorang spesialis dalam kejahatan” ia mempunyai kemampuan untuk membedakan antara yang bersalah dan yang tak bersalah”.52

Berkaitan dengan hal tersebut, Hebert L. Packer dengan teorinya yang dikenal Two

Models of The Criminal Process, masing-masing adalah Crime Control Model dan Due

51

Soerjono Soekanto, Polisi dan Lalu Lintas (Analisis Menurut Sosiologi Hukum). (Bandung, Mancar Maju: 1990), hal. 6.

52


(46)

Process Model. Di dalam Crime Control Model menggambarkan pemikiran perlunya effisiensi dan profesionalitas dalam pelaksanaan tugas. Karena polisi dianggap professional

dalam melaksanakan tugas, bekerjanya berdasarkan prinsip presumption of guilt (praduga

bersalah).

Dengan kata lain, sekali terdapat petunjuk yang dapat membuktikan adanya kesalahan kepada pelaku tindak pidana, hal itu memungkinkan seseorang (pelaku tindak pidana) ditahan untuk diproses lebih lanjut. Maka, segenap langkah yang dilakukan disusun berdasarkan atas dugaan keras bahwa orang itu bersalah. Namun, yang jelas praduga bersalah

itu dioperasikan sebelum si tersangka menjadi terdakwa53.

Dari uraian tersebut, Nampak adanya keterikatan para penegak hukum (polisi) dalam menerjemahkan peraturan-peraturan pada jaringan kaidah hukum yang berlaku, termasuk juga di dalamnya prinsip-prinsip dasar atau asas-asas hukum yang diakui sebagai sumber pengaman dan budaya hukum masyarakat manakala terjadi kesalahpengertian dalam menerjemahkan peraturan hukum tersebut. Dengan demikian masalah penegakan hukum

tidak hanya mencakup law enforcement, tetapi juga peace maintenance karena pada

hakikatnya penegakkan hukum merupakan proses penyerasian nilai-nilai dan kaidah-kaidah dengan pola perilaku kearah pencapaian kedamaian.

Berbicara mengenai penanggulangan kejahatan sebagaimana telah dikemukakan di atas mempunyai konotasi sebagai penegak hukum dalam sistem peradilan pidana atau sekaligus menggambarkan bagaimana bekerjanya hukum dalam menanggulangi kejahatan. Goldstein membedakan penegakan hukum pidana menjadi tiga, yaitu pertama, total

53

Herbert L. Pecker, The Limits of the Criminal Sanction (Stanford: California University Press, 1968), hal. 161.


(47)

Enforcement, yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan

oleh hukum pidana substantif (substantive law of crime). Penegakan hukum pidana secara

total ini tidak mungkin dilakukan, sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana yang antara lain mencakup aturan-aturan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan pendahuluan.Di samping itu mungkin terjadi hukum pidana substantif sendiri memberikan batasan-batasan, misalnya dibutuhkannya aduan terlebih dulu sebagai syarat penuntutan pada delik aduan.

Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut sebagai area of no enforcement. Setelah

ruang lingkup penegakan hukum yang bersifat total tersebut dikurangi are of no enforcement,

muncul bentuk penegakan hukum pidana yang kedua, yakni full enforcement, dalam ruang

lingkup dimana para penegak hukum diharapkan menegakkan hukum secara maksimal.

Tetapi oleh Goldstein harapan itu dianggap not a realistic expectation, sebab adanya

keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat-alat investigasi, dana dan

sebagainya, yang kesemuanya ini mengakibatkan keharusan dilakukannya directions. Dan

yang tersisa adalah actual enforcement”.54

Apabila penanggulangan kejahatan dalam hal ini penegak hukum oleh PPNS sebagai model bekerjanya hukum, menurut Satjipto Rahardjo bekerjanya hukum itu bukan hanya merupakan fungsi perundang-undangan saja, melainkan juga aktivitas birokrasi pelaksanaannya. Di samping itu, hukum juga mempunyai legalitas yang diterima umum. Kesemuanya itu menyebabkan bahwa hukum mempunyai kelebihan dibanding dengan lembaga-lembaga lain yang terdapat dalam masyarakat, seperti pendapat umum, ekonomi, politik. Kelebihannya terletak pada kemampuannya untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang

54Muladi da Barda Nawawi Arief. RUa g Li gkup Pe egaka Huku PIda a dala KO teks


(48)

hendak dicapai melalui organisasi dan personel yang tersusun baik, termasuk di dalamnya kekuasaan untuk memaksa.

Cara bekerjanya hukum menurut Sajtipto Rahardjo adalah sebagai berikut:

1. Setiap peraturan hukum memberitahu tentang bagaimana seorang pemegang peran

(role occupant) itu diharapkan bertindak. Setiap anggota masyarakat sebagai pemegang peran.

2. Seorang pemegang peran akan bertindak sebagai suatu respons terhadap peraturan

hukum yang merupakan fungsi peraturan-peraturan yang ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya, aktivitas dari lembaga-lembaga pelaksanaannya serta keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya mengenai dirinya.

3. Lembaga penerap peraturan (lembaga pelaksana) akan bertindak sebagai respons

terhadap peraturan hukum yang ditujukan kepada mereka sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang dari para pemegang peran.

4. Para pembuat peraturan akan bertindak yang merupakan fungsi peraturan yang

mengatur tingkah laku mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan sosial, politik, budaya, ideologi dan lain-lainnya mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang dari pemegang peran dan lembaga penerap peraturan

(lembaga pelaksana).55

B. PPNS sebagai Bagian dari Sistem Peradilan Pidana

Lembaga penyidikan merupakan salah satu subsistem dari sistem peradilan pidana (criminal justice system). Subsistem-subsistem lainnya adalah terdiri dari lembaga

55


(1)

Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990.

Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1991.

Luhut,MP. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana Surat-surat Resmi di Pengadilan Oleh Advokat, Jakarta: Djambatan, 2002

Liba, M. Mastra, 14 kendala penegakan hukum : mahasiswa dan pemuda sebagai pilar reformasi tegaknya hukum & HAM, Jakarta : Yayasan Annisa, 2002

M. Blau, Peter dan M. Meyer, Marshall, Birokrasi dalam Masyarakat Modern, Jakarta: UI Press, 1987

Mardiasmo, Perpajakan ,Djokjakarta: Andi, 2006.

Mardjono,Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana , Kumpulan

Karangan Buku Kedua ,Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1994

Marpaung, Leden, Unsur-unsur Perbuatan yang dapat Dihukum, Jakarta: Sinar Grafika, 1991.


(2)

Marzuki, Petter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Prenada Media, 2005.

Moekijat, Koordinasi: Suatu Pengantar Teoritis, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984.

Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006.

Muladi, Kejahatan Orang-orang Terhormat dan Permasalahannya Ditinjau dari Penegakan Hukum Pidana, Semarang: FH UNDIP, 1993

Muhammad, Farouk, Praktek Penegakan Hukum, Jakarta: Balai Pustaka, 1998.

Mustafa, Bachasan, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Bandung:Alumni, 1979

O’Connor, Joseph and McDermott, Ian, The Art of Systems Thinking, Essential Skills for Creativity and Problem Solving, London: Thorsons, 1997.

Pangaribuan, Luhut M. P, Hukum Acara Pidana Satu Kompilasi Ketentuan-ketentuan KUHAP dan Hukum Internasional yang Relevan, Cet. 2, Jakarta: Djambatan, 2003.


(3)

Pangaribuan, Luhut MP, Hukum Acara Pidana Surat-surat Resmi di Pengadilan Oleh Advokat, Jakarta: Djambatan, 2002.

Poerwadarminta, W. J. S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1982.

Priantara, Diaz, Kupas Tuntas Pengawasan ,Pemeriksaan ,dan Penyidikan Pajak,Jakarta Barat: Indeks,2009

Prints, Darwan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Jakarta: Djambatan, 1989.

Prodjodikoro, Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Eresco, 1986.

Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Bandung: Sumur Batu, 1970.

Reksodiputro, Mardjono, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Pusat Pelayanan keadilan dan pengabdian hukum, Universitas Indonesia, 1999.


(4)

Reksodipuro, Mardjono, Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1997.

Reksodiputro, Mardjono, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kedua, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1994.

Saidi, Muhammad Djafar, Perlindungan Hukum Wajib Pajak Dalam Penyelesaian Sengketa Pajak, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007

Samego, Indria, Reformasi Berkelanjutan: Institusi Kepolisian Republik Indonesia, Bidang Sumber Daya Manusia, Kemitraan, Jakarta: LMUI dan Kepolisian Negara RI, 2006.

Soekanto, Soerjono dan Mamudi, Sri, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali Pers, 1990.

Soetomo, A, Hukum Acara Pidana Indonesia dalam Praktek, Cet. 1, Jakarta: Pustaka Kartini, 1990.


(5)

Soemitro,Rochmat, Asas dan Dasar Perpajakan,Bandung: PT. Eresco, 1991.

Soerodibroto,Sunarto,KitabUundang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana ,Jakarta: PT.Rajawali Pers, 2012

Suandy, Erly, Hukum Pajak, Yogyakarta: PT. Salemba Empat, 2005 .

Sugandha, Dann, Koordiansi Suatu Gerak Administrasi, Jakarta: Intermedia, 1987.

Sujamto, Beberapa Pengertian Dibidang Pengawasan, Jakarta: Galia Indonesia, 1993

Waluyo,Bambang, Pemeriksaan dan Peradilan di Bidang Perpajakan, Jakarta: Sinar Grafika, 1991

YSri, Pudyatmoko, Penegakan dan Perlindungan Hukum, Jakarta: Salemba Empat, 2007

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI


(6)

Undang-Undang No.28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Perpajakan

Internet

Sanjaya, R. Indra, “Relevansi Kejaksaan dengan KPK dalam Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi ditinjau dari Sistem Peradilan

Pidana”, diakses dari situs: http://www.hukum

-ku.blogspot.com/2008/07/sistem-peradilan-pidana.html. Diakses tanggal 12 Maret 2012.

Kabareskrim Keluhkan Disharmoni Hukum Acara diakses dari situs

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4d48233251e53/kabareskrim-keluhkan-disharmoni-hukum-acara, diakses Tanggal 28 Desember 2012


Dokumen yang terkait

Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara

8 135 161

KOORDINASI FUNGSIONAL ANTARA PENYIDIK POLRI DENGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) KELAUTAN DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN DI LAUT (ILLEGAL FISHING) (Studi Kasus Pada Pengadilan Negeri Padang).

0 0 7

FUNGSI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) BEA DAN CUKAI DALAM PROSES PENANGANAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN PITA CUKAI HASIL TEMBAKAU.

1 5 91

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Koordinasi Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kehutanan dan Penyidik Polri dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan T1 312015707 BAB I

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Koordinasi Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kehutanan dan Penyidik Polri dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan T1 312015707 BAB II

1 3 32

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Koordinasi Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kehutanan dan Penyidik Polri dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan

0 0 17

Peranan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perpajakan dan Penyidik POLRI dalam Penanganan Tindak Pidana Perpajakan.

0 0 29

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Peranan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perpajakan dan Penyidik POLRI dalam Penanganan Tindak Pidana Perpajakan.

0 0 23

PERANAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) PERPAJAKAN DAN PENYIDIK POLRI DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA PERPAJAKAN

0 1 12

KINERJA PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) KOTA TANGERANG

0 15 166