BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Makna Dan Fungsi Mangupa Pada Upacara Perkawinan Masyarakat Angkola Sipirok Kajian Semiotika
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya dengan budaya. Setiap suku di Indonesia memiliki tradisi sukunya masing-masing. Bangsa adalah suatu komunitas etnik yang ciri-cirinya adalah: memiliki nama, mitos leluhur bersama.
Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku dan menghasilkan budaya yang beraneka ragam.
“Kebudayaan adalah hasil karya manusia dalam usahanya mempertahankan hidup, dan mengembangkan taraf kesejahteraan dengan segala keterbatasan kelengkapan jasmaninya serta sumber-sumber alam yang ada disekitarnya (Geertz, 1973a). Kebudayaan boleh dikatakan sebagai perwujudan tanggapan manusia terhadap tantangan-tantangan yang dihadapi dalam proses penyesuaian diri mereka dengan lingkungan. Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan dan mendorong terwujudnya kelakuan. Defenisi ini kebudayaan dilihat sebagai mekanisme kontrol bagi kelakuan dan tindakan-tindakan manusia atau sebagai pola-pola bagi kelakuan manusia”.
Suku didefenisikan sebagai sebuah golongan dan menjadi identitas yang paling mendasar dan umum, serta terbentuk berdasarkan latar belakang tempat kelahiran seseorang maupun latar belakang keluarganya, serta digunakan sebagai acuan identitas suku bangsa atau kesukubangsaan. Boleh dikatakan suku ialah kelompok orang yang memiliki latar belakang budaya, sejarah, dan nenek moyang yang sama. Negara kita terdiri dari banyak suku di antaranya adalah suku Batak.
Batak terdiri atas 5 etnis yakni : Toba, Karo, Simalungun, Pak-pak Dairi, Angkola/Mandailing. Suku Batak merupakan suku yang terkenal dengan sebutan marga sebagai garis keturunan patrilineal yang secara generasi ke generasi mempunyai garis keturunan marga yang berbeda-beda berdasarkan garis keturunannya. Bahasa Batak memiliki banyak persamaan dengan bahasa sub etnis lainnya.
Masyarakat Batak umumnya memiliki bahasa dan adat-istiadat yang berbeda tetapi perbedaan tersebut tidak menjadikan perpecahan di antara masyarakat Batak. Demikian juga halnya dengan masyarakat Angkola memiliki berbagai budaya dan adat-istiadat. Masyarakat Angkola ialah yang mendiami wilayah Angkola dan wilayah Sipirok yang terdapat di Kabupaten Tapanuli Selatan. Penelitian ini akan membahas tentang makna dan fungsi mangupa masyarakat Kecamatan Sipirok. Pada upacara tersebut ada beberapa perlengkapan yang paling utama. Pira manuk na ni hobolan, manuk, hambeng, dan lain sebagainya. Upacara mangupa atau upah-upah merupakan salah satu upacara adat yang berasal dari Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.
Upacara mangupa bertujuan untuk mengembalikan tondi ke badan dan memohon berkah dari Tuhan Yang Maha Esa agar selalu selamat, sehat dan murah rezeki dalam kehidupan. Upaya mengembalikan tondi ke badan dilakukan dengan cara menghidangkan seperangkat bahan (perangkat pangupa) dan nasihat
pangupa (hata pangupa atau hata-hata ni pangupa) disusun secara sistematis dan dilakukan oleh berbagai pihak yang terdiri dari orangtua, raja-raja dan pihak-pihak adat lainnya.
Upacara mangupa mempunyai tanda yang masing-masing mengandung makna dan informasi. Setiap tanda yang ada dalam upacara mangupa masyarakat Angkola mempunyai makna tersendiri yang tidak terlepas dari kehidupan masyarakat sekitarnya. Selain itu tanda tersebut mencerminkan perilaku, pikiran atau ide-ide masyarakat yang bersifat kesopanan, didikan, bijaksana, yang harus dijalankan oleh kedua mempelai agar rumah tangga mereka tetap utuh.
Terciptanya informasi atau makna dari tanda itu semua dari hasil konvensi masyarakat setempat. Kepada generasi berikutnya diharapkan agar dapat mempertahankan makna tanda tersebut serta dapat menumbuhkan sikap kepedulian terhadap tanda yang merupakan ciri khas bagi kebudayaan Masyarakat Angkola. Upacara mangupa banyak dijumpai bentuk tanda yang mempunyai arti.
Dalam Pettinasry, 1996:2) menegaskan bahwa : “Sebuah tanda seharusnya ditempatkan pada posisi, supaya dapat menghasilkan makna yang kemudian dapat membentuk suatu gambaran mengenai suatu benda yang mempunyai makna tambahan dan demikian halnya dengan pesan yang ingin disampaikan melalui suatu tanda atau simbol”.
Tanda-tanda dalam upacara mangupa tidak terlepas dari makna. Tanda- tanda yang ada dalam upacara mangupa memiliki fungsi sebagai cerminan kepribadian masyarakat Angkola. Masyarakat Angkola diharapkan tetap menjaga segala bentuk, aturan, dan kegunaan tanda-tanda sehingga tatanan adat-istiadat tetap berlanjut. Hal itulah yang mendorong peneliti mengadakan penelitian tanda- tanda dalam mangupa pada upacara perkawinan masyarakat Angkola.
Meskipun sebelumnya sudah banyak ahli-ahli budaya yang meneliti tentang upacara mangupa di Kecamatan Sipirok hanya sebatas penelitian deskriptif. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan mengkaji makna yang terdapat pada tanda yang ada pada upacara mangupa.
Penulis akan mengkaji adat mangupa pada masyarakat Batak Angkola Sipirok ini dari segi semiotika, karena penulis merasa tertarik untuk mengetahui arti atau makna dari tanda atau simbol-simbol yang ada pada upacara mangupa masyarakat Angkola Sipirok.
1.2. Rumusan Masalah
Menghindari pembicaraan atau pembahasan yang menyimpang dari permasalahan, penulis akan membatasi masalah agar pembahasan terarah dan terperinci.
Perumusan masalah sangat penting bagi pembuatan skripsi ini, karena dengan adanya perumusan masalah ini maka deskripsi masalah akan terarah sehingga hasilnya dapat dipahami dan dimengerti oleh pembaca. Masalah merupakan suatu bentuk pertanyaan yang memerlukan penyelesaian atau pemecahan. Bentuk perumusan adalah biasanya berupa kalimat atau pertanyaan yang semakin menarik atau menambah perhatian.
Adapun masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah : 1. Apakah makna dari mangupa pada masyarakat angkola? 2.
Apakah fungsi dari mangupa pada masyarakat Angkola? 3. Bahan apa saja yang ada dalam upacara mangupa?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Menjelaskan makna dari mangupa pada masyarakat Angkola.
2. Menjelaskan fungsi dari mangupa pada masyarakat Angkola.
3. Menjelaskan bahan apa saja yang ada dalam upacara mangupa
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari hasil penelitian ini adalah : 1. Sebagai referensi kepustakaan khususnya fungsi dan makna pada upacara mangupa masyarakat Angkola.
2. Menjadikan arsip di Departemen Sastra Daerah untuk dibaca oleh mahasiswa Sastra Daerah.
3. Untuk memberi wawasan baru tentang makna dan fungsi mangupa pada upacara perkawinan masyarakat Angkola, khususnya masyarakat Angkola Sipirok.
1.5 Anggapan Dasar
Suatu penelitian seharusnya memerlukan anggapan dasar yang dapat memberi gambaran arah pengumpulan data yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
Arikunto (1987:17) “mengatakan anggapan dasar adalah sesuatu yang diakui kebenarannya oleh peneliti dan berfungsi sebagai pijakan bagi peneliti dalam melaksanakan penelitian tersebut”.
Oleh sebab itu, anggapan dasar inilah yang merupakan dasar dan titik tolak penyusunan sebuah skripsi. Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa anggapan dasar harus berdasarkan kebenaran yang objektif, maksud kebenaran yang objektif ialah apabila anggapan dasar tersebut dapat dibuktikan kebenarannnya.
1.6 Letak Geografis Sipirok
Daerah Sipirok merupakan sebuah Kecamatan yang berada di Provinsi Sumatera Utara berjarak 385 km dari kota Medan, sedangkan dari kabupaten Tapanuli Selatan dengan ibukotanya Sipirok ke Kecamatan Pahae Jae dengan ibukotanya Pahae, yaitu daerah yang bersebelahan dan merupakan daerah yang berada di Kabupaten Utara jaraknya 42 km. Tepatnya letak Kecamatan Sipirok ini berada dalam jalur lintas Sumatera bagian barat dan merupakan jalan utama yang menghubungkan Pulau Sumatera dengan Pulau Jawa.
Kecamatan Sipirok dan Ibukotanya Sipirok berada di daerah perbatasan antara etnis Angkola dan etnis Batak Toba. Untuk jelasnya keberadaan daerah Sipirok adalah sebagai berikut : Sebelah timur berbatas dengan Kecamatan Padang Bolak.
- Sebelah barat berbatas dengan Kecamatan Batang Toru.
- Sebelah utara berbatas dengan Kecamatan Pahae Jae.
- Sebelah selatan berbatas dengan Padang Sidempuan.
- Luas kecamatan Sipirok 72,085 km, dengan ketinggian di atas 900 m dari permukaan laut. Sebagaimana dengan daerah-daerah yang ada di Indonesia dengan ketinggian seperti itu, Kecamatan Sipirok merupakan juga mempunyai musim yang sama dengan tempat-tempat lainnya, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Kondisi alam berbukit-bukit dan tidak adanya sungai-sungai besar,
1.6.1 Kecamatan Kabupaten Tapanuli Selatan terdiri atas 14 kecamatan yaitu: 1.
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
11. 12. 13. 14.
1.6.2 Pemekaran
Nama Kecamatan Padang Sidempuan dihapus dengan pemekaran menjadi Kecamatan Padang Sidempuan Utara dan Kecamatan Padang Sidempuan Selatan (bagian dari Kota Administratif Padang Sidempuan, Kecamatan Padang Sidempuan Barat (menjadi Angkola Barat) dan Kecamatan Padang Sidempuan Timur (Angkola Timur) menjadi bagian dari Kabupaten Tapanuli Selatan.
1.6.3 Kecamatan yang menjadi wilayah Kabupaten Padang Lawas 1.
2. 3.
4. 5. 6. 7. 8. 9.
1.6.4 Kecamatan yang menjadi wilayah Kabupaten Padang Lawas Utara 1.
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
1.7 Mata Pencaharian
Mata pencaharian utama masyarakat adalah bertani dengan menanam padi di musim penghujan. Baik yang mengolah tanah pertaniannya milik sendiri, atau mengusahakan tanah milik orang lain dengan sistem bagi hasil. Setiap bulan September-Desember petani turun kesawah dan mengelola sawahnya.
Jika cukup baik dengan curah hujan cukup, maka para petani lebih mudah dalam mengelola sawahnya. Pengerjaan sawah, dari mulai mengolah tanah sampai dengan menanam memakan waktu 2-3 bulan, sedangkan waktu untuk mendapatkan hasil panen 5-6 bulan dari waktu tanam.
Jika selesai panen disawah mereka melanjutkan pekerjaannya dengan menanam tanaman muda atau palawija, seperti cabai, kacang tanah, kacang panjang, kacang merah, kacang kedelai, jagung, dan lain sebagainya. Masa penanaman palawija dilakukan pada awal musim kemarau, sehingga petani harus bekerja keras mencari air guna menanam tanaman itu. Penyiraman dilakukan 2 kali, yaitu pagi dan sore. Cara penyiramannya juga sangat sederhana seperti menggunakan alat ember dan gayung. Tanaman palawija yang mereka tanam dan telah menghasilkan, mereka kembali lagi menanam palawija yang disesuaikan dengan tanaman padi berikutnya. Hasil yang diperoleh oleh petani sebahagian dikonsumsi sendiri dan sebahagiannya lagi dijual untuk keperluan lainnya antara lain menyekolahkan anak-anaknya dan bersosialisasi dengan keluarga, kerabat ataupun jiran tetangga.
Selain bertani mereka juga mempunyai keahlian lain, seperti membuat kramik/grabah, kerajinan tangan dan manik-manik berupa dompet, tempat sirih, menenun kain khas Sipirok, membuat tikar dari rotan dan pandan serta ulos.
1.8 Budaya Masyarakat Angkola
Kebudayaan Masyarakat Angkola dalam banyak hal mempunyai persamaan dengan kebudayaan masyarakat Mandailing. Adat-istiadat kedua masyarakat tersebut tidak banyak berbeda. Demikian juga bahasanya. Masyarakat Angkola merupakan masyarakat agraris yang hidupnya banyak tergantung kepada pertanian, sawah dan perkebunan yang ditanami dengan karet, kopi, kulit manis, dan lain-lain. Masyarakat Angkola pada umumnya bertempat tinggal beberapa desa. Umumnya desa-desa tersebut terletak tidak jauh dari lahan persawahan dan perkebunan milik penduduk. Desa tempat tinggal dinamakan huta.
1.9 Adat Masyarakat Angkola
Acara perkawinan etnis Angkola, sistem kekerabatan yang terbentuk dalam struktur Dalihan Na Tolu sangat penting kedudukannya dan berperan dalam upacara mangupa.
Ketiga unsur fungsional dari sistem sosial Dalihan Na Tolu itu masing- masing disebut mora, kahanggi, dan anak boru. Mora merupakan anggota kerabat yang berstatus sebagai pemberi anak dara dalam perkawinan. Kahanggi adalah anggota kerabat satu marga. Anak boru adalah anggota kerabat yang berstatus sebagai penerima anak dara dalam perkawinan. Antara para kerabat yang berstatus sebagai mora dan berstatus sebagai anak boru terdapat hubungan perkawinan.
Diantara sesama kerabat yang berstatus sebagai kahanggi terdapat hubungan konsaguinial atau hubungan darah.
Prinsipnya, adat yang merupakan kaidah atau norma-norma, menata dan memolakan perilaku orang-orang Angkola dalam hidup bermasyarakat.
Sistem sosial Dalihan Na Tolu yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Angkola, merupakan suatu mekanisme tradisional yang berfungsi untuk menjalankan adat sebagai suatu kekuatan penggerak perilaku hidup bermasyarakat. Kekuatan penggerak dalam mekanisme adat yang berupa sistem sosial Dalihan Na Tolu itu, adalah tiga komponen fungsionalnya yang terdiri dari
mora, kahanggi , dan anak boru yang masing-masing anggota kerabat yang satu
sama lainnya terikat oleh hubungan perkawinan atau hubungan darah. Ketiga komponen fungsional dari sistem sosial itu, dikonsepsikan oleh masyarakat Angkola-Hutapadang (Sipirok) sebagai suatu Dlihan (tungku) penumpu yang terdiri dari tolu (tiga) unsur fungsional, yakni mora, kahanggi dan anak boru.
1.10 Sistem Kekerabatan
Pelaksanaan upacara adat mangupa, berkaitan erat dengan sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat Angkola-Sipirok. Oleh karena itu perlu diuraikan beberapa hal penting mengenai sistem kekerabatan masyarakat Angkola. dalam sistem kekerabatannya, masyarakat Angkola-Sipirok menganut garis keturunan patrilineal (garis keturunan dari pihak ayah). Berdasarkan garis keturunan yang patrilineal itu, masyarakat Angkola membentuk kelompok- kelompok kekerabatan besar yang disebut marga sebagai gabungan dari orang- orang yang merupakan keturunan dari seseorang kakek bersama. Oleh karena itu di dalam masyarakat Angkola terdapat sejumlah marga yang masing-masing mempunyai namanya sendiri-sendiri, seperti marga Siregar, Harahap, marga Pane, marga Ritonga, dan lain-lain.
Hubungan kekerabatan yang timbul akibat terjadinya perkawinan. Melahirkan dua macam status kekerabatan yang masing-masing disebut mora dan
anak boru. Orang-orang yang berada dalam pihak yang memberi anak gadis
dalam perkawinan berstatus sebagai mora dan orang-orang yang berada dalam pihak penerima anak gadis dalam perkawinan berstatus anak boru. Sistem kekerabatan yang berlaku pada masyarakat Angkola, setiap orang dapat memperoleh status kekerabatan sebagai mora, kahanggi, dan anak boru. Masing- masing kekerabatan tersebut memberikan kepada seseorang hak dan kewajiban tertentu yang satu sama lain berlain-lainan. Hak dan kewajiban seseorang dalam statusnya sebagai mora berlainan dengan hak dan kewajiban yang ditentukan oleh status kekerabatan itu dapat dilihat pada waktu seseorang ikut dalam pelaksanaan upacara adat atau pada waktu orang-orang yang berlainan status kekerabatannya sedang berinteraksi.
Hubungan ini ungkapan yang berbunyi: “Somba Marmora elek maranak boru, manat markahanggi” yang artinya
“Hormat terhadap mora, pandai-pandai mengambil hati anak boru, bersikap cermat terhadap kahanggi”. Ungkapan tersebut dengan jelas mengungkapkan bahwa seseorang yang berstatus sebagai mora berhak untuk dihormati oleh kerabatnya yang berstatus anak boru, dan sebagai orang yang berstatus kahanggi ia wajib bersikap cermat terhadap kerabatnya yang punya status sama, dan ia juga punya hak untuk memperoleh perlakuan yang cermat dari kerabatnya yang mempunyai status sebagai kahanggi.
Sejalan dengan sistem kekerabatannya, masyarakat Angkola mempunyai sistem istilah kekerabatannya yang disebut tutur. Sistem istilah itu menentukan dan mengatur panggilan yang harus digunakan oleh seseorang terhadap para kerabatnya sesuai dengan status kekerabatannya masing-masing. Dua orang laki- laki yang masing-masing punya status kekerabatan kahanggi misalnya menggunakan panggilan angkang (abang) dan anggi (adik). Dalam hal ini yang usianya lebih tua menggunakan panggilan anggi terhadap yang berusia lebih muda. Sebaliknya, yang berusia lebih muda menggunakan panggilan angkang terhadap yang berusia lebih tua.
1.11 Sistem Organisasi Sosial Masyarakat Sipirok (Hutapadang) menganut sistem perkawinan exogami.
Marga yang menetukan bahwa perkawinan hanya boleh dilakukan antara orang- orang yang berlainan marga. Perkawinan dilakukan dengan adat manjujur.
Artinya dalam pelaksanaan perkawinan calon pengantin laki-laki diwajibkan memberikan mas kawin yang disebut tuhor kepada pihak calon istrinya. Di samping itu, calon pengantin laki-laki harus menjemput calon istrinya untuk dibawa kerumah orang tuanya. Upacara persemian perkawinan secara adat yang disebut horja haroan boru yang diselenggarakan dirumah orang tua pengantin laki-laki.
Upacara adat untuk meresmikan perkawinan hanya boleh dilakukan setelah lebih dahulu mendapat persetujuan dari tokoh-tokoh pimpinan tradisional setempat itu dinamakan harajaon dan hatobangon.
Waktu sistem pemerintahan tradisional masih berlaku dalam wilayah Angkola Hutapadang (setelah masa kemerdekaan tidak berlaku lagi), masing- masing komunitas desa yang disebut huta di wilayah tersebut dikepalai oleh seorang raja berpangkat Raja Pamusuk.
Pemerintahan dijalankan secara demokrasi oleh Raja Pamusuk bersama- sama dengan sejumlah tokoh pemimpin masyarakat. Kependudukan mereka yang melembaga sebagai pimpinan, Raja Pamusuk disebut sebagai harajaon (yang dirajakan) dan tokoh-tokoh pemimpin atau pemuka masyarakat yang ikut yang menjalankan pemerintahan bersama raja disebut sebagai hatobangon (tokoh-tokoh yang dituakan).
Selain raja yang berpangkat sebagi Raja Pamusuk. Di wilayah Angkola dahulu terdapat pula raja-raja yang berpangkat Raja Panusunan Bulung yang berkedudukan didesa induk ialah desa asal dari penduduk yang kemudian pergi membuka desa-desa lain yang berstatus sebagai anak dari desa induk. Dalam pelaksanaan pemerintahan, antara suatu desa induk dengan desa-desa yang berstatus sebagai anaknya tidak terdapat hubungan struktural. Karena masing- masing desa anak menjalankan pemerintahan secara otonom, tetapi dalam hal urusan adat, misalnya dalam penyelenggaraan upacara-upacara adat, desa-desa anak tetap terikat secara struktural dengan desa induk masing-masing. Hal ini
Raja Panusunan Bulung memegang wewenang tertinggi untuk mengesahkan
keputusan musyawarah adat yang harus dilakukan untuk setiap penyelenggaraan upacara adat, seperti upacara adat perkawinan dan kematian.
Masa sekarang, setelah sistem pemerintahan tradisional dihapuskan, eksistensi Raja Panusunan Bulung, Raja Pamusuk, dan Hatobangon hanya berlaku dalam konteks penyelenggaraan upacara adat. Demikian juga wewenang, hak dan kewajiban mereka yang tradisional. Dalam urusan pemerintahan mereka tidak lagi punya hak dan wewenang sama sekali.
Karena hingga kini hak dan wewenang para pemimpin tradisional itu dalam urusan adat masih tetap berlaku dan diakui oleh masyarakat, maka tokoh- tokoh Harajaon Panusunan Bulung harus diikutsertakan dalam setiap musyawarah adat yang dilakukan dalam konteks penyelenggaraan upacara adat, seperti upacara mangupa. Seperti upacara mangupa. Merekalah yang memegang wewenang sepenuhnya untuk mengesahkan berlakunya semua hasil mufakat yang dibuat melalui musyawarah itu. Demikian, masyarakat Angkola yang ada di Hutapadang (Sipirok) tidak dapat menyelenggarakan upacara adat tanpa persetujuan dan pengesahan dari harajaon, hatobangon, dan panusunan bulung.
Begitulah keadaannya yang berlaku dalam masyarakat Angola-Hutapadang sampai saat ini.
Prosedur Mengambil keputusan : 1.
Suhut Sihabolonan/Sepangkalan : Penyampai niat dan hajat 2. Ompu Nikotuk (khusus Angkola) : Menyimpulkan.
3. Hatobangon Nihuta : Penjawab/Penjelasan 4.
Raja Nihuta : Penjawab/Penjelasan 5. Raja Adat yang Semarga : Penjawab/ seadat/penjelasan 6. Raja adat dari daerah na humaliang humaloho : penjawab/memberi pendapat.
7. Raja-Raja Torbing Balok : Penjawab/memberi pendapat.
8. Orang Kaya/Goruk-goruk Hapinis : Penyusun apa-apa yang akan dilaksanakan.
9. Raja Pangondian( khusus Angkola) : Menyimpulkan pendapat Raja- raja Torbing Balok.
10. Raja Panusunan Bulung : Menutup/mengucapkan Horas 3 kali (Sutan Managor, 1995: 21)
1.12 Sistem Religi
Agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Kata "agama" berasal dari
āgama yang berarti "tradisi". Kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal darire-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan bereligi, seseorang mengikat dirinya kepad
Masa sekarang umumnya orang-orang Angkola menganut agama Islam, dan hanya sedikit yang menganut agama Kristen (protestan). Tetapi nenek moyang mereka pada zaman dahulu (sebelum agama Islam dan Kristen masuk ke wilayah Angkola-sipirok) menganut religi tradisional yang dikenal sebagai pele
begu (pemujaan roh-roh nenek moyang). Ajaran religi tersebut mengakui adanya
berbagai macam mahluk halus dan kekuatan-kekuatan gaib yang dapat menimbulkan pengaruh buruk, misalnya penyakit dan mala petaka, atas diri manusia. Selain itu ada juga mahluk halus dan kekuatan gaib yang dapat memberi kekuatan memberikan kebaikan gaib bagi manusia.
Pengaruh masuknya agama Islam dan agama Kristen ke wilayah Angkola maka lama-kelamaan penduduk di wilayah tersebut meninggalkan Religi pele-
begu. Karena kedua agama tersebut memberantas dengan keras sistem religi
tradisional yang sama sekali bertentangan dengan ajaran Islam dan Kristen.Namun demikian, sebagian dari upacara yang berasal dari masa berlakunya pemujaan terhadap roh nenek moyang masih tersisa penyelenggaraannya disesuaikan dengan keadaan yang tidak dilarang oleh agama yang dianut oleh orang-orang Angkola pada masa sekarang.