Komparasi Kelayakan Finansial Usaha Perkebunan Sawit Rakyat dengan Sistem Integrasi Sawit-Sapi dengan Usaha Perkebunan Sawit Tanpa Sistem Integrasi Yudi Setiadi Damanik, Diana Chalil, Riantri Barus, Apriandi Saragih Program Studi Magister Agribisnis, Faku

  

Komparasi Kelayakan Finansial Usaha Perkebunan Sawit Rakyat dengan Sistem

Integrasi Sawit-Sapi dengan Usaha Perkebunan Sawit Tanpa Sistem Integrasi

  Yudi Setiadi Damanik, Diana Chalil, Riantri Barus, Apriandi Saragih Program Studi Magister Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara

  

ABSTRAK

  Indonesia merupakan salah satu produsen kelapa sawit terbesar di dunia dengan produksi minyak kelapa sawit pada tahun 2014 mencapai sebesar 29,344.50 ribu ton, dengan share sebesar 44.46% dari total produksi CPO dunia. CPO tersebut dihasilkan dari hampir 11 juta ha luas lahan dimana lebih dari 40% nya merupakan perkebunan rakyat. Rata-rata kepemilikan lahan petani sawit tersebut adalah 2 ha dan belum cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Oleh karena itu, petani berusaha melakukan ekspansi lahan sawit untuk dapat meningkatkan pendapatan keluarga. Namun, saat ini ketersediaan lahan sudah sangat terbatas, sehingga petani tidak dapat lagi melakukan ekspansi lahan. Sebagai alternatif, petani dapat menggunakan lahan secara intensif dengan melakukan sistem integrasi. Namun tidak banyak yang telah mengembangkannya.

  Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis komparasi kelayakan sawit sistem integrasi dengan ternak sapi dibandingkan dengan tanaman sawit tanpa sistem integrasi. Kelayakan finansial dianalisis dengan NPV, Net B/C, IRR, payback period, dan analisis sensitivitas. Sementara manajemen kelompok dianalisis secara deskriptif melalui kesesuaian pola tanam sawit dan produksi sapi. Data analisis finansial diperoleh dari usaha integrasi sawit-sapi yang telah berhasil di di Nagori Partimbalan, Kecamatan Bandar Masilam, Kabupaten Simalungun, Propinsi Sumatera Utara. Analisis manajemen kelompok dilakukan di KUD Mukti Jaya, Kecamatan Sungai Lilin, Kabupaten Musi Banyuasin, Propinsi Sumatera Selatan.

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa intensifikasi dengan integrasi sawit-sapi layak secara finansial dengan NPV sebesar 10.000.468.666, IRR 33,33% dan payback

  

period sebesar 7 tahun 8 bulan tahun, sementara dengan ekstensifikasi diperoleh NPV

  11.305.705.637, IRR 23,58% dan payback period 11 tahun 4 bulan. Di samping itu, integrasi juga dapat menurunkan resiko. Dari hasil analisis sensitivitas, jika harga TBS turun menjadi Rp 1.000/kg maka usaha integrasi sawit-sapi akan memberikan NPV yang lebih tinggi yaitu sebesar 8.159.762.953 dibandingkan dengan ekstensifikasi yaitu sebesar 7.992.435.353. Di samping itu, integrasi sawit-sapi sangat sesuai untuk perkebunan yang akan direplanting dan memerlukan pupuk organik untuk perbaikan kondisi tanah. Dengan demikian diharapkan perkebunan sawit tersebut akan lebih berkelanjutan.

  Pola integrasi sawit-sapi akan dikelola dalam manajemen kelompok dnegan melibatkan 50 petani dengan total luas lahan 100 ha. Penanaman rumput akan dilakukan sebanyak 24 kali mengikuti pertumbuhan berat badan sapi. Pola pertanaman dilakukan setiap bulan dalam waktu 3 bulan, sehingga akan terdapat 8 blok pertanaman.

  Kata kunci: integrasi sawit-sapi, kelayakan finansial, analisis sensitivitas

  

PENDAHULUAN

  Indonesia merupakan salah satu produsen kelapa sawit terbesar di dunia dengan produksi minyak kelapa sawit pada tahun 2014 mencapai sebesar 29,344.50 ribu ton (Statistik Indonesia, 2015), dengan share sebesar 44.46% dari total produksi CPO dunia. CPO tersebut dihasilkan dari 10.956,30 ribu ha luas lahan dimana 41,55% (4.551,90 ribu ha) adalah perkebunan rakyat (Statistik Indonesia, 2015). Namun secara individu, kepemilikan lahan sawit per petani relatif kecil. Data Statistik Perkebunan Indonesia tahun bahwa rata-rata kepemilikan adalah 2,2 ha per petani dengan rata-rata produktivitas yang hanya mencapai 3,2 ton/ha pada tahun 2013 (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2014). Dengan demikian rata-rata petani merasa tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan berusaha untuk memperluas kebun sawit mereka, namun lahan yang tersedia sudah semakin terbatas dengan harga yang cukup mahal. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan integrasi tanaman dengan ternak, salah satunya adalah integrasi sawit dengan sapi. Hasil kajian Manti dkk (2003) serta Ilham dan Saliem (2011) menunjukkan bahwa integrasi sapi dengan kelapa sawit memberikan nilai NPV positif dengan IRR 21 – 39%. Namun belum ada analisis komparasi antara metode intensifikasi dengan sistem integrasi sawit-sapi dan metode ekstensifikasi perkebunan sawit.

  Pola pemeliharaan ternak pada kawasan industri kelapa sawit dapat dilakukan secara semi intensif maupun intensif. Pola semi intensif dilakukan dengan cara menggembalakan ternak pada kawasan industri kelapa sawit secara terbatas dengan pengawasan. Pola ini kurang disukai tetapi dapat menghemat biaya penyiangan 32 - 73%, bila dibandingkan dengan tanpa digembalakan (Pedoman Umum Integrasi, 2011). Pola intensif dapat dilakukan dengan menyiapkan kandang di areal perkebunan dan menyiapkan pakan dengan memanfaatkan produk samping/ikutan industri kelapa sawit. Dengan pola dikandangkan akan memudahkan pemilik dalam pemeliharaan dan pengumpulan kotoran ternak (Pedoman Umum Integrasi, 2011). Dalam pola intensif, pakan diperoleh dari limbah perkebunan seperti solid, pelepah, dan bungkil sawit serta dari hijauan yang berada di sekitar perkebunan (Bank Indonesia, 2010). Pola intensif juga dapat dilakukan dengan menanam rumput gajah sebagai pakan hijauan utama di lahan perkebunan sawit. Menurut Adiwijaya (2016) pola intensif lebih baik karena pertambahan berat badan lebih tinggi, dan kotoran dan urine sapi juga dapat dikumpulkan dan diaplikasikan ke tanaman sawit. Di samping itu, apabila sapi dilepas dikandang juga beresiko menyebarkan penyakit Ganoderma sp. Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan kelayakan integrasi kelapa sawit – sapi, dimana petani kelapa sawit rakyat menggunakan lahan sawit mereka untuk menanam king grass sebagai sumber pakan hijauan bagi sapi, dengan usaha perkebunan sawit saja.

METODE PENELITIAN

  Sistem integrasi sapi – sawit yang akan dikaji adalah penggemukan dan pembibitan sapi dengan sistem pemeliharaan intensif, dimana sapi dipelihara dikandang tanpa ada diangon. Petani sawit rakyat sekaligus akan menjadi peternak sapi dengan memanfaatkan areal perkebunan sawit. Skala usaha ternak sapi adalah 50 ekor pembibitan dan 50 ekor penggemukan yang akan dilakukan secara individu ataupun berkelompok. Pakan hijauan sapi yang diberikan adalah jenis king grass (rumput gajah) yang ditanam di lahan kelapa sawit. Kotoran sapi akan ditampung dan digunakan sebagai pupuk kompos pada perkebunan sawit.

LOKASI DAN DATA PENELITIAN

  Penelitian dilakukan di Nagori Partimbalan, Kecamatan Bandar Masilam, Kabupaten Simalungun, Propinsi Sumatera Utara yang mempunyai petani yang sudah berhasil menerapkan sistem integrasi kelapa sawit dengan sapi potong, dan di Kecamatan Sei Lilin Kabupaten Musi Banyuasin, Propinsi Sumatera Selatan yang mempunyai koperasi dengan petani sawit sebagai anggotanya. Petani tersebut tergolong mampu dan mempunyai cukup modal untuk melakukan intensifikasi atau ekstensifikasi dalam peremajaan kebun sawitnya. Data dari lokasi Sumatera Utara digunakan untuk analisis finansial sedangkan data dari lokasi Sumatera Selatan digunakan untuk menganalisis metode implementasi pada kelompok petani sawit. Sampel petani sawit yang sudah berhasil menerapkan sistem integrasi sebanyak satu orang sedangkan sampel petani yang belum menerapkan sebanyak 107 orang.

METODE ANALISIS DATA

  Untuk analisis kelayakan metode yang digunakan yaitu analisis kelayakan investasi. Analisis kelayakan investasi yang digunakan yaitu analisis NPV, IRR, dan

  Payback period yang dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

n

BC t t NPVt

t

  1 i

     NPV 1 IRRi   ii1 2 1 NPV NPV 12 dimana B= Benefit (Penerimaan), C = Cost (biaya), n= umur ekonomis, i = tingkat suku

  bunga (interestrate), dan t= waktu. Jangka waktu yang digunakan dalam analisis kelayakan ini yaitu 25 tahun untuk tanamana sawit dan 15 tahun untuk ternak sapi. Setelah diperoleh nilai NPV dan IRR untuk kondisi normal, maka dilakukan analisis sensitivitas dengan perubahan berat badan dan tingkat kelahiran sapi. Selain itu juga akan dianalisis penghematan penggunaan pupuk jika kotoran dan kencing sapi diaplikasikan ke kebun sawit atau tambahan pendapatan jika kotoran sapi tersebut dijual.

  Implementasi sistem integrasi sawit-sapi dianalisis secara deskriptif dengan membagi kebutuhan luas pertanaman rumput ke dalam blok-blok kebun sawit. Luas dan waktu pertanaman rumput per blok akan disesuaikan dengan kebutuhan pakan berdasarkan pertambahan jumlah berat sapi yang dipelihara.

  

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

USAHA PEMBIBITAN DAN PENGGEMUKAN SAPI

  Asumsi dasar yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pengelolaan ternak dilakukan dengan kombinasi pembibitan 50 ekor induk sapi dan penggemukan 50 ekor jantan. Satu siklus pembibitan dilakukan selama 24 bulan sedangakan satu siklus penggemukan dilakukan selama 3 bulan. Kombinasi antara pembibitan dan penggemukan dilakukan agar waktu tunggu petani untuk memperoleh hasil tidak terlalu lama yaitu dari usaha penggemukan. Usaha pembibitan dilakukan agar sumber bibit sapi diperoleh dari pengelolaan sendiri. Perkembangan kebutuhan rumput untuk permbibitan tersebut adalah sebagai berikut. Tabel 1. Perkembangan Kebutuhan Rumput untuk Bibit Keb.

  Jumlah sapi

Bulan Simulasi perkembangan sapi Rumput per

(ekor) hari (kg)

  50 I (3B) 50 3,000

  6

  50 I + 50 A 52 3,120

  12

  50 I (3B) + 50 A (6B) 63 3,750

  18

  50 I + 50 A + 50 A (12B) 77 4,620

  24

  50 I (3B) + 50 A (6B) + 50 A (18B) 100 6,000

  30

  50 I + 50 A + 50 A (12B) + 50 A (24B) 127 7,620 Penggemukan 50 A (24B)

  36

  50 I (3B) + 50 A (6B) + 50 A (18B) 100 6,000

  42

  50 I + 50 A + 50 A (12B) + 50 A (24B) 127 7,620 Penggemukan 50 A (24B)

  48

  50 I (3B) + 50 A (6B) + 50 A (18B) 100 6,000

  Bulan Simulasi perkembangan sapi Jumlah sapi (ekor) Keb. Rumput per hari (kg)

  50 I + 50 A + 50 A (12B) + 50 A (24B) 127 7,620 Penggemukan 50 A (24B)

  Bulan Bobot lembu (kg) Keb. pakan (%) Pakan (kg) Rumput (15%) (kg) Konsentrat (85%)

  Sementara kebutuhan pakan lembu untuk penggemukan dapat dilihat pada Tabel 2. Kebutuhan pakan tersebut dapat diperhitungkan dari berat (bobot) lembu. Kebutuhan pakan lembu adalah 15% dari bobotnya, dimana kebutuhan pakan tersebut 15% dipenuhi dari hijauan dan 85% dipenuhi dari makanan tambahan yaitu konsentrat. Tabel 2. Kebutuhan Pakan untuk Penggemukan Sapi

  Sapi yang berumur 24 bulan dianggap 1 ekor sapi, sehingga anak sapi yang berumur 1 bulan dianggap setara dengan 1/24 ekor sapi. Indeks ini digunakan untuk menghitung jumlah lembu dan jumlah makanan yang dibutuhkan. Dari perhitungan tersebut juga dapat dihitung kebutuhan luas kandang dengan kapasitas 27 ekor. Kandang untuk pembibitan adalah kandang koloni, sehingga sapi diatur berdasarkan koloni berat badan dan kekuatan makan. Kandang koloni yang harus disiapkan adalah kandang koloni induk, kandang penyapihan anak, kandang anak umur 1 tahun dan kandang karantina untuk beranak serta kandang kawin. Kandang kawin disiapkan untuk sistem perkawinan alami, dimana pejantan yang disiapkan ada di dalam kandang kawin tersebut.

  50 I + 50 A + 50 A (12B) + 50 A (24B) 127 7,620 Penggemukan 50 A (24B)

  90

  50 I (3B) + 50 A (6B) + 50 A (18B) 100 6,000

  84

  78

  54

  50 I (3B) + 50 A (6B) + 50 A (18B) 100 6,000

  72

  50 I + 50 A + 50 A (12B) + 50 A (24B) 127 7,620 Penggemukan 50 A (24B)

  66

  50 I (3B) + 50 A (6B) + 50 A (18B) 100 6,000

  60

  50 I + 50 A + 50 A (12B) + 50 A (24B) 127 7,620 Penggemukan 50 A (24B)

  1 15,000 0.15 2,250 338 1,913 2 16,500 0.15 2,475 371 2,104 3 18,000 0.15 2,700 405 2,295

  Dengan pemenuhan kebutuhan pakan seperti pada Tabel 2. maka produktivitas pertambahan bobot yang ditargetkan yaitu 1 kg/hari dan pertambahan bobot sebesar 100 kg/siklus. Sehingga umur siklus penggemukan sapi selama 3 bulan dan setahun 4 kali penjualan sapi.

  Kebutuhan pakan induk lembu untuk pembibitan hanya dipenuhi dari pakan hijauan. Dengan skala 50 ekor sapi indukan dan 50 ekor sapi penggemukan, maka dibutuhkan luas pertanaman rumput hingga 76,54 ha atau setara dengan 100 ha kebun sawit.

PENGELOLAAN PENANAMAN HIJAUAN PAKAN TERNAK DI LAHAN SAWIT

  Hijauan pakan ternak merupakan makanan pokok bagi ternak sapi. Sehingga penanaman hijauan pakan ternak harus sesuai dengan kebutuhan makanan ternak setiap hari. Dalam penelitian ini, tanaman hijauan pakan ternak adalah rumput gajah (king grass). Tanaman rumput gajah ini memiliki nutrisi dan protein yang tinggi bagi ternak sapi. Selain itu tanaman rumput gajah merupakan tanaman yang memiliki produktivitas tinggi dan perawatan yang relatif mudah pengerjaan dan pengelolaannya untuk skala lembu yang besar. Pada tulisan ini, rumput gajah ditanami di gawangan (intercrop) tanaman sawit. Sehingga penanaman disesuaikan dengan umur tanaman sawit.

  Asumsi yang digunakan yaitu penanaman rumput gajah dilakukan bersamaan dengan peremajaan (replanting) sawit. Penentuan luas tanaman rumput gajah adalah sebagai berikut: luas blok 30 Ha sawit memiliki ukuran lebar 300 m dan panjang 1000 m. Sistem tanam sawit dengan segitiga sama sisi dengan jarak tanam sawit 9,2 m x 9,2 m x 9,2 m dan jarak antar baris sawit 7,97 m dan populasi tanaman sawit 136/ha. Jumlah pasar pikul sebanyak 62 pasar pikul yang berukuran 1 m x 300 m. Luasan yang dapat ditanami rumput adalah jumlah luas gawangan sawit dikurangi dengan luas piringan dan pasar pikul yaitu :

  = 298875 − 69891 = 228984 Maka rasio luasan rumput gajah per 1 ha sawit adalah 0,7632 ha. Dengan rasio tersebut, maka untuk memenuhi kebutuhan rumput seluas 76,54 ha dibutuhkan kebun sawit seluas 100 ha.

  Penanaman rumput di antara lahan sawit dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan pakan. Rumput sudah bisa dipanen pada umur 100 hari, setelah dipanen, rumput akan kembali bisa dipanen 100 hari kemudian, demikian seterusnya. Sebelum penanaman kerbau. Penggunaan luku kerbau dimaksudkan agar pencangkolan tanah tidak terlalu dalam yang akan mengakibatkan akar sawit rusak. Bibit rumput gajah diambil dari batang rumput gajah yang sudah tua yang memiliki panjang sekitar setengah meter. Bibit ditanam secara tidur agar setiap ruas batang mengeluarkan tunas dan ditaburkan pupuk SP-36 secukupnya kemudian ditutupi dengan tanah.

  Penanaman rumput mulai dilakukan 100 hari sebelum sapi dibeli. Hal ini dilakukan agar pada saat sapi dibeli, sumber pakan hijauan sudah tersedia. Penanaman tahap pertama dilakukan seluas 27,33 ha dan dilakukan bertahap selama 3 bulan, dimana setiap bulan dilakukan penanamn seluas 9,1 ha. Kebutuhan luas lahan per bulan berbeda-beda tergantung simulasi jumlah sapi seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1.

  Produktivitas rumput dipengaruhi oleh umur tanaman sawit karena semakin tua sawit semakin panjang kanopi daun sawit yang menutupi lahan rumput. Kanopi yang semakin panjang akan menyebabkan kurangnya penyinaran di dalam lahan sawit yang pada akhirnya dapat menurunkan produktivitas rumput. Namun pada tanaman sawit yang sudah tua, tanaman sudah mulai tinggi, sehingga sinar matahari dapat kembali masuk ke lahan sawit. Adapun produktivitas rumput adalah 12,5 ton /ha pada sawit berumur 1-5 tahun, 11,5 ton /ha pada sawit berumur 6-10 tahun, 10,5 ton /ha pada sawit berumur 11-15 tahun, 11 ton /ha pada sawit berumur 16-20 dan 11,5 ton /ha pada sawit berumur 21-25 tahun.

  Gambar 1. Pola Pertanaman Rumput di antara Tanaman Sawit

ANALISIS KELAYAKAN

  Analisis kelayakan yang dilakukan pada penelitian ini adalah analisis kelayakan integrasi sawit-sapi, dengan skala ternak sapi 50 ekor induk untuk usaha pembibitan dan 50 ekor sapi untuk usaha penggemukan. Selain itu juga dilakukan analisis kelayakan usaha perkebunan sawit jika nilai investasi yang digunakan untuk usaha ternak sapi digunakan untuk ekspansi perkebunan sawit. Nilai investasi usaha ternak sapi adalah Rp 4.000.000.000. Jika diasumsikan harga lahan kosong sebesar Rp 50.000.000 per hektar, maka ekspansi perkebunan sawit yang dilakukan adalah sebesar 80 hektar. Permasalahannya adalah bahwa ketersediaan lahan sudah sangat terbatas, sehingga harga lahan untuk ekstensifikasi bisa menjadi lebih tinggi. Jika harga lahan meningkat, maka tentu saja usaha ternak sapi menjadi lebih menguntungkan.

  Dari hasil analisis kelayakan menunjukkan usaha perkebunan sawit dengan sistem integrasi memberikan NPV sebesar 10.000.468.666, IRR 33,33% dan payback period sebesar 7 tahun 8 bulan tahun sementara dengan ekstensifikasi diperoleh NPV 11.305.705.637, IRR 23,58% dan payback period 11 tahun 4 bulan. Jika dilihat dari nilai NPV, maka nilai NPV ekspansi sawit lebih tinggi dibandingkan NPV usaha integrasi sawit-sapi. Namun jika dilihat dari IRR dan payback period, nilai IRR usaha integrasi sawit-sapi lebih tinggi dibandingkan dengan usaha ekspansi sawit, dengan payback period yang lebih cepat. Nilai IRR yang lebih tinggi menunjukkan bahwa dengan integrasi pengembalian hasil dari investasi yang ditanamkan lebih tinggi.

  Analisis sensitivitas dilakukan dengan asumsi jika harga TBS turun hingga mencapai Rp 1.000 per kg. Dengan kondisi tersebut, maka nilai NPV dan IRR usaha integrasi sawit-sapi lebih tinggi dibandingkan usaha ekspansi sawit. Hasil analisis kelayakan dan sensitivitas dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Ringkasan Hasil Analisis Kelayakan dengan Analisis Sensitivitas

  Payback Uraian NPV

  IRR Net B/C Periode

  7 tahun 8 Intergrasi sawit-sapi 10.000.468.666 33,33% 6,52 bulan

  10 tahun 3 Ekstensifikasi sawit 11.305.705.637 23,58% 3,32 bulan Intergrasi sawit-sapi harga

  8.159.762.953 31,92% 5,50 8 tahun turun menjadi Rp 1.000/kg Ekstensifikasi sawit harga

  10 tahun 1 7.992.435.353 19,24% 2,64 turun menjadi Rp 1.000/kg bulan Tabel 3. menunjukkan bahwa dengan integrasi akan mengurangi resiko yang ditunjukkan dari nilai NPV, IRR, dan Net B/C yang lebih tinggi. Diversifikasi, atau membagi aset pada investasi yang berbeda akan mengurangi fluktuasi usaha dan akan mengurangi resiko dibandingkan dengan investasi pada satu jenis usaha. Hal ini disebabkan karena setiap usaha memberikan respon yang berbda terdahadap perubahan ekonomi (Price T. Rowe).

  Selain dapat meminimalkan resiko, dengan usaha integrasi, maka diperoleh kotoran sapi yang dapat digunakan sebagai pupuk organik. Pupuk organik diaplikasikan satu kali dalam setahun dengan dosis 4 karung per pohon. Dengan penggunaan pupuk organik tersebut, maka dapat dilakukan pengurangan penggunaan pupuk kimia. Belum ada penelitian khusus yang dilakukan untuk menguji berapa besar pengurangan pupuk kimia akibat penggunaan pupuk organik. Asumsi yang digunakan diperoleh dari petani yang sudah mengaplikasikan model integrasi ini. Dari pengalaman yang sudah dilakukan, dengan aplikasi pupuk organik yang berasal dari kotoran sapi, pengurangan pupuk kimia yang dapat dilakukan hingga mencapai 50%, tanpa mengurangi produktivitas tanaman sawit. Penurunan jumlah penggunaan pupuk kimia dalam jangka panjang, tidak hanya akan mengurangi biaya tetapi yang lebih penting lagi akan meminimalisasi penuruna kesuburan tanah (Jalaludin, 1997), sehingga usaha menjadi lebih berkelanjutan. Penanaman rumput di antara tanaman sawit juga akan mengurangi penggunaan pestisida kimia yang seharusnya digunakan untuk menyemprot gulma. Dengan demikian, polusi tanah dan lingkungan juga dapat dikurangi (Jalaludin, 1997).

  Menurut Kurniadinata dan Novizan (2005), penggunaan pupuk anorganik dalam jangka panjang secara terus-menerus dapat menyebabkan kerusakan struktur tanah, menurunkan pH tanah, menggangu keseimbangan organisme didalam tanah dan mengganggu kualitas air permukaan dan pada akhirnya akan berdampak buruk pada kesuburan tanah dan lingkungan di sekitar areal perkebunan. Dengan demikian perlu penambahan pupuk organik. Sutejo (2002) menyatakan bahwa penggunaan pupuk anorganik sebaiknya diikuti dengan pemberian pupuk organik sebagai pelengkap dan penyeimbang penggunaan pupuk anorganik, karena sifatnya yang mampu menjaga struktur tanah dan menjaga keseimbangan organisme di dalam tanah. Penggunaan bahan kimia dalam jangka panjang akan mengubah ekologi tanah dan akan mengurangi biodiversity yang pada akhirnya akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Jalaludin, 1997).

MANAJEMEN KELOMPOK DALAM IMPLEMENTASI SISTEM INTEGRASI

  Pengaturan manajemen kelompok dalam implementasi sistem integrasi sapi sawit didasarkan pada luas lahan sawit yang dimiliki petani. Luas lahan sawit yang dimiliki per petani adalah seluas 2 ha. Dengan demikian, untuk mencapai lahan 100 ha dibutuhkan keterlibatan 50 orang petani. Jika satu kelompok terdiri dari 20 – 30 orang petani, maka jumlah kelompok yang terlibat adalah 2 kelompok tani. Dengan skala usaha 50 ekor induk sapi untuk pembibitan dan 50 ekor sapi untuk penggemukan, maka satu orang petani bertanggung jawab terhadap 1 ekor induk dan 1 ekor sapi penggemukan.

  Ada dua pekerjaan utama dalam usaha ternak sapi, yaitu pemeliharaan rumput dan pemeliharaan sapi. Dalam pemeliharaan rumput diperlukan 3 orang tenaga kerja untuk mengarit ditambah 1 orang tenaga kerja untuk menyemprot, sedangkan dalam pemeliharaan sapi diperlukan 6 orang tenaga kerja. Kegiatan dalam pemeliharaan sapi yaitu mengambil rumput, menggiling rumput, mengaduk konsentrat, memberi makan sapi dan membersihkan kandang. Maka dalam usaha ternak sapi dibuthkan 10 orang tenaga kerja setiap hari. Jika 10 orang tenaga kerja tersebut dikerjakan oleh petani sendiri, maka 50 petani dapat dibuat dalam 10 kelompok kerja yang bekerja secara bergiliran selama 5 hari. Dengan demikian, selain mendapatkan hasil dari penjualan sapi, petani juga bisa mendapatkan tambahan dari upah sebagai tenaga kerja.

  Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian pengelolaan penanaman pakan hijauan, total kebutuhan luas lahan rumput adalah 76 ha atau setara dengan 100 ha kebun sawit. Pada saat pertama sekali usaha ternak sapi dimulai, dengan 50 ekor induk dan 50 ekor sapi jantan untuk penggemukan, kebutuhan rumput per hari adalah 3.337,50 kg yang dihasilkan dari 0,27 ha, sehingga dalam 100 hari dibutuhkan 27,33 ha rumput. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka dibutuhkan 32 ha kebun sawit, atau 16 kapling yang ditanam bertahap dalam waktu 3 bulan. Penanaman dimulai 3 bulan sebelum sapi mulai dipelihara yaitu sebanyak 11 ha, bulan kedua ditanam 11 ha, dan bulan ketiga ditanam 10 ha.

  Pada bulan ke-6, karena terjadi penambahan berat badan, maka kebutuhan pakan hijauan juga bertambah menjadi 3.536,30 kg, dengan demikian dibutuhkan tambahan penanaman rumput seluas 2 ha atau setara dengan 8 ha kebun sawit (4 kapling). Rumput sudah mulai ditanaman pada bulan ke-3 bertahap hingga bulan ke-5. Penambahan luas pertanaman rumput dilakukan hingga tahun ke-11 mengikuti pertambahan kebutuhan pakan ternak. Pola manajemen penanaman rumput dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Pola Penanaman Rumput

  Luas Tahap Bulan Tanam Luas Kebun Luas Kebun Tahun ke-

penanaman ke- Rumput Sawit (Ha) Sawit (Ha)

(ha)

  1 -3

  11

  32 2 -2 24,32

  11 (1) 3 -1

  10

  4

  3

  1

  2

  5

  4 I 1,52 0,5 (2)

  6

  5 0,5

  7

  9

  2

  6

  8 10 4,56

  2 (3)

  9

  11

  2

  10

  15

  3

  8

  11 16 6,08

  3 (4)

  12

  17

  2 II

  13

  21

  4

  12

  14 22 9,12

  4 (5)

  15

  23

  4

  16

  27

  7

  20

  17

  28 III 15,20

  7 (6)

  18

  29

  6

  19

  63

  4

  10

  20

  64 VI 7,60

  3 (7)

  21

  65 3 22 123

  4

  10 23 124

  XI 7,70

  3 (8) 24 125

  3 Total 76,00 100 Sesuai dengan Tabel 4. maka penanaman rumput akan dilakukan dalam 8 blok dengan pembagian seperti pada Gambar 2. Pada setiap blok akan dilakukan tiga tahap pertanaman, setiap bulan, selama tiga bulan, sehingga total pertanaman adalah sebanyak 24 kali.

  4

  2

  6

  7

  8

  1

  

5

  3 Gambar 2. Pola Manajemen Kelompom dalam Penanaman Rumput

  

KESIMPULAN

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa intensifikasi dengan integrasi sawit-sapi secara finansial layak dapat digunakan sebagai alterntif. Usaha perkebunan sawit dengan sistem integrasi memberikan NPV sebesar 10.000.468.666, IRR 33,33% dan payback

  

period sebesar 7 tahun 8 bulan tahun sementara dengan ekstensifikasi diperoleh NPV

  11.305.705.637, IRR 23,58% dan payback period 11 tahun 4 bulan. Dari hasil analisis sensitivitas, jika harga TBS turun menjadi Rp 1.000/kg maka usaha integrasi sawit-sapi akan memberikan NPV yang lebih tinggi yaitu sebesar 8.159.762.953 dibandingkan dengan ekstensifikasi yaitu sebesar 7.992.435.353. Integrasi sawit-sapi dalam jangka panjang akan mengurangi penggunaan pupuk dan pestisida kimia, sehingga dapat mengurangi polusi tanah. Di samping itu, integrasi sawit-sapi sangat sesuai untuk perkebunan yang akan direplanting dan memerlukan pupuk organik untuk perbaikan kondisi tanah. Dengan demikian diharapkan perkebunan sawit tersebut akan lebih berkelanjutan.

  Pola integrasi sawit-sapi akan dikelola dalam manajemen kelompok dengan melibatkan 50 petani dengan total luas lahan 100 ha. Penanaman rumput akan dilakukan sebanyak 24 kali mengikuti pertumbuhan berat badan sapi. Pola pertanaman dilakukan setiap bulan selama waktu tiga bulan, sehingga akan terdapat 8 blok pertanaman.