BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP BANK SEBAGAI KREDITUR A. Alasan-Alasan Diberikannya Perlindungan Hukum Terhadap Bank Atas Kredit Yang Diberikannya Dengan Jaminan Hak Tanggungan - Perlindungan Hukum Terhadap Bank Atas Konflik Alas Hak dari Hak Tanggunga

BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP BANK SEBAGAI KREDITUR A. Alasan-Alasan Diberikannya Perlindungan Hukum Terhadap Bank Atas Kredit Yang Diberikannya Dengan Jaminan Hak Tanggungan Salah satu produk yang diberikan oleh Bank dalam membantu kelancaran

  usaha debiturnya adalah dengan pemberian kredit, dimana hal ini merupakan salah satu fungsi Bank yang sangat mendukung pertumbuhan ekonomi. Istilah kredit bukan merupakan hal yang asing dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat, karena sering dijumpai pada anggota masyarakat yang melakukan jual beli barang secara kredit.

  Jual beli tersebut tidak dilakukan secara tunai (kontan) tetapi dengan cara mengangsur. Masyarakat pada umumnya mengartikan kredit sama dengan utang, karena setelah jangka waktu tertentu mereka harus membayar lunas.

  Kata kredit berasal dari bahasa Romawi yaitu credere yang berarti kepercayaan akan kebenaran dan apabila dihubungkan dengan Bank, maka terkandung pengertian bahwa pihak Bank selaku kreditur memberikan kepercayaan untuk meminjamkan sejumlah uang kepada nasabah atau debitur, karena debitur dipercaya kemampuannya untuk membayar lunas pinjamannya setelah jangka waktu

  43

  yang ditentukan. Dalam pengertian yang lebih luas, kredit dapat diartikan sebagai kemampuan untuk melaksanakan suatu pemberian atau mengadakan suatu pinjaman 43 Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis, (Jakarta: Djambatan, 1996), hlm. 44.

  34 dengan suatu janji pembayarannya akan dilakukan pada jangka waktu yang telah disepakati.

  Berdasarkan pengertian kredit di atas, maka intisari pengertian kredit menurut penulis adalah adanya unsur kepercayaan serta pertimbangan untuk saling tolong- menolong. Selain itu, dilihat dari pihak kreditur, unsur penting dalam kegiatan kredit sekarang ini adalah untuk mengambil keuntungan dari modal dengan mengambil kontraprestasi, sedangkan dipandang dari segi debitur, adanya bantuan dari kreditur untuk menutupi kebutuhan berupa prestasi. Hanya saja antara prestasi dan kontraprestasi terdapat suatu masa yang memisahkannya dan kondisi semacam ini mengakibatkan adanya risiko berupa ketidaktentuan, sehingga diperlukan suatu jaminan dalam pemberian kredit tersebut.

  Kredit pada awal perkembangannya mengarahkan fungsinya untuk merangsang kedua belah pihak yaitu debitur dan kreditur guna pencapaian tujuan dalam pemenuhan kebutuhan baik dalam bidang usaha maupun untuk kebutuhan sehari-hari. Pihak yang memperoleh kredit (debitur) harus dapat menunjukkan prestasi yang lebih tinggi pada kemajuan usahanya tersebut, atau mendapatkan pemenuhan atas kebutuhannya, sedangkan bagi pihak pemberi fasilitas kredit (kreditur), secara material harus mendapatkan rentabilitas berdasarkan perhitungan yang wajar dari modal yang dijadikan objek kredit, dan secara spiritual mendapatkan kepuasan karena dapat membantu pihak lain untuk mencapai kemajuan.

  Suatu kredit mencapai fungsinya, baik bagi debitur, kreditur, maupun masyarakat, apabila secara sosial ekonomis membawa pengaruh yang lebih baik. Bagi pihak debitur dan kreditur sama-sama memperoleh keuntungan dan mengakibatkan tambahan penerimaan negara dari pajak, serta membawa dampak kemajuan ekonomi yang bersifat mikro maupun makro.

  Pemberian kredit yang dilakukan oleh Bank sebagai suatu lembaga keuangan, sudah semestinya harus dapat memberikan perlindungan hukum bagi pemberi dan penerima kredit serta pihak yang terkait mendapat perlindungan melalui suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan dapat memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan. Dalam pemberian kredit ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh Bank dalam rangka melindungi dan mengamankan dana masyarakat yang dikelola bank tersebut untuk disalurkan dalam bentuk kredit, yaitu:

  1. Harus dilakukan dengan menggunakan prinsip kehati-hatian (prudential banking

  principles

  ); Di dalam rangka penyaluran kredit kepada perusahaan-perusahaan dan masyarakat untuk kepentingan pembiayaan, maka setiap Bank diwajibkan untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian (prudential banking principles) dalam menyalurkan kredit-kreditnya. Hal ini didasarkan karena resiko yang sangat tinggi dalam melakukan pemberian kredit sebagai usaha utama Bank. Selain itu, kegagalan di bidang kredit dapat berakibat pada terpengaruhinya kesehatan dan kelangsungan usaha Bank itu sendiri. Penerapan prinsip kehati-hatian (prudential

  banking principles

  ) dalam seluruh kegiatan perbankan merupakan salah satu cara untuk menciptakan perbankan yang sehat, yang pada gilirannya akan berdampak positif terhadap perekonomian secara makro. Selain itu, implementasi prinsip

  prudential banking

  harus diterapkan secara menyeluruh, sehingga tidak hanya menyangkut masalah pemberian kredit, tetapi dimulai saat Bank tersebut didirikan, penentuan manajemen yang memenuhi uji kecukupan dan kelayakan (fit and proper test) yang tidak bersifat seremonial.

  2. Harus mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan;

  3. Wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan Bank dan masyarakat yang mempercayakan dananya pada bank;

  4. Harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat.

  Di dalam pemberian kredit telah digunakan prinsip 5 C selama bertahun-tahun dan kenyataannya pada saat ini masih terus dipergunakan, oleh karena prinsip 5 C tersebutlah dijadikan sebagai dasar bagi Bank dalam memberikan kredit kapada

  44

  nasabahnya. Prinsip ini meliputi:

  Character

  1. (watak) Karakter tidak diragukan lagi adalah faktor yang sangat penting untuk dipertimbangkan jika ingin memberikan kredit. Apabila debitur tidak jujur, curang ataupun incompetence, maka kredit tidak akan berhasil tanpa perlu memperhatikan faktor-faktor lainnya. Orang yang tidak jujur ataupun curang akan selalu mencari jalan untuk mengambil keuntungan. Seseorang yang incompetence menjalankan bisnis tidak diragukan lagi akan menjalankan bisnisnya dengan 44 PM Weaver & CD Kingsley, Banking & Lending Practice, (Sydney: Lawbook Co., 2001), hlm. 97-104. buruk, dan hasilnya kredit akan mengandung resiko tinggi. Jika seseorang tidak ingin membayar kembali kreditnya, kemungkinan ia akan mencari jalan untuk menghindari membayar kembali. Untuk itu, penilaian karakter debitur harus ditentukan sejak ia memulai langkah pertama untuk mendapatkan pinjaman.

  Capacity

  2. (Kemampuan) Dalam menentukan karakter, debitur harus mampu menunjukkan kepada Bank bahwa ia adalah orang yang jujur dan dapat diandalkan. Untuk itu dibutuhkan

  track

  record dari yang bersangkutan. Tentu saja untuk melakukan hal ini sangat sulit. Di Australia informasi semacam itu dapat didapatkan pada biro kredit, seperti Credit Reference Association of Australia, Ltd. (“CRAA”). CRAA mengelola database yang berisi data kredit baik perorangan maupun perusahaan yang ada di Australia, yang memuat berbagai informasi dari kredit yang telah diajukan, pembayaran yang telat dan juga putusan pengadilan yang berhubungan dengan kredit macet. Lembaga keuangan yang menjadi anggota CRAA berhak untuk untuk mendapatkan informasi tentang si peminjam, dan sebagai imbalannya, mereka harus menyediakan informasi dari pinjaman yang akan diajukan. Di Indonesia informasi tentang nasabah dapat diperoleh melalui sistem informasi kredit yang dimiliki Bank Indonesia, istilah kalangan perbankan

  45

  dikatakan BI Checking. Namun karena tidak adanya system “kenal diri” yang berlaku nasional sehingga seorang dapat memiliki identitas diri lebih dari satu informasi itu seringkali tidak akurat. 45 Gatot Supramono, Op. Cit, hlm. 48.

  BI Checking

  yang dimaksud adalah fasilitas yang sangat berguna sekali bagi para kreditur, dalam hal ini bisa saja Bank Umum atau BPR atau BPR Syariah dan juga Lembaga Keuangan Non Bank lain yang mendaftarkan badan usahanya ke Bank Indonesia sebagai peserta Pelapor Informasi Debitur dan berhak juga untuk meminta BI Checking. BI Checking sendiri sebenarnya adalah berupa Informasi Debitur Individual yang bersumber dari laporan para Bank Pelapor berisikan:

  a. Data identitas dan pendukung dari Debitur yang menjadi nasabahnya;

  b. Data informasi kredit atau pembiayaan yang diterima oleh nasabah tersebut berisikan sejarah pencairan, besarnya pencairan, awal kredit dan jatuh temponya, serta yang lebih penting lagi adalah riwayat angsuran yang telah terjadi; c. Data informasi jaminan atau agunan yang disertakan dalam kredit;

  d. Data informasi neraca dan pengurus bagi Debitur yang berbentuk badan usaha seperti PT atau CV dan Koperasi.

  Capital

  3. (Modal) Modal (capital) berhubungan dengan kekuatan keuangan dari si peminjam. Ada beberapa cara untuk menentukan apakah modal seseorang itu memuaskan.

  Langkah pertama adalah mendapatkan laporan asset dan passiva dari si peminjam dan harus dipastikan data tersebut akurat. Beberapa lembaga pinjaman mempunyai aturan-aturan pinjaman yang memuat batas ratio maksimal asset dan

  passiva .

  4. Conditions

  Conditions

  dapat dilihat melalui dua kategori, yaitu kondisi internal dan kondisi eksternal yang akan mempengaruhi peminjam dan kemampuan debitur untuk mengembalikan. Kedua belah pihak baik bank maupun debitur menyusun kontrak yang memuat hal-hal yang berkaitan dengan kredit, biaya dan bunga. Bank berhak mengetahui tujuan dari pinjaman. Hal ini membantu Bank menilai resiko dari pinjaman, tipe dari produk pinjaman dan keamanan apa yang diperlukan. Bank tidak memberikan kredit untuk tujuan yang illegal misalnya memberikan kredit untuk tujuan yang dapat membahayakan lingkungan.

  Collateral

  5. (agunan)

  Collateral (agunan) diperlukan untuk menanggung pembayaran kredit macet.

  Calon debitur umumnya diminta untuk menyediakan jaminan berupa agunan yang berkualitas tinggi yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diterimanya. Agunan berfungsi sebagai jaminan tambahan. Kesulitan Bank dalam melakukan analisis dengan menggunakan prinsip 5 C sebagaimana dikemukakan di atas dapat diantisipasi dengan adanya skim penjaminan atau skim asuransi kredit. Dengan adanya skim tersebut maka Bank lebih mudah menilai risiko kredit yang diberikannya. Dari sisi pandang pihak perbankan, adanya skim penjaminan kredit akan dapat membantu dalam melakukan pengelolaan terhadap risiko terhadap proses pemberian kredit. Fungsi intermediasi akan berjalan secara lebih aman, dimana risiko terjadinya kerugian akibat kemungkinan kredit macet dapat ditekan pada tingkat yang manageable.

  Di dalam rangka pencapaian tujuan ekonomi, maka kredit yang diberikan harus dengan jaminan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yang salah satunya adalah membuat perjanjian kredit yang berfungsi memberi batasan hak dan kewajiban bagi pihak-pihak tersebut. Perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok yang diikuti dengan perjanjian penjaminan sebagai perjanjian tambahan. Keduanya dibuat secara terpisah, namun kedudukan perjanjian penjaminan sangat tergantung dari perjanjian pokoknya. Hal ini perlu dilakukan untuk memberikan perlindungan kepada pihak kreditur, sehingga apabila debitur wanprestasi maka kreditur tetap mendapatkan hak atas piutangnya.

  Berkaitan dengan jaminan hak tanggungan terhadap kredit yang diberikan oleh kreditur, maka hak tanggungan itu sendiri lahir dengan didahului oleh suatu bentuk perjanjian dasar atau perjanjian pokok yaitu perjanjian utang-piutang antara debitur dengan kreditur. Hubungan hukum antara debitur dan kreditur adalah hubungan perikatan yang sumbernya adalah perjanjian utang piutang, yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban secara timbal balik diantara para pihak. Yang dimaksud dengan hak dan kewajiban secara timbal balik, yaitu:

  1. Hak debitur : Menerima uang pinjaman;

  2. Kewajiban kreditur : Menyerahkan uang;

  3. Hak kreditur : Hak tagih; 4. Kewajiban debitur : Membayar kembali utang dan bunga.

  Setelah jangka waktu yang ditetapkan oleh debitur dan kreditur untuk melunasi utang terlewati, maka kreditur hanya dapat menagih utang tersebut kepada debitur tertentu saja. Hal ini menimbulkan hak pribadi yaitu hak menagih kreditur kepada debitur tertentu. Bukan pada debitur lain karena suatu perjanjian hanya mengikat pihak yang membuatnya sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1315 KUHPerdata dan Pasal 1340 KUHPerdata. Dimana dalam kedua pasal tersebut dijelaskan, bahwa apabila debitur wanprestasi maka kreditur melakukan penyitaan terhadap harta debitur. Hal ini didasarkan pada Pasal 1131 KUHPerdata, mengenai jaminan yang bersifat umum. Jaminan umum mengandung pengertian bahwa semua harta benda milik debitur menjadi jaminan bersama-sama bagi semua krediturnya. Hasil dari penjualan tersebut akan dibagi-bagikan menurut besar kecilnya tagihan (piutang) masing-masing kreditur. Dalam prakteknya sering kreditur merasa tidak puas dengan jaminan secara umum tersebut karena tidak banyak memberikan banyak keistimewaan bagi kedudukan kreditur terutama dalam hal ini Bank sebab

  46 mempunyai posisi yang sama dengan kreditur lainnya.

  Jaminan hutang sebagaimana yang dijabarkan dalam Pasal 1131 KUHPerdata tersebut memiliki kelemahan, yaitu kalau hasil penjualan harta kekayaan debitur tidak cukup untuk melunasi semua hutang kepada krediturnya, tiap kreditur akan memperoleh pembayaran sebagian, seimbang dengan jumlah piutang masing-

  47 masing. 46 47 J. Satrio, Op. Cit, hlm. 31.

  Boedi Harsono, Op. Cit, hlm. 57. Apabila seluruh atau sebagian harta kekayaan tersebut oleh debitur dialihkan kepada pihak lain, maka harta kekayaan yang telah dialihkan itu bukan lagi merupakan jaminan bagi pelunasan hutang debitur. Oleh karena itu kreditur menghendaki adanya benda-benda tertentu milik debitur yang berguna dikemudian hari apabila debitur tidak menepati janjinya (wanprestasi), maka kreditur mempunyai kepastian dan kemudahan untuk melaksanakan haknya terhadap benda-benda tersebut untuk melakukan penjualan benda tersebut.

  Menurut Pasal 1132 KUHPerdata itu dihubungkan pula dengan ketentuan

  Pasal 1131 KUHPerdata dan Pasal 1134 KUHPerdata, maka kreditur yang ditentukan oleh undang-undang yang mempunyai kedudukan yang sama sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1132 KUHPerdata yaitu hak mereka untuk memperoleh pembagian dari hasil penjualan harta kekayaan debitur dalam hal debitur wanprestasi secara seimbang dan proporsional menurut besar kecilnya masing-masing piutang mereka.

  Oleh karena itu, diperlukan adanya jaminan kebendaan seperti Hak Tanggungan untuk menjamin kepastian pelunasan hutang tersebut. Khusus jaminan kebendaan kreditur berhak untuk didahulukan pemenuhan hutangnya terhadap pembagian hasil eksekusi benda tertentu milik debitur yang dijamin dengan hak kebendaan jura in re aliena. Kreditur pemegang hak kebendaan tersebut, berhak atas pemenuhan terhadap benda lainnya dari debitur bersama-sama dengan kreditur lainnya selaku kreditur bersama (kreditur konkuren). Adapun jura in re aliena yang dimaksud tersebut merupakan suatu hak kebendaan terbatas yang dimiliki oleh seseorang atau badan hukum tertentu di atas suatu kebendaan yang dengan hak kebendaan lebih luas atau lebih tinggi tingkatannya. Sementara itu, kreditur konkuren adalah kreditur yang harus berbagi dengan para kreditur lainnya secara proporsional (pari passu), yaitu menurut perbandingan besarnya masing-masing tagihan, dari hasil penjualan harta kekayaan debitur yang tidak dibebani dengan hak jaminan. Kreditur ini memiliki kedudukan yang sama dan berhak memperoleh hasil penjualan harta kekayaan debitur, baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari setelah sebelumnya dikurangi dengan kewajiban membayar piutangnya kepada kreditur

  48 pemegang hak jaminan dan para kreditur dengan hak istimewa.

  Pada proses pemberian hak tanggungan, APHT dibuat 2 lembar yang aslinya (in originali), ditandatangani oleh pemberi hak tanggungan yaitu kreditur penerima hak tanggungan dan 2 orang saksi serta PPAT. Dalam pembuatan APHT tidak minut dan tidak juga dibuat salinannya dalam bentuk “grosse”. Lembar pertama akta tersebut disimpan dikantor PPAT, sedangkan lembar kedua dan satu lembar salinannya yang sudah diparaf oleh PPAT untuk disahkan sebagai salinan oleh Kepala Kantor Pertanahan untuk pembuatan sertipikat hak tanggungan, berikut warkah-warkah yang diperlukan disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan. Menurut ketentuan dalam Pasal 13 ayat (2) disebutkan bahwa penyampaian wajib dilakukan selambat-lambatnya tujuh hari kerja setelah ditandatangani. Penyampaiannya dilakukan dengan cara datang sendiri ke kantor pertanahan atau dikirim dengan pos tercatat ataupun disampaikan melalui penerima hak tanggungan yang bersedia menyerahkannya kepada Kantor Pertanahan. 48 Gunawan Widjaja dan Ahmad yani, Seri Hukum Bisnis Jaminan Fidusia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 92.

  Hak Tanggungan merupakan salah satu jenis jaminan kebendaan sebagaimana telah dijelaskan dimuka, meskipun tidak dijelaskan secara tegas adalah jaminan yang lahir dari perjanjian. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1 sub 1 Undang-Undang Hak Tanggungan. Selanjutnya, apabila membaca lebih lanjut ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hak Tanggungan dalam rumusan Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 dapat diketahui bahwa pada dasarnya pemberian hak tanggungan hanya

  49 dimungkinkan jika dibuat dalam bentuk perjanjian.

  Pemberian hak tanggungan harus memenuhi syarat sahnya perjanjian. Dalam

  Pasal 1320 KUHPerdata mengatur mengenai syarat sahnya perjanjian. Dengan rumusan yang menyatakan bahwa: “Untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan empat syarat, yaitu: sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal”.

  Sebagai suatu bentuk perjanjian, maka pemenuhan syarat subyektif pemberian hak tanggungan adalah pemenuhan syarat subyektif sahnya perjanjian. Adanya kesepakatan untuk memberikan hak tanggungan. Kesepakatan dalam perjanjian, pada dasarnya merupakan perwujudan dari kehendak dua pihak atau lebih dalam perjanjian tersebut, mengenai hal-hal yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, mengenai cara melaksanakannya, mengenai saat pelaksanaan, dan mengenai pihak-pihak yang berkewajiban untuk melaksanakan hal-hal yang telah disepakati tersebut. Dalam perjanjian pemberian hak tanggungan, dengan hanya disetujuinya pemberian hak 49 Kartini Muljadi-Gunawan widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan: Hak Tanggungan, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 16-17. tanggungan secara lisan oleh pemilik kebendaan yang akan dijaminkan dengan Hak Tanggungan, belum melahirkan perikatan atau prestasi atau kewajiban pada diri pemilik kebendaan, yaitu bahwa kebendaannya yang akan dijaminkan dengan Hak Tanggungan tersebut akan dijual untuk melunasi utang debitur yang dijamin tersebut.

  Pemberian hak tanggungan dengan segala akibat hukumnya, termasuk kewajiban pemberi hak tanggungan untuk “merelakan” agar benda yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan tersebut disita, dijual dan selanjutnya hasil penjualan kebendaan dijaminkan dengan Hak Tanggungan tersebut agar dipergunakan untuk melunasi utang debitur yang dijamin, baru lahir, dan mengikat pemilik kebendaan yang akan dijaminkan dengan Hak Tanggungan, manakala telah dibuat Akta Pemberian Hak Tanggungan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 10 sub (1) dan (2) Undang-Undang Hak Tanggungan.

  Pemberian hak tanggungan itu sendiri baru mengikat pihak ketiga, manakala pemberian hak tanggungan tersebut didaftarkan dan diumumkan. Saat pendaftaran dan pengumuman itulah merupakan berlakunya Hak Tanggungan sebagai hak kebendaan. Terhadap pendaftaran dan pengumuman tersebut, sebagai bukti keberadaan Hak Tanggungan tersebut, bagi penerima hak tanggungan dikeluarkanlah Sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 13 dan Pasal

  14 Undang-Undang Hak Tanggungan. Dengan demikian, jelaslah bahwa perjanjian pemberian hak tanggungan sebagai suatu perjanjian formal, yang mensyaratkan dibuatnya Akta Pemberian Hak Tanggungan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

  Di dalam perjanjian pemberian jaminan Hak Tanggungan, kreditur tidak berkepentingan terhadap pemberian jaminan kebendaan dalam bentuk Hak Tanggungan tersebut, melainkan terhadap kebendaan yang dijadikan sebagai jaminan kebendaan dalam bentuk Hak Tanggungan tersebut.

  Sebagai suatu bentuk perjanjian yang merupakan ikutan terhadap perikatan pokok yang mendahuluinya, sebagaimana yang diuraikan dalam Pasal 1 sub 1 Undang-Undang Hak Tanggungan bahwa keabsahan dan eksistensi dari Hak Tanggungan yang diberikan dengan perjanjian pemberian hak tanggungan bergantung sepenuhnya pada keabsahan atau eksistensi dari perikatan pokok yang pembayaran utangnya dijamin dengan Hak Tanggungan tersebut. Jadi tidak mungkin dalam suatu perjanjian pemberian hak tanggungan dapat terjadi kekhilafan mengenai hakikat dari kebendaan yang dijaminkan tersebut, atau yang berhubungan dengan piutang yang dijamin dengan hak tanggungan tersebut. Mengenai eksistensi hak tanggungan dalam hubungannya dengan eksistensi perikatan pokok yang mendasari keberadaan Hak Tanggungan tersebut, dalam Pasal 18 sub (1) butir a Undang-Undang Hak Tanggungan dikatakan bahwa Hak Tanggungan hapus karena hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan.

  Berkenaan dengan perlindungan hukum, maka secara umum keberadaan hukum dalam masyarakat merupakan suatu sarana untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban masyarakat, sehingga dalam hubungan antar anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya dapat dijaga kepentingannya. Hukum tidak lain adalah perlindungan kepentingan manusia yang berbentuk norma atau kaedah. Hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaedah mengandung isi yang bersifat umum dan normatif, umum karena berlaku bagi setiap orang, dan normatif karena menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, serta menentukan bagaimana cara

  50 melaksanakan kepatuhan pada kaedah.

  Wujud dari peran hukum dalam masyarakat adalah memberikan perlindungan hukum kepada anggota masyarakat yang kepentingannya terganggu. Persengketaan yang terjadi dalam masyarakat harus diselesaikan menurut hukum yang berlaku, sehingga dapat mencegah perilaku main hakim sendiri. Tujuan pokok hukum sebagai perlindungan kepentingan manusia adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, sehingga terwujud kehidupan yang seimbang.

  Pada hakikatnya terdapat hubungan antara subjek hukum dengan objek hukum yang dilindungi oleh hukum dan menimbulkan kewajiban. Hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan hukum tersebut harus dilindungi oleh hukum, sehingga anggota masyarakat merasa aman dalam melaksanakan kepentingannya. Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan hukum dapat diartikan sebagai suatu pemberian jaminan atau kepastian bahwa seseorang akan mendapatkan apa yang telah menjadi hak dan kewajibannya, sehingga yang bersangkutan akan merasa aman. Artinya bahwa dalam hal ini bahwa hukum itu sendiri bertujuan agar tercapainya ketertiban dalam masyarakat sehingga diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi untuk mencapai tujuannya dan bertugas membagi hak dan kewajiban antar perorangan 50 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2003), hlm. 39. dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengutamakan pemecahan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum.

  Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perlindungan hukum dalam arti sempit adalah sesuatu yang diberikan kepada subjek hukum dalam bentuk perangkat hukum, baik yang bersifat preventif maupun represif, serta dalam bentuk yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain, perlindungan hukum dapat diartikan sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu ketenteraman bagi segala kepentingan manusia yang ada di dalam masyarakat sehingga tercipta keselarasan dan keseimbangan hidup masyarakat. Sedangkan perlindungan hukum dalam arti luas adalah tidak hanya diberikan kepada seluruh makhluk hidup maupun segala ciptaan Tuhan dan dimanfaatkan bersama-sama dalam rangka kehidupan yang adil dan damai.

  Sementara itu, berbicara mengenai Hak Tanggungan adalah berbicara mengenai kegiatan perkreditan modern yang memberikan perlindungan dan kedudukan istimewa kepada kreditur tertentu sebagaimana yang telah disebutkan dalam Undang-Undang Hak Tanggungan. Sehingga dengan demikian, adapun alasan- alasan diberikannya perlindungan hukum terhadap Bank sebagai kreditur atas kredit yang diberikannya dengan jaminan Hak Tanggungan, disebabkan karena adanya asas- asas yang mendasarinya sebagai akibat dari perlindungan hukum yang diberikan tersebut, yakni di antaranya yaitu:

  Droit De Preference 1.

  Hukum mengenai perkreditan modern yang dijamin dengan Hak Tanggungan mengatur perjanjian dan hubungan utang-piutang tertentu antara kreditur dan debitur, yang meliputi hak kreditur untuk menjual lelang harta kekayaan tertentu yang ditunjuk secara khusus sebagai jaminan dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, jika debitur cidera janji. Dalam mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut kreditur pemegang

  51 hak tanggungan mempunyai hak mendahulu (droit de preference).

  2. Droit De Suite Hak Tanggungan juga tetap membebani obyek hak tanggungan di tangan siapapun benda tersebut berada. Ketentuan ini berarti, bahwa kreditur pemegang hak tanggungan tetap berhak menjual lelang benda tersebut, biarpun sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain (Droit de suite). Apabila seluruh atau sebagian harta kekayaan tersebut telah dipindahkan kepada pihak lain, karena bukan lagi kepunyaan debitur, bukan lagi merupakan jaminan bagi pelunasan

  52 piutang krediturnya.

  3. Jaminan Umum Pasal 1131 KUHPerdata Dua kedudukan istimewa yang ada pada pemegang hak tanggungan tersebut mengatasi dua kelemahan perlindungan yang diberikan secara umum kepada setiap kreditur oleh Pasal 1131 KUHPerdata. Menurut pasal tersebut seluruh harta 51 52 Boedi Harsono, Op. Cit, hlm. 402.

  Ibid., kekayaan debitur merupakan jaminan bagi pelunasan utangnya kepada semua krediturnya. Kalau hasil penjualan harta kekayaan debitur tidak cukup untuk melunasi piutang semua krediturnya, tiap kreditur hanya memperoleh pembayaran sebagian seimbang dengan jumlah piutangnya masing-masing.

  4. Kepailitan Pemberi Hak Tanggungan Selain kedudukan istimewa yang disebut di atas, menurut Pasal 21 Undang- Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996, yakni apabila pemberi hak tanggungan dinyatakan pailit, kreditur pemegang hak tanggungan tetap berwenang melakukan segala hal yang diperolehnya menurut Undang-Undang Hak Tanggungan. Ini berarti bahwa obyek hak tanggungan tidak termasuk dalam boedel kepailitan, sebelum kreditur mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan benda yang bersangkutan. Yang dinyatakan pailit adalah pemberi hak tanggungan yaitu pihak yang menunjuk harta kekayaannya sebagai jaminan.

  Pemberi hak tanggungan tidak selalu debitur sebagai pihak yang berutang tetapi bisa juga pihak lain.

  5. Hak Tanggungan Tidak Dapat Dibagi-Bagi Ketentuan yang juga memberikan kedudukan istimewa kepada kreditur pemegang hak tanggungan adalah sifat Hak Tanggungan yang tidak dapat dibagi-bagi, jika dibebankan atas lebih dari satu obyek, seperti dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (1). Hak Tanggungan yang bersangkutan membebani obyek-obyek tersebut masing- masing secara utuh. Jika kreditnya dilunasi secara angsuran, Hak Tanggungan yang bersangkutan tetap membebani setiap obyek untuk sisa utang yang belum dilunasi.

  6. Kemudahan dan Kepastian dalam Eksekusi Keistimewaan lain adalah bahwa Hak Tanggungan itu mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. Apabila debitur cidera janji tidak perlu ditempuh acara gugatan perdata biasa, yang memakan waktu dan biaya. Bagi kreditur pemegang hak tanggungan disediakan acara khusus yang diatur dalam Pasal 20 Undang- Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996, yaitu menggunakan haknya menjual obyek jaminan hak tanggungan melalui pelelangan umum berdasarkan

  53 Pasal 6 atau ditempuh apa yang dikenal sebagai “Parate Executie”.

  7. Kepastian Tanggal Kelahiran Hak Tanggungan Ketentuan mengenai kepastian tanggal lahirnya Hak Tanggungan yang diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996 dan penentuan batas waktunya dilakukannya berbagai perbuatan hukum dalam rangka pembebanan hak tanggungan.

  Berkaitan dengan asas-asas tersebut di atas, maka di dalam suatu perjanjian kredit yang dilakukan antara pihak kreditur dan debitur, tidak menutup risiko adanya tindakan wanprestasi dari pihak debitur, sehingga diperlukan jaminan kebendaan guna menjamin pelunasan piutang debitur. Jaminan yang paling banyak digunakan umumnya adalah hak atas tanah yang ketentuannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, dimana Undang-Undang ini memberikan perlindungan hukum khususnya bagi pemegang hak tanggungan apabila di kemudian hari debitur 53 Ibid. cidera janji atau tidak memenuhi kewajibannya, dan perlindungan hukum yang diberikan tersebut adalah berdasarkan asas-asas sebagaimana diuraikan tersebut di atas.

  Kreditur pemegang hak tanggungan mempunyai hak mendahulu daripada kreditur-kreditur yang lain (droit de preference) untuk mengambil pelunasan dari penjualan tersebut. Kemudian Hak Tanggungan juga tetap membebani obyek hak tanggungan ditangan siapapun benda itu berada, ini berarti bahwa kreditur pemegang hak tanggungan tetap berhak menjual lelang benda tersebut, biarpun sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain (droit de suite). Dalam hal terjadinya pengalihan barang jaminan kepada pihak lain tanpa seizin pihak kreditur, maka kreditur dapat mengajukan action pauliana, yakni hak dari kreditur untuk membatalkan seluruh tindakan kreditur yang dianggap merugikan.

  

B. Perlindungan Negara Yang Diberikan Kepada Pemegang Sertifikat Hak

Atas Tanah Sebagai Debitur

  Sistem hukum Indonesia telah memberikan pengaturan berkenaan dengan hubungan-hubungan hukum terutama dalam pemberian atau penetapan hak-hak atas tanah yang merupakan wewenang negara yang diselenggarakan oleh pemerintah yang saat ini diemban oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan prosedur yang ditentukan dalam ketentuan perundang-undangan. Terhadap pemberian atau penetapan hak-hak atas tanah termasuk dalam setiap penyelesaian masalah pertanahan tersebut, dimaksudkan sebagai upaya untuk pemberian jaminan kepastian hukum bagi pemegang haknya. Untuk dapat diberikan jaminan kepastian hukum dan legitimasi dari negara, maka setiap penguasaan dan pemanfaatan atas tanah termasuk dalam penanganan masalah pertanahan harus didasarkan pada hukum dan diselesaikan secara hukum (yuris-teknis).

  Secara yuridis formal, pengaturan lebih konkrit mengenai pendaftaran tanah dapat ditemukan pada Pasal 19 UUPA yang mengamanatkan kepada pemerintah agar di seluruh wilayah Indonesia dilaksanakan pendaftaran tanah, dengan tujuan mencapai kepastian hukum. Sebagai penjabaran lebih lanjut ketentuan ini, diterbitkan PP No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah dan kemudian diperbarui dengan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dengan pertimbangan penyesuaian dengan tuntutan dan perkembangan akan kepastian hukum hak atas tanah.

  Berdasarkan pengertian pada Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor

  24 Tahun 1997 sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam

  Pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-Undang Pokok Agraria untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Adapun yang dimaksud Pasal 19 ayat (2) huruf c pada Undang-Undang Pokok Agraria dalam pengertian sertipikat, yaitu pemberian surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan, dikatakan demikian karena selama tidak ada bukti lain yang membuktikan ketidakbenarannya, kecuali dibuktikan sebaliknya oleh Pengadilan, maka keterangan yang ada dalam sertipikat harus dianggap benar, dengan tidak perlu bukti tambahan sedangkan alat bukti lain tersebut hanya dianggap sebagai alat bukti permulaan dan harus dikuatkan oleh alat bukti yang lainnya.

  Dengan demikian, sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai macam hak, subyek hak maupun tanahnya. Penerbitan sertipikat dan diberikan kepada yang berhak dimaksudkan agar pemegang hak dapat dengan mudah membuktikan haknya. Sedangkan fungsi sertipikat adalah sebagai alat pembuktian kepemilikan hak atas tanah.

  Hal ini lebih diperkuat lagi dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dalam ketentuan Pasal 32 yang menyebutkan bahwa:

  a. Ayat (1) : Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam Surat Ukur dan Buku Tanah hak yang bersangkutan;

  b. Ayat (2) : Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut.

  Ketentuan Pasal 32 tersebut adalah dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan menjadi tampak dan dirasakan arti praktisnya sungguhpun sistem publikasi yang digunakan adalah sistem negatif bertendensi

  54

  positif. Khususnya pada ayat (2) Pasal 32 tersebut bahwa orang tidak dapat menuntut tanah yang sudah bersertipikat atas nama seseorang atau badan hukum lain, jika selama 5 (lima) tahun sejak dikeluarkannya sertipikat itu dia tidak menuntut/mengajukan gugatan pada pengadilan mengenai penguasaan hak atas atau penerbitan sertipikat tersebut. Jadi, sertipikat hak atas tanah adalah salinan buku tanah dan surat ukur tersebut kemudian dijilid menjadi satu dengan sampul yang telah ditetapkan bentuknya, sehingga terciptalah sertipikat hak atas tanah.

  Hal-hal yang dapat dibuktikan dalam sertipikat hak atas tanah tersebut adalah:

  1. Jenis hak atas tanah;

  2. Pemegang hak;

  3. Keterangan fisik tentang tanah;

  4. Beban di atas tanah; Jelaslah apabila seseorang memiliki sertipikat hak atas tanah akan merasa terjamin akan kepastian hak atas tanah yang dimiliknya, sebab apabila terjadi pelanggaran atas tanah hak miliknya maka pemilik tanah dapat menuntut haknya kembali.

  Di dalam sistem kegiatan perbankan antara debitur dengan kreditur, maka terdapat suatu aliran kas yang disebut dengan cash flow. Dimana cash flow tersebut adalah merupakan arus kas atau aliran kas yang ada di perusahaan dalam suatu periode tertentu. Cash flow menggambarkan berapa uang yang masuk (cash in) ke 54 Boedi Harsono, Op. Cit, hlm. 482. perusahaan dan jenis-jenis pemasukan tersebut. Cash flow juga menggambarkan berapa uang yang keluar (cash out) serta jenis-jenis biaya yang dikeluarkan. Di dalam

  cash flow

  semua data pendapatan yang akan diterima dan biaya yang akan dikeluarkan baik jenis maupun jumlahnya diestimasi sedemikian rupa, sehingga

  55 menggambarkan kondisi pemasukan dan pengeluaran di masa yang akan datang.

  Sehingga dengan demikian, arus kas yang dimaksud adalah merupakan jumlah uang yang masuk dan keluar dalam suatu perusahaan, mulai dari investasi dilakukan sampai dengan berakhirnya investasi tersebut. Dalam hal ini bagi investor yang terpenting adalah berapa kas bersih yang diterima dari uang yang diinvestasikan di suatu usaha. Pentingnya kas akhir bagi investor jika dibandingkan dengan laba

  56

  yang diterima perusahaan, dikarenakan:

  1. Kas diperlukan untuk memenuhi kebutuhan uang tunai sehari-hari;

  2. Kas digunakan untuk membayar semua kewajiban yang jatuh tempo; 3. Kas juga digunakan untuk melakukan investasi kembali.

  57 Adapun jenis-jenis cash flow yang dikaitkan dengan suatu usaha, terdiri dari: Initial cash flow

  a. atau lebih dikenal dengan kas awal yang merupakan pengeluaran-pengeluaran pada awal periode untuk investasi;

  Operasional cash flow

  b. merupakan kas yang diterima atau dikeluarkan pada saat operasi usaha, seperti penghasilan yang diterima dan pengeluaran yang dikeluarkan pada suatu periode; 55 Kasmir dan Jakfar, Studi Kelayakan Bisnis, Edisi Kedua, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003), hlm. 92. 56 57 Ibid.

  Ibid.

  Terminal cash flow

  c. merupakan uang kas yang diterima pada saat usaha tersebut berakhir.

  Berkenaan dengan perlindungan hukum, maka adapun perlindungan yang diberikan oleh Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) kepada debitur adalah sebagai berikut:

  1. Roya Partial (Pasal 2 Ayat (2) UUHT)

  Menurut Pasal 2 Ayat (2) UUHT, apabila Hak Tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, maka dalam APHT yang bersangkutan dapat diperjanjikan bahwa pelunasan utang yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari obyek Hak Tanggungan, yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan tersebut, sehingga kemudian Hak Tanggungan itu hanya membebani sisa obyek Hak Tanggungan untuk menjamin sisa utang yang belum dilunasi. Penghapusan atau roya Hak Tanggungan secara sebagian-sebagian tersebut disebut Roya Partial. Untuk berlakunya ketentuan mengenai Roya Partial ini, harus diperjanjikan didalam APHT

  58 yang bersangkutan.

  2. Asas Spesialitas (Pasal 11 Ayat (1) UUHT)

  Adapun yang dimaksud dengan Asas Spesialitas adalah bahwa dalam APHT harus disebutkan secara jelas mengenai pencantuman nama dan identitas para pihak, domisili para pihak, penunjukan secara jelas utang-utang yang dijamin, nilai 58 Boedi Harsono, Op. Cit, hlm. 483. tanggungan dan uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan ( Pasal 11 Ayat (1) UUHT ).

  Asas Spesialitas ini untuk menjamin kepastian jumlah utang, kepastian nilai tanggungan dan kepastian mengenai obyek yang dijadikan jaminan. Kepastian mengenai jumlah utang ini akan terkait dengan nilai tanggungan. Nilai tanggungan pada hakekatnya merupakan kesepakatan mengenai sampai sejumlah berapa pagu atau batas jumlah utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan itu. Utang tersebut bisa kurang, bisa juga lebih besar dari nilai tanggungan yang disepakati. Kalau utang yang sebenarnya lebih besar, maka yang dijamin secara khusus dengan Hak Tanggungan terbatas sebesar nilai tanggungan yang dicantumkan di dalam APHT.

  Untuk utang selebihnya, pelunasan piutangnya dijamin dengan jaminan umum menurut Pasal 1131 KUHPerdata yang berarti tidak memberikan kedudukan diutamakan (Droit de Preference) kepada kreditur pemegang Hak Tanggungan

  59 tersebut.

  3. Janji yang dilarang/Vervalbeding (Pasal 12 UUHT)

  Maksud dari ketentuan tersebut adalah bahwa kreditur dalam APHT tidak diperkenankan untuk memperjanjikan, bahwa kalau debitur wanprestasi, benda

  60 jaminan otomatis (tanpa melalui pelelangan umum) menjadi milik kreditur.

  Larangan pencantuman janji yang demikian, dimaksudkan untuk melindungi debitur, 59 60 Ibid.

  J. Satrio, Op. Cit, hlm. 134. agar dalam kedudukan yang lemah dalam menghadapi kreditur karena dalam keadaan sangat membutuhkan utang terpaksa menerima janji dengan persyaratan yang berat dan merugikan baginya.

  Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan dilarang melepaskan haknya atas objek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis dari pemegang Hak Tanggungan. Janji ini memberikan perlindungan kepada kreditur yaitu adanya jaminan debitur tidak akan melepaskan haknya begitu saja atas objek Hak Tanggungan tanpa persetujuan kreditur, sehingga debitur tetap berkewajiban melunasi hutangnya kepada kreditur.

  Hak Tanggungan dapat diberikan dengan disertai janji-janji tertentu sebagaimana tercantum dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT. Janji-janji tersebut dicantumkan dalam akta pemberian hak tanggungan yang bersangkutan. Objek hak tanggungan tidak boleh diperjanjikan untuk dimiliki sendiri oleh pemegang hak tanggungan bila debitur cidera janji. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang hak tanggungan untuk memiliki objek hak tanggungan apabila debitur cidera janji, batal demi hukum, sebagaimana ketentuan yang tercantum pada Pasal 12 UUHT. Hal ini bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada debitur yang berada dalam posisi yang lemah dalam menghadapi pihak kreditur.

  4. Penjualan di bawah tangan (Pasal 20 Ayat (2) UUHT)

  Penjualan obyek Hak Tanggungan “di bawah tangan“ artinya penjualan yang tidak melalui pelelangan umum. Pada prinsipnya setiap eksekusi harus dilaksanakan melalui pelelangan umum, karena dengan cara demikian diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi untuk obyek Hak Tanggungan yang dijual. Dalam keadaan tertentu apabila melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tertinggi, atas kesepakatan pemberi dan penerima Hak Tanggungan serta dengan dipenuhinya syarat-syarat tertentu yang disebut dalam Pasal 20 Ayat (3) UUHT, dimungkinkan eksekusi dilakukan dengan cara penjualan obyek Hak Tanggungan secara di bawah tangan, jika dengan cara demikian akan diperoleh harga

  61 tertinggi yang menguntungkan semua pihak.

  Penjualan di bawah tangan dari obyek Hak Tanggungan hanya dapat dilaksanakan apabila debitur menyetujuinya. Dengan persetujuan dari debitur tersebut, berarti debitur telah memperkirakan bahwa penjualan obyek Hak Tanggungan secara di bawah tangan akan diperoleh harga yang lebih tinggi daripada obyek Hak Tanggungan tersebut dijual melalui pelelangan umum, sehingga hal ini akan menguntungkan debitur dan akan lebih menjamin pelunasan piutangnya kreditur.

  5. Pencoretan Hak Tanggungan (Pasal 22 UUHT)

  Apabila Hak Tanggungan hapus (Pasal 18 Ayat (1) UUHT), maka perlu dilakukan pencoretan (roya), artinya pencoretan adanya beban Hak Tanggungan tersebut pada Buku Tanah hak atas tanah dan sertipikatnya. Jika tidak demikian, maka masyarakat umum tidak akan mengetahui posisi hapusnya Hak Tanggungan, sehingga akan terdapat kesulitan untuk mengalihkan atau membebani kembali tanah

  62 tersebut. 61 62 Boedi Harsono, Op. Cit, hlm. 444-445.

  Purwahid Patrik dan Kashadi, Hukum Jaminan, Edisi Revisi dengan UUHT, (Semarang: FH UNDIP, 2001), hlm. 83. Pencoretan Hak Tanggungan atau biasa disebut roya, merupakan tindakan administratif yang perlu dilakukan agar data mengenai tanah selalu sesuai dengan kenyataan yang ada. Hak Tanggungan hapus bukan karena ada roya, tetapi justru karena Hak Tanggungan sudah hapus, maka ia perlu diikuti dengan pengroyaan, yaitu pencoretan catatan beban Hak Tanggungan pada Buku Tanah dan serpifikat hak atas

  63 tanah yang bersangkutan.

  Dengan dilakukannya pencoretan catatan Hak Tanggungan oleh Kantor Pertanahan sehubungan dengan hapusnya Hak Tanggungan tersebut, maka pihak ketiga yang berkepentingan akan mengetahui bahwa Hak Tanggungan itu telah hapus, sehingga debitur atau pemberi Hak Tanggungan dapat dengan mudah untuk mengalihkan atau membebani kembali tanah tersebut.