STRATEGIC CONTROL OF SCHISTOSOMIASIS INTERMEDIATE HOST

STRATEGI PENGENDALIAN HOSPES PERANTARA SCHISTOSOMIASIS

  1 1 Anis Nurwidayati

Balai Penelitian dan Pengembangan Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Donggala

Jl. Masitudju No 58 Labuan Panimba, Labuan 94352, Donggala, Sulawesi Tengah, Indonesia

  

Abstract

Schistosomiasis is snails intermediated disease that infects humans and other mammals.

  

Schistosomiasis distributed in various parts of Asia, Africa and America. Schistosomiasis in

Indonesia is only found in the highlands of Napu, Lindu and Bada, Central Sulawesi.

Intermediate snail of schistosomiasis in Indonesia is Oncomelania hupensis lindoensis.

Schistosomiasis control strategies in many countries are generally conducted by controlling

intermediate snail using mechanic ways, molluscicide, and biological control. Development of

vaccines and better diagnostic techniques are expected to help reduce infection in humans.

Some basic research about molecular aspect of schistosomiasis have been conducted to

understand the interactions between snails and parasites, as well as the identification of genes

that are expected to lead the snail resistant to infection.

  Key words: Schistosomiasis, snail, molluscicides

STRATEGIC CONTROL OF SCHISTOSOMIASIS INTERMEDIATE HOST

  

Abstrak

Schistosomiasis merupakan salah satu penyakit yang diperantarai oleh keong yang

  menginfeksi manusia dan hewan mamalia lain. Schistosomiasis tersebar di berbagai wilayah kawasan Asia, Afrika dan Amerika. Schistosomiasis di Indonesia hanya ditemukan di dataran tinggi Napu, Lindu dan Bada, Sulawesi Tengah. Keong perantara schistosomiasis di Indonesia adalah Oncomelania hupensis lindoensis. Strategi pengendalian schistosomiasis di berbagai negara pada umumnya dilakukan dengan pengendalian keong perantaranya, baik secara mekanik, kimia dan biologi. Pengembangan vaksin dan teknik diagnosis yang lebih baik diharapkan dapat membantu pengurangan infeksi pada manusia. Beberapa penelitian dasar bidang molekuler telah dilakukan untuk memahami interaksi antara keong dan parasit, serta identifikasi gen yang diharapkan dapat menyebabkan keong resisten terhadap parasit.

  Kata kunci: Schistosomiasis, keong, moluskisida

Naskah masuk: tanggal 23 Maret 2015; Review I: tanggal 23 Maret 2015; Review II: tanggal 3 Desember 2015;

Layak terbit: tanggal 31 Desember 2015 

  Alamat korespondensi

  Neotricula aperta di kawasan Sungai

  PENDAHULUAN Schistosomiasis merupakan penyakit

  parasit paling mematikan kedua setelah malaria. Penyakit ini menimbulkan dampak kerugian ekonomi dan masalah kesehatan masyarakat di banyak negara berkembang.

1 Schistosomiasis menginfeksi 230 juta orang

  di 77 negara dengan 600 juta orang berisiko terinfeksi. Penyakit ini tersebar di negara- negara berkembang baik tropik maupun subtropik yaitu China, Jepang, Philipina, Indonesia, Vietnam, Laos, Thailand, Kamboja.

  2 Schistosomiasis di Indonesia

  Indonesia.

  Oncomelania quadrasi di Filipina, Oncomelania hupensis lindoensis di

  Mekong (Vietnam, Laos, Thailand),

  3 Keong Biomphalaria alexandrina

  merupakan hospes perantara spesifik dari

  S.mansoni di wilayah Mesir. Keong

  perantara schistosomiasis di kawasan Asia yaitu Oncomelania hupensis di China,

2 Beberapa spesies cacing schistosoma

  Afrika, Karibia, Mediterania bagian timur, Amerika Latin; S. japonicum dan S. mekongi ditemukan di Asia dan kawasan pasifik.

  mansoni ditemukan di lebih dari 52 negara di

  Tengah dan Mediterania bagian timur. Empat spesies cacing yang lain menyebabkan schistosomiasis intestinal, yaitu S. intercalatum terjadi di sepuluh negara di kawasan hutan hujan di Afrika, S.

  Schistosoma haematobium menyebabkan schistosomiasis urinaria di Afrika, Timur

  merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan cacing trematoda darah

  Schistosoma japonicum dengan hospes

  perantara keong Oncomelania hupensis

  lindoensis. Schistosomiasis sering disebut

  juga sebagai demam keong di daerah endemis di Indonesia. Schistosomiasis di Indonesia hanya ditemukan di Provinsi Sulawesi Tengah yaitu di dataran tinggi Lindu, Kabupaten Sigi dan dataran tinggi Napu dan dataran tinggi Bada, Kabupaten Poso.

  4 Gambar 1. Persebaran daerah endemis schistosomiasis di Indonesia (Sumber: Balai Litbang P2B2 Donggala)

  yang menginfeksi manusia telah diketahui, yang mana tergantung pada jenis keong perantara yang berbeda

  • – beda.

4 Pada

  prevalensi di bawah 1 %. Pengobatan diberikan setiap 6 bulan pada penduduk yang positif dan serumah.

  • – paru ke sistem portal.

  dikeluarkan bersama dengan tinja

  Schistosoma japonicum. Telur S. japonicum

  Penyebab schistosomiasis di Indonesia adalah cacing trematoda

  HASIL

  schistosomiasis.

  Metode penulisan ini menggunakan penelusuran literatur dengan menelaah buku, artikel dan jurnal ilmiah khususnya dalam hal pengendalian keong perantara

  METODOLOGI

  lingkungan, penggunaan moluskisida baik moluskisida kimia dan tanaman serta pengendalian secara biologis.

  schistosomiasis, meliputi pengelolaan

  Dalam tulisan ini penulis ingin mendeskripsikan tentang berbagai strategi pengendalian keong perantara schistosomiasis di beberapa negara. Informasi yang dihasilkan diharapkan dapat menjadi masukan bagi upaya pengendalian keong perantara schistosomiasis di Indonesia. Tulisan ini bertujuan untuk menjabarkan beberapa strategi pengendalian keong perantara

  5 .

  Obat yang digunakan yaitu praziquantel dengan dosis 30 mg/kg BB/dosis diberikan 2 dosis dalam satu hari, total 60 mg/kg/BB. Jarak pemberian dosis pertama dengan dosis kedua adalah 4-6 jam. Obat diminum sesudah makan. Selain obat praziquantel disediakan juga obat penawar karena obat praziquantel menimbulkan efek samping antara lain, demam, sakit kepala, pusing, mual, dan lain-lain

  fasilitas pelayanan kesehatan berdasarkan pemeriksaan klinis atau laboratorium.

  Pengobatan perorangan diberikan pada

  2 Pengobatan selektif dilakukan bila

  Secara klinis schistosomiasis dapat dibagi menjadi tiga stadium, yaitu :

  Stadium I, dimulai sejak masuknya serkaria

  ke dalam kulit sampai cacing menjadi dewasa, termasuk perpindahan schistosomula (cacing Schistsoma muda) melalui paru

  stadium ini dapat dibedakan menjadi tiga gejala, yaitu : a. Gejala kulit dan alergi

  Berupa ruam pada kulit, kemerahan dengan rasa gatal dan panas di tempat serkaria masuk. Gejala ini timbul beberapa jam setelah infeksi. Gejala ini akan hilang dalam waktu 2-3 hari. Setelah itu muncul gejala alergi berupa demam, urtikaria serta pembengkakan.

  b. Gejala paru

  • – paru Berupa batuk kadang disertai dahak, kadang dengan sedikit bercampur darah.

  c. Gejala toksemia Mulai muncul antara minggu ke dua sampai minggu ke delapan setelah infeksi.Gejalanya berupa demam tinggi, lemah, malaise, anoreksi, mual, muntah, sakit kepala dan nyeri tubuh, diare, sakit perut, hati dan limpa membesar dan nyeri pada perabaan.

4 Stadium II, dimulai saat peletakan telur

  dalam pembuluh darah dan dikeluarkannya menembus mukosa usus. Gejala berupa lemas, malaise, demam, berat badan menurun, mulai terjadi pembengkakan hepar (hepatomegali), pembengkakan limpa (spleenomegali). Gejala ini timbul pada 6-8 bulan setelah infeksi.

4 Stadium III, terjadi pada stadium lanjut, lebih dari delapan bulan setelah infeksi.

  Kelainan berupa pembentukan jaringan ikat menetap akibat terperangkapnya telur di jaringan hati. Gejala berupa sakit perut, disentri, pelebaran pembuluh darah perut, pembengkakan / asites, anemia.

4 Pengobatan penduduk merupakan

  kegiatan pokok pada pengendalian

  schistosomiasis. Adapun kriteria pemberian

  pengobatan schistosomiasis adalah sebagai berikut:

  Pengobatan massal dilaksanakan bila prevalensi skistosomiasis di desa > 1%.

  Pengobatan ini dilaksanakan setiap 6 bulan diberikan kepada penduduk umur 5 tahun ke atas. Pada balita hanya diberikan pada individu yang positif. Pengobatan ditunda pada wanita hamil, wanita menyusui dan yang sakit berat. sehingga tidak menjadi masalah lagi dalam penularan schistosomiasis di Indonesia.

  penderita, kemudian dalam air menetas menjadi mirasidium yang akan menembus tubuh keong Oncomelania hupensis

4 Prevalensi kasus schistosomiasis di

  schistosomiasis di Indonesia dapat dilakukan secara kimiawi dan mekanik.

  Pengendalian secara kimiawi menggunakan zat kimia untuk membunuh keong. Pengendalian secara mekanis dimaksudkan untuk merubah habitat yang menguntungkan bagi kehidupan keong perantara menjadi daerah yang tidak menguntungkannya dan akhirnya keong itupun mati. Pengendalian secara mekanik dapat dilakukan antara lain dengan penimbunan habitat keong perantara, pengeringan/pembakaran habitat keong perantara. Pengendalian juga dapat dilakukan dengan mengubah cara mengolah sawah, misalnya dengan intensifikasi pertanian, memakai bibit unggul, pengolahan sawah sepanjang tahun, perbaikan irigasi, mekanisasi pertanian.

  • – 2013 yaitu 2,44%, 3,8%, 4,78%, 2,15%, 1,44%, 2,24%. Survei keong tahun 2012 menunjukkan infection rate masih tinggi yaitu 1,79% di Napu dan 2,53% di Lindu.

6 Hospes perantara schistosomiasis

  5 Pengendalian keong O.h. lindoensis

  di Sulawesi Tengah secara kimiawi saat ini digunakan zat kimia Niclosamide (Bayluscide). Zat kimia ini bersifat racun terhadap keong, telur dan anak keong perantara schistosomiasis maupun terhadap telur dan serkaria cacing

  (Equus cabalus), anjing (Canis familiaris), babi (Sus sp), musang (Vivera tangalunga), rusa (Cervus timorensis), berbagai jenis tikus (Rattus exulans, R. marmosurus, R.

  5 Untuk melakukan pengendalian keong schistosomiasis harus mempertimbangkan

  schistosomiasis antara lain : sapi (Bos sundaicus), kerbau (Bubalusbubalis), kuda

  adalah keong O.h.lindoensis yangbersifat amfibious. Keong perantara ini hidup tersebar luas di daerah endemis tetapi tidak merata, terbatas pada tempat-tempat tertentu yang disebut daerah fokus. Hospes definitif schistosomiasis adalah manusia dan hewan mamalia. Terdapat 13 mamalia yang diketahui terinfeksi oleh

  Lindu tahun 2008-2013 yaitu 1,4%, 2,32%, 3,21%, 2,67%, 0,76%, 0,71%. Proporsi kasus schistosomiasis di Napu tahun 2008

  S.japonicum dewasa hidup di vena hepatika dan vena mesenterika.

  akan mengalami perkembangan menjadi sporokista, kemudian menjadi serkaria yang akan keluar dari tubuh keong. Infeksi terjadi melalui serkaria yang menembus kulit manusia dan atau mamalia.

  lindoensis. Dalam tubuh keong mirasidium

  sifat keong yang amfibious dan jenis daerah tempat hidup keong. Pada umumnya daerah tersebut berupa daerah yang selalu basah sepanjang tahun, becek, dibawah pohon besar atau dibawah semak-semak, padang rumput bekas sawah yang selalu basah. Cara pengendalian keong perantara

7 BAHASAN

  lindoensis dan menekan angka infection- rate pada keong perantara menjadi 0% a. Komposisi kimia air Kimia air yang dimaksud adalah konsentrasi kalsium, jumlah total kimia terlarut dalam air dan oksigen terlarut. Kepadatan semua spesies keong sangat rendah dalam air dengan kadar garam tinggi, kepadatan keong tinggi di air dengan kadar garam sedang, dan kembali rendah di air dengan konsentrasi kalsium rendah. Efek konsentrasi NaCl dan aspek salinitas terhadap keong air tawar telah diteliti oleh Madsen tahun 1990. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa salinitas yang tinggi menyebabkan berkurangnya kepadatan keong perantara schistosomiasis, sedangkan tahap bebas dari schistosoma masih dapat bertahan hidup.

  schistosomiasis. Mengingat pentingnya

  pemutusan mata rantai penularan

  schistosomiasis Oncomelania hupensis lindoensis, merupakan salah satu usaha

  Pengendalian keong perantara

  S.japonicum. Penyemprotan moluskisida

  dilakukan di habitat keong secara periodik dan rutin. Dosis yang dianggap efektif saat ini adalah 0,2 gram/m

  2 .

  5 Pengendalian Keong Perantara Schistosomiasis di Negara Lain Pengendalian dengan Pengelolaan Lingkungan

  Faktor lingkungan yang mempengaruhi penyebaran keong yang diperkirakan dapat dimodifikasi untuk pengendalian keong dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian sebagai berikut:

  Pengendalian Keong Perantara Schistosomiasis di Indonesia

  norvegicus, R. palellae).

  peran keong O.h.lindoensis dalam rantai penularan schistosomiasis, maka pengendalian keong perantara ini harus dilakukan. Pengendalian terhadap keong perantara ini dimaksudkan untuk menekan serendah-rendahnya populasi keong O. h

8 Kadar oksigen menjadi faktor penting dalam distribusi spesies dalam habitat.

  Keong membutuhkan kadar oksigen yang cukup banyak untuk bertahan hidup. Keberadaan tanaman di permukaan air dapat mengurangi kemampuan keong dapat mendapatkan oksigen.

  8

  aegyptiaca, Sapindus saponaria, Swartzia madagascarensis, Jatropha curcas, Riccinus communis Agave filifera, Ammi

  (L’ Herit) Balanites

  schistosomiasis (Bulinus africanus dan Biomphalaria glabrata) antara lain Phytolacca dodecandra

  tanaman yang memiliki kandungan moluskisida terhadap keong perantara

  15 Berbagai spesies

  b. Moluskisida berbahan tanaman Kekurangan moluskisida sintetik mendorong penelitian tentang tanaman yang berpotensi sebagai moluskisida alternatif selain niklosamide. Penggunaan tanaman bermoluskisida diharapkan lebih sederhana, murah, dan lebih ramah lingkungan. Berbagai tanaman yang memiliki kandungan sebagai moluskisida ditemukan dari anggota family Solanaceae, Phytolaccaceae, Fabaceae, Rubiaceae, dan Euphorbiaceae.

  14

  yang diproduksi dengan nama komersial Bayluscide. Penggunaan moluskisida sintetik memiliki kekurangan yaitu kecenderungan bersifat toksik terhadap lingkungan, ikan, biota mikroskopis (zooplankton dan fitoplankton), dan mempengaruhi vegetasi di habitat keong perantara schistosomiasis.

  2’5-dichloro-4’-nitrosalicylanilide,

  garam ethanoalmine dengan rumus kimia

  niclosamide. Niclosamide merupakan

  a. Moluskisida kimia Moluskisida disebut sebagai sebuah upaya pengendalian populasi keong yang efektif dan berperan penting dalam pengendalian schistosomiasis. Moluskisida yang digunakan dalam pengendalian keong perantara schistosomiasis adalah

  13 Pengendalian dengan Moluskisida

  d. Pengendalian secara mekanik Pengendalian secara mekanik yang dilakukan di Indonesia dapat berupa upaya, diantaranya perbaikan dan pembuatan saluran air, pembersihan saluran air dari rumput untuk memperlancar aliran air, pengeringan daerah fokus keong, dan pemanfaatan lahan fokus keong menjadi lahan produktif.

  13

  Tanaman air menyediakan naungan bagi keong dari radiasi matahari dan aliran air, sebagai sumber makanan, dan tempat meletakkan telur keong.

  c. Tanaman Air Keragaman spesies keong air tawar paling tinggi pada umumnya berasosiasi dengan tanaman air, baik di permukaan maupun yang melayang dalam air. Terdapat simbiosis antara keong dengan tanaman air yang berlangsung pada waktu yang lama.

  S. japonicum dalam keong Oncomelania hupensis. Perkembangan stadium S. japonicum dalam keong paling cepat terjadi pada suhu 30°C.

  di China menunjukkan korelasi positif antara suhu dengan perkembangan

  12

  2007

  dan Bezerra menunjukkan pengaruh suhu pada perkembangan infeksi S. mansoni pada keong B. glabrata. Penelitian tersebut menunjukkan hubungan secara langsung antara suhu dan tingkat infeksi pada keong, yaitu pada suhu yang lebih rendah menunjukkan tingkat infeksi S. mansoni pada keong yang lebih rendah. Suhu yang diujikan adalah 15, 20, dan 30°C.

  dan suhu pada malam hari mencapai di bawah titik beku.

  B.glabrata akan mati pada musim dingin

  b. Suhu Suhu dapat membatasi kelangsungan hidup keong Biompahalaria glabrata. Keong

10 Penelitian oleh Coelho

11 Penelitian serupa oleh Yang et al tahun

  majus, Canna Indica, Jatropha curcas, Dyzygotheca elegantissima, Anagalis arvensis, Solanum dubium, G.officinalis, A.stylosa, Euphorbia splendens.

  schistosomiasis. Pengendalian keong dapat

  menunjukkan potensi penggunaan ikan tilapia untuk pengendalian keong

  Biomphalaria yang merupakan hospes perantara S.mansoni.

  26 KESIMPULAN

  Pengendalian keong perantara

  schistosomiasis merupakan aspek penting

  dan efektif dalam pengendalian

  dilakukan dengan berbagai strategi, mulai manipulasi faktor lingkungan keong, pengelolaan daerah fokus keong, penggunaan moluskisida kimia dan hayati, serta secara biologi.

  diperkirakan keong merupakan makanan yang disukai ikan tersebut.

  SARAN

  Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang efektivitas strategi yang dapat diaplikasikan di daerah endemis

  schistosomiasis di Indonesia, sebagai

  alternatif upaya pengendalian keong selain yang telah dikerjakan selama ini oleh Program Pengendalian Schistosomiasis di Sulawesi Tengah.

  Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Balai Litbang P2B2 Donggala atas dukungan dalam penyusunan tulisan. Terimakasih kepada Mitra Bestari dan Dewan Redaksi Buletin Spirakel atas saran dan masukan untuk penyempurnaan tulisan ini.

  1. Engels D L, Chitsulo A, Montresor and L Savioli. The global epidemiological situation of schistosomiasis and new approaches to control and research.

  Acta Trop. 2002; 82: 139-146.

  16,17

  25 Penelitian ini

  schistosomiasis secara biologi, dan

  pengendalian keong perantara

  Penelitian tentang biji jarak merah di Napu, Sulawesi Tengah didapatkan hasil yaitu ekstrak metanolik biji jarak merah memiliki potensi sebagai moluskisida.

18 Uji

  Phorbol Esters (PE) dari biji jarak pagar

  terhadap keong (Physa fontinalis) menunjukkan peningkatan tingkat kematian keong uji seiring dengan peningkatan konsentrasi PE rich fraction, dengan nilai LC50=0,33 mg/L. Pengujian phorbol esters standard pada konsentrasi 1 mg/L PEs menghasilkan kematian keong sebesar 100%.

19 Rug dan Ruppei (2000)

  melaporkan bahwa minyak kasar biji jarak pagar dan ekstrak methanol dari minyak jarak pagar menunjukkan toksisitas terhadap keong (Biomphalaria glabrata) dengan nilai LC50 sebesar 50 mg/L dan 5 mg/L. nilai LC 100 sebesar 100 mg/L untuk minyak kasar dan 25 mg/L untuk ekstrak methanol dari minyak. Liu (1997) melaporkan bahwa ekstrak methanol biji jarak pagar menyebabkan kematian keong

  O. hupensis sebesar 50% pada konsentrasi 10 mg/L.

  20,21 Pengendalian Secara Biologi

  Penelitian untuk mencari alternatif pengendalian keong perantara shistosomiasis menggunakan agen biologi telah banyak dilakukan di berbagai negara, diantaranya menggunakan itik, keong kompetitor, bakteri, trematoda parasit, dan lain sebagainya. Agen biologi yang paling banyak diteliti adalah itik (Cairina

UCAPAN TERIMA KASIH

  moschata), ikan Tilapia spp., Sargochromis codringtonii, Astronotus ocellatus, krustasea

  golongan Ostracoda sebagai predator keong perantara schistosomiasis mansoni, serta keong Bullinus tropicus, Pomacea

  haustrum, Helisoma duryi sebagai

DAFTAR PUSTAKA

  kompetitor keong perantara schistosomiasis mansoni di Zimbabwe dan Brazil. Bakteri

  Bacillus pinotti telah diteliti bersifat patogen terhadap keong Biomphalaria glabrata.

  22,23

  Pengendalian secara biologi yang lain adalah penggunaan trematoda parasit pada keong Biomphalaria glabrata, yaitu Ribeiroia guadeloupensis.

  placodon telah digunakan untuk

24 Ikan dari jenis Trematocranus

  2. World Health Organization.

  16. Rawi SM, Al-Hazmi, Nassr Mal MSF.

  Schistosomiasis control in South Africa:

  molluscicidal activity of some zulu medicinal plants. Boletin Latino

  americano y del Caribe de Plantas Medicinales y Aromaticas. 2004; 3(2):

  8-22.

  15. Lemma A, Yau P. Studies on the molluscicidal properties of Endod (Phytolacca dodecandra).

  II: Comparative toxicity of various molluscicides to fish and snails. Ethiop.

  Med. J. 1974; 12:109-13.

  Comparative Study Of The molluscicidal activity of some plant extracts on the snail vector of

  13. Thomas JD. An evaluation of the interaction between freshwater pulmonate snail hosts of human schistosomes and macrophytes. Phil. Trans. R. Soc. 1987; 315: 75-125.

  Schistosoma mansoni, Biomphalaria alexandrina. International Journal of Zoological Research. 2011;7(2):169-89.

  17. Bakry FA. Use of some plant extracts to control Biomphalaria alexandrina snails with emphasis on some biological effects. World Applied Science Journal. 2009;3 (1):1335-45.

  18. Nurwidayati A, Veridiana NN, Octaviani, Yudith L. Efektivitas ekstrak biji jarak merah (Jatropha gossypiifolia L), jarak pagar (J.curcas), dan jarak kastror (Riccinus communis) famili Euphorbiaceae terhadap hospes perantara Schistosomiasis, keong

  Oncomelania hupensis lindoensis.

  Balaba. 2014; 10(1).

  19. Devappa RK, Rajesh SK, Kumar V, Makkar HPS, Becker K. Activities of

  Jatropha curcas phorbol esters in various bioassays. Ecotoxicol. Environ.

  Saf. 2011; 11(02):68-73. Doi: 10.1016/j.ecoenv.2011.11.002.

  14. Ojewole JAO. Indigenous plants and

  XN. Effect of temperature on the development of Schistosoma japonicum within Oncomelania hupensis, and hibernation of O.hupensis. Parasitol. Res. 2007; 100: 695-700.

  Schistosomiasis Fact Sheet. Geneva.

  2012.

  2010. Available at: http://www.who.int.

  3. Utzinger J, SH Xiao, J Keiser, Z J.

  Chen and M Tanner. Current progress in development and use of artemether for chemoprophylaxis of major human Schistosoma parasites. Curr. Med.

  Chem. 2001; 8: 1841-1860.

  4. Hadidjaja P. Schistosomiasis di Sulawesi Tengah, Indonesia. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1985.

  5. Direktorat Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang. Petunjuk Teknis Pemberantasan Schistosomiasis.

  Jakarta. 2015.

  6. Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah. Prevalensi Schistosomiasis di Sulawesi Tengah. Program Pemberantasan Schistosomiasis. Palu.

  7. Sudomo M. Penyakit parasitik yang kurang diperhatikan di Indonesia. In: Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Entomologi dan Moluska. Badan Litbangkes. Jakarta, 2008; 1 –61.

  12. Yang GJ, Utzinger J, Sun LP, Hong QB, Vounatsou P, Tanner M and Zhou

  8. Madsen, H. The effect of sodium chloride concentration on growth and egg laying of Helisoma duryi,

  Biomphalaria alexandrina and Bulinus truncates. J. Moll. Stud. 1990;56:181-7.

  9. Brown, D. Freshwater snails of Africa and their medical importance. 2nd Edn.

  London: Taylor and Francis Ltd. 1994.

  10. Pitchford RJ. Temperature and schistosome distribution in south Africa.

  South African J.Sci. 1981; 77: 252-67.

  11. Coelho JR and Bezerra FS. The effect of temperature change on the infection rate of Biomphalaria glabrata with Schistosoma mansoni. Mem. Inst.

  Oswaldo Cruz. 2006; 101: 223-4.

  20. Rug M, Ruppei A. Toxic activities of the plant Jatropha curcas against intermediate snail hosts and larvae of schistosomes. Trop. Med. Intern. Hlth. 2000; 5: 423-30.

  21. Liu SY, Sporer F, Wink M, Jourdane J, Henning R, Li YL, Ruppei, A. Anthraquinones in Rheum palmatum and Rumex dentatus (Polygonaceae), and phorbol esters in Jatropha curcas (Euphorbiaceae) with molluscicidal activity against the schistosome vector snails Oncomelania, Biomphalaria, and

  Bulinus. Trop. Med. Int. Health. 1997; 2: 179-88.

  22. Chimbari MJ, Ndela B. A preliminary assessment of the potential of the muschovy duck (Cairina maschata) as a biocontrol agent of schistosomiasis intermediate host snails. Journal of

  Parasitology Research. 2012. Available

  from:

  23. Souza. Molluscicide control of snail vectors of Schistosomiasis. Mem Inst

  Oswaldo Cruz. 1995; 90(2):165-8.

  Available from:

  24. Pointier JP and Jourdane J. Biological control of the snail hosts of

  schistosomiasis in areas of low

  transmission: the example of the Carribean area. Acta Tropica. 2000; 77: 53-60.

  25. Evers BN, Masden H, McKaye KM and Stauffer JR. The schistosome intermediate host, Bulinus nyassanus, is a preferred food for the cichlid fish,

  Trematocranus placodon, at Cape Maclear, Lake Malawi. Ann. Trop. Med. Parasitol. 2006; 100:75-85.

  26. Kloos H, Pasoos LK, Lo Verde P, Oliveira RC and Gazzinelli A. Distribution and Schistosoma mansoni infection of Biomphalaria glabrata in different habitats in a rural area in the Jequitinhonha Valley, Minas Gerais, Environmental and epidemiological aspects. Mem. Inst. Oswaldo Cruz.

  2004; 99:673-81.