MAKALAH PEMIKIRAN ABU YUSUF KEL. 1

  

SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM

ABU YUSUF (113 – 182 H / 731 – 798 M)

Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ekonomi Syariah

Disusun oleh :

  

Dewi Mentari (8105108036)

Dina Madarina D. (8105108047)

Dwi Maryani (8105108045)

Riva Eliza Umniyah (8105108023)

  

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI

KONSENTRASI PENDIDIKAN EKONOMI KOPERASI

JURUSAN EKONOMI & ADMINISTRASI

FAKULTAS EKONOMI

  

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

2014

  

SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM

ABU YUSUF (113 – 182 H / 731 – 798 M)

I. Biografi Abu Yusuf (113 – 182 H / 731 – 798 M)

  Dalam literatur Islam Abu Yusuf sering disebut dengan Imam Abu Yusuf

  Ya’qub bin Ibrahim bin habib bin Khunais bin Sa’ad Al- Anshari Al- Jalbi Al-Kufi Al- Bagdadi. Lahir di Kufah, Irak pada tahun 731 M (113 H) dan meninggal dunia di

  Baghdad pada tahun 798 M (182 H). Beliau hidup pada masa transisi dua zaman kekhalifahan besar, yaitu akhir masa Dinasti Umayyah dan Abasiyyah. Beliau berasal dari suku Bujailah, salah satu suku bangsa Arab. Keluarganya disebut Ansari karena dari pihak ibunya masih mempunyai hubungan dengan kaum Ansar (pemeluk Islam pertama dan penolong Rasulullah SAW di Madinah). Keluarganya sendiri bukan berasal dari lingkungan berada. Namun demikian, sejak kecil, ia mempunyai minat yang sangat kuat terhadap ilmu pengetahuan. Hal ini tampak dipengaruhi oleh suasana kufah yang ketika itu merupakan salah satu pusat peradaban islam, tempat para cendikiawan muslim dari seluruh penjuru dunia islam datang silih berganti untuk saling bertukar pikiran tentang berbagai bidang keilmuan.

  Abu Yusuf menimba berbagai ilmu kepada banyak ulama besar. Menurut penuturannya beliau menjadi murid Abu Hanifah selama 17 tahun dan sejumlah ulama terkemuka pada masa itu. seperti Abu Muhammad atho bin as-saib Al-Kufi,

  sulaiman bin Mahram Al-A’masy, Hisyam bin Urwah, Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila, Muhammad bin Ishaq bin Yassar bin Jabbar, dan Al-Hajjaj bin Arthah.

  Ia pun terkenal sebagai salah satu murid terkemuka Abu Hanifah. Karena melihat bakat dan semangat serta ketekunan Abu Yusuf dalam belajar, Imam Abu Hanifah menyanggupi untuk membiayai semua keperluan pendidikannya, bahkan biaya hidup keluarganya. Imam Abu Hanifah sangat mengharapkan agar Abu Yusuf kelak dapat melanjutkan dan menyebarluaskan Mazhab Hanafi ke berbagai dunia Islam. Meskipun ia sebagai murid Abu hanifah, ia tidak sepenuhnya mengambil pendapat Abu Hanifah.

  Sepeninggal gurunya, Abu Yusuf bersama Muhammad bin Al-Hasan Al- Syaibani menjadi tokoh pelopor dalam menyebarkan dan mengembangkan madzhab Hanafi. Secara umum, Abu Yusuf mendalami ilmu fikih. Karena kertertarikan beliau dalam bidang fikih. Sepeninggal Abu Hanifah, Abu Yusuf menggantikan kedudukannya sebagai guru pada perguruan Imam Abu Hanifah. Ketika itu Abu Yusuf tetap mewarisi prinsip gurunya yang tidak mau memegang jabatan apapun dalam bidang pemerintahan, terutama jabatan kehakiman. Namun, sejak Imam Abu Hanifah wafat, keadaan ekonomi keluarganya semakin lama semakin memburuk, hal itu membuat karir keilmuannya tidak berkembang. Sehingga pada tahun 166 H/782 M beliau pun meninggalkan Kufah dan pergi ke Baghdad. Abu Yusuf menemui khalifah Abbasiyah al-Mahdi (159 H/775 M – 169 H/785 M) yang langsung mengangkatnya sebagai hakim di Baghdad Timur. Dan disinilah karier keilmuannya berkembang hingga beliau memegang jabatan dalam kehakiman. Ketekunan dalam belajar membuat Abu Yusuf menyusun buku-buku yang merupakan buku pertama tentang kajian fikih yang beredar pada masa itu. Dalam lingkungan peradilan dan mahkamah- mahkamah resmi, banyak dipengaruhi dan diwarnai oleh Mazhab Hanafi, sehingga membuat Abu Yusuf terkenal ke berbagai negeri seiring dengan perkembangan Mazhab Hanafi. Beliau pun banyak mempelajari hadist dan meriwayatkan hadist.

  Banyak diantara para ahli hadist yang memuji kemampuannya dalam periwayatan hadist.

  Atas bimbingan para gurunya dan berkat ketekunan dan kecerdasan seorang Abu Yusuf tumbuh dan berkembang menjadi seorang yang alim yang sangat dihormati dan disegani banyak kalangan, baik ulama, penguasa dan masyarakat umum. Tidak jarang pendapatnya dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan besar yang menjadi muridnya adalah Muhammad bin Al-Hasan Al- Syaibani, Ahmad

  

bin hambal, Yazid bin Harun Al-Wasithi, Al-Hasan bin Ziyad Al-lu’lui, dan yahya bin

Adam Al-qarasy. Jabatan penting yang pernah diamanahi pada Abu Yusuf :

  1. Pada tahun 159-169 H/775-785 M Abu Yusuf diangkat sebagai hakim oleh Khalifah Abbasiyah, al Mahdi di Baghdad Timur. Jabatan ini terus dipegangnya sampai masa kekhalifahan al Hadi pada tahun 169-170 H/785-786 M. Jabatan yang dipegangnya pada masa ini hanya memberi wewenang kepadanya untuk memutuskan perkara yang diajukan serta memberi fatwa bagi yang membutuhkannya.

  2. Pada masa pemerintahan Khalifah Harun ar Rasyid, tahun 170-194 H/786-809 M, beliau menjabat sebagai ketua para hakim (Qadi al Qudah) atau hakim agung seperti ketua Mahkamah Agung pada masa sekarang sebuah jabatan tertinggi dalam lembaga peradilan. Salah satu bentuk penghormatan dan pengakuan pemerintah atas keluasan dan kedalaman ilmunya. Pada masa ini, wewenang dan tanggungjawabnya sebagai hakim lebih luas, yaitu disamping memutuskan perkara, juga bertanggungjawab menyusun materi hukum yang diterapkan oleh para hakim. Wewenangnya yang paling penting adalah mengangkat para hakim di seluruh negeri. Abu Yusuf meninggal pada tahun 182 H/798 M.

II. Karya- Karya Abu Yusuf

  Sekalipun disibukkan dengan berbagai aktivitas mengajar dan birokrasi, Abu Yusuf masih meluangkan waktu untuk menulis. Karya ilmiah dan tulisannya adalah sebagai bentuk respon dari berbagai gejala dan problematika masyarakat yang berkenaan dengan tatanan sosial dan agama. Beberapa karya tulisnya yang terkenal adalah:

  1. Al-Jawami’, kitab ini banyak memuat tentang hal yang berkenaan dengan pendidikan.

  2. Ar-Radd ‘Ala Siyar Al-Auza’i, kitab ini memuat beberapa pendapat dan pandangan Abu Yusuf tentang beberapa hukum islam yang merupakan himpunan dari beberapa kritikan dan sanggahan-sanggahan beliau terhadap pendapat al- Auza’i seputar perang dan jihad. 3. al-Atsar, sebuah kitab yang menghimpun hadits-hadits yang diriwayatkan dari para gurunya dan juga dari ayahnya. Ia mengemukakan pendapat gurunya, Imam perbedaan pendapat mereka.

  4. Ikhtilaf Abi Hanifah wa Ibn Abi Laila, kitab ini membahas tentang perbandingan fiqih yang mengemukakan pendapat Imam Abu Hanifah dan Abi Laila serta perbedaan pendapat mereka.

  5. Adab al-Qadhi, sebuah kitab yang memuat tentang ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang hakim (Qadhi).

  6. Al-Kharaj, kitab ini memuat tentang banyak masalah-masalah yang erat kaitannya dengan fenomena sosial. Kitab ini merupakan kitab terpopuler dari karya- karyanya. Di dalam kitab ini, ia menuangkan pemikiran fiqihnya dalam berbagai aspek, seperti keuangan negara, pajak tanah, pemerintahan dan musyawarah. Kitab ini ditulis atas permintaan Khalifah Harun Al-Rasyid untuk pedoman dalam menghimpun pemasukan atau pendapatan negara dari Kharaj, Ushr, Zakat, dan jiz'ah. Kitab ini dapat digolongkan sebagai 'Public Finance' dalam pengertian ekonomi modern.

  Selain kitab-kitab di atas, menurut Ibnu Nadim (wafat 386 H/995 M), seorang sejarawan, masih banyak buku yang disusunnya. Diantaranya Kitab as-Salah (mengenai shalat), Kitab az-Zakah (mengenai zakat), Kitab as-Siyam (mengenai puasa), Kitab al-Bai’ (mengenai jual beli), Kitab al-Fara’id (mengenai waris), dan Kitab al-Wasiyyah (tentang wasiat).

III. Landasan Berfikir dan Visi ekonomi

  Sistem ekonomi yang dikehendaki oleh Abu yusuf adalah satu upaya untuk mencapai kemaslahatan ummat. Kemaslahatan ini didasarkan pada al-Qur’an, al- Hadits, maupun landasan-landasan lainnya. Hal inilah yang nampak dalam pembahasannya kitab al-Kharaj. Kemaslahatan yang dimaksud oleh Abu Yusuf adalah yang dalam terminologi fiqh disebut dengan Maslahah/kesejahteraan, baik sifatnya individu (mikro) maupun (makro) kelompok. Secara mikro juga diharapkan bahwa manusia dapat menikmati hidup dalam kedamaian dan ketenangan dalam hubungan interaksi sosial antar sesama dan diatur dengan tatanan masyarakat yang saling menghargai antar masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya.

  Ukuran kesejahteraan, menurut Abu Yusuf dapat diukur dari beberapa aspek, yaitu keseimbangan, (tawazun), kehendak bebas (al-Ikhtiar), tanggung jawab/keadilan ukuran kemaslahatan Abu Yusuf berpangkal dari al Qur’an dan as-sunnah yang menjadi pijakan utama untuk melahirkan konsep tauhid yang merupakan komitmen total terhadap semua kehendak Allah, dan menjadikannya sebagai nilai dan semua tindakan manusia. Dengan visi kesejahteraan (maslahah) inilah Abu Yusuf dapat memberi sumbangan besar bagi kesejahteraan dan keadilan kestabilan ekonomi pada zaman keemasan Islam/Dinasti ‘Abasiyyah (periode Harun al-Rasyid).

  Dalam hal yang berhubungan pemerintahan Abu Yusuf menyusun sebuah kaidah fiqh yang sangat populer, yaitu Tasrruf al-Imam `ala Ra`iyyah Manutun bi al-

  Mashlaha (setiap tindakan pemerintah yang berkaitan dengan rakyat senantiasa terkait

  dengan kemaslahatan mereka). Ia menekankan pentingnya sifat amanah dalam mengelola uang negara, uang negara bukan milik khalifah, tetapi amanat Allah dan rakyatnya yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. Dengan melihat dari bagaimana kebijakan Abu Yusuf dalam hal ekonomi, menunjukkan bahwa perkembangan pemikiran ekonomi dalam islam telah memberikan suatu pencerahan dan kontribusi positif. Melihat dari bagaimana pendapat Abu Yusuf tentang fluktuasi harga memberikan kesimpulan bahwa system ekonomi yang ada belum tentu bisa diterima, tergantung pada keadaan dan situasi yang terjadi pada suatu tempat.

  Latar belakang pemikirannya tentang ekonomi, setidaknya dipengaruhi beberapa faktor, baik intern maupun ekstern. Faktor intern muncul dari latar belakang pendidikannya yang dipengaruhi dari beberapa gurunya. Hal ini nampak dari, setting social dalam penetapan kebijakan yang dikeluarkannya, tidak keluar dari konteksnya. Ia berupaya melepaskan belenggu pemikiran yang telah digariskan para pendahulu, dengan cara mengedepankan rasionalitas dengan tidak bertaqlid. Faktor ekstern, adanya system pemerintahan yang absolute dan terjadinya pemberontakan masyarakat terhadap kebijakan khalifah yang sering menindas rakyat. Ia tumbuh dalam keadaan politik dan ekonomi kenegaraan yang tidak stabil, karena antara penguasa dan tokoh agama sulit untuk dipertemukan. Dengan keadaan sosial seperti itulah Abu Yusuf tampil dengan pemikiran ekonomi al-Kharaj.

  Dengan pemikiran ekonomi Abu Yusuf ini hendaklah dapat mendorong kita untuk menjadi umat yang menghubungkan antara agama dan ekonomi, karena hal yang berhubungan dengan kegiatan manusia tersebut telah di jelaskan hukumnya didalam Al-Qur`an dan Hadis. Kesejahteraan/ mashlahah itu terbagi dalam dua komponen yaitu manfaat dan berkah. Yang mana berkah tersebut dapat diperoleh

IV. Tentang kitab Al Kharaj

  Salah satu karya Abu Yusuf yang sangat terkenal adalah Kitab al-Kharaj (buku tentang perpajakan). Kitab yang ditulis oleh Abu Yusuf ini bukanlah kitab pertama yang membahas masalah al-Kharaj atau perpajakan. Para sejarahwan muslim sepakat bahwa orang pertama yang menulis kitab dengan mengangkat tema al-Kharaj adalah Mu’awiyah bin Ubaidillah bin Yasar yang wafat pada 170 H, seorang Yahudi yang memeluk agama Islam dan menjadi sekertaris khalifah Abu Abdillah

  Muhammad al-Mahdi (158-169 H/ 755-785 M). Namun sayangnya, karya pertama di

  bidang perpajakan dalam islam tersebut hilang ditelan zaman. Abu Yusuf adalah orang pertama yang memperkenalkan konsep perpajakan di dalam karyanya al-

  Kharāj. Kitab ini ditulis atas permintaan Khalifah Harun Alr- Rashid, ketika beliau

  ingin mengatur sistem baitulmal, sumber pendapatan negara seperti al-kharāj,

  

al-’ushr dan al-jizyah. Demikian pula cara pendistribusian harta-harta tersebut dan

  cara menghindari manipulasi, kezaliman. Bahkan juga bagaimana mewujudkan harta- harta tersebut, untuk kepentingan penguasa. Abu Yusuf menuliskan bahwa Amir al- Mu’minin telah memintanya untuk mempersiapkan sebuah buku yang komprehensif yang dapat digunakan sebagai petunjuk pengumpulan pajak yang sah, untuk menghindari penindasan terhadap rakyat. Pemikirannya tentang hukum yang berhubungan dengan distribusi, rampasan perang, kepemilikan tanah, pajak tanah, pajak-pajak hasil pertanian, kemudian diperluas dengan diskusi tentang pajak-pajak dengan istilah kharāj yang kemudian menghasilkan beberapa istilah seperti ’ushr, zakat atau sadaqah yang dilengkapi dengan cara-cara bagaimana mengumpulkan serta mendistribusikan setiap jenis harta tersebut sesuai dengan syari’ah Islam berdasarkan dalil-dalil naqliyah (al-Qur’an dan Hadist) dan aqliyah (Rasional).

  Al Kharaj adalah merupakan kitab pertama yang menghimpun semua pemasukan dan pengeluaran Negara berdasarkan dalil Al Qur`an dan sunnah Rasul SAW. Kitab ini dapat digolongkan sebagai Public Finance dalam pengertian ekonomi modern. Kitab ini berupaya membangun sebuah sistem keuangan publik yang mudah dilaksanakan yang sesuai dengan hukum islam yang sesuai dengan persyaratan- persyaratan ekonomi. Dengan pengamatan dan analisisnya yang tinggi, Abu Yusuf dalam kitab ini sering menggunakan ayat-ayat Al Qur’an dan Sunnah Nabi saw serta praktek dari para penguasa saleh terdahulu sebagai acuannya sehingga membuat

  Kitab karya Abu Yusuf diberi nama al-Kharāj, didasarkan kepada pemilihan persoalan mayoritas yang dibahas dalam kitab tersebut yaitu pajak, jizyah, serta terinspirasi dari penjelasan tentang beberapa persoalan yang menjelaskan tentang administrasi pemerintahan. Selain itu kharāj diartikan sebagai harta yang dikeluarkan oleh pemilik tanah untuk diberikan kepada negara ada bagian lain kharāj diartikan dengan apa yang dibayarkan untuk pajak tanah pertanian atau pajak hasil bumi Mengupas tentang kebijakan fiskal, pendapatan negara dan pengeluaran. Namun, ada juga beberapa refleksi dalam bukunya tentang pasar dan penetapan harga, seperti bagaimana harga itu ditentukan dan dampak berbagai pajak. Disamping itu, buku tersebut mengkaji status non-muslim di negara Islam, tempat ibadah mereka dan hukum kriminal.

  Suatu studi yang komparatif mengenai buku itu menunjukkan bahwa berabad- abad sebelum adanya suatu kajian yang sistematis mengenai keuangan publik di barat, Abu Yusuf telah berbicara tentang kemampuan dan kemudahan para pembayar pajak dalam pemungutan pajak. Ia menolak dengan tegas penanaman pajak dan menekankan pentingnya pengawasan yang ketat terhadap para pemungut pajak untuk menghindari korup dan penindasan. Ia dengan tulus menganggap penghapusan penindasan dan jaminan kesejahteraan rakyat sebagai tugas utama penguasa. Ia juga menekankan pembangunan infrastruktur dan menyarankan berbagai proyek kesejahteraan. Kitab Al Kharaj mencakup berbagai bidang, antara lain:

  1. Tentang Pemerintahan, Ia mengemukakan bahwa seorang penguasa bukanlah seorang raja yang dapat berbuat secara diktator. Ia adalah seorang khalifah yang mewakili Tuhan di bumi ini untuk melaksanakan perintah-Nya. Oleh karena itu penguasa harus bertindak atas nama Allah S.W.T. Dalam hubungan hak dan tanggung jawab pemerintah terhadap rakyat, ia menyusun sebuah kaidah fikih yang sangat populer yaitu Tasharaf al-imam manuthum bi al Maslahah. (setiap tindakan pemerintah yang berkaitan dengan rakyat senantiasa terkait dengan kemaslahatan).

  2. Tentang Keuangan, Ia menyatakan bahwa uang negara bukan milik khalifah dan sultan, tetapi amanat Allah S.W.T. dan rakyatnya yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. Hubungan penguasa dengan kas negara sama seperti hubungan seorang wali dengan harta anak yatim yang diasuhnya

  3. Tentang Pertanahan Ia meminta kepada pemerintah agar hak milik tanah rakyat Tanah yang diperoleh dari pemberian dapat ditarik kembali jika tidak garap selama tiga tahun dan diberikan kepada yang lain.

  4. Tentang Perpajakan Ia berpendapat bahwa pajak hanya ditetapkan pada harta yang melebihi kebutuhan rakyat yang ditetapkan berdasarkan kerelaan mereka.

  5. Tentang Peradilan Ia mengatakan bahwa jiwa dari suatu peradilan adalah keadilan yang murni. Penghukuman terhadap orang yang tidak bersalah dan pemberian maaf terhadap orang yang bersalah adalah suatu penghinaan, terhadap lembaga peradilan. Menetapkan hukum tidak dibenarkan berdasarkan hal yang syubhat. Kesalahan dalam mengampuni lebih baik daripada kesalahan dalam menghukum. Orang yang ingin menggunakan kekuasaan untuk mencampuri persoalan keadilan harus ditolak dan kedudukan seseorang atau jabatannya tidak boleh menjadi bahan pertimbangan dalam persoalan keadilan.

V. Hasil Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf

  Dengan latar belakang sebagai seorang fuqaha beraliran ahl ar-ra’yu. Abu Yusuf cenderung memaparkan berbagai pemikiran ekonominya dengan menggunakan perangkat analisis qiyas yang didahului dengan melakukan kajian yang mendalam terhadap Alquran, hadits nabi, atsar shahabi, serta praktik para penguasa yang shaleh. Landasan pemikirannya, seperti yang telah disinggung adalah mewujudkan al- mashlahah al-‘ammah (kemaslahatan umum).

  Abu Yusuf mengungkapkan teori yang justru berlawanan dengan teori dan asumsi yang berlaku di masanya. Pemikiran kontroversialnya ada pada sikapnya yang menentang pengendalian dan penetapan harga (tas’īr) oleh pemerintah. Pada zaman Abu Yusuf, asumsi yang berkembang adalah “apabila tersedia sedikit barang maka harga akan mahal dan jika tersedia banyak maka harga akan murah”. Tetapi beliau menolak asumsi masyarakat tersebut. Menurutnya tidak selamanya persediaan barang sedikit (supply) menyebabkan harga (price) mahal, demikian pula persediaan barang banyak mengakibatkan harga akan murah. Karena pada kenyataannya harga tidak tergantung pada penawaran (supply) saja, tetapi juga bergantung pada kekuatan permintaan (demand). Oleh karena itu peningkatan atau penurunan harga tidak selalu berhubungan dengan peningkatan atau penurunan penawaran akan barang.

  Menurut Abu Yusuf, ada variabel lain yang ikut mempengaruhi harga, tetapi tidak dijelaskan secara rinci. Bisa saja variabel tersebut adalah pergeseran dalam penimbunan dan penahanan barang. Bagi Abu Yusuf, tinggi rendahnya harga adalah bagian dari ketentuan Allah. Manusia tidak dapat melakukan intervensi atas urusan dan ketetapan-Nya. Dapat dipastikan, bahwa konsep "ekonomi makro" tidak ditemukan dalam al-Kharāj karya Abu Yusuf dan juga belum dikenal di dunia Barat sampai beberapa abad pasca Abu Yusuf.

  Adapun mengenai persoalan fakir miskin (fuqara') dan konsep kelas sosial, tidak dibahas oleh Abu Yusuf. Deskripsi masyarakat yang dibuat Abu Yusuf, mencerminkan bahwa hubungan produksi dari satu sisi merupakan hubungan antara umat Islam dengan kaum dhimmi dalam Dar al-Islam atau hubungan umat Islam dengan komunitas nonmuslim dalam Dar al-Harb. Dalam hubungan model pertama pendapatan bersumber dari al-kharaj dan al-jizyah. Sedangkan hubungan model kedua, pendapatan bersumber dari al-ghanimah yang sebagiannya didistribusikan untuk baitulmal. Selain itu, pemerintah juga menarik bea cukai dari pedagang kafir

  

harbi atas barang dagangan mereka yang masukke negara Islam. Adapun umat Islam

  diwajibkan untuk mengeluarkan zakat sebagai bentuk solidaritas sosial mereka sesama muslim yang membutuhkan.

A. Negara dan Aktivitas Ekonomi

  Berikut ini adalah beberapa pemikiran Abu Yusuf tentang aktivitas ekonomi negara yang dapat mensejahterakan rakyatnya, yaitu:

  1. Untuk pengadaan fasilitas infrastruktur, negara bertanggung jawab untuk memenuhinya agar dapat meningkatkan produktivitas tanah, kemakmuran rakyat serta pertumbuhan ekonomi. Semua biaya yang dibutuhkan bagi pengadaan proyek publik, seperti pembangunan tembok dan bendungan, harus ditanggung oleh negara. Namun jika proyek tersebut hanya menguntungkan suatu kelompok tertentu, biaya proyek akan dibebankan kepada mereka sepantasnya, pernyataan ini tampak terlihat ketika ia mengomentari proyek pembersihan kanal-kanal pribadi.

  2. Untuk mengimplementasikan berbagai kebijakan ekonomi yang dapat mensejahterakan rakyat, negara membutuhkan administrasi yang efisien dan jujur serta disiplin moral yang tegas dan rasa tanggung jawab dalam menunjuk para pejabatnya. Abu Yusuf menyarankan agar negara menunjuk pejabat yang jujur dan amanah dalam berbagai tugas. Ia mengecam keras perlakuan kasar tindakan kriminal. Ia juga berpendapat bahwa perlakuan yang adil dan jujur terhadap para pembayar pajak tanpa penindasan memiliki dampak yang bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan pendapatan pajak.

  3. Negara harus memberikan upah dan jaminan di masa pensiun kepada mereka dan keluarganya yang berjasa dalam menjaga wilayah kedaulatan Islam atau mendatangkan sesuatu yang baik dan bermanfaat bagi kaum Muslimin.

  4. Abu Yusuf memberikan saran tentang berbagai kebijakan yang harus digunakan oleh negara untuk meningkatkan hasil tanah dan pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, pemerintah berkewajiban untuk membersihkan kanal- kanal dan membangun lagi yang baru. Pemerintah juga harus membangun bendungan untuk meningkatkan produktivitas tanah dan pendapatan negara.

  5. Semua jenis tanah mati dan tak bertuan harus diberikan kepada seseorang yang dapat mengembangkan dan menanaminya serta membayar pajak yang diterapkan pada tanah tersebut. Tindakan seperti ini akan membuat negara berkembang dan pajak pendapatan akan meningkat.

  6. Untuk meningkatkan kesejahteraan umum dan menjamin pemanfaatan sumber-sumber sepenuhnya, sumber daya seperti air, rumput, dan sebagainya tidak boleh dibatasi pada individu tertentu, tetapi harus disediakan secara gratis bagi semua.

  7. Dalam hal pendistribusian pendapatan negara, hendaknya hal tersebut ditujukan demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Karena alquran sendiri telah memerintahkan agar pendistribuasian harta dilakukan secara adil dan tidak menumpuk di tangan segelintir orang.

  8. Menurut Abu Yusuf pembangunan sistem ekonomi dan politik, mutlak dilaksanakan secara transparan, karena asas transparan dalam ekonomi merupakan bagian yang paling penting guna mencapai perwujudan ekonomi yang adil dan manusiawi.

B. Keuangan Publik

  1) Ghanimah, adalah segala sesuatu yang dikuasai oleh kaum muslim dari harta

  orang kafir melalui peperangan. Dikatakan Abu Yusuf bahwa ghaminah merupakan sumber pemasukan Negara. Pos ini dapat digolongkan sebagai pemasukan yang tidak tetap bagi Negara. menjadi salah satu sumber keuangan Negara pada saat itu.

  3) Pajak (Kharaj)

  Di bawah ini dijelaskan perpajakan tanah menurut Abu Yusuf yang didalamnya meliputi status dan jenis pajak yang akan dikenakan: 1) Wilayah lain (di luar Arabia) dibawah kekuasaan Islam, dibagi 3 bagian.

  a. Wilayah yang diperoleh melalui peperangan.

  b. Wilayah yang diperoleh melalui perjanjian damai.

  c. Wilayah yang dimiliki oleh muslim di luar Arabia (usyr) 2) Wilayah yang berada dibawah perjanjian damai, dibagi 2 bagian.

  a. Penduduknya yang kemudian masuk Islam (Usyr)

  b. Mereka yang tidak memeluk Islam (Kharaj) 3) Tanah taklukkan, dibagi 4:

  a. Ketika penduduknya masuk Islam sebelum kekalahan. (Usyur) b. Apabila tanah taklukkan tidak dibagikan dan tetap dimiliki (Kharaj)

  c. Jika khalifah membagikan tanah tsb untuk pejuang (Usyur)

  d. Jika ditahan oleh negara (Usyur dan Kharaj)

  4) Zakat

  Di antara objek pajak yang menjadi perhatiannya adalah: pertama, zakat pertanian. Jumlah pembayaran zakat pertanian adalah sebesar usyr yaitu 10% dan 5%, tergantung dari jenis tanah dan irigasi. Yang termasuk kategori tanah ‘usryiyah menurut Abu Yusuf adalah:

  1. Lahan yang termasuk jazirah arab, meliputi hijaz, makkah, madinah dan yaman.

  2. Tanah tandus / mati yag dihidupkan kembali oleh orang islam.

  3. Setiap tanah taklukan yang dibagikan kepada tentara yang ikut berperang, seperti kasus tanah khaibar

  4. Tanah yang diberikan kepada orang islam, seperti tanah yang dibagikan melalui institusi iqta kepada orang-orang yang berjasa bagi Negara.

  5. Tanah yang dimiliki oleh orang islam dari Negara, seperti tanah sebelumnya dimiliki oleh raja-raja Persia dan keluarganya, atau tanah yang ditinggalkan oleh musuh yang terbunuh atau melahirkan diri dari peperagan.

  Kedua, objek zakat yang menjadi perhatiannya adalah zakat dari hasil berpendapat bahwa standar zakat untuk barang-barang tersebut, tarifnya seperti ganimah 1/5 atau 20% dari total produksi.

  5) Faiy'

  Faiy’ adalah segala sesuatu yag dikuasai kaum muslimin dari harta orang kafir tanpa peperangan, temasuk harta yang mengikutinya, yaitu kharaj tanah tersebut, jizyah perorangan dan usyr dari perdagangan. Semua harta faiy’ dan harta- harta yang mengikutinya berupa kharaj, jizyah dan usyr merupaka harta yang boleh dimanfaatkan oleh kaum muslimin dan disimpan dalam Bait Al-Mal, semuanya termasuk kategori pajak dan merupakan sumber pendapatan tetap bagi Negara, harta tersebut dapat dibelanjakan untuk memelihara dan mewujudkan kemaslahatan Umat.

6) Usyr (Bea Cukai)

  Usyr merupakan hak kaum muslim yang diambil dari harta perdagangan ahl jimmah dan penduduk kaum harbi yang melewati perbatasan Negara islam. Usyr dibayar dengan cash atau barang. Abu yusuf, melaporkan bahwa abu musa al- as’ari, salah seorang gurbernur, pernah menulis kepada khalifah umar bahwa para pedagang muslim dikenakan bea dengan tarif sepersepuluh di tanah – tanah harbi.

  Tarif usyr ditetapkan sesuai dengan status pedagang. Jika ia muslim maka ia akan dikenakan zakat pedagang sebesar 2,5% dari total barang yang dibawanya. Sedangkan ahl jimah dikenakan tariff 5%, kafir harbi, dikenakan tarif 10%. Selain itu, kafir harbi dikenakan bea sebanyak kedatangan mereka ke Negara islam dengan barang yang sama tetapi, bagi pedagang muslim dan pedagang ahl jimmah bea hanya dikenakan sekali dalam setahun Dalam pengumpulan bea, abu yusuf mensyaratkan dua hal yang harus dipertimbangkan. Pertama, barang-barang tersebut haruslah barang-barang yang dimaksudkan untuk diperdagangkan.Kedua, nilai barang yang dibawa tidak kurang dari 200 dirham.

VI. Metode Pemberian Tanah Kepada Warga Negaranya Kepemilikan Negara

  jazirah arab yang tidak dimiliki oleh siapapun atau tidak bertuan akan segera diambil oleh negara. Negara sebagai pemilik tanah-tanah kosong memiliki otoritas untuk memberikannya kepada seseorang dengan tujuan agar tanah tersebut dapat digarap dan memberikan pendapatan bagi negara melalui pajak tanah. Ada dua metode yang dilakukan negara dalam pemberian tanah kepada warga negaranya, yaitu melalui pemberian secara resmi melalui institusi iqta dan melalui perolehan hak karena menghidupkan tanah yang mati.

1. Institusi Iqta

  Iqta merupakan prosedur dari pemberian tanah kosong yang dilakukan oleh negara. Dalam sistem fiskal Islam, istilah itu mengarah pada penganugerahkan tanah kosong sebagai sebuah hadiah dari negara untuk seseorang yang dapat mengembangkan dan mengolah tanah. Abu Yusuf merekomendasikan bahwa para penguasa boleh memberikan tanah-tanah yang tidak dimiliki siapapun sebagai iqta.

2. Menghidupkan Tanah yang Mati

  Pada prinsipnya tanah yang mati itu milik negara. Namun, bagi warga kepemilikannya berhubungan dengan usahanya mengelola lahan yang mati tersebut. Sudah menjadi aturan umum, bahwa siapapun yang menghidupkan lahan tersebut akan menjadi pemiliknya. Abu Yusuf mengatakan usaha itu termasuk membajak, menabur dan mengairi tanah. Dalam pandangannya tentang masalah tanah dan pertanian, Abu Yusuf mengemukakan dalam Kitab al-Kharaj: Menggarap tanah tak produktif sangat dihargai oleh Rasulullah SAW dan menyia- nyiakannya sangat tidak disukai. Itu mengikuti hadist Rasulullah SAW: “Pemilik asli tanah itu adalah Allah SWT dan Rasulullah SAW dan kalian sesudah itu. Barangsiapa yang menghidupkan tanah yang mati (tak digarap) merupakan perbuatan yang amat mulia. Untuk mendapatkan hasil produksi yang lebih besar dengan cara penyediaan fasilitas dalam perluasan lahan pertanian, Abu Yusuf lebih cenderung menyetujui negara mengambil bagian dari hasil produksi pertanian para penggarap daripada penarikan sewa dari lahan pertanian.

VII. Administrasi Kharaj

  Terhadap administrasi keuangan Abu Yusuf mempunyai pandangan ekonomi. Penekanannya pada sifat administrasi pajak berpusat pada penilainnya yang kritis terhadap lembaga Qabalah, yaitu sistem pengumpulan pajak pertanian dengan cara ada pihak yang menjadi penjamin serta membayar secara lumpsum kepada negara dan sebagai imbalannya penjamin tersebut memperoleh hak untuk mengumpulkan kharaj dari para petani yang menyewa tanah tersebut, tentu dengan pembayaran sewa yang lebih tinggi daripada sewa yang diberikan kepada negara. Abu Yusuf meminta agar pemerintah segera menghentikan praktik sistem Qabalah tersebut karena pengumpulan pajak yang dilakukan secara langsung, tanpa keberadaan pihak penjamin akan mendatangkan pemasukan yang lebih besar. Menurutnya, agar dapat memperoleh keuntungan dari kontrak Qabalah, biasanya pihak penjamin mengenakan pajak yang melebihi kemampuan para petani.

  Penolakan Abu Yusuf tersebut disebabkan sistem Qabalah bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan dan mengabaikan kemampuan membayar. Dalam mengejar keuntungan, penjamin biasanya memberikan beban tambahan terhadap para petani dengan menerapkan beban ilegal yang melampaui kemampuan mereka.

VIII. Kebijakan Strategis Abu Yusuf

  Di bawah kekuasaan Harun al-rasyid, isu al-Kharaj menjadi topik yang sangat aktual dibicarakan para intelektual bagdad. Kecemelangan pikirnya, yang mampu memadukan agama, tradisi dan budaya dalam menyikapi permasalahan yang terjadi, menjadikan beliau menjdi lambang hati nurani bangsa dan pengikutnya. Abu Yusuf membenahi mekanisme ekonomi dengan jalan membuka jurang pemisah antara kaya dan miskin. Ia memandang bahwa masyarakat memiliki hak dalam campur tangan ekonomi, begitu juga sebaliknya pemerintah tidak memiliki hak bila ekonomi tidak adil. Oleh karenanya ada dua hal pokok penting yang dilakukan Abu Yusuf. Pertama, menentukan tingkat penetapan pajak yang sesuai dan seimbang, dalam upaya menghindari Negara dari resesi ekonomi. Kedua, pengaturan pengeluaran pemerintah sesuai dengan kebijakan umum. Menurutnya dari beberapa yang perlu dibenahi, diantaranya Income, Expenditure, dan mekanisme pasar. Untuk mewujudkannya beliau mengambil langkah sebagai berikut :

1. Menggantikan sistem wazifah dengan sistem muqasamah

  Wazifah adalah sistem pemungutan pajak yang ditentukan berdasarkan pada nilai tetap, tanpa membedakan ukuran kemampuan wajib pajak atau jumlah yang sama secara keseluruhan. Sedangkan muqasamah adalah system pemungutan pajak yang diberlakukan berdasarkan nilai yang tidak tetap (berubah) dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan dan persentase penghasilan atau pajak proporsional. Penggantian sistem ini diakukan dalam rangka mencapai ekonomi yang adil. Orang-orang yang dikumpulkan untuk bermusyawarah mengungkapkan, bahwa belakangan ini tanah-tanah subur lebih banyak dibandingkan dengan tanah-tanah yang tidak subur, dan mereka juga mengungkapkan banyaknya tanah sisa yang tidak dikerjakan (nonproduktif) dan sedikitnya tanah garapan yang digunakan sebagai subyek kharaj. Menurut pandangan mereka , jika tanah yang tidak digarap yang kami miliki akan dikenakan kharaj seperti halnya tanah garapan yang subur, maka kami tidak akan bisa mengerjakan tanah atau lahan-lahan yang ada sekarang, lantaran ketidakmampuan kami untuk membayar kharaj terhadap tanah yang non-produktif tersebut, dan jika tanah tersebut tidak dikelola dalam waktu seratus tahun, maka ia tetap akan menjadi subyek kharaj atau tetap tidak akan pernah digarap selamanya, dan jika memang demikian halnya maka bagi orang-orang yang menggarap tanah ini untuk keperluan sehari-hari tidak bisa dikenai kharaj. Konsekuensinya, saya menyadari bahwa biaya yang tetap dalam bentuk barang (tha’am) atau uang (dirham) tidak diberlakukan kepada orang-orang disamping keadaan mereka yang tidak memungkinkan, juga tidak mempunyai keuntungan yang dapat disumbangkan kepada pemerintah, terutama dalam membayar pajak. Dalam metode penilaian pajak tanah muqasamah, para petani dikenakan pajak dengan menggunakan rasio tertentu dari total produksi dari yang mereka hasilkan. Rasio ini bervariasi sesuai dengan jenis tanaman, sistem irigasi dan jenis tanah pertanian. Abu Yusuf merekomendasikan tarif yang berbeda dengan mempertimbangkan irigasi yang digunakan. Tarif yang ditetapkan olehnya adalah: 1. 40 % dari produksi yang diirigasi oleh hujan alami 2. 30 % dari produksi yang diirigasi oleh hujan buatan 3. ¼ dari produksi panen musim panen

2. Membangun fleksibilitas sosial

  Problematika muslim dan non-muslim juga tidak lepas dari pembahasan Abu Yusuf, yaitu tentang kewajiban warga negara non-Muslim untuk membayar sekalipun beragama non-Islam. Dalam hal ini Abu Yusuf membagi tiga golongan orang yang tidak memiliki kapasitas hukum secara penuh, yaitu Harbi, Musta’min, dan Dzimmi. Kelompok Musta’min dan Dzimmi adalah kelompok asing yang berada di wilayah kekuasaan Islam dan membutuhkan perlindungan keamanan dari pemerintah Islam, serta tunduk dengan segala aturan hukum yang berlaku. Perhatian ini diberikan Abu Yusuf dalam rangka memberi pemahaman keseimbangan dan persamaan hak dan juga mekanisme penetapam pajak jiz’ah. Pembayaran jiz’ah oleh non-muslim, bukanlah sebagai hukuman atas ketidakpercayaan mereka terhadap Islam, sebab hal ini bertentangan dengan al- Qur’an (2): 256 ; tidak ada paksaan dalam agama. Jiz’ah tidak diberlakukan bagi perempuan, anak-anak, orang miskin dan kalangan tidak mampu. Bagi yang tidak mampu membayar, mereka juga wajib dilindungi dan disantuni.

  Berkaitan dengan jiz’ah ini, Abu Yusuf secara khusus membahasnya yang ditujukan kepada Harun al-Rasyid. Beliau mengatakan “siapa saja yang memaksa warga yang bukan muslim, atau meminta pajak kepada mereka di luar kemampuannya, maka aku termasuk golongannya. Jiz’ah, jika dihadapkan pada konteks realitas sosial ekonomi masyarakat, maka pendapat Abu Yusuf di atas kiranya lebih mengarah pada tingkat keseimbangan dan nilai-nilai keadilan yang manusiawi. Hal ini dilakukan sebagai ukuran material dan kemampuan masyarakat dalam menunaikan kewajibannya sebagai warga Negara. Pemahaman fleksibilitas yang dibangun Abu yusuf juga terlihat dari sikapnya yang toleran pada non-Muslim dalam memberi izin melakukan transaksi perdagangan di wilayah kekuasaan Islam.

  Hal lain, yang dilakukan Abu Yusuf adalah menolak pendapat yang melarang pedagang Islam untuk berdagang di wilayah Dar al_harbi. Hal ini dilakukan guna membuka peluang untuk kontribusi bagi pembangunan dan penyebaran tekhik perdagangan ke seluruh dunia, seperti Cina, Afrika, Asia Tengah, Asia Tenggara dan Turki. Dari sikap Abu Yusuf di atas, terlihat bahwa ia memperhatikan hubungan baik antar Negara, pengembangan ekonomi perdagangan, serta upaya mensikapi perekonomian masyarakat sebagai antisipasi jika terjadi krisis kebutuhan pokok.

  Transparansi yang dibangun Abu Yusuf terlihat ketika beliau mendeskripsikan income negara yang meliputi ghanimah dan fai’ sebagai pemasukan yang sifatnya incidental revenue, sedangkan kharāj, jizyah, ‘ushr dan sadaqah/zakat sebagai pemasukan yang sifatnya permanent revenue. Abu Yusuf memberi interpretasi yang jelas tentang aturan Alquran dalam surat al-Anfal ayat 41 yang artinya:

  ”....Ketika engkau mengambil setiap barang rampasan, seperlima darinya adalah milik Allah dan Rasul, saudara-saudara dekatnya, anak yatim, orangorang miskin dan musafir..”.

  Interpretasi dari istilah seperlima dalam ayat ini di kalangan para ahli fikih terjadi perbedaan pandangan. Dalam kitab al-Kharāj Abu Yusuf seperlima tersebut menurut:

  ”Riwayat Qais bin Muslim yang diriwayatkan dari Hasan bin Muhammad bin Hanafiyah, dibagi menjadi tiga bagian, yaitu untuk Nabi (Para Khalifah penggantinya setelah beliau wafat), untuk keluarga terdekat dan untuk kelompok anak yatim, fakir miskin dan musafir” (Yusuf, 1302: 21).

  Dari sistem pembagian harta yang dilaksanakan oleh Abu Yusuf, akan terlihat dari empat bagiannya didistribusikan untuk prajurit, sedangkan seperlimanya disimpan pada bendahara umat atau baitulmal untuk kepentingan umat. Hal ini sesuai dengan ajaran Alquran surat al-Anfal ayat 41 yang mengatur tentang distribusi harta rampasan perang tersebut. Melihat beberapa pertimbangan yang lebih mengacu kepada kebijakan Umar yang berlandaskan ayat di atas, Abu Yusuf dalam kitab al-Kharāj memaparkan tentang distribusi harta ini dengan menjelaskan perwujudan dari alokasi anggaran, maka interpretasi dari tindakan tersebut, merupakan implementasi dari asas transparansi sistem dan politik ekonomi yang melingkupi beberapa aspek, seperti transparansi terhadap tentara sebagai keamanan negara, gaji pegawai, perbaikan masjid, lampu penerang, serta beberapa kepentingan lain yang sifatnya maslahah ’ āmmah (Yusuf, 1302: 1920).

4. Menciptakan sistem ekonomi yang otonom

  Upaya menciptakan sistem ekonomi yang otonom terlihat pada pandangan Abu Yusuf dalam penolakannya atas intervensi pemerintah dalam pengendalian sedikitnya barang tidak dapat dijadikan tolok ukur utama bagi naik dan turunnya harga, tetapi ada variabel lain yang lebih menentukan. Pendapat Abu Yusuf ini berdasarkan hadis Rasulullah SAW:

  ”Diriwayatkan dari Abdu al-Rahman bin Abi Laila, dari Hikam Bin’Utaibah yang menceritakan bahwa pada masa Rasulullah harga pernah melambung tinggi, sehingga sebagian masyarakat mengadu kepada Rasulullah dan meminta agar Rasulullah membuat ketentuan tentang penetapan harga ini. Maka Rasulullah berkata, ‘Tinggi dan rendahnya harga barang merupakan bagian dari keterkaitan dengan keberadaan Allah dan kita tidak dapat

mencampuri terlalu jauh bagian dari ketetapan tersebut.” (Yusuf, 1302: 87).

  Teori harga Abu Yusuf tersebut memposisikan terbalik dari teori ekonomi konvensional yang menyatakan bahwa, naik dan turunnya harga ditentukan oleh permintaan dan penawaran komoditi (Teori Supply and Demand). Meskipun Abu Yusuf tidak secara tegas menolak keterkaitan supply dan demand, namun secara eksplisit memuat pemahaman bahwa tingkat naik dan turunnya produksi tidak akan berpengaruh terhadap harga.

  KESIMPULAN

  Abu Yusuf adalah seorang ulama dan hakim yang hidup pada jaman pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Lahir di Kufah pada tahun 113 H (731 M) dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 182 H (798 M). Sekalipun Abu Yusuf berasal dari keluarga yang tidak mampu, ia tetap bersemangat dalam mencari ilmu kepada para ulama-ulama besar diantaranya Abu Hanifah. Sehingga pada akhirnya, Abu Yusuf menjadi seorang ulama, hakim, dan ahli ekonomi yang terkenal pada masanya.

  Berdasar pada uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa model pemikiran Abu Yusuf adalah berbentuk pemikiran ekonomi kenegaraan, mengupas tentang kebijakan fiskal, yang berkenaan dengan pendapatan negara. Hal ini terlihat dari muatan pemikirannya mengenai pendapatan negara, pengeluaran. Peranan teori ekonomi yang dirumuskan oleh Abu Yusuf pada masa itu sangatlah besar kepada pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Karena teori yang dirumuskannya mengacu pada bagaimana pemerintah harus melakukan tindakan ekonomi yang baik serta dapat mensejahterakan rakyatnya. Sehingga Khalifah Harun Al-Rasyid banyak menerapkan teori Abu Yusuf untuk menjalankan perekonomian negara.

  Namun demikian, kita mengakui bahwa pemikirannya dalam al-kharaj tidaklah merupakan survei lengkap dalam kajian ekonomi, tetapi upayanya yang mengedepankan Maslahah ‘Ammah sebagai visi utama pemikiran ekonominya dalam upaya menciptakan keseimbangan ekonomi pada masa pemerintahan Harun al- Rasyid. Hal ini merupakan bagian esensial dalam mengarahkan ekonomi yang lebih etis, manusiawi dan berkeadilan. Pemikiran ekonomi Abu Yusuf dalam kitab al-

  

kharaj di atas jika ditarik dalam konteks kekinian dalam upaya pembenahan terhadap

  krisis ekonomi Indonesia yang mengarah pada krisis fundamental ini, kiranya akan memberi kontribusi yang positif dan berharga dalam upaya mempertautkan antara agama dan ekonomi, disamping perlunya rekontruksi dan elaborasi dengan beberapa pemikiran lain, terutama yang berkaitan dengan budaya, politik, dan etika modern. Rekontruksi kearah itu kiranya perlu memperhatikan beberapa aspek yang erat kaitannya dengan kebijakan etis. Penelaahan ekonomi dengan menggunakan pendekatan agama mutlak diperlukan guna mewujudkan Indonesia yang sejahtera.

DAFTAR PUSTAKA

  Adiwarman Azim Karim, 2010. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam .Jakarta: Rajawali Press http://yufi season.blogspot.com/2013/12/sejarah-dan-peta-pikiran-ekonomiislam.html Rahmani Timorita Yulianti. 2008. Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf. Jurnal Universitas

  Islam Indonesia (UII) Yogyakartahal 1-26 Rahmani Timorita Yulianti. 2008. Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf. Jurnal Universitas

  Islam Indonesia (UII) Yogyakartahal 1-26