148283851 Makalah Kelompok a6 Blok 1 Modul 2

Pendahuluan
Dokter adalah profesi mulia yang mendapat kepercayaan dan kehormatan dari pasien.
Oleh karena itu harus menjunjung tinggi perilaku mulia, yaitu jujur, empati, kasih sayang,
peka nilai, mau mendengar aktif, memberi tanggapan positif, tidak menghakimi, sabar, ikhlas,
tidak emosional, terbuka, kompeten, berpengetahuan luas tentang kedokteran dan kesehatan,
namun tetap sadar bahwa setiap orang mempunyai keterbatasan.
Keterampilan berkomunikasi dokter – pasien dalam praktik sehari-hari menjadi satu
kompetensi yang wajib dimiliki dokter. Komunikasi dokter-pasien merupakan komunikasi
dua arah dengan tujuan kesembuhan, dilandasi kesetaraan dan empati, ada kesepakatan tak
tertulis bahwa pasien mempercayakan dirinya kepada dokter yang mengobatinya dan dokter
wajib simpan rahasia jabatan. Sebagai dokter kita wajib berempati, mau dan mampu
merasakan perasaan, pikiran, sikap dan perilaku pasien, tanpa melibatkan emosi diri.
Dengan demikian komunikasi dokter – pasien bukanlah hal yang mudah, terutama
saat berhadapan dengan pasien yang bermasalah mulai dari yang sederhana hingga yang
rumit dan kompleks. Untuk mengatasi masalah tersebut, seorang dokter di tuntut untuk
senantiaasa melakukan komunikasi yang efektif dan berempati, agar dapat membawa
kesejahteraan dalam masyarakat dan ada hubungan timbal balik yang baik antara dokterpasien.

1

Pembahasan

Komunikasi dan empati diperlukan dalam pelayanan kesehatan sehari-hari yang
dilakukan dokter demi kepentingan pasien. Dokter perlu mengkomunikasikan pentingnya
berperilaku sehat melalui anjuran yang ia berikan pada pasien. Komunikasi yang baik serta
empati yang tepat akan mendorong pasien untuk berubah menuju perilaku yang lebih sehat
untuk kedepannya. Hal sebaliknya akan terjadi apabila komunikasi yang disampaikan terjadi
tanpa adanya empati. Dalam keadaan ini, informasi mungkin akan tersampaikan kepada si
penerima pesan namun apakah informasi itu dapat diterima atau tidak menjadi permasalahan
yang akan dihadapi. Tanpa adanya empati, orang lain mungkin akan merasa tidak dihargai
dan kemudian yang terjadi selanjutnya adalah mengabaikan informasi yang diterima.
Penolakan ini tentu saja membuat informasi yang diterima menjadi kurang efektif dan
berimbas pada keengganan mengikuti anjuran yang telah diberikan.
Pada suatu kasus, ada pasien yang berumur 35 tahun yang datang berobat ke
puskesmas dengan keluhan batuk berdarah. Batuk seperti ini pernah dialaminya 2 tahun lalu.
Pasien tersebut berobat dengan sakitnya dan kemudian menghentikan minum obat karena
bosan minum obat yg dianjurkan dokter selama kurang lebih 6 bulan. Pasien tersebut masih
merokok dengan menghabiskan 20 batang rokok setiap harinya. Kondisi ini tentu saja
mengundang banyak tanya mengapa pasien tersebut tidak mau mengikuti anjuran dokter yang
jelas-jelas ingin mengobati sakit yang sedang ia derita. Faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya hal tersebut dapat berasal dari diri pasien (internal) maupun diluar pasien
(eksternal) itu sendiri. Faktor tersebut adalah sebagai berikut, komunikasi, empati,

kepribadian, tingkah laku, status pendidikan, status ekonomi, dukungan keluarga, usia dan
ketergantungan akan sesuatu.

Komunikasi
Komunikasi berasal dari bahasa Latin Communis yang berarti umum (common) atau
bersama. Apabila kita berkomunikasi, sebenarnya kita sedang berusaha menumbuhkan suatu
kebersamaan (commonness) dengan lawan bicara, kita berusaha berbagi informasi, ide, dan
sikap.1 Didalam komunikasi ada 2 pihak yaitu pengirim pesan dan penerima pesan yang
peranannya saling bergantian, di sebut komunikasi dua arah. Komunikasi satu arah adalah di

2

mana dalam komunikasi tersebut tidak terdapat pergantian peranan. 2 Dalam berkomunikasi
yang baik ialah komunikasi dua arah yaitu pengirim pesan dan penerima pesan yang
perannya saling bergantian dan efektif. Efektif yang dimaksud ialah dapat menjadi pendengar
yang aktif, menggunakan bahasa penerimaan dan merupaan komunikasi dewasa dan dewasa.
Pendengar yang baik ialah aktif mendengar masalah pasien, memberi kesempatan untuk
dapat menyelesaikan masalahnya sendiri dan untuk dapat menerima masalah yang tidak bisa
diubah, membantu pasien mengungkapkan perasaan-perasaannya, memahami perasaanperasaan pasien, membuka telinga dan menjaga lidah. Bahasa penerimaan perlu
dikomunikasikan dan diperlihatkan dalam bentuk pesan verbal seperti mengundang untuk

berbicara lebih banyak sehingga ia merasa diterima dihargai sebagai pribadi, dan dalam
bentuk pesan non verbal dengan isyarat, sikap, ekspresi wajah, dan gerak-gerik lain yang
mendukung pesan verbal. Ini dapat menjadi komunikasi yang merangsang pertumbuhan dan
perubahan yang membangun karena pasien merasa tertolong, lebih baik terdorong untuk
berbicara dan mengurangi rasa takut/terancam.3 Komunikasi kepada pasien dapat dilakukan
melalui isyarat, ekspresi wajah, bahasa tubuh serta nada suara. 4 Menurut lexicographer (ahli
kamus bahasa), komunikasi adalah upaya yang bertujuan berbagi untuk mencapai
kebersamaan. Jika dua orang berkomunikasi maka pemahaman yang sama terhadap pesan
yang saling dipertukarkan adalah tujuan yang diinginkan oleh keduanya. Sedangkan menurut
Hovland, Janis & Kelley (1961), komunikasi adalah suatu proses dimana seseorang
(komunikator) menyampaikan stimulus (biasanya dalam bentuk kata-kata) dengan tujuan
mengubah atau membentuk perilaku orang-orang lainnya.5
Komunikasi harus memenuhi unsur REACH, terdiri dari respect yaitu saling
menghargai, emphaty yaitu ada empati, audible yaitu jelas mudah dimengerti, clarity yaitu
jelas mudah dimengerti dan humble yaitu rendah hati dan manusiawi. Manfaat komunikasi
efektif dokter-pasien di antaranya, meningkatkan kepuasan pasien dalam menerima
pelayanan medis dari dokter atau institusi pelayanan medis, meningkatkan kepercayaan
pasien kepada dokter yang merupakan dasar hubungan dokter-pasien yang baik,
meningkatkan keberhasilan diagnosis terapi dan tindakan medis, meningkatkan kepercayaan
diri dan ketegaran pada pasien fase terminal dalam menghadapi penyakitnya, mengurangi

malpraktik.2 Dalam membuat diagnosis dan menentukan prognosis suatu penyakit, kita harus
melihat per individu dengan segala aspek dalam dirinya. Komunikasi membantu pasien
bekerja sama dengan dokternya dalam proses penyembuhan.6

3

Komunikasi terapeutis adalah orang lain merasa tertolong dan lebih baik, terdorong
untuk berbicara, mengekspresikan perasaan-perasaan, memiliki harga diri, mengurangi rasa
takut/terancam, sehingga merangsang pertumbuhan dan perubahan yang membangun. Faktor
yang mempengaruhi komunikasi adalah citra diri bagaimana dokter dengan pasien melihat
dirinya sendiri, citra pihak lain bagaimana dokter melihat pasien dan sebaliknya, lingkungan
fisik ruang praktek, kondisi fisik, mental, emosional dan bahasa tubuh gerak gerik, ekspresi
wajah. 7
Dengan demikian siapapun kita berkomunikasi dengan maksud – tujuan tertentu,
interpersonal atau dalam kelompok, baik dengan ibu, ayah, suami/isteri, anak, nenek, guru
/dosen, sahabat, teman, atasan, maupun bawahan, perlu penyesuaian bersikap agar
komunikasi menjadi lebih efektif.8 Selain cara berkomunikasi yang benar, juga dibutuhkan
kompetensi ilmu pengetahuan medis sebagai isi komunikasi. Cara berkomunikasi dengan
empati adalah alat atau kegiatan untuk terlaksananya komunikasi efektif. Komunikasi efektif
tersebut dapat meningkatkan kepatuhan pasien dan taraf kepuasan pasien. Pengetahuan

menangani orang sakit adalah bekal seorang dokter dalam praktik kesehatan individu dan
kesehatan masyarakat sehingga terhindar dari pelanggaran etika dan disiplin. Komunikasi
dengan empati merupakan jiwa dalam profesionalisme kedokteran.9
Dalam skenario ini, dokter telah berusaha untuk mengkomunikasikan pengetahuan
yang dia miliki kepada pasien dengan cara menganjurkan sang pasien untuk minum obat. Hal
ini tentu saja berhubungan dengan tujuan utama sang pasien dating ke dokter. Sang dokter
telah mengajurkan sang pasien untuk meminum obat secara teratur agar penyakitnya
berangsur membaik namun pasien tidak mengikutinya sehingga pasien datang lagi ke dokter
dengan keluhan yang sama.

Empati
Empati sebagaimana dikemukakan kali pertama pada 1909 berasal dari bahasa latin
em dan pathos yang artinya masuk kedalam, menjadi atau menyatu. Lima puluh tahun
kemudian hal tersebut dibahas pada ilmu psikososial dan psikoanalitik, bagaimana seseorang
dapat merasakan dirinya sebagai orang lain dengan tetap obyektif tanpa menyertakan emosi
diri. Sebagai dokter kita wajib berempati, mau dan mampu merasakan perasaan, pikiran,
sikap dan perilaku pasien, tanpa melibatkan emosi diri. Bayangkan apabila kita yang menjadi

4


pasien, merasakan fisik, pikiran, dan emosi tidak sehat, keinginan diperlakukan dengan kasih
sayang dan empati, pandangan, dan harapan terhadap kesembuhan.9 Empati juga dikatakann
adalah kemampuan untuk menghayati perasaan orang lain, tanpa perlu ikut larut di dalamnya.
Dalam bahasa Yunani adalah Pathos yang mengacu pada perasaan . Hal ini berarti bahwa
anda memahami bagaimana perasaan orang.10 Empati merupakan ciri-ciri prima kemahiran
berkomunikasi. Individu yang mempunyai empati yang tinggi membolehkannya mudah
bergaul dengan orang lain. Atau bisa pula diambil dari kesimpulan empati merupakan
perasaan ingin mengenali dan memahami sesuatu walaupun ia berbeda daripada yang pernah
dialami tanpa memandang rendah ataupun berasa benci terhadap sesuatu.11 Empati
kemampuan secara intelektual dan emosional untuk merasakan emosi, perasaan, dan reaksi
yang dialami orang lain dan secara efektif mengomunikasikan pengertian tersebut pada
individu tersebut.12 Satu cara efektif untuk menyampaikan penghargaan mendalam terhadap
klien adalah dengan berusaha memberi tanggapan-tanggapan empatik dan tetap menjunjung
tinggi

martabat

pasien.13 Cara

efektif


lainnya

dalam berempati

adalah

dengan

mengembangkan sikap ramah dan bersahabat.14
Untuk melakukan empati perlu mengenali dahulu apa obyek atau peristiwa tersebut,
selanjutnya ditetapkan bagaimana perasaan emosional itu secara bermakna mempengaruhi
cara ia memahami orang lain. Perbedaan dengan simpati berarti feeling into feeling sorry
yang didalamnya terdapat emotional contagion atau penularan emosi, dan bila empati berarti
feeling with tidak ikut terlarut secara emosional. 3 Empati terhadap kondisi pasien akan
memampukan dokter untuk memahami pasiennya dari sudut pandang pasien sehingga dokter
mengerti apa yang dirasakan pasiennya tetapi tidak larut dalam perasaan pasien atau
menyetujui pandangan pasien. Berempati berarti tidak bersikap menghakimi, baik dalam arti
kata menyalahkan, membenarkan, menyetujui atau tidak menyetujui perbuatan seseorang. 15
Dokter hanya berusaha untuk membantu menolong pasien dan menjalin komunikasi

terapeutis agar pasien dapat merasa lebih dihargai. Kita meneguhkan harga diri seseorang dan
membiarkan ia mengetahui bahwa kita ingin mengerti dirinya dengan memasuki dunia
pengalaman dan perasaan-perasaannya.13
Tingkat atau level empati dalam komunikasi, level 0 adalah dokter menolak sudut
pandang pasien, level 1 adalah dokter mengenal secara sambil lalu, level 2 adalah dokter
mengenal sudut pandang pasien secara implisit, level 3 adalah dokter menghargai pendapat
pasien, level 4 adalah dokter mengkonfirmasi kepada pasien, dan level 5 adalah dokter
berbagi perasaan dan pengalaman. Seorang dokter haruslah memiliki sikap empati. Terdapat
5

4 kemampuan untuk berempati yaitu empati dalam hal psikis pasien, empati dalam hal
penderitaan pasien, empati dalam hal kondisi sosial ekonomi pasien, empati dalam hal adat
istiadat budaya masyarakat termasuk religi (keagaman). Terdapat 2 metode empati yaitu
simulasi keyakinan, keinginan, ciri-ciri dan konteks karakter orang lain dan simulasi
langsung perasaan emosional. Pada Empati, Simpati dan Antipati yaitu pada empati, kita
tidak ikut terlarut dengan perasaan pasien, tetapi dapat mengindentifikasi perasaan dan
pikirannya, pada simpati, kita ikut terlarut dan mempunyai perasaan yang sama dengan
pasien; penularan emosi (emotional contagion), pada antipati, kita mempunyai perasaan yang
tidak sama dengan pasien bahkan menolak perasaan pasien. Terdapat 3 upaya dan
kemampuan dalam empati yaitu kemampuan kognitif dengan mengerti kebutuhan pasien,

kemampuan afektif dengan peka akan perasaan pasien dan kemampuan perilaku dengan
memperlihatkan / menyampaikan empati kepada pasien.2
Dari skenario, kita dapat melihat bagaimana pasien berobat untuk sakitnya tersebut
dan stop minum obat yang di rencanakan dokter akan berlangsung minimal 6 bulan. Sebagai
seorang dokter, sebaiknya tidak hanya menyuruh pasien untuk meminum obatnya saja, tetapi
juga wajib menjelaskan sedetail mungkin tentang dampak dan akibat kalau tidak meminum
obat, dan itu di lakukan dengan cara berkomunikasi yang efektif. Selain komunikasi, seorang
dokter juga harus berempati kepada pasien, dengan adanya empati maka pasien akan merasa
di terima dan lebih dihargai. Empati tidak hanya sekedar basa-basi kepada pasien melainkan
seorang dokter hendaknya mendengar aktif, respon pada kebutuhan dan kepentingan pasien,
usaha memberikan pertolongan pada pasien dan empati itu harus dimulai dari diri sendiri.

Kepribadian
Kepribadian merupakan sifat hakiki yang tercermin pada sikap seseorang yang
membedakannya dengan orang lain. kepribadian sebagai suatu organisasi (berbagai aspek
psikis dan fisik) yang merupakan suatu struktur dan sekaligus proses. 16 Menurut Phares,
kepribadian merupakan pola khas dari fikiran, perasaan, dan tingkah laku yang membedakan
orang satu dengan yang lain dan tidak berubah lintas waktu dan situasi. Kepribadian paling
sering dideskripsikan dalam istilah sifat yang bisa diukur yang ditunjukkan oleh seseorang.
Jadi kepribadian merupakan seluruh pola emosi dan perilaku yang menetap, dan bersifat khas

pada seseorang dalam caranya mengadakan hubungan, caranya berpikir tentang lingkungan

6

dan dirinya sendiri. Karakteristik yang umumnya melekat dalam diri seorang individu
adalah malu, agresif, patuh, malas, ambisius, setia, dan takut. Karakteristik-karakteristik
tersebut jika ditunjukkan dalam berbagai situasi, disebut sifat-sifat kepribadian. 17 Kepribadian
atau watak adalah pikiran,perasaan dan perbuatan seseorang dikumpulkan dalam kesadaran
tentang diri manusia sendiri. Ini biasanya dipengaruhi dari beberapa hal yaitu dari
pengalamannya sejak dia kecil,pendidikan yang dia terima, atau faktor genetik yang didapat
dari orangtuanya. Berpikir itu adalah kemampuan manusia untuk mencari arti bagi realitas
yang muncul di hadapan kesadarannya dalam pengalaman dan pengertian. 18 Kepribadian
menurut Murray adalah fungsi yang menata atau mengarahkan dalam diri individu. Tugastugasnya meliputi mengintegrasikan konflik-konflik dan rintangan-rintangan yang dihadapi
individu, memuaskan kebutuhan-kebutuhan individu dan menyusun rencana-rencana untuk
mencapai tujuan-tujuan di masa mendatang.19
Kepribadian merupakan seluruh pola emosi dan perilaku yang menetap dan bersifat
khas pada seseorang dalam caranya berpikir tentang lingkungan dan dirinya sendiri. Contoh
definisi kepribadian menurut Pervin, seluruh karakteristik seseorang atau sifat umum banyak
orang yang mengakibatkan pola yang menetap dalam merespon suatu situasi. Tempramen
atau tabiat dan watak atau karakter juga masuk ke dalam kepribadian. Tempramen adalah

bawaan sejak lahir yang sukar diubah biasanya dipengaruhi fisiologik tubuh, lain hal dengan
watak, keseluruhan keadaan dan cara bertindak terhadap suatu rangsangan terus berkembang
di kehidupan seseorang dipengaruhi oleh eksogen seperti lingkungan, pengalaman, dan
pendidikan. Dan kecerdasan emosional juga termasuk, kecerdasan emosional merupakan
gabungan dari semua kemampuan emosional dan kemampuan social untuk menghadapi
seluruh aspek kehidupannya. Komponen kecerdasan emosional antara lain kesadaran diri,
mengelola emosi, motivasi diri, empati, hubungan social. 2 Kepribadian dapat dikatakan
bersumber dari bentukan-bentukan yang di terima seseorang dari lingkungan keluarga pada
masa kecil, dan juga bawaan sejak lahir. Jadi, kepribadian itu sebetulnya campuran dari halhal yang bersifat psikologis, kejiwaan dan juga fisik.20
Hubungan dengan skenario, dilihat bahwa pasien tidak mengikuti anjuran dokter, hal
tersebut tentunya berhubungan erat dengan kepribadian pasien, yakni sudah merupakan
temperamen (tabiat) pasien yang sudah merupakan bawaan sejak lahir, dan sukar di ubah.
Watak adalah keseluruhan keadaan dan cara bertindak terhadap suatu rangsangan dan watak
ini terus berkembang dalam masa kehidupan seseorang. Kemungkinan besar pasien tersebut

7

memiliki watak yang kurang bagus sehingga tidak mau mengikuti anjuran dokter, yang
sebenarnya itu baik untuk dirinya. Dan kecerdasan emosional meliputi kesadaran diri,
mengelola emosi, motivasi diri, empati dan hubungan social. Berdasarkan skenario saya
menyimpulkan bahwa pasien tersebut belum memenuhi komponen kecerdasan emosional.
Secara garis besar ia belum memiliki kesadaran dan motivasi diri untuk berubah.

Tingkah laku
Perilaku manusia adalah sekumpulan perilaku yang dimiliki oleh manusia dan dipengaruhi
oleh adat, sikap, emosi, nilai, etika, kekuasaan, persuasi, dan genetika.21 Maka bisa dikatakan
juga, manusia itu biopsikososial tidak hanya berkembang biologis dan psikologisnya saja
tetapi sosialnya pun berkembang.22 Dan mengikuti teori psikoanalisis dari Freud mengenai
tingkah laku itu didasari kepribadian, dan kepribadian tersebut berprinsip dari id (keinginan
dari dalam), ego (hubungan dengan kenyataan) dan super ego (norma-norma yang berlaku). 23
Perilaku sehat adalah kondisi ketika individu dengan kondisi kesehatan yang stabil berupaya
aktif mencari cara untuk mengubah kebiasaan pribadi yang sehat dan atau lingkungan guna
beralih ke tingkat kesehatan yang lebi tinggi.24
Perilaku sehat adalah sifat pribadi seperti kepercayaan, motif, nilai, persepsi dan
elemen kognitif lainnya. Lima Perilaku Sehat ialah pencegahan, perlindungan, perilaku
sebelum sakit, perilaku saat sakit dan kondisi sosial. Perilaku sehat dibutuhkan oleh setiap
orang bukan hanya pasien, bahkan dokter pun perlu memiliki perilaku sehat. Dan itu adalah
kewajiban setiap orang, namun melaksanakan perilaku sehat tidaklah mudah terutama bagi
seseorang yang “Malas”. Berikut adalah Tingkatan Perubahan Perilaku yaitu prekontemplasi
adalah belum ada niat perubahan perilaku, kontemplasi yaitu sudah sadar tapi belum siap
untuk berkomitmen untuk bertindak, persiapan yaitu sudah ada niat tapi masih gagal,
tindakan yaitu sudah berhasil dan memberlakukan perilaku sehat dan pemeliharaan yaitu
berusaha untuk mempertahankan perilaku sehat yang telah dilakukan. 2 Dalam berinteraksi
dengan orang lain, ada 4 macam interaksi yang dapat di analisis antara lain stuktural analisis
yaitu analisa kepribadian seseorang, perasaan yang terkait dengan pengalaman masa lalu,
menentukan penampilan mana yang sedang memperlihatkan diri, kedua adalah transaksional
analisis yaitu menentukan ego yang dominan yang sedang berlangsung ( orang tua, dewasa,
anak ) pada setiap individu yang berinteraksi, menganalisa apa yang di lakukan dan di

8

katakana seseorang kepada oarng lain, menyelidiki hubungan antar pribadi, ketiga adalah
game analisis / analisis permainan yaitu menganalisis apa yang tersembunyi dari interaksi
yang di lakukan, menganalisis apa yang di hasilkan dari interaksi dan yang terakhir adalah
script analisis yaitu menganalisa drama / kejadian dalam kehidupannya yang terlihat dalam
semua interaksi yang di lakukan, kehidupan punya drama kehidupan ( peran dipelajari,
dikhayalkan, di lakukan), mirip naskah theater (karakter,dialog,acting,adegan,tema).2
Dalam kedokteran, perilaku seseorang dan keluarganya dipelajari

untuk

mengidentifikasi faktor penyebab, pencetus atau yang memperberat timbulnya masalah
kesehatan. Intervensi terhadap perilaku seringkali dilakukan dalam rangka penatalaksanaan
yang holistik dan komprehensif.25 Dalam menangani pasien di lapangan, akan dijumpai pasien
dengan perilaku berbeda satu sama lain. Ada yang mencerminkan perilaku sehat dan ada pula
yang sebaliknya. Setiap orang memiliki perilaku yang berbeda-beda satu sama lain. Dengan
kemampuan interpersonal yang baik seseorang akan mampu menilai dan memahami
bagaimana dirinya. Pemantauan diri adalah kemampuan seseorang untuk menyesuaikan
perilakunya dengan faktor situasional eksternal. Individu dengan tingkat pemantauan diri
yang tinggi menunjukkan kemampuan.26 Menurut Solita, perilaku kesehatan merupakan
segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya yang
menyangkut pengetahuan dan sikap tentang kesehatan, serta tindakannya yang berhubungan
dengan kesehatan.27
Hubungan dengan skenario, perilaku seorang dokter dapat berpengaruh besar pada
pasien.menurut hasil penelitian pada beberapa rumah sakit yang menggunakan para stafnya
sebagai subjek, disimpulkan bahwa dokter yang berperilaku lebih sopan dan santun akan
membuat pasien lebih sehat dan cepat pulih. Dari skenario, perilaku dokter tersebut dapat kita
lihat melalui analisa transaksional. Dalam analisa transaksional kita dapat menganalisis
tentang komunikasi yang terjadi, ini yang di sebut dengan transaksional analisis. Oleh karena
itu kita dapat mengetahui interaksi antara dokter-pasien adalah O-K. ketika pasien di
sarankan dokter untuk minum obat, tetapi pasien tidak mengikuti anjuran dokter, dia stop
minum obat karna bosan, dan masih saja merokok 20 batang sehari. Sebagai seorang dokter
hendaknya ia dapat menempatkan diri pada oknum tertentu sehingga komunikasi di antara
dokter –pasien dapat berjalan lancar.

9

Status pendidikan
Pasal 19 dalam KODEKI, setiap dokter hendaklah senantiasa mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan dan tetap setia pada cita-citanya yang luhur. Sebagai
seorang dokter hendaknya semakin tinggi pendidikan dan pengetahuan, diwajibkan
mengobati pasien dengan metode terbaru dan sudah dipatenkan. 28 Status pendidikan
merupakan salah satu faktor yang mendukung kesadaran untuk menjaga kesehatan bagi
perokok. Pengetahuan masyarakat mengenai risiko merokok bagi kesehatan tampaknya hanya
sebagian saja, terutama di negara-negara berpendapatan menengah dan rendah karena
informasi mengenai bahaya ini sangat terbatas. Di Cina, sebagai contoh, 61% perokok yang
disurvai pada tahun 1996 percaya bahwa rokok “tidak atau sedikit sekali merugikan
mereka.”29 Semakin tinggi tingkat pendidikan seorang, maka semakin mudah mereka
mengerti apa yang dinasihatkan dokter kepadanya. Bila pendidikan seorang pasien
rendah,maka pasien juga akan sulit menerima pesan atau nasihat yang diberikan dokter.”The
brighter you are the more you have to learn”.30
Semakin tinggi tingkat pendidikan pasien, maka semakin baik penerimaan informasi
tentang pengobatan penyakitnya sehingga akan semakin teratur proses pengobatan dan
penyembuhan. Oleh karena itu, seorang dokter sebaiknya memberikan penekanan pada pesan
atau informasi yang berkaitan dengan pengobatan penyakit pasien. Orang yang berpendidikan
tinggi mungkin telah well information tentang penyakitnya, begitu pun sebaliknya.
Pengetahuan tentang kesehatan mencakup apa yang diketahui oleh seseorang terhadap caracara memelihara kesehatan, seperti pengetahuan tentang penyakit menular, pengetahuan
tentang faktor-faktor yang terkait. dan atau memengaruhi kesehatan, pengetahuan tentang
fasilitas pelayanan kesehatan, dan pengetahuan untuk menghindari kecelakaan.[4] Edukasi
tentang dunia kesehatan juga perlu diberikan untuk kemajuan kesehatan masyarakat.
Bagaimana dampak yang mungkin timbul dari kebiasaan tidak hidup sehat perlu dijelaskan
kepada mereka. Memberi wawasan yang lebih luas mengenai beberapa penyakit beserta
penyebabnya dan bagaimana dampaknya di kemudian hari. Dalam memberi pengetahuan,
juga harus memperhatikan penggunaan kata-kata, kesesuaian dengan tingkat pemahaman
pendengar agar maksud yang ingin disampaikan dapat dipahami oleh pendengar. Pemberian
pengetahuan dapat membantu masyarakat secara umum, dan pasien secara khusus untuk
mengambil tindakan yang tepat untuk pengobatan yang akan dijalaninya. Tingkat pendidikan
dan pengetahuan seorang pasien memiliki andil yang sangat signifikan terhadap dirinya untuk
menjadi teratur atau tidak teratur terhadap pengobatannya.

10

Status ekonomi
Berdasarkan sejarah, dengan meningkatnya pendapatan para penduduk jumlah orang
yang merokok juga meningkat. Dalam beberapa dekade awal terjadinya wabah merokok di
negara berpendapatan tinggi, perokok cenderung lebih banyak terdiri dari orang kaya
daripada orang miskin. Tetapi dalam tiga atau empat dekade terakhir, pola ini menjadi
terbalik, sekurang-kurangnya di antara para pria, dimana data untuk itu tersedia secara luas.29
Status ekonomi kemungkinan besar merupakan pembentuk gaya hidup keluarga. Pendapatan
keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak karena orang tua dapat
menyediakan semua kebutuhan anak baik primer maupun sekunder. 31 Proses pengobatan dan
pemulihan kesehatan pasien dipengaruhi oleh seberapa besar biaya yang harus dikeluarkan.
Tak jarang suatu pengobatan berhenti begitu saja hanya karena masalah biaya. Setiap pasien
memiliki kemampuan financial yang berbeda-beda dan kebutuhan yang berbeda pula. Proses
penyembuhan pasien dengan status ekonomi rendah biasanya terhambat pada biaya yang
harus dibayarkan demi kesembuhan. Obat-obatan tertentu memiliki harga yang cukup mahal
buat mereka apalagi jika untuk dikonsumsi dalam jangka waktu panjang. Status ekonomi
memengaruhi kemampuan pembiayaan dalam bidang kesehatan karena masih terfokus pada
kebutuhan pokok.32
Pasien yang datang kepada dokter adalah pasien yang biasanya menghabiskan 20
batang rokok per hari. Ada kemungkinan, pasien tidak mengikuti anjuran dokter karena faktor
biaya pengobatan yang mahal. Seharusnya seorang dokter bisa menjelaskan presentase
kerugian yang dihadapi pasien yang terus merokok lebih tinggi dibandingkan pasien
menjalani pengobatan. Karena biaya total biaya yang dikeluarkan pasien untuk merokok lebih
besar dibandingkan dia menjalani pengobatan. Terlepas dari status ekonomi yang disandang
oleh pasien, dokter harus mengkomunikasikan bahaya merokok. Pasien ini memiliki
kebiasaan merokok yang tergolong parah karena jumlah rokok yang dihabiskan perhari
sangat banyak. Dokter seharusnya segera mengajak pasien mengurangi frekuensi
merokoknya kemudian perlahan-lahan menghentikan kebiasaan merokoknya. Apabila kondisi
ini terus berlangsung maka bahaya buruk siap mengintai sang pasien tersebut. Kepatuhan
minum obat juga harus ditekankan agar penyakit pasien segera terobati demi kesehatan
pasien itu sendiri.

11

Dukungan keluarga
Faktor lain yang

memberi pengaruh cukup besar

adalah lingkungan

di mana

seseorang tumbuh dan dibesarkan; norma dalam keluarga, teman, dan kelompok sosial; dan
pengaruh-pengaruh lain yang seorang manusia dapat alami. Faktor lingkungan ini memiliki
peran dalam membentuk kepribadian seseorang.16 Keluarga sebagai kelompok sosial terdiri
dari sejumlah individu, memiliki hubungan antar individu, terdapat ikatan, kewajiban,
tanggung jawab di antara individu tersebut. 33 Fungsi keluarga pada esensi perasaan dilihat
dari bagaimana keluarga secara instuitif merasakan perasaan dan suasana anak dan anggota
yang lain dalam berkomunikasi dan berinteraksi antar sesama anggota keluarga sehingga
saling pengertian satu sama lain dalam menumbuhkan keharmonisan dalam keluarga.34
Mengacu pada teori Skiner terhadap perilaku seseorang karena stimulus yang ditimbulkan
terhadap suatu organisme akan memunculkan respon. Begitu pula dengan adanya dukungan
moral atau materil keluarga atau lingkungan terhadap penyakit yang diderita pasien yang
merupakan stimulus yaitu suatu rangsangan, akan menimbulkan respon terhadap dirinya.
Berbanding lurus, bila dukungannya positif maka respon akan positif membantu kesembuhan
penyakit pasien, bila negatif maka respon pasien pun akan negatif dan memperhambat
kesembuhan.23
Dukungan keluarga sangat dibutuhkan oleh pasien perokok tersebut untuk
menghentikan kebiasaan merokoknya dan mengikuti anjuran minum obat. Dukungan
keluarga akan memberikan energi dan kekuatan yang tidak terhingga dalam membantu sang
pasien sadar akan bahaya merokok dan pentingnya minum obat. Dengan dukungan keluarga
yang positif, akan merubah kebiasaan buruk pasien menjadi lebih baik.
Usia
Usia dalam psikologi perkembangan menurut teori Erikson dibagi menjadi 10 tahap. Yaitu
masa bayi usia 0-24bulan, masa balita usia 2-3tahun, masa awal sekolah usia 4-6tahun, masa
anak tengah usia 6-12tahun, masa awal remaja usia 12-18tahun, masa remaja usia 1824tahun, masa dewasa awal usia 24-34tahun, masa dewasa tengah usia 34-60tahun, masa
dewasa akhir usia 60-75, dan masa sangat tua usia 75-meninggal.35 Pasien terdiri dari orangorang dengan tingkatan usia tertentu dan memiliki sikap serta ciri yang berbeda. Terdapat
perkembangan afektif tersendiri dari rentang usia setiap pasien. Terdapat pula perbedaan
kebutuhan dalam perbedaan usia. Dengan semakin menuanya usia, banyak hal yang

12

bergejolak di pikiran yang harus dipertimbangkan untuk menjalani pengobatan. Usia kanakkanak, remaja, dewasa, orang tua memiliki kebutuhan yang berbeda dan cara pandang yang
berbeda pula dalam penyembuhan dirinya. Orang dengan usia yang lebih mapan dan telah
memiliki keluarga misalnya, akan berpikir apa pengaruh tindakan yang diambilnya terhadap
keluarganya, bagaimana keberlangsungan hidup keluarganya ke depan. Sedangkan pada usia
kanak-kanak belum ada pemikiran seperti itu. Dalam kasus, usia pasien 35 tahun tetapi
tingkah lakunya seperti anak-anak yang tidak mengikuti anjuran dokter karena bosan.
Sebaiknya dokter dapat menempatkan dirinya dan menunjukkan empatinya kepada pasien.

Ketergantungan / kebiasaan
Mengacu pada teori Skiner terhadap perilaku seseorang karena stimulus yang
ditimbulkan terhadap suatu organisme akan memunculkan respon. Begitu pula dengan adanya
dukungan moral atau materil keluarga atau lingkungan terhadap penyakit yang diderita pasien
yang merupakan stimulus yaitu suatu rangsangan, akan menimbulkan respon terhadap
dirinya. Berbanding lurus, bila dukungannya positif maka respon akan positif membantu
kesembuhan penyakit pasien, bila negatif maka respon pasien pun akan negatif dan
memperhambat kesembuhan.23 Esensi dari ketergantungan dapat pula dinamakan kecanduan.
Kecanduan juga bisa dipandang sebagai keterlibatan terus-menerus dengan sebuah zat atau
aktivitas meskipun hal-hal tersebut mengakibatkan konsekuensi negatif. Kenikmatan dan
kepuasanlah yang pada awalnya dicari, namun perlu keterlibatan selama beberapa waktu
dengan zat atau aktivitas itu agar seseorang merasa normal.36
Pasien yang masih ketergantungan dengan rokok meskipun sudah mengalami dampak
buruk dari merokok dapat disebabkan karena kandungan nikotin yang ada pada rokok atau
karena memang telah menjadi kebiasaan hidupnya yang tidak bisa ia ubah dalam waktu
singkat. Namun, sekarang telah ada obat yang dapat membantu pasien mengatasi masalah
ketergantungannya pada rokok dan dalam waktu yang singkat pula pasien akan berbalik dari
kebiasaannya tersebut, tetapi budget yang dikeluarkan untuk obat tersebut juga tidak sedikit.
Olehnya itu dokter berusaha memberi pengobatan sesuai dengan kemampuan financial pasien
juga meskipun efek dari obat yang diberikan juga berbeda. Ketergantungan pada rokok
mungkin dapat diubah melalui kesadaran akan diri sendiri sebab perubahan itu dimulai dari
diri kita sendiri, apakah kita mau berubah atau tidak.

13

Penutup
Efisiensi terapi yang diberikan oleh dokter selain tergantung pada pengetahuan dan
keterampilannya, juga pada kemampuan menjalin kerja sama dengan pasien. Beberapa
penelitian menyebutkan bahwa pasien akan sembuh lebih cepat dan lebih sedikit terjadi
komplikasi bila hubungan antara dokter dan pasien terjalin baik. Dokter harus mampu
membangun suatu komunikasi yang efektif terhadap pasiennya sehingga dapat mengenali
berbagai faktor kemungkinan yang memengaruhi kodisi pasien saat itu. Faktor kemungkinan
yang berasal dari luar diri pasien maupun yang berasal dari dalam diri pasien itu sendiri.
Seorang dokter akan mampu menggali informasi sebanyak mungkin tentang pasiennya
dengan cara menciptakan suasana yang kondusif bagi pasien sehingga pasien dapat
mengungkapkan berbagai perasaan yang bergejolak dalam dirinya serta ekspresi-ekspresi
yang lain. Dokter dapat menganalisa beberapa faktor kemungkinan yang memengaruhi cara
pandang pasien, termasuk menganalisa bagaimana cara dokter itu sendiri berkomunikasi dan
berempati kepada pasiennya sehingga pasien menyimpang dari petunjuk dokter. Pada
dasarnya berbagai faktor yang telah dibahas pada bab sebelumnya saling berkaitan satu sama
lain dalam menentukan sikap pasien yang tidak mengikuti anjuran dokter.
Disinilah peran seorang dokter dalam membantu pasien dengan pendekatan yang
holistik/utuh. Dengan memahami faktor-faktor yang memengaruhi pasien, dokter dapat
meningkatkan kualitas pelayanannya dengan lebih berempati kepada pasien dan
mengembangkan pola komunikasi yang sesuai dengan keinginan pasien sehingga pasien akan
patuh dengan petunjuk dokter dan mampu melaksanakannya meskipun dalam jangka waktu
lama. Faktor tersebut adalah sebagai berikut, komunikasi, empati, kepribadian, tingkah laku,
status pendidikan, status ekonomi, dukungan keluarga, usia dan ketergantungan akan sesuatu.
Pasien akan lebih termotivasi untuk sembuh dan menaruh rasa percaya kepada dokter.
Hubungan pasien dokter dikatakan mendekati sempurna apabila dokter berpengetahuan luas,
baik hati, serta sungguh-sungguh merawat pasien dan memberikan petunjuk tentang
pengobatan dengan bersikap hormat, dapat dipercaya, dan menyenangkan pasiennya.

14

Daftar Pustaka
1. Mulyana D. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung, Indonesia: PT Remaja
Rosdakarya, 2007.
2. Andri, Hidayat D, Ingkiriwang E, Asnawi E, Hidajat HK. Bahan Kuliah: Komunikasi dan
Empati. Jakarta: Ukrida, 2011.
3. Nah YS, Hidayat D, Hudyono J. Buku Panduan Keterampilan Klinik. Ed. semester 1.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Ukrida, 2011.
4. Soekardi E, Soetjiningsih, Kandera IW. Modul Komunikasi Pasien-Dokter: Suatu
5.
6.
7.
8.

Pendekatan Holistik. Jakarta, Indonesia: EGC, 2007.
Zubair, Agustina. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta, 2006.
Elfky I. Terapi Komunikasi Efektif. Jakarta, Indonesia: Mizan Publika, 2000.
Maulana, Heri DJ. Promosi Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2007.
Rafdinal. Hospital Development Program Training: Excellent Customer Service.
Disampaikan sebagai ceramah di Departemen IK Kulit dan Kelamin, RSCM, Jakarta,

November 2008.
9. Boediardja, Siti Aisah. Komunikasi dengan Empati, Informasi dan Edukasi: Citra
Profesionalisme Kedokteran. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009.
10. Covey SR. Melampaui Efektivitas Menggapai Keagungan. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2005.
11. Yusof, Ab Aziz. Keinsanan Dalam Pengurusan. Kuala Lumpur: Utusan Publications and
Distributors Sdn Bhd, 2007.
12. Hartanto, Huriawati, dkk. Kamus Ringkas Kedokterean Stedman Untuk Profesi
Kesehatan. Ed. 4. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2005.
13. Yeo A. Konseling: Suatu Pendekatan Pemecahan-Masalah. Jakarta, Indonesia: Gunung
Mulia, 2007.
14. Sumartono. Komunikasi Kasih Sayang. Jakarta, Indonesia: Elex Media Komputindo,
2004.
15. Mulyana, Deddy. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung, Indonesia: PT Remaja
Rosdakarya, 2007.
16. Robbins, Stephen P, Judge, Timothy A. Perilaku Organisasi. Jakarta, Indonesia: Salemba
Empat, 2008.
17. Buss AH. Personality as a Traits: American Psychologist. USA, 1989.
18. Theo Huijbers T. Manusia Merenungkan Dirinya. Yogyakarta: Kanisius, 1986.
19. Hall CS, Lindzey G. Psikologi Kepribadian 2 Teori-Teori Holistik (OrganismikFenomenologis). Ed. ke-12. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006.
20. Pratama Vembri O. Akal-akalan di Dunia Kesehatan: Panduan Menjadi Pasien yang
Cerdas dan Tidak Tertipu oleh Petugas Medis. Jogyakarta: Octopus, 2011.
21. Diunduh http://id.wikipedia.org/wiki/Tingkah_laku
22. King LA. Psikologi Umum: Sebuah Pandangan Apresiatif. Jakarta: Penerbit Salemba
Humanika, 2010.
23. Notoatmodjo S. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010.

15

24. Kadar, Kuswini Semarwati, dkk. Diagnosis Keperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinis.
Ed.9. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2002.
25. Albarracín, Dolores, Johnson BT, Zanna MP. The Handbook of Attitude. h.74-8.
Routledge, 2005.
26. Snyder M. The Psychology of Self-Monitoring. h.530-55. USA: Psychology Bulletin,
2000.
27. David G. Handbook of Health Behavior Research: Relevance for Professionals and Issues
for the Future. Page. 89-90. Springer. 1997.
28. Wiradharma D. Etika profesi medis. Ed. ke-3. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti,
2005.
29. The World Bank. Curbing the Epidemic: Governments and the Economics of Tobacco
Control. Washington D.C: Clearance Center, Inc. 1999.
30. Linardakis NM. Behavioral Science. Ed.5. USA: Michaelis Medical Publishing corp,
1995.
31. Soetjiningsih. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta, Indonesia: EGC, 2004.
32. Kusbiyantoro. Perbandingan Efektifitas Kader Kesehatan dan Tokoh Masyarakat sebagai
Pengawas Minum Obat terhadap Keteraturan Minum Obat dan Konversi Dahak Penderita
TB Paru di Kabupaten Kebumen. Tesis. Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada.
2002.
33. Diunduh dari: Situs Warta Warga Universitas Guna Darma: Keluarga.
34. Clayton RR. The Family, Mariage and Social Change. h.58. 2003.
35. Newman BM, Newman PR. Development Through Life: A Psychosocial Approach. Ed.
10. USA: Wadsworth Cengage Learning, 2009.
36. Morrissey J, Jenm, Keogh B. Psychiatric Mental Health Nursing. Dekker. h.289. 2008.

16