Akuntan Muda April 2011. pdf

Sekilas...

Awal masalah manipulasi aktivitas real menjadi perhatian akuntan adalah ketika diterbitkannya FASB Statement No. 2, “Accounting for Research and Development Costs” pada tahun 1974. SFAS 2 mewajibkan sebagian besar biaya research and development (R&D) untuk dibiayakan (expensed) alih-alih dikapitalisasi seperti sebelumnya. Bila dengan cara kapitalisasi, R&D tidak memiliki pengaruh terhadap laba maka hal ini berubah 180⁰ dengan berlakunya SFAS 2. Jumlah pengeluaran R&D akan mampu mempengaruhi jumlah laba dolar-ke-dolar.

Pemberlakuan SFAS 2 ini membawa perubahan besar pada perilaku manager yang sebelumnya ‘bebas’ menjadi jauh lebih berhati-hati ketika menjadwalkan pengeluaran R&D, terutama sekali ketika laba diperkirakan akan turun. Baber et al. (1991),

Bruns dan Merchant, Jr. (1990), serta Perry dan Grinaker (1994) menunjukkan hasil empiris bahwa manager cenderung akan menunda sebagian pengeluaran R&D ketika laba aktual (i.e. yang berasal dari operasi perusahaan) diperkirakan akan turun. Hal ini mengakibatkan perbedaan laba aktual dan laba terlapor/reported earnings yang tercantum dalam laporan keuangan. Sesudahnya kita pun bertanya-tanya, seberapa jauh kita bisa percaya pada laba terlapor?

Popularitas

Namun demikian, meski isu yang diusung tergolong besar, manipulasi aktivitas real tidak banyak mendapat perhatian akuntan pada tahun-tahun berikutnya. Ada beberapa paper yang muncul (e.g. Bushee 1998) namun, secara umum, isunya sendiri tidak terlalu terdengar. Isu manipulasi aktivitas real tampaknya saat itu kalah populer dengan isu manipulasi akuntansi (yang lebih sering disebut manipulasi laba) dan isu relevansi nilai (value relevance).

Secara umum, tidak banyak akuntan yang tertarik penelitian manipulasi aktivitas real. Hal ini mungkin karena manipulasi aktivitas real ‘tidak terasa akuntansi’, berbeda dengan topik audit, relevansi nilai, ataupun manipulasi akuntansi/laba. Ini adalah persepsi yang keliru. Manipulasi aktivitas real sebenarnya justru ‘sangat akuntansi’ karena ia didorong oleh keberadaan ukuran-ukuran finansial dan akuntansi yang bersifat jangka pendek. Hal ini bisa dilihat dari keberadaannya sebagai pengganti manipulasi akuntansi/laba ketika manipulasi Secara umum, tidak banyak akuntan yang tertarik penelitian manipulasi aktivitas real. Hal ini mungkin karena manipulasi aktivitas real ‘tidak terasa akuntansi’, berbeda dengan topik audit, relevansi nilai, ataupun manipulasi akuntansi/laba. Ini adalah persepsi yang keliru. Manipulasi aktivitas real sebenarnya justru ‘sangat akuntansi’ karena ia didorong oleh keberadaan ukuran-ukuran finansial dan akuntansi yang bersifat jangka pendek. Hal ini bisa dilihat dari keberadaannya sebagai pengganti manipulasi akuntansi/laba ketika manipulasi

Alasan lain ketidakpopuleran isu manipulasi aktivitas real salah satunya mungkin disebabkan oleh ketiadaan alat ukur yang standar. Setiap peneliti manipulasi aktivitas real membangun alat ukurnya sendiri-sendiri. Ini berbeda dengan topik relevansi nilai yang memiliki Model Ohlson atau topik manipulasi laba/akuntansi yang kebanyakan berlandaskan pada Model Jones atau variasinya.

Rendahnya perhatian atas isu manipulasi aktivitas real berlangsung sampai tahun 2005 ketika banyak akademisi akuntansi dikejutkan oleh hasil penelitian Graham et al. (2005). Graham et al. (2005) melakukan survey kepada 300 chief financial officer (CFO) di Amerika Serikat. Mereka menemukan bahwa 78% responden setuju dengan pilihan menurunkan pengeluaran diskresioner seperti R&D, pengiklanan, pemeliharaan, dan lain-lain. Respon kesetujuan ini sangat besar bila dibandingkan pilihan kedua, yaitu menunda suatu proyek baru, yang hanya disetujui oleh 55% responden. Sementara itu, pilihan untuk mengubah asumsi akuntansi terbukti sangat tidak populer dan hanya disetujui oleh 8% responden. Hasil ini menunjukkan bahwa masalah manipulasi aktivitas real yang dihadapi dunia busines sudah mencapai tingkatan sangat mengkhawatirkan.

Di sini mungkin Anda bertanya-tanya mengapa penundaan pengeluaran diskresioner menjadi masalah besar. Ada 2 alasan, Di sini mungkin Anda bertanya-tanya mengapa penundaan pengeluaran diskresioner menjadi masalah besar. Ada 2 alasan,

Gambaran kerugian penundaan pengeluaran diskresioner tersebut baru di level mikro (i.e. perusahaan). Penundaan pengeluaran diskresioner sendiri sebenarnya merupakan bagian dari satu isu yang lebih besar yaitu dorongan untuk berinvestasi tidak dalam bidang yang paling meningkatkan nilai (value) perusahaan. Porter (1992) menjelaskan bahwa sifat dan karakter ini juga mengejewantah level yang lebih tinggi yaitu dalam investasi antarperusahaan dan dari pasar modal ke perusahaan. Kesalahan alokasi investasi inilah yang menyebabkan rendahnya kemampuan bersaing Amerika dibandingkan German dan Jepang (Porter 1992).

Model

Tidak lama setelah paper Graham et al. (2005), Roychowdhury (2006) juga berhasil mempublikasi papernya. Paper Roychowdhury (2006) melengkapi apa yang selama ini menjadi kekurangan isu manipulasi aktivitas real: ketiadaan model. Beberapa paper yang muncul di sekitar waktu yang sama menggunakan Model Roychowdhury sebagai alat ukurnya. Salah satunya adalah paper Cohen et al. (2008) yang juga banyak dikutip.

Pertama-pertama, Roychowdhury (2006) mengembangkan model deteksi manipulasi aktivitas real-nya. Kemudian, ia melakukan uji pola laba seperti yang dilakukan Burgstahler dan Dichev (1997). Di sini, ia menemukan bahwa pola laba di sekitar kuartil dekat laba 0 konsisten dengan hipotesis bahwa perusahaan berusaha menghindari melaporkan rugi.

Model Roychowdhury sendiri menggunakan 3 cara untuk mendeteksi manipulasi aktivitas real yaitu keberadaan kas abnormal yang terkait dengan peningkatan penjualan, produksi berlebih (overproduction), dan pengurangan pengeluaran diskresioner pada periode terkait. Roychowdhury (2006) menemukan bahwa ketiga cara ini digunakan ketika perusahaan menghindari melaporkan kerugian. Usaha penghindaran melaporkan rugi ini dipengaruhi juga oleh jenis industri, stok sediaan dan utang untuk dimanipulasi, dan keberadaan investor canggih (sophisticated investors).

Simpulan

Sedikitnya penelitian manipulasi aktivitas real menunjukkan bahwa akuntan belum sampai pada mengobati penyakit melainkan hanya mengobati gejala. Idealnya, kita mencari tahu mengapa produk yang kita hasilkan (i.e. laporan keuangan) mendorong suatu perilaku yang merugikan (i.e. manipulasi aktivitas real) dan mencari solusinya. Sementara itu, dari sisi pragmatis peneliti, manipulasi aktivitas real merupakan bidang penelitian akuntansi yang belum banyak digali dan, oleh karenanya, menyediakan peluang riset yang begitu luas. Di tengah-tengah persaingan penelitian yang makin ketat maka peluang semacam ini menjadi begitu berharga.

Bersambung...

(Arie Rahayu)

Referensi: Baber, W. R., P. M. Fairfield, dan J. A. Haggard. 1991. The effect

of concern about reported income on discretionary spending decisions: The case of research and development. The Accounting Review 66 (4): 818-829.

Bruns Jr., W. J., dan K. A. Merchant. 1990. The dangerous morality of managing earnings. Management Accounting (Agustus) 72 (2): 22-25.

Burgstahler, D., dan I. Dichev. 1997. Earnings management to avoid earnings decreases and losses. Journal of Accounting and Economics 24: 99-126.

Bushee, B. J. 1998. The influence of institutional investors on myopic R&D investment behavior. The Accounting Review 73 (3): 305-333.

Cohen, D. A., A. Dey, dan T. Z. Lys. 2008. Real- and accrual-based earnings management in the Pre- and Post-Sarbanes-Oxley periods. The Accounting Review 83 (3): 757-787.

Graham, J. R., C. R. Harvey, dan S. Rajgopal. 2005. The economic implications of corporate financial reporting. Journal of Accounting and Economics 40: 3-73.

Perry, Susan, dan Robert Grinaker. 1994. Earnings expectations and discretionary research and development spending. Accounting Horizons 8 (4): 43-51.

Porter, M. E. 1992. Capital disadvantage: America’s failing capital investment system. Harvard Business Review (September- Oktober): 65-82.

Roychowdhury, S. 2006. Earnings management through real activities manipulation. Journal of Accounting and Economics

42: 335-370.

Kredit foto: ‘Chess’ oleh romainguy at http://bit.ly/agBwWz

BELAJAR IFRS MENGETAHUI LEBIH DALAM PERUBAHAN PSAK NO.16 (REVISI 2007) TENTANG ASET TETAP (Bagian 2)

Oleh: Yeni Januarsi

Pada edisi pertama Buletin Akuntan Muda, saya telah memaparkan beberapa point yang terdapat dalam perubahan PSAK 16 (revisi 2007) yang meliputi istilah aset tetap dan definisi, pengakuan aset tetap, pengukuran aset tetap, dan pengukuran setelah pengakuan awal. Pada bagian ke dua ini, beberapa topik yang bakalan saya paparkan meliputi: pengeluaran setelah

akuisisi, pertukaran aset tetap, dan penurunan nilai aset.

PENGELUARAN SETELAH AKUISISI

Umumnya, ketika aset tetap telah siap digunakan dan telah melalui beberapa periode penggunaan, ada kemungkinan perusahaan akan mengeluarkan biaya mulai dari yang jumlahnya kecil sampai yang jumlahnya besar, atau mulai dari penggantian hanya lampu mobil, misalnya, sampai dengan harus mengganti Umumnya, ketika aset tetap telah siap digunakan dan telah melalui beberapa periode penggunaan, ada kemungkinan perusahaan akan mengeluarkan biaya mulai dari yang jumlahnya kecil sampai yang jumlahnya besar, atau mulai dari penggantian hanya lampu mobil, misalnya, sampai dengan harus mengganti

Pasti rekan-rekan bertanya, bagaimana kriteria untuk dapat menentukan apakah biaya yang dikeluarkan setelah akuisisi itu dikatagorikan sebagai kapitalisasi ataukah dibebankan pada periode terjadinya???. Untuk menjawabnya, kita bisa buka PSAK no.16 (revisi 2007) 12 dan 13. Dalam Paragraf 12 dinyatakan bahwa :

“sesuai dengan prinsip pengakuan dalam paragraf

7, entitas tidak boleh mengakui biaya perawatan

sehari-hari aset tetap sebagai bagian dari aset yang bersangkutan. Biaya-biaya ini diakui dalam

laporan laba rugi saat terjadinya. Biaya perawatan sehari-hari terutama terdiri atas biaya tenaga kerja dan bahan habis pakai (consumables) termasuk didalamnya suku cadang kecil. Pengeluaran-pengeluaran untuk hal tersebut sering disebut “biaya pemeliharaan dan perbaikan”Aset tetap”

Kemudian, dalam Paragraf 13 dinyatakan bahwa :

“Bagian-bagian tertentu aset tetap mungkin perlu diganti secara periodik...Entitas dapat juga memperoleh komponen aset tetap tertentu untuk

melakukan penggantian yang tidak terlalu sering dilakukan...atau melakukan penggantian yang tidak berulang. Sesuai dengan prinsip pengakuan dalam paragraf 7, entitas mengakui biaya penggantian komponen suatu aset dalam jumlah tercatat aset saat biaya itu terjadi jika pengeluaran tersebut memenuhi kriteria untuk diakui sebagai

bagian dari aset. Jumlah tercatat komponen yang diganti tersebut tidak lagi diakui apabila telah memenuhi ketentuan penghentian pengakuan (lihat paragraf 69-74)”.

Dari paragraf 12 dapat dilihat bahwa biaya yang dikeluarkan setelah akuisisi yang merupakan biaya perawatan sehari-hari dari aset tetap, harus dibebankan pada periode terjadinya (dilaporkan dalam laporan laba rugi). Jika biaya yang dikeluarkan dikatagorikan sebagai biaya perawatan sehari-hari, maka mungkin umumnya biaya ini jumlahnya tidak terlalu besar dan dari segi frekuensinya, sering dikeluarkan.

Selain itu, jika dikaitkan dengan paragraf 7 PSAK 16 (Revisi 2007) yang menyatakan bahwa biaya perolehan aset tetap harus diakui sebagai aset jika dan hanya jika :

(a) besar kemungkinan manfaat ekonomis di masa depan berkenaan dengan aset tersebut akan mengalir ke entitas; dan

(b) biaya perolehan aset dapat diukur secara andal, maka biaya perawatan yang sehari-hari dikeluarkan mungkin saja dapat memenuhi kriteria yang kedua tetapi tidak dapat memenuhi kriteria yang pertama yaitu “besar kemungkinan manfaat ekonomis di masa depan berkenaan dengan aset tersebut akan mengalir ke entitas” sehingga karena tidak dapat memenuhi kriteria pertama maka biaya perawatan sehari-hari tidak dapat dikapitalisasi.

Kadangkala kita bingung, bagaimana mendefinisikan ada tidaknya manfaat ekonomis dimasa depan. Kieso et al. (2011) memberikan kriteria bahwa manfaat ekonomi masa depan dapat meliputi naiknya:

1. Umur manfaat aset

2. Kuantitas produk yang diproduksi, dan

3. Kualitas produk yang diproduksi.

Dilain situasi, mungkin saja perusahaan mengeluarkan biaya-biaya untuk mengganti bagian aset atau menambah bagian aset tetapi penggantian atau penambahan tersebut

tidak sering dilakukan, atau tidak dilakukan secara berulang

maka jika memenuhi apa yang disyaratkan dalam paragraf 7, pengeluaran tersebut dapat dikapitalisasi ke nilai tercatat aset tetap yang kemudian dapat disusutkan secara berkala. Misalkan perusahaan ingin menambah sayap pada bangunan utama maka jika memenuhi apa yang disyaratkan dalam paragraf 7, pengeluaran tersebut dapat dikapitalisasi ke nilai tercatat aset tetap yang kemudian dapat disusutkan secara berkala. Misalkan perusahaan ingin menambah sayap pada bangunan utama

Contoh lainnya adalah pada kasus penggantian spare part mesin. Pada kasus ini, biaya yang dikeluarkan untuk mengganti sparepart mesin dapat dikapitalisasi jika biaya tersebut dapat diukur secara andal dan jika besar kemungkinan memiliki manfaat ekonomis di masa depan [dapat mengacu pada kriteria yang dikemukakan oleh Kieso et. al (2011)]. Jika salah satu kriteria tersebut tidak dipenuhi, maka penggantian sparepart mesin harus dibebankan pada periode terjadinya.

PERTUKARAN ASET TETAP

Perusahaan dapat memperoleh aset tetapnya dari hasil pertukaran dengan aset non-moneter lainnya. Misalkan memperoleh kendaraan dengan cara menukarkan mesin yang dimiliki perusahaan. Perbedaan mandasar antara PSAK 16 lama

dengan PSAK 16 baru 1 adalah berdasar PSAK no.16 (1994), pertukatan aset non moneter harus membedakan apakah

pertukaran tersebut antara aset yang sejenis atau aset tidak sejenis. Namun, dalam PSAK 16 (revisi 2007), aturan tersebut tidak berlaku lagi. Ketika terjadi pertukaran aset nonmoneter,

1 PSAK 16 lama mengacu pada PSAK 16 (sebelum revisi 2007) dan PSAK 16 baru mengacu pada PSAK 16 (revisi 2007) 1 PSAK 16 lama mengacu pada PSAK 16 (sebelum revisi 2007) dan PSAK 16 baru mengacu pada PSAK 16 (revisi 2007)

Masalah yang muncul pada pertukaran aset non moneter ini adalah bagaimana menentukan harga perolehan aset baru yang diterima dari transaksi pertukaran. Berdasarkan paragraf 24 PSAK 16 (revisi 2007) pertukaran aset non monemter dengan aset non moneter lainnya diukur sebesar nilai wajar kecuali :

a. Transaksi pertukaran tidak memiliki substansi komersial atau

b. Nilai wajar aset yang diterima dan diserahkan tidak dapat diukur secara andal Jika aset yang diperoleh tidak dapat diukur dengan nilai wajar,

maka biaya perolehannya diukur dengan jumlah tercatat dari aset yang diserahkan

, *- ) .

Substansi komersial disini berarti (paragraf 25) :

a. Konfigurasi arus kas / aset yang diterima berbeda dengan yang diserahkan atau

b. Nilai khusus entitas dari kegiatan op.erasional berubah akibat pertukaran; dan

c. Selisih a atau b relatif signifikan terhadap nilai wajar dari aset yang dipertukarkan

Mungkin arti yang lebih sederhana

Suatu transaksi pertukaran tentang substansi

memiliki SUBSTANSI KOMERSIAL komersial dapat

jika aliran kas masa depan diadopsi dari Kieso et

berubah sebagai akibat dari al. (2011) yang

transaksi pertukaran tersebut menyatakan bahwa

yaitu jika posisi ekonomis kedua suatu transaksi belah pihak berubah. pertukaran memiliki

substansi komersial

jika aliran kas masa depan berubah sebagai akibat dari transaksi pertukaran tersebut yaitu jika posisi ekonomis kedua

belah pihak berubah. Untuk lebih jelas memahami konsep substansi komersial dapat disimak contoh berikut. Misalkan PT. Arya menukar beberapa mesin yang dimilikinya dengan sebidang tanah yang dimiliki oleh PT. Duta.

Dari transaksi pertukaran ini, nampak bahwa waktu dan jumlah aliran kas yang dihasilkan oleh tanah berbeda secara signifikan jika dibandingkan dengan waktu dan jumlah aliran kas yang dihasilkan oleh mesin. Sebagai akibatnya, PT. Duta dan PT. Arya berada pada posisi ekonomis yang berbeda.

Contoh diatas terjadi dalam kasus aset non-moneter yang ditukarkan tidak sama. Ketika aset yang ditukarkan sama (misal menukar kendaraan dengan kendaraan) timbul pertanyaan apakah substansi komersial dapat terjadi??? Nah...dalam kasus pertukaran aset nonmoneter yang sejenis ini, mungkin aja terjadi perubahan dalam posisi ekonomis perusahaan, sehingga kriteria substansi komersial terpenuhi. Sebagai contoh dalam transaksi pertukaran kendaraan A ditukar dengan kendaraan B, jika kendaraan B memiliki umur ekonomis yang lebih lama secara signifikan daripada kendaraan A, maka dimungkinkan sekali aliran kas dari kendaraan B berbeda secara signifikan dibandingkan aliran kas dari kendaraan A. Dengan demikian transaksi pertukaran tersebut memiliki substansi komersial.

Pada transaksi pertukaran aset yang sejenis juga dimungkinkan tidak memiliki perbedaan yang signifikan dalam hal aliran kas masuk sehingga jika keadaan ini terwujud maka kedua perusahaan ada pada kondisi ekonomis yang sama sehingga subsatansi komersial tidak terjadi. Dalam keadaan ini, maka biasanya jika terjadi kerugian akan segera diakui tetapi jika terjadi keuntungan akan ditunda pengakuannya (Kieso et al, 2011). Berikut ini disajikan summary situasi pertukaran aset dan Pada transaksi pertukaran aset yang sejenis juga dimungkinkan tidak memiliki perbedaan yang signifikan dalam hal aliran kas masuk sehingga jika keadaan ini terwujud maka kedua perusahaan ada pada kondisi ekonomis yang sama sehingga subsatansi komersial tidak terjadi. Dalam keadaan ini, maka biasanya jika terjadi kerugian akan segera diakui tetapi jika terjadi keuntungan akan ditunda pengakuannya (Kieso et al, 2011). Berikut ini disajikan summary situasi pertukaran aset dan

Tabel 1 Beberapa situasi peretukaran aset dan perlakuan akuntansi yang terkait

Perlakuan akuntansi No

Situasi pertukaran terhadap gain/loss

1 Pertukaran memiliki Laba dan rugi diakui substansi komersial

segera

2 Pertukaran tidak memiliki Menunda pengakuan substansi komersial-tidak gain; mengakui loses melibatkan kas

dengan segera.

3 Pertukaran tidak memiliki Laba diakui sebagian; substansi

komersial- Rugi diakui melibatkan kas

secepatnya.*

Jika kas yang diterima 25% atau lebih dari nilai fair value pada saat pertukaran, maka akui semua laba karena earnings process telah selesai.

PENURUNAN NILAI

Penurunan nilai atau disebut juga impairment mengacu pada keadaan dimana nilai terpulihkan 2 (recoverable amount) lebih

kecil daripada nilai tercatat aset (carrying amount) atau suatu keadaan dimana nilai tercatat dari aset melebihi jumlah terpulihkan. Tapi...sebelum memastikan bahwa aset mengalami

2 Istilah nilai terpulihkan dalam tulisan ini dapat disamakan dengan “nilai yang dapat diperoleh kembali” 2 Istilah nilai terpulihkan dalam tulisan ini dapat disamakan dengan “nilai yang dapat diperoleh kembali”

Jadi, tahap pertama adalah lakukan tes untuk menentukan ada tidaknya indikasi penurunan nilai. Indikasi penurunan nilai dapat berupa informasi yang datang dari luar maupun dalam perusahaan. Informasi yang datangnya dari luar perusahaan diantaranya adalah:

1. Adanya penurunan signifikan dari nilai pasar

2. Selama periode tertentu telah/akan terjadi perubahan memburuk dalam hal teknologi, pasar, kondisi ekonomi, hukum, atau dalam pasar produk atau jasa yang dihasilkan oleh aset tersebut

3. Selama periode tertentu, suku bunga pasar dari investasi telah meningkat sehingga akan menurunkan recoverable amount dari aset secara material

4. Jumlah tercatat aset neto entitas melebihi kapitalisasi pasarnya.

Sedangkan Informasi yang datangnya dari dalam perusahaan diantaranya adalah:

Keusangan/ kerusakan Perubahan signifikan dengan cara penggunaan aset Kinerja ekonomi aset memburuk

Setelah dilakukan tes tahap pertama, maka entitas akan mengetahui ada atau tidak indikasi penurunan nilai. Apabila entitas memiliki indikasi penurunan nilai, maka tahap selanjutnya adalah entitas harus mengakui adanya impairment aset dengan mengakui terjadinya impairment loss. Proses Setelah dilakukan tes tahap pertama, maka entitas akan mengetahui ada atau tidak indikasi penurunan nilai. Apabila entitas memiliki indikasi penurunan nilai, maka tahap selanjutnya adalah entitas harus mengakui adanya impairment aset dengan mengakui terjadinya impairment loss. Proses

Gambar 1

Contoh Terjadinya Impairment

Recoverable amount < carrying Impairment terjadi

amount karena

Nilai tertinggi antara : Nilai Nilai asset – akumulasi pakai vs nilai wajar

depresiasi – akumulasi dikurangi biaya penjualan

rugi penurunan nilai

Nilai pakai = Nilai sekarang dari taksiran arus kas yang diharapkan akan diterima atas penggunaan aset dan penghentian penggunaan aset pada akhir masa manfaatnya

Secara garis besar, tahapan terjadinya impairment dapat dirangkum sebagai berikut (Kieso et al., 2011):

1. Review kejadian atau keadaaan-keadaan yang memungkinkan terjadinya impairment

2. Jika hasil review mengindikasikan adanya impairment, maka lakukan recoverability test (test untuk menentukan pakah impairment terjadi atau tidak). test ini dilakukan dengan cara menguji jika jumlah aliran aks masa depan yang diharapkan dari aset tetep kurang dari nilai tercatat, maka impairment talah tarjadi.

3. Asumsikan impairment terjadi, maka entitas akan mengakui adanya impairment loss dimana nilai terbawa aset melebihi nilai wajar aset. Nilai wajar aset merupakan nilai pasar atau nilai sekarang dari aliran kas bersih masa depan yang diharapkan.

Sebagai contoh misalkan PT. Alou memiliki aset dengan nilai tercatat sebesar Rp600.000. karena adanya perubahan dalam penggunaan aset tersebut, perusahaan melakukan review apakah kemungkinan terjadi impairment. Aset memiliki kos awal sebesar Rp800.000 dan akumulasi depresiasi Rp200.000. PT. Alou mengekspektasikan future net cash flow (undiscounted) dari penggunaan aset sebesar Rp650.000. Dari kondisi ini, maka apakah aset mengalami penurunan nilai (impairment)?

Asumsikan bahwa entitas telah melakukan review kejadian atau keadaaan-keadaan yang memungkinkan terjadinya impairment dan hasil review mengindikasikan adanya impairment, maka tahap berikutnya adalah melakukan recoverability test. Dari recoverability test menunjukkan bahwa Asumsikan bahwa entitas telah melakukan review kejadian atau keadaaan-keadaan yang memungkinkan terjadinya impairment dan hasil review mengindikasikan adanya impairment, maka tahap berikutnya adalah melakukan recoverability test. Dari recoverability test menunjukkan bahwa

Contoh lain untuk menggambarkan adanya impairment dapat disimak sebagai berikut. Misalkan PT. Rama melakukan impairment test untuk aset tetapnya. Aset tetapnya memiliki informasi value in used (nilai pakai) Rp200.000, nilai fair value dikurangi biaya jual sebesar Rp190.000, dan carrying Amount sebesar Rp250.000. Dari situasi ini untuk menentukan apakah terjadi impairment atau tidak, maka PT. Rama harus membandingkan recoverable amount dengan nilai terbawa.

Impairment terjadi ketika Recoverable amount lebih kecil daripada carrying Amount.

Recoverable amount dalam kasus ini harus dipilih nilai terbesar antara 1) nilai fair value dikurangi biaya jual sebesar Rp190.000; 2) value in used (nilai pakai) Rp200.000. dari kedua informasi tersebut, maka yang menjadi Recoverable amount adalah value in used (nilai pakai) sebesar Rp200.000. Nilai terbawa aset sebesar Rp 250.000, sehingga Recoverable amount lebih kecil daripada carrying Amount sebesar Rp250.000.000. dalam kasus ini, maka dapat dikatakan bahwa aset mengalami penurunan nilai (impairment).

Gambar 2

Contoh Terjadinya Impairment

Recoverable amount < carrying Impairment

terjadi

amount

karena Rp200.000 < Rp.250.000

Nilai tertinggi antara : Nilai asset – akumulasi Nilai pakai vs nilai wajar

depresiasi – akumulasi dikurangi biaya penjualan

rugi penurunan nilai

Nilai tertinggi antara Rp 200.000 vs Rp190.000

Setelah ditentukan bahwa aset mengalami penurunan nilai, maka konsekuensi dalam catatan akuntansi adalah PT. Rama harus mengakui adanya impairment loss sebesar selisih antara carrying Amount dengan recoverable amount-nya.

Impairment Loss = Carrying amount - Recoverable amount = 250.000 - Rp 200.000 = Rp50.000

Jurnal yang dibuat oleh PT. Rama untuk mengakui adanya impairment loss:

Loss on Impairment .................... Rp 50.000 Accumulated depreciation ..............Rp50.000

Loss on impairment akan disajikan pada laporan laba rugi komprehensif pada bagian “other income and expense”. Perusahaan akan meng-kredit aset (yang terkait) atau ‘akumulasi depresiasi-aset’ untuk mengurangi carrying amount dari aset untuk kasus impairment.

Setiap perusahaan tentunya memiliki tujuan untuk mencapai profitabilitas yang baik. Profitabilitas dapat ditunjukkan dari angka laba yang stabil dan meningkat dari tahun ke tahun serta aliran kas positif yang masuk ke dalam perusahaan. Profitabilitas tercermin dari informasi keuangan yang disampaikannya kepada publik. Berbagai skandal akuntansi dan keuangan yang terjadi beberapa tahun lalu telah berdampak pada krisis ekonomi global.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah seberapa penting informasi keuangan yang disampaikan oleh perusahaan. Apakah profitabilitas merupakan satu-satunya tolok ukur yang dapat dijadikan acuan untuk menilai kinerja perusahaan. Profitabilitas yang fokus pada nilai-nilai materil telah mengakibatkan sebagian perusahaan mengabaikan proses yang semestinya harus Pertanyaan yang kemudian muncul adalah seberapa penting informasi keuangan yang disampaikan oleh perusahaan. Apakah profitabilitas merupakan satu-satunya tolok ukur yang dapat dijadikan acuan untuk menilai kinerja perusahaan. Profitabilitas yang fokus pada nilai-nilai materil telah mengakibatkan sebagian perusahaan mengabaikan proses yang semestinya harus

Dari sudut pandang bisnis ada sebagian pendapat yang menyatakan bahwa etika dan bisnis merupakan suatu hal yang terpisah dan tidak dapat berjalan secara bersamaan. Namun pandangan ini perlu dikritisi lebih lanjut. Beberapa kesuksesan yang dialami oleh perusahaan-perusahaan besar semuanya berawal dari penerapan etika yang baik dalam proses bisnisnya apakah yang menyangkut proses produksi, perlakuan terhadap karyawan, pelanggan dan pemasok ataupun pesaing-pesaing mereka.

Contoh yang dapat dikemukakan adalah Perusahaan Toyota yang menerapkan etika dalam proses produksi, kepada pelanggan dan supplier. Matsushita Electronics yang mampu bertahan hingga lebih dari satu abad karena prinsip etisnya dalam membangun karyawannya untuk tumbuh dan berkembang secara bersama-sama, memanusiakan setiap karyawannya dan peduli terhadap pelanggan. IBM yang peduli pada individu dan memberikan layanan yang terbaik dan tercepat kepada pelanggan, dan fokus kepada konsumen untuk membangun kepercayaan. Honda, Sony, dan Chrysler juga merupakan contoh perusahaan lainnya yang membangun serta mengembangkan perusahaannya dengan berdasarkan prinsip-prinsip etika yang baik dan benar. Dalam jangka pendek, menjalankan bisnis dengan etika seringkali akan menimbulkan biaya yang tinggi. Dalam jangka panjang, bisnis yang dilandasi oleh etika dan proses yang benar akan mampu menjamin keberlanjutan kegiatan perusahaan.

Informasi-informasi keuangan saat ini tidak lagi menjadi sumber utama yang dapat memenuhi kepentingan publik. Tuntutan

publik atas penerapan prinsip-prinsip GCG terhadap proses bisnis yang dijalankan oleh perusahaan semakin meningkat. Angka- angka keuangan tidak lagi relevan untuk dijadikan sebagai dasar bagi pengambilan keputusan jangka panjang. Isu mengenai kerusakan lingkungan, perubahan iklim dan sumber daya alam yang semakin menipis memiliki pengaruh yang signifikan dalam proses bisnis perusahaan. Tidak dapat dipungkiri, bahwa kegiatan bisnis telah membawa perubahan yang begitu besar dalam perekonomian, tetapi dampak eksternal yang ditimbulkannya terhadap lingkungan dan sosial kemasyarakatan juga besar. Proses bisnis yang dijalankan yang melibatkan aktivitas yang berhubungan dengan sosial, lingkungan dan tata kelola semakin dibutuhkan publik untuk menilai kinerja perusahaan secara menyeluruh dalam jangka panjang. Untuk memenuhi tuntutan tersebut sebagian perusahaan secara sukarela telah menyampaikan informasi-informasi non keuangan tersebut dalam laporan CSR atau sustainabilitas perusahaan.

Ide pelaporan informasi mengenai lingkungan sebenarnya sudah dituangkan dalam publikasi yang berjudul Handbook of National Accounting: System for integrated Environmental and Economic Accounting (SEEA). Publikasi ini pertama kali diterbitkan oleh PBB Ide pelaporan informasi mengenai lingkungan sebenarnya sudah dituangkan dalam publikasi yang berjudul Handbook of National Accounting: System for integrated Environmental and Economic Accounting (SEEA). Publikasi ini pertama kali diterbitkan oleh PBB

Ide mengenai pelaporan informasi publik yang lebih komprehensif yang melibatkan informasi keuangan dan non- keuangan (sustainabilitas) kemudian semakin berkembang di forum-forum intenasional. Integrasi antara pelaporan keuangan dan sustainabilitas perusahaan menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh profesi akuntansi di masa depan. Ide mengenai pelaporan publik yang lebih komprehensif telah diwacanakan sejak tahun 2004 dalam suatu proyek yang didirikan oleh Pangeran Charles (Prince of Wales). Proyek yang diberi nama Accounting for Sustainability Project (A4S) ini dijalankan untuk Ide mengenai pelaporan informasi publik yang lebih komprehensif yang melibatkan informasi keuangan dan non- keuangan (sustainabilitas) kemudian semakin berkembang di forum-forum intenasional. Integrasi antara pelaporan keuangan dan sustainabilitas perusahaan menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh profesi akuntansi di masa depan. Ide mengenai pelaporan publik yang lebih komprehensif telah diwacanakan sejak tahun 2004 dalam suatu proyek yang didirikan oleh Pangeran Charles (Prince of Wales). Proyek yang diberi nama Accounting for Sustainability Project (A4S) ini dijalankan untuk

Perbedaan utama dari pelaporan keuangan dan non-keuangan adalah pada ketersediaan standar yang mengaturnya. Penyampaian informasi-informasi keuangan sudah diatur sedemikian rupa dengan standar seperti IFRS atau GAAP, yang diterima oleh masyarakat global. Meningkatnya kepentingan terhadap informasi non keuangan juga berimplikasi pada kebutuhan standarisasi atas pelaporan informasi tersebut. Standarisasi ini diperlukan agar nilai dari informasi yang disajikan meningkat dan dapat diperbandingkan berdasarkan periode pelaporan dan entitas pelapor.

Standar pelaporan informasi non keuangan yang ada sekarang ini belum berlaku secara global seperti halnya IFRS. Standar yang ada masih berupa inisiatif yang dilakukan oleh GRI. Inisiatif ini dilakukan oleh the Global Reporting Inisiatif (GRI) sejak tahun 2006. Organisasi nirlaba ini didanai oleh sponsorship dari lembaga internasional, proyek GCG, pemerintah dan komunitas Standar pelaporan informasi non keuangan yang ada sekarang ini belum berlaku secara global seperti halnya IFRS. Standar yang ada masih berupa inisiatif yang dilakukan oleh GRI. Inisiatif ini dilakukan oleh the Global Reporting Inisiatif (GRI) sejak tahun 2006. Organisasi nirlaba ini didanai oleh sponsorship dari lembaga internasional, proyek GCG, pemerintah dan komunitas

Rerangka pelaporan ini merupakan panduan yang dapat digunakan oleh perusahaan dalam mengungkapkan informasi sustainabilitas mereka kepada publik. Proses pengembangan rerangka ini telah dilakukan secara sistematik melalui kegiatan diskusi dan dialog untuk mencapai consensus. Proses yang dilakukan secara terbuka dan inklusif ini melibatkan berbagai pemangku kepentingan di lebih dari 60 negara di dunia. Pemangku kepentingan tersebut meliputi perusahaan, publik, akademisi, pekerja dan institusi professional.

Ide pelaporan informasi non keuangan berupa informasi sustainabilitas ini kemudian berkembang menjadi pelaporan integrasian. Integrasi antara informasi keuangan dan non keuangan akan memberikan gambaran yang lebih baik kepada Ide pelaporan informasi non keuangan berupa informasi sustainabilitas ini kemudian berkembang menjadi pelaporan integrasian. Integrasi antara informasi keuangan dan non keuangan akan memberikan gambaran yang lebih baik kepada

Untuk mewujudkan ide tersebut, sejak bulan Agustus 2010 telah dibentuk organisasi internasional yang bertanggung jawab untuk menciptakan rerangka pelaporan integrasian yang dapat diterima secara global. Organisasi internasional tersebut adalah Komite Pelaporan Integrasian Internasional (International Integrated Reporting Committee, IIRC). Rerangka pelaporan yang dikembangkan oleh IIRC akan mengintegrasikan informasi keuangan, lingkungan, sosial dan tata kelola dalam format yang lebih jelas, konsisten, dan dapat diperbandingkan. Rerangka ini berperan penting dalam menjawab tantangan global berkaitan dengan ekonomi global dan sustainabilitas. Secara lebih lengkap, peran dan fungsi IIRC adalah:

Meningkatkan kesadaran mengenai pentingnya pelaporan integrasian sehingga tercapai konsensus bersama diantara lembaga pemerintahan, otoritas pasar modal, perusahaan, investor, dewan standar akuntansi dan dewan standar lainnya dengan cara yang terbaik;

Mengembangkan rerangka pelaporan integrasian, yang meliputi ruang lingkup dan komponen-komponen penting yang terlibat.

Mengidentifikasikan area prioritas yang memerlukan upaya dan pengembangan lebih lanjut.

Mempertimbangkan apakah standar untuk pelaporan integrasian seharusnya diterapkan sebagai kewajiban (mandatory) atau bersifat sukarela (voluntary). IIRC juga memfasilitasi kolaborasi antara dewan standard dan upaya konvergensi atas standar-standar yang diperlukan dalam rangka menciptakan pelaporan integrasian;

Mempromosikan penerapan pelapoan integrasian terhadap regulator

dan penyaji laporan keuangan yang berkepentingan.

Produk utama yang dikembangkan oleh IIRC yaitu rerangka pelaporan integrasian bertujuan untuk:

Mendukung kebutuhan investor jangka panjang dalam pengambilan keputusan dengan menyediakan informasi- informasi yang memiliki konsekuensi luas dan jangka panjang;

Merefleksikan hubungan antara lingkungan, sosial dan tata kelola dengan faktor-faktor keuangan dalam pengambilan keputusan yang berpengaruh terhadap kinerja dan kondisi dalam jangka panjang. Informasi seperti ini memberikan ketertautan yang lebih jelas antara nilai-nilai ekonomis dan sustainabilitas;

Menyediakan rerangka kerja yang diperlukan untuk faktor lingkungan dan sosial yang harus diperhitungkan secara sistematis dalam pelaporan dan pengambilan keputusan;

Menyeimbangkan pengukuran kinerja dari hal-hal yang tidak semestinya yang hanya menekankan pada ukuran jangka pendek;

Menciptakan pelaporan yang lebih bernilai bagi manajemen dalam menjalankan kegiatan operasional bisnis sehari-hari.

Pelaporan integrasian disebut juga dengan One Report. Konsep One report merujuk laporan tunggal yang menggabungkan antara informasi keuangan dan informasi narasi yang tercantum Pelaporan integrasian disebut juga dengan One Report. Konsep One report merujuk laporan tunggal yang menggabungkan antara informasi keuangan dan informasi narasi yang tercantum

Novo Nordic dan United Technology merupakan dua perusahaan yang telah mengintegrasikan informasi keuangan dan non keuangan dalam pelaporan tahunannya. Novo Nordic telah melakukan integrasi kedua informasi dalam pelaporan tahunannya sejak tahun 2003. Informasi keuangan disusun berdasarkan IFRS, sementara itu informasi non keuangan mengacu kepada standar yang dikeluarkan oleh The Global Reporting Inisiatif (GRI). Selain itu, Novo Nordic juga menggunakan KAP PWC yang menyediakan jasa assurance atas informasi non-keuangan yang disampaikan kepada publik. Pada tahun 2008, United Technology telah mengintegrasikan informasi keuangan dan non keuangan dalam pelaporan tahunannya. Laporan tahunan yang disampaikan tersebut memberikan Novo Nordic dan United Technology merupakan dua perusahaan yang telah mengintegrasikan informasi keuangan dan non keuangan dalam pelaporan tahunannya. Novo Nordic telah melakukan integrasi kedua informasi dalam pelaporan tahunannya sejak tahun 2003. Informasi keuangan disusun berdasarkan IFRS, sementara itu informasi non keuangan mengacu kepada standar yang dikeluarkan oleh The Global Reporting Inisiatif (GRI). Selain itu, Novo Nordic juga menggunakan KAP PWC yang menyediakan jasa assurance atas informasi non-keuangan yang disampaikan kepada publik. Pada tahun 2008, United Technology telah mengintegrasikan informasi keuangan dan non keuangan dalam pelaporan tahunannya. Laporan tahunan yang disampaikan tersebut memberikan

(Arif Perdana) Kredit foto: Banfff National Park http://bit.ly/gHnQar

Ilmu pengetahuan makin lama makin berkembang. Seiring dengan perkembangan tersebut, muncul pula jargon-jargon baru yang tidak kita kenal sebelumnya. Jargon merupakan Ilmu pengetahuan makin lama makin berkembang. Seiring dengan perkembangan tersebut, muncul pula jargon-jargon baru yang tidak kita kenal sebelumnya. Jargon merupakan

Jargon sangat diperlukan agar para pembelajar dalam bidang terkait dapat berkomunikasi secara efektif dan efisien. Misalnya ketika seorang pembelajar akuntansi menyebut 'net income' atau 'laba bersih' maka Anda paham bahwa yang dimaksud (i.e. laba bersih) adalah suatu angka yang dihasilkan dari perhitungan tertentu. Anda bisa membayangkan pendapatan (revenues) dikurang biaya (expenses). Anda tahu bahwa biaya tersebut terbagi lagi atas kos barang terjual (cost of goods sold) dan biaya operasi. Anda tahu susunan dan format perhitungan agar sampai pada angka laba bersih. Anda tahu semua PSAK terkait yang mendasari perlakuan atas tiap aspek dan hal terkait laba bersih.

Sayangnya, kebanyakan jargon merupakan bahasa asing terutama Bahasa Inggris. Hal ini wajar karena perkembangan ilmu banyak terjadi di dunia barat. Masalah bagi kita adalah kemunculan jargon-jargon ini begitu cepat sehingga tidak banyak diakomodasi dalam kamus Bahasa Indonesia yang autoritatif. Kita sendirilah yang harus menentukan bagaimana Sayangnya, kebanyakan jargon merupakan bahasa asing terutama Bahasa Inggris. Hal ini wajar karena perkembangan ilmu banyak terjadi di dunia barat. Masalah bagi kita adalah kemunculan jargon-jargon ini begitu cepat sehingga tidak banyak diakomodasi dalam kamus Bahasa Indonesia yang autoritatif. Kita sendirilah yang harus menentukan bagaimana

Ada beberapa cara untuk mengadaptasi jargon ke dalam Bahasa Indonesia. Pertama, kita bisa tetap menggunakan versi bahasa aslinya. Hal ini juga saya lakukan dalam paragraf sebelumnya, misalnya pada kata revenues, cost of goods sold, dan expenses. Cara macam ini terutama bermanfaat ketika belum ada padanan yang disepakati bersama dalam Bahasa Indonesia. Namun demikian, cara macam ini membawa kesulitan tersendiri ketika ada banyak jargon dalam tulisan kita. Paper kita akan banyak memuat italics (huruf bercetak miring). Selain itu, tata bahasa kita sedikit banyak akan menjadi kacau. Ini terjadi karena Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris (versi yang banyak digunakan) memiliki struktur dan tata bahasa yang berbeda. Hal ini menyebabkan penggunaan versi aslinya kurang disukai dalam mengadaptasi jargon asing ke dalam Bahasa Indonesia.

Cara kedua adalah dengan mencarikan padanan kata jargon di dalam Bahasa Indonesia. Misalnya financial statements menjadi laporan keuangan, download menjadi unduh, dan sebagainya. Cara ini merupakan cara yang ideal. Sayangnya tidak banyak padanan yang bisa kita temukan dengan cara seperti ini.

Kelemahan cara pertama dan kedua membawa kita ke cara ketiga yaitu menyerap kata. Ini merupakan cara yang termudah mengingat bahan dasarnya (i.e. kata yang hendak diserap) sudah tersedia untuk diadaptasi. Kita tinggal menentukan asas yang akan kita gunakan dalam menyerap jargon tersebut.

Ada 2 asas yang bisa kita pilih dalam menyerap kata, yaitu asas bunyi dan asas eja. Asas bunyi menggunakan pengucapan suatu kata asing sebagai dasar penyerapannya ke dalam Bahasa Indonesia. Asas ini cukup populer dalam dunia akuntansi. Misalnya kata 'manajemen' yang diambil dari Bahasa Inggris, 'management'. Huruf 'j' dalam kata 'manajemen' muncul karena huruf 'g' dalam kata' management' tidak diucapkan sebagai 'g' melainkan 'j'.

Sementara itu, asas eja menggunakan bentuk tulis kata asing itu sendiri sebagai dasar menyerap kata ditambah dengan panduan

Pedoman Umum Pembentukan Istilah atau PUPI (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1988). Kata 'management' akan diserap menjadi 'managemen'. Huruf 't' dalam kata 'management' dihilangkan sesuai pedoman PUPI yaitu gugus konsonan akhir -nt berubah menjadi -n ketika diserap ke dalam Bahasa Indonesia.

Kedua asas ini timbul karena ada perbedaan antara tulisan suatu kata asing dan pengucapannya (pronounciation). Asas bunyi mendasarkan penyerapan suatu kata pada pengucapannya dalam bahasa asli. Sementara asas eja mendasarkan penyerapan suatu kata pada tulisannya dalam bahasa asli. Tabel di halaman berikutnya menunjukkan beberapa contoh perbedaan tulisan dan pengucapan beberapa kata Bahasa Inggris.

Lalu, asas apa yang sebaiknya kita gunakan? Banyak orang mungkin menyukai menggunakan asas bunyi karena telah terbiasa dengan bentuk serapan kata-kata tertentu. Namun demikin, dalam jangka panjang, asas eja lebih menguntungkan Lalu, asas apa yang sebaiknya kita gunakan? Banyak orang mungkin menyukai menggunakan asas bunyi karena telah terbiasa dengan bentuk serapan kata-kata tertentu. Namun demikin, dalam jangka panjang, asas eja lebih menguntungkan

Accrual

ɘ 'krü ɘl

Accumulation ɘ ˌkyü m(y)ɘ 'lā shɘn Discretionary

dis 'kre shɘ ˌner ē

Management

'ma nij mɘnt

Merger

mɘr jɘr

Myopia

mī 'ō pē ɘ

Proposition

ˌprä pɘ 'zi shɘn

Relevance

're lɘ vɘn(t)s

Sumber: Merriam-Webster's Collegiate Dictionary, Eleventh Edition

Jaminan ini muncul karena (i) setiap orang memiliki landasan penyerapan yang sama dan (ii) setiap orang memiliki panduan yang sama ketika menyerap kata asing yaitu PUPI. Landasan penyerapan dalam asas eja adalah bentuk tulisan dari suatu kata asing dan bentuk tulisan ini akan selalu sama di tiap kamus yang Jaminan ini muncul karena (i) setiap orang memiliki landasan penyerapan yang sama dan (ii) setiap orang memiliki panduan yang sama ketika menyerap kata asing yaitu PUPI. Landasan penyerapan dalam asas eja adalah bentuk tulisan dari suatu kata asing dan bentuk tulisan ini akan selalu sama di tiap kamus yang

di muka

dan konsonan menjadi

skandium skotopia

di muka dan menjadi senografi sifistoma

di muka vokal menjadi

skema skizofrenia

Sumber: PUPI

Kesamaan hasil bagi siapa saja yang menyerap tersebut tidak berlaku bila kita menggunakan asas bunyi. Pertama, asas bunyi Kesamaan hasil bagi siapa saja yang menyerap tersebut tidak berlaku bila kita menggunakan asas bunyi. Pertama, asas bunyi

Contoh mandiri: Coba anda serap kata proposition dan discretionary accrual menggunakan asas eja dan asas bunyi. Khusus untuk asas bunyi, coba bayangkan juga semua kemungkinan yang ada.

Manusia pada dasarnya senang pada hal-hal yang memiliki struktur dan pola yang serupa. Coba ingat-ingat ketika Facebook Manusia pada dasarnya senang pada hal-hal yang memiliki struktur dan pola yang serupa. Coba ingat-ingat ketika Facebook

Hal yang sama terjadi ketika Anda harus belajar sesuatu dan Anda menggunakan lebih dari 1 literatur berbahasa Indonesia dengan elemen bahasa yang berbeda-beda (e.g. serapan, istilah).

Anda akan jengah meskipun Anda mungkin tidak menyadarinya. 1 Hal ini terjadi karena otak Anda dipaksa untuk menyesuaikan

atas hal-hal yang sifatnya dasar setiap kali Anda berganti literatur.

Perasaan jengah ini lebih kentara bila Anda baru saja membaca literatur berbahasa Indonesia (e.g. penelitian akuntansi) setelah sebelumnya terbiasa membaca literatur berbahasa Inggris (e.g. buku teks). Satu penyebabnya adalah kemapanan struktur dan pola Bahasa Inggris dalam bidang akuntansi yang belum dimiliki Bahasa Indonesia. Misalnya literatur akuntansi berbahasa Inggris Perasaan jengah ini lebih kentara bila Anda baru saja membaca literatur berbahasa Indonesia (e.g. penelitian akuntansi) setelah sebelumnya terbiasa membaca literatur berbahasa Inggris (e.g. buku teks). Satu penyebabnya adalah kemapanan struktur dan pola Bahasa Inggris dalam bidang akuntansi yang belum dimiliki Bahasa Indonesia. Misalnya literatur akuntansi berbahasa Inggris

Coba bayangkan Anda membaca 2 paper akuntansi dan menemukan 10 istilah yang diserap secara berbeda. Bayangkan berapa banyak kemungkinan hasil serapan yang muncul. Bayangkan juga ketidakkonsistenan cara yang digunakan dalam menyerap kata. Lalu bagaimana kita bisa (secara bawah sadar) menemukan pola dan strukturnya?

Berhubung waktu hanya ada 24 jam sehari maka waktu yang kita gunakan untuk memahami landasan suatu tulisan (i.e. bahasa dengan struktur dan polanya) akan memakan waktu yang bisa kita gunakan untuk memahami substansi tulisan. Ini baru berbicara tentang serapan itu sendiri (per se), belum lagi kalau membicarakan ketidaktepatan penempatan suatu istilah dalam kalimat, seperti kekeliruan penempatan adjektif Bahasa Inggris ke dalam tulisan berbahasa Indonesia. Lebih banyak lagi waktu yang dibuang untuk tidak bisa nyaman dalam membaca sesuatu.

Kalau memang standarisasi penyerapan itu begitu penting, lantas mengapa tidak banyak yang mendukung? Yah, selamanya yang namanya hal baru itu akan sulit diterima karena kebanyakan orang senang dengan apa yang telah menjadi kebiasaan. Namun, seperti halnya penolakan di awal terhadap tampilan baru Facebook atau Office 2007 tadi, Anda perlu sedikit membiasakan diri pada hal baru tersebut agar dapat lebih adil (fair) dalam membandingkan mana yang lebih baik. Saran saya, bila Anda masih skeptis, biasakan diri Anda membaca hanya literatur akuntansi berbahasa Inggris dan kemudian coba baca literatur berbahasa Indonesia. Anda akan merasakan bedanya.

(Arie Rahayu)

Dokumen yang terkait

KECENDERUNGAN ISI PESAN DALAM PROGRAM FEATURE DI RADIO (Analisis isi Program Siaran Napak Tilas di Radio Mayangkara FM Blitar, Edisi 01 Maret – 04 April 2007)

0 25 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

REPRESENTASI KECANTIKAN PADA FOTO FASHION (Analisis Semiotika Visual pada Foto Fashion Karya “Nicoline Patricia Malina” di Media Online 21 April 2014 )

2 31 20

Efek Pemberian Ekstrak Daun Pepaya Muda (Carica papaya) Terhadap Jumlah Sel Makrofag Pada Gingiva Tikus Wistar Yang Diinduksi Porphyromonas gingivalis

10 64 5

Pengaruh Komitmen organisasi motivasi dan tindakan supervisi terhadap kepuasan kerja Auditor Junior Kantor Akuntan Publik

0 28 92

Prevalensi Penderita Herpes Simpleks di RSUD Tangerang Periode 1 Januari 2010 – 31 Desember 2011. Tahun 2012.

1 38 47

Pengaruh Etika Profesi dan Pengalaman Auditor Terhadap Audit Judgment (Penelitian pada Kantor Akuntan Publik di Wilayah Bandung yang Terdaftar di BPK RI)

24 152 62

Pengaruh Pengalaman Auditor dan Profesionalisme Auditor terhadap Kualitas Audit (Studi Pada Kantor Akuntan Publik di Bandung)

4 53 32

Pemilihan Sampling Audit Dan Implementasi Audit Berbasis Risiko Terhadap Kualitas Audit (Studi Kasus Pada Kantor Akuntan Publik di Bandung)

6 35 80

Peranan Komunikasi Antar Pribadi Antara Pengajar Muda dan Peserta Didik Dalam Meningkatkan Motivasi Belajar ( Studi pada Program Lampung Mengajar di SDN 01 Pulau Legundi Kabupaten Pesawaran )

3 53 80