PENERAPAN TEKNOLOGI OTOMATISASI PEMANFAATAN AIR DALAM PENINGKATAN KAPASITAS AGRIBISNIS PEMBIBITAN TANAMAN SAYURAN DI WILAYAH PESISIR ADIPALA, CILACAP, JAWA TENGAH

  

“Bidang 8 : (Pengabdian Kepada Masyarakat)”

PENERAPAN TEKNOLOGI OTOMATISASI PEMANFAATAN AIR

DALAM PENINGKATAN KAPASITAS AGRIBISNIS PEMBIBITAN

  

TANAMAN SAYURAN DI WILAYAH PESISIR ADIPALA, CILACAP,

JAWA TENGAH

Oleh

  1) 1) 2) Saparso , Arif Sudarmaji dan Y. Ramadhani 1) : Dosen Faperta UNSOED 2) : Dosen Fakultas Teknik UNSOED

e-mail

ABSTRAK

  UMKM Hortikultura di Desa Karanganyar, Kecamatan Adipala, Kabuapaten Cilacap, Jawa Tengah terus berkembang sejak tahun 2002 sehingga melahirkan UMKM Pembibitan Tanaman Sayuran sebagai salah satu sektor agribisnis hortikultura. Luas lahan hortikultura makin berkembang dan persaingan dengan industri rumah tangga menyebabkan terbatasnya ketersediaan dan mahalnya tenaga kerja. Keterbatasan kapasitas masyarakat mengelola hortikultura perlu diberikan alternatif teknologi yang efisien tenaga kerja dan sumberdaya pertanian terutama air melalui penerapan teknologi otomatisasi. Otomatisasi pengairan dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman hortikultura dan keuntungan masyarakat namun masih perlu peningkatan pengetahuan, keterampilan dan motivasi dalam penerapan otomatisasi. Kegiatan alih teknologi dan demosntrasi plot serta inkubasi teknologi diharapkan dapat meningkatkan kapasitas UMKM dalam menerapkan teknologi otomatisasi. UMKM telah menyadari pentingnya bibit bermutu yang sehat untuk memproduksi komoditas hortikultura. UMKM hortikultura di desa Karanganyar Kecamatan Adipala Kabupaten Cilacap telah menyadari pentingnya bibit yang sehat meskipun diproduksi dengan teknik pengairan konvensional (gembor) tanpa memperhatikan efisiensi tenaga kerja dan pemanfaatan air. Alih teknologi dan demontrasi plot meningkatkan motivasi penerapan otomatisasi pengairan dalam pembibitan hortikultura sebagai dampak dari meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mengelola otomatisasi. Otomatisasi selain efisien tenaga kerja dan air juga meningkatkan keuntungan UMKM.

  Kata kunci : otomatisasi, agribisnis pembibitan, motivasi, pengetahuan

PENDAHULUAN

  Desa Karanganyar merupakan salah satu desa dari 16 desa yang termasuk wilayah pesisir kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap. Desa Karanganyar merupakan desa di tepi muara sungai Tipar dan terpengaruh langsung oleh iklim pesisir lautan Indonesia dengan luas lahan 244,790 ha. Desa ini terletak 0-8 m di atas permukaan laut dengan jenis tanah Regosol Kelabu dan Gromosol. o Suhu udara 23-32

  C. Lahan sawah seluas 141,4 ha merupakan lahan tadah hujan dan hanya dimanfaatkan untuk produksi hortikultura pada musim kemarau. Lahan pekarangan seluas 78,17 ha dan lahan tegalan 9,41 ha belum dimanfaatkan secara optimal. Penduduk desa Karanganyar berjumlah 3350 jiwa yang terdiri atas 1704 laki-laki dan 946 perempuan. Produktivitas lahan belum optimal akibat masih rendahnya pengetahuan dan keterampilan teknologi budidaya tanaman yang efisien. Desa Karanganyar memiliki 4 kelompok tani yaitu Karya Tani, Rukun Tani, Sumber Rejeki dan Rejeki Lancar yang beranggotakan UMKM agribisnis tanaman sayuran. Desa Karanganyar juga berkembang industri pembuatan bata merah yang menyerap banyak tenaga kerja (Supriyono, 2014; Balai Penyuluhan Kecamatan Adipala, 2009).

  UMKM Agribisnis Hortikultura Agro Lestari merupakan usaha perseorangan yang telah dirintis sejak tahun 2002. UMKM Agro Lestari mengusahakan tanaman hortikultura prospektif antara lain cabai merah, cabai rawit, mentimun, paria dan tomat. UMKM ini merupakan bagian kelompok tani Rejeki Lancar yang beranggotakan 56 orang petani. Pada awal memulai usaha belum ada anggota kelompok yang berani menanam hortikultura, anggota yang lain hanya menanam tanaman padi sehingga masih tersedia tenaga kerja yang memadai untuk agribisnis hortikultura mitra. Lima tahun terakhir, setelah anggota yang lain tertarik pada usaha agribisnis hortikultura Agro Lestari juga menyediakan dan menerima pesanan bibit hortikultura. UMKM Agro Lestari selain aktif sebagai pengurus kelompok tani, oleh UMKM yang lain dijadikan pusat informasi teknologi (inkubasi teknologi) dari penyuluh serta formulator pestisida dan penangkar bibit nasional seperti PT Panah Merah, PT Claus, Du Pont dan Sigentha,

  Lahan pesisir pantai selatan Jawa pada dasarnya memiliki curah hujan yang cukup bagi -1 pertumbuhan tanaman hortikultura yaitu 2061,9 mm.tahun (Saparso, 2008) bahkan di Cilacap

  • -1
  • -1 mencapai 3512 mm.tahun . Namun demikian jumlah hari hujan hanya 7 hari.bulan dengan -1 intensitas curah hujan rata-rata 47,3 mm.hari dan hujan lebih sering terjadi pada malam hari. Di sisi -2. -1 lain pada siang hari sinar matahari bersinar cerah (109.960 lux =2.199,2 µmol.m detik ), sehingga kebutuhan air tanaman meningkat. Tanaman bawang merah di lahan pasir pantai sering mengalami gagal panen akibat ngoser yaitu mati mendadak dan serempak dan biasanya tidak dapat tertolong lagi akibat perubahan cuaca yang mendadak terutama pada masa pancaroba yaitu bulan Pebruari, Mei dan Agustus. o o

  Pada bulan tersebut suhu udara (39

  C) dan suhu tanah sangat tinggi (44

  C) serta kelembaban udara rendah, 36% (Saparso, 2008) sehingga penyiraman mendominasi biaya produksi tanaman hortikultura di lahan pasir pantai (Kertonegoro, 2003). Selain itu tanah pasir pantai memiliki perkolasi yang sangat tinggi yaitu 209

  • -1 mm.hari dan daya pegang air yang rendah sehingga petani harus menyiram tanaman sangat intensif, 3 kali

  

sehari. Hal ini sangat membatasi kemampuan seorang petani mengelola lahan yang lebih luas. Kegiatan

  sosial kemasyarakatan, sering menyebabkan petani tidak memiliki kesempatan yang cukup untuk menyiram tanaman yang dapat menyebabkan gagal panen. Oleh karena itu perlu dicari teknologi efisiensi pemanfaatan sumberdaya baik air, energi dan tenaga manusia melalui penerapan teknologi irigasi otomat yang sinergi dengan kemampuan masyarakat melalui sistem produksi berbasis sumberdaya lokal (Lemlit UGM, 2006). Penelitian Saparso dan Sudarmaji (2012) telah berhasil mendapatkan sensor kadar air terbaik yaitu Multi Plate Probe dengan arus DC. Alat telah berhasil dihubungkan dengan mikrokontroler sebagai catu daya dan dapat ditampilkan dalam software melalui laptop. Penelitian Saparso, Rostaman dan Ramadhani (2014) telah mendapatkan Paten Sederhana Sensor Multy Plate Kadar Air Tanah di Lahan Kering oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Kemenkumham No. S00201300297 yang dipadukan dengan mikrokontroler AUTOWAT BYS14 dapat digunakan sebagai perangkat otomatisasi pengairan yang berpengaruh baik terhadap pertumbuhan tanaman bawang merah di lahan pasir pantai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem otomatisasi (Sensor meningkatkan hasil umbi segar 38,3 % terhadap metode konvensional dan meningkatkan 30,2% terhadap metode manual sprinkler. Metode sprinkler manual meningkatkan hasil 6% daripada cara konvensional. Mulsa jerami meningkatkan hasil umbi segar 13,47% yaitu 16,42 t/ha. Mulsa Plarik hitam Perak (MPHP) menurunkan hasil umbi segar 26,67% daripada tanpa mulsa.

  UMKM Agro Lestari dalam mengembangkan usaha agribisnis hortikultura baik sebagai penangkar bibit dan maupun produsen hortikultura perlu didukung oleh tersedianya tenaga yang cukup terutama untuk pemeliharaan rutin pertanaman. Keterbatasan tenaga kerja menyebabkan UMKM ini tidak dapat mengembangkan kapasitas usahanya, Memanfaatkan tenaga keluarga hanya dapat mengelola 0,25 ha agribisnis sayuran akibat kebutuhan air yang intensif bagi pertumbuhan tanaman. Tenaga kerja luar keluarga sulit diharapkan dukungannya dan makin tingginya biaya tenaga kerja menyebabkan UMKM tidak efisien. Penerapan teknologi otomatisasi pemberian air diharapkan dapat meningkatkan kapasitas usaha Agro Lestari. Sasaran kegiatan adalah 1). Meningkatkan pengetahuan dan motivasi penerapan teknologi otomatisasi pengairan dalam pembibitan tanaman sayuran prospektif. 2). Meningkatkan keterampilan penerapan teknologi otomatisasi pengairan dalam pembibitan tanaman sayuran prospektif

  METODE PELAKSANAAN KEGIATAN

  Pembangunan menuju bangsa yang maju, mandiri, sejahtera dan berkeadilan bukan merupakan sebuah proses yang mudah dilalui (Sumodiningrat, 1999). Bangsa yang maju adalah bangsa yang telah memiliki budaya inovasi teknologi. Sumbangan ekonomi terbesar bukan datang dari tenaga kerja dan modal, tetapi dari perubahan teknologi (Juoro, 2010) sebagai upaya pemberdayaan masyarakat. Keterbatasan kemampuan memanfaatkan sumberdaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kelompok berawal dari ketidak mampuan/ ketidakberdayaan akibat lemahnya penguasaan teknologi, motivasi dan terbatasnya akses terhadap modal, sosial, pasar dan sarana produksi. Menurut Suharto (2009), pemberdayaan menekankan kepada masyarakat untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan dan kekuasaan untuk mempengaruhi, menguasai kehidupannya. Pemberdayaan merupakan proses alamiah, tidak instan yang meliputi tahapan penyadaran pencerahan (cognitif, belief, healing), pengkapasitasan (kecakapan, sistem nilai, teknologi) melalui training, lokakarya, seminar, simulasi (Wrihatnolo dan Dwidjowijoto, 2007). Kegiatan peningkatan kapasitas agribisnis hortikultura dilaksanakan melalui metode pelatihan, percontohan, demonstrasi, pendampingan dan inkubasi teknologi.

  Keberhasilan program kegiatan penerapan penerapan teknologi otomatisasi pengairan dilakukan dengan tiga tahap :

  1. Evaluasi adopsi alih teknologi dilakukan dengan cara penilaian pre-test dan post-test, untuk mengetahui tingkat pemahaman peserta terhadap materi yang telah disampaikan. Program dianggap berhasil diadopsi oleh peserta jika nilai post-test menunjukkan nilai 80 persen peserta mencapai nilai diatas 80.

  2. Evaluasi demonstrasi, dengan menilai keikutsertaan peserta dalam praktik kegiatan yang dilakukan. Program dianggap berhasil jika minimal 80 persen peserta terlibat dalam dan mampu mengadopsi teknologi inovasi yang diberikan 3.

Evaluasi dampak kegiatan dilakukan dengan melihat banyaknya peserta yang telah mempraktikkan teknologi inovasi yang diberikan dan dampaknya terhadap kehidupan

  ekonomi mereka.

  Gambar 1. Tahapan Kegiatan Peningkatan Kapasitas Agribisnis Pembibitan Tanaman Sayuran UMKM Agro Lestari, Desa Karanganyar, Kecamatan Adipala, KabupatenCilacap

  Kegiatan peningkatan kapasitas agribisnis hortikultura UMKM Agro Lestari dilaksanakan selama 3 tahun. Kegiatan ini akan dilaksanakan selama 6 bulan tiap tahun selama 3 tahun di wilayah pesisir yang berjarak 40 km dari kampus UNSOED. Kegiatan tahun ke-1 difokuskan pada penerapan teknologi otomatisasi pengairan pada pembibitan tanaman sayuran komersial. Kegiatan tahun ke-2 ditujukan untuk penerapan teknologi otomatisasi sistem pengairan pada tanaman sayuran prospektif on-farm. Kegiatan tahun ke-3 ditujukan untuk penerapan teknologi sel surya dalam sistem otomatisasi irigasi tanaman sayuran prospektif di wilayah pesisir Adipala Cilacap. Pelatihan, demonstrasi plot dan pendampingan intensif dilaksanakan pada kegiatan tiap tahun untuk meningkatkan motivasi, pengetahuan dan keterampilan pengelolaan agribisnis berbasis otomatisasi dan sumberdaya lokal lahan pesisir. Kegiatan akan membentuk inkubasi teknologi bagi UMKM atau anggota kelompok lain di wilayah pesisir. Pada akhir kegiatan UMKM memiliki pengetahuan dan keterampilan memanfaatkan sumberdaya lokal mempergunakan sel surya sebagai energi otomatisasi dan sistem pengairan (Gambar 1).

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Profil UMKM Agribisnis Hortikultura di Desa Karanganyar, Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap

  UMKM Agribisnis Hortikultura di Desa Karanganyar terhimpun dalam Gapoktan Sumber Rejeki yang terdiri atas 4 kelompok tani yaitu yaitu Karya Tani, Rukun Tani, Sumber Rejeki dan Rejeki Lancar. Tanaman hortikultura yang diusahan UMKM meliputi cabai, terong, semangka, kacang panjang, cesim, paria dan timun. Distribusi petani penanam hortikultura tertinggi adalah kacang panjang (35,9%) dan cabai 30,8%. Tanaman terong menempati urutan ke-3 dengan persentase petani mencapai 17,9 persen. Tanaman semangka dan cesim memiliki peminat yang sama yaitu 5,1%.

  Tanaman paria dan mentimun hanya diminati oleh 2,6% penduduk (Tabel 1.). Tanaman cabai, terong dan kacang panjang meruapakan tanaman dengan modal awak relatif rendah dan dapat dipertahankan pertanaman tergantung harga pasar sehingga panen dapat diatur bahkan sampai 20 kali panen. Tanaman cabai dapat dipanen secara lumintu 4-5 hari sekali sebagai pendapatan mingguan. Tanaman terong tergolong tanaman yang tahan penyakit dan kekeringan sehingga biaya pemeliharaan relatif mudah dan murah (Rustomo, dkk., 2011). Tabel 1. Distribusi UMKM Agribisnis Berdasarkan KomoditasTanaman Hortikultura

  No. Komoditas Persen UMKM

  1. Kacang Panjang 35,9

  2. Cabai 30,8

  3. Terong 17,9

  4. Semangka 5,1

  5. Cesim 5,1

  6. Paria 2,6

  7. Mentimun 2,6

Cabai merah merupakan komoditas yang sangat berpengaruh terhadap inflasi dan harga komoditas cabai dapat mencapai Rp 100.000 pada saat hari besar seperti hari raya i’dul fitri, tahun

  baru dan musim hajatan sehingga memberikan harapan bagi UMKM. Tanaman terong dan tanaman mentimun memiliki masa panen yang terbatas dan harga komoditas ini tidak pernah fantastis dan relatif stabil pada harga yang rendah meskipun harga produksinya juga relatif rendah.

  Peserta alih teknologi sangat beragam dari berbagai kelompok tani dengan latar belakang yang berbeda. Anggota kelompok tani yang terlibat 72,7 persen dan pengurus kelompok tani 27,3 persen. Hal ini menunjukkan adanya kekompakan kelompok tani untuk bersama-sama mengelolan agribisnis hortikultura. UMKM yang dapat membuat bibit sendiri hanya 4,6 persen. Pada umumnya UMKM mendapatkan bibit hortikultura dari penjual bibit 63,6 persen sedangkan UMKM yang membeli bibit dari toko saprodi mencapai 4,6 persen. Membuat bibit merupakan kegaiatan yang perlu keterampilan dan ketersediaan alat seperti tray dan rumah jaring. Hasil pretes dan post test menunjukkan bahwa UMKM telah menydari pentingnya bibit yang sehat dan diproduksi dalam screen house seperti pada gambar 1 dan 2. Kegaiatan alih teknologi telah menggeser sikap UMKM dari tidak tahu peran benih sehat menjadi tahu dan setuju serta mengeser dari UMKM setuju menajdi sangat setuju. Setelah postes tidak satupun UMKM yang tidak mengetahui peran bibit sehat sebagai bibit yang baik. Pengetahuan UMKM tentang peranan scren house dalam produksi bibit yang sehat telah dimiliki sebagian besar UMKM namun dengan alih teknologi UKKm yang tidak tahu dan agak setuju menurun. UMKM yang setuju dan sangat setuju meningkat setelah mengikuti alih teknologi.

  Gambar 2. Sikap UMKM Terhadap Bibit Yang Sehat Meruapakan Bibit Yang Baik Gambar 3. Sikap UMKM Terhadap Bibit Yang Sehat Diproduksi Dalam Screen House 2.

Teknologi Konvensional Pembibitan Hortikultura

  Teknologi pembibitan secara konvensional telah dilaksanakan oleh penangkar bibit di Desa Karanganyar. Alih teknologi dapat merubah sikap UMKM yang pada awalnya agak setuju tentang pemberian air yang tidak banyak dalam pembibitan menjadi setuju dan sangat setuju (Gambar 4).

  UMKM pada umumnya memberikan air berlebihan yang dapat menurunkan ketersediaan hara akibat pelindian. Pemanfaatan sumberdaya lokal seperti tanah pasir, kokopit, abu sekam dan pupuk kandang sebagai media pembibitan telah diyakini dapat mendukung pertumbuhan bibit yang sehat (Gambar 5).

  Gambar 4. Sikap UMKM Terhadap Bibit Yang Sehat Tidak Memerlukan Banyak Air Gambar 5. Sikap UMKM Terhadap Penggunaan Media Bibit

  UMKM hortikultura di desa Karanganyar tidak pernah memperhatikan kebutuhan air sebagai acuan dalam penyiraman. Alih teknologi dan demonstrasi plot meningkatkan pengetahuan dan kesadaran UMKM dalam memberikan air yang sesuai kebutuhan tanaman tidan berdasarkan pada perasaan kecukupannya (Gambar 6). FAO (1992 ) menyatakan bahwa kebutuhan air tanaman berbeda antar fase pertumbuhan tanaman. Teknik irigasi konvensional dengan gembor diyakini masyarakat dapat memberikan bibit yang sehat namun tidak efisien air. Hal ini disadari setelah UMKM mengikuti alih teknologi dan demonstrasi plot. Irigasi konvensional gembor diyakini sebagai teknik yang tidak efisien air oleh 36,1 persen UMKM. Hal ini masih harus dilakukan pendampingan dan demonstrasi plot untuk lebih menyakinkan bahwa teknik pengairan dengan gembor tidak efisien air. Gambar 6. Sikap UMKM Terhadap Penggunaan Media Bibit Gambar 7. Sikap UMKM Terhadap Efisiensi Air Pada Irigasi Gembor

  Gambar 8. Sikap UMKM Terhadap Peranan Irigasi Gembor Pada Bibit Sehat 3.

Peranan Otomatisasi Pengairan Dalam Agribisnis Hortikultura

  Otomatisasi pengairan merupakan hal baru bagi UMKM di desa Karanganyar. UMKM telah mengenal irigasi sprinkler namun tidak mengetahui penerapannya dengan otomatisasi yang mencapai 84,2 persen responden. Pelatihan dan demontrasi plot serta inkubasi teknologi meningkatkan pengetahuan aplikasi otomatisasi dalam irigasi sprinkler dan tetes.UMKM yang setuju dan sangat setuju meningkat dari 10,5 persen dan 5,3 persen menjadi 57,9 persen dan 26,3 persen. UMKM yang tidak setuju dan agak setuju mengalami penurunan dari 84,2 persen dan 21,1 persen menjadi 5,3 persen dan 10,5 persen (Gambar 9).

  Gambar 9. Sikap UMKM Terhadap Pemanfaatan Otomatisasi Melalui Sprinkler Dan Tetes

  Gambar 10. Sikap UMKM Terhadap Efisiensi Air dan Tenaga Kerja Dalam Otomatisasi Otomatisasi pengairan bertujuan untuk meningkatkan efisiensi tenaga kerja dan pengairan. Hal ini belum diketahui 57,9 persen UMKM namun 26,3 persen dan 15,8 persen sangat setuju manfaat otomatisasi pengairan. Pengurus kelompok tani 27,3 persen UMKM peserta alih teknologi merupakan petani maju yang pada umumnya berperan sebagai inovator dan fasilitator kelompok sehingga memiliki pengetahuan dan motivasi tinggi terhadap inovasi teknologi. Hanya sebagian kecil UMKM anggota kelompok yang memahami tujuan otomatisasi pengairan. Kegiatan alih teknologi dapat menurunkan UMKM tidak tahu dari 57,9 persen menjadi 10,5 persen dan meningkatkan persentase UMKM yang setuju dan sangat setuju akan manfaat otomatisasi dari 15,8 persen dan 26,3 persen menjadi 52,6 persen (Gambar 10).

  Gambar 11. Sikap UMKM Terhadap Penerapan Otomatisasi untuk Lahan Yang Luas UMKM memiliki persepsi bahwa otomatisasi hanya dapat diapakai secara terbatas dalam skala lahan sempit yaitu mencakup 68,4 persen peserta alih teknologi. Alih teknologi menyakinkan bahwa otomatisasi pengairan dapat diterapkan dalam agribisnis hortikultura pada lahan yang luas UMKM yang setuju dan sangat setuju meningkat dari 15,8 persen dan 21,1 persen menjadi 57,9 persen dan 36,8 persen. UMKM yang agak setuju atau ragu-ragu terhadap penerapan otomatisasi hanya 5,3 persen (Gambar 11). Hal ini menunjukkan bahwa UMKM hortikultura di desa Karanganyar sangat respon terhadap informasi inovasi teknologi dan harus ada pembinaan berkelanjutan untuk meningkatkan kapasitas agribisnis dan pendapatan masyarakat UMKM.

  UMKM peserta alih teknologi sebagian besar yaitu 78,9 persen dan 21,1 persen tidak tahu dan agak setuju penerapan otomatisasi pada agribisnis tanaman cabai. Alih teknologi meningkatkan UMKM yang setuju dan sangat setuju dari 15,8 persen dan 10,5 persen menjadi 47,4 persen dan 15,8 persen (Gambar 12).

  Gambar 12. Sikap UMKM Terhadap Penerapan Otomtaisasi Pada Tanaman Cabai Gambar 13 menunjukkan bahwa UMKM sangat sedikit pengetahuan tentang otomatisasi sebelum dilaksanakan pelatihan alih teknologi. Hampir seluruh UMKM tidak tahu (85 persen) dan setuju (15 persen) akan penerapan otomatisasi dalam agribisnis pembibtan tanaman hortikultura. Alih teknologi menurunkan UMKM yang tidak tahu penerapan otomatisasi pada pembibitan menjadi 15,8 persen dari 85 persen. UMKM yang setuju dan sangat setuju meningkat menajadi 42,1 persen dan 31,6 persen. UMKM masih belum memahami penerapan otomatisasi pada sistem irigasi sprinkler maupun irigasi tetes lebih sesuai untuk jenis tanaman hortikultura. Inkubasi teknologi pembibitan berbasis otomatisasi dapat menjadi bahan kajian bagi masyarakat UMKM pada waktu yang akan datang sekaligus sebagai upaya pelatihan berkelanjutan.

  Gambar 13. Sikap UMKM Terhadap Pemanfatan Otomatisasi Untuk Pembibitan Gambar 14. Sikap UMKM Terhadap Kesiapan Menerapkan Otomatisasi

  Kesiapan UMKM menerapkan otomatisasi masih sangat rendah. UMKM yang tidak tahu dan agak setuju meliputi 59,1 persen dan 13,6 persen. UMKM yang setuju dan sangat setuju 22,7 persen dan 4,5 persen. Pelatihan alih teknologi merubah sikap UMKM yang ragu-ragu menerapkan otomatisasi menjadi tinggi yaitu 47,4 persen dari 13,6 persen. UMKM yang semula tidak tahu tidak memiliki sikap berubah menajdi ragu-ragu dan UMKM yang ragu-ragu berubah menjadi siap dan sangat siap. Penerapan teknologi memerlukan biaya awal yang tinggi sering menjadi pertimbangan utama UMKM dalam meningkatkan kapasitas agribisnisnya.

  Gambar 15. Sikap UMKM Terhadap Keuntungan Penerapan Otomatisasi UMKM yang pada awal pelatihan masih ragu (13 persen) dan tidak tahu (56,5 persen) berubah sikap dan yakin akan keuntungan yang diperoleh apabila menerapkan otomatisasi dalam agribisnis hortikultura. Seluruh UMKM setuju (52,6 persen) dan sangat setuju (47,4 persen) keuntungan apabila menerapkan otomatisasi dalam agribisnis hortikultura (Gambar 15) .

  KESIMPULAN 1.

  UMKM hortikultura di desa Karanganyar Kecamatan Adipala Kabupaten Cilacap telah menyadari pentingnya bibit yang sehat meskipun diproduksi dengan teknik pengairan konvensional (gembor) tanpa memperhatikan efisiensi tenaga kerja dan pemanfaatan air.

  2. Kegiatan alih teknologi dan demosntrasi plot serta inkubasi teknologi dapat meningkatkan kapasitas UMKM dalam menerapkan teknologi otomatisasi. UMKM telah menyadari pentingnya bibit bermutu yang sehat untuk memproduksi komoditas hortikultura.

  dalam pembibitan hortikultura sebagai dampak dari meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mengelola otomatisasi. Otomatisasi selain efisien tenaga kerja dan air juga meningkatkan keuntungan UMKM.

DAFTAR PUSTAKA

  Balai Penyuluhan Kecamatan Adipala. 2009. Profil dan Potensi Balai Penyuluhan Kecamatan

  Adipala, Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, Pemda

  Kabupaten Cilacap FAO, 1992. Crop Water Requirment, Penman-Montheith Combination Approach. FAO

  International Commision fot Irrigation and Drainage Paper, World Meterorological Organization, Rome. Juoro, U. 2010. Inovasi dan Pertumbuhan Ekonomi: Tantangan bagi Indonesia dalam Ekonomi Inovasi , Lembaga Pengembangan Inovasi dan Kewirausahaan (LPIK) ITB, Bandung.

  Kertonegoro, B.J. 2003. Pengembangan Budidaya Tanaman Sayuran dan Hortikultura pada Lahan Pasir Pantai: Sebuah Model Spesifik dari Daerah Istimewa Yogyakarta. Agr-UMY. XI(2): 67-75.

  Lemlit UGM. 2006. Ketahanan Pangan. Html.http:/lemlit.ugm.ac.id/agro. Diakses 29 Mei 2006. Saparso. 2008. Ekofisiologi Tanaman Kubis Bawah Naungan dan Pemberian Bahan Pembenah Tanah di Lahan Pasir Panatai. Disertasi-S3 Sekolah Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta. 277 hal.

  Saparso dan A. Sudarmadji. 2012. Teknologi Efisiensi Pemanfaatan Air Otomat Berbasis Sensor Variabel Kapasitansi dalam Sistem Produksi Bawang Merah Organik di Lahan Pasir Pantai .

  Laporan Penelitian Tahun ke-1 Hibah Kompetensi, DIPA-DIKTI 2012. Saparso, Rostaman dan Y. Ramadhani. 2014. Simulasi Teknologi Otomatisasi dan Alih Teknologi Pemanfatan Air Pada system Produksi Bawang Merah Organik di Lahan Pasir Pantai .

  Laporan Peneltian Hibah Kompetensi, Ditjen Diktim Kemendiknas RI. Suharto, E. 2009. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. PT Refika Aditama, Bandung. Sumodiningrat, G. 1999. Pemberdayaan Masysrakat dan Jaring Pengaman Sosial. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

  Supriyono. 2014. Programa Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Desa Karanganyar,

  Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap Tahun 2014. Balai Penyuluhan Kecamatan Adipala, Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan, BP2KP Kabupaten Cilacap.

  Rustomo, B., E. Yuwono, P. Sukardi, Saparso, M. Bata, H. Winarto dan Saparso. 2011.

  Pemberdayaan Wilayah Pesisir Ketawang, Kabupaten Purworejo Melalaui Penerapan Pertanian Terpadu . Laporan Kegaiatan Pemberdayaan Masyarakat CSR Antam dan

  Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Wrihatnolo, R. R. dan R. N. Dwidjowijoto. 2007. Manajemen Pemberdayaan, sebuah Pengantar

  dan Panduan Untuk Pemberdayaan Masyarakat . PT Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia, Jakarta.