BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Karakteristik Sarang dan Keberhasilan Berbiak Kuntul Besar (Egretta alba) dan Cangak Abu (Ardea Cinerea) Di Areal Breeding Site Desa Tanjung Rejo

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

  2.1 Klasifikasi Kuntul Besar dan Cangak Abu Klasifikasi burung Kuntul Besar dan Cangak Abu.

  Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Aves Ordo : Ciconiiformes Famili : Ardeidae Genus : Egretta Spesies : Egretta alba Genus : Ardea Spesies : Ardea Cinerea

  2.2 Karakteristik Burung Air Ordo Ciconiiformes termasuk didalamnya spesies A. cinerea, E. alba, E.

  , Mycteria cinera, dan beberapa jenis lain memiliki ukuran tubuh yang

  garzetta

  relative besar, kaki yang panjang, paruh yang panjang, dan dengan kepakan sayap yang lambat. Menurut Rukmi (2002), sebagian besar burung pada ordo Ciconiiformes terlihat sangat berbeda dibandingkan burung lain yang hidup di air atau dekat air karena kakinya yang panjang. Ciconiiformes tidak dapat menggunakan kakinya untuk berlari dengan cepat, gaya berjalannya cenderung lambat tetapi teratur. Selain memiliki kaki dan leher yang panjang, untuk keberlangsungan hidupnya bergantung dari memakan hewan lain.

  Genus Egretta dan Ardea merupakan subfamili yang aktif pada siang hari (day heron). Secara umum, yang memiliki ukuran medium dikategorikan dalam genus Egretta, dan ukuran yang lebih besar dikategorikan dalam genus Ardea (Rukmi, 2002).

  2.2.1 Morfologi Kuntul Besar

  Kuntul Besar (E. alba) berukuran besar (88 cm). Jauh lebih besar dari kuntul putih lainnya dengan paruh yang lebih berat dan leher bengkok yang merupakan ciri khasnya. Pada masa berbiak, kulit muka yang tidak berbulu berwarna biru atau hijau, paruh hitam , bagian paha yang tidak berbulu merah dan ujung kaki hitam. Sedangkan di luar musim berbiak, muka yang tidak berbulu berwarna kekuning-kuningan, paruh kuning dengan ujung berwarna gelap, kaki dan betis hitam (Gambar. 1) (Mackinnon, 1995).

  Gambar 1. Morfologi Kuntul Besar

  2.2.2 Morfologi Cangak Abu

  Cangak Abu (A. cinerea) memiliki ukuran sekitar 100 cm, berwarna putih abu-abu dan hitam. Cangak Abu dewasa memiliki jambul dan garis mata hitam, bulu terbang hitam, lekukan sayap dan dua garis pada dada hitam. burung muda lebih abu-abu pada bagian kepala dan leher serta tidak memiliki bercak-bercak hitam. Mata kuning, paruh kuning kehijauan, kaki kehitam-hitaman (Gambar. 2) (Mackinnon,1995).

2.3 Habitat dan Sarang Burung Air

  Hutan mangrove sebagai hutan yang tumbuh pada tanah alluvial di daerah pantai dan sekitar muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut serta ciri dari hutan ini terdiri dari tegakan pohon Avicennia, Sonneratia, Aegiceras,

  

Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus,

Scyphyphora dan Nypa (Soerianegara, 1987 dalam Rukmi, 2002).

  Mangrove merupakan habitat bagi berbagai jenis satwa seperti primata, reptilia, dan burung. Jenis burung yang hidup di daerah mangrove tidak selalu sama dengan jenis jenis yang hidup di daerah hutan sekitarnya, karena sifat khas hutan mangrove (Elfidasari & Junardi, 2005).

  Aktifitas burung air akan selalu berkaitan erat dengan kawasan basah agar dapat menunjang kelangsungan hidupannya. Apabila terjadi kerusakan habitat aslinya, maka burung air akan mencari lahan basah yang baru untuk tempat hidupnya. Menurut Alikodra (2002

  ) dan Masy’ud (1989) dalam Jumilawaty et al (2011), burung air memerlukan habitat untuk mencari makan, minum, berlindung, bermain dan tempat untuk berkembang biak. Apabila keadaan habitat sudah tidak sesuai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, maka reaksi yang muncul adalah satwa tersebut akan berpindah mencari tempat lain yang menyediakan kebutuhannya.

  Pada burung, pemilihan habitat untuk berbiak merupakan keputusan yang lebih sulit dibandingkan seleksi untuk memilih habitat lain, sebab jika burung telah meletakkan telur-telurnya, maka lokasi berbiak tersebut merupakan keputusan untuk bertahan lama di lokasi tersebut selama masa inkubasi dan setidaknya tahapan awal untuk membesarkan anaknya. Pada burung tipe altrisial, pemilihan lokasi berbiak akan bertahan sampai anakan dapat terbang, dan bahkan pada burung tipe semiprekoksial seperti black skimmers teritori tersebut tetap digunakan kembali setelah anakan dapat terbang (Burger & Gochfeld, 1990).

  Sarang merupakan tempat bagi burung untuk meletakkan serta menjaga telur dan anakan hingga mereka dewasa dan dapat berdiri sendiri (Jumilawaty, 2002). Aspek ekologi burung seperti kepadatan sarang, clutch size, dan volume telur dapat dipengaruhi oleh dinamika populasi, genetika populasi, kualitas

  Keberhasilan sarang sangat rendah pada banyak burung, khususnya pada spesies altrisial. Pada penyelidikan beberapa tahun lalu dari 170 jenis sarang burung altrisial diketahui hanya 21% menghasilkan sekurangnya satu anakan. Sensus burung tahunan menunjukan bahwa keberhasilan sarang menurun tiap harinya (Hickman et al, 2003).

  Pemilihan sumber daya yang berbeda adalah salah satu faktor utama, yang memungkinkan spesies untuk tetap koeksistensi. Dalam penelitian mengenai relung ekologi, lokasi bersarang mendapatkan perhatian yang lebih sedikit dibandingkan dengan lokasi makan atau habitat, hal ini dimungkinkan karena sarang yang cocok dianggap tidak tersedia untuk sebagian besar spesies. Namun, ketika suatu spesies memiliki persyaratan khusus untuk membangun sarang, lokasi yang cocok akan sangat susah untuk didapatkan. Hal ini akan menyebabkan tumpang tindih dalam membangun sarang (Govi & Pandav, 2011)

2.4 Berbiak

2.4.1 Variasi musim berbiak

  Ada 4 hal yang mempengaruhi variasi musim berbiak yaitu: 1)

  Posisi Geografi: ada 3 aspek posisi geografi yang telah terbukti mempengaruhi waktu musim berbiak burung yaitu lintang (Latitude), bujur (longitude) dan ketinggian (altitude). 2)

  Temperatur: variasi suhu sesuai dengan posisi geografis yang telah dibahas diatas, tetapi perbedaan tahunan suhu dalam suatu area juga dapat mempengaruhi musim berbiak burung. Umumnya berbiak dimulai ketika awal musim semi ketika suhu tinggi, dan diakhir musim dingin. 3)

  Habitat: bahkan dalam wilayah geografis yang kecil di tahun yang sama, spesies yang sama di habitat yang berbeda dapat berkembang biak pada waktu yang sedikit berbeda. Meskipun alasan ini tidak terlalu jelas, ada kemungkinan bahwa kebiasaan berkembang biak diawal berkaitan dengan pasokan makanan yang lebih banyak

  4) Umur: pada banyak spesies, individu yang lebih tua berkembang biak diawal tahun daripada burung yang berkembang biak untuk pertama kalinya. (Perrins

  & Birkhead, 1983).

2.4.2 Mekanisme Berbiak

  Salah satu faktor penting dalam indikator keanekaragaman hayati adalah kemampuan berbiak. Kepadatan populasi bersarang biasanya digunakan untuk mengestimasi ukuran populasi berbiak, dengan menghitung kemampuan reproduksi dapat digunakan sebagai indikator status populasi (Chaulk et al, 2004).

  Setiap organisme memiliki kemampuan untuk hidup, tumbuh, dan berkembang biak pada habitat yang sesuai dengannya. Salah satu cara untuk mempertahankan hidupnya adalah dengan mempertahankan perilaku keseharian pada saat musim berbiak (Jumilawaty et al, 2011).

  Dalam musim berbiak burung harus mencari pasangan agar dapat menghasilkan keturunan selama satu musim kawin tersebut. Mencari pasangan merupakan tahapan penting yang harus dilalui oleh masing-masing individu. Menurut Welty (1982) dan Faboorg (1988), dalam Rukmi (2002), pembentukan pasangan sebagai hubungan mutual resiprokal antara dua heteroseksual, matang secara seksual, menguraangi keagresifan antar individu, dan meningkatkan interaksi seksual. Pembentukan pasangan memiliki sarana melalui pertukaran sinyal visual dan auditori diantara pasangan yang berpotensi untuk berkembangbiak.

  Pembentukan pasangan dimulai dengan mempertunjukkan gerakan- gerakan mengundang pasangan oleh jantan berupa gerakan sayap yang teratur (Wing-Waving). Selanjutnya betina akan memilih untuk menerima atau menolak jantan berdasarkan tarian yang dipertunjukkan, karena setiap gerakan yang dipertunjukkan memiliki arti khusus yang dimengerti dan dikenal oleh betina (Kortland 1995, dalam Jumilawaty 2002).

  Pada burung Cangak display dilakukan dalam posisi berdiri, sebagaimana dilakukan oleh Kuntul Besar, melakukan stretch display, leher ditekuk menyerupai huruf S sambil mengatupkan paruh dan suata keras (snap display) kemudian dipanjangkan tegak lurus keatas, bulu crest tegak, surai bagian leher dikembangkan (Rukmi, 2002).

  Nyanyian adalah salah satu keistimewaan dari usaha yang rumit untuk kasus yang paling sederhana display berfungsi untuk menyatukan kedua jenis kelamin, untuk mengaktifkan pengenalan dan pada tahap berikutnya sebagai stimulus untuk kopulasi. Selain itu, display burung berfungsi sebagai bagian dari stimulus untuk ovulasi (Young, 1981).

  Selain mencari pasangan, salah satu perilaku harian yang terjadi pada musim berbiak adalah perilaku kontrol induk terhadap calon anakannya. Induk betina akan lebih sering mengawasi telurnya agar tidak mudah dimangsa oleh pemangsa, selain itu induk betina akan lebih sering mendekap telurnya agar tidak terjadi kegagalan sebelum menetas yang diakibatkan oleh banyak faktor lingkungan. Resiko predasi mungkin terbatas oleh clutch size jika, sebagai contoh frekuensi induk memberi makan ke sarang akan menarik perhatian pemangsa atau jika cadangan nutrisi disimpan untuk membangun sarang lagi setelah sarang rusak (Wiebe et al, 2006).

  Untuk mencegah predasi biasanya selama musim berbiak, burung-burung akan memiliki daerah kekuasaan yang akan dipertahankannya. Semua pengganggu yang datang akan dihalau kecuali pasangan dan anaknya. Bagi burung-burung yang bersarang dalam satu koloni, daerah teritori tak lebih dari jangkauan paruh ketika duduk dalam sarangnya (Pettingil & Breckenridge, 1969 Jumilawaty, 2002).

  dalam

  Sebagian besar burung yang menempati teritori tipe C, teritori ini berkaitan dengan lokasi berbiak. Lokasi berbiak yang kecil pada beberapa koloni burung laut mungkin bertentangan dalam kualitas mereka, baik dari segi inisial karakteristik fisik mereka, atau posisi mereka berada di kelompok yang relatif dibandingkan burung lain, namun mereka masih dipertahankan dengan cara yang sama dengan teritori yang lebih besar (Perrins dan Birkhead, 1983).

2.4.3 Telur Dan Keberhasilan Tetasan

  Produksi telur merupakan tahapan selanjutnya setelah proses berbiak berlangsung, betina akan menghasilkan telur ketika sperma dan ovum telah mengalami koopulasi, biasanya dalam satu sarang burung betina akan menghasilkan telur sebanyak 3-4 butir tergantung oleh faktor nutrisi yang tersedia di alam. FSH yang distimulasi oleh organ reproduksi burung betina akan menyebabkan folikel-folikel perkembangan telur selanjutnya. Produksi FSH dipengaruhi oleh periode penyinaran yang kemudian akan mendorong ovari untuk dapat memproduksi hormon yang khusus dihasilkan oleh organ reproduksi betina seperti estrogen dan progesteron. Selanjutnya hormon progesteron akan merangsang produksi LH agar folikel-folikel dewasa tersebut dapat masuk ke magnum dan isthmus untuk dibentuk albumin dan putih telur. Tahap akhir dari fase ini adalah folikel dewasa masuk kedalam uterus yang kemudian akan dibungkus oleh cangkang dan segera dikeluaran melalui kloaka (Jumilawaty, 2002).

  Gambar klasifikasi bentuk telur menurut Hogeerwerf (1949), dalam Rukmi (2002) dapat dilihat pada Gambar 3.

  Asimetris Simetris

  Tipe I : Normal-oval Tipe IV : Lebar-oval, hampir bulat Tipe II : Panjang Tipe V : Panjang-oval, ellips

  • –oval Tipe II : Lebar-oval Tipe VI : Normal-oval

  Gambar 3. Klasifikasi bentuk telur (Hogeerwerf 1949, dalam Rukmi 2002) Pada banyak spesies burung, betina muda cenderung menghasilkan letakan telur lebih sedikit dari yang lebih tua. Selain itu induk muda juga cenderung kurang sukses dalam membesarkan anakannya, ukuran letakan telur yang lebih kecil mungkin merupakan adaptasi terhadap kemampuan individu untuk membesarkan anakan (Perrins & Birkhead, 1983).

  Suhu telur selama mengeram biasanya dijaga dalam kisaran 33-37°C. Induk burung sering memutar telur beberapa kali dalam satu jam selama inkubasi, dan masing-masing telur umumnya dibolak-balik untuk memastikan bahwa semua bagian telur memiliki suhu rata-rata yang sama (Pough et al, 1996).

Dokumen yang terkait

Penetapan Kadar Kalium, Kalsium, Natrium, dan Magnesium Pada Buah Pare Putih (Momordica charantia L.) Segar dan Direbus Secara Spektrofotometri Serapan Atom

0 0 62

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Penetapan Kadar Kalium, Kalsium, Natrium, dan Magnesium Pada Buah Pare Putih (Momordica charantia L.) Segar dan Direbus Secara Spektrofotometri Serapan Atom

1 6 12

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONTRAK A. Pengertian Hukum Kontrak - Tinjauan Yuridis Kontrak Penjualan Plywood Antara PT. Mujur Timber Sibolga Dengan Sustainable Timber Direct (Studi Pada PT. Mujur Timber)

0 0 46

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Kontrak Penjualan Plywood Antara PT. Mujur Timber Sibolga Dengan Sustainable Timber Direct (Studi Pada PT. Mujur Timber)

0 1 11

Analisis Faktor Untuk Mengetahui Alasan Ibu Memilih Persalinan Di Rumah Oleh Bidan Di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk Jambi Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau Tahun 2015

0 0 18

BAB II PROFIL BADAN PENGELOLA KEUANGAN DAERAH KOTA MEDAN A.Sejarah Perusahaan 1. Gambaran Umum Kota Medan a. Gambaran Umum - Sistem Dan Prosedur Penyusunan Laporan Keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pada Badan Pengelola Keuangan Daerah Kota Med

0 0 31

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

0 0 37

1. Pengadaan alat tulis - Profil Kuman dan Resistensi Antimikroba Pada Flora Cavum Nasi Petugas Laboratorium RSUP Haji Adam Malik Yang Bekerja Ke Bangsal Dan Yang Tidak Ke Bangsal

0 0 35

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Eksistensi Konvensi Internasional Tentang Terorisme Ditinjau Dari Hukum Pidana Nasional

0 0 27

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perairan Pantai - Keragaman Epibentik Di Rataan Terumbu Karang Perairan Pulau Ungge Kabupaten Tapanuli Tengah

0 6 7