Masyarakat Adat Kebinekaan Indonesia dan
Masyarakat Adat, Kebinekaan
Indonesia, dan Utang Konstitusi
Nurul Firmansyah
Geotimes, Monday 19 June 2017
Pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat pada dekade terakhir mengalami
perkembangan signifikan. Setidaknya hal ini terlihat sejak lahirnya UU Desa yang
memungkinkan adanya Desa Adat dan pengakuan hutan adat oleh putusan Mahkamah
Konstitusi No.35/2012.
Momentum positif tersebut diiringi dengan penetapan hutan adat kepada sembilan
komunitas masyarakat adat oleh Pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla melalui Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tanggal 30 Desember 2016. Pengakuan hak
masyarakat adat tersebut adalah bentuk perlindungan konstitusional masyarakat adat
yang selama ini dirampas dan diabaikan. Namun di sisi lain, ada semacam
kekhawatiran beberapa kalangan tentang kecenderungan pengakuan hak masyarakat
adat paralel dengan kebangkitan sentimen etnisitas yang destruktif.
Masyarakat Adat dan Etnisitas
Konteks etnisitas dan pertautannya dengan masyarakat adat terkait dengan kenyataan
keberagaman “identitas budaya” dalam masyarakat majemuk Indonesia. Etnis dan
masyarakat adat memang berhubungan erat. Pemaknaan dari dua terma tersebut
terkait dengan penekanan titik fokus. Etnisitas mengandung dimensi luas sebagai
identitas kebudayaan berdasarkan kesamaan ras, bahasa ibu (daerah) dan identitas
budaya.
Sedangkan masyarakat adat lebih pada kelompok-kelompok masyarakat etnis dalam
persekutuan-persekutuan hukum atau unit-unit sosial alamiah dengan tata hukum
sendiri (hukum adat), mempunyai struktur sosial-politik asli dan hak atas wilayah adat
(hak ulayat). Selain itu, kita perlu menekankan bahwa masyarakat adat bukanlah
masyarakat statis, namun dinamis dalam arus perubahan politik, ekonomi, dan budaya.
Perlu dicatat pula bahwa, pertemuan-pertemuan masyarakat adat-Negara tidak
seluruhnya terjadi secara seimbang dan alamiah, namun juga dalam situasi dimana
Negara dan juga kelompok dominan dan pasar memaksa kekuasaannya terhadap
eksistensi masyarakat adat, khususnya yang minoritas. Pada konteks minoritas adat
misalnya, banyak kasus menunjukan bahwa perubahan terjadi secara dramatis,
terutama pada perubahan struktur penguasaan tanah melalui perampasan sistematis
oleh hukum negara.
Perubahan tersebut serta merta merontokkan identitas budaya masyarakat adat secara
cepat tanpa diimbangi dengan kemampuan beradaptasi. Akibatnya, marjinalisasi
ekstrim muncul seperti halnya pada kasus Suku Anak Dalam di Jambi. Di sisi lain, adat
juga digunakan sebagai alat penyeimbang Negara (struktur dominan). Dalam konteks
ini, identitas primodial adat digunakan untuk mempengaruhi struktur negara yang
melahirkan batas sosial-politik berbasis adat/etnis.
Misalnya, gerakan Desa Adat atau Masyarakat Adat mendorong integrasi adat ke dalam
struktur negara yang melahirkan pemilahan daerah-daerah menurut batas etnisitas
secara demokratis (Benda Bekmann; 2014 dan Aragon;2014). Secara positif, adat dalam
konteks ini menjadi semacam penyeimbang (check and balances) negara dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pengelolaan sumber daya (Benda-Beckmann,
2014). Namun, pembatasan sosial politik berbasis etnis dan adat juga berkontribusi
negatif, jika dimaknai secara sempit dalam sentimen tribalistik.
Sentimen tribalistik sebangun dengan perebutan sumber daya atas nama identitas
primodial etnis oleh elit politik. Sentimen tribalistik memperlebar perbedaan sosial,
alih-alih mendorong kohesi sosial antar komunitas secara demokratis. Aragon (2011)
menyebutkan bahwa reformasi dan desentraliasi melahirkan pergeseran kekuasaan
pusat ke daerah. Pergeseran tersebut paralel dengan menguatnya identitas primodial
adat yang selama Orde Baru ditekan sedemikian rupa.
Pada konteks ini, Negara tidak serta merta memenuhi tuntutan hak konstitusional
masyarakat adat, seperti hak atas wilayah adat (hak ulayat) misalnya, namun
menyalurkan sentimen etnis dan kedaerahan pada aras politik lokal. Akibatnya,
kebangkitan adat tidak serta merta berkontribusi pada pengakuan hak konstitusional
masyarakat adat, namun memperkuat cengkraman elit atas nama adat.
Merawat Kebinekaan, Mengakui Hak
Semangat perlindungan hak masyarakat adat yang dirumuskan oleh konstitusi jelas
disebutkan sebagai penghormatan terhadap keberagaman (pluralisme) identitas
etnis/adat, demokrasi dan hak asasi manusia. Konstitusi menjamin keberagaman
identitas sosial berdasarkan adat tersebut dengan melindungi hak asal usul masyarakat
adat pada konteks masyarakat majemuk Indonesia dan melarang tindakan sewenangwenang Negara.
Makna konstitusionalitas hak masyarakat adat tersebut secara gamblang telah
dijabarkan secara eksplisit dalam Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi terkait hak
masyarakat adat dan UU Desa. Sentimen tribalistik adalah anomali makna
konstitusional hak masyarakat adat. Sentimen tribalistik adalah bentuk pembajakan
adat oleh kepentingan politik praktis.
Sudah saatnya, Negara memenuhi utang konstitusi terhadap masyarakat adat dengan
memastikan perlindungan hak secara demokratis, inklusif dan penghargaan terhadap
keberagaman dalam kerangka “Bhinneka Tunggal Ika.”
Indonesia, dan Utang Konstitusi
Nurul Firmansyah
Geotimes, Monday 19 June 2017
Pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat pada dekade terakhir mengalami
perkembangan signifikan. Setidaknya hal ini terlihat sejak lahirnya UU Desa yang
memungkinkan adanya Desa Adat dan pengakuan hutan adat oleh putusan Mahkamah
Konstitusi No.35/2012.
Momentum positif tersebut diiringi dengan penetapan hutan adat kepada sembilan
komunitas masyarakat adat oleh Pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla melalui Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tanggal 30 Desember 2016. Pengakuan hak
masyarakat adat tersebut adalah bentuk perlindungan konstitusional masyarakat adat
yang selama ini dirampas dan diabaikan. Namun di sisi lain, ada semacam
kekhawatiran beberapa kalangan tentang kecenderungan pengakuan hak masyarakat
adat paralel dengan kebangkitan sentimen etnisitas yang destruktif.
Masyarakat Adat dan Etnisitas
Konteks etnisitas dan pertautannya dengan masyarakat adat terkait dengan kenyataan
keberagaman “identitas budaya” dalam masyarakat majemuk Indonesia. Etnis dan
masyarakat adat memang berhubungan erat. Pemaknaan dari dua terma tersebut
terkait dengan penekanan titik fokus. Etnisitas mengandung dimensi luas sebagai
identitas kebudayaan berdasarkan kesamaan ras, bahasa ibu (daerah) dan identitas
budaya.
Sedangkan masyarakat adat lebih pada kelompok-kelompok masyarakat etnis dalam
persekutuan-persekutuan hukum atau unit-unit sosial alamiah dengan tata hukum
sendiri (hukum adat), mempunyai struktur sosial-politik asli dan hak atas wilayah adat
(hak ulayat). Selain itu, kita perlu menekankan bahwa masyarakat adat bukanlah
masyarakat statis, namun dinamis dalam arus perubahan politik, ekonomi, dan budaya.
Perlu dicatat pula bahwa, pertemuan-pertemuan masyarakat adat-Negara tidak
seluruhnya terjadi secara seimbang dan alamiah, namun juga dalam situasi dimana
Negara dan juga kelompok dominan dan pasar memaksa kekuasaannya terhadap
eksistensi masyarakat adat, khususnya yang minoritas. Pada konteks minoritas adat
misalnya, banyak kasus menunjukan bahwa perubahan terjadi secara dramatis,
terutama pada perubahan struktur penguasaan tanah melalui perampasan sistematis
oleh hukum negara.
Perubahan tersebut serta merta merontokkan identitas budaya masyarakat adat secara
cepat tanpa diimbangi dengan kemampuan beradaptasi. Akibatnya, marjinalisasi
ekstrim muncul seperti halnya pada kasus Suku Anak Dalam di Jambi. Di sisi lain, adat
juga digunakan sebagai alat penyeimbang Negara (struktur dominan). Dalam konteks
ini, identitas primodial adat digunakan untuk mempengaruhi struktur negara yang
melahirkan batas sosial-politik berbasis adat/etnis.
Misalnya, gerakan Desa Adat atau Masyarakat Adat mendorong integrasi adat ke dalam
struktur negara yang melahirkan pemilahan daerah-daerah menurut batas etnisitas
secara demokratis (Benda Bekmann; 2014 dan Aragon;2014). Secara positif, adat dalam
konteks ini menjadi semacam penyeimbang (check and balances) negara dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pengelolaan sumber daya (Benda-Beckmann,
2014). Namun, pembatasan sosial politik berbasis etnis dan adat juga berkontribusi
negatif, jika dimaknai secara sempit dalam sentimen tribalistik.
Sentimen tribalistik sebangun dengan perebutan sumber daya atas nama identitas
primodial etnis oleh elit politik. Sentimen tribalistik memperlebar perbedaan sosial,
alih-alih mendorong kohesi sosial antar komunitas secara demokratis. Aragon (2011)
menyebutkan bahwa reformasi dan desentraliasi melahirkan pergeseran kekuasaan
pusat ke daerah. Pergeseran tersebut paralel dengan menguatnya identitas primodial
adat yang selama Orde Baru ditekan sedemikian rupa.
Pada konteks ini, Negara tidak serta merta memenuhi tuntutan hak konstitusional
masyarakat adat, seperti hak atas wilayah adat (hak ulayat) misalnya, namun
menyalurkan sentimen etnis dan kedaerahan pada aras politik lokal. Akibatnya,
kebangkitan adat tidak serta merta berkontribusi pada pengakuan hak konstitusional
masyarakat adat, namun memperkuat cengkraman elit atas nama adat.
Merawat Kebinekaan, Mengakui Hak
Semangat perlindungan hak masyarakat adat yang dirumuskan oleh konstitusi jelas
disebutkan sebagai penghormatan terhadap keberagaman (pluralisme) identitas
etnis/adat, demokrasi dan hak asasi manusia. Konstitusi menjamin keberagaman
identitas sosial berdasarkan adat tersebut dengan melindungi hak asal usul masyarakat
adat pada konteks masyarakat majemuk Indonesia dan melarang tindakan sewenangwenang Negara.
Makna konstitusionalitas hak masyarakat adat tersebut secara gamblang telah
dijabarkan secara eksplisit dalam Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi terkait hak
masyarakat adat dan UU Desa. Sentimen tribalistik adalah anomali makna
konstitusional hak masyarakat adat. Sentimen tribalistik adalah bentuk pembajakan
adat oleh kepentingan politik praktis.
Sudah saatnya, Negara memenuhi utang konstitusi terhadap masyarakat adat dengan
memastikan perlindungan hak secara demokratis, inklusif dan penghargaan terhadap
keberagaman dalam kerangka “Bhinneka Tunggal Ika.”