Peta Geomorfologi Daerah Istimewa Yogyak

Peta Geomorfologi Daerah Istimewa Yogyakarta
Salahuddin Husein dan Srijono
Jurusan Teknik Geologi FT UGM Yogyakarta
corresponding email: shddin@gmail.com

I. Pendahuluan
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki letak geomorfologis yang sangat menarik. Berada di
bagian selatan Pulau Jawa, propinsi ini berada pada transisi dua mandala geologi, yaitu Jawa Tengah dan
Jawa Timur (van Bemmelen, 1949). Bagian selatan mandala geologi Jawa Timur dicirikan oleh munculnya
Pegunungan Selatan yang dibangun oleh batuan volkanik laut dan ditutup oleh batuan karbonat yang
melampar ekstensif dengan kemiringan landai ke arah selatan. Sebaliknya, bagian selatan mandala geologi
Jawa Tengah dicirikan tidak munculnya Pegunungan Selatan ke permukaan. Daerah tinggian selatan Jawa
Tengah dibangun oleh serangkaian batuan sedimen volkanik laut yang terlipat kuat membentuk
Pegunungan Serayu Selatan. Ke arah timur di Propinsi Yogyakarta, Pegunungan Serayu Selatan dibatasi
oleh kompleks gunungapi Kulon Progo. Pertemuan kedua pegunungan tersebut di Yogyakarta membentuk
depresi atau rendahan yang dikenal dengan nama Cekungan Yogyakarta dan terisi oleh endapan Gunung
Merapi sebagai produk geologi yang berumur paling muda.
Keragaman informasi geomorfologi tersebut diatas, terutama yang terkait dengan proses geologi
pembentuknya, idealnya dapat dipresentasikan dalam wujud peta yang mudah dibaca dan dapat menjadi
acuan berbagai pihak yang terkait dan membutuhkan. Hingga saat ini peta geomorfologi untuk Propinsi D.I.
Yogyakarta baru dibuat oleh McDonald & Partners (1984). Meski demikian, informasi yang diberikan peta

tersebut masih bersifat umum tanpa memberikan gambaran proses geologi secara lengkap, terkait dengan
skalanya yang kecil. Padahal berbagai kajian ilmu kebumian yang bersifat ilmiah maupun terapan sangat
membutuhkan suatu peta geomorfologi yang baik dan bersifat standar.
Suatu pemetaan geomorfologi dilakukan untuk menyajikan gambaran sistematik dari bentuklahan
dan fenomena lain yang berhubungan. Perkembangan kajian geomorfologi dewasa ini menunjukkan peta
sistem ITC mampu menampilkan berbagai aspek geomorfologi secara utuh, jelas dan mudah dibaca, serta
mampu menghimpun informasi geologi dasar berupa litologi dan struktur geologi (van Zuidam, 1983).
Metode sistem pemetaan ITC, yang dikembangkan oleh Institute for Aerial Survey and Earth Sciences,
Enschede, Belanda, dimaksudkan untuk tujuan analisis geomorfologi dengan menyertakan aspek-aspek
morfometri, morfografi, morfogenetik dan morfokronologi (Verstappen, 1970; Verstappen & van Zuidam,
1975; van Zuidam & van Zuidam-Cancelado, 1979; van Zuidam, 1983). Perhatian juga ditujukan pada aspek
litologi dan proses perubah bentuklahan. Upaya penerapan kajian geomorfologi dengan sistem ITC telah
pernah diterapkan oleh Srijono & Untung (1981) pada daerah yang sempit di Pantai Parangtritis,
Yogyakarta, dan Srijono, dkk. (2008) pada mandala Pegunungan Selatan bagian barat. Kedua kajian
tersebut menunjukkan bahwa metode ITC mudah diterapkan dan memberikan hasil yang memuaskan.
Tulisan ini berupaya untuk membuat peta geomorfologi dengan sistem serupa, dengan luasan daerah kajian
2
~32.000 km mengikuti batas mengikuti wilayah administratif Provinsi D.I. Yogyakarta. Diharapkan bahwa
tulisan ini mampu menghasilkan peta geomorfogi Provinsi D.I. Yogyakarta yang bersifat standar, serta
menjadi model bagi penerapan kajian serupa di daerah lain.

II. Geologi Propinsi D.I. Yogyakarta
Yogyakarta merupakan suatu depresi atau cekungan yang dibatasi di bagian utara oleh Gunung
Merapi yang berumur Kuarter; bagian timurnya dibatasi oleh Pegunungan Selatan dan bagian baratnya
dibatasi oleh Pegunungan Kulon Progo, dimana keduanya disusun oleh batuan berumur Tersier; serta
bagian selatannya dibatasi oleh Samudera India (Gambar 1).
Batuan berumur Tersier yang ada di Pegunungan Selatan dan Pegunungan Kulon Progo terdiri dari
serial batuan klastik produk gunungapi purba (Formasi Nanggulan, Kebobutak, Semilir, Nglanggran, Wuni
dan Sambipitu) dengan kisaran umur sekitar 57 – 18 juta tahun lalu, yang ditumpangi oleh serial batuan
karbonat produk pengendapan laut dangkal (Formasi Wonosari, Jonggrangan, Kepek dan Sentolo) dengan
kisaran umur sekitar 20 – 1.6 juta tahun silam. Pengangkatan Pegunungan Selatan dan Pegunungan Kulon
Simposium Geologi Yogyakarta - 23 Maret 2010

| 1

Progo pada sekitar 1.6 juta tahun lalu telah menciptakan sebuah cekungan atau depresi diantara keduanya,
yang diberinama geografis sebagai Cekungan Yogyakarta.
Gunungapi Merapi kemudian muncul di sebelah utara dan mengisi Cekungan Yogyakarta dengan
endapan volkaniknya, yang sebagian besar dibawa oleh sungai-sungai yang berhulu di lereng gunungapi
tersebut. Ketebalan endapan volkanik Merapi tersebut dapat mencapai lebih dari 100 m (Hendrayana,
1993). Hingga saat ini, proses sedimentasi oleh sungai masih terus mendominasi di Cekungan Yogyakarta,

mengendapkan kerikil, pasir, lanau dan lempung di sepanjang lembah alirannya. Di sepanjang pesisir
selatan, pasir halus yang kaya unsur besi yang telah dibawa oleh sungai-sungai tersebut ke laut diendapkan
kembali oleh angin sebagai gumuk-gumuk pasir.
Suatu sistem patahan yang terletak diantara Cekungan Yogyakarta dan Pegunungan Selatan
berhasil dikenali dari survey gaya berat (Untung dkk., 1973). Patahan tersebut dikenal dengan nama
Patahan Opak dengan blok bagian baratnya relatif turun terhadap blok bagian timur (Gambar 1; Rahardjo
dkk., 1995). Kertapati dkk. (1992) menginterpretasikan Patahan Opak sebagai patahan aktif namun tidak
diketahui jenis pergerakannya. Sudarno (1997) melengkapi sistem Patahan Opak dan mengidentifikasi
berbagai patahan berarah utara – selatan dan baratlaut – tenggara di sekitar Patahan Opak. MacDonald &
Partners (1984) dengan pemboran geoteknik dan survey geolistrik telah menginterpretasikan sistem patahan
yang tertimbun endapan volkanik Merapi yang berarah utara – selatan dan timur – barat yang merupakan
kelanjutan dari Patahan Opak ke arah Cekungan Yogyakarta.
III. Pemetaan Geomorfologi Sistem ITC
Geomorfologi merupakan suatu disiplin ilmu yang mencakup banyak aspek terkait dengan
bentuklahan (landforms) dan perkembangannya. Aspek-aspek tersebut tidak selalu dapat dipresentasikan
dalam bentuk kalimat, terutama menyangkut bentuk, ukuran dan posisi. Untuk alasan tersebut, fenomena
geomorfologi dapat digambarkan dengan sangat baik melalui medium peta. Secara umum, peta
geomorfologi dikelompokkan menjadi kategori ‘umum’ dan ‘terapan’.
Konsep kajian geomorfologi dewasa ini menyebutkan peta geomorfologi kategori umum sebagai
‘peta analitis’ yang dihasilkan dari telaah monodisiplin mendalam, dan peta geomorfologi kategori terapan

sebagai ‘peta sintetis’ yang dihasilkan dari telaah multidisiplin dengan mempertimbangkan aspek ekologis
(Van Zuidam, 1983). Meski berbeda pendekatan antara kedua kategori peta tersebut, kajian geomorfologi
sintetis yang bersifat terapan membutuhkan kemampuan telaah mendalam yang mampu mengupas
berbagai aspek geomorfologi sebagai suatu monodisiplin.
Terdapat empat aspek penting dalam kajian geomorfologi analitis (Van Zuidam, 1983), yaitu (i)
morfologi atau tampilan relief, mencakup (a) morfografi atau aspek deskriptif geomorfologi suatu wilayah,
dan (b) morfometri atau aspek kuantitatif suatu wilayah; (ii) morfogenesa atau asalmula dan perkembangan
proses yang membentuk suatu bentuklahan, meliputi (a) morfostruktur pasif atau jenis batuan, (b)
morfostruktur aktif atau jenis struktur geologi akibat tektonik dan volkanisme, dan (c) morfodinamik atau
proses-proses eksogenik yang bekerja di permukaan bumi; (iii) morfokronologi atau penentuan urutan
proses terbentuknya berbagai bentuklahan; dan (iv) morfoaransemen atau hubungan spasial berbagai
bentuklahan dan prosesnya.
Suatu peta geomorfologi yang baik akan memuat semua atau sebanyak mungkin aspek-aspek
tersebut diatas. Perkembangan kajian geomorfologi dewasa ini menunjukkan peta sistem ITC mampu
menampilkan keempat aspek secara utuh, jelas dan mudah dibaca, serta telah menghimpun informasi
geologi dasar berupa litologi dan struktur geologi (Van Zuidam, 1983; Gambar 2). Peta geomorfologi sistem
ITC menggunakan beberapa tingkatan dalam menyajikan informasi bentuklahan, yaitu: (i) lapis pertama
berupa morfogenesa dan disajikan dalam simbol warna wilayah; (ii) lapis kedua berupa litologi dan
ditampilkan dalam warna mono terang; (iii) lapis ketiga berupa morfologi yang ditampilkan dengan simbol
alfabet dalam warna mono terang; (iv) lapis keempat berupa morfokronologi yang ditampilkan dengan simbol

alfabet warna hitam; dan (v) lapis terakhir bila diinginkan untuk memuat aspek morfodinamik.
Peta geomorfologi disajikan dalam skala tertentu, dimana skala yang terpilih ditentukan oleh dan
mempengaruhi pada jenis pekerjaan lapangan yang dilakukan (Van Zuidam, 1983). Secara umum, ada dua
kelompok peta berdasarkan skalanya, yaitu: (i) peta skala besar dan medium, terdiri dari dua kelas, yakni (a)
peta skala detail 1:10.000 – 1:25.000 yang harus dicek secara penuh di lapangan dan tidak ada atau sangat
sedikit generalisasi, dan (b) peta skala semi-detail 1:25.000 – 1:250.000 yang dilakukan dengan cek
lapangan secara umum dan ekstrapolasi dan generalisasi diperkenankan.; (ii) peta skala kecil, juga terbagi
Simposium Geologi Yogyakarta - 23 Maret 2010 | 2

dua kelas, yakni (a) peta skala kecil normal 1:250.000 – 1:5.000.000 yang hanya dilakukan cek lapangan
secara kasual dan dilakukan dengan generalisasi dan ekstrapolasi yang sangat besar, dan (b) peta
rekonaisans skala > 1:500.000 yang dikompilasi dari peta-peta skala besar dan medium serta sangat
digeneralisasi.
IV. Metode Penelitian
Pada tulisan ini, pemetaan geomorfologi sistem ITC dilakukan dengan menggunakan Peta
Rupabumi Indonesia skala 1:25.000 (Bakosurtanal, 1999) sebagai peta dasar, Peta Geologi Lembar
Yogyakarta skala 1:100.000 (Rahardjo dkk., 1995) dan Peta Geologi Lembar Surakarta skala 1:100.000
(Surono dkk., 1992) sebagai referensi geologi regional, serta citra satelit radar SRTM Jawa Tengah sebagai
panduan interpretasi.
Adapun tahapan pemetaan meliputi: (i) pembuatan peta geologi tentatif Provinsi D.I. Yogyakarta

pada skala 1:50000, (ii) dari peta geologi tentatif, dilakukan ekstraksi data morfogenesa, litologi, morfologi,
morfokronologi, dan morfodinamik, berikut pembuatan peta tematik untuk masing-masing lapisan data
tersebut, (iii) pengecekan lapangan untuk verifikasi peta tematik, dan (iv) overlay peta tematik menjadi peta
geomorfologi Provinsi D.I. Yogyakarta dengan sistem ITC pada skala 1:50000.
V. Peta Geomorfologi D.I. Yogyakarta
Hasil pemetaan pada skala 1:50.000 dan mengacu pada aspek morfogenesa, dijumpai lima
bentangalam genetik utama yang berkembang di Provinsi D.I. Yogyakarta, yaitu bentukan asal volkanik,
struktural, karst, fluvial, dan eolian (Gambar 2). Berikut ini pemaparan masing-masing bentukan asal
tersebut, resumenya disajikan dalam Tabel 1.
a. Bentangalam volkanik
Bentangalam volkanik hadir cukup dominan di Provinsi D.I. Yogyakarta. Hal tersebut dapat
dipahami karena aktivitas volkanisme telah bekerja semenjak Tersier hingga saat ini. Pada akhir
Paleogen, volkanisme telah menghasilkan andesit tua Formasi Bemmelen di Pegunungan Kulon Progo
dan Formasi Kebobutak di Pegunungan Selatan. Pada Zaman Kwarter, volkanisme modern hadir di
sebelah utara melalui aktivitas G. Merapi. Dengan demikian, bentukan morfologi volkanik muncul dari
bentuknya yang masih aktif hingga bentukan sisa pada bekas-bekas volkanisme Tersier. Secara umum,
pelamparan unit-unitnya berubah secara teratur dari yang terbesar dimiliki oleh tubuh volkanik aktif
hingga yang terkecil dimiliki oleh leher volkanik sisa dari volkanisme Tersier.
Bentangalam volkanik terdiri dari 6 unit morfologi, yaitu morfologi kerucut gunungapi terbiku
sedang, kerucut gunungapi terbiku kuat, lereng gunungapi terbiku sedang, kaki gunungapi terbiku

sedang, sisa gunungapi, dan leher gunungapi.
b. Bentangalam struktural
Bentangalam struktural dapat dikenali dalam 10 unit berbeda, mendominasi bagian utara
Pegunungan Selatan, bagian barat Pegunungan Kulon Progo, serta Perbukitan Sentolo. Pelamparan
yang luas dan kompleksitas bentukan mengindikasikan pengaruh tektonik yang dominan terhadap
Provinsi D.I. Yogyakarta. Hal tersebut dapat dipahami bahwa letak Provinsi D.I. Yogyakarta yang berada
di depan busur volkanik (fore-arc) pada saat ini dan senantiasa berhadapan dengan jalur penunjaman
Lempeng Samudera Hindia dengan Lempeng Benua Eurasia semenjak terbentuknya cekungan
pengendapan, membuat daerah ini mengalami sejarah tektonik yang berulang (multi-fase) dan
kompleks.
Sebagian bentangalam struktural tersusun oleh litologi batuan gunungapi piroklastik dan
epiklastik yang tersesarkan secara kuat, kedua hal inilah yang membedakannya dengan bentangalam
volkanik. Di Pegunungan Selatan, bentangalam struktural hadir secara khas di bagian utara, dimana
lajur-lajur sesar yang bersifat memanjang dan dikontrol oleh kehadiran tubuh volkanik modern
menghasilkan rangkaian pegunungan Kambengan, Plopoh dan Baturagung, yang bersifat memanjang
relatif berarah timur-barat. Pola serupa juga dapat diamati di bagian barat pada Lajur Baturagung yang
dikontrol oleh kehadiran sistem Sesar Opak yang berarah relatif timurlaut-baratdaya dan membatasinya
dengan Dataran Rendah Yogyakarta. Di Pegunungan Kulon Progo, bentangalam struktural hadir di
Simposium Geologi Yogyakarta - 23 Maret 2010


| 3

bagian tepi (periperal) dengan pola sesar yang cenderung bersifat radial. Batas utara Pegunungan
Kulon Progo merupakan suatu sesar melengkung (arcuate) berarah relatif Timur-Tenggara – BaratBaratlaut, menyerupai sesar-sesar batas utara Pegunungan Selatan.
Sebagian bentangalam struktural tersusun pula oleh litologi batugamping yang tersesarkan dan
terlipatkan secara lemah, tersebar di Perbukitan Sentolo dan bagian tengah Pegunungan Selatan.
Perbedaan derajat deformasi antara batuan produk volkanik Tersier Awal dan batugamping Tersier
Akhir lebih disebabkan pada umur, dimana batuan volkanik mengalami lebih banyak sejarah tektonik
dibandingkan dengan batugamping.
Bentangalam struktural terdiri dari 10 unit morfologi, yaitu morfologi perbukitan struktural terbiku
kuat, perbukitan struktural terbiku sedang, pegunungan struktural terbiku sedang, pegunungan struktural
terbiku kuat, teras struktural terbiku lemah, teras sturuktural terbiku sedang, teras struktural terbiku kuat,
perbukitan terisolasi, kuesta, dan cekungan denudasional.
c. Bentangalam kars
Bentangalam kars berkembang secara eksklusif di bagian selatan Pegunungan Selatan,
menempati kawasan yang dikenal sebagai Gunung Sewu. Dibatasi di bagian barat oleh bentangalam
struktural yang memisahkannya dengan Dataran Rendah Yogyakarta, dan bagian utara oleh Depresi
Wonosari serta Pegunungan Panggung. Kehadiran bentangalam ini yang mensyaratkan adanya
endapan batugamping yang cukup tebal menandakan sejarah genang laut daerah tersebut pada Tersier
Akhir yang lebih lama dibandingkan bagian utara, serta adanya periode pengangkatan yang episodik

yang memberikan kesempatan tahapan-tahapan karstifikasi untuk bekerja dengan baik. Secara
stratigrafis, bentangalam kars Gunung Sewu tersusun oleh batugamping terumbu, batugamping berlapis
bersifat tufan dan napalan, yang dikelompokkan kedalam formasi Wonosari (Surono dkk., 1992;
Rahardjo dkk., 1995).
Selain di Pegunungan Selatan, bentangalam kars juga berkembang, meski tidak dominan, pada
Pegunungan Kulon Progo. Di daerah Jonggranan, bentangalam ini dibangun oleh batugamping terumbu
dan batugamping napalan dari Formasi Jonggrangan (Rahardjo dkk., 1995), hadir sebagai kerucut kars
membulat yang dikelilingi oleh dataran tepi kars. Sedangkan di daerah Paingan, kerucut kars membulat
hadir pada daerah yang sempit dan tersusun oleh kalkarenit Formasi Sentolo (Rahardjo dkk., 1995).
Bentangalam kars dikelompokkan menjadi dari 5 unit morfologi, yaitu kars konikal membulat,
kars konikal memanjang, kars konikal trapesoid, dataran tepi kars, dan lembah kering kars.
d. Bentangalam fluvial
Bentangalam fluvial berkembang secara terpisah-pisah diantara bentangalam-bentangalam
lainnya, sehingga secara umum dapat dikatakan sebagai suatu cekungan antar pegunungan struktural
yang aktif saat ini sebagai tempat deposisi sedimen yang berasal dari tinggian di sekitarnya. Penyusun
utama bentangalam ini adalah pasir lempungan dan pasir kerikilan, di beberapa tempat dijumpai
sebagai endapan rawa. Hal tersebut mengindikasikan adanya perubahan fasies yang cepat dari fluvial
menjadi lakustrin akibat adanya pengaruh tektonik yang mengontrol perkembangan geomorfologi.
Di Pegunungan Selatan, bentangalam ini diidentifikasi pada dua lokasi, yaitu di sepanjang kaki
utara gawir Lajur Baturagung, serta di daerah Imogiri pada kaki barat gawir Lajur Baturagung. Di

Pegunungan Kulon Progo, bentangalam fluvial hadir secara luas pada kaki selatan perbukitan Sentolo,
dimana batas selatannya disusun oleh bentangalam eolian yang membentuk pesisir selatan Yogyakarta.
Pada batas kedua pegunungan tersebut, yaitu Pegunungan Selatan dan Pegunungan Kulon Progo,
terhadap Dataran Rendah Yogyakarta, berkembang dua sungai besar, yaitu Sungai Opak dan Sungai
Progo. Kedua sungai tersebut memiliki morfologi tubuh sungai yang dapat dikenali pada skala pemetaan
ini.
Ada empat unit morfologi bentangalam fluvial yang dapat dikenali, yaitu morfologi dataran banjir,
dataran banjir antar pegunungan, kipas aluvial non aktif, dan tubuh sungai.
e. Bentangalam eolian
Bentangalam eolian hanya berkembang di bagian baratdaya daerah kajian sebagai unit gumuk
pasir, menempati sepanjang pesisir selatan Dataran Rendah Yogyakarta hingga ke arah barat menerus
mencapai perbatasan provinsi. Tersusun oleh sedimen pasir yang dibawa oleh aliran tiga sungai utama
Simposium Geologi Yogyakarta - 23 Maret 2010 | 4

yang mengalir ke Samudera Hindia, yaitu sungai Opak, Progo, dan Serang, serta diendapkan kembali
oleh proses gelombang serta dibentuk oleh proses angin membentuk morfologi gumuk-gumuk pasir.
Jenis gumuk pasir yang dijumpai bervariasi, dari tipe transversal di tepi pantai diatas morfologi berm,
kemudian berkembang menjadi tipe parabola ke arah darat dan selanjutnya menjadi tipe longitudinal.
VI. Kesimpulan
Dalam kajian ini, pemetaan geomorfologi metode ITC dapat memberi arahan yang cepat dan cukup

akurat dalam membuat keluaran peta skala tinjau. Meskipun tidak menggunakan foto udara sebagaimana
yang dianjurkan, peta topografi standar skala 1:50.000 dan skala 1:25.000 yang dipergunakan dalam kajian
ini dapat dimanfaatkan secara efektif dalam mengidentifikasi dan mendelineasi unit-unit morfogenesa serta
tingkatan morfologinya. Hubungan antar unit morfologi dalam konteks geologi regional juga dapat dilakukan
dengan cepat berdasarkan pada pola pelamparan masing-masing unit. Pada penelitian ini, dijumpai lima
bentangalam genetik utama yang berkembang di Provinsi D.I. Yogyakarta, yaitu bentukan asal volkanik,
struktural, karst, fluvial, dan eolian.
Daftar Rujukan
Rahardjo, W., Sukandarrumidi, dan H.M.D. Rosidi (1977) Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Jawa, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Rahardjo, W., Sukandarrumidi, dan H.M.D. Rosidi (1995) Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Jawa, edisi ke2, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Surono, B. Toha, dan I. Sudarno (1992), Peta Geologi lembar Surakarta-Giritontro, Jawa, Pusat Penelitian
dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Van Bemmelen, R.W. (1949) The Geology of Indonesia, vol. I.A. General Geology. Martinus Nyhoff, The
Hague.
Van Zuidam, R.A. (1983) Guide to Geomorphologic Aerial Photographic Interpretation and Mapping. Section
of Geology and Geomorphology ITC, Enschede, The Netherlands, 324 pp.
Van Zuidam, R.A., and F.I. van Zuidam-Cancelado (1979) Terrain Analysis and Classification using Aerial
Photographs. ITC Textbook of Photo-interpretation, vol. VII-6, 348 pp.
Verstappen, H.Th. (1970) Introduction to the ITC-system of Geomorphological Survey. KNAG Geografisch
Tijdschrift, vol. 4(1), pp. 85-91.
Verstappen, H.Th., and R.A. van Zuidam (1975) ITC-system of Geomorphological Survey. ITC Textbook of
Photo-interpretation, vol. VII-2, 52 pp.

Simposium Geologi Yogyakarta - 23 Maret 2010

| 5

Gambar 1.

Diagram 3 dimensi kondisi geologi Yogyakarta (Setijadji et al., 2007; dimodifikasi dari Rahardjo dkk., 1995). Garis putusputus merupakan batas administratif Provinsi Yogyakarta. Garis tebal adalah patahan, dimana gar is tebal putus-putus
adalah Patahan Opak.

Simposium Geologi Yogyakarta - 23 Maret 2010

| 6

Tabel 1. Uraian karakteristik klasifikasi bentangalam Provinsi D.I. Yogyakarta
MORFOGE
NESA
Bentangala
m

VOLKANIK

MORFOLOGI
Morfografi
Simbo
l unit
kerucut
gunungapi
terbiku
sedang

V1

endapan
gunungapi
Merapi muda

kerucut
gunungapi
terbiku kuat

V2

endapan
gunungapi
Merapi tua

lereng
gunungapi
terbiku
sedang

V3

endapan
gunungapi
Merapi muda

V4

endapan
gunungapi
Merapi muda,
aluvium

sisa
gunungapi

V5

Formasi
Nglanggran,
andesit,
Formasi
Semilir, dan
Formasi Wuni

leher
gunungapi

V6

Formasi
Nglanggeran

perbukitan
struktural
terbiku kuat

S1

Formasi
Kebobutak

perbukitan
struktural
terbiku
sedang

S2

Formasi Oyo
dan Formasi
Sentolo

S3

andesit tua
Formasi
Bemmelen,
Formasi
Semilir,
Formasi
Nglanggran,
Formasi
Sambipitu,

kaki
gunungapi
terbiku
sedang

STRUKTUR
AL

Formasi/Sat
uan

pegunungan
struktural
terbiku
sedang

GEOLOGI
Batuan
utama
tuf, abu,
breksi,
aglomerat,
dan leleran
lava tak
terpisahkan
breksi,
aglomerat
dan leleran
lava,
termasuk
andesit dan
basal
mengandung
olivin
tuf, abu,
breksi, dan
aglomerat
tuf, abu,
pasir,
kerakal,
kerikil, lanau,
dan lempung
breksi
gunungapi,
breksi aliran,
andesit,
breksi
gunungapi,
aglomerat,
dan lava
andesit-basal
breksi
gunungapi,
aglomerat,
dan lava
andesit-basal
perselingan
batupasir,
batulempung,
tuf, dan
aglomerat
napal tufan,
tuf andesitan,
dan batupasir
napalan
breksi
andesit, tuf,
tuf lapili,
aglomerat,
lava andesit,
breksi tuf,
breksi
batuapung,
batupasir,

Tektonik

PROSES
GEOMORFIK
(eksisting)

pengkekaran

fluvial dan
gerakan massa

pensesaran
dan
pengkekaran

fluvial dan
gerakan massa

pengkekaran

fluvial dan
gerakan massa

pengkekaran

fluvial dan
gerakan massa

pensesaran
dan
pengkekaran

fluvial dan
gerakan massa

pensesaran
dan
pengkekaran

gerakan massa

pensesaran
dan
pengkekaran

fluvial dan
gerakan massa

pensesaran
dan
pengkekaran

fluvial dan
gerakan massa

pensesaran,
perlipatan,
dan
pengkekaran

fluvial, gerakan
massa, dan
pelarutan

Formasi Oyo,
dan Formasi
Wonosari

S4

andesit tua
Formasi
Bemmelen,
Formasi
Semilir,
Formasi
Nglanggran,
Formasi
Sambipitu,
dan Formasi
Jonggrangan

S5

Formasi
Nanggulan
dan Formasi
Sentolo

S6

Formasi
Semilir

S7

Formasi
Semilir dan
Formasi
Nglanggran

S8

Formasi
Nanggulan,
andesit tua
Formasi
Bemmelen,
dan Formasi
Semilir

kuesta

S9

Formasi
Kebobutak,
Formasi
Semilir, dan
Formasi
Nglanggran

cekungan
denudasional

S10

Formasi
Wonosari,
aluvium

pegunungan
struktural
terbiku kuat

teras
struktural
terbiku lemah

teras
sturuktural
terbiku
sedang

teras
struktural
terbiku kuat

perbukitan
terisolasi

batulempung,
napal tufan,
batugamping
terumbu, dan
kalkarenit
breksi
andesit, tuf,
tuf lapili,
aglomerat,
lava andesit,
breksi tuf,
breksi
batuapung,
batupasir,
batulempung,
napal tufan,
batugamping
terumbu, dan
kalkarenit
batupasir,
napal
pasiran,
batulempung,
batugamping,
dan batupasir
napalan
perselingan
batupasirbatulempung
tufan, dan
breksi tuf
breksi
andesit, tuf,
tuf lapili,
aglomerat,
lava andesit,
batupasir,
batulempung,
batupasir,
napal
pasiran,
batulempung,
breksi
andesit, tuf,
tuf lapili,
aglomerat,
dan
perselingan
batupasirbatulempung
tufan
perselingan
batupasir,
batulempung,
tuf, dan
aglomerat,
breksi
andesit, tuf,
dan tuf lapili
batugamping
terumbu,
kalkarenit,

pensesaran
dan
pengkekaran

fluvial, gerakan
massa, dan
pelarutan

pensesaran,
perlipatan
dan
pengkekaran

fluvial dan
gerakan massa

pensesaran,
perlipatan
dan
pengkekaran

fluvial dan
gerakan massa

pensesaran
dan
pengkekaran

fluvial dan
gerakan massa

pensesaran
dan
pengkekaran

fluvial dan
gerakan massa

pensesaran,
pengkekaran

fluvial dan
gerakan massa

perlipatan,
pensesaran,
pengkekaran

fluvial dan
pelarutan

pasir
lempungan

KARST

K1

Formasi
Jonggrangan
dan Formasi
Wonosari

batugamping
terumbu

kerucut kars
memanjang

K2

Formasi
Wonosari

batugamping
terumbu

kerucut kars
trapesoid

K3

Formasi
Wonosari

batugamping
terumbu

dataran tepi
karst

K4

Formasi
Wonosari

batugamping
terumbu

K5

Formasi
Jonggrangan
dan Formasi
Wonosari

batugamping
terumbu

kerucut kars
membulat

lembah
kering

FLUVIAL

EOLIAN

dataran banjir

F1

aluvium

dataran banjir
antar
pegunungan

F2

aluvium

kipas aluvial
tidak aktif

F3

aluvium tua

tubuh sungai

F4

aluvium

gumuk pasir

A1

aluvium

kerakal,
kerikil, pasir,
lanau,
lempung
kerakal,
kerikil, pasir,
lanau,
lempung
konglomerat,
pasir, lanau
dan lempung
kerakal,
kerikil, pasir,
lanau,
lempung
pasir, lanau,
lempung

pensesaran
dan
pengkekaran
pensesaran
dan
pengkekaran
pensesaran
dan
pengkekaran
pensesaran
dan
pengkekaran
pensesaran
dan
pengkekaran

pelarutan dan
fluvial
pelarutan dan
fluvial
pelarutan dan
fluvial
pelarutan dan
fluvial
pelarutan dan
fluvial

-

fluvial

-

fluvial

-

fluvial

-

fluvial

-

eolian

Gambar 2. Peta geomorfologi Propinsi D.I. Yogyakarta.

View publication stats