DASAR HUKUM SHALAT melalui RAJAB

DASAR HUKUM SHALAT RAJAB & NISHFU SYA’BAN
Oleh: Abdul Latif, SE, MA
Sebelum membahas dasar hukum shalat Rajab, penting bagi kita
untuk mengetahui dahulu klasifikasi ilmu pengetahuan berdasarkan
cara perolehannya. Dalam hal ini, Ilmu terbagi dua:1. Ilmu Hushuli
: yaitu ilmu yang dihasilkan oleh manusia, ilmu pengetahuan itu
masuk ke dalam memori akal, itulah yang disebut ilmu lahir atau
ilmu rasional. Kalau saya boleh ibaratkan ilmu hushuli bagaikan
ketika kita ingin memiliki cadangan air, kita membuat kolam lalu
kita angkut air sungai untuk dimasukkan ke dalam kolam. Warna
maupun bau air kolam kita sangat tergantung warna dan bau air
sungai tempat kita mengambil air. Air sungai sangat dipengaruhi
lingkungannya. Begitu pula ilmu Hushuli. Pengetahuan dan sikap
seorang murid sangat diperngaruhi gurunya. Ada istilah “guru
kencing berdiri, murid kencing berlari. Tetapi kalau guru kencing
berlari?????? Ya,… murid ngencingin guru. He he he… serius amat.
Ada juga kita kenal pribahasa “ anda tergantung buku apa yang ada
di lemari anda. Ini semua adalah ilmu Hushuli. Semua ilmu yang kita
ketahui adalah ilmu hushuli kecuali ilmu jenis kedua yaitu2. Ilmu
Laduni atau ilmu Hudhuri (yang dihadirkan oleh Allah).
Secara bahasa ladun adalah “sisi” sedangkan huruf ya’ mutakallim

wahdah (wah jadi nggak enak nih pake istilah Nahwu Sharaf) yang
terletak setelah kata “ladun” artinya “Aku”. Maksudnya ilmu Laduni
adalah ilmu yang langsung berasal dari sisi Ku (Allah). Kalau
diibaratkan ilmu Laduni bagaikan kita mengebor tanah. Terus
menerus sehingga ketika sudah mencapai air bersih, maka
muncullah air bersih yang segar dan tidak terkontaminasi warna dan
bau lainnya. Inilah ilmu laduni yang langsung dari Allah, ilmu murni,
suci dan tidak terpengaruh oleh apapun. Cara memperolehnya juga
bukan dengan kuliah sampai S4 atau membaca ribuan buku, namun
dengan terus berdzikir secara mendalam dalam waktu yang relatif
lama sehingga terbukalah hijab spiritual (kasyaf). Ilmu in ihanya
dimiliki seorang Waliyullah.Kaum sufi telah memproklamirkan
keistimewaan ilmu laduni. Ia merupakan ilmu yang paling agung
dan puncak dari segala ilmu. Dengan mujahadah, pembersihan dan
pensucian hati akan terpancar nur dari hatinya, sehingga
tersibaklah seluruh rahasia-rahasia alam ghaib bahkan bisa
berkomunikasi langsung dengan Allah, para Rasul dan ruh-ruh yang
lainnya, termasuk nabi Khidhir. Tidaklah bisa diraih ilmu ini kecuali
setelah mencapai tingkatan ma’rifat melalui latihan-latihan, amalanamalan, ataupun dzikir-dzikir tertentu. Beberapa sufi berkomentar
tentang ilmu laduni, antara lain:1. Al Ghazali dalam kitabnya Ihya’

Ulumuddin 1/11-12 berkata: “Ilmu kasyaf adalah tersingkapnya tirai
penutup, sehingga kebenaran dalam setiap perkara dapat terlihat
jelas seperti menyaksikan langsung dengan mata kepala … inilah
ilmu-ilmu yang tidak tertulis dalam kitab-kitab dan tidak dibahas …
“. Dia juga berkata: “Awal dari tarekat, dimulai dengan mukasyafah
dan musyahadah, sampai dalam keadaan terjaga (sadar) bisa

menyaksikan atau berhadapan langsung dengan malaikat-malaikat
dan juga ruh-ruh para Nabi dan mendengar langsung suara-suara
mereka bahkan mereka dapat langsung mengambil ilmu-ilmu dari
mereka”. (Jamharatul Auliya’: 155)2. Abu Yazid Al Busthami berkata:
“Kalian mengambil ilmu dari orang-orang yang mati. Sedang kami
mengambil ilmu dari Allah yang Maha Hidup dan tidak akan mati.
Orang seperti kami berkata: “Hatiku telah menceritakan kepadaku
dari Rabbku”. (Al Mizan: 1/28)3. Ibnu Arabi berkata: “Ulama syariat
mengambil ilmu mereka dari generasi terdahulu sampai hari kimat.
Semakin hari ilmu mereka semakin jauh dari nasab. Para wali
mengambil ilmu mereka langsung dari Allah yang dihujamkan ke
dalam dada-dada mereka.” (Rasa’il Ibnu Arabi hal. 4)Dedengkot
wihdatul wujud ini juga berkata: “Sesungguhnya seseorang tidak

akan sempurna kedudukan ilmunya sampai ilmunya berasal dari
Allah ‘Azza.LANDASAN SHALAT RAJAB, NISFU SYA'BANDi bawah ini
saya jelaskan beberapa alasan shalat Rajab, Nisfu Sya’ban dan yang
sejenis, antara lain:1. (alasan pertama) Perbedaan penggunaan
jenis ilmu. Ulama hadits yang bukan sufi, dengan segala hormat
atas upaya mereka yang telah memverifikasi hadits, hanya
menggunakan ilmu hushuli dalam menelaah validitas sebuah hadits.
Tidak heran jika menurut para ahli hadits, hadits-hadits yang
menjadi dasar hukum shalat Rajab maupun Nishfu Sya’ban adalah
hadits dha’if maupun maudhu’. Namun para sufi selain
menggunakan ilmu hushuli dalam mencari kebenaran, mereka juga
menggunakan ilmu laduni. Sehingga ada beberapa hadits yang
menurut para sufi dha’if sanadan shahih kasyfan (lemah secara
sanad, namun shahih secara kasyaf). Sudah menjadi kebiasaan para
sufi untuk berkonsultasi dengan Allah dan RasulNya sebelum
melakukan hal yang kecil sekalipun dan meski hanya menyangkut
urusan pribadi. Apalagi ritual-ritual yang menyangkut orang banyak
mereka tentunya bertanya kepada Allah. Hujjatul Islam Imam alGhazali dan Sulthan Awliyaa’ Syekh Abdul Qadir al-Jailani adalah
dua di antara para sufi yang dalam buku susunannya (Ihya’
‘ulumiddin dan al-Ghunyah lithalibii thariqil haq) mencantumkan

ritual-ritual yang ditentang para ahli hadits secara sanad. Beliau
berdua adalah sufi yang tidak diragukan lagi kesufiannya dan
kedekatannya kepada Allah, dikagumi oleh para ulama dunia
termasuk Ibnu Taymiah. Meski demikian mayoritas ahli hadits yang
bukan sufi tetap saja tidak bisa menerima konsep shahih kasyfan.
Apa yang diterapkan oleh kalangan ahli hadits dalam menetapkan
sistem periwayatan hadits sebenarnya berdasarkan rasio dan sistem
yang sangat hati-hati. Artinya dzauq dan pengalaman rohani tidak
dilibatkan.Berbeda dengan para sufi ketika mereka mendapatkan
hadits sistem yang diterapkan tidak hanya dengan sistem yang
melibatkan rasio semata tetapi lebih melibatkan dzauq dan
kasyaf/pengalaman batin. Seperti Ibnu ‘Arabi ketika meriwayatkan
hadits “kuntu kanzan makhfiyan…..dst” menurut beliau hadits ini
disampaikan Rasulullah saw yang menemuinya secara langsung
tanpa tidur dan dalam keadaan sadar. Padahal kehidupan beliau

tidak satu masa. Peringkat beliau pun bukan sahabat. Oleh
karenanya Ibnu ‘Arabi dalam magnum opusnya al-Futuhat alMakkiah mengatakan bahwa haditst ini sebagai “shahih kasyfan wa
la shahih sanadan.” Artinya secara metodologi ahli hadits hadits ini
tidak shoheh bahkan dianggap palsu. Sedangkan secara kasyaf

(pengetahuan batin) peringkatnya shahih. Contoh diatas adalah
sebuah penyebab adanya konfrontasi antara kalangan ahli hadits
dan fuqaha dengan para sufi.2. (alasan kedua) Mengukur diri
sendiri. Banyak ahli hadits yang menilai para sufi sebagaimana
mereka menilai kemampuan diri mereka. Ketika para ahli hadits
tidak bisa berkomunikasi dengan Rasul, mereka katakan tidak
mungkin seseorang bertemu Rasul setelah beliau wafat. Mereka
menyatakan bahwa para sufi sebenarnya banyak melakukan
kebohongan atas nama Nabi, karena mereka selalu menyebutkan
hadits-hadits palsu. Mereka menanggapi pertemuan antara Syekh
Ahmad at-Tijani yang mengaku bertemu dengan Nabi dan
memberikan ijazah tarekat Tijaniyyah, atau Ibnu ‘Arabi yang
bertemu dengan Rasulullah saw dan memberikan hadits qudsi
“kuntu kanzan makhfiyan…..” sebagai pernyataan yang tidak
mungkin terjadi. Syekh Ahmad at-Tijani dan Ibnu ‘Arabi hidup di
masa yang jauh setelah hidupnya Rasulullah s.a.w. Para sufi
menganggap Rasulullah tidak mati tetapi tetap hidup dan dapat
berkomunikasi dengan orang-orang tertentu. Bukankah Allah
berfirman “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang
yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan

(sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya”
(QS. 2:154) juga di ayat lain “Janganlah kamu mengira bahwa
orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu
hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (QS. 3:169).
Bukankah Rasulullah s.a.w. juga berkomunikasi dengan nabi Musa
a.s. saat Mi’raj? Para ahli hadits di zaman dahulu menghabiskan
umurnya untuk mengumpulkan dan mengecek kebenaran hadits
meskipun harus bepergian ke tempat yang jauh. Para ahli hadits
zaman sekarang mungkin lebih ringan karena mengecek hadits
cukup dari buku ke buku. Wajar saja jika mereka memiliki data yang
akurat seputar perawi hadits. Semoga Allah membalas jerih payah
mereka dengan balasan yang berlipat ganda. Sesungguhunya para
sufi juga memliki jerih payah yang tidak kalah meletihkan dalam
beribadah. Bayangkan Syekh Abdul Qadir selama 40 tahun tidak
tidur malam, dan mencukupkan shalat Shubuh dengan wudhu shalat
Isya. Beliau isi setiap malam dengan full beribadah kepada Allah
untuk membersihkan qalbunya. Wajar saja kalau qalbunya begitu
bersih sehingga dapat menyerap cahaya Ilahi lebih banyak dari
yang lain. Dengan qalbunya yang bersih juga ia dapat
berkomunikasi dengan para ruh yang suci.SOLUSISalah satu

Solusinya perbedaan cara pandang… ahli hadits menerapkan sistem
haditsnya sudah betul dan tidak disalahkan. Mereka melibatkan
rasio secara sistematik secara 100%. Sistem seperti ini dapat
diaplikasikan pada ilmu-ilmu fiqh saja dan tidak bisa diterapkan

pada ilmu tasawuf. Sementara sistem hadits yang diterapkan para
sufi pun benar juga, karena untuk memahami dan mendalami ilmu
tasawuf tidak hanya melibatkan rasio, justru rasio hanya dilibatkan
25% saja dan 75% menggunakan dzauq, iman dan mukasyafah.
Sistem pengambilan hadits seperti ini hanya diaplikasikan pada
ilmu-ilmu tasawuf, tetapi tidak bisa digunakan untuk fiqh.3. (alasan
ketiga) Hukum dasar puasa adalah baik dilakukan, Shalat Mutlaq
dapat dilakukan kapan saja.Ketika Al Hafidh Al Muhaddits Imam
Nawawi menjawab masalah puasa di bulan rajab, beliau berkata :‫ولم‬
‫“يثبت في صوم رجب نهى ول ندب لعينه ولكن أصل الصوم مندوب إليه‬Tiada
hukum yg menguatkan puasa di bulan rajab, akan tetapi asal
muasal hukum puasa adalah hal yg baik dilakukan” (Fathul baari
Almasyhur Juz 8 hal.38),jelaslah sudah bahwa Imam Nawawi
berpendapat semua hal yg baik dan sunnah, jika dilakukan di waktu
kapanpun, boleh saja dilakukan pada waktu yang dipilih.Kita tahu

bahwa di dalam satu tahun ada 5 hari yang diharamkan berpuasa
yaitu Iedul Fitri, Iedul Adha, lalu 3 hari setelah Iedul Adha. Mafhum
mukhalafahnya (logika terbalik) adalah selain yang 5 hari itu maka
dibolehkan berpuasa. Untuk lebih memperkaya tentang bagaimana
luwesnya Islam, saya kutip sebuah riwayat dimana ketika ada Imam
masjid Quba yg selalu membaca surat Al Ikhlas setiap ba’da surat
fatihah, ia selalu menyertakan surat Al Ikhlas lalu baru surat lainnya,
lalu makmumnya protes, seraya meminta agar ia menghentikan
kebiasaanya, namun Imam itu menolak, silahkan pilih imam lain
kalau kalian mau, aku akan tetap seperti ini!, maka ketika diadukan
pada Rasul saw, maka Rasul saw bertanya mengapa kau berkeras
dan menolak permintaan teman-temanmu (yang meminta ia tak
membaca surat al-Ikhlas setiap rakaat), dan apa pula yg
membuatmu berkeras mendawamkannya setiap rakaat?” ia
menjawab : “Aku mencintai surat Al Ikhlas”, maka Rasul saw
menjawab : “Cintamu pada surat Al Ikhlas akan membuatmu masuk
sorga” (Shahih Bukhari hadits no.741).SHALAT RAJABSedangkan
shalat Rajab adalah jenis shalat MUTLAQ yang dapat dilakukan
kapan saja. Jadi yang dimaksud dengan shalat Rajab adalah “shalat
mutlaq yang dilakukan pada malam-malam bulan Rajab”. Maka

tidak ada larangan melakukannya pada setiap waktu yang
dibolehkan shalat. Jangan sampai kita mengharamkan sesuatu yang
halal. Allah berfirman: ”Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan
apa yang Allah menghalalkannya bagimu (QS. At-Tahrim 66:1)
Adapun surat-surat yang dibaca dalam shalat mutlaq bulan Rajab
tersebut silakan dibaca surat apa saja selama yang dibaca adalah
al-Qur’an. Begitu pula yang dilakukan oleh imam masjid Quba.
Apalagi para waliyullah sudah mencontohkan dengan membaca
surat-surat tertentu. kita tidak perlu lagi mencari-cari surat yang
dibaca.Ditambah lagi ada haditsnya tentang surat yang dibaca
meskipun haditsnya dha'if atau maudhu', tanpa adanya hadits pun
seseorang boleh saja membaca surat-surat tertentu.Di bawah ini
saya cantumkan hadits yang menunjukkan begitu luwesnya shalat
mutlaq, dimana Bilal menciptakan shalat (mutlaq) syukrul wudhu ‫عن‬

"‫أبي هريرةا رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قالا لبللا عند صلةا الفجر‬
‫ف نعليك بين يدي في‬
‫يا بللا حدثني بأرجي عمل عملته في السلم فإني سمعت د ف‬
‫الجنة قالا ما عملت عمل أرجى عندي أني لم أتطهر طهورا في ساعة ليل أو نهار إل‬
‫" صليت بذلك الطهور ما كتب لي أن أصلي‬.Dari Abu Hurairah r.a.

bahwasanya Rasulullah SAW bersabda pada Bilal : "Hai Bilal,
ceritakanlah kepadaku tentang amal yang kamu harapkan akan
mendapatkan pahala, yang telah kamu kerjakan dalam Islam.
Karena sesungguhnyalah aku mendengar suara terompahmu di
hadapanku di sorga" Bilal menjawab: "saya tidak beramal dengan
sesuatu amal apapun. Yang lebih saya harapkan pahalanya, kecuali
saya mengerjakan shalat setelah aku bersuci (berwudlu) baik di
waktu siang atau malam sesuai dengan yang telah ditentukan
buatku untuk melakukan shalat. (HR. Bukhari dan Muslim )4. Bulan
Rajab adalah Bulan HaramBulan-bulan haram itu adalah waktu
sangat baik untuk melakukan amalan ketaatan, sampai-sampai para
salaf sangat suka untuk melakukan puasa pada bulan-bulan
tersebut. Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Pada bulan-bulan haram,
aku sangat senang berpuasa di dalamnya.” (Latho-if Al Ma’arif, 214)
Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Allah mengkhususkan empat bulan
tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci,
melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar,
dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih
banyak.” (Latho-if Al Ma’arif, 207)Di bawah ini adalah salah satu
contoh hadits yang diperdebatkan oleh para ahli hadits dan sufi ‫عن‬

‫ "ما من أحد يصوم يوم الخميس )أولا‬:‫ أنه قالا‬-‫صلى الله عليه وسلم‬- ‫أنس عن النبي‬
‫خميس من رجب( ثم يصلي فيما بين العشاء والعتمة يعني ليلة الجمعة اثنتي عشرةا‬
‫قد درر(( ثلثا‬
‫ يقرأ في كل ركعة بفاتحة الكتاب مرةا و))إفنا قأنقزل دقناه ه رفي ل قي دل قةر ال ق‬، ‫ركعة‬
‫ل ههو الل ف ق‬
‫ فإذا‬، ‫ يفصل بين كل ركعتين بتسليمة‬، ‫د(( اثنتي عشرةا مرةا‬
‫ح د‬
‫هأ ق‬
‫ه‬
‫ و))قه د ق‬،‫مرات‬
‫ )سبوح قدوس رب‬:‫ فيقولا في سجوده سبعين مرةا‬،‫ي سبعين‬
‫عل‬
‫صلى‬
‫فرغ من صلته‬
‫ي‬
‫ رب اغفر وارحم وتجاوز عما‬:‫ ثم يرفع رأسه ويقولا سبعين مرةا‬، (‫الملئاكة والروح‬
‫ ثم يسجد الثانية فيقولا مثل ما قالا في السجدةا‬، ‫ إنك أنت العزيز العظم‬، ‫تعلم‬
‫صلى الله عليه‬- ‫ قالا رسولا الله‬.."‫ فإنها تقضى‬، ‫ ثم يسألا الله )تعالى( حاجته‬، ‫الولى‬
‫ق‬
‫مة صلى هذه الصلةا إل غفر الله له جميع‬
‫ ما من عبد ول أ ق‬، ‫ "والذي نفسي بيده‬:-‫وسلم‬
، ‫ وورق الشأجار‬، ‫ ووزن الجبالا‬، ‫ وعدد الرمل‬، ‫ ولو كانت مثل زبد البحر‬، ‫ذنوبه‬
‫ )إحياء علوم‬.‫ويشفع يوم القيامة في سبعمئة من أهل بيته ممن قد استوجب النار‬
‫ للغزالي‬، ‫)الدين‬Dari Anas dari Nabi s.a.w. beliau bersabda, “Tiada
seorangpun yang berpuasa pada hari Kamis (kamis pertama bulan
Rajab) kemudian shalat antara Maghrib dan Isya yaitu malam Jum’at
12 rakaat, dibaca pada setiap rakaat al-Fatihah satu kali, dan alQadr 3 kali, al-Ikhlas 12 kali, dipisahkan antara setiap 2 rakaat
dengan 1 salam. Kemudian setelah shalat selesai bershalawat
kepadaku 70 kali, kemudian membaca pada sujudnya 70 kali ‫سبوح‬
‫قدوس رب الملئاكة والروح‬, kemudian mengangkat kepalanya dan
mengucapkan 70 kali ‫ إنك أنت العزيز‬، ‫رب اغفر وارحم وتجاوز عما تعلم‬
‫العظم‬, Kemudian sujud yang kedua dan mengucapkan sebagaimana
yang diucapkan pada sujud pertama. Kemudian memohon kepada
Allah agar dikabulkan hajatnya, maka hajatnya akan dikabulkan.
Rasulullah s.a.w. melanjutkan, dan demi yang jiwaku berada di
tanganNYa (Allah) tiada seorang hamba baik laki-laki maupun

perempuan menjalankan shalat ini kecuali Allah mengampuni
seluruh dosa-dosanya meskipun sebanyak buih di lautan, dan
sebanyak pasir, dan sebesar gunung, dan sebanyak dedaunan di
pepohonan, dan ia akan memberi syafaat kepada 700 keluarganya
yang masuk neraka”. (Ihya’ Ulumiddin)Wallahu a'lam bishshawwab.