BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA KONSEP DAN KERANGKA TEORI 2.1 Kajian Pustaka 2. 1. 1 Penelitian yang Relevan - Terjemahan Istilah Budaya Dalam Novel Negeri 5 Menara Ke Dalam Bahasa Inggris The Land Of Five Towers

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA KONSEP DAN KERANGKA TEORI

2.1 Kajian Pustaka 2. 1. 1 Penelitian yang Relevan

  Penelitian yang relevan mengenai terjemahan yang berkaitan dengan budaya telah dilakukan sebelumnya oleh : 1) Roswita Silalahi (2009) dalam disertasinya berjudul Dampak Teknik, Metode

  

dan Ideologi Penerjemahan pada Kualitas Terjemahan Teks Medical-Surgical

Nursing dalam bahasa Indonesia menetapkan tujuan penelitiannya sebagai

  berikut (1) merumuskan teknik penerjemahan yang diterapkan dalam menerjemahkan, kata, frasa, klausa dan kalimat yang terdapat dalam teks

  Medical-Surgical Nursing ke dalam bahasa Indonesia, (2) mendeskripsi metode

  penerjemahan yang ditetapkan, (3) mengekspresikan ideologi penerjemahan yang dianut oleh penerjemah, dan (4) menilai dampak teknik, metode dan ideologi penerjemahan tersebut pada kualitas terjemahan.

  Dalam penelitiannya Silalahi menggunakan pendekatan deskriptif- kualitatif dengan disain studi kasus terpancang dan berorientasi pada produk, yang mengkaji aspek objektif dan afektif, dengan temuan penelitian sebagai berikut; pertama, delapan teknik penerjemahan diterapkan oleh penerjemah dalam menerjemahkan teks Medical-Surgical Nursing yaitu teknik harafiah (literal), peminjaman murni, peminjaman alamiah, calque, transposisi, modulasi, penghilangan, dan penambahan. Berdasarkan frekuensi penggunaannya, teknik

  13 harafiah menempati urutan pertama (489), yang diikuti oleh peminjaman murni (224), peminjaman alamiah (222), transposisi (68), calque (67), modulasi (25), penghilangan (16), dan teknik penambahan (9). Kedua, secara teori, teknik harafiah, peminjaman murni, peminjaman alamiah, dan teknik calque berorientasi pada BSu sedangkan teknik transposisi, modulasi,penghilangan dan teknik penambahan berorientasi pada BSa. Dengan demikian, metode penerjemahan yang dipilih penerjemah adalah metode penerjemahan literal, setia dan semantik.

  Ketiga, penggunaan teknik penerjemahan dan pemilihan metode penerjemahan lebih dilandasi oleh ideologi foreignisasi dalam menerjemahkan teks sumber data penelitian ini. Keempat, dalam hal kualitas terjemahan, ditemukan bahwa 338 (64,75%) diterjemahkan secara akurat, 136 (26,05%) kurang akurat, dan 48 (9,20%) tidak akurat. Dari aspek keberterimaannya, 396 (75,86%) berterima, 91 (17,44%) kurang berterima dan 35 (6,70%) tidak berterima. Sementara itu, 493 (96,29%) data sasaran mempunyai tingkat keterbacaan tinggi dan 19 (3,71%) mempunyai tingkat keterbacaan sedang. Dalam pada itu, teknik peminjaman murni, teknik penerjemahan alamiah, calque, dan juga harafiah memberikan dampak yang sangat positif terhadap keakuratan terjemahan, sementara kekurang akuratan dan ketidak akuratan yang terjadi pada terjemahan lebih disebabkan oleh penerapan teknik penghilangan, penambahan, modulasi dan teknik transposisi.

  Kekurang berterimaan dan ketidak berterimaan cenderung disebabkan oleh penggunaan kalimat yang tidak gramatikal, dan masalah yang menghambat pemahaman pembaca sasaran cenderung disebabkan oleh penggunaan istilah asing yang tampaknya belum akrab bagi pembaca, kolokasi yang tidak tepat, kata bahasa indonesia yang belum lazim bagi pembaca dan kesalahan ketik.

  2) Sulaiman Ahmad (2011) dalam tesisnya Analisis Terjemahan Isilah-istilah

  Budaya pada Brosur Pariwisata Berbahasa Inggris Provinsi Sumatera Utara, mengidentifikasi istilah-istilah budaya yang terdapat pada brosur pariwisata

  berbahasa Indonesia dan berbahasa Inggris, Provinsi Sumatera Utara, teknik penerjemahan dan pergeseran (shift) yang terjadi pada pada terjemahan istilah- istilah budaya pada brosur pariwisata berbahasa Indonesia dan bahasa Inggris tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif- kualitatif.

  Data yang digunakan adalah terjemahan istilah-istilah budaya yang terdapat pada brosur pariwisata berbahasa Indonesia dan berbahasa Inggris Provinsi Sumatera Utara, yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumetra Utara tahun 2008. Hasil penelitian Ahmad tersebut menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 67 data istilah budaya pada brosur pariwisata berbahasa Indonesia dan berbahasa Inggris. Istilah-istilah yang berkaitan dengan istilah budaya terdapat (99,99%), teknik terjemahan yang digunakan dalam penerjemahan istilah-istilah budaya terdapat (98,51%) dan pergeseran (shift) pada terjemahan istilah-istilah budaya dari bahasa sumber ke dalam bahasa Inggris terdapat 44 data (93,18%).

  Kajian Ahmad tersebut menunjukkan bahwa objek yang diteliti adalah

  

Brosur Pariwisata Berbahasa Inggris Provinsi Sumatera Utara dengan

  menganalisis istilah budaya menurut teori (Newmark, 1988:95), teknik penerjemahan menurut teori (Molina dan Albir, 2002:507) dan pergeseran terjemahan (Catford, 1978:73). Dari kajiannya tersebut, peneliti memiliki objek kajian yang berbeda yang meneliti tentang novel Negeri 5 Menara dan terjemahannya The land Of Five Towers dengan menganalisis kategori istilah budaya (Newmark, 1988:95) dan teknik penerjemahan (Molina dan Albir, 2002:507).

  (3) Kurniawati (2006) melakukan penelitian berjudul Analisis Ideologi

  Penerjemahan dan Mutu Terjemahan Ungkapan dan istilah Budaya: Kajian

terhadap Teks “The Choice: Islam and Christianity” dan Teks “The choice:

Dialog Islam- Kristen.” Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dari 296

  ungkapan dan istilah budaya yang terdapat dalam

  “The choice: Islam and Christianity ,” 80,7% diterjemahkan dengan menerapkan ideologi domestikasi,

  16,6% dialihkan dengan menerapkan ideologi foreignisasi, dan 2,7% tidak diterjemahkan atau dihilangkan dari teks bahasa sasaran.

  (4) Gede Eka Putrawan (2011) dalam tesisnya The Ideology of Translation of

  

Cultural Terms Found in Pramoedya Ananta Toer‟s Work Gadis Pantai into The

Girl from The Coast, menemukan lima kategori istilah budaya dalam novel

  tersebut dengan 16 teknik penerjemahan yang digunakan oleh penerjemah dalam menerjemahkan istilah-istilah budaya yang meliputi teknik penerjemahan tunggal dan ganda. Disamping itu juga, terdapat ideologi penerjemahan foreingnisasi dan domestikasi karena adanya kombinasi-kombinasi penggunaan teknik penerjemahan yang berbeda. Ada teknik penerjemahan yang berorientasi pada bahasa sumber dan ada yang berorientasi pada bahasa sasaran. Ideologi yang paling diterapkan dalam penelitiannya adalah ideologi domestikasi 82,20%, ideologi foreignisasi 9,82%, dan ideologi sebagian foreignisasi dan domestikasi 7,98%. (5). Clara Puspita (2012) dalam tesisnya Ideologi Penerjemahan Pada Teks

  

Psikologi Abnormal, menemukan tujuh teknik penerjemahan yaitu teknik harafiah

  (54), penambahan (18), modulasi (11), parafrasa (6), peminjaman alamiah (5), penggantian (4), dan teknik penghilangan (2). Teknik harafiah dan peminjaman alamiah berorientasi pada bahasa sumber sedangakan teknik penambahan, modulasi, parafrasa, penggantian dan teknik penghilangan berorientasi pada bahasa sasaran. Maka dalam penelitiannya, dia menemukan metode penerjemahan yang dipilih oleh penerjemah adalah metode penerjemahan literal, setia, dan semantik yang dilandasi ideologi foreignisasi. (6). Havid Ardi (2010) dalam tesisnya Analisis Teknik Penerjemahan dan

  Kualitas Terjemahan Buku “Asal Asul Elite Minangkabau Modern: Respons

terhadap Kolonial Belanda Abad ke XIX/XX”, Tujuan penelitian untuk

  mengidentifikasi dan mendeskripsikan teknik, metode, dan ideologi penerjemahan, serta melihat dampaknya terhadap kualitas terjemahan dari aspek keakuratan (accuracy), keberterimaan (acceptability) serta keterbacaan (readabliity) terjemahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 18 jenis teknik penerjemahan dari 731 teknik yang digunakan penerjemah dalam 285 data.

  Berdasarkan frekuensi penggunaan teknik tersebut adalah: amplifikasi 122 (16,69%), penerjemahan harfiah 86 (11,76%), padanan lazim 84 (11,49%), modulasi 73 (9,99%), peminjaman murni 71 (9,71%), reduksi/implisitasi 61 (8,34%), adaptasi 57 (7,80%), penambahan 37 (5,06%), transposisi 27 (3,69%), generalisasi 22 (3,01%), kalke 19 (2,60%), inversi 16 (2,19%), partikularisasi 15 (2,05%), penghilangan 15 (2,05%), kreasi diskursif 10 (1,37%), deskripsi 9 (1,23%), peminjaman alami 6 (0,82%), dan koreksi 1 (0,14%). Berdasarkan teknik yang dominan terungkap bahwa buku ini cenderung menggunakan metode komunikatif dengan ideologi domestikasi. Dampak dari penggunaan teknik penerjemahan ini terhadap kualitas terjemahan cukup baik dengan rata-rata skor keakuratan terjemahan 3,33, keberterimaan 3,55, dan keterbacaan 3,53. Hal ini mengindikasikan terjemahan memiliki kualitas keakuratan, keberterimaan dan keterbacaan yang baik. Teknik yang paling banyak memberi kontribusi positif terhadap tingkat keakuratan, keberterimaan, dan keterbacaan terjemahan adalah teknik amplifikasi, penerjemahan harfiah, dan padanan lazim. Sementara, teknik penerjemahan yang banyak mengurangi tingkat keakuratan & keberterimaan adalah modulasi, penambahan, dan penghilangan.

  (7). Singgih Daru Kuncara (2012) dalam tesisnya Analisis Terjemahan Tindak

  Tutur Direktif Pada Novel The Godfather Karya Mario Puzo Dan Terjemahannya Dalam Bahasa Indonesia. Penelitiannya bertujuan untuk mengevaluasi penerapan

  fungsi ilokusi tindak tutur direktif, penggunaan teknik penerjemahan dan dampaknya terhadap kualitas terjemahan. Sumber data ialah novel yang berjudul Sang Godfather karya Mario Puzo dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Data dalam penelitian ini adalah tuturan direktif yang ada pada kedua novel dan informan (rater dan responden). Analisis data menggunakan metode etnografis dari Spradley; analisis domain, analisis taksonomi, analisis komponensial dan tem uan nilai budaya. Hasil penelitian, dari 152 data, ditemukan sebanyak delapan fungsi ilokusi direktif. Fungsi tersebut antara lain memerintah 76 data (50,0%), menyarankan 22 data (14,5%), meminta 17 data (11,1%), memohon 11 data (7,2%), melarang 10 data (6,6%), menasihati 9 data (5,9%), membujuk 4 data (2,7%), menyilakan 3 data (2,0%). Kemudian, ditemukan sebanyak 12 teknik penerjemahan dengan frekuensi total penggunaan sebanyak 244 kali. Teknik tersebut meliputi teknik harfiah 80 kali (32,8%), peminjaman murni 50 kali

  (20,5%), transposisi 33 kali (13,5%), reduksi 28 kali (11,5%), penambahan 16 kali (6,6%), modulasi 14 kali (5,7%), partikularisasi 7 kali (2,9%), adaptasi 6 kali (2,5%), amplifikasi linguistik 5 kali (0,8%), penghilangan 2 kali (0,4%), padanan lazim, deskripsi dan generalisasi masing-masing 1 kali (0,4%). Teknik yang digunakan menghasilkan terjemahan yang akurat, berterima dan mudah dipahami.

2.2 Kerangka Konsep

  Berikut ini adalah penjelasan tentang kerangka konsep penelitian yang mencakupi : definisi terjemahan, prinsip penerjemahan, jenis terjemahan, batasan istilah budaya, teknik penerjemahan, dan definisi novel.

2.2.1 Definisi Penerjemahan

  Menerjemahkan merupakan seni (art) yang didukung kecintaan, kemauan dan dedikasi. Sebagai suatu seni dalam menyampaikan pesan, baik makna dan gaya bahasanya, penerjemah hendaknya membekali diri dengan kemampuan estetis. Penggunaan kata-kata harus menunjukkan kepekaan estetis, begitu pula penyusunan kalimat memerlukan kompetensi yang serba estetis. Sejalan dengan itu, Hanafi (1986:22) menyatakan bahwa

  “perbuatan menerjemahkan juga merupakan suatu ketrampilan (skill) yang bisa dipelajari, ditingkatkan, dikembangkan dan diajarkan ”.

  Kemampuan estetis dan ketrampilan dalam menerjemahkan bertujuan agar para penerjemah mampu memahami dan menyampaikan isi atau pesan dari BSu ke dalam BSa agar pembaca mengerti isi atau pesan sebagaimana dalam BSu, sehingga para pembaca merasa puas. Selain seni dan ketrampilan, Jumpelt (1963) menyatakan juga bahwa penerjemahan merupakan sebuah ilmu. Ini berarti bahwa ilmu penerjemahan melibatkan analisis linguistik dan semantik. Ilmu penerjemahan yang dimaksud di sini adalah bukanlah ilmu murni melainkan ilmu terapan karena di dalamnya aspek-aspek praktis sangat ditekankan (Barnstone, 1993). Oleh karena itu, penerjemahan tidak dapat dinyatakan bahwa penerjemahan hanya sebagai sebagai sebuah seni karena dalam kegiatan menerjemahkan dibutuhkan juga suatu ketrampilan. Demikian pula, kurang tepat jika dinyatakan bahwa penerjemahan termasuk kategori seni dan ketrampilan semata karena setiap kegiatan menerjemahkan selalu melibatkan analisis linguistik dan semantik, sehingga dapat dikatakan bahwa penerjemahan gabungan antara seni, ketrampilan dan ilmu. Dalam penerjemahan juga tidak terlepas dari dua aktivitas penting yaitu (1) tindakan pemahaman „act of comprehension‟ yaitu bagaimana seseorang memahami makna kata atau kalimat yang erat kaitannya dengan konteks kalimat/ alinea. Dalam hal ini pemahaman pesan hendaknya disertai dengan persamaan pengertian. (2) tindakan pengungkapan „act of

  

expression‟ yaitu melalui cara bagaimana seseorang mengungkapkan agar apa

  yang diucapkan atau dituliskan sesuai dan cukup mewakili simbol dan sajian penulis asli, baik berupa kalimat/alinea, Catford (1965).

  Melalui penerjemah segala sesuatu yang tidak dikenal dan tersingkap bisa segera terungkap jelas. Levy (1967) menyatakan “Terjemahan merupakan proses kreatif yang memberikan kebebasan bagi penerjemah untuk memilih kemungkinan padanan yang dekat dalam mengungkapkan makna yang sesuai dengan situasinya

  ”. Sebagai suatu proses kreatif, perbuatan menerjemahkan memberikan kelonggaran bagi penerjemahnya, berupa kebebasan atau otonomi untuk mencari padanan yang pantas disajikan berdasarkan konteks situasinya. Dengan adanya otonomi ini berarti seorang penerjemah memiliki peluang yang cukup besar dan berarti, serta secara potensial penerjemah bisa mengembangkan kemampuan atau ketrampilannya. Penerjemah bebas berkreasi pada penciptaan orang lain, sepanjang apa yang dilakukannya tidak menyeleweng.

  Sehingga bentuk keterikatan, kelakuan, karena harus mempertahankan bentuk, bisa dihindari dengan menghasilkan produk terjemahan yang baik dan mudah mengerti.

  Selain itu, Forster (1958) mengemukakan “Terjemahan merupakan pemindahan isi naskah dari satu bahasa ke bahasa lainnya, yang perlu diingat bahwa kita tidak selalu bisa memisahkan isi dari bentuk naskah itu”. Berdasarkan pendapat ini dapat dikatakan bahwa apa yang dilakukan dalam penerjemahan hendaknya dapat memindahkan isi yang merupakan pesan, sekaligus mempertahankan bentuknya yang berupa gaya pengungkapan ataupun gaya bahasanya.

  Esensi terjemahan terletak pada makna dari bahasa yang berbeda, hal ini di katakan House (1977), “Terjemahan merupakan penggantian kembali naskah berbahasa sumber dengan yang berbahasa sasaran yang secara semantik dan pragmatik sepadan”. Makna beraspek semantik erat kaitannya dengan makna denotatif, sedangkan makna beraspek pragmatik bertautan dengan makna konotatif. Selanjutnya, Kridalaksana (1985) mendefinisikan penerjemahan sebagai pemindahan suatu amanat dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dengan pertama-tama mengungkapkan maknanya dan kemudian gaya bahasanya.

  Dari beberapa definisi di atas, peneliti menyimpulkan bahwa definisi yang dikatakan oleh Levy dan Kridalaksana menekankan bahwa dalam menerjemahkan yang paling penting disampaikan adalah pengalihan makna yang sepadan dari BSu ke dalam BSa dengan memberikan kebebasan bagi penerjemah untuk memilih kemungkinan padanan yang dekat dalam mengungkapkan makna yang sesuai dalam BSa, bukan bagaimana menerjemahkan kata, frasa atau kalimat yang ada dalam BSu. Selain pengalihan makna, bentuk bahasa atau gaya bahasa juga merupakan aspek penting yang perlu dipertimbangkan dalam penerjemahan. Nababan (2003:20) menyatakan bahwa baik penerjemah karya sastra maupun karya ilmiah tidak hanya mempertimbangkan isi berita tetapi juga bentuk bahasa dalam terjemahannya karena pada hakekatnya setiap bidang ilmu mempunyai gaya bahasa dalam mengungkapkan pesannya. Menurut dia, gaya bahasa dalam bidang penerjemahan lebih terfokus pada tingkat keresmian bentuk bahasa sasaran yang disesuaikan dengan tingkat keresmian bentuk bahasa sumber. Jika menerjemahkan suatu teks ilmiah, penerjemah harus menggunakan ragam bahasa ilmu dalam terjemahannya. Demikian juga dalam penerjemahan karya sastra, jika penerjemah menerjemahkan sebuah prosa, seyogianya gaya bahasa prosa itu harus muncul dalam terjemahannya. Hasil atau produk terjemahan itu benar-benar tepat makna. Ada kesesuaian dan kesamaan pesan penulis naskah aslinya dengan pesan yang diterima pembaca yang bukan masyarakatnya, di luar jangkauan bahasanya setelah melalui proses penerjemahan dan mempertahankan bentuk atau gaya bahasanya.

2.2.2 Prinsip Penerjemahan

  Savory (1968) mengatakan ada beberapa prinsip penerjemahan yang berkaitan dengan ragam terjemahan untuk mencapai produk yang baik, adalah .

1. A translation must give the words of the original (Terjemahan harus menyajikan kata-kata dari naskah aslinya).

  2. A translation must give the ideas of the original (Terjemahan harus menyajikan ide-ide dari naskah aslinya).

  3. A translation should read like an original work (Terjemahan hendaknya terbaca seperti karya aslinya).

  4. A translation should read like a translation (Terjemahan hendaknya terbaca sebagai terjemahan)

  5. A translation should reflect the style of the original (Terjemahan hendaknya merefleksikan gaya dari naskah aslinya).

  6. A translation should possess the style of the translator (Terjemahan hendaknya memiliki gaya yang dipakai penerjemah).

  7. A translation should read as a contemporary of the original (Terjemahan hendaknya terbaca sebagaimana bahasa kontemporer penerjemah).

  8. A translation may add to or omit from the original (Terjemahan boleh menambahkan atau mengurangi bagian dari naskah aslinya)

  9. A translation may never add to or omit from the original (Terjemahan tidak boleh menambahkan atau mengurangi bagian dari naskah aslinya)

  10. A translation of verse should be in prose (Terjemahan sajak hendaknya berbentuk prosa)

  11. A translation of verse should be in verse (Terjemahan sajak hendaknya berbentuk sajak) Dari beberapa prinsip tersebut di atas, penerjemah tentu akan mengalami kesulitan bila menerapkan semuanya, sebab kadang-kadang satu dengan yang lain bertolak belakang. Karenanya, seorang penerjemah boleh memilih mana prinsip penerjemahan yang paling tepat digunakan untuk menghasilkan terjemahan yang baik. Oleh karena itu, peneliti berpendapat bahwa prinsip penerjemahan yang digunakan dalam rangka mencapai produk yang baik yaitu terjemahan yang menyajikan ide-ide dari naskah aslinya, terjemahan hendaknya terbaca seperti karya aslinya dan terjemahan boleh menambahkan atau mengurangi bagian dari naskah aslinya yang disesuaikan dalam BSa. Prinsip ini menekankan pada pengalihan makna yang menyajikan ide-ide dari naskah aslinya yang dapat menambah atau mengurangi TSu yang disesuaikan ke dalam TSa. Ketepatan pengalihan makna atau pesan

  „message‟ merupakan hal yang penting dalam menerjemahkan, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman dan ambiguitas terhadap pembaca teks bahasa sasaran. Hal ini senada yang dikatakan oleh Koller (1972), “Terjemahan yang baik hendaknya dimengerti dengan benar dan semudah naskah aslinya, dan menghadirkan respon yang sepadan dalam pelibatan atas apa yang dimiliki bahasa- bahasa penerima”. Dari pendapat ini, ada dua hal penting yang ditekankan yaitu tentang terjemahan yang benar dan mudah , serta respon yang sepadan dari bahasa penerima terhadap naskah aslinya.

  Di samping itu juga, Nida (1964) mengemukakan tiga kriteria atas produk terjemahan yang baik yaitu (1) proses komunikasi yang secara umum efisien, (2) pemahaman maksud dan (3) kesepadanan responsi. Selanjutnya dia mengatakan efisien proses komunikasi adalah bentuk pencerapan maksimal atas upaya minimal terhadap pemahaman maksud penulis naskah dan dimengertinya pesan tersebut dalam kebudayaan bahasa penerima. Selain itu, kesepadanan respon erat kaitannya dengan maksud dari pesan itu. Dapat disimpulkan dari pernyataan di atas bahwa produk terjemahan yang di katakan baik pada umumnya yaitu : (1) Memuat ide yang lengkap, gaya dan cara penulisan, serta kemudahan dari naskah aslinya, (2) Mengandung tujuan dan maksud yang mudah dimengerti atas naskah aslinya, (3) Mencerminkan efek yang sama seperti pada naskah aslinya, (4) Mengandung kebenaran maksud dan responnya sepadan sesuai dengan naskah aslinya, (5) Proses komunikasinya tidak bertele-tele atau sebaiknya efisien, (6) Penyimpangan makna kalau ada, hendaknya sekecil mungkin, (7) Bahasa yang digunakan sesuai dengan naskah aslinya, (8) Kepribadian penerjemah, penulis naskah dan pembacanya hendaknya selaras.

2.2.3 Jenis-jenis Terjemahan

  Moentaha (2006:30) menggolongkan jenis-jenis terjemahan menurut ciri- ciri dan fungsi masing-masing sebagai berikut :

2.2.3.1 Terjemahan Menurut Ragam Bahasa

  Jenis terjemahan menurut ragam bahasa terdiri dari beberapa ragam: sastra, jurnalistik, surat kabar, ilmiah dan dokumen resmi. Setiap ragam mempunyai subragam sendiri. Hal ini dapat dilihat dalam tabel 2.1berikut :

Tabel 2.1 Terjemahan menurut ragam bahasa

  No. Ragam No. Subragam

  1 2.

  Sastra Jurnalistik

  1

  2 Prosa, puisi, drama; Oratoria, esai, artikel;

  3 Koran/Surat kabar

  3 Editorial, headline, artikel, berita, singkat, iklan, pengumuman; 4 ilmiah

  4 Rangkaian ujaran, penggunaan istilah, pola kalimat (postulat, argumen, formula), sitiran/nuklian, catatan bawah (foot-note), refrensi;

  5 Dokumen resmi 5 dokumen bisnis, dokumen undang-undang, dokumen diplomatik, dokumen militer.

  Dari tabel ragam bahasa tersebut di atas, salah satu sub ragam sastra yaitu prosa. Prosa dibagi atas novel, dongeng dan cerpen pendek. Oleh karena itu, salah satu yang diteliti dalam ragam sastra bahasa di atas yaitu novel. Novel merupakan salah satu karya fiksi yang bentuk teksnya sarat dengan istilah-istilah budaya.

2.2.3.2 Terjemahan Menurut Bentuk Teks

  Jenis terjemahan yang dibedakan menurut bentuk teks yang digunakan dalam BSu dan dalam Bsa, seperti pada tabel 2.2 berikut .

Tabel 2.2 Jenis terjemahan menurut bentuk teks

  Terjemahan BSu / BSa Tertulis Lisan

  Terjemahan tertulis

  • Tertulis (1) (2)
  • Lisan (3) (4)

  Terjemahan lisan Pada kotak-kotak (1) dan (4) ditemukan jenis-jenis terjemahan yang sudah terkenal dan yang bisa berdiri sendiri: terjemahan tertulis (written translation) dan terjemahan lisan (oral translation). Sedangkan kotak-kotak (2) dan (3) tidak menunjukkan adanya jenis-jenis terjemahan yang mandiri, karena kotak-kotak itu mencakup bermacam-macam teknik terjemahan. Misalnya, kotak (2) bisa menyangkut terjemahan lisan-dikte atau terjemahan lisan dari siaran radio/TV.

  Kotak (3) mencakup terjemahan dari selembaran kertas yang disampaikan secara lisan.

2.2.3.3 Terjemahan Menurut Hierarki Bahasa

  Terjemahan sebagai proses penggantian teks dalam satu bahasa dengan teks dalam bahasa lain berlangsung tanpa mengubah tingkat isi teks asli. Hal ini berarti dalam penerjemahan terjadi penggantian satuan-satuan bahasa di tingkat isi yang dipertahankan tanpa perubahan. Tugas penting bagi penerjemah dalam melakukan pengalihbahasaan ialah mencari padanan dalam teks BSu satuan- satuan minimal yang layak diterjemahkan, yakni satuan-satuan bahasa yang harus dicari padanannya dalam teks BSa. Satuan seperti ini disebut satuan terjemahan (unit of translation). Jadi, satuan terjemahan ialah satuan Bsu yang mempunyai padanan dalam BSa. Hanya saja, satuan BSa terkecil (minimal) bisa terdiri dari struktur kompleks yang bagian-bagiannya secara terpisah tidak diterjemahkan, yakni dalam TSa tidak bisa ditentukan padanannya.

  Dalam linguistik disebut bahwa satuan bahasa terkecil yang mengandung arti adalah morfem. Tetapi, morfem hanya kadang-kadang saja berfungsi sebagai satuan terjemahan. Hal ini disebabkan, karena pertama sering terjadi bahwa makna satuan yang tidak dapat dipecah bukan oleh morfem, tetapi oleh satuan bahasa yang lebih tinggi tingkatnya yaitu kata, rangkaian kata-kata dan lain-lain, kedua bahkan, kalau satuan-satuan yang lebih tinggi tingkatnya, seperti kata, rangkaian kata-kata, kalimat tidak merupakan satuan-satuan idiom, yakni secara semantis bisa dipecah, maka satuan-satuan itu sering berpadanan dalam BSa dengan satuan-satuan yang tidak dapat dipecah. Karena itulah, maka satuan terjemahan ternyata adalah semua satuan BSu secara keseluruhan, yang lebih tinggi tingkatnya daripada morfem, seperti kata, rangkaian kata-kata, kalimat dan teks. tetapi, dalam praktiknya, satuan dari setiap tingkat bahasa bisa menjadi satuan terjemahan.

2.2.4 Batasan Istilah Budaya

  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah adalah kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dalam bidang tertentu. Selain itu, Soanes (2002:1188) menyatakan bahwa istilah adalah kata atau frasa yang digunakan untuk menjelaskan suatu benda atau menyatakan konsep. Jadi istilah budaya yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ungkapan berupa kata atau frasa yang digunakan pada konteks makna yang berkaitan dengan budaya. Dalam bahasa sumber banyak istilah yang sulit dicarikan padanannya dalam bahasa sasaran, bahkan terkadang tidak ada sama sekali. Kelangkaan padanan inilah yang menyebabkan terjemahan berkualitas rendah (Hanafi, 1986:37).

  Di dalam hubungan bahasa dan budaya, bahasa merupakan objek kajian penerjemahan sedangkan di sisi lain bahasa merupakan bagian dari kebudayaan.

  Fenomena ini menunjukkan bahwa penerjemahan melibatkan unsur budaya, baik BSu maupun BSa. Budaya penerjemah akan mempengaruhi hasil penerjemahan, khususnya struktur terjemahannya. Itulah sebabnya ditemukan bahwa suatu ide yang sama tidak akan direalisasikan ke dalam struktur, khususnya tema yang sama dalam bahasa yang berbeda. Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan budaya penutur bahasa tersebut, sehingga tidak bisa satu ide disampaikan dalam dua bahasa dengan struktur tema yang sama. Hal inilah yang menjadi kendala ataupun kesulitan di dalam menerjemahkan bahasa. Dengan demikian kemampuan penerjemahan memerlukan pengetahuan dan wawasan yang luas tidak hanya mencakup aspek pengetahuan terhadap BSu dan BSa tetapi juga budaya pemakai bahasa tersebut.

  Dalam kaitannya budaya dengan penerjemahan, Hoed (2006:79) menyatakan “kebudayaan merupakan cara hidup (way of life) yang perwujudannya terlihat dalam bentuk perilaku serta hasilnya terlihat secara material (disebut artefak), yang diperoleh melalui proses pembiasaan dan pembelajaran dalam suatu masyarakat dan diteruskan dari generasi ke generasi

  ”. Kebudayaan bersifat khas bagi masyarakat tertentu dan penguasaannya tidak secara naluriah, melainkan melalui proses pembiasaan dan pembelajaran dari generasi ke generasi, karena bersifat khas bagi suatu masyarakat, maka tidak ada dua kebudayaan yang sama.

  Oleh karena tidak ada dua kebudayaan yang sama, unsur kebudayaan dan artefak yang dibicarakan dalam sebuah TSu seringkali sulit diperoleh padanannya yang tepat dalam TSa. Sehingga penerjemah menghadapi berbagai masalah dalam menerjemahkan unsur budaya yang terdapat dalam TSu ke dalam TSa. Jika penerjemah tidak mempunyai pengetahuan atau wawasan yang luas tentang sistem linguistik dan konteks budaya penulis TSu, penerjemah tidak akan bisa memahami teks itu dengan baik dan demikian juga keberhasilannya. Misalnya kata dalam bahasa Indonesia tidak dikenal padanannya dalam bahasa Inggris atau kata Inggrisnya tidak sepenuhnya sepadan seperti kebaya, batik, bupati ,camat, terasi, lampu teplok, delman, bajigur dan kredit candak kulak (Hoed, 2006:81).

  Istilah budaya inilah sangat khas, sehingga seorang penerjemah terlebih dahulu memahami makna istilah tersebut untuk diterjemahkan ke dalam BSa, sebab istilah tersebut tidak dikenal dalam bahasa Inggris.

  Dalam perwujudannya, budaya dibagi atas budaya material dan non material. Menurut Liliweri (2002:107) budaya material (material culture) adalah semua objek material yang dibuat, dihasilkan, dan dipakai oleh manusia, mulai dari material atau benda-benda yang sederhana (seperti : alat-alat rumah tangga, pakaian dan makanan) hingga ke desain arsitektur, teknologi komputer, dan kapal terbang. Dan budaya non material adalah dalam bentuk gagasan atau ide-ide yang disebut nilai, norma, kepercayaan dan bahasa. Baker (1992:21

  ) menyatakan “kata bahasa sumber bisa mengungkapkan suatu konsep yang sama sekali tidak dikenal dalam budaya bahasa sasaran. Konsep yang dimaksud bisa bersifat abstrak atau konkrit. Konsep itu bisa berkaitan dengan keagamaan, adat-istiadat, atau jenis makanan. Konsep ini disebut konsep khusus budaya”. Sehingga kata bahasa sumber yang mengungkapkan suatu konsep tidak mempuyai kata untuk mengungkapkannya dalam bahasa sasaran. Kesulitan-kesulitan inilah yang banyak dihadapi oleh para penerjemah dalam melakukan proses penerjemahan dalam mencari padanan istilah-istilah bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran.

  Hanafi (1986:37) menyebutkan ada lima cara yang juga di sebut panca upaya, yang lazim dilakukan atas istilah-istilah yang sulit dicarikan padanannya :

  1. Menggarisbawahi istilah tersebut dalam produk terjemahan dengan melengkapi catatan seperlunya sebagai keterangan.

  2. Menyerap istilah tersebut atau yang di sebut sebagai loan translation.

  3. Menentukan benda (kalau itu benda) dalam kebudayaan bahasa sumber yang hampir sama dengan nama benda dalam bahasa sasaran, di sebut juga

  translation term.

  4. Mendefinisikan kata tersebut seperti bahasa sumber mendefinisikannya, bila didefinisi itu memang ada, dan dapat dicari dalam bahasa itu.

  5. Memberikan gambar/sket benda tersebut, bila itu diperlukan kehadirannya untuk memberikan kejelasan.

  Upaya

  • –upaya tersebut, dapat membantu penerjemah untuk mengalihkan istilah-istilah budaya dari BSu ke dalam BSa. Berkaitan dengan istilah budaya, Newmark (1988:94) juga memberi kan definisi budaya sebagai “the way of life

  and its manifestasions that are peculiar to a community that uses a particular

language as its means of expression.” Jadi, budaya adalah cara hidup dan

  perwujudannya yang khas dalam suatu masyarakat yang menggunakan bahasa tertentu sebagai alat untuk mengungkapkannya. Misalnya kata steppe, dacha dan

  tagliatelle termasuk kata budaya atau cultural words, istilah ini menimbulkan

  masalah penerjemahan karena perbedaan antara BSu dan Bsa. Sedangkan kata die,

  live , star dan swim tidak menimbulkan masalah dalam penerjemahan. Oleh karena

  itu, istilah budaya merupakan ungkapan yang khas dalam suatu masyarakat yang menggunakan bahasa tertentu yang berbeda dengan bahasa umum. Newmark menyatakan dimana ada titik budaya disana ada masalah penerjemahan

  

Frequently where there is cultural focus, there is a translation problem due to the

cultural 'gap or 'distance' between the source and target languages”.

  Karena kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh penerjemah dalam upaya menerjemahkan istilah budaya, maka salah satu konsep yang digunakan adalah konsep „cultural words‟. Newmark (1998:95) menyatakan bahwa istilah budaya atau cultrual words mudah ditemukan, karena istilah ini berhubungan dengan bahasa tertentu dan tidak dapat diterjemahkan secara literal karena bisa merubah makna, tetapi dijelaskan dalam bahasa biasa/bahasa sehari-hari dan menggunakan padanan deskriptif-fungsional yang sesuai. Dalam sebuah teks seluruh aspek budaya yang diungkapkan dalam

  „cultural words‟ dapat diterjemahkan dalam berbagai cara sesuai dengan perannya dalam teks dan tujuan penerjemahan.

2.2.5 Teknik Penerjemahan

  Teknik merupakan cara penerjemahan kata dan frasa yang merupakan bagian dari sebuah kalimat. Teknik berfungsi untuk menjabarkan tahapan-tahapan pekerjaan yang mesti dilalui oleh prosedur sedangkan prosedur berfungsi sebagai penjabaran dari metode penerjemahan sebuah teks. Pada hakikatnya teknik tersebut merupakan penjabaran dari prosedur penerjemahan atau sebagai tahapan langkah dari sebuah prosedur, Syihabuddin (2002:77).

  Molina dan Albir (2002:507) mendefinisikan teknik penerjemahan sebagai prosedur untuk menganalisis dan mengklasifikasikan bagaimana kesepadanan terjemahan dan dapat diterapkan pada satuan lingual. Kemudian mereka membagi lima karakteristik teknik penerjemahan yaitu : (1) Teknik penerjemahan mempengaruhi hasil terjemahan, (2) Teknik diklasifikasikan dengan perbandingan pada teks BSu, (3) Teknik berada tataran mikro, (4) Teknik tidak saling berkaitan tetapi berdasarkan konteks tertentu, (5) Teknik bersifat fungsional. Dalam penelitian ini, sangat tepat menggunakan teknik penerjemahan Molina dan Albir (2002:509), karena penerapan teknik ini dilandasi oleh konsepsi atau pemahaman bahwa teknik ini berada pada tataran mikro berupa kata dan frase dan juga teknik ini diklasifikasikan dengan perbandingan pada teks BSu, sehingga sesuai dalam menganalisis istilah-istilah budaya.

2.2.6 Definisi Novel

  Salah satu bentuk teks yang sarat dengan aspek-aspek budaya adalah novel. Dalam KBBI (2005) novel didefinisikan sebagai karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. Sebuah novel dikarang berdasarkan pengalaman dan hasil pengamatan penulis mengenai kehidupan dengan latar belakang budaya tertentu. Pengalaman dan hasil pengamatan tersebut kemudian diseleksi dan diungkapkan kembali oleh penulis sesuai dengan tujuan penulisannya untuk menghibur dan merefleksikan kehidupan. Karena ditulis berdasarkan realita dan untuk mengungkapkan kehidupan pada masyarakat tertentu, setiap novel mengungkapkan emosi, ide, sikap, kebiasaan, keyakinan, gaya hidup dan aspek-aspek kultural lainnya yang dimiliki oleh masyarakat tersebut.

  Implikasi aspek budaya dalam penerjemahan seperti dijelaskan di atas juga banyak dihadapi oleh penerjemah sewaktu menerjemahkan novel Negeri 5

  Menara ke dalam bahasa Inggris The Land OF Five Towers. Novel ini diterbitkan

  pada tahun 2009 yang berkisah tentang seorang anak yang berasal dari Minangkabau bernama Alif. Dia ingin bercita-cita menjadi Habibie dan ingin melanjutkan studinya di SMA tetapi ibunya tidak setuju dan akhirnya, dia melanjut di pondok pesantren Madani Jawa Timur yang bertentangan dengan keinginannya. Di pondok tersebut, dia bertemu beberapa orang dari berbagai daerah, yang kemudian menjadi sahabatnya dan mereka menjalani kehidupan bersama tinggal di pondok Madani. Novel ini dikarang oleh Ahmad Fuadi pada tahun 2009 dan diterjemahkan oleh Angie Kilbane pada tahun 2011. Novel ini mendapatkan apresiasi-apresiasi dari beberapa tokoh budayawan, pendidikan atau akademisi, di antaranya adalah seorang profesor ilmu politik Bill Liddle, Ohio State University, Colombus, AS memberi pesan bahwa novel ini perlu dibaca, baik muslim maupun nonmuslim untuk mengerti fondasi budaya kelas menengah zaman reformasi (N5M, 2009:408).

2.3 Kerangka Teori

  Kerangka teori dalam penelitian ini di dasarkan pada kategori yang di kemukakan oleh Newmark (1988:95), dan Molina dan Albir (2002:509)

2.3.1 Kategori Istilah Budaya

  Newmark (1998:95) membagi aspek-aspek „cultural words‟ dalam kategori dan sub kategori sebagai berikut .

1. Ekologi

  Flora, fauna, angin, daratan, bukit, sawah, hutan tropis

  2. Kebudayaan Material (artefak)

  a. Makanan

  b. Pakaian

  c. Rumah dan Kota

  d. Sarana Transportasi

  3. Kebudayaan sosial- pekerjaan dan liburan

  4. Organisasi, adat-istiadat, aktivitas, prosedur, konsep-konsep

  a. Politik dan Administrasi

  b. Agama

  c. Artistik

  5. Bahasa Isyarat dan Kebiasaan

2.3.2 Klasifikasi Teknik Penerjemahan

  Molina dan Albir (2002:509) mengklasifikasikan teknik penerjemahan dengan kriteria sebagai berikut .

  1. Adaptasi (adaptation) Teknik ini dikenal dengan teknik adaptasi budaya. Teknik ini dilakukan dengan mengganti unsur-unsur budaya yang ada BSu dengan unsur budaya yang mirip dan ada pada BSa. Hal tersebut bisa dilakukan karena unsur budaya dalam BSu tidak ditemukan dalam BSa, ataupun unsur budaya pada BSa tersebut lebih akrab bagi pembaca sasaran. Teknik ini sama dengan teknik padanan budaya.

  Contoh: Plastik asoi/tas kresek ini biasanya di gunakan untuk tempat barang yang di beli di pasar tradisional, di warung ataupun di supermarket dalam jumlah kecil, kemudian istilah ini dipadankan dalam bahasa sasaran, sehingga diterjemahkan menjadi plastic bag.

  2. Amplifikasi (amplification) Teknik penerjemahan dengan mengeksplisitkan atau memparafrasa suatu informasi yang implisit dalam BSu. Teknik ini sama dengan eksplisitasi, penambahan, parafrasa eksklifatif. Catatan kaki merupakan bagian dari amplifikasi. Teknik reduksi adalah kebalikan dari teknik ini. Contoh: madrasah diterjemahkan menjadi madrasah-religious school. Madrasah merupakan sekolah atau perguruan bisanya yang berdasarkan agama islam, untuk dipadankan dalam bahasa sasaran, penerjemah melakukan penambahan penjelasan agar istilah yang dimaksud dimengerti oleh pembaca Bsa.

  3. Peminjaman (borrowing) Teknik penerjemahan yang dilakukan dengan meminjam kata atau ungkapan dari BSu. Peminjaman itu bisa bersifat murni (pure borrowing) tanpa penyesuaian atau peminjaman yang sudah dinaturalisasi (naturalized borrowing) dengan penyesuaian pada ejaan ataupun pelafalan. Kamus resmi pada BSa menjadi tolok ukur apakah kata atau ungkapan tersebut merupakan suatu pinjaman atau bukan.

  Contoh: Amak diterjemahkan menjadi Amak sebagai teknik penerjemahan peminjaman murni dan surban diterjemahkan menjadi Turban sebagai teknik penerjemahan alamiah.

  4. Kalke (calque) Teknik penerjemahan yang dilakukan dengan menerjemahkan frasa atau kata BSu secara literal. Teknik ini serupa dengan teknik penerimaan

  (acceptation). Contoh: beludru merah di terjemahkan menjadi red velvet.

  5. Kompensasi (compensation) Teknik penerjemahan yang dilakukan dengan menyampaikan pesan pada bagian lain dari teks terjemahan. Hal ini dilakukan karena pengaruh stilistik

  (gaya) pada BSu tidak bisa di terapkan pada BSa. Teknik ini sama dengan teknik konsepsi.

  Contoh: sebuah gunting diterjemahkan menjadi a pair of scissors

  6. Deskripsi (description)

  Teknik penerjemahan yang diterapkan dengan menggantikan sebuah istilah atau ungkapan dengan deskripsi bentuk dan fungsinya.

  Contoh: kue tradisional Italia yang dimakan pada saat tahun baru diterjemahkan menjadi panttone.

  7. Kreasi diskursif (discursive creation) Teknik penerjemahan dengan penggunaan padanan yang keluar konteks.

  Hal ini dilakukan untuk menarik perhatian calon pembaca. Teknik ini serupa dengan teknik proposal. Contoh: sang godfather diterjemahkan menjadi the

  godfather

  8. Padanan lazim (establish equivalence) Teknik dengan penggunaan istilah atau ungkapan yang sudah lazim

  (berdasarkan kamus atau penggunaan sehari-hari). Teknik ini mirip dengan penerjemahan harfiah.

  Contoh: ambigu di terjemahkan menjadi ambiguity

  9. Generalisasi (generalization) Teknik ini menggunakan istilah yang lebih umum pada BSa untuk BSu yang lebih spesifik. Hal tersebut dilakukan karena BSa tidak memiliki padanan yang spesifik. Teknik ini serupa dengan teknik penerimaan (acceptation). Contoh: pohon kelapa diterjemahkan palm trees

  10. Amplifikasi linguistik (linguistic amplification)

  Teknik penerjemahan yang dilakukan dengan menambahkan unsur-unsur linguistik dalam BSa. Teknik ini lazim diterapkan pada pengalihbahasaan konsekutif dan sulih suara. Contoh: no way diterjemahkan menjadi De ninguna de las maneras (Spain).

  11. Kompresi linguistik (linguistic compression) Teknik yang dilakukan dengan mensintesa unsur-unsur linguistik pada BSa.

  Teknik ini merupakan kebalikan dari teknik amplifikasi linguistik. Teknik ini lazim digunakan pada pengalihbahasaan simultan dan penerjemahan teks film.

  Contoh: yes so what diterjemahkan menjadi y (spain).

  12. Penerjemahan harfiah (literal translation) Teknik yang dilakukan dengan cara menerjemahkan kata demi kata dan penerjemah tidak mengaitkan dengan konteks.

  jangan puas jadi pegawai, tapi jadilah orang yang punya pegawai

  Contoh:

  diterjemahkan menjadi don‟t be satisfied as an employee; be satisfied as someone who has employees

  13. Modulasi (modulation) Teknik penerjemahan yang diterapkan dengan mengubah sudut pandang, fokus atau kategori kognitif dalam kaitannya dengan BSu. Perubahan sudut pandang tersebut dapat bersifat leksikal atau struktural. Contoh:

  every body doesn‟t like him diterjemahkan menjadi semua orang menyukainya

  14. Partikularisasi (particularizaton)

  Teknik penerjemahan dimana penerjemah menggunakan istilah yang lebih konkrit, presisi atau spesifik, dari superordinat ke subordinat. Teknik ini merupakan kebalikan dari teknik generalisasi. Contoh: pesawat diterjemahkan menjadi air transportation

  15. Reduksi (reduction) Teknik yang diterapkan dengan penghilangan secara parsial, karena penghilangan tersebut dianggap tidak menimbulkan distorsi makna. Dengan kata lain, mengimplisitkan informasi yang eksplisit. Teknik ini kebalikan dari teknik amplifikasi.

  Contoh: SBY diterjemhakan menjadi SBY the president of republic of indonesia

  16. Subsitusi (subsitution) Teknik ini dilakukan dengan mengubah unsur-unsur linguistik dan paralinguistik (intonasi atau isyarat). Contoh: Bahasa isyarat dalam bahasa Arab, yaitu dengan menaruh tangan di dada diterjemahkan menjadi Terima kasih.

  17. Transposisi (transposition) Teknik penerjemahan dimana penerjemah melakukan perubahan kategori gramatikal. Teknik ini sama dengan teknik pergeseran kategori, struktur dan unit.

  Seperti kata menjadi frasa. Contoh: bengkel diterjemahkan menjadi repair shops 18. variasi (variation)

  Teknik dengan mengganti elemen linguistik atau paralinguistik (intonasi, isyarat) yang berdampak pada variasi linguistik.