BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pemberlakuan Perjanjian Internasional Di Indonesia Dikaitkan Dengan Judicial Review Terhadap Piagam Asean Di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara adalah subjek hukum internasional dalam arti yang klasik, dan

  

  telah demikian halnya sejak lahirnya hukum internasional. Negara telah menjadi

  

  subjek utama hukum internasional . Tidak ada definisi yang tepat untuk

   memberikan penjelasan arti dari sebuah negara.

  Meskipun demikian, secara umum apa yang telah dikemukakan oleh para sarjana tentang definisi negara tidak jauh berbeda dengan unsur tradisional suatu negara yang tercantum dalam Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 tentang Hak

  

  dan Kewajiban Negara , menyatakan: “The state as a person of international law

  should possess the following qualifications: (a) a permanent population; (b) a

  1 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional (Bandung: PT Alumni, 2003), hlm. 98. 2 Fabian O. Raimondo, General Principles of Law in the Decisions of International Criminal Courts and Tribunals , (Belanda: Martinus Nijhoff Publishers, 2008), hlm. 64-65.

  Menjadi subjek hukum internasional berarti menjadi sasaran bagi hukum internasional. Negara adalah bagian dari komunitas internasional yang menjadi subjek hukum internasional. Kewajiban dan hak-hak komunitas internasional yang diselenggarakan oleh negara berada di bawah hukum internasional umum yang berlaku untuk dihormati sebagai subjek hukum internasional. Sebuah negara dapat menjadi subjek hukum internasional hanya apabila konstitusinya mengatur hal-hal mengenai kemampuan untuk berhubungan dengan subjek hukum internasional lainnya. Jika negara adalah subjek hukum internasional, memungkinkan untuk menggunakan hak kedutaan aktif dan pasif, artinya, memungkinkan untuk mengirim dan menerima utusan diplomatic. Lihat di Hans Kelsen, Principles of International Law, (New Jersey: The Lawbook Exchange, Ltd., 2003), hlm. 173. 3 J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, ed. 9, (Jakarta: Penerbit Aksara Persada Indonesia, 1989), hlm. 127. 4 Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, (Jakarta: PT Raja

  defined territory; (c) government; and (d) capacity to enter into relations with the

   other states.

  Negara sebagai sekumpulan orang yang secara permanen menempati suatu wilayah yang tetap, diikat oleh ketentuan-ketentuan hukum yang melalui pemerintahnya mampu menjalankan kedaulatannya yang merdeka dan mengawasi masyarakat dan harta bendanya dalam wilayah perbatasannya, mampu menyatakan perang dan damai serta mampu mengadakan hubungan internasional

   dengan masyarakat internasional lainnya.

  Jika dilihat dari segi hukum internasional, syarat huruf (d) di atas merupakan syarat yang paling penting. Suatu negara harus memiliki kemampuan untuk menyelenggarakan hubungan-hubungan eksternal dengan negara-negara lain. Hal inilah yang membedakan negara dalam arti sesungguhnya dengan unit- unit yang lebih kecil seperti anggota-anggota suatu federasi, atau protektorat- protektorat, yang tidak mengurus hubungan-hubungan luar negerinya sendiri, dan tidak diakui oleh negara-negara lain sebagai anggota masyarakat internasional

   yang sepenuhnya mandiri.

  Saling membutuhkan antara negara-negara di berbagai lapangan kehidupan yang mengakibatkan timbulnya hubungan yang tetap dan terus menerus antara negara-negara, serta mengakibatkan pula timbulnya kepentingan

  

  untuk memelihara dan mengatur hubungan tersebut. Karena kebutuhan negara-

  5 6 Montevideo Convention on Rights and Duties of States , Pasal 1. th Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, (St. Paul Minn: West Publishing Comp.

  5 .ed., 1979), hlm. 1262 sebagaimana telah dikutip oleh Huala Adolf, Op.Cit. 7 J.G. Starke, Op.Cit., hlm. 127.

  negara tersebut bersifat timbal balik, maka sudah menjadi suatu kepentingan bersama untuk mengatur dan memelihara hubungan yang begitu bermanfaat itu.

  Untuk menertibkan, mengatur dan memelihara hubungan internasional ini, dibutuhkan hukum untuk menjamin unsur kepastian yang diperlukan dalam setiap hubungan yang dilakukan dapat teratur. Sehingga dalam hal inilah peranan hukum internasional sebagai pengatur dalam hubungan internasional yang berlangsung ini melalui perjanjian internasional.

  Perjanjian internasional memainkan peranan yang sangat penting dalam mengatur kehidupan dan pergaulan antar negara. Melalui perjanjian internasional, tiap negara menggariskan dasar kerjasama mereka, mengatur berbagai kegiatan, menyelesaikan berbagai masalah demi kelangsungan masyarakat itu sendiri.

  Dalam dunia yang ditandai saling ketergantungan dewasa ini, tidak ada satu negara yang tidak mempunyai perjanjian dengan negara lain dan tidak ada satu

   negara yang tidak diatur oleh perjanjian dalam kehidupan internasionalnya.

  Seiring dengan perkembangan zaman, suatu hubungan bilateral yang telah dibentuk oleh misi diplomatik masing-masing negara sudah tidak lagi dianggap cukup untuk memenuhi berbagai kebutuhan dan menyelesaikan persoalan negara. Berbagai permasalahan yang melibatkan lebih dari dua negara semakin banyak bermunculan.

  Menimbang bahwa berbagai peraturan yang ada tidak lagi memadai untuk dapat menyelesaikan berbagai persoalan tersebut hanya melalui perjanjian- perjanjian bilateral ataupun melalui misi diplomatik tradisional saja, maka 9 Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era mulailah timbul pemikiran untuk mendirikan organisasi-organisasi internasional yang dapat memberikan solusi terhadap berbagai persoalan tersebut. Pendirian organisasi internasional yang dimaksud akan berusaha untuk mencapai tujuan yang menjadi kepentingan bersama negara-negara yang mencakup berbagai aspek kehidupan internasional yang sangat luas.

  Sejak pertengahan abad ke-17 perkembangan organisasi internasional tidak saja diwujudkan dalam berbagai konferensi internasional yang kemudian melahirkan berbagai persetujuan, tetapi lebih dari itu telah melembaga dalam berbagai variasi seperti commission (komisi), union (serikat), council (dewan),

  league (liga), association (persekutuan), united nations (perserikatan bangsa-

  bangsa), commonwealth (persemakmuran), community (masyarakat), cooperation

   (kerjasama), dan lain-lain.

  Proses perkembangan organisasi internasional yang begitu cepat sekaligus telah menciptakan norma-norma hukum yang berkaitan dengan organisasi itu, yang kemudian membentuk suatu perjanjian yang disebut constituent instrument (instrument dasar), atau biasa disebut Anggaran Dasar. Organisasi internasional dalam arti luas pada hakekatnya meliputi bukan saja organisasi internasional publik tetapi juga organisasi internasional privat. Organisasi internasional publik beranggotakan negara dan karena itu disebut juga sebagai intergovernmental

   organization (organisasi antar-pemerintahan).

  Agar organisasi internasional mempunyai status publik, maka organisasi ini haruslah dibentuk dengan suatu persetujuan internasional di bawah hukum 10 Sumaryo Suryokusumo, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, (Jakarta: PT Tatanusa, 2007), hlm. 2.

  

  internasional. Perjanjian internasional tersebut menjadi peraturan yang akan berlaku bagi organisasi internasional itu serta dalam hubungannya dengan subjek hukum lainnya. Perjanjian internasional yang membentuk suatu organisasi internasional memberikan personalitas hukum yang menghasilkan hak dan kewajiban bagi organisasi internasional tersebut.

  Association of South East Asia Nations (ASEAN) merupakan sebuah

  organisasi internasional yang beranggotakan negara-negara di kawasan Asia Tenggara. ASEAN merupakan wujud dari gagasan para pemimpin negara-negara Asia Tenggara yang memandang perlunya suatu kerjasama yang dapat meredakan sikap saling curiga di antara negara-negara Asia Tenggara di tengah kisruh persaingan ideologi dan kekuatan militer blok Barat dan blok Timur serta

  

  berbagai konflik di antara negara-negara Asia Tenggara. Perdamaian, stabilitas, kemajuan dan kesejahteraan bersama kawasan antara lain menjadi kepentingan dasar yang pada akhirnya dapat menyatukan negara-negara Asia Tenggara dalam sebuah wadah ASEAN.

  Sebagai suatu organisasi internasional, tidak diragukan lagi bahwa ASEAN telah menjadi salah satu bagian penting dari dunia internasional. Populasi penduduk Asia Tenggara secara keseluruhan mencapai lebih setengah miliar, dengan kombinasi pendapatan Produk Domestik Bruto sejumlah satu triliun dolar AS. Saat ini ASEAN beranggotakan 10 negara, yang terdiri atas lima negara penandatangan Deklarasi Bangkok 1967 yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina dan Singapura yang kemudian dalam perkembangannya Brunei 12 13 Ibid ., hlm. 5.

  Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN, ASEAN Selayang Pandang Edisi Ke-19, Darusalam, Vietnam, Laos, Myanmar dan Kamboja menyatakan diri untuk

   bergabung di dalamnya.

  Lebih dari 40 tahun setelah berdirinya ASEAN, Deklarasi Bangkok menjadi dasar bagi eksistensi ASEAN di dunia internasional. Deklarasi Bangkok berisikan lima pernyataan yaitu mengenai pembentukan, maksud dan tujuannya, struktur organ internal ASEAN, keterbukaan partisipasi serta kesepakatan mengikatkan diri negara-negara penandatangan. Hal-hal yang belum diatur dalam deklarasi ini diatur lebih lanjut dalam perjanjian ataupun protokol terpisah.

  Dalam pidatonya pada tahun 1998 setelah krisis ekonomi yang menimpa kawasan Asia Tenggara, Sekretaris Jenderal ASEAN, Rodolfo Severino memberikan pernyataan bahwa ASEAN bukanlah suatu organisasi internasional yang dibuat dan ditujukan untuk menjadi suatu entitas supranasional yang bertindak secara independen dari anggotanya. ASEAN tidak memiliki daerah parlemen regional ataupun dewan para menteri dengan kekuatan membuat hukum, tidak ada kekuatan dalam hal penegakkan hukum serta tidak memiliki sistem peradilan. Dalam pidato tersebut ia juga menegaskan kembali bahwa ASEAN tidak memiliki personalitas hukum ataupun kedudukan di bawah hukum

   internasional.

  Selanjutnya untuk membuat konstitusi ASEAN yang kokoh dan komprehensif, disepakatilah Kuala Lumpur Declaration on the Establishment of (Deklarasi Kuala Lumpur tentang Pembentukan Piagam ASEAN)

  ASEAN Charter 14 Simon Chesterman, “Does ASEAN Exist? The Association of South East Asia Nations as an International Legal Person”, Singapore Year Book of International Law, (No. 12, 2008), hlm.

  202. pada KTT ASEAN Ke-11. Pada deklarasi tersebut diatur tentang pembentukan

  Eminent Persons Group on the ASEAN Charter (Kelompok Ahli Piagam ASEAN)

  yang bertugas melakukan penyusunan terhadap rekomendasi pembentukan

   piagam tersebut.

  Setelah melewati berbagai perundingan yang panjang, maka ditandatanganilah Piagam ASEAN oleh kesepuluh negara anggota pada KTT ASEAN ke-13 di Singapura pada tanggal 20 November 2007. Piagam ASEAN yang telah ditandatangani tersebut terdiri atas Mukadimah, 13 Bab, 55 Pasal, dan lampiran-lampiran yang menegaskan kembali diberlakukannya semua nilai, prinsip, peraturan serta tujuan ASEAN sebagaimana yang tercantum dalam berbagai perjanjian, deklarasi, konvensi, traktat, dan dokumen-dokumen dasar lain. Kesepuluh negara ASEAN harus meratifikasinya melalui proses internal di masing-masing negara anggota dan disampaikan instrumen notifikasinya kepada

   Sekretaris Jenderal ASEAN di Jakarta agar Piagam ASEAN dapat berlaku.

  Pembuatan Piagam ASEAN bertujuan untuk mendorong transformasi ASEAN dari suatu organisasi yang bersifat longgar menjadi organisasi internasional yang memiliki landasan hukum yang kuat. Kehadiran Piagam ASEAN ini akan berimplikasi langsung bagi negara-negara anggotanya.

  Untuk melaksanakan berbagai ketentuan-ketentuan di dalam Piagam ASEAN secara efektif, setiap negara-negara anggota wajib mengambil langkah- langkah yang diperlukan termasuk pembuatan legislasi dalam negeri yang sesuai dengan mekanisme yang diatur oleh internal negara tersebut. Dengan demikian, 16 Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN, Op.Cit., hlm. 7. setiap negara anggota dituntut untuk menyesuaikan berbagai instrumen hukum di negaranya masing-masing agar sesuai dengan substansi Piagam ASEAN demi mencapai cita-cita dan tujuan ASEAN.

  Piagam ASEAN memang tidak otomatis akan mengubah banyak hal di ASEAN. Justru Piagam tersebut sesungguhnya makin mengekalkan banyak kebiasaan lama, misalnya pengambilan keputusan di ASEAN tetap dengan cara konsensus dan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN menjadi tempat tertinggi pengambilan keputusan jika konsensus tidak tercapai atau jika sengketa

   di antara negara anggotanya terjadi.

  Piagam ASEAN mengatur lima prioritas utama kegiatan untuk mempersiapkan transformasi ASEAN, yakni penyusunan Term of Reference (Kerangka Acuan) pembentukan Permanent Representatives to ASEAN (Perutusan Tetap untuk ASEAN), Rules and Procedures ASEAN Coordinating

  

Council and ASEAN Community Councils (Aturan dan Prosedur Dewan

  Koordinasi ASEAN dan Dewan Komunitas ASEAN), Supplementary Protocols (Protokol Tambahan tentang mekanisme

  on Dispute Sttlement Mechanism

  Penyelesaian Sengketa), Host Country Agreement (Perjanjian Negara Tuan

   Rumah), dan pembentukan Badan Hak Asasi Manusia ASEAN.

  Beberapa implikasi langsung yang dapat dirasakan dari pemberlakuan Piagam ASEAN diantaranya adalah semakin kuatnya ikatan hubungan antar negara-negara anggotanya. ASEAN telah menunjukkan pada dunia internasional 18 Zainuddin Djafar, “Piagam ASEAN, Legalitas Tonggak Baru Menuju Integrasi

  Regional?”, Jurnal Hukum Internasional (Indonesian Journal of International Law), Vol. 6, No. 2, (Mei-Agustus, 2009), hlm. 197-198. bahwa kekompakan ASEAN selama lebih dari 40 tahun berdiri dengan nilai tambah stabilitas keamanannya. Hal tersebut ditopang pula oleh kekompakan untuk memberlakukan Piagam ASEAN yang akan berimplikasi secara global. Pada prinsipnya, Piagam ASEAN diharapkan dapat mendorong integrasi ekonomi, memperkuat prinsip demokrasi, perlindungan hak asasi dan pelestarian

   alam lingkungan hidup.

  Indonesia sendiri merupakan negara ke-9 yang menyampaikan instrumen ratifikasinya melalui Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 Tentang Pengesahan

  Ratifikasi terhadap

  Piagam ASEAN dilakukan pada tanggal 21 Oktober 2008 dalam rapat panitia khusus Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan Piagam ASEAN di Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dihadiri oleh perwakilan 10 fraksi dan pemerintah yang diwakili Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, dan Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta, menandatangani naskah Rancangan Undang-Undang Pengesahan

22 Piagam ASEAN tersebut. Selanjutnya pemerintah menyerahkan instrumen

   ratifikasi tersebut pada tanggal 13 November 2008.

  Bersamaan dengan pelaksanaan KTT ASEAN ke-18, dasar hukum ratifikasi Piagam ASEAN dipersoalkan oleh berbagai kalangan di Indonesia.

  Sejumlah lembaga yang tergabung dalam Aliansi untuk Keadilan Global 20 21 Zainuddin Djafar, Op.Cit., hlm. 199. 22 Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN, Op.Cit., hlm. 8.

  DPR Ratifikasi Piagam ASEAN, diakses pada tanggal 04 Februari 2015 Pukul

02.29 WIB

23 PiagamASEAN, http://id.wikipedia.org/wiki/Piagam_ASEAN diakses pada tanggal 04

  mendaftarkan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Mereka menilai pemberlakuan Piagam ASEAN yang menyangkut perdagangan bebas merugikan industri dan perdagangan nasional karena Indonesia harus tunduk dengan segala keputusan yang diambil di tingkat ASEAN.

  Aliansi yang tercatat sebagai pemohon adalah Institute of Global Justice, Serikat Petani Rakyat, Perkumpulan INFID, Aliansi Petani Indonesia, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, Migrant Care, Aktivis Petisi 28, Asosiasi

   Pembela Perempuan Usaha Kecil,dan Koalisi Anti Utang.

  Permohonan yang diajukan pada pokoknya meliputi anggapan tentang keadaan ASEAN yang sedang dalam neo kolonialisme dan imperialisme dengan strategi pembentukan ASEAN sebagai economic community (komunitas ekonomi). Dengan perjanjian ekonomi yang mengikat negara-negara anggota maupun dengan negara lain di luar anggota ASEAN yang sangat mengurangi kedaulatan bangsa Indonesia sebagai sebuah negara. Gagasan ASEAN secara ekonomi dengan konsep pasar bebas dan basis produksi tunggal, merupakan gagasan neo-liberalisme yang jelas tertuang dalam Pasal 1 ayat (5) Piagam ASEAN yang menyatakan: ”To create a single market and production base which

  

is stable prosperous, highly competitive and economically integrated with

effective facilitation for trade and investment in which there is free flow of goods,

24 UU Ratifikasi Piagam ASEAN Diuji Ke MK, www.hukumonline.com/berita/baca/

  diakses pada tanggal 04 Februari 2015

  services and investment, facilitated movement of business persons, professionals,

   talents and labours, and free flow of capital.

  Kemudian Pasal 2 ayat (2) huruf n yang menyatakan: “Adherence to

  

multilateral trade rules and ASEAN’s rules-based regimes for effective

implementation of economic commitment and progressive redution towards

elimination of all barriers to regional economic integration, in a market driven

   economy.

  Para pemohon beranggapan bahwa dampak lain yang akan ditimbulkan dengan pemberlakuan Piagam ASEAN bagi Indonesia adalah kerugian yang akan dialami oleh jutaan petani akibat impor pangan dan jutaan penduduk miskin dapat kehilangan akses terhadap kebutuhan dasar. Di samping itu anggapan yang mereka bangun tentang negara-negara maju yang tengah mengincar sumber daya alam dan pasar ASEAN dengan cara memaksakan utang dan bantuan lewat pembentukan peraturan dan kebijakan ASEAN sesuai dengan kepentingan negara-

   negara maju, perusahaan multinasional dan lembaga keuangan global.

  Dalam Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan bahwa Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, mengadakan perdamaian dan membuat perjanjian internasional dengan negara lain. Selanjutnya dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional

  25 Simon Tumanggor, ”Judicial Review Undang-Undang Pengesahan Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara“, Jendela Informasi Hukum Bidang Perdagangan Edisi Ketiga, (Desember, 2011), hlm. 3. 26 Ibid.

  menyatakan bahwa pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud

   dalam ayat (1) dilakukan dengan Undang-Undang atau Keputusan Presiden.

  Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia Presiden hanya berwenang membuat perjanjian internasional. Pada saat Presiden ingin meratifikasinya, Presiden harus mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Undang- Undang Nomor 38 Tahun 2008 adalah bentuk persetujuan formal dari DPR kepada Presiden terkait dengan kewenangan DPR dalam treaty making power

   seperti yang diatur dalam Pasal 11 ayat (1) UUD 1945.

  Pada uraian sebelumnya dijelaskan bahwa keterikatan negara-negara anggota ASEAN terhadap Piagam ASEAN adalah kewajiban mengambil langkah- langkah yang diperlukan termasuk pembuatan legislasi dalam negeri yang sesuai dengan mekanisme yang diatur oleh internal negara tersebut. Dalam hal mekanisme yang diatur di Indonesia tentang pemberlakuan suatu perjanjian internasional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 dilakukan pengesahan dengan dibentuknya Undang-Undang ataupun Peraturan

30 Presiden Ratifikasi.

  Dalam konteks Indonesia mengingat sistem hukum Indonesia pada prinsipnya lebih condong untuk menempatkan perjanjian internasional yang telah

  

  diratifikasi sebagai non-self executing treaty , maka harusnya dalam rangka 28 29 Simon Tumanggor, Op.Cit., hlm. 4. 30 Ibid.

  Andi Sandi Ant.T.T dan Agustina Merdekawati, ”Konsekuensi Pembatalan Undang- Undang Ratifikasi terhadap Keterikatan Pemerintah Indonesia Pada Perjanjian Internasional”, Mimbar Hukum Volume 24, Nomor 3 (Oktober, 2012), hlm. 467. 31 Pemberlakuan suatu perjanjian internasional ke dalam wilayah teritorial suatu negara dikenal melalui mekanisme self executing treaty ataupun non-self executing treaty. Artinya, sebuah perjanjian internasional yang self executing berarti bahwa perjanjian internasional tersebut memasukkan hukum internasional ke dalam hukum nasional juga diperlukan pula

   adanya peraturan implementasi.

  Jika dilihat dari pendekatan teoritik, harus dipahami bahwa infiltrasi hukum internasional dan perjanjian internasional dalam hukum nasional sangat terkait dengan kedudukan hukum internasional dalam hukum nasional yang secara umum dijelaskan oleh dua teori yakni teori monisme dan teori dualisme. Sistem hukum Indonesia sayangnya belum mengindikasikan secara spesifik memilih salah satu di antara monisme, dualisme ataupun kombinasi keduanya. Baik Undang-Undang Dasar 1945 maupun Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional sama sekali tidak secara tegas menyatakan posisi Indonesia dalam memandang teori-teori pemberlakuan perjanjian internasional tersebut.

  Namun Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa kecenderungan Indonesia menganut aliran monisme dengan primat hukum internasional.

  Pengamatannya menyimpulkan bahwa sistem hukum Indonesia lebih condong kepada negara-negara Eropa Kontinental yang menganggap negara terikat dalam kewajiban melaksanakan dan menaati semua ketentuan perjanjian dan konvensi

  

dimana semua substansi normatifnya tidak memerlukan transformasi ke dalam sebuah

implementing legislation ataupun sebuah peraturan legislasi yang mengimplementasikannya. Sedangkan perjanjian internasional yang bersifat non-self executing berarti bahwa perjanjian internasional tersebut tidak dapat secara otomatis berlaku dalam wilayah teritorial suatu negara sejak disetujui, namun memerlukan bentuk implementing legislation untuk mengimplementasikannya. Lihat di Boleslaw Adam Boczek, International Law: A Dictionary, (Maryland: Scarecrow Press, Inc., 2005), hlm. 14.

  

  yang telah disahkan tanpa perlu mengadakan lagi implementing legislation atau

   perundang-undangan pelaksanaan.

  Kondisi ketiadaan kejelasan sikap Indonesia mengenai penerapan hukum internasional dalam ranah hukum nasional baik dalam konstitusi maupun dalam Undang-Undang Perjanjian Internasional, menimbulkan kerancuan dalam praktiknya apakah perjanjian internasional yang sudah disahkan oleh pemerintah baik dalam instrumen undang-undang maupun dalam peraturan presiden termasuk atau menjadi hukum positif yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini, hukum internasional akan menyerahkan sepenuhnya pada sistem hukum ketatanegaraan

   dalam suatu negara untuk menyediakan alternatif solusi yang jelas.

  Dalam hukum nasional Indonesia, tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa norma-norma hukum internasional yang terkandung dalam sebuah perjanjian internasional dan telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia secara

  ipso facto berlaku dan dapat diterapkan di pengadilan nasional. Norma-norma

  hukum internasional hanya dapat berlaku dan diterapkan di pengadilan nasional setelah melalui proses transformasi yang mana substansi perjanjian internasional harus dijabarkan ke dalam peraturan hukum nasional Indonesia.

  33 Implementing legislation atau juga sering disebut sebagai implementing act merupakan sebuah bentuk peraturan legislasi yang mengimplementasikan substansi normatif dari sebuah perjanjian internasional yang ditransformasikan ke dalamnya untuk dapat diberlakukan di wilayah

negara tersebut setelah perjanjian disepakati. Boleslaw Adam Boczek, Op.Cit., hlm 15.

  

Implementing legislation berupa peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh lembaga

legislatif/parlemen yang merupakan hasil dari proses transformasi perjanjian internasional ke dalam peraturan perundang-undangan nasional. Wisnu Aryo Dewanto, “Memahami Arti Undang- Undang Pengesahan Perjanjian Internasional di Indonesia”, Opinio Juris Vol. 4, (Januari-April, 2012), hlm. 22. 34 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op.Cit., hlm. 93.

  Namun ada pandangan yang berbeda menyatakan Undang-Undang pengesahan yang mengesahkan suatu perjanjian internasional adalah produk hukum nasional (substantif) yang mentransformasikan materi perjanjian internasional ke dalam hukum nasional sehingga status perjanjian internasional berubah menjadi hukum nasional. Ratifikasi dimaksudkan agar penggunaan kekuasaan tersebut bersesuaian dengan hukum yang sedang berlaku. Selain itu, tindakan ratifikasi oleh parlemen dimaksudkan agar perjanjian tersebut memiliki

   kekuatan untuk dilaksanakan secara efektif.

  Mengingat tidak ada ketegasan yang jelas dalam sistem hukum Indonesia tentang hal ini, sehingga memunculkan persoalan apakah Undang-Undang ratifikasi yang mengesahkan Piagam ASEAN dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Permasalahannya, jika yang diuji adalah Undang- Undang implementasi dari suatu perjanjian internasional relatif tidak menimbulkan masalah karena memang materi muatan perjanjian internasional tersebut telah disesuaikan dengan tatanan hukum nasional Indonesia. Namun jika pengujian dilakukan terhadap Undang-Undang ratifikasi suatu perjanjian internasional dalam hal ini Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang pengesahan Piagam ASEAN jelas menimbulkan berbagai persoalan.

  Secara bentuk memang Undang-undang tersebut nomenklatur hukum nasional, tetapi untuk materi muatannya jelas merupakan hukum internasional secara utuh. Dalam hal ini apakah Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan untuk menilai Undang-Undang dengan materi muatan hukum internasional yang secara utuh untuk diuji dengan alas uji UUD 1945. Selain itu, apakah memang Undang-Undang ratifikasi merupakan sebuah Undang-Undang yang menjadi

   domain kewenangan Mahkamah Konstitusi.

  Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan terdapat dua pandangan dalam melihat Undang-Undang ratifikasi perjanjian internasional. Sebagian ahli hukum tata negara dan hukum internasional menilai norma-norma hukum dalam Piagam ASEAN bukanlah norma-norma yang tidak dapat diuji oleh pengadilan nasional karena belum ditransformasikan ke dalam peraturan perundang- undangan nasional. Pembatalan atau penarikan diri dari suatu perjanjian internasional merupakan domain hukum internasional, bukan domain hukum

   nasional.

  Sementara di sisi yang lain, ada pandangan yang menyatakan Undang- Undang ratifikasi telah menjadi produk hukum nasional, materi yang telah diberi bentuk hukum undang-undang memiliki sifat atau karakter sebagai weight in

  

formil zig (undang-undang), sehingga pengujiannya juga merupakan domain

   pengadilan nasional.

B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini, antara lain:

  1. Bagaimana pengaturan hukum internasional mengenai pengesahan dan 37 perlaksanaan perjanjian internasional? 38 Andi Sandi Ant.T.T dan Agustina Merdekawati, Op.Cit., hlm. 467.

  Simon Tumanggor, Op.Cit., hlm. 6.

  2. Bagaimana keterikatan negara terhadap perjanjian internasional dikaitkan dengan kasus judicial review terhadap Piagam ASEAN di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia? 3. Apakah Indonesia menganut paham monisme, dualisme ataukah percampuran keduanya jika dikaitkan dengan putusan Mahkamah

  Konstitusi terhadap judicial review Piagam ASEAN? C.

   Tujuan dan Manfaat Penulisan

  Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini, antara lain: 1.

  Untuk mengetahui pengaturan hukum internasional mengenai pengesahan dan perlaksanaan perjanjian internasional.

  2. Untuk mengetahui pemberlakuan perjanjian internasional di Indonesia dikaitkan dengan judicial review terhadap Piagam ASEAN oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

  3. Untuk mengetahui apakah Indonesia menganut paham monisme, dualisme ataukah percampuran keduanya jika dikaitkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap judicial review Piagam ASEAN. Adapun manfaat yang diharapkan akan diperoleh dari penulisan ini antara lain:

1. Manfaat Teoritis

  Kiranya kehadiran tulisan ini mampu mengisi ruang-ruang kosong dalam akhirnya nanti tulisan ini dapat memberikan sumbangsih yang berarti bagi perkembangan ilmu pengetahuan serta menambah bahan literatur di bidang hukum internasional. Khususnya dalam ilmu perjanjian internasional dalam pemberlakuannya yang dikaitkan dengan judicial review terhadap perjanjian internasional itu sendiri. Selain itu, tulisan ini dapat dijadikan sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya yang melakukan penelitian di bidang ilmu yang sama.

2. Manfaat Praktis

  Manfaat praktis yang dapat diperoleh dari tulisan ini dapat ditujukan kepada beberapa pihak, antara lain: a)

  Pemerintah Melalui saran yang disampaikan melalui tulisan ini, kiranya pemerintah dapat menentukan sikap yang jelas dalam pemberlakuan perjanjian internasional di Indonesia saat ini yang dirasakan masih belum memiliki kedudukan yang jelas dalam sistem hukum Indonesia.

  Sehingga, kemungkinan adanya judicial review terhadap perjanjian internasional lain di masa yang akan datang dapat dilaksanakan dengan mekanisme yang tepat dan tidak bertentangan dengan hukum.

  b) Mahasiswa dan Akademisi

  Kiranya tulisan ini mampu memenuhi hasrat keingintahuan dan semakin menambah wawasan pengetahuan mahasiswa dan akademisi yang ingin ataupun sedang mendalami pengetahun mengenai hukum perjanjian internasional. Selain itu, tulisan ini diharapkan dapat dijadikan bahan referensi bagi penelitian dan penulisan selanjutnya di bidang hukum perjanjian internasional.

  c) Masyarakat

  Melalui tulisan ini, diharapkan semakin menambah pengetahuan masyarakat tentang persoalan hukum internasional yang terjadi di Indonesia khususnya mengenai judicial review terhadap Piagam ASEAN dan bagaimana perkembangan dan solusi penyelesaiannya.

D. Keaslian Penelitian

  Penelitian ini adalah asli, sebab ide, gagasan pemikiran dalam penelitian ini bukan merupakan hasil ciptaan atau hasil penggandaan dari karya tulis orang lain yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu. Demikian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya dan belum pernah ada judul yang sama, begitu pula dengan pembahasan yang diuraikan berdasarkan pemeriksaan oleh Perpustakaan Universitas Sumatera Utara Cabang Fakultas Hukum/Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatara Utara tertanggal 13 Februari 2014. Dalam hal mendukung penelitian ini, digunakan berbagai pendapat para sarjana yang diambil atau dikutip berdasarkan daftar referensi dari buku para sarjana yang ada hubungannya dengan masalah dan pembahasan yang disajikan.

E. Tinjauan Kepustakaan

  Penelitian ini memperoleh bahan tulisannya dari berbagai sumber yang dapat dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan. Untuk itu diberikan penegasan dan pengertian dari judul penelitian yang diambil dari berbagai sumber yang memberikan pengertian terhadap judul penelitian ini, yang ditinjau dari sudut etimologi dan pengertian-pengertian lainnya dari sudut ilmu hukum maupun dari pendapat para sarjana, sehingga mempunyai arti yang jelas.

  Berikut penjelasan beberapa istilah dalam tulisan ini untuk memperoleh pemahaman yang sama: a)

  Perjanjian Internasional Perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa

  

  dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu. Definisi ini kemudian dikembangkan oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 yang menyebutkan bahwa perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internsional yang dibuat secara tertulis serta

  

  menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. Perjanjian internasional yang dimaksud dapat berbentuk Treaty (perjanjian internasional/traktat), Convention (konvensi), Agreement (persetujuan), Charter (piagam), Protocol (protokol), Declaration (deklarasi), Final Act, Agreed Minutes dan Summary Records, 40 Memorandum of Understanding , Arrangement, Exchange of Notes, 41 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op.Cit., hlm. 117.

  Lihat Pasal 1 huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian

   Process-Verbal , dan Modus Vivendi. Perjanjian internasional yang dimaksud dalam tulisan ini adalah charter (piagam).

  b) ASEAN

  Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) adalah organisasi

  geo-politik dan ekonomi dari negara-negara di kawasan Asia

43 Tenggara yang didirikan pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok,

  Thailand melalui penandatanganan Deklarasi ASEAN (selanjutnya disebut sebagai Deklarasi Bangkok) oleh para pendiri ASEAN, yakni Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Anggota- anggota lainnya yakni Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Myanmar

  

  dan Kamboja. Organisasi ini bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan pengembangan kebudayaan negara-negara anggotanya, memajukan perdamaian dan stabilitas di tingkat regionalnya, serta meningkatkan kesempatan untuk

   membahas perbedaan di antara anggotanya dengan damai.

  c) Piagam ASEAN

  Anggaran Dasar bagi ASEAN yang telah disepakati pada tahun 2007 pada KTT ASEAN ke-13 di Singapura dengan ditandatangani oleh 42 semua kepala pemerintahan negara-negara anggota ASEAN dan mulai 43 Boer Mauna, Op.Cit., hlm. 89-96.

  Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara, akses pada tanggal 5 Februari 2015 Pukul 00.22 WIB. 44 Association of Southeast Asian Nations, “About ASEAN: Overview,” diakses pada tanggal 5 Februari 2015 Pukul 00.35 WIB. berlaku sejak 15 Desember 2008. Sejak tanggal 21 Oktober 2008

  

  semua negara anggota telah meratifikasi piagam ini. Piagam ASEAN bertujuan untuk mentransformasikan ASEAN dari sebuah asosiasi politik yang longgar menjadi organisasi internasional yang memiliki dasar hukum yang kuat (legal personality), dengan aturan yang jelas,

   serta memiliki struktur organisasi yang efektif dan efisien.

  d) Judicial Review

  Hak menguji (toetsingrecht) dari kekuasaan yudikatif untuk

   melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan.

  Fungsi judicial power dalam melakukan pengujian ini didasarkan pada kewenangan pengawasan sebagai konsekuensi dari prinsip check and

   balance antar organ pelaksana kekuasaan negara. Hasil amandemen

  UUD 1945 mengatur wewenang Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan judicial review. Mahkamah Agung berwenang melakukan judicial review terhadap peraturan perundang- undangan yang ada di bawah Undang-Undang dengan Undang- Undang sebagai alas pengujiannya. Sedangkan Mahkamah Konstitusi melakukan constitutional review yang berwenang mengadili Undang-

  46 Piagam ASEAN,diakses pada tanggal 5 Februari 2015 Pukul 00.50 WIB. 47 Kementerian Luar Negeri RI, “Piagam ASEAN”, diakses pada tanggal 5 Februari 2015 Pukul 00.42 WIB. 48 Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan, Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 1.

  Undang dengan UUD 1945 sebagai alas ujinya pada tingkat pertama

   dan terakhir yang putusannya bersifat final.

  e) Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

  Lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang bersama-sama dengan Mahkamah Agung sebagai pemegang

  

  kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kewenangannya adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final yang meliputi pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, membubarkan partai

   politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

F. Metode Penelitian

  Metode penelitian diperlukan sebagai suatu tipe pemikiran secara sistematis yang dipergunakan dalam penelitian dan penulisan skripsi ini, yang pada akhirnya bertujuan mencapai keilmiahan dari penulisan skripsi ini. Dalam penulisan ini, metode yang digunakan adalah sebagai berikut:

  50 51 Ibid , hlm. 98.

  Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,Mahkamah_ Konstitusi_Republik_Indonesia, diakses pada tanggal 5 Februari 2015 Pukul: 13.04 WIB. 52 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Kedudukan, Kewenangan dan Kewajiban”,

diakses pada

  1. Bentuk Penelitian

  Penelitian ini akan menggunakan metode penelitian yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang mengacu kepada kaidah-kaidah atau norma-norma hukum yang terdapat dalam perjanjian internasional dan peraturan perundang-undangan nasional yang berhubungan dengan pemberlakuan perjanjian internasional di Indonesia dikaitkan dengan judicial review terhadap Piagam ASEAN di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Soerjono Soekanto menyatakan penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka, dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian

  

  hukum kepustakaan. Berdasarkan sudut ilmu yang dipergunakan, penelitian ini merupakan penelitian monodisipliner, artinya penelitian ini hanya didasarkan

   pada satu disiplin ilmu, yakni ilmu hukum.

  2. Jenis Data

   Jenis data yang digunakan dalam tulisan ini adalah data sekunder. Data

  sekunder adalah data yang didapat atau dikumpulkan oleh peneliti dari semua sumber yang sudah ada. Data sekunder bisa didapatkan dari berbagai sumber, seperti buku, jurnal penelitian, artikel, dan lain sebagainya. 53 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat , (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), hlm.13. 54 55 Ibid .

  Menurut Soerjono Soekanto, ciri-ciri umum dari data sekunder antara lain:

  a). Pada umumnya data skeunder dalam keadaan siap terbuat dan dapat dipergunakan dengan segera; b). Baik bentuk maupun isi data sekunder, telah dibentuk dan diisi oleh peneliti- peneliti terdahulu, sehingga peneliti kemudian tidak mempunyai pengawasan terhadap pengumpulan, pengolahan, analisa maupun konstruksi data; dan c). Tidak terbatas oleh waktu maupun tempat. Lihat Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2007), hlm.

  3. Jenis Bahan Hukum

  Bahan hukum yang akan digunakan dalam penelitian ini dapat dibedakan menjadi tiga golongan, yakni: a.

  Bahan hukum primer, berupa Piagam ASEAN, Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 33/PUU-IX/2011, Vienna

  Convention on the Law of Treaties , Deklarasi Bangkok, Undang-

  Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of

  the Association of Southeast Asian Nations , dan berbagai perjanjian internasional dan peraturan nasional lainnya yang berkaitan.

  b.

  Bahan hukum sekunder berupa buku, artikel, essay, jurnal dan lain sebagainya.

  c.

  Bahan hukum tersier yakni bahan-bahan yang memberikan petunjuk ataupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedia, dan lain sabagainya.

  4. Teknik Pengumpulan Data

  Metode pengumpulan data yang digunakan untuk menulis skripsi ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan adalah dengan

  

menggunakan metode library reasearch (penelitian kepustakaan) dengan alat

   pengumpul data yaitu studi dokumen atau bahan pustaka , yakni pengumpulan data yang dilakukan secara studi kepustakaan dan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan tujuan penelitian.

  Melalui metode ini, dipelajari sumber-sumber atau bahan-bahan tertulis yang dapat dijadikan bahan dalam penulisan skripsi ini. Berupa rujukan buku- buku, wacana yang dikemukakan oleh para sarjana hukum internasional dan hukum tata negara yang sudah menguasai di bidangnya, dokumen, artikel, peraturan yang berkaitan, jurnal, kamus, ensiklopedia, dan lain sebagainya.

5. Analisis Data

  Pada penelitian hukum normatif yang menelaah data sekunder, maka

  

  biasanya penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisanya. Metode analisis data yang dilakukan adalah pendekatan kualitatif, yaitu dengan: a.

  Mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang relevan dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini; b.

  Melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas; c.

  Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan dari permasalahan; d.

  Memaparkan kesimpulan yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif, yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.

G. Sistematika Penulisan

  Pembahasan dan penyajian suatu penelitian harus terdapat keteraturan agar terciptanya suatu karya ilmiah yang baik. maka dari itu, penulis membagi penelitian ini dalam beberapa bab yang saling berkaitan satu sama lain karena isi dari penelitian ini bersifat berkesinambungan antara bab yang satu dengan bab yang lainnya.

  Pada Bab I, akan dikemukakan tentang latar belakang dari penelitian ini yang mencakup kemampuan negara dalam berhubungan dengan negara lain dalam suatu wadah organisasi internasional. Selanjutnya dibahas mengenai kesepakatan negara-negara anggota ASEAN yang melahirkan Piagam ASEAN untuk dipatuhi oleh seluruh anggotanya hingga pro-kontra pemberlakuannya di Indonesia yang pada akhirnya memunculkan judicial review terhadap Piagam ASEAN yang telah diratifikasi oleh Indonesia dalam latar belakang tersebut. Kemudian akan dibahas perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan, yang semuanya berkaitan dengan Pemberlakuan Perjanjian Internasional di Indonesia dikaitkan dengan Judicial Review Piagam ASEAN oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

  Selanjutnya pada Bab II, akan dibahas mengenai perkembangan hukum internasional dalam mengatur perjanjian internasional. Kemudian bagaimana kedudukan perjanjian internasional sebagai sumber hukum internasional yang utama dan pembentuk kaidah-kaidah hukum internasional. Juga akan dibahas bagaimana pandangan paham monisme dan dualisme dalam pemberlakuan perjanjian internasional. Pada bagian akhir bab ini akan dibahas tentang pengesahan dan pelaksanaan perjanjian internasional yang didasarkan pada pengaturan hukum internasional.

  Kemudian pada Bab III pada tulisan ini, akan dibahas bagaimana kedudukan Piagam ASEAN sebagai perjanjian internasional yang menjadi dasar hukum dalam kerangka kerjasama ASEAN. Selain itu, akan dibahas mengenai keterikatan negara terhadap perjanjian internasional berdasarkan hukum internasional dan dikaitkan dengan kasus judicial review terhadap Piagam ASEAN tersebut di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

  Pada Bab IV, ini akan dibahas lebih jelas mengenai pengaturan hukum nasional Indonesia tentang pengesahan perjanjian internasional dan juga status perjanjian internasional tersebut dalam hukum nasional Indonesia yang akan dikaitkan dengan judicial review terhadap piagam tersebut di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

  Selanjutnya pada Bab V yang merupakan Bab terakhir pada tulisan ini, akan dikemukakan kesimpulan dari bagian awal hingga bagian akhir dari penulisan yang merupakan ringkasan dari substansi tulisan ini, dan saran-saran yang diciptakan dalam kaitannya dengan masalah yang dibahas.

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Perilaku Perempuan Dalam Menentukan Pilihan Politik Pada Umum Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Medan 2014

0 0 34

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Kepastian Hukum Bagi Bank Sebagai Kreditur Atas Tanah Yang Belum Terdaftar Sebagai Agunan Pada PT. Bank SUMUT Cabang Gunung Tua

0 1 35

BAB II TINJAUAN TENTANG HUKUM JAMINAN DALAM HUKUM AGRARIA A. Hak Tanggunan Sebagai Hukum Jaminan Tanah - Kepastian Hukum Bagi Bank Sebagai Kreditur Atas Tanah Yang Belum Terdaftar Sebagai Agunan Pada PT. Bank SUMUT Cabang Gunung Tua

0 0 28

BAB II PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT A. Pengertian dan Syarat-Syarat Kepailitan - Analisis Yuridis Terhadap Penahanan Debitur Pailit dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit

0 1 30

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Terhadap Penahanan Debitur Pailit dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit

0 0 20

Pemberlakuan Bebas Visa Bagi Negara-Negara Anggota Organisasi Konferensi Islam (Oki) Menurut Tinjauan Hukum Internasional

0 0 15

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG VISA DALAM LINGKUP INTERNASIONAL - Pemberlakuan Bebas Visa Bagi Negara-Negara Anggota Organisasi Konferensi Islam (Oki) Menurut Tinjauan Hukum Internasional

0 0 20

NURUL PERTIWI 110200076 Departemen Hukum Internasional DiketahuiDisetujui oleh : Ketua Departemen Hukum Internasional

0 0 11

Pemberlakuan Perjanjian Internasional Di Indonesia Dikaitkan Dengan Judicial Review Terhadap Piagam Asean Di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

1 2 13

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PENGESAHAN DAN PELAKSANAAN PERJANJIAN INTERNASIONAL A. Perkembangan Hukum Internasional terhadap Pengaturan Perjanjian Internasional - Pemberlakuan Perjanjian Internasional Di Indonesia Dikaitkan Dengan Judici

0 0 34