BAB I PENDAHULUAN 1.1 KONTEKS MASALAH - Pola Komunikasi Keluarga Dalam Pengambilan Keputusan Perkawinan Usia Remaja (Studi kasus pola komunikasi keluarga dalam pengambilan keputusan perkawinan usia remaja di Desa Sei Semayang, Kecamatan Sunggal, Kabupaten

BAB I PENDAHULUAN

1.1 KONTEKS MASALAH

  Komunikasi adalah hubungan kontak antar dan antara manusia, baik individu maupun kelompok. Dalam kehidupan sehari-hari disadari atau tidak komunikasi adalah bagian dari kehidupan manusia. Setiap orang hidup dalam masyarakat, sejak bangun tidur sampai tidur lagi manusia senantiasa terlibat dalam komunikasi. Bahkan manusia dilahirkan sudah berkomunikasi dengan lingkungannya.

  Lingkungan pertama seorang anak mengenal orang-orang di sekitarnya sebelum berafiliasi ke masyarakat secara luas adalah lingkungan keluarga. Keluarga merupakan tempat dimana anak berinteraksi sosial dengan orang tua yang paling lama. Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas bapak, ibu, anak dan lain-lain (kakek, nenek dan sebagainya) yang hidup dibawah satu atap dan saling berhubungan (Kertamuda, 2009:47).

  Secara psikologis keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup bersama dalam tempat tinggal bersama dan masing-masing anggota merasakan adanya pertautan batin sehingga terjadi saling mempengaruhi, saling memperhatikan dan saling meyerahkan diri. Pengertian keluarga secara umum menurut Friedman dan Suprajitno, keluarga merupakan kumpulan dua orang atau lebih yang saling hidup bersama dengan ketertarikan aturan emosional dan memiliki peran masing-masing yang merupakan bagian dari keluarga (Solaeman, 1994:5-10).

  Komunikasi dalam keluarga dapat berlangsung secara timbal balik dan silih berganti, bisa dari orang tua ke anak atau dari anak ke orang tua, atau dari anak ke anak. Awal terjadinya komunikasi karena ada suatu pesan yang ingin disampaikan. Siapa yang berkepentingan untuk menyampaikan suatu pesan berpeluang untuk memulai komunikasi, yang tidak berkepentingan untuk meyampaikan suatu pesan cenderung menunda komunikasi.

  Komunikasi berpola stimulus-respons adalah model komunikasi yang masih terlihat dalam kehidupan keluarga. Komunikasi seperti ini terjadi pada saat orang tua mengasuh bayi. Orang tua lebih aktif dan kreatif memberikan stimulus (rangsangan), sementara bayi berusaha memberikan respons (tannggapan). Pola komunikasi stimulus-respons berbeda dengan pola komunikasi interaksional. Dalam pola komunikasi interaksional, kedua belah pihak yang terlibat dalam komunikasi sama-sama aktif dan kreatif dalam menciptakan arti terhadap ide atau gagasan yang disampaikan via pesan, sehingga jalannya komunikasi terkesan lebih dinamis dan komunikatif (Djamarah, 2004:2).

  Pola komunikasi yang dibangun akan mempengaruhi pola asuh orang tua. Dengan pola komunikasi yang baik diharapkan akan tercipta pola asuh yang baik pula. Kegiatan pengasuhan anak akan berhasil dengan baik jika pola komunikasi yang tercipta dihiasi dengan cinta dan kasih sayang dengan memposisikan anak sebagai subyek yang harus dibina, dibimbing, di didik dan bukan sebagai objek semata. Oleh karena itu, kehidupan keluarga yang harmonis perlu dibangun di atas dasar sistem interaksi yang kondusif sehingga pendidikan dapat berlangsung dengan baik dan terciptanya hubungan akrab dalam keluarga.

  Hubungan baik yang tercipta dalam sebuah keluarga dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya, faktor pendidikan, kasih sayang, profesi, pemahaman terhadap norma agama dan mobilitas orang tua. Hubungan baik antara orang tua dan anak tidak hanya di ukur dengan pemenuhan kebutuhan materiil saja, tetapi kebutuhan mental spiritual merupakan ukuran keberhasilan dalam menciptakan hubungan tersebut. Kasih sayang yang diberikan orang tua terhadap anaknya adalah faktor yang sangat penting dalam keluarga. Tidak terpenuhinya kebutuhan kasih sayang dan seringnya orang tua tidak berada dirumah menyebabkan hubungan dengan anaknya kurang intim.

  Orang tua sebagai pemimpin adalah faktor penentu dalam menciptakan dalam keluarga akan memberikan suasana tertentu dengan segala dinamikanya.

  Interaksi yang berlangsung pun bermacam-macam bentuknya. Oleh karena itu, karateristik seorang pemimpin akan menentukan pola komunikasi yang berlangsung dalam kehidupan keluarga. Kehidupan keluarga yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang otoriter akan melahirkan suasana yang berbeda dengan kehidupan keluarga yang dipimpin oleh seorang pemimpin demokratis (laissez

  

faire ). Perbedaan itu disebabkan oleh adanya perbedaan karakteristik yang

dimiliki oleh kedua tipe kepemimpinan tersebut (Djamarah, 2004:5).

  Persoalan muncul ketika kepemimpinan yang diterapkan oleh orang tua tidak mampu menciptakan suasana kehidupan keluarga yang kondusif misalnya, sering terjadi konflik antara orang tua dan anak. Implikasinya adalah renggangnya hubungan antara orang tua dan anak. Kesenjangan demi kesenjangan selalu terjadi. Komunikasi yang baik akhirnya sukar diciptakan. Inilah awal kehancuran hubungan antara orang tua dan anak dalam keluarga.

  Kegagalan orang tua dalam mendidik anak yang selama ini terjadi bukan tidak mungkin disebabkan komunikasi yang dibangun beralaskan kesenjangan tanpa memperhatikan sejumlah etika komunikasi. Padahal etika komunikasi sangat penting dalam rangka mengakrabkan hubungan orang tua dan anak. Komunikasi keluarga yang bagaimana pun bentuknya harus memperhatikan etika komunikasi. Sebab hanya dengan memperhatikan etika komunikasi itulah, komunikasi keluarga yang harmonis dapat dibangun dalam rangka mendidik anak dan keluarga.

  Setiap keluarga menghadapi masalah yang berbeda-beda dengan yang lain. Masalah yang timbul juga bervariasi, misalnya masalah yang dihadapi keluarga yang memiliki anak remaja. Keluarga dengan anak yang sudah remaja sering kali menimbulkan stress terutama pada kedua orang tuanya. Keluarga yang memiliki anak remaja menghadapi situasi yang tidak mudah baik bagi remaja itu sendiri maupun keluarga terutama ayah dan ibu. Perbedaan dalam cara pandang dan ingin kebebasan, tetapi masih bergantung pada orang tua, remaja ingin dianggap dewasa, sementara masih diperlakukan seperti anak kecil.

  Masa remaja merupakan masa yang sangat sulit dan kritis dalam perubahan yang terjadi sangat pesat dalam kehidupan dimasa ini. Secara psikologi (Ahmadi, 2007:221), remaja adalah suatu periode transisi dari awal masa dewasa yang dimasuki pada usia kira-kira 10 hingga 12 tahun dan berakhir pada 18 tahun hingga 22 tahun. Dari batas sudut usia saja tampak bahwa golongan remaja sebenarnya tergolong kalangan yang transasional. Artinya, keremajaan merupakan gejala sosial yang bersifat sementara, oleh karena berada antara usia kanak-kanak dengan usia dewasa. Sifat sementara dari kedudukannya mengakibatkan remaja masih mencari identitasnya, karena oleh anak-anak mereka sudah dianggap dewasa sedangkan oleh orang dewasa mereka masih dianggap anak-anak.

  Pada awal masa remaja, anak berpikir ego-centris yang menganggap orang lain seperti dirinya dalam hal yang dipikirkan, dirasakan, disenangi dan lain-lain. Perilaku yang umum bagi para remaja adalah keinginan untuk diperhatikan, tampil dan menonjolkan diri. Selain dari itu remaja juga memiliki rasa ingin beda (unik). Perkembangan sosio emosional remaja juga dapat diperhatikan dari hubungan orang tua dengan remaja yang dimitoskan dengan: (1) remaja melepaskan diri dari orang tua dan masuk pada dunia dengan teman-teman sebaya secara tertutup; (2) Hubungan intense dengan orang tua terisi dengan konflik dan stress yang tinggi (Sumanto, 2002:85).

  Konflik yang terjadi pada keluarga yang memiliki anak remaja menyebabkan orang tua menjadi lebih emosional terhadap anak remajanya. Hal ini yang dapat menurunkan kualitas komunikasi, atau dapat juga menyebabkan anak remaja kurang terbuka dan tertarik pada orang tua mereka. Situasi dan kondisi antara remaja dan orang tua tersebut menimbulkan suasana yang tidak nyaman bagi semua pihak sehingga hal ini mempengaruhi kualitas dalam keluarga. Hubungan yang tidak harmonis dan kualitas yang tidak baik dalam keluarga membuat remaja mencari cara atau pelarian dengan melakukan tindakan yang negatif. Misalnya menggunakan narkoba dan pergaulan bebas (free sex) yang berdampak kehamilan pada remaja putri.

  Konflik dalam keluarga dapat menjadikan remaja mencari tempat baru yang mampu menenangkan gundah hatinya. Hubungan pertemanan menjadi salah satu alternatif remaja untuk menjalani masa sulitnya, sehingga akan mudah bagi menjadi harapan dari orang tua dan keluarga. Sebaliknya, pengaruh negatif dari pertemanan remaja, misalnya dengan pergaulan bebas (free sex) dapat berdampak pada terjadinya kehamilan yang tidak diharapkan.

  Kehamilan diluar nikah menyebabkan para orang tua terpaksa mengambil keputusan untuk menikahkan anaknya pada usia yang belum matang atau pada usia remaja. Menurut Gubhaju (dalam www.bkkbn.go.id)., menyatakan bahwa pernikahan dini secara frekuen merefleksikan pernikahan yang telah diatur atau karena kehamilan diluar nikah. Choe (2001) menyatakan bahwa pernikahan sebelum usia 18 tahun pada umumnya terjadi pada wanita Indonesia di pedesaan dan pendidikan perempuan yang lebih tinggi terkait erat dengan perkawinan usia remaja yang lebih lambat. Erica (2004) menyatakan bahwa pernikahan usia dini menyebabkan angka kejadian drop out, hak kesehatan produksi rendah, kematian ibu tinggi, kekerasan dalam rumah tangga dan subornasi keluarga.

  Beberapa hal yang terkait dengan fenomena mengenai jumlah pernikahan remaja menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), terdapat 2,3 juta pasangan menikah dalam setahun dan 4,5 juta kehamilan dalam setahun, di mana pasangan yang menikah pada usia 15-19 tahun sebesar 46% dan yang menikah di bawah usia 15 tahun sekitar 5%. (m.tribunnews.com/kesehatan,

  29 April 2014). Data ini menunjukan bahwa angka kejadian pernikahan di usia remaja atau istilah populernya pernikahan dini cukup besar yaitu sekitar 1,1 juta pernikahan dalam setahun. Pokja Analisis Dampak Sosial Ekonomi BKKBN dalam kajian Pernikahan Dini pada beberapa provinsi di Indonesia menyatakan bahwa pendidikan yang rendah, kebutuhan ekonomi, kultur nikah muda, pernikahan yang diatur dan seks bebas pada remaja adalah faktor yang paling berperan untuk terjadinya pernikahan usia remaja atau pernikahan usia dini.

  Satu hal penting yang perlu diperhatikan dalam mempersiapkan perkawinan adalah berapa usia yang tepat bagi seorang pria maupun seorang perempuan untuk melangsungkan pekawinan. Undang-undang Republik Indonesia telah mengatur batas usia perkawinan. Dalam Undang-undang Perkawinan tahun 1974 bab II pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan hanya perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun (Sudarsono, 2005:8).

  Kebijakan pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia pernikahan tersebut tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak benar-benar siap dan matang dari sisi fisik, psikis dan mental. Namun tentu saja pelaksanaan undang-undang tersebut tidak bisa dimaknai dan dilaksanakan secara langsung begitu saja, karena dalam prakteknya usia 19 tahun bagi pria dan perempuan, masih masuk dalam kategori usia dewasa muda (lead adolescent). Pada usia ini, biasanya mulai timbul transisi dari gejolak remaja ke masa dewasa dan memasuki tahapan proses penemuan jati diri. Sehingga, perkawinan dengan batasan usia 19 tahun untuk pria atau bahkan 16 tahun untuk perempuan agak kurang relevan lagi jika dikategorikan sebagai pernikahan yang cukup matang, meski secara hukum dianggap tidak melanggar Undang-Undang Perkawinan.

  Undang-undang perkawinan mengatur hak dan kewajiban antara orang tua dan anak yang menyangkut beberapa hal. Pertama, mengatur tentang kewajiban pemeliharaan dan pendidikan, bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Ketentuan ini diatur dalam pasal 45 Undang-Undang Perkawinan. Kedua, mengatur tentang kebalikannya, yakni kewajiban anak terhadap orang tua, yaitu: Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka dengan baik. Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya (Pasal 46). Ketiga, mengatur tentang adanya keharusan anak diwakili orang tua dalam segala perbuatan hukum yang diatur didalam pasal 47 yaitu : Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasannya. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.

  Penelitian ini lebih mengkhususkan pada pola komunikasi orang tua berpikir adalah menetapkan keputusan. Setiap keputusan yang diambil akan disusul oleh keputusan-keputusan lainnya yang berkaitan. Tanda-tanda umum dari pengambilan keputusan adalah: (1) keputusan merupakan hasil berpikir; hasil usaha intelektual; (2) keputusan selalu melibatkan pilihan dari berbagai alternatif;

  (3) keputusan selalu melibatkan tindakan nyata, walaupun pelaksanaannya ditangguhkan atau dilupakan (Rakhmat, 2007:71). Pola komunikasi dalam keluarga berpengaruh dalam menentukan dan mengambil suatu keputusan. Beberapa peneliti memberikan saran bahwa kehangatan dan keterlibatan orang tua pada anak yang sangat kurang akan menimbulkan problem, sedangkan terlalu banyak keterlibatan orang tua dan kendali yang dilakukan terhadap anak juga akan menimbulkan masalah bagi anak. Pada akhirnya, komunikasi antara orang tua dan anak sangat menentukan bagaimana cara seseorang mengambil keputusan termasuk keputusan untuk menikah di usia remaja.

  Berdasarkan uraian yang dikemukakan, peneliti tertarik meneliti mengenai Pola Komunikasi Orang Tua Terhadap Pengambilan Keputusan Perkawinan Usia Remaja dengan menggunakan studi Deskriptif Kualitatif. Informan dalam penelitian ini berlokasi di Desa Sei Semayang, Kecamatan Sunggal, Kabupaten deli Serdang. Desa Sei Semayang terdiri dari 18 dusun dengan jumlah penduduk sampai dengan desember 2014 sebanyak 27.382 jiwa (Laporan Pelaksanaan Pengelolaan Dana Keuangan Desa Sei Semayang Kecamatan Sunggal, 2014).

  “Desa Sei Semayang merupakan salah satu desa yang penduduknya masih

  banyak melakukan perkawinan di usia remaja. Hasil wawancara pada bulan Maret 2015 dengan petugas KUA desa Sei Semayang, setiap tahunnya terjadi peningkatan hampir 50% dari jumlah penduduk usia 15- 24 tahun sebanyak 4.261 (per tahun 2014). Sebanyak 98% kasus perkawinan usia remaja yang terjadi di Desa Sei Semayang akibat hamil di luar nikah”(Sumber: Petugas KUA Desa Sei Semayang, Senin, 2 februari 2015).

1.2. FOKUS MASALAH

  Berdasarkan konteks masalah yang diuraikan, maka dapat dirumuskan fokus permasalahan dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana pola komunikasi keluarga dalam mempengaruhi pengambilan keputusan perkawinan usia remaja di desa Sei Semayang Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli serdang ?”

  1.3. PEMBATASAN MASALAH

  Untuk memperjelas lingkup permasalahan yang akan di teliti agar tidak terlalu luas, maka peneliti membatasi masalah sebagai berikut:

  1. Penelitian ini hanya terbatas pada remaja perempuan yang sudah menikah pada usia 15 s/d 19 tahun di Desa Sei Semayang, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli serdang. Usia remaja secara Psikologis bermula dari usia 10-12 tahun dan berakhir pada usia 18-22 tahun (Ahmadi, 2007:221)

  2. Penelitian ini ingin mengetahui pola komunikasi di dalam keluarga, terutama antara orang tua dan anak serta ingin mengetahui bagaimana pengambilan keputusan perkawinan usia remaja di dalam keluarga.

  3. Penelitian ini dilakukan pada Juli 2015-September 2015

  1.4 TUJUAN PENELITIAN

  Adapun tujuan penelitian ini adalah:

  1. Untuk mengetahui pola komunikasi keluarga antara orang tua dan anak dalam perkawinan usia remaja di Desa Sei Semayang, , Kecamatan sunggal, Kabupaten Deli Serdang.

  2. Untuk mengetahui proses pengambilan keputusan perkawinan usia remaja didalam keluarga di Desa Sei Semayang, Kecamatan sunggal, Kabupaten Deli Serdang.

  1.5 MANFAAT PENELITIAN

  1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan dan pembuktian terhadap beberapa teori mengenai pola komunikasi keluarga khususnya yang terjadi terhadap anak yang menikah pada usia remaja.

  2. Manfaat secara akademis, yaitu penelitian ini diharapkan dapat memperluas keanekaragaman wacana penelitian di FISIP USU khususnya Departemen ilmu komunikasi.

  3. Manfaat secara praktis, yaitu penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber pengetahuan bagi pembaca dam mampu meberikan masukan kepada beberapa pihak yang memiliki kepentingan.

Dokumen yang terkait

ANALISIS MANAJEMEN RISIKO (Studi Kasus pada Gudang Obat Rumah Sakit Tentara Pematangsiantar)

1 8 12

Pemanfaatan Berbagai Jenis Fungi untuk Meningkatkan Pertumbuhan Rhizophora apiculata di Desa Nelayan Indah Kecamatan Medan Labuhan

0 0 9

BAB II GAMBARAN UMUM OBJEK LOKASI PRAKTIK KERJA LAPANGAN MANDIRI A. Sejarah Singkat Berdirinya Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Timur - Tinjauan Atas Peranan Pelaksanaan Pemeriksaan Pajak Pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Medan Timur

0 0 12

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri - Tinjauan Atas Peranan Pelaksanaan Pemeriksaan Pajak Pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Medan Timur

0 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori - Pengaruh Corporate Social Performance Terhadap Corporate Financial PerformanceStudi Empiris Pada perusahaanyang terdaftar di National Center forSustainability Reporting 2010-2013

0 0 31

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Corporate Social Performance Terhadap Corporate Financial PerformanceStudi Empiris Pada perusahaanyang terdaftar di National Center forSustainability Reporting 2010-2013

0 0 8

Pengaruh Corporate Social Performance Terhadap Corporate Financial PerformanceStudi Empiris Pada perusahaanyang terdaftar di National Center forSustainability Reporting 2010-2013

0 0 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Pengertian Bank - Analisis Permintaan Kredit Multiguna Pegawai Negeri Sipil Pada Perbankan Di Kota Panyabungan

0 0 19

Pola Komunikasi Keluarga Dalam Pengambilan Keputusan Perkawinan Usia Remaja (Studi kasus pola komunikasi keluarga dalam pengambilan keputusan perkawinan usia remaja di Desa Sei Semayang, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang)

0 0 19

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PARADIGMA KAJIAN - Pola Komunikasi Keluarga Dalam Pengambilan Keputusan Perkawinan Usia Remaja (Studi kasus pola komunikasi keluarga dalam pengambilan keputusan perkawinan usia remaja di Desa Sei Semayang, Kecamatan Sunggal, Kabu

0 0 35