BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Hukum Pidana terhadap Pengurus Koperasi Yang dengan Sengaja Menimbulkan Kerugian pada Koperasi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hampir diseluruh dunia orang mengenal koperasi. Walaupun per

  definisi Koperasi dipahami dengan cara berbeda-beda, tetapi secara umum Koperasi dikenal sebagai suatu perusahaan yang unik. Ia tidak hanya dianggap berbeda dari perusahaan peseorangan yang berbentuk

  

Commanditaire Vennootschap (CV), tapi juga dianggap tidak sama dengan

  perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh sekumpulan orang seperti Firma dan Perseorangan Terbatas (PT).

  Di Indonesia peran dan posisi Koperasi dalam perekonomian nasional sangatlah penting. Itulah sebabnya perkataan “Koperasi” disebutkan dalam penjelasan Undang-undang Dasar 1945 bahwa dalam Pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang ses uai dengan itu ialah koperasi…”

  Berdasar pada penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Koperasi, Badan Usaha Milik Swasta, dan Badan Usaha Milik Negara merupakan hal yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia. Dari ketiga bentuk usaha tersebut, merupakan pengjawantahan dari nilai-nilai perekonomian atas asas kekeluargaan dari bangsa Indonesia.

  Secara spesifik cita-cita koperasi Indonesia adalah menentang individualisme dan kapitalisme secara fundamental. Paham koperasi Indonesia menciptakan masyarakat yang kolektif, berakar pada adat-istiadat hidup Indonesia yang asli, tetapi ditumbuhkan pada tingkat yang lebih tinggi, sesuai dengan tuntutan jaman modern. Semangat kolektivitas Indonesia yang akan dihidupkan kembali dengan koperasi yang mengutamakan kerjasama dalam suasana kekeluargaan antar manusia pribadi, bebas dari penindasan dan paksaan. Koperasi sebagai badan usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan didamaikan dalam keadaan harmonis antara kepentingan orang

  1 seorang dengan kepentingan umum.

  Berkaitan definisi koperasi, jika diteliti secara seksama, maka tampak bervariasi sejalan dengan perkembangan jaman. Definisi awal pada umumnya menekankan bahwa koperasi itu merupakan wadah bagi golongan ekonomi lemah, seperti defenisi yang diberikan Fray, yang menyatakan bahwa koperasi adalah: Suatu perserikatan dengan persetujuan, berusaha bersama yang terdiri atas mereka yang lemah dan diusahakan selalu dengan semangat tidak memikirkan diri sendiri sedemikian rupa, sehingga masing-masing sanggup 1 menjalankan kewajibannya sebagai anggota dan mendapat

  Ninik Widiyanti dan Sunindhias, “Koperasi dan Perekonomian Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 1989, h. 174. imbalan sebanding dengan pemanfaatan mereka terhadap

  2 organisasi.

  Sejalan dengan pendapat di atas Mohammad Hatta mengemukakan bahwa koperasi pada hakikatnya adalah usaha bersama untuk memperbaiki nasib penghidupan ekonomi berdasarkan tolong menolong. Beliau mengatakan bahwa gerakan koperasi melambangkan harapan bagi kaum yang lemah ekonominya berdasarkan self-helf dan tolong menolong diantara anggota-anggotanya yang melahirkan diantara mereka rasa percaya pada diri

  3

  sendiri dan persaudaraan. Pada asasnya koperasi bukanlah suatu usaha yang mencari keuntungan semata seperti halnya usaha-usaha swasta seperti firma atau perseroan, sekalipun berusaha meningkatkan taraf hidup dan memajukan kemakmuran anggota-anggotanya, koperasi bukanlah usaha ekonomi yang mementingkan serta mengejar keuntungan sebesar-besarnya. Disamping tujuan yang ekonomis-komersial, koperasi memperhatikan pula tujuan dan

  4 cita-cita sosial. Koperasi adalah organisasi ekonomi yang berwatak sosial.

  Permikiran yang lain juga dikemukakan oleh R.S. Soeriaatmadja yang melihat koperasi sebagai “perkumpulan dari orang-orang yang atas dasar persamaan derajat sebagai manusia, dengan tidak memandang haluan agama dan politik secara sukarela masuk, untuk sekedar memenuhi kebutuhan 2 M. Firdaus dan Agus Edhi Susanto, “Perkoperasian Sejarah, Teori dan Praktek, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002, h. 38-39. 3 Andjar Pachta, “Hukum Koperasi Indonesia”, Jakarta: Kencana Prenada Media

  Group, 2008, h. 19. 4 Sagimum MD, “Koperasi Indonesia, Jakarta”, Manasco, 1983/1984, h. 7-8.

  5

  dan juga bersama yang bersifat kebendaan atas tanggungan bersama” penjelasan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoprasian menyatakan bahwa :“kemakmuran rakyatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang-peroangan, dan bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi”.

  Dari pengertian beberapa ahli di atas maka menempatkan Koperasi baik dalam kedudukan soko guru perekonomian nasional maupun sebagai bagian integral tata perekonomian nasional. Dengan memperhatikan kedudukan Koperasi, maka peran Koperasi sangatlah penting dalam menumbuhkan dan mengembangkan potensi ekonomi rakyat dalam mewujudkan kehidupan demokrasi ekonomi yang mempunyai ciri-ciri demokratis, kebersamaan, kekeluargaan, dan keterbukaan. Tetapi dalam perkembangan ekonomi yang berjalan demikian cepat, pertumbuhan Koperasi selama ini belum sepenuhnya menampakan wujud dan perannya sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan UUD 1945.

  Dengan memperhatikan kepentingan ekonomi nasional dari perwujudan pemerataan kesempatan berusaha, Undang-Undang (UU) Perkoperasian memberikan kesempatan bagi Koperasi untuk memperkuat permodalan melalui pengarahan modal penyertaan baik dari anggota maupun dari bukan anggota. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 5 Muhammad Firdaus dan Agus Edhi Susanto,

  “Perkoprasian Sejarah, Teori & Praktek, Ghalia Indonesia ”, Jakarta: h. 39.

  1998 Tentang Modal Penyertaan Pada Koperasi, yang dimaksud Modal Penyertaan adalah sejumlah uang atau barang modal yang dapat dinilai dengan uang yang ditanamkan oleh pemodal untuk menambah dan memperkuat struktur permodalan koperasi dalam meningkatkan kegiatan usahanya. Koperasi menjadi dapat menghimpun modal untuk pengembangan usahanya, sementara itu dalam UU Perkoperasian ditanamkan pemikiran kearah pengembangan pengelolaan Koperasi secara professional.

  Berdasar pada kaidah-kaidah di atas menjadi dasar berfikir banyaknya koperasi di Indonesia yang dalam keberlangsungannya berjalan melalui peneyerahan modal penyertaan dari masyarakat, baik yang mengatas namakan kepentingan pengembangan usaha Koperasi maupun untuk kepentingan pribadi. Hal ini menjadi suatu permasalahan yang menarik ketika UU Perkoperasian tersebut mengharapkan semangat pengembangan pengelolaan koperasi yang profesional demi pembangunan perekonomian di Indonesia.

  Sementara itu justru ada pula koperasi yang bermasalah dan para pengurusnya berakhir di penjara karena telah terbukti melakukan tindak pidana tertentu dan/ataupun harus mengganti kerugian kepentingan anggota dan non-anggotanya yang modalnya disertakan dalam koperasi yang bersangkutan. Hal tersebut menunjukan bahwa koperasi cenderung dikelola oleh menagemen yang tidak baik, sehingga koperasi yang seharusnya bertujuan mensejahterakan anggota, ternyata pada kenyataanya hanya

  6 mencari keuntungan peribadi bagi pendiri, pengurus atau pengelola.

  Walaupun banyaknya koperasi yang tidak mampu beroperasi dan tidak sehat namun dalam prakteknya masih tetap memiliki izin karena tidak dibubarkan

  7 dan tercatat sebagai koperasi aktif dan masih menerima simpan pinjam.

  ”Potensi dana yang dapat dihimpun dan dimobilisasikan melalui pengembangan istrumen lembaga pembiayaan koperasi di atas sangat besar. Pada realitanya, pengoperasian koperasi khususnya koperasi simpan pinjam tidak selalu terbatas dari dan oleh anggota, namun juga meliputi pihak yang melakukan simpan pinjam pada koperasi tidak terdaftar sebagai anggota koperasi. Dengan demikian hak sebagai anggota pun tidak diberikan

  8

  kepada orang yang melakukan penyimpanan dana di koperasi.” Oleh sebab itu untuk memberikan sanksi berupa sanksi pidana kepada pengurus koperasi yang diduga melakukan tindak pidana koperasi sebagaimana yang telah dirumuskan dalam pasal 34 ayat (2) Undang-undang Koperasi dapat dijadikan sebagai dasar untuk memberikan sanksi pidana kepada pelaku tindak pidana. Berkaitan dengan pasal 34 ayat (2) Undang- undang Koperasi, UU Perkoperasian tidak memuat ketentuan pidananya, artinya sanksi pidana tidak dikenal dalam regulasi perkoperasian sehingga 6 Dalam sebuah Makalah yang ditulis oleh Christina Maya Indah, “Refleksi Kebijakan

  Formulasi Hukum Pidana Dalam Penangulangan Tindak Pidana Koperasi 7 ”.

  Tercatat pada tahun 2013 jumlah kopersi di Jawa Tengah 27.215 Koperasi, sebanyak

80,22% aktif, dan sisanya merupakan koperasi tidak aktif. Dari jumlah tersebut, 21.298

merupakan koperasi simpan pinjam., Hal ini diungkap oleh Kepala Dinas Koperasi dan

UNKM Jateng Sujarwanto Dwiatmoko, Suara Merdeka

wawancara

denga dinas Koperasi Salatiga tercatat puluhan koperasi tidak aktif, namun tidak memenuhi

ketentuan pembubaran koperasi, dan menelantarkan anggotanya. 8 Ibid.

  9

  yang berlaku adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dapat menjangkau pengurus atau pengelola yang melakukan kejahatan berupa penggelapan dalam jabatan, memuat suatu surat/data palsu pada laporan keuangan, sehingga diperlukan suatu formulasi kebijakan hukum pidana yang menjamin diberlakukannya tata kelola yang baik bagi koperasi yang tidak hanya sebatas pada KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang dimaksudkan dengan tindak pidana koperasi adalah, tindak pidana yang dilakukan koperasi, oleh pengurus dan atau pengelola.

  Dalam banyak penerapan kasus di lapangan ketika ada kasus pengurus koperasi yang bermasalah maka para penegak hukum dalam hal ini Polisi maupun Jaksa selain mengunakan KUHP untuk menjerat para pelaku juga menggunakan UU Perbankan dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang.

  Hal tersebut ditempuh disebabkan tidak adanya saksi pidana dalam regulasi koperasi karena sanksi yang ada adalah saksi administrasi.

  Dibawah ini akan diuraikan dua kasus tindak pidana dalam koperasi yang dilakukan dalam kegiatan menghimpun modal penyertaan pada koperasi yang akan penulis kemukakan selanjutnya.

  Selanjutnya KASUS 1, Koperasi Cipaganti Karya Guna Perseda (

disingkat KCKGP) yang didirikan oleh Andianto Setiabudi, yang semenjak

  Desember 2007 hingga bulan Mei 2014 telah menghimpun modal penyertaan 9 Dede Zaki Mubarok, Menkop : Tidak ada sanksi pidana dalam RUU Koperasi,

  http://www.rmol.co/read/2012/02/20/55442/Menkop:-Tidak-Ada-Sanksi-Pidana-dalam- RUU-Koperasi-, diunduh pada Selasa 10 Novembr 2015, Pukul 10.00 Wib. kurang lebih sebesar Rp 4,7 triliun dari 23.193 mitra. Koperasi tersebut bersifat Koperasi Simpan Pinjam yang didirikan dengan tujuan untuk menyejahterakan anggotanya dan para mitra usaha serta sebagai strategic partner Cipaganti Group. Uang Koperasi Cipaganti dikelola oleh Brent

  

Investment dan diinvestasikan ke sector batu bara, namun harga batu bara

  10 amblas sehingga uang koperasi pun menjadi macet.

  Andianto Setiabudi Pimpinan Cipaganti Group sekaligus Direktur Utama Koperasi Cipaganti, Yulinda Tjendrawati adalah istri dari Andrianto, wakil ketua koperasi dan komisaris PT. Cipaganti Citra Graha ( Selanjutnya

  

disingkat PT. CCG) , serta Djulia Sri Rejeki adalah kakak dari Andrianto,

  11

  bendahara koperasi dan komisaris PT. CCG. Mereka ditangkap dan ditahan terkait laporan sejumlah nasabah yang merasa tertipu setelah menyetorkan uang sejumlah miliaran rupiah ke Koperasi Cipaganti. Para mitra mengeluh karena koperasi Cipaganti berbulan-bulan tidak membayar bunga dan mengembalikan uang investasi. Koperasi ini menawarkan sistem bagi hasil

  12 keuntungan antara 1,6% sampai 1,95% per-bulan tergantung tenor.

  10 11 Putusan Nomor 198/Pid.B/2015/PN. Bdg, h. 69-279.

  Sakina Rakhma DIah Setiawan, Cipaganti Tegaskan “Bos”-nya Ditahan Karena Kasus

  Koperasi, http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/06/24/1053193/Cipaganti.Tegaskan.Bos.- nya.Ditahan.karena.Kasus.Koperasi , diunduh pada Kamis 25 Mei 2017,Pukul 11.00 Wib. 12 Andrian Salam Wiyono, Polisi : Koperasi Cipaganti bermasalah semenjak

dipimpin Andianto, http://www.merdeka.com/peristiwa/polisi-koperasi-cipaganti-

bermasalah-sejak-dipimpin-andianto.html, diunduh pada hari Kamis 25Mei 2017, Pukul

10.30 Wib

  Dana itu dikelola oleh koperasi untuk perumahan, SPBU, Transportasi, perhotelan, alat berat, dan tambang. Berdasarkan hasil pemeriksaan penyidik, diketahui bahwa dana mitra bukan digunakan untuk kegiatan tersebut akan tetapi dana tersebut diberikan kepada PT. CCG sebesar Rp 200 Miliar, PT Cipaganti Global Transportindo sebesar Rp 500 miliar, PT CGP sebesar Rp 885 juta, yang keseluruhannya merupakan perusahaan milik pelaku. Terhitung sejak maret 2014 koperasi gagal dan tidak berjalan. Sedangkan sisa uang mitra tidak jelas penggunaanya serta cenderung tidak dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu dari hasil penyelidikan selama ini dana yang digunakan untuk memberikan bagi hasil bulanan kepada mitra yang lebih dahulu menjalin kerja sama, dipastikan berasal dari dana mitra lainnya yang ikut bergabung belakangan (money

  13 game).

  Berdasar pada dakwaan jaksa di atas maka majelis hakim dalam putusannya menyatakan bahwa 1. Andianto Setiabudi, terdakwa 2. Julia Sri Redjeki, terdakwa 3. Yulinda Tjendrawati Setiawan dan terdakwa 4. Cece Kadarisman, S.E. tersebut diatas, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “secara bersama-sama menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari Pimpinan Bank 13 William Perkasa, Kasus penipuan dan penggelapan dana masyarakat Koperasi

  

Cipaganti Karya Guna Persada,http://www.williamperkasa.com/2014/06/kasus-penipuan-

dan-penggelapan-dana-masyarakat-Koperasi-Cipaganti-Karya-Guna-Persada.html diunduh

hari Kamis 25 Mei 2017 Pukul 11.00 Wib.

  14 Indonesia ya Sebagaimana hal tersebut di

  ng dilakukan secara berlanjut.” atur dalam Pasal 46 ayat (1) UU No. 10/1998, merumuskan sebagai berikut: "Barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 16, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp10 miliar dan paling banyak Rp200 miliar”.

  KASUS 2,

  Koperasi Serba Usaha “Karya Mandiri Sejahtera” Terdakwa Kusrasmono, SE. bin Sunardi, pada hari Jum’at tanggal 27 Juli 2012 sekitar pukul 11.00 Wib atau sekitar waktu itu dalam bulan Juli tahun 2012 atau masih dalam tahun 2012 , bertempat di kantor KSU Karya Mandiri Sejahtera Jl.Raya Masaran

  • – Gemolong Sambirejo Kec. Plupuh, Kab. Sragen atau setidak-tidaknya di suatu tempat yang masih termasuk dalam Daerah Hukum Pengadilan Negeri, dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri sesuatu barang yang seluruh atau sebagian kepunyaan orang lain yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan dan ada hubungannya dengan pekerjaan atau karena mendapat upah uang, yang dilakukan Terdakwa dengan cara-cara :

  Koperasi Serba Usaha “Karya Mandiri Sejahtera”, atau dengan n ama singkatan “KSU Karya mandiri Sejahtera“ yang berkantor di Jalan Raya Masaran Gemolong km 08 Sambirejo Kec. Plupuh, Kab. Sragen, yang berdiri dengan dasar hukum adalah pengesahan Akta Pendirian Koperasi dari 14 Putusan Nomor 198/Pid.B/2015/PN. Bdg, h. 269. Menteri Negara Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah RI Nomor : 08/670/BH/2004 tanggal 27 Nopember 2004 yang Badan Hukumnya berlaku sampai denangan 27 Nopember 2009 tetapi oleh Terdakwa badan Hukum KSU Karya Mandiri Sejahtera tersebut tidak di perpanjang lagi sampai dengan sekarang, yang beranggotakan 35 orang dengan Susunan Pengurus Sunardi Jabatan sebagai Ketua, Bayu Teguh Lelono jabatan sebagai Sekretaris, Umi Prihatiningsih jabatan sebagai Bendahara sedangkan Terdakwa jabatannya sebagai Manager yang di angkat berdasarkan Surat Kepurusan Nomor : 01/KSU/LMS/11-2005 tanggal 1 Nopember 2005;

  Terdakwa sebagai Manager KSU “Karya Mandiri Sejahtera“ memiliki jumlah calon angota (Nasabah) yang menyimpan uang di KSU “Karya Mandiri Sejahtera” pertangal 16 Agustus 2012, dengan perincian sebagai berikut. Untuk calon anggota yang mempunyai Simpanan Deposito sebanayak 79 (tujuh puluh sembilan) orang dengan jumlah total nilainya Rp. 1.694.286.000,-(satu milyar enam ratus sembilan puluh empat juta dua ratus delapan puluh enam ribu rupiah); Untuk Calon anggota yang mempunyai Simpanan Sukarela sebanyak 628 (enam ratus dua puluh delapan) orang dengan jumlah total nilainya Rp.1.578.354.890,- ( satu milyar lima ratus tujuh puluh delapan juta tiga ratus lima puluh empat ribu delapan ratus sembilan puluh ribu rupiah) dan korban merupakan salah satu Calon Anggota (nasabah) KSU “ Karya Mandiri Sejahtera“;

  Selanjutnya pada hari, tanggal dan bulan sudah tidak ingat lagi sekitar tahun 2010 saksi korban menjadi nasabah di KSU Karya Mandiri Sejahtera yang berkantor di Jalan Raya Masaran Gemolong Km 08 Sambirejo Kec. Plupuh Kab. Sragen, dan Terdakwa Kusrasmono, SE. selaku Manager KSU Karya Mandiri Sejahtera dengan di awali saksi korban membuka tabungan Sukarela sebesar Rp. 15.061.514,- (lima belas juta enam puluh satu ribu empat belas rupiah) dengan Nomor Rekening 211101.001672, kemudian saksi korban menabung Deposito yang jumlah awal dari Rp.

  20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) sampai akhirnya pada tanggal 27 Agustus 2011 saksi korban menabung berjangka (Deposito) sebesar Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) dengan Nomor Rekening 211301.000729 dan jatuh tempo setiap bulan pertanggal 27, selanjutnya pada tanggal 06 Oktober 2011 saksi korban menabung Deposito lagi sebesar Rp.

  60.000.000,-( enam puluh juta rupiah) dengan Nomor Rekening 211301.000742, ketika dalam perjalanannya pada tanggal 27 Jun 2012 saksi korban bermaksud untuk mengambil uang tabungan Deposito senilai Rp.

  100.000.000,- (seratus juta rupiah) untuk keperluan usaha, namun pihak koperasi melalui Terdakwa Kusrasmono, SE. selaku Manager menyatakan bahwa koperasi tidak ada uang, dengan jawaban itulah saksi korban bermaksud juga untuk mengambil uang Deposito yang berjumlah Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah)dan tabungan Sukarela Rp. 15.061.514,- ( lima belas juta enam puluh satu ribu lima ratus empat belas rupiah) dan jawaban dari pihak koperasi tetap sama yaitu tidak ada uang dan selalu menjanjikan saja. Setelah saksi korban datang berulangkali ke koperasi untuk mengambil uang-uang saksi korban tetapi selalu gagal dan sampai akhirnya membuat surat pernyataan tertanggal 18 Juli 2012 yang intinya Terdakwa Kusrasmono, SE. sanggup untuk menyelesaikan pembayaran uang Deposito milik saksi korban sebesar Rp. 160.000.000,- (seratus enam puluh juta rupiah) pada tanggal 14 Agustus 2012, setelah saksi korban tunggu sampai dengan tanggal 14 Agustus 2012 kenyataan Terdakwa Kusrasmono, SE. juga tidak bisa menyelesaikan tanggung jawabnya, saat saksi korban meminta uang tersebut Terdakwa Kusrasmono, SE. menjanjikan kepada saksi korban akan di jualkan rumah, namun kenyataannya setelah rumah Terdakwa terjual ternyata uangnya tidak di berikan kepada saksi korban dan saksi korban juga di janjikan akan di berikan uangnya setelah mendapatkan uang tagihan dari nasabahnya namun juga belum di kasih sampai sekarang, selanjutnya oleh saksi korban Terdakwa pada tanggal 16 Agustus 2012 di laporkan ke Polres Sragen untuk proses lebih lanjut. Akibat perbuatan Terdakwa tersebut saksi korban Patmono mengalam kerugian sebesar Rp. 175.061.514,-( seratus

tujuh puluh lima juta enam puluh satu ribu lima ratus empat belas rupiah); Perbuatan Terdakwa diatur dan diancam pidana sebagaimana pasal 374 KUHP; Terdakwa Kusrasmono, SE. terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

  “Penggelapan Dalam Jabatan” Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Kusrasmono, SE. dengan pidana penjara selama 1(satu) tahun dan 4 (empat) bulan.

  Dari uraian singkat Putusan Nomor 198/Pid.B/2015/PN. Bdg dan Putusan Nomor : 43/Pid.B/2013/PN.Srg. di atas dapat dicermati bahwa pengurus selaku organ dalam koperasi tidak melakukan tugas dan tanggungjawabnya sebagaimana mestinya, hal tersebut menunjukkan, pertama,

  Koperasi Cipaganti dan Koperasi serba usaha “ Karya Mandiri Sejahtera tidak menjalankan fungsinya sebagaimana ditentukan dalam UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, misalnya koperasi harus menyelenggarakan rapat anggota karena rapat anggota merupakan salah satu

  15 alat perlengkapan koperasi.

  Kedua, Koperasi serba usaha “ Karya Mandiri Sejahtera dan Koperasi Cipaganti tidak menjalankan semua prinsip koperasi seperti yang tertuang dalam Pasal 5 UU No. 25 Tahun 1992 tentang

16 Perkoperasian , pada hal prinsip ini merupakan ciri koperasi yang membedakan jenis badan usaha lainnya.

  15 Dalam konstruksi hukum koperasi dapat ditegaskan bahwa rapat anggota adalah pemegang kekuasaan yang tertinggi dalam koperasi. 16 Pasal 5 Ayat (1) Koperasi melaksanakan prinsip Koperasi sebagai berikut: (a)

  

keanggotaan bersifat suka rela dan terbuka; (b) pengelolaan dilaksanakan

  Selain itu Putusan Nomor 198/Pid.B/2015/PN. Bdg dan Putusan Nomor : 43/Pid.B/2013/PN.Srg menempatkan kaidah hukum bahwa praktek koperasi yang mengumpulkan uang dari masyarakat yang tidak mempunyai izin dari lembaga perbankan maka koperasi telah melakukan tindak pidana perbankan dan melakukan penipuan terhadap anggota koperasi merupakan perbuatan pidana. Hal tersebut terlihat ketika koperasi menjaring masyarakat untuk melakukan simpan pinjam, tetapi tidak mengakomodasi masyarakat tersebut untuk menjadi anggota koperasi. Otomatis masyarakat pengguna koperasi tersebut tidak memperoleh hak-hak dan melakukan kewajiban sebagaimana anggota dalam koperasi.

17 Oleh sebab itu untuk menjerat para pelaku tindak pidana dalam koperasi tidaklah mudah.

  Sebagaimana yang telah dirumuskan Dalam UU Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian, tidak menjelakan sanksi bagi pelaku tindak pidana dalam koperasi. Hanya saja menyebutkan dalam

  Pasal 34 bahwa (1) Pengurus, baik bersama-sama, maupun sendiri-sendiri, menanggung kerugian yang diderita koperasi, karena tindakan yang dilakukan dengan kesengajaan atau kelalaiannya. (2) Di samping penggantian kerugian tersebut, apabila tindakan dilakukan dengan kesengajaan, tidak menutup kemungkinan bagi penuntut umum untuk melakukan penuntutan.

  18

secarademokratis; (c) pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebading dengan

besarnyajasa usaha masing-masing anggota; (d) pemberian balas jasa yang terbatas

terhadap modal;(e) kemandirian. 17 Dessy Oktaviani Suendra, “Pertanggungjawaban Pidana Koperasi Dalam Tindak Pidana Perbankan Tanpa Izin

  ”, Magister Ilmu Hukum Udayana, Denpasar, 2015, abstract, h. 162. 18 Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Koperasi. Dari bunyi kaidah hukum tersebut maka regulasi koperasi hanya mengenal adanya sanksi administrasi dan sanksi pidana hanya tampak samar- samar. Sehingga dalam praktek ketika ada koperasi yang dalam pengelolahan terjadi kesengajaan penyimpangan yang menimbulkan kerugian dan diduga merupakan tindak pidana maka dalam Undang-undang koperasi tidak mencantumkan sanksi pidana, hanay saja diatur dalam pasal 34 ayat (2) UU Koperasi bahwa tidak menutup kemungkinan untuk penuntut umum melakukan penuntutan. Untuk itu diperlukan suatu formulasi kebijakan hukum pidana untuk menjangkau penyimpangan koperasi yang tidak dapat dijangkau oleh UU Perkoperasian. Artinya penerapan saksi administrative belaka menjadi kurang tepat apabila tindakan tersebut sudah dengan sengaja merugikan masyarakat luas dan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat pada koperasi.

  Pada pengaturan sanksi pidana yang samar-samar tersebut, menjadi pintu masuk bagi penegak hukum untuk menjerat pelaku (pengurus) yang sengaja melakukan penyelewennagan tata kelola koperasi dan sengaja menjadikan koperasi tidak sehat. Secara nyata nampak pada banyak yurisprudensi dimana kaidah hukum digunakan adalah dihubungkan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh para pengurus, misalnya sebagaimana dari dua putusan di atas yaitu: tindak pidana perbankan dan tindak pidana jabatan. Untuk menentukan kaidah hukum mana yang digunakan penyidik memiliki tugas dan tanggung jawab yang besar dalam menentukan, pengenaan UU apa ketika terjadi dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh koperasi, sebagai contoh penulis membandingkan, apabila dalam Undang-undang koperasi tidak dimuatkan unsur pidana, maka jika koperasi melakukan penipuan, penyidik dapat menjerat dengan menggunakan KUHP.

  Dari uraian di atas, maka Penulis tertarik mengambil judul tesis yaitu:

  

“Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pengurus Koperasi Yang Dengan

Sengaja Menimbulkan Kerugian Pada Koperasi .” B. RUMUSAN MASALAH

  Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah yang menjadi topik pembahasan adalam penulisan tesis ini adalah: “Bagaimanakah Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pengurus Koperasi

  Yang Dengan Sengaja Melakukan Penyalahgunaan Penggelolaan Dana Dari Masyarakat.” C.

TUJUAN PENELITIAN

  Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, tujuan penelitian ini adalah: Untuk mengetahui Bagaimanakah Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pengurus Koperasi Yang Dengan Sengaja Melakukan Penyalahgunaan Penggelolaan Dana Dari Masyarakat.

D. KERANGKA TEORI

  Kerangka Teori yang dipakai dalam tulisan ini adalah mengenai teori yang terkait:

1. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana

  Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan saran penal merupakan penal policy atau penal-law enforcement policy, menurut Barda Nawawi Arief fungsionalisasi/ operasionalisasinya dilakukan melalui beberapa tahap yaitu : a.

  Tahap Formulasi (Kebijakan Legislatif).

  b.

  Tahap Aplikasi (Kebijakan Yudikatif).

  c.

  Tahap eksekusi (Kebijakan eksekutif).

  19

  “Kebijakan formulasi adalah kebijakan dalam merumuskan sesuatu dalam suatu bentuk perundang-undangan. Kebijakan formulasi menurut Barda Nawawi Arief adalah “suatu perencanaan atau program dari pembuat undang-undang mengenai apa yang akan dilakukan dalam menghadapi problema tertentu dan cara bagaimana melakukan atau melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan atau diprogramkan itu”.

  20

19 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, h. 75.

  20 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara(Disertasi), UNDIP, Semarang, 1994, hal.63

  Mengenai kebijakan formulasi dalam penanggulangan kejahatan ; menurut Barda Nawawi Arief bahwa, dilihat dari sudut pendekatan kebijakan, maka kebijakan formulasi memiliki makna : a.

  Sebagai bagian dari kebijakan sosial (bagian dari upaya untuk mengatasi masalah sosial, dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional); b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal (bagian dari upaya perlindungan masyarakat, khususnya upaya penanggulangan kejahatan); c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum (bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.

  21 2.

   Prinsip Fiduciary Duty

  Dalam korporasi atau perusahaan, para anggota direksi dan komisaris sebagai salah satu organ vital dalam badan hukum tersebut merupakan pemegang amanah (fiduciary) yang harus berperilaku sebagaimana layaknya pemegang kepercayaan. Di sini komisaris dan direktur memiliki posisi fiducia dalam pengurusan perusahaan dan mekanisme hubungannya harus secara fair. Menurut pengalaman common law 21 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum

  Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 26

  22

  hubungan itu dapat didasarkan pada teori fiduciary duty . Hubungan

  fiduciary duty tersebut didasarkan atas kepercayaan dan kerahasiaan

  (trust and confidence) yang dalam peran ini meliputi, ketelitian

  23 (scrupulous), itikad baik (good faith), dan keterusterangan (candor).

  Dalam memahami hubungan pemegang kepercayaan (fiduciary

  relationship ) tersebut, common law mengakui bahwa orang yang

  memegang kepercayaan (fiduciary) secara natural memiliki potensi untuk menyalahgunakan wewenangnya. Oleh sebab itu hubungan pemegang kepercayaan tersebut harus didasarkan kepada standar yang

  24 tinggi.

  Negara-negara common law seperti Amerika Serikat yang telah mempunyai standar yang jelas untuk menentukan apakah seorang direktur dapat dimintai pertanggungjawabannya dalam tindakan yang diambilnya, yaitu didasarkan pada standar duty of loyality dan duty of care.Kewajiban 22 Khanna, V.S, Corporate Criminal Liability: What Purpose Does It Serve?, 109 Harv. L.Rev. 1477, The Harvard Law Review Association, 1996, h. 195-196. 23 Teori fiduciary duty adalah suatu kewajiban yang ditetapkan undang-undang bagi

seseorang yang memanfaatkan seseorang lain, dimana kepentingan pribadi seseorang yang

  

diurus oleh pribadi lainnya, yang sifatnya hanya hubungan atasan-bawahan sesaat. Orang

yang mempunyai kewajiban ini harus melaksanakannya berdasarkan suatu standar dari

kewajiban (standard of duty) yang paling tinggi sesuai dengan yang dinyatakan oleh hukum.

Sedangkan fiduciary ini adalah seseorang yang memegang peran sebagai suatu wakil

(trustee) atau suatu peran yang disamakan dengan sesuatu yang berperan sebagai wakil,

dalam hal ini peran tersebut didasarkan kepercayaan dan kerahasiaan (trust and confidence)

yang dalam peran ini meliputi, ketelitian (scrupulous), itikad baik (good faith), dan

keterusterangan (candor). Fiduciary ini termasuk hubungan seperti, pengurus atau pengelola,

pengawas, wakil atau wali, dan pelindung (guardian). Termasuk juga di dalamnya

seorang lawyer yang mempunyai hubungan fiduciary dengan client-nya. Henry Campbell

Black , Black’s Law Dictionary, h. 625. 24 Charity Scott, “Caveat Vendor: Broker-Dealer Liability Under the Securities Exchange Act,” Securities Regulation Law Journal, (Vol. 17, 1989), h. 291.

  utama dari direktur adalah kepada perusahaan secara keseluruhan bukan

  25 kepada pemegang saham baik secara individu maupun kelompok.

  Sesuai dengan posisi seorang direktur sebagai sebuah trustee dalam perusahaan. Posisi ini mengharuskan seorang direktur untuk tidak

  26

  bertindak ceroboh dalam melakukan tugasnya (duty of care). Selain itu dalam melakukan tugasnya tersebut seorang direktur tidak boleh mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri atas perusahaan (duty of

  27 loyality ). Pelanggaran terhadap kedua prinsip tersebut dalam

  hubungannya dengan Fiduciary Duty dapat menyebabkan direktur untuk dimintai pertanggung jawaban hukumnya secara pribadi terhadap perbuatan yang dilakukannya, baik kepada para pemegang saham maupun

  28 kepada pihak lainnya.

  Doktrin atau prinsip fiduciary duty ini dapat kita jumpai dalam Undang-undang No.1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Menurut Pasal l79 ayat (1) UUPT pengurusan PT dipercayakan kepada Direksi lebih jelasnya Pasal 82 UU PT menyatakan, bahwa Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan 25 Lihat, Janet Dine, Company Law

  • – Sweet &Maxwell’s Textbook Series, Sweet & Maxwell, 2001, h. 217.
  • 26 Denis Keenan & Josephine Biscare, Smith & Keenan’s Company Law For Students, Financial Times , Pitman Publishing, 1996, h. 317. 27 Joel Seligman, Corporations Cases and Materials, Little Brown and Company Boston New York Toronto London, 1995. 28 Philip Lipton dan Abraham Herzberg, Understanding Company Law, Brisbane, The Book Law Company Ltd, 1992, h. 342. perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Sedangkan Pasal 85 UU PT menetapkan bahwa setiap anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha Perseroan. Pelanggaran terhadap hal ini dapat menyebabkan Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya tersebut.

      Dalam konteks direktur, sangat penting untuk mengontrol perilaku dari para direktur yang mempunyai posisi dan kekuasaan besar dalam mengelola perusahaan, termasuk menentukan standar perilaku (standart of conduct) untuk melindungi pihak-pihak yang akan dirugikan apabila seorang direktur berperilaku tidak sesuai dengan kewenangannya atau berperilaku tidak jujur.

      29 Untuk membebankan pertanggungjawaban terhadap direktur atau

      pengurus korporasi, maka harus dibuktikan adanya pelanggaran terhadap kekuasaan kewajiban kewenangan yang dimilikinya. Pengurus korporasi dalam hal ini harus dapat dibuktikan telah melanggar good faith yang dipercayakan padanya dalam menjalan korporasi atau perusahaan, sebagaimana diatur dalam prinsip fiduciary duty.

    29 Janet Dine, Company Law, Macmillan Press Ltd., 1998, hal 179.

    3. Doktrin Vicarious Liablitity & Strict Liability

      “Teori pertanggungjawaban Pengganti atau vicarious liability ini pada dasarna adalah untuk menjawab pertanyaan, apakah terhadap seseorang itu dapat dipertanggujawabkan secara pidana atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain. Dengan perkataan lain, apakah perbuatan dan kesalahan seseorang itu bisa dimintakan pertanggungjawbannya kepada orang lain. Pertanyaan ini muncul karena pada dasarnya

      30

      pertanggungjawaban pidana itu merupakan hal pribadi. ” Sedangkan Strict liability adalah si pembuat sudah dapat dipidana jika telah melakukan perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam undang-

      31

      undang tanpa melihat bagaimana sikap batinnya. Persamaan dan perbedaan antara strict liability dan vicarious liability adalah sebagai berikut: persamaannya adalah baik strict liability maupun vicarious

      liability

      tindak mensyaratkan adanya “mens rea” atau unsur kesalahan pada orang yang dituntut pidana. Perbedaannya terletak pada strict

      liability crimes pertanggungjawaban bersifat langsung dikenakan pada

      pelakunya, sedangkan vicarious liability pertanggungjawaban pidana bersifat tidak langsung. 30 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan

      

    Penyusunan Konsep KUHP Baru, Edisi 2 (Jakarta: Kencana, 2011), h. 105. Dalam Hasbullah

    F. Sjawie, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada TIdak Pidana Korupsi, Prenada Media Group, Jakarta, 2015, h. 28.

    31 Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Cet Ke2, Jakarta, Grafindo Persada, 1994, h. 28.

    E. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian

      Metode penelitian yang digunakan oleh penulis untuk menjawab pertanyaan yang telah dirumuskan dalam tesis ini yaitu penelitian yuridis normatif. Yuridis normative adalah suatu proses untuk menemukan

      32 aturan hukum, maupun doktrin-doktrin hukum yang akan diteliti.

    2. Jenis Penelitian

      Pendekatan penelitian yang digunakan oleh penulis dalam tesis ini, yaitu:

      a. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)

      Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum untuk menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum relevan dengan isu yang dihadapi.

      b. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach)

      Oleh karena tipe penelitian yang bersifat normative, maka pendekatan Perundang-undangan seperti ini merupakan pendekatan yang penting dalam meneliti aturan hukum yang menjadi fokus

      33 32 sekaligus tema sentral dari suatu penelitian. Pendekatan ini Jhony Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing: Jawa Timur, 2009, h. 45. 33 h. 302.

       Ibid. dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang tersangkut paut dengan kasus yang ditangani

      34 .

    c. Pendekatan Kasus

      Pendekatan kasus yang digunakan dalam penilitian ini adalah pendekatan kasus terhadap Koperasi Cipaganti Karya Guna Persada dan Koperasi Serba Usaha “Karya Mandiri Sejahtera yang menjadi objek penelitian dalam penulisan ini.

    3. Bahan Hukum

      Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan kajian yang dilakukan. Berikut adalah bahan hukum tersebut.

      a.

      Bahan Hukum Primer yakni Peraturan-perundangan yang meliputi: 1.

      KUHP, 2. Undang-undang No.8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

      3. Undang-undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan.

      4. Undang-undang No 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian.

      b.

      Bahan hukum Sekunder, yakni yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum perimer yaitu Putusan Nomor

    34 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, 2005, Jakarta: Kencana, hal 93.

      198/Pid.B/2015/PN. Bdg dan Putusan Nomor : 43/Pid.B/2013/PN.Srg.

      c.

      Bahan hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.

    F. Unit amatan dan unit analisis 1. Unit amatan

      Yang menjadi unit amatan dalam penelitian ini adalahPeraturan Perundang-undangan

      a) KUHP,

      b) Undang-undang No.8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan

      Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,

      c) Undang-undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan,

      d) Undang-undang No 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian

      e) Putusan Nomor 198/Pid.B/2015/PN. Bdg

      f) Putusan Nomor : 43/Pid.B/2013/PN.Srg 2.

       Unit analisis

      Yang menjadi unit analisi dalam penelitian ini

      a)

    Pasal 378 KUHP

      b)

      Pasal 64 KUHP

      c)

      Pasal 372 KUHP

      d)

      Pasal 34 UU Perkoperasian

      e)

      Pasal 16 UU Perbankan

      f)

      Pasal 46 UU Perbankan

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Modal Sosial dalam Eksistensi Salatiga Reborn Crew

0 0 17

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konsistensi Pengaturan Hak Guna Usaha dalam Hukum Tanah Indonesia

0 0 23

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konsistensi Pengaturan Hak Guna Usaha dalam Hukum Tanah Indonesia

0 0 72

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Hasil Penelitian 1. Hak Guna Usaha Dalam Undang-Undang Pokok Agraria - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konsistensi Pengaturan Hak Guna Usaha dalam Hukum Tanah Indonesia

0 0 68

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Memahami Arena Budaya dan Modal Budaya di Dalam Sumber Mata Air (‘‘SMA”) Senjoyo di Desa Tegalwaton, Kabupaten Semarang: Dari Perspektif Pierre Bourdieu

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Memahami Arena Budaya dan Modal Budaya di Dalam Sumber Mata Air (‘‘SMA”) Senjoyo di Desa Tegalwaton, Kabupaten Semarang: Dari Perspektif Pierre Bourdieu

0 0 8

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Paradigma Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Memahami Arena Budaya dan Modal Budaya di Dalam Sumber Mata Air (‘‘SMA”) Senjoyo di Desa Tegalwaton, Kabupaten Semarang: Dari Perspektif Pie

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Memahami Arena Budaya dan Modal Budaya di Dalam Sumber Mata Air (‘‘SMA”) Senjoyo di Desa Tegalwaton, Kabupaten Semarang: Dari Perspektif Pierre Bourdieu

0 1 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Memahami Arena Budaya dan Modal Budaya di Dalam Sumber Mata Air (‘‘SMA”) Senjoyo di Desa Tegalwaton, Kabupaten Semarang: Dari Perspektif Pierre Bourdieu

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Memahami Arena Budaya dan Modal Budaya di Dalam Sumber Mata Air (‘‘SMA”) Senjoyo di Desa Tegalwaton, Kabupaten Semarang: Dari Perspektif Pierre Bourdieu

0 0 5