KOLONIALISASI BUDAYA KOREA MELALUI K DRA

1

KOLONIALISASI BUDAYA KOREA MELALUI K-DRAMA POPULER
DI INDONESIA
Oleh:
Risa Herlina (herlinarisa@gmail.com)
Triana Ahdiati (triana.ahdiati@gmail.com)
Luthfi Makhasin (luthfi.makhasin@gmail.com)
Jurusan Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman

ABSTRAK
Artikel hasil penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan
memahami kolonialisasi budaya Korea melalui K-drama popular di Indonesia.
Kolonialisasi saat ini tidak lagi dilakukan dengan pendudukan langsung,
melainkan dengan instrumen media dan budaya. Penjajahan gaya baru ini bersifat
soft dan langsung menyerang individu dalam suatu wilayah. Dengan
menggunakan metode kualitatif dan pendekatan pascakolonial yang akan melihat
teks sebagai praktik diskursus atau praktik wacana untuk menguatkan kekuasaan.
Perspektif yang digunakan adalah pascastrukturalis dan paradigm kontruktivisme,
hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa kolonialisasi budaya Korea
melalui K-drama terjadi ketika produk-produk media Korea mulai masuk dan

mendominasi di layar televisi Indonesia. K-drama yang menginternalisasi budaya
Korea dan mendominasi televisi Indonesia sedikit banyak memberi pengaruh
pada khalayak pencinta K-drama. Kolonialisasi budaya Korea terlihat dengan
banyaknya produk media Korea di Indonesia, baik di televisi, media cetak dan
internet, yang kemudian berdampak pada produk media Indonesia dalam
memberitakan Korea. Namun, pengaruh Korea tidak sepenuhnya diterima, ada
juga perlawanan mikro dari masyarakat yang sadar akan tujuan Korea
menyebarkan budaya popnya. Bahkan pengaruh Korea juga memberi kontribusi
terhadap tumbuh kembang budaya popular Indonesia.
Kata Kunci: budaya populer, K-drama, kolonialisasi
ABSTRACT
This search-based paper aims to describe and understand the
colonialization of Korean culture through popular K-drama in Indonesia. The
current colonization is no longer done directly, but by media and cultural
instruments. This new colonization style comes with a soft form and attacks the
individual in a region directly . This research uses qualitative methods and
postcolonial approach which shows the text as practice discourse or discourse to
strengthen power. This research uses poststructuralist as a perspective and
constructivism as a paradigm which reveals that Korean culture colonization
through K-drama when Korean media products start to enter and dominate

television screen in Indonesia. K-dramas internalize Korean culture and
dominate television in Indonesia have much to do with K-drama lovers. Korean
culture colonization is demonstrated by the abundance of Korean media products
in Indonesia, in television, print and internet, then impacts to Indonesian media

2

products in Korean news. However, Korean influence is not fully accepted, there
is also micro-resistance from people who aware of Korea's purpose to spreading
their pop culture. Korean influences even contribute to the growth of popular
Indonesian culture
Keywords: colonization, K-drama, pop culture

PENDAHULUAN
Tren tayangan televisi di Indonesia mengalami beberapa kali pergantian

sejak tahun 1990-an. Tayangan telenovela, film India, drama Jepang, drama
Korea, sinetron India, Turki dan Filipina bergantian mengisi layar kaca
masyarakat Indonesia. Dari beberapa jenis tersebut, tayangan yang cukup menarik
perhatian adalah Korea drama (K-drama). K-drama merepresentasikan budaya

Korea Selatan di dalam tayangan-tayangannya. Hal ini menjadi menarik karena
internalisasi budaya pada produk hiburan akan dinikmati secara tidak sadar.
Dengan demikian, produk hiburan menjadi strategi penyebaran kebudayaan yang
dilakukan Korea Selatan (selanjutnya akan di tulis Korea) melalui K-drama.
Drama Korea mulai masuk di Indonesia menggantikan serial Jepang.
Ketika Trans TV menayangkan K-drama yang berjudul Mother Sea di tahun
2002. 1 Setelah itu stasiun TV lainnya seperti RCTI, B-channel (Rajawali TV),
Trans 7 ikut menayangkan K-drama. Bahkan di tahun 2015 RCTI menyiapkan 20
K-drama yang akan ditayangkan.2
K-drama mengikutsertakan nilai, pola hidup, kehidupan sosial, sistem
dan tradisi orang-orang Korea yang kemudian dinikmati dan diikuti oleh
masyarakat global. Proses inilah yang disebut Koreanization.3 Koreanisasi dalam
budaya popular terutama budaya layar (sinema, televisi, internet dan media sosial)
telah sukses membawa istilah Hallyu atau Korean wave di kancah internasional.
Korean wave merupakan sebuah penamaan dari kebudayaan Korea yang
1. Gracia Aninditya Sari dan Rah Utami Nugrahani, “Pengaruh Terpaan Tayangan Televisi
Drama Korea Terhadap Gaya Hidup Masyarakat Bandung,” (Tugas Akhir , Fakultas Komunikasi
dan Bisnis, Telkom University, 2013), 3.
2. Alv, “20 Judul Drama Korea yang Tayang di RCTI,” sindonews.com, diakses pada
tanggal 08 Juni 2016, http://lifestyle.sindonews.com/read/1001132/158/20-judul-drama-koreayang-tayang-di-rcti-1431590153.

3. Milton Cummings, Cultural Diplomacy and the United States Government: A Survey
(Washington D.C: Center for Arts and Culture, 2003).

3

berkembang pada beberapa dekade terakhir ini. Salah satu bukti terkenalnya
negara yang dijuluki negeri ginseng ini, terlihat dari menjamurnya Korean Pop:
K-drama, musik pop Korea (K-pop), film, game, produk elektronik dan makanan
cepat saji Korea di beberapa wilayah Asia bahkan Eropa dan Amerika. Korea
telah melakukan invasi budaya, yang membawa dampak positif bagi industri
fashion, teknologi, maupun otomotif Korea Selatan. Tingginya permintaan atas

barang-barang elektronik Korea di beberapa negara dan banyak wisatawan yang
datang ke Korea menjadi pembuktian atas skenario besar yang dirancang untuk
menguasai peradaban.
Populer produk hiburan Korea tidak terlepas dari peran media yang
nantinya menjadi budaya massa dan dapat dijadikan strategi, alat pencitraan atau
promosi untuk mempengaruhi budaya yang akan berimbas kepada konsumsi.
Musik pop, film, acara televisi, majalah, tabloid, dan koran yang banyak dinikmati
masyarakat mungkin menjadi budaya populer dan dijadikan alat mencapai tujuan.

Pemikir Mazhab Frankfurt melihat budaya populer sebagai alat untuk
pengelabuhan massa (mass deception) dan membawa mereka sebagai konsumen
sejati produk-produk industrial melalui tayangan yang telah diatur dan
komodifikasi homogeni.4 Produksi media menjadi strategi nasional Korea, dengan
terus memanfaatkan Korean wave ke logika ekonomi developmentalisme,
pembentukan nasionalisme bangsa dan bahkan menjadi ancaman budaya lain. 5
Korea mencoba membentuk selera dan preferensi massa melalui penyebaran Kdrama, maka istilah “meng-Koreakan” dunia melalui K-drama diterima dan
dinikmati khalayak banyak.6
K-drama banyak ditayangkan di televisi Indonesia, setelah booming-nya
beberapa judul K-drama seperti Full House. Ketika televisi lokal banyak

4. TW. Adorno & M. Hokheirmer, Dialectic of Enlightenment (New York: Continium,
1993).
5. Younghan Cho, “Desperately Seeking East Asia Amidst the Popularity of South Korean
Pop Culture In Asia,” Jurnal Cultural Studies Vol. 25, No. 3 (2011): 386.
6. Meng-Koreakan terjemahan dari istilah koreanization yang merupakan sebuah proses
penyebaran nilai, pola hidup, kehidupan sosial, sistem dan tradisi serta kepercayaan yang dianut
orang-orang Korea yang kemudian dinikmati dan diikuti oleh masyarakat global. Milton
Cummings, Cultural Diplomacy and the United States Government: A Survey (Washington D.C:
Center for Arts and Culture, 2003).


4

menyajikan produk hiburan Korea seperti K-drama, K-pop, dan film Korea
memungkinkan suksesnya hallyu di Indonesia. K-drama menjadi produk
manipulatif dari industri budaya yang menurut Max dan Horkheimer
menghasilkan kesadaran palsu karena memanipulasi ideologi.7 K-drama menjadi
alat persuasi penonton untuk menerima budaya Korea.
K-drama yang dianggap hiburan, sebenarnya membawa wacana yang
memiliki tujuan-tujuan tertentu salah satunya promosi wisata dan brand Korea.
Fenomena maraknya brand-brand Korea dan populernya hal-hal yang berbau
Korea mencerminkan kolonialisasi budaya melalui K-drama, di mana taste kultur
dan preferensi masyarakat Indonesia berubah. Koreanisasi pada K-drama menjadi
alat merepresentasikan dunia sosial Korea dan menjadikannya sebagai kiblat bagi
para penikmat K-drama. Melalui budaya popular, Korea mampu memperkenalkan
sejarah dan budayanya bahkan menjadi sebuah fenomena yang digandrungi
sekaligus menyedot perhatian dunia. Hal ini menjadikan Korea tidak dapat di
pandang sebelah mata, pengukuhan identitas dan penguatan ekonomi Korea
karena berhasilnya K-pop, K-drama, dan film dalam membangun citra dan
merubah pandangan tentang Korea.


METODE ANALISIS
Artikel yang ditulis berdasarkan hasil penelitian ini berfokus pada
kolonialisasi budaya Korea melalui K-drama di Indonesia dan bentuk-bentuk yang
mencerminkan kolonialisasi tersebut. Selain itu penelitian ini juga melihat
bagaiamana masyarakat Indonesia menyikapi gempuran budaya melalui K-drama.
Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian tersebut diawali dengan
pemilihan paradigma dan perspektif yang tepat, yaitu paradigma konstruktivisme
dan perspektif pascastrukturalis Dalam hal ini, paradigma kontruktivisme
dimaksudkan untuk membongkar diskursus-diskursus yang tersembunyi di balik
teks dari pemahaman realitas yang ada. Artinya, Konstruktivisme memandang
bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif
7. Ruth Mei Ulina Malau, “Resistensi Sang Liyan: Performa Perempuan dalam K-pop MV
di Youtube,” (Tesis, Universitas Diponorogo, 2013), 4.

5

belaka dan yang dipisahkan dari subjek penyampai pernyataan.

Sementara


perspektif pascastrukturalis adalah sebuah perspektif yang melihat pemaknaan
sebagai sebuah proses yang tidak akan pernah berhenti atau akan terus berlanjut,
sehingga teks tidak hanya menampilkan sebuah realitas saja tapi juga akan
menampilkan realitas baru. Berdasarkan paradigma dan perspektifnya, metode
penelitian yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah metode penelitian
kualitatif dengan pendekatan pascakolonial Pendekatan pascakolonial membawa
pandangan subversif terhadap penjajah dan penjajahan. 8 Poskolonial berusaha
menjelaskan bagaimana suatu teks mendestabilisasi dasar pikiran kekuatan
kolonial, dan digunakan untuk menganalisis gejala kultural dan berbagai
dokumen.
Sasaran

penelitian

ini

adalah

teks-teks


yang menggambarkan

kolonialisasi budaya melalui K-drama, terutama yang dimuat dalam media terkait
dengan budaya dan kehidupan keseharian Korea atau produk budaya Indonesia
yang terpangaruh Korean wave. Penelitian dilakukan dengan studi pustaka,
dengan sumber data primer yaitu teks media dan data sekunder dari buku, jurnal
serta artikel yang terkait kolonialisasi budaya Korea. Analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis Norman Fairclough.
Penelusuran “realitas” teks dilihat dari konteks produksi teks, konsumsi teks dan
aspek sosial budaya. Ada tiga level analisis: mikro (dimensi tekstual), meso
(demensi kewacanaan) dan makro (dimensi sosial-budaya). Serta validitas data
digunakan teknik internal dan ekternal. Internal, yaitu penafsiran dicek dengan
teori-teori yang sudah ada, dan eksternal adalah membandingkan dengan
penelitian-penelitian empirik yang sudah dilakukan.

8. Sohaimi Abdul Aziz, Teori & Kritikan Sastera. Modenisme. Pascamodenisme.
Pascakolonialisme. (Literary Theory & Criticism. Modernism. Postmodernism. Postcolonialism)
(Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2003), 200.


6

HASIL DAN PEMBAHASAN
Sesuai dengan matriks fokus kajiannya, maka hasil dan pembahasan
penelitian tentang kolonialisasi budaya Korea melalui K-drama, terbagi dalam tiga
subpokok bahasan yang sistematis, yaitu: 1) Pascakolonialisme dan politik
kebudayaan Korea; 2) Media dan kolonialisasi budaya Korea; 3) Kolonialisasi
budaya Korea di Indonesia.

1. Pascakolonialisme dan Politik Kebudayaan Korea
Pascakolonial masih fokus pada analisis kolonialisme, akan tetapi
lebih menggambarkan pada konsekuensi historis kolonialisme pada bangsa
terjajah. 9 Perbedaan fokus kajian pascakolonial dan kolonialisme terletak
pada konsep kekuasaan yang terpengaruhi tradisi pascastuktural. Teori
pascakolonial melihat situasi di mana kolonialisme lebih pada ranah politik
dan budaya, bukan ekonomi semata. Teori ini menjelaskan gejala yang
berkaitan dengan penggeseran kebudayaan pribumi, penindasan ras dan etnis
serta ambivalensi identitas masyarakat yang terjajah. Di era kontemporer ini,
dominasi tidak lagi harus menempati wilayah, kolonialisasi dapat dilakukan
melalui gempuran kultur dan media. Budaya menjadi jalan untuk melakukan

pendudukan, Livingston A. White menyebutnya imperialisme budaya.
Istilah kolonialisasi budaya, imperialism budaya muncul setelah melihat
dominasi program-program hiburan Barat di negara-negara Amerika Latin, Afrika
dan Asia. Ini merupakan praktik penguasaan secara soft, sehingga negara dunia
ketiga nanti bergantung secara ekonomi ataupun kultural. Kolonialisasi gaya baru
tersebut, saat ini semakin nampak signifikan akibat liberalisasi semua bidang
kehidupan, termasuk politik. Hal ini membuat kolonialisasi budaya tidak hanya
datang dari Barat, melainkan juga dari non-Barat, termasuk Asia. Salah satunya
Korea melalui budaya popnya.
Kolonialisasi budaya menciptakan hubungan anatara sang kolonial dan
masyarakat yang dikolonial (The colonialized), relasi anatara keduanya biasanya

9. Leela Gandhi, Teori Poskolonialal: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat (Yogyakarta:
Qalam, 2006), 10.

7

tidak imbang, karena budaya the colonialized ditekan oleh kolonial. Posisi
kolonial berada pada strata atas, dan the colonialized di bawah, sehingga mau
tidak mau The colonialized mengikuti budaya kolonial. Banyak digunakan dan
disebarkan budaya kolonial, membuat the colonialized tidak lagi menggunakan
budaya mereka. Apa yang dilihat, didengar, dikonsumsi adalah budaya kolonial,
maka tidak heran budaya kolonial yang akan digunakan dan diterapkan. Ketika
budaya yang digunakan masyarakat pribumi adalah budaya sang kolonial, maka
karakteristik masyarakat juga akan berubah. Dengan demikian, tidak heran saat ini
serangan dilakukan melalui praktik kebudayaan, karena dengan serangan budaya
akan banyak mempengaruhi berbagai relung-relung kehidupan masyarakat.
Sebagaimana yang dilakukan Korea saat ini melalui politik kebudayaan, dengan
menyebarkan budaya populerya Korea berusaha mendapatkan keuntungan dan
menguasai pasar.
Persebaran produk budaya populer Korea dibantu pemerintah, mulai
dari kebijakan yang membantu

produksi budaya, promosi dan perlindungan.

Politik kebudayaan yang dilakukan Korea ini sebagaimana yang diungkapan
Bennet, yaitu memusatkan pada pembuatan dan kebijakan dalam institusi yang
menghasilkan dan menata bentuk serta isi produk kultural. 10 Budaya populer
Korea yang disebarkan berupa serial drama televisi, musik pop, game dan film ke
seluruh dunia dikenal sebagai istilah Korean wave. Kesuksesan Korean wave
terbantu kebijakan kultural dan pemberian modal dari pemerintah. Bantuan ini
untuk eksistensi budaya Korea dan persebarannya sebagai tombak industri Korea.
Struktur yang dibentuk akan sukses dengan dibantu instrumen politis melalui
dukungan arah dan misi pencapaian. 11 Seperti dengan dibantuknya instansi
Cultural Industry Bureau yang berada dibawah naungan Korean Ministry of
Culture and Sport (KMCS)1995.12 Kemudian ditindaklanjuti dengan memasukan

10. Astuti, “Imperialisme Budaya Industri Dunia Hiburan Korea di Jakarta (Studi terhadap
remaja-remaja Jakarta yang menggemari Musik Pop Korea),” (Tesis, FISIP, Universitas Indonesia,
2012).
11. Clifford Geertz, Politik Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 161.
12. Noor Rahmah Yulia, “Diplomasi Kebudayaan Republic of Korea melalui film dan drama:
pencapaian kepentingan citra dan dan ekonomi Republic of Koreadi Indonesia,” ( Skripsi, FISIP,
UIN Syarif Hidayatullah, 2013): 32-39.

8

aspek diplomasi kedalam beberapa dokumen penting untuk promosi kebudayaan,
yaitu White Paper 2006, Principal Goals and Direction of Korean Cultural
Diplomacy, White Paper 2008, Visi Global Korea.

Kebudayaan menjadi elemen bagi kepentingan Korea, sehingga
pemerintah membentuk dua departemen yang secara khusus bertanggungjawab
atas penyebaran budaya ke luar negeri yaitu Ministry Culture Sport and Tourism
(MCST) dan Ministry Foreign Affairs and Trade. MCST merupakan kementerian
yang bertanggung jawab terhadap budaya Korea, terutama budaya pop. Budaya
pop juga terbantu oleh idol, sebagai icon budaya popular Korea dan para
pengusaha dalam peningkatan kualitas idustri hiburan Korea serta pendanaan.
Hiburan Korea yang disebarkan, terutama yang menggunakan visual
seperti K-drama dan film tidak terlepas dari kebudayaan asli Korea. Masyarakat
dan kebudayaan Korea ter-capture jelas dalam budaya pop mereka. Hal ini yang
membuat penyebaran budaya dan cintra positif Korea muncul pada khalayak
penikmat budaya pop Korea.

2. Media dan Kolonialisasi Budaya Korea
Korea membangun citra di mata dunia melalui Hallyu. Menyebarnya
budaya Korea melalui dunia hiburan menciptakan demam Korea di mana-mana.
Demam Korea muncul sejak banyak digemarinya film-film, drama dan musik
Korea, yang disebarkan media massa terutama televisi dan internet. Sejarah
gelombang Hallyu dimulai pada tahun 1990-an, di mana drama dan film menjadi
icon yang berkontribusi besar pada kelahiran Hallyu.13 Hallyu memiliki beberapa

konten kebudayaan yang menjadi komoditas ekspor utama, yaitu film, drama
televisi (K-drama), musik (K-pop) dan Fashion.
Perkembangan Hallyu di pertengahan tahun 2000-an mendapat respon
positif dari hampir seluruh negara di Asia, khususnya negara-negara di kawasan
Asia Tenggara. Kesuksesan Hallyu berpengaruh terhadap peningkatan minat
masyarakat internasional terhadap produk-produk Korea Selatan. Ekspansi
13 . Damar Raditya, Budaya Hallyu Korea: Hallyu Citra Korea di Mancanegara
(Yogyakarta: INAKOS dan Pusat Studi Korea Universitas Gadjah Mada, 2013), 11.

9

kebudayaan Korea pun meluas hingga ke kawasan Eropa dan Amerika di awal
tahun 2010. Respon positif masyarakat internasional membuat Hallyu muncul
sebagai fenomena transnasional yang mempengaruhi lebih dari setengah negaranegara di dunia. Media massa di sini menjadi wadah penyebaran kebudayaan
Korea ke lingkungan internasional sekaligus menjadi jembatan infomasi bagi para
pencinta budaya Korea.
Media saat ini memegang peranan penting dalam kegiatan penyebaran
kebudayaan Korea. Modernisasi dan liberalisasi media Korea akan mempengaruhi
gelombang kebudayaan Korea di tingkat lokal maupun internasional. Jaringan
televisi kabel seperti Channel M, Channel One, Arirang TV, KBS World dan
sebagainya merupakan jaringan televisi yang telah masuk banyak negara. Televisi
dijadikan alat untuk mengekspor Hallyu melalui acara yang ditayangkan, seperti:
K-drama, film, K-pop, reality show hingga K-Style. Jaringan televisi kabel
tersebut tidak semua menggunakan bahasa asing, KBS World tetap menggunakan
Bahasa Korea akan tetapi dilengkapi dengan terjemahan dalam bahasa Inggris.
Sedangkan Arirang TV yang menggunakan audio Bahasa Inggris untuk para
penontonnya di negara lain.
Berkembangnya media digital dan polulernya media sosial di
masyarakat membuat penyebaran Hallyu juga dilakukan melalui media sosial,
seperti Youtube, Melon, Facebook, Twitter dan lain-lain. Sosial media
dimanfaatkan untuk menyebarkan konten-konten kebudayaan. Penggunaan
intensif sosial media berdampak pada peningkatan jumlah ekspor kebudayaan.
Hal ini terbukti, KBS menjadi jaringan televisi utama di dunia yang mengekspor
konten-konten kebudayaan ke 38 negara di dunia. Upaya lainnya adalah
penyediaan situs live streaming untuk para penggemar Hallyu. Seperti acara
penghargaan musik “Mnet Asian Music Award 2013” yang disiarkan langsung di
Hongkong dapat disaksikan via live streaming di situs: Mnet.com, Japan-Gyao,
Youtube, Tving, China-Sofu.com, Youku dan Tudou (situs Cina), dan banyak
lagi.
Dominasi produk budaya atau media Korea di negara lain, merupakan
ekpresi dari kolonialisasi budaya Korea. Pengekporan industri media Korea

10

dilakukan untuk mendominasi konsumsi negara yang lebih kecil dengan
menyebarkan budaya pada audiens. Budaya tunggal coba diberlakukan dan
dipaksakan melalui propaganda politik dan media, pemaksaan ekonomi.14 Budaya
pop Korea banyak dikonsumsi, dan sedikit banyak menggeser budaya masyarakat
pengonsumsi. Hal ini dapat terjadi karena Korea secara konsisten menampilkan
kebudayaannya dalam K-drama ataupun film yang mereka sebarkan. Apalagi
globalisasi dan modernisasi mendukung proses pemudaran nilai-nilai budaya
tradisional. Korea menjadi sebuah negara dengan industri budaya yang kuat,
mampu mengekspor produk-produk budaya populernya ke luar negeri dan bahkan
menyebarkan pengaruh kultural.

15

Ketika media negara Korea dianggap

mengesankan, sehingga ditiru budayanya. Proses peniruan tersebut adalah
penghancuran budaya asli negara ke tiga.
Kolonialisasi budaya termasuk pada kolonialisasi modern, di mana dalam
kolonialisasi pasti akan ada penindasan. Penindasan dalam koloniasi budaya
Korea, dilakukan melalui tiga hal, yaitu: pendidikan, budaya pop dan wacana
media.

2.1

Pendidikan sebagai Jalan Penyebaran Budaya
Penekanan pada pendidikan sering disebut sebagai dasar pertumbuhan

sebuah bangsa ataupun negara. Pendidikan diperlukan untuk pemecahan masalah
dan pencapaian kemajuan dalam masyarakat. Dengan demikian, pendidikan
merupakan elemen penting dalam masyarakat yang akan menuntun bagaimana
kondisi dan perkembangan masyarakat. Tak ayal dalam melakukan penguasaan
dilakukan melalui pendidikan, karena pendidikan merupakan akar dari
masyarakat. Seperti melalui tulisan ilmiah, tulisan Allabout Korea di situs-situs
resmi negara sangat mudah ditemukan, mereka banyak mengdeskripsikan dan
mengeksplor diri melalui tulisan baik cetak ataupun online; Program beasiswa,
14. Dave Pollard, “Colonization, from Without and from Within,” howtosavetheworld.ca ,
diakses pada tanggal 10 Juli 2017, http://howtosavetheworld.ca/2010/08/02/colonization-fromwithout-and-from-within/.
15. Anisa Nur Andina, “Minat Terhadap Musik Korea Di Kalangan Remaja di Yogyakarta
(Studi Pada Penggemar K-pop Di Daerah Sleman),” (Skripsi, Fakultas Ekonomi, Universitas
Negeri Yogyakarta, 2013): 2.

11

beasiswa menjadi salah satu jalan kolonialisasi dikarenakan dengan masuknya
individu ke Korea, mereka akan berkontak langsung dengan masyarakat Korea.
Pengalaman, pendidikan, budaya yang dapatkan selama belajar di Korea dapat
melekat pada individu tersebut; Lembaga riset, membantu kemajuan pengetahuan
dan ilmu.

2.2

Industrialisasi Produk Budaya: Penciptaan Budaya Pop
Penciptaan budaya populer menjadi serangan dominan kolonialisasi

budaya Korea. Hal ini terjadi karena dengan terciptanya budaya pop Korea,
budaya masyarakat Korea berhasil go public. Diciptakannya budaya yang
disenangi masyarakat banyak, memudahkan pengenalan dan penyebaran budaya
Korea. Produk-produk budaya seperti K-drama, K-pop, wisata budaya serta acara
seni dan festival menjadi “tools” untuk menduniakannya budaya Korea.
Penyebaran budaya pop terbantu media massa.

2.3

Wacana dalam Media Korea: Nasionalisme dan Kolonialisasi
Media menjadi sarana penyebar produk, maka tidak heran media menjadi

bagian dari kolonialisasi. Hal ini karena isi yang ditayangkan dalam media dapat
disesuaikan. Ada tiga media yang digunakan, yaitu cetak, TV dan internet. Ketiga
media ini banyak membantu populernya produk-produk budaya. Pemberitaan
tentang informasi, penayangan isi produk dapat diakses melalui ketiga media
massa. Oleh karena itu, tidak heran budaya Korea cepat sekali tersebar. Selain
untu menyebarkan produk kebudayaan, Korea memanfaatkan media untuk
membangun nasionalisme masyarakat, edukasi, dan pembangnan citra Korea.
Wacana tersebut dicoba dibangun di berbagai media, salah satunya televisi Korea
melalui drama yang menginternalisasi nilai-nilai sejarah dan bangsa untuk
menguatkan rasa nasionalisme.
Industri hiburan memberi ekspektasi yang tinggi dalam pembangunan
nasionalisme bangsa, sehingga produk-produknya selalu mendapatkan dukungan
pemerintah dan perusahan-perusahaan besar Korea. Suksesnya produk budaya
Korea dengan internalisasi kebudayaan-kebudayaan mereka membuat penonton

12

tidak hanya menikmati hiburan akan tetapi tertarik akan kebudayaan Korea.
Media menjadi alat yang tepat untuk membangun citra Korea dan wacana lainnya,
karena pesan pada media dapat disesuaikan kebutuhan dan tujuan.
Produk-produk Korea seperti Hyundai, KIA, samsung ditampilkan
dalam

produk

budaya

pop

Korea.

Hal

ini

untuk

mengenalkan

dan

mempromosikan produk Korea di masyarakat Korea dan dunia global, sehingga
pertumbuhan ekonomi juga ikut berkembang. Pengandalan pada produk dalam
negeri ini akan mempertahankan eksistensi bahasa (produk lokal pasti dalam
bahasa Korea), selain itu memperluas lapangan kerja, dan jam kerja rakyatnya
dibeli oleh rakyat sendiri. Apalagi jika produk mereka berhasil menguasai pasar
global, hal ini akan memberi banyak keuntungan.
Terbukti saat ini Korea tidak dapat dipandang sebelah mata,
pertumbuhan ekonomi mereka menguat dan menjadi salah satu Macan Asia
Timur. Korea telah mencapai rekor ekspor impor yang memukau, nilai ekspornya
terbesar kedelapan d dan nilai impornya terbesar kesebelas di dunia. Wacana
dalam media saat ini tidak sekedar untuk mempertahankan nasionalisme bangsa
Korea, namun ikut mempengaruhi citra Korea di mata dunia.
Serangan dari berbagai arah, terutama media dan budaya pop yang
terlihat gencar akan menciptakan lahan pergelutan. Media dan budaya mana yang
akan mendominasi dan menciptakan subordinan. Ketika media Korea dan produk
budaya Korea mendominasi mengalahkan pribumi, maka pribumi sudah tertindas.
Tertindasnya suatu negara dapat dilihat dari seberapa banyak penggemar dan
kefanatikannya.

Kecintaan

penggemar

terhadap

produk

budaya

Korea,

menimbulkan budaya penggemar yang biasanya konsumtif, bahkan hingga
fanatisme muncul.
Serangan melalui pendidikan, budaya populer dan media sama dengan
penindasan secara halus. Kolonialisasi budaya dengan tiga jalur ini, merupakan
penindasan tidak langsung, akan tetapi sama menciptakan dominasi di beberapa
wilayah. Ketika budaya pop Korea mulai masuk di suatu negara (di luar Korea),
ini akan menimbulkan pergelutan kekuasaan antara produk Korea dengan

13

pribumi. Ketika produk pribumi kalah dan Korea yang mendapatkan banyak
perhatian serta diminati, ini menandakan tertindasnya negara tersebut.
Korea pada penyebaran budaya populer terbantu globalisasi dan
perkembangan teknologi modern. Globalisasi yang menekankan pada bahaya
Amerikanisasi, sepertinya menjadi wacana perdebatan lama. Hal ini terjadi
khususnya di Asia, di mana masyarakat mulai merasa bosan dengan budaya pop
Amerika yang telah lama menguasai pasar. Oleh karena itu, muncullah budaya
global alternatif yang menyisipkan nilai-nilai Asia untuk mengobati kebosanan
atas budaya pop Amerika dan mulai mendominasi Asia yaitu Hallyu. Hallyu
muncul dengan strategi ala Amerika, tetapi kental akan budaya-budaya Korea.
Bahkan awalnya untuk menarik perhatian, industri budaya Korea ini
menggunakan slogan 'Belajar dari Hollywood‟, Korea mencoba meniru dan
menyesuaikan industri budaya Amerika yang telah lama menguasai pasar supaya
mudah diterima. Elemen dan simbol-simbol Barat dipinjam oleh Korea,
sebagaimana konsep mimikri yang dibicarakan Homi Bhabha ada proses peniruan
sebagai

strategi

menghadapi

penjajah.

16

Peniruan

dilakukan

untuk

menguntungkan diri sendiri, dengan memanfaatkan „yang lain‟ sebagai visualisasi
kekuatan.
Peniruan yang dilakukan menjadi dasar adanya identitas hibrid, di mana
budaya populer Korea diterima dengan meniru sekaligus mengenalkan budaya
mereka. Mempertahankan identitas lokal dan berkerja di konteks global dengan
meniru Amerika ini merupakan bentuk kreatif yang terlahir dari globalisasi.
Penyesuaian yang mengarah pada percampuran kultural disebut budaya
hibridisasi. Karakteristik budaya lokal dalam masyarakat berusaha dipertahankan
dan dinegosiasikan sembari mengikuti dan mempraktikkan budaya modern. Hal
ini dilakukan Korea untuk mempertahankan keragaman budaya mereka dalam
menghadapi erosi budaya.
3. Kolonialisasi Budaya Korea di Indonesia
16 . Febrina Windy, “Imperialisme dan Kolonialalisme Menurut Homi K. Bhaha”
web.unair.ac.id ,
diakses
pada
tanggal
14
Juni
2017.
http://febrina-windyfisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-87894-Ideide%20politikImperialisme%20dan%20Kolonialalisme%20Menurut%20Homi%20K.%20Bhaha.html.

14

Korea merupakan negara yang sukses dalam memanfaatkan budaya
sebagai sumber kekuatan, terbukti dengan Hallyu yang menjadi fenomenal.
Booming-nya kebudayaan Korea di negara lain terbantu arus globalisasi yang

menghapus sekat-sekat dan batas-batas sebuah negara. Hal tersebut membuat
nilai-nilai asing masuk tidak lagi melalui negara, akan tetapi melalui individu
dalam sebuah negara. Masyarakat dalam sebuah negara akan mudah terpengaruhi
nilai-nilai asing, karena akses yang mudah dan tidak ada batas. Terutama melalui
media yang banyak digunakan masyarakat.

3.1

Proses Kolonialisasi Budaya melalui K-drama di Indonesia
Masuknya K-drama dimulai ketika Trans TV menayangkan “Mother

Sea ” dan Indosiar menayangkan “Endless Love” di tahun 2002. memulai demam

Korea di Indonesia. Penanyangan K-drama ini mendapat sambutan hangat dari
masyarakat Indonesia, hal ini terjadi karena K-drama berbeda dengan sinetron
Indonesia. Produk hiburan Korea sangat memperhatikan keinginan penonton
dalam penyajian, sehingga baik masyarakat Korea sendiri maupun negara lain
menggemari produk tersebut. Demam Korea di Indonesia dirasakan ketika drama
yang berjudul “Boys Before Flowers” (BBF) ditayangkan. Drama ini mendapat
sambutan dan dicintai oleh masyarakat Indonesia, terutama remaja. Banyaknya
pencinta drama ini, membuat drama tersebut „roadshow‟ tayang dari stasiun satu
ke stasiun tv lainnya. Pertama ditayangkan Indosiar tahun 2009 bahkan diulang
sampai tiga kali.
Dominasi tayangan K-drama sebagai hiburan Korea memulai
terciptanya demam Hallyu di Indonesia. Internalisasi budaya dan brand pada Kdrama membuat serba-serbi Korea makin dikenal. Dengan demikian, K-drama
tidak hanya sebagai hiburan akan tetapi penyebaran budaya dan sebagai soft
diplomasi Korea. Sejarah Korea banyak dikemas drama kolosal, sehingga
penonton tidak hanya akan terhibur tetapi juga mendapatkan pengetahuan. Hal ini
yang memungkinkan generasi saat ini lebih mengetahui cerita dan sejarah Ratu
pertama di Korea yang diceritakan pada drama yang berjudul “The Great Queen
Seondeok” dibanding cerita kerajaan-kerajaan Indonesia.

15

Ada taktik kewacanaan yang coba dibangun Korea dalam drama untuk
menyebarkan budaya mereka. Upaya tersebut memberi dampak terhadap budaya
masyarakat pencinta K-drama, sehingga budaya Korea yang lebih banyak
dipelajari dan bahkan diikuti. Lunturnya budaya penggemar dan diikutinya
budaya Korea oleh masyarakat merupakan bagian wacana Koreanisasi. Korea
memang dengan sengaja menyebarkan produk hiburan mereka sebagai soft power
dalam mengukuhkan budaya mereka dan menjadikan budaya mereka diikuti.
Sebagaimana de Certeau berpendapat, medan budaya adalah situs konflik yang
berlangsung terus-menerus (diam dan hampir tidak ketara) di antara „strategi‟
penimpaan budaya (produksi) dan „taktik‟ penggunaan budaya (konsumsi).17
Persepsi, preferensi, dan prilaku masyarakat sangat terpengaruh sajian
media, terutama televisi sebagai media banyak digunakan. Seperti ujaran Jess C.
Scott “People are sheep, TV is the shepherd ” (orang-orang itu domba, TV adalah
gembala). 18 Oleh karena itu, ketika hiburan asing mendominasi tidak heran
khalayak terpengaruh. Seperti hiburan K-drama banyak ditayangkan, maka
mungkin budaya Korea mempengaruhi masyarakat dan tersebar di negara yang
menayangkannya. Sebagaimana Cess Hamelink secara deskriptif menggambarkan
hilangnya identitas lokal berupa adat istiadat, pakaian, musik, cita rasa dan gaya
hidup suatu masyarakat digantikan oleh budaya asing akibat serbuan media
mereka.19
Pesan dan tampilan dalam media seperti K-drama ini dapat disesuaikan.
Pencitraan, kesejarahan dapat dimuat di K-drama dengan menarik dan tidak
terlalu ketara. Menikmati K-drama secara terus menerus, dengan pola yang sama
dalam menggambarkan Korea akan membuat khalayak penikmat K-drama
terpengaruh. Seperti model televisual dari Hall, di mana siklus makna dalam
wacana televisi melewati tiga momen: Pertama , memaknai wacana televisi
sebagai peristiwa sosial „mentah‟; Kedua , formal bahasa dan wacana „bebas

17. John Storey, Cultural studies dan Kajian Budaya Pop (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), 161.
18. Wahyudi Wibowo, Budaya Hallyu Korea: K-drama, Industri Kreatif Berbasis Budaya
Populer (Yogyakarta: INAKOS dan Pusat Studi Korea Universitas Gadjah Mada, 2013), 22.
19 Cess J Hamelink, Cultural Autonomy in Global Communication (New York and London:
Longman, 1983), 2-3.

16

dikendalikan‟, pesan kini terbuka; Ketiga, cara lain dalam melihat dunia
(„ideologi‟) „bisa dengan bebas dikendalikan.20 Oleh karena itu, makna dan pesan
dari televisi yang diatur memungkinkan merubah khalayak pengonsumsi.
Kekaguman penonton K-drama terhadap Korea dapat berpengaruh
pada sikap, dan prilaku. Koreanisasi dalam drama menjadi salah satu sarana
kolonialisasi budaya Korea di Indonesia. Terciptanya budaya penggemar Korea di
Indonesia akan memberi banyak keuntungan. Apalagi Indonesia memiliki
penduduk yang tinggi, sehingga memungkinkannya menjadi salah satu negara
dengan fan base (sebutan untuk klub penggemar) yang besar. Dengan banyaknya
penggemar akan berimbas pada banyaknya penjualan produk-produk Korea di
negara tersebut.

3.2

Bentuk-Bentuk Budaya yang Mencerminkan Kolonialisasi Korea di
Indonesia
Banyak produk-produk budaya Korea menghiasi media Indonesia,

membuktikan kolonialisasi budaya Korea. Hak tayang hiburan seperti K-drama
dibeli media Indonesia, dilakukan karena peminat K-drama yang banyak. Media
di sini menjadi tombak penting, sebagai sarana penyebar produk budaya dari
pembuat ke khalayak. Media akan membawa budaya pop Korea ke luar negeri
yang menunjang berhasilnya gelombang Koreanisasi di dunia internasional. Kdrama ataupun K-pop tidak akan menjadi populer tanpa bantuan media. Ketika
konten pembahasan Korea di media banyak, membuat pengetahuan tentang Korea
pun makin banyak. Media yang menunjukkan kolonialisasi budaya Korea:
Pertama , Televisi yang merupakan media massa dengan pengguna

terbanyak, didominasi produk Korea. Mulai dari drama, musik, film bahkan
reality show. Contohnya penayangan K-drama, MV K-pop, reality show Korea

dan beberapa acara Indonesia mengikuti program Korea. Mission X yang tayang
di Trans TV, merupakan program acara reality show yang mengadopsi program
Korea. Program ini mengikuti program reality show populer Korea yaitu
“Running Man”, dengan membeli lisensinya dan kemudian dijadikan versi
20. John Storey, Cultural studies dan Kajian Budaya Pop (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), 14.

17

Indonesia. Ada juga sinetron “Kau yang Berasal dari Bintang” di RCTI yang meremake K-drama “You Came from The Star”. Tidak hanya terinspirasi acara-acara

Korea, televisi Indonesia bahkan menampilkan acara asli Korea seperti “The
Return of Superman” yang ditayangkan di RCTI setiap senin-jum‟at.21
Stasiun televisi seperti Global TV, Indosiar, RCTI dan RTV juga
berlomba-lomba menayangkan K-drama. Indosiar sampai menayangkan K-drama
pada 3 slot, RTV juga memiliki slot yang terbilang padat dalam menayangkan Kdrama. Indosiar bahkan menayangkan acara musik Mnet Asian Music Awards
(MAMA) hampir setiap tahun untuk para penggemar musik Korea di Indonesia.
Musik-musik Korea juga dapat kita dengar di acara musik Indonesia seperti
“Sweet Popcorn”. Tayangnya produk hiburan Korea ataupun acara Indonesia yang
mengikuti Korea, membuktikan kolonialisasi budaya Korea di Indonesia.
Fenomena ini membuat budaya Korea semakin dikenal oleh masyarakat. Apalagi
melihat respon masyarakat terhadap stasiun televisi yang menayang hiburan
Korea (musik, drama, film, reality show). Pengenalan Korea juga terbantu media
lain seperti majalah dan internet.
Kedua , media cetak seperti koran, majalah dan tabloid memberitakan

Korea. Ketika booming-nya Korea, banyak majalah yang memiliki rubrik khusus
tentang Korea. Mulai dari artis, fashion, lifestyle, makanan, budaya dan kegiatan
mereka dimuat, seperti tabloid gaul dan top idol. Kedua tabloid ini sejak boomingnya Korea, memiliki rubrik khusus Korea. Bahkan ada edisi-edisi khusus grup
idol Korea, seperti edisi khusus Super Junior, Shinee, Bigbang dan lain
sebagainya.
Sejak populernya Korea, banyak tabloid dan majalah membahas tentang
Korea. Serba-serbi tentang Korea dari artis, idol, budaya, bahasa, makanan,
fashion banyak dicari dan diminati. Bagaimana majalah-majalah memberitakan

Korea, penggunaan artis Korea sebagai icon, mengutamakan pemberitaan tentang
Korea, merupakan gambaran lain dari kolonialisasi budaya Korea di Indonesia.
Hal ini menjelaskan begitu kuatnya pengaruh Korea, sehingga mampu menguasai
21. RCTI, “Jadwal Acara: The Return of Superman,” rcti.tv, diakses pada tanggal 6 April
2017, http://rcti.tv/program/view/714/RETURN%20OF%20SUPERMAN#.WOZiOPmGPIU.

18

dan mempangaruhi isi media di Indonesia. Di tahun 2014, media cetak di
Indonesia mengalami krisis dan masyarakat beralih menggunakan internet untuk
mengakses informasi.
Ketiga , Internet. Hal ini dikarenakan tidak semua K-drama, film dan

musik Korea yang ditampilkan di televisi, sehingga untuk tetap menikmati produk
budaya pop Korea Internet menjadi salah satu jalan.K-drama yang belum
ditayangkan di televisi dapat dicari dan dinikmati melalui web streaming atau
download. Lagu-lagu Korea dan pemberitaan dapat diakses dengan cepat,

sehingga penyebaran produk Korea lebih cepat pula. Meski produk hiburan tidak
dibeli negara, jika negara tersebut memiliki kebebasan akses internet, maka
wacana Koreanisasi tetap tersampaikan.
Beberapa media online Indonesia seperti showbiz.liputan6.com,
wowkeren.com juga menyediakan pemberitaan khusus Korea. Web streaming dan
download konten hiburan Korea terutama K-drama dengan terjamahan bahasan

Indonesia,

sudah

sangat

nontononlinedrama.com,

banyak

di

internet.

dramaqu.com,

Ada

bioskopkeren.co,

streamingdramakorea.com,

bosdrama.com, movietube21.com, sobatdrama.net dan masih banyak lagi.
Banyaknya web-web streaming dan download berbahasa Indonesia menunjukan
tingginya pencinta K-drama di Indonesia.
Selain pada media, bentuk kolonialisasi budaya Korea juga terlihat dari
kebiasaan-kebiasaan yang ditampilkan dalam K-drama mulai diikuti masyarakat.
Kebiasaan kuliner dan makanan Korea misalnya, cara makan dengan memasak
sendiri diatas panggangan menjadi fenomenal. Restoran-restoran ala Korea dan
makanan khas Korea banyak di jual di Indonesia. K-drama benar-benar memberi
efek terhadap tren-tren di kalangan anak muda. Bahkan hal seperti adegan di mana
Goblin dalam drama tertusuk pedang ikut menjadi tren. Editing foto supaya mirip
karakter utama drama Goblin ini menjadi booming. Keberadaan produk budaya
Korea yang mulai mendominasi, tidak hanya memberi pengaruh, akan tetapi
mulai menyingkirkan budaya lokal dan melahirkan penggemar. Perilaku
masyarakat Indonesia terutama para penggemar Hallyu menunjukkan ketertarikan
terhadap Korea secara berlebihan atau fanatisme. Penggemar budaya Korea, baik

19

drama, artis atau idol Korea, ada yang tergabung dalam komunitas secara
langsung dan ada juga yang tergabung hanya di dunia maya. Selain bergabung
dengan komunitas penggemar biasanya menunjukkan kesetiaannya dengan sikap
dan prilaku, seperti mengikuti tayangan dan mengkoleksi K-drama, mengikuti
komunitas dan fanbase, belajar bahasa Korea, dan tren wisata Korea.

3.3

Respon Masyarakat Indonesia terhadap Kolonialisasi Budaya Korea
Globalisasi

memang

tidak

dapat

dihindari,

dengan

demikian

kolonialisasi dengan gaya baru hanya perlu disikapi dengan baik. Negara yang
memiliki masyarakat didalamnya, dapat memberi respon berbeda-beda terhadap
serangan budaya tergantung individu sendiri. Ketika budaya dan masyarakat dapat
mengimbangi gempuran budaya luar, budaya lokal tidak akan tergerus. Ada
beberapa respon terhadap kolonialisasi budaya Korea:
Pertama , produk budaya Korea diterima oleh para pencinta budaya pop

Korea, bahkan malah menyebarluaskan tren Korea, sebagaimana budaya
penggemar. Baik melalui cover lagu, dance, parodi drama, cerita fiksi dan lain
sebagainya. Penerimaan budaya pop Korea yang seperti ini yang membawa
kehawatiran akan dilupakannya budaya masyarakat lokal. Diikutinya budaya
Korea ini biasa dilakukan bagi para penggemar. Bahkan para penggemar sampai
pada tahap konsumsi dan perubahan referensi, seperti membeli aksesoris yang ada
dalam K-drama dan menyukai makanan, fashion ala Korea. Salah satu contoh
tempat makan ala Korea di Purwokerto selalu ramai, dan biasanya makanannya
sudah habis sebelum jam 20.00 (WIB). 22 Masyarakat lainnya tidak seantusia
penggemar Hallyu, diterimanya produk budaya tidak sampai menyebarluaskan
kembali dan mengonsumsi.
Kedua , dilakukan penguatan Budaya. Kolonialisasi budaya yang

berdampak banyak terhadap kehidupan masyarakat, mendapat banyak respon
baik positif dan negatif. Dalam menyikapi respon negatif yang ditimbulkan,
seperti fanatisme, pemerintah, kaum intelektual, pengusaha, dan masyarakat yang
menyadari akan ancaman besar dari dominasi budaya pop Korea, berupaya
22. Hasil observasi di beberapa foodcord Korea di Rita Supermall dan Moro Purwokerto.

20

menyadarkan masyarakat dan mengimbangi serangan budaya dengan penguatan
budaya masyarakat lokal. Hal ini dilakukan dengan menulis kajian tentang
pentingnya peran budaya oleh akdemisi, dikeluarkannya kebijakan dan program
untuk menguatkan budaya serta nasionalisme masyarakat oleh pemerintah.
Kemudian stasiun televisi melakukan counter-culture (perlawanan) untuk
menguatkan indigeneous culture (budaya asli) dengan berupaya menguatkan
produk-produk hiburan sediri.23 Penguatan budaya daerah ini dilakukan supaya
gempuran budaya Korea yang intens melalui media, tidak melunturkan budaya
lokal yang ada. Konsumsi produk budaya pop Korea tidak menjadi masalah
ketika budaya masyarakat sendiri kuat.
Ketiga, dilakukan pengadosian budaya Korea untuk Industri Lokal.

Tayangan budaya asing memiliki sisi negatif dapat mempengaruhi budaya lokal,
atau bahkan tergerus. Namun seperti sekeping mata uang, ada juga sisi positif
nya. Bertambahnya wawasan tentang kebudayaan masyarakat lain, dan dapat
dimanfaatkan kepopuleran hiburan asing tersebut untuk kepentingan sendiri.
Semisal produksi pakaian ala Korea, meniru dan belajar dari K-drama dalam
membuat sinetron, sehingga produk lokal lebih baik.

KESIMPULAN
Penelitian tentang kolonialisasi budaya Korea melalui K-drama di
Indonesia ini memiliki beberapa kesimpulan. Pertama , kolonialisasi budaya
Korea terjadi ketika K-drama masuk dan mendominasi TV Indonesia. Hal ini
terjadi dapat terjadi karena acara televisi di Indonesia cenderung tergerus media
global, sehingga tayangan televisinya sering menayangkan produk asing
dibanding dalam negeri. Tren tayangan K-drama, sedikit banyak memberi
pengaruh terhadap masyarakat. Hal ini dikarenakan K-drama memiliki pola yang
sama dalam produksinya, di mana internalisasi budaya Korea sangat kental.
Drama seakan sedang mempromosikan Korea dengan cerita yang asik dan apik.
Oleh karena itu, ini membuat budaya Korea dikenal dan bahkan diikuti oleh para
23. Dedy Djamaluddin Malik, “Globalisasi dan Imperialisme Budaya di Indonesia,” Journal
Communication Volume 5 , Nomor 2 Oktober 2014.

21

pencinta K-drama. Kedua , adanya kolonialisasi Korea terlihat dari dominasi
produk media Korea di Indonesia, baik di televisi, media cetak dan internet yang
kemudian berdampak pada produk media Indonesia. Populernya hiburan Korea,
membuat acara televisi Indonesia di tahun 2014 mengikuti Korea. Baik itu dengan
remake ataupun membeli lesensi acara. Ketiga , tidak semua masyarakat menerima
pengaruh Korea. Kolonialisasi ini mendapat perlawanan juga dari masyarakat
yang sadar akan tujuan Korea menyebarkan budaya popnya. Meskipun
perlawanannya dalam level mikro, seperti melalui riset, tulisan, inovasi idustri
lokal ala Korea dan lain sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA
Alv. “20 Judul Drama Korea yang Tayang di RCTI.” sindonews.com. Diakses
pada
tanggal
08
Juni
2016.
http://lifestyle.sindonews.com/read/1001132/158/20-judul-drama-koreayang-tayang-di-rcti-1431590153.
Andina, Anisa Nur. “Minat Terhadap Musik Korea Di Kalangan Remaja di
Yogyakarta (Studi Pada Penggemar K-pop Di Daerah Sleman).” Skripsi,
Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Yogyakarta, 2013.
Astuti. “Imperialisme Budaya Industri Dunia Hiburan Korea di Jakarta (Studi
terhadap remaja-remaja Jakarta yang menggemari Musik Pop Korea).”
Tesis, FISIP, Universitas Indonesia, 2012.
Aziz, Sohaimi Abdul. Teori & Kritikan Sastera. Modenisme. Pascamodenisme.
Pascakolonialisme. (Literary Theory & Criticism. Modernism.
Postmodernism. Postcolonialism). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka, 2003.
Cho, Younghan. “Desperately Seeking East Asia Amidst the Popularity of South
Korean Pop Culture In Asia.” Jurnal Cultural Studies Vol. 25, No. 3
(2011): 386.
Cummings, Milton. Cultural Diplomacy and the United States Government: A
Survey. Washington D.C: Center for Arts and Culture, 2003.
Gandhi, Leela. Teori Poskolonialal: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat.
Yogyakarta: Qalam, 2006.
Geertz, Clifford. Politik Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Hamelink, Cess J. Cultural Autonomy in Global Communication. New York and
London: Longman, 1983.
Malik, Dedy Djamaluddin. “Globalisasi dan Imperialisme Budaya di Indonesia.”
Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014.

22

Malau, Ruth Mei Ulina. “Resistensi Sang Liyan: Performa Perempuan dalam Kpop MV di Youtube.” Tesis, Universitas Diponorogo, 2013.
Pollard, Dave.
“Colonization, from Without and from Within.”
howtosavetheworld.ca . Diakses pada tanggal 10 Juli 2017.
http://howtosavetheworld.ca/2010/08/02/colonization-from-without-andfrom-within/.
Raditya, Damar. Budaya Hallyu Korea: Hallyu Citra Korea di Mancanegara .
Yogyakarta: INAKOS dan Pusat Studi Korea Universitas Gadjah Mada,
2013.
RCTI. “Jadwal Acara: The Return of Superman.” rcti.tv. Diakses pada tanggal 6
April
2017,
http://rcti.tv/program/view/714/RETURN%20OF%20SUPERMAN#.WO
ZiOPmGPIU.
Sari, Gracia Aninditya dan Rah Utami Nugrahani. “Pengaruh Terpaan Tayangan
Televisi Drama Korea Terhadap Gaya Hidup Masyarakat Bandung.”
Tugas Akhir . Fakultas Komunikasi dan Bisnis, Telkom University. 2013.
Storey, John. Cultural studies dan Kajian Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra,
2008.
TW. Adorno & M. Hokheirmer. Dialectic of Enlightenment. New York:
Continium, 1993.
Wibowo, Wahyudi. Budaya Hallyu Korea: K-drama, Industri Kreatif Berbasis
Budaya Populer . Yogyakarta: INAKOS dan Pusat Studi Korea Universitas
Gadjah Mada, 2013.
Windy, Febrina. “Imperialisme dan Kolonialalisme Menurut Homi K. Bhaha.”
web.unair.ac.id. Diakses pada tanggal 14 Juni 2017. http://febrina-windyfisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-87894-Ideide%20politikImperialisme%20dan%20Kolonialalisme%20Menurut%20Homi%20K.%2
0Bhaha.html.
Yulia, Noor Rahmah. “Diplomasi Kebudayaan Republic of Korea melalui film
dan drama: pencapaian kepentingan citra dan dan ekonomi Republic of
Koreadi Indonesia.” Skripsi, FISIP, UIN Syarif Hidayatullah, 2013.