214792063 Peranan Satuan Polisi Pamong Praja SATPOL PP Dlm Penegakan Peraturan Daerah Di Kota Medan Arwin Hasibuan

PERANAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA (SATPOL-PP) DALAM PENEGAKAN PERATURAN DAERAH DI KOTA MEDAN SKRIPSI

A. DI SUSUN :

OL

ARWI N HASI BUAN

NPM : 095114050

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUSLIM NUSANTARA (UMN) AL WASHLIYAH

MEDAN 2013

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah mengkaruniakan kesehatan dan kelapangan berpikir kepada penulis sehingga akhirnya tulisan ilmiah dalam bentuk skripsi ini dapat juga terselesaikan oleh penulis.

Skripsi penulis ini berjudul “PERANAN SATUAN POLISI PAMONG

PRAJA (SATPOL-PP) DALAM PENEGAKAN PERATURAN DAERAH DI

KOTA MEDAN” . Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan dalam penyusunan skripsi pada Fakultas Hukum Universitas Muslim Nusantara Al Washliyah Medan.

Dalam menyelesaikan tulisan ini penulis telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan yang berbahagia ini penulis ingin mengucapkan terima-kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Drs. H. Kondar Siregar, MA, selaku Rektor Universitas Muslim Nusantara Al-Wasliyah Medan.

2. Ibu Hj. Adawiyah Nasution, SH., M.Kn, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Muslim Nusantara Al-Wasliyah Medan.

3. Bapak DR. Marzuki, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I Penulis.

4. Bapak H. A. Mahdi Siregar, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II Penulis.

5. Kedua orang tua penulis, yang selalu memberikan dorongan baik secara moril maupun materil.

6. Teman-teman seangkatan penulis.

7. Bapak dan ibu Dosen serta seluruh staf di Fakultas Hukum Universitas Muslim Nusantara Al-Wasliyah Medan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna untuk menjadi sebuah karya ilmiah yang berkualitas. Hanya dengan saran dan kritikan dari semua pihak, kekurangan itu dapat terpenuhi.

Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan rahmat dan karunia- Nya kepada kita semua. Amin.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Globalisasi merupakan sebuah fenomena di mana negara-negara di dunia secara langsung maupun tidak langsung mengharapkan terjadinya sebuah interaksi antar masyarakat yang jauh lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan saat-saat sebelumnya. Seperti layaknya dua sisi pada mata uang, fenomena globalisasi menjanjikan sebuah lingkungan dan suasana kehidupan bermasyarakat yang jauh lebih baik, sementara di sisi lain, terdapat pula potensi terjadinya chaos jika perubahan ini tidak dikelola secara baik. Karena pada suatu titik ekstrem seorang individu di sebuah negara dapat melakukan apa saja yang dikehendakinya (misalnya berdagang, bermitra, berkolaborasi, berbuat kejahatan, berkolusi, dan lain-lain) dengan individu yang berada di negara lain, maka jelas bahwa kehidupan masyarakat harus dapat terlebih dahulu ditata dengan baik di dalam sebuah sistem yang menjamin bahwa negara yang bersangkutan akan memperoleh manfaat yang besar di dalam lingkungan global, bukan sebaliknya.

Pada era globalisasi tersebut semakin menampakkan kepentingannya tatkala pintu otonomi melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah semakin terbuka lebar. Pada keadaan ini semua sektor lini pemerintahan sangat dibutuhkan dalam hal menciptakan suatu sistem tata kelola pemerintahan yang baik atau apa yang dikenal dengan istilah good governance. Salah satu lembaga yang Pada era globalisasi tersebut semakin menampakkan kepentingannya tatkala pintu otonomi melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah semakin terbuka lebar. Pada keadaan ini semua sektor lini pemerintahan sangat dibutuhkan dalam hal menciptakan suatu sistem tata kelola pemerintahan yang baik atau apa yang dikenal dengan istilah good governance. Salah satu lembaga yang

Berkaitan dengan eksistensi Satuan Polisi Pamong Praja dalam penegakkan hukum (represif), sebagai perangkat pemerintah daerah, kontribusi satuan Polisi Pamong Praja sangat diperlukan guna mendukung suksesnya pelaksanaan Otonomi Daerah dalam penegakan peraturan daerah menciptakan pemerintahan yang baik. Dengan demikian aparat Polisi Pamong Praja merupakan garis depan dalam hal motivator dalam menjamin kepastian pelaksanaan peraturan daerah dan upaya menegakkannya ditengah-tengah masyarakat, sekaligus membantu dalam menindak segala bentuk penyelewengan dan penegakan hukum.

Kepala Daerah mempunyai kewajiban menegakan peraturan perundang- undangan dan memelihara ketertiban dan kententraman masyarakat. Ketertiban adalah suasana yang mengarah kepada peraturan dalam masyarakat menurut norma yang berlaku sehingga menimbulkan motivasi bekerja dalam rangka mencapai tujuan yang

diinginkan. 1 Tugas kewajiban Kepala Daerah selain berasal dari tugas yang timbul karena inisiatif sendiri dari alat perlengkapan daerah (Otonomi Daerah) dapat juga

diperintahkan oleh penguasa yang lebih atas atau yang disebut tugas pembantuan. 2 Dalam melaksanakan kewenangan guna menegakkan Peraturan Daerah dan

keputusan kepala daerah, sebagai salah satu tugas utama dari Polisi Pamong Praja,

1 Dirjen Pemerintahan Umum, Pedoman Prosedur Tetap Operasional Satuan Polisi Pamong Praja , Departemen Dalam Negeri, Jakarta, 2005, hal.9.

2 Irawan Soejito, Sejarah Daerah Indonesia,:Pradanya Paramita, Jakarta 1984, hal.100.

tentunya tidak semudah membalikkan telapak tangan, terlebih dalam melaksanakan kewenangan ini Polisi Pamong Praja dibatasi oleh kewenangan represif yang sifatnya non yustisial. Aparat Polisi Pamong Praja seringkali harus menghadapi berbagai kendala ketika harus berhadapan dengan masyarakat yang memiliki kepentingan tertentu dalam memperjuangkan kehidupannya, yang akhirnya bermuara pada munculnya konflik (bentrokan).

Dalam menghadapi situasi seperti ini Polisi Pamong Praja harus dapat mengambil sikap yang tepat dan bijaksana, sesuai dengan paradigma baru Polisi Pamong Praja yaitu menjadi aparat yang ramah, bersahabat, dapat menciptakan suasana batin dan nuansa kesejukan bagi masyarakat, namun tetap tegas dalam bertindak demi tegaknya peraturan yang berlaku.

Dengan diterbitkanya Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dalam pasal 148 ayat 1 disebutkan bahwa Polisi Pamong Praja ditetapkan sebagai perangkat pemerintah daerah dengan tugas pokok menegakkan peraturan daerah, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, sebagai pelaksana tugas desentralisasi. Desentralisasi sendiri adalah suatu cara pemerintahan dimana sebagian dari kekuasaan mengatur dan mengurus dari

Pemerintah Pusat diserahkan kepada kekuasaan-kekuasaan bawahan. 3 Pada dasarnya setiap daerah mempunyai 2 macam kekuasaan, yaitu otonomi dan medebewind

3 Hazairin, Otonomi dan Ketatanegaraan (dalam Ceramah Kongres III Serikat Sekerja Kementrian dalam Negeri,Bogor, 3-5 Desember 1953, di muat dalam buku 7 Tahun Serikat Sekerja

Kementerian Dalam Negeri (SSKDN), 1954, hal. 160.

(memberi kuasa untuk dijalankan) 4 . Otonomi ialah hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya, sedangkan medebewind adalah hak menjalankan peraturan-

peraturan dari Pemerintah Pusat atau daerah tingkat atasan berdasarkan perintah pihak atasan itu. 5

Keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja di Kota Medan khususnya dalam menjalankan tugasnya diatur di dalam Peraturan Walikota Medan No. 8 Tahun 2012 tentang Prosedur Tetap Operasional Satuan Polisi Pamong Praja Kota Medan.

Sehubungan dengan permasalahan yang timbul dalam penegakan peraturan daerah di Kota Medan menunjuk aparat yang bertugas untuk menjaga ketentraman dan ketertiban umum serta perlindungan masyarakat dan penegakan peraturan daerah dan keputusan kepala daerah adalah Satuan Polisi Pamong Praja. Polisi Pamong Praja Pemerintah Kota Medan dalam peranannya menjaga ketentraman dan ketertiban umum sangatlah membantu, terutama yang berkaitan dengan pembinaan keamanan, penyuluhan, dan penggalangan masyarakat. Sikap Satpol PP dalam menghadapi masyarakat secara umum dapat mengambil sikap dengan tepat dan bijaksana, sehingga tercipta aparat yang ramah dan bersahabat namun tetap tegas dalam bertindak sesuai peraturan yang berlaku, sehingga dapat menciptakan pemerintah yang baik.

4 Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia. PT Ichtiar baru van hoeve, Jakarta, 2003, hal. 80 & 397.

5 The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Republik Indonesia, Liberty, Yogyakarta , 1993, hal, 99.

Permasalahan

Berkaitan dengan ketentraman dan ketertiban umum, maka permasalahan yang akan penulis uraikan dalam skripsi ini antara lain:

1. Bagaimana kedudukan Satuan Polisi Pamong Praja Kota Medan dalam pelaksanaan penegakan peraturan daerah?

2. Bagaimana pelaksanaan penegakan peraturan daerah yang dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja di Kota Medan ?

3. Apakah faktor-faktor yang menjadi hambatan yang dihadapi satuan polisi pamong praja dalam penegakan peraturan daerah di Kota Medan dan bagaimana upaya mengatasi permasalahan tersebut?

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Sebagai suatu bentuk sumbangan pengetahuan bagi masyarakat tentang peran Satuan Polisi Pamong Praja dalam pelaksanaan penegakan peraturan daerah.

2. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi dan peningkatan kemampuan dari peranan Satuan Polisi Pamong Praja khususnya di bidang penegakan peraturan daerah.

3. Sebagai bahan yang dapat menambah wawasan berpikir bagi peneliti sendiri tentang peranan Satuan Polisi Pamong Praja khususnya di bidang penegakan peraturan daerah.

Manfaat Penelitian

Berangkat dari permasalahan-permasalahan di atas penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam penambahan literatur di bidang hukum khususnya tentang peran dan fungsi satuan Polisi Pamong Praja dalam penegakan peraturan daerah.

Penelitian ini juga diharapkan memberikan manfaat dari segi praktis yaitu suatu bentuk sumbangan pemikiran dan masukan para pihak khususnya masyarakat luas tentang Polisi Pamong Praja itu sendiri.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Otonomi dan Desentralisasi

Menurut UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah bahwa otonomi daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Otonomi Daerah, sebagaimana dikandung dalarn UU No. 32 Tahun 2004 tersebut adalah usaha memberi kesempatan kepada daerah untuk memberdayakan potensi ekonomi, sosial-budaya dan politik di wilayahnya.

Sedangkan desentralisasi dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik.

Otonomi Daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 dari sudut pandang desentralisasi fiscal. Tujuan utama otonomi daerah adalah untuk mendorong terselenggaranya pelayanan publik sesuai tuntutan masyarakat daerah, mendorong efisiensi alokatif penggunaan dana pemerintah melalui desentralisasi kewenangan dan Otonomi Daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 dari sudut pandang desentralisasi fiscal. Tujuan utama otonomi daerah adalah untuk mendorong terselenggaranya pelayanan publik sesuai tuntutan masyarakat daerah, mendorong efisiensi alokatif penggunaan dana pemerintah melalui desentralisasi kewenangan dan

Tujuan desentralisasi dan otonomi berdasarkan dua sudut pandang kepentingan, yaitu kepentingan pemerintah pusat dan kepentingan pemerintah daerah. Dilihat dari sudut pandang pemerintah pusat sedikitnya ada 4 (empat) tujuan utama dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yaitu:

1. Pendidikan politik

2. Pelatihan kepemimpinan

3. Menciptakan stabilitas politik

4. Mewujudkan demokratisasi sistem pemerintahan di daerah. Sementara bila dilihat dari sisi kepentingan daerah otonomi daerah adalah mewujudkan yang disebut dengan :

1. Politik quality, ini berarti bahwa melalui pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, diharapkan akan lebih membuka kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam bebagai aktivitas politik di tingkat lokal.

2. Local accountability, ini berarti akan meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memperhatikan masyarakatnya.

3. Local responsiveness, pemerintah daerah dianggap lebih banyak mengetahui berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakatnya, maka kebijakan 3. Local responsiveness, pemerintah daerah dianggap lebih banyak mengetahui berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakatnya, maka kebijakan

Dan lebih jauh lagi, tujuan utama dari konsep desentralisasi dan otonomi daerah dengan tidak hanya membatasinya pada konteks hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah, maka semuanya bermuara pada pengaturan mekanisme hubungan antara Negara dan masyarakat. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah bertujuan untuk membuka akses yang lebih besar kepada masyarakat sipil untuk berpartisipasi baik pada proses pengambilan keputusan di daerah maupun didalam pelaksanaannya.

Gambaran umum tentang tujuan ideal dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah diatas, keberhasilan akan sangat bervariasi serta relative dan konseptual sifatnya pada tiap-tiap daerah. Seperti dari perspektif ekonomi politik, salah satu faktor penting yang dapat mengganggu pencapaian tujuan desentralisasi dan otonomi daerah. Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri, karena potensi sumberdaya, kelengkapan prasarana sosial ekonomi dan kemampuan kelembagaan daerah (masyarakat) masih sangat terbatas. Kemajuan antar daerah, antar kelompok pendapatan, dan antar sektor kegiatan ekonomi belum sepenuhnya berimbang. Sehingga pemerintah daerah dalam hal ini harus tetap berpegang pada koridor bahwa pembangunan daerah yang ada harus dilakukan dari, untuk dan oleh pelaku-pelaku pembangunan daerah yang bersangkutan.

B. Sejarah, Tugas dan Wewenang Polisi Pamong Praja

Satuan Polisi Pamong Praja, disingkat Satpol PP, adalah perangkat Pemerintah Daerah dalam memelihara ketentraman dan ketertiban umum serta menegakkan Peraturan Daerah. Organisasi dan tata kerja Satuan Polisi Pamong Praja ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Satpol PP dapat berkedudukan di Daerah Provinsi dan Daerah /Kota. - Di Daerah Provinsi, Satuan Polisi Pamong Praja dipimpin oleh Kepala yang

berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah

- Di Daerah /Kota, Satuan Polisi Pamong Praja dipimpin oleh Kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui Sekretaris Daerah.

Pamong Praja berasal dari kata Pamong dan Praja, Pamong artinya pengasuh yang berasal dari kata Among yang juga mempunyai arti sendiri yaitu mengasuh. Mengasuh anak kecil misalnya itu biasanya dinamakan mengemong anak kecil, sedangkan Praja adalah pegawai negeri. Pangreh Praja atau Pegawai Pemerintahan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pamong Praja adalah Pegawai Negeri yang

mengurus pemerintahan Negara. 6 Definisi lain Polisi adalah Badan Pemerintah yang bertugas memelihara

keamanan dan ketertiban umum atau pegawai Negara yang bertugas menjaga

6 Alwi, Hasan., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2005, hlm.817.

keamanan. 7 Berdasarkan definisi-definisi yang tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa Polisi Pamong Praja adalah Polisi yang mengawasi dan mengamankan

keputusan pemerintah di wilayah kerjanya. Menurut Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2004 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja disebutkan “Polisi Pamong Praja adalah aparatur Pemerintah Daerah yang melaksanakan tugas Kepala Daerah dalam memelihara dan menyelenggarakan ketenteraman dan ketertiban umum, menegakkan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah”.

Keberadaan Polisi Pamong Praja dimulai pada era Kolonial sejak VOC menduduki Batavia di bawah pimpinan Walikota Jenderal Pieter Both, bahwa kebutuhan memelihara ketentraman dan ketertiban penduduk sangat diperlukan karena pada waktu itu Kota Batavia sedang mendapat serangan secara sporadis baik dari penduduk lokal maupun tentara Inggris sehingga terjadi peningkatan terhadap gangguan ketenteraman dan keamanan. Untuk menyikapi hal tersebut maka dibentuklah BAILLUW, semacam Polisi yang merangkap Jaksa dan Hakim yang bertugas menangani perselisihan hukum yang terjadi antara VOC dengan warga serta menjaga ketertiban dan ketenteraman warga. Kemudian pada masa kepemimpinan Raaffles, dikembangkanlah Bailluw dengan dibentuk Satuan lainnya yang disebut Besturrs Politie atau Polisi Pamong Praja yang bertugas membantu Pemerintah di Tingkat Kawedanan yang bertugas menjaga ketertiban dan ketenteraman serta keamanan warga. Menjelang akhir era Kolonial khususnya pada masa pendudukan

7 Ibid., hal. 886.

Jepang Organisasi polisi Pamong Praja mengalami perubahan besar dan dalam prakteknya menjadi tidak jelas, dimana secara struktural Satuan Kepolisian dan peran dan fungsinya bercampur baur dengan Kemiliteran. Pada masa Kemerdekaan tepatnya sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia Polisi Pamong Praja tetap menjadi bagian Organisasi dari Kepolisian karena belum ada Dasar Hukum yang mendukung keberadaan Polisi Pamong Praja sampai dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1948. Secara definitif Polisi Pamong Praja mengalami beberapa kali pergantian nama namun tugas dan fungsinya sama, adapun secara rinci perubahan nama dari Polisi Pamong Praja dapat dikemukakan sebagai berikut :

1. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1948 pada tanggal 30 Oktober 1948 didrikanlah Detasemen Polisi Pamong Praja Keamanan Kapanewon yang pada tanggal 10 Nopember 1948 diubah namanya menjadi Detasemen Polisi Pamong Praja.

2. Tanggal 3 Maret 1950 berdasarkan Keputusan Mendagri No.UP.32/2/21 disebut dengan nama Kesatuan Polisi Pamong Praja.

3. Pada Tahun 1962 sesuai dengan Peraturan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah No. 10 Tahun 1962 nama Kesatuan Polisi Pamong Praja diubah menjadi Pagar Baya.

4. Berdasarkan Surat Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah No.1 Tahun 1963 Pagar Baya dubah menjadi Pagar Praja.

5. Setelah diterbitkannnya UU No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, maka Kesatuan Pagar Praja diubah menjadi Polisi Pamong Praja, 5. Setelah diterbitkannnya UU No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, maka Kesatuan Pagar Praja diubah menjadi Polisi Pamong Praja,

6. Dengan Diterbitkannya UU No.22 Tahun 1999 nama Polisi Pamong Praja diubah kembali dengan nama Satuan Polisi Pamong Praja, sebagai Perangkat Daerah.

7. Terakhir dengan diterbitkannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, lebih memperkuat keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja sebagai pembantu Kepala Daerah dalam menegakkan Peraturan Daerah dan Penyelenggaraan Ketertiban umum dan ketenteraman Masyarakat dibentuk Satuan Polisi Pamong

Meskipun keberadaan kelembagaan Polisi Pamong Praja dan Perlindungan Masyarakat telah beberapa kali mengalami perubahan baik struktur organisasi maupun Nomenklatur, yang kemungkinan dikemudian hari masih berpeluang untuk berubah, namun secara substansi tugas pokok Satuan Polisi Pamong Praja dan Perlindungan Masyarakat tidak mengalami perubahan yang berarti.

“Keberadaan Polisi Pamong Praja dalam jajaran Pemerintah Daerah mempunyai arti khusus yang cukup strategis, karena tugas-tugasnya membantu Kepala Daerah dalam pembinaan ketentraman dan ketertiban serta penegakan Peraturan

Daerah sehinga dapat berdampak pada upaya Peningkatan Pendapatan Asli Daerah”. 8 Mengenai pengertian Polisi Pamong Praja mengalami perbedaan atau

perubahan antara Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 dan Undang-undang Nomor

32 Tahun 2004. Pengertian Polisi Pamong Praja menurut Undang-undang Nomor 5

8 Pedoman dan Petunjuk Polisi Pamong Praja, 1995, Jakarta, Dirjen Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah (PUOD).

Tahun 1974 adalah perangkat wilayah yang bertugas membantu kepala wilayah dalam menyelenggarakan pemerintah umum khususnya dalam melaksanakan wewenang, tugas dan kewajiban di bidang ketentraman dan ketertiban masyarakat (Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah).

Pengertian Polisi Pamong Praja menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah perangkat daerah yang bertugas membantu kepala daerah dalam rangka menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban umum serta menegakkan Peraturan Daerah (Pasal 148 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah).

Bila melihat pengertian Polisi Pamong Praja tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa perbedaan Polisi Pamong Praja menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah :

1. Polisi Pamong Praja menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 adalah sebagai aparat daerah yang bertanggung jawab kepada kepala wilayah artinya aparat pemerintah pusat yang dipekerjakan di daerah, (Undang-undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah). Sedangkan Polisi Pamong Praja menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah sebagai aparat daerah yang bertanggung jawab kepada Kepala Daerah (Pasal 148 ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ).

2. Ruang lingkup tugas kerja Polisi Pamong Praja menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 hanya membantu Kepala wilayah di bidang ketentraman dan ketertiban masyarakat, (Undang-Undang No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok

Pemerintahan Daerah). Sedangkan ruang lingkup tugas Polisi Pamong Praja menurut Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 diperluas selain menyelenggarakan pembinaan ketentraman dan ketertiban umum juga ketenteraman masyarakat dalam penegakan Peraturan Daerah (Pasal 148 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah).

Untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat maka dalam melaksanakan tugasnya Polisi Pamong Praja melakukan berbagai cara seperti memberikan penyuluhan, kegiatan patroli dan penertiban terhadap pelanggaran Peraturan Daerah, keputusan kepala daerah yang didahului dengan langkah-langkah

peringatan baik lisan maupun tertulis. 9

Lingkup fungsi dan tugas Polisi Pamong Praja dalam pembinaan ketentraman dan ketertiban umum pada dasarnya cukup luas, sehingga dituntut kesiapan aparat baik jumlah anggota, kualitas personil termasuk kejujuran dalam melaksanakan tugas- tugasnya. Polisi Pamong Praja sebagai lembaga dalam pemerintahan sipil harus tampil sebagai pamong masyarakat yang mampu menggalang dan dapat meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam menciptakan dan memelihara ketentraman dan ketertiban sehingga dapat menciptakan iklim yang lebih kondusif di daerah.

Penampilan Polisi Pamong Praja dalam pembinaan ketentraman dan ketertiban harus berbeda dengan aparat kepolisian (Polisi Negara), karena kinerja Polisi Pamong Praja akan bertumpu pada kegiatan yang lebih bersifat penyuluhan dan pengurusan, bukan lagi berupa kegiatan yang mengarah pada pemberian sanksi atau pidana.

Tugas Polisi Pamong Praja adalah selain melakukan penegakan Peraturan

9 Ibid.

Daerah, juga membantu Kepala Daerah dalam melaksanakan pembinaan ketentraman dan ketertiban (Pasal 148 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah).

Mengingat luasnya daerah dan menjamin tindakan yang cepat serta tepat pada waktunya Kepala Daerah dalam “keadaan biasa” diberikan wewenang pembinaan ketentraman dan ketertiban di daerahnya yang meliputi (Peraturan Pemerintah Nomor

25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonomi) :

1. Wewenang pengaturan untuk dapat mendorong terciptanya ketentraman dan ketertiban masyarakat.

2. Wewenang pengaturan-pengaturan kegiatan penanggulangan bencana alam maupun bencana akibat perbuatan manusia.

3. Wewenang pengaturan kegiatan-kegiatan dibidang politik, ekonomi dan sosial budaya.

Tujuan dari pembinaan kentraman dan ketertiban adalah untuk menghilangkan atau mengurangi segala bentuk ancaman dan gangguan terhadap ketentraman dan ketertiban didalam masyarakat, serta menjaga agar roda pemerintahan dan peraturan pemerintah serta peraturan perundang-undangan di daerah dapat berjalan lancar, sehingga pemerintah dan rakyat dapat melakukan kegiatan secara umum, tertib dan teratur dalam rangka memantapkan ketahanan nasional (Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Pasal 2 Tahun 1993 tentang pembinaan ketentraman dan ketertiban di daerah).

Ketentraman dan ketertiban yaitu suatu keadaan dimana pemerintah dan rakyat dapat melakukan kegiatan secara aman, tertib dan teratur (Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Pasal 1 Tahun 1993 tentang pembinaan ketentraman dan ketertiban di daerah). Pembinaan ketentraman dan ketertiban daerah adalah segala usaha, tindakan dan kegiatan yang berhubungan dengan perencanaan, penyusunan, pengembangan, pengarahan, pemeliharaan serta pengendalian segala masalah ketentraman dan ketertiban secara berdaya guna dan berhasil guna meliputi kegiatan pelaksanaan atau penyelenggaraan dan peraturan agar segala sesuatunya dapat dilakukan dengan baik, tertib dan seksama sesuai ketentuan petunjuk, sistem dan metode yang berlaku untuk menjamin pencapaian tujuan secara maksimal (Pasal 150 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah).

Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan melaksanakan pembangunan mutlak diperlukan adanya suatu kondisi ketentraman dan ketertiban yang mantap. Dalam hal ini urusan pembinaan ketentraman dan ketertiban daerah, Walikota atau Bupati dalam tugasnya dibantu oleh yang namanya Polisi Pamong Praja (Undang-undang No. 32 Pasal 148 ayat 1 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah).

C. Pengertian Peraturan Daerah

Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah (Bupati/Walikota). Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah (Bupati/Walikota). Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan

Peraturan Daerah terdiri atas:

a. Peraturan Daerah Provinsi, yang berlaku di provinsi tersebut. Peraturan Daerah Provinsi dibentuk oleh DPRD Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.

b. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, yang berlaku di kabupaten/kota tersebut. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibentuk oleh DPRD Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tidak

subordinat terhadap Peraturan Daerah Provinsi. 11 Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Peraturan Daerah dikenal dengan

istilah Qanun. Di Provinsi Papua, dikenal istilah Peraturan Daerah Khusus dan Peraturan Daerah Provinsi. Peraturan Daerah (Perda) adalah instrumen aturan yang secara sah diberikan kepada pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah. Sejak Tahun 1945 hingga sekarang ini, telah berlaku beberapa undang-undang yang menjadi dasar hukum penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan menetapkan Perda sebagai instrumen yuridisnya.

Kedudukan dan fungsi Perda berbeda antara yang satu dengan lainnya sejalan dengan sistem ketatanegaraan yang termuat dalam UUD/Konstitusi dan UU Pemerintahan Daerahnya. Perbedaan tersebut juga terjadi pada penataan materi

10 Sari Nugraha, Problematika Dalam Pengujian dan Pembatalan Perda Oleh Pemerintah Pusat , Jurnal Hukum Bisnis, Volume 23 No. 1 Tahun 2004, hal. 27.

11 Ibid.

muatan yang disebabkan karena luas sempitnya urusan yang ada pada pemerintah daerah.

Demikian juga terhadap mekanisme pembentukan dan pengawasan terhadap pembentukan dan pelaksanaan Perda mengalami perubahan seiring dengan perubahan pola hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Setiap perancang Perda, terlebih dahulu harus mempelajari dan menguasai aturan hukum positip tentang UU Pemerintahan Daerah, UU tentang Perundang-undangan, Peraturan pelaksanaan

yang secara khusus mengatur tentang Perda. 12 Untuk merancang sebuah Perda, perancang pada dasarnya harus menyiapkan

diri secara baik dan mengusai hal-hal sebagai berikut:

a. Analisis data tentang persoalan sosial yang akan diatur.

b. Kemampuan teknis perundang-undangan.

c. Pengetahuan teoritis tentang pembentukan aturan.

d. Hukum perundang-undangan baik secara umum maupun khusus tentang Perda. 13

Melalui amandemen UUD 1945 yang kedua, Perda mendapatkan landasan konstitusionalnya di dalam konstitusi yang keberadaannya digunakan untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan [vide Pasal 18 ayat (6) UUD 1945]. Selanjutnya Pasal 12 UU No. 10/2004 menggariskan materi muatan Perda adalah seluruh materi muatan dalam rangka: penyelenggaraan otonomi dan tugas

12 Ibid. 13 E. Utrecht. Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Terjemahan Moh. Saleh Djindang, Sinar

Harapan, Jakarta, 1989, hal. 116.

pembantuan, menampung kondisi khusus daerah, serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Perda adalah peraturan yang paling banyak menanggung beban. Sebagai peraturan terendah dalam hierarki peraturan perundang-undangan, Perda secara teoritik memiliki tingkat fleksibilitas yang sempit karena tidak boleh menyimpang dari sekat-sekat peraturan nasional yang ratusan jumlahnya. Dalam pendekatan Stufenbau des Recht yang diajarkan Hans Kelsen, hukum positif (peraturan) dikonstruksi berjenjang dan berlapis-lapis, peraturan yang rendah bersumber dari dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Teori tersebutlah kemudian dalam

ilmu hukum turun menjadi asas “lex superior derogat legis inferiori.” 14 Perda dianggap sebagai peraturan yang paling dekat untuk mengagregasi nilai-

nilai masyarakat di daerah. Peluang ini terbuka karena Perda dapat dimuati dengan nila-nilai yang diidentifikasi sebagai kondisi khusus daerah. Oleh karena itulah banyak Perda yang materi muatannya mengatur tentang pemerintahan terendah yang bercorak lokal seperti Nagari di Sumatera Barat, Kampong di Aceh, atau yang terkait pengelolaan sumberdaya alam seperti Perda pengelolaan hutan berbasis masyarakat,

hutan rakyat, pertambangan rakyat dan lain sebagainya. 15 Di samping itu, posisi Perda yang terbuka acap juga menjadi instrumen pemerintah daerah untuk meningkatkan

pendapatan asli daerah melalui pungutan yang timbul dari Perda pajak daerah atau

14 Ibid. 15 EKM Masinambow, Hukum dan kemajemukan Budaya, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,

2000, hal. 76.

Perda retribusi daerah. Perda jenis terakhir inilah yang paling mendominasi jumlah Perda sepanjang otonomi daerah yang bergulir sejak berlakunya UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Sejak otonomi daerah digulirkan, sudah ribuan Perda dibuat oleh pemerintah daerah baik pada level provinsi maupun kabupaten/kota. Data yang diperoleh dari Departemen Keuangan, sampai Desember 2006 terdapat 9.617 Perda yang terkait dengan perizinan, pajak dan retribusi di daerah. Dari sejumlah itu Departemen Keuangan sudah merekomendasikan kepada Departemen Dalam Negeri untuk membatalkan 895 Perda yang terkait dengan pajak dan retribusi di daerah. Data yang diperoleh dari Departemen Dalam Negeri menunjukkan bahwa sejak tahun 2002 sampai tahun 2007 Perda yang dibatalkan baru berjumlah 761 Perda. Perda-Perda yang dianggap bermasalah itu menimbulkan ekonomi biaya tinggi di daerah serta juga

membebani masyarakat dan lingkungan. 16 Terkait dengan banyaknya Perda yang dianggap bermasalah, karena

menimbulkan ekonomi biaya tinggi, memberatkan masyarakat di daerah dan berdampak pada kerusakan lingkungan akibat izin yang ditimbulkannya, maka Indonesia memiliki perangkat hukum untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan dari suatu peraturan. Mekanisme penyelesai konflik peraturan dilakukan lewat pengujian peraturan perundang-undangan. Sekarang ini, Perda yang dianggap bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau bertentangan dengan peraturan yang

16 S. Pamudji, Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1985, hal 16.

lebih tinggi dapat diuji oleh dua lembaga lewat dua model kewenangan, yaitu judicial review oleh Mahkamah Agung dan executive review oleh Pemerintah c.q Departemen

Dalam Negeri. 17 Mahkamah Agung sebagai lembaga yang melakukan kekuasaan kehakiman

diberi kewenangan oleh UUD 1945 untuk dapat melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar terhadap undang-undang. Kewenangan demikian ini kemudian dikenal dengan istilah judicial review atau pengujian peraturan perundang-undangan oleh lembaga kehakiman. Selain Mahkamah Agung, kewenangan judicial review juga dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi yang berwenang menguji undang-undang terhadap UUD. Bila dikaitkan dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, maka Mahkamah Agung memiliki kewenangan menguji: Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah.

Dasar kewenangan Mahkamah Agung dapat melakukan pengujian terhadap tiga jenis peraturan di atas dimuat dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Mulai dari dasar konstitusional dalam Pasal 24 A ayat (1) UUD 1945, kemudian Pasal

11 ayat (2) huruf b UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, selanjutnya Pasal 31 ayat (2) UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.

14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung: Mahkamah Agung memberi ukuran atau alasan suatu peraturan di bawah undang-undang dapat dibatalkan, yaitu: karena

17 Ibid., hal. 17.

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (aspek materil), atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku (aspek formil).

Pasal 24 A ayat (1) UUD 1945: Mahkamah agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.

Pasal 11 ayat (2) huruf b Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman: Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung.

Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung: Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.

Untuk melaksanakan kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 1999 tentang Hak Uji Materil yang sudah diganti dengan Perma No. 1 Tahun 2004. Anehnya, Perma ini mempersempit kewenangan pengujian oleh Mahkamah Agung yang oleh UUD dan UU diberi kewenangan menguji materil dan formil peraturan perundang-undangan menjadi hanya melakukan pengujian materil terhadap materi muatan peraturan perundang-undangan. Hal ini berarti Mahkamah Agung tidak Untuk melaksanakan kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 1999 tentang Hak Uji Materil yang sudah diganti dengan Perma No. 1 Tahun 2004. Anehnya, Perma ini mempersempit kewenangan pengujian oleh Mahkamah Agung yang oleh UUD dan UU diberi kewenangan menguji materil dan formil peraturan perundang-undangan menjadi hanya melakukan pengujian materil terhadap materi muatan peraturan perundang-undangan. Hal ini berarti Mahkamah Agung tidak

Sejak tahun 2003 sampai tahun 2007, Mahkamah Agung telah menerima 175 permohonan pengujian peraturan perundang-undangan, 28 dari jumlah itu adalah

permohonan pengujian Perda. 18 Kewenangan Mahkamah Agung melakukan pengujian Perda lahir dari

kewenangan yang disebut judicial review. 19 Dalam hal itu, maka Mahkamah Agung adalah lembaga yang diberi tugas menyelesaikan konflik norma yang timbul dari

lahirnya suatu produk peraturan perundang-undangan misalkan Perda. Dalam menjalankan fungsi itu, Mahkamah Agung bersifat pasif menanti datangnya permohonan keberatan dari para pihak yang berkepentingan di daerah. Ukuran yang dijadikan Mahkamah Agung dalam menguji Perda adalah menjawab pertanyaan, apakah suatu Perda: bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi, dan/atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. 20 Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) Perma No. 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji

Material, bila satu Perda yang dimohonkan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan/atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku, maka Mahkamah Agung mengabulkan permohonan dan memerintahkan pemerintah daerah

18 Iman Nugraha., Op.Cit. 19 Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 1992, hal. 99. 20 Iman Nugraha., Op.Cit.

bersama dengan DPRD untuk mencabut Perda tersebut paling lama dalam waktu 90 hari. Terhadap putusan pembatalan Perda yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung tidak dapat diajukan peninjauan kembali (PK).

Berdasarkan Pasal 2 ayat (4) Perma No. 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Material ditemukan bahwa Perda atau peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang lainnya hanya dapat diajukan permohonan keberatan (pengujian) kepada Mahkamah Agung paling lambat sebelum 180 (seratusdelapanpuluh) hari pengundangan peraturan tersebut. Batasan waktu ini tentu berimplikasi terhadap terbatasnya hak warganegara untuk mengajukan permohonan pengujian peraturan yang dianggap bermasalah dikemudian hari setelah 180 hari yang dibatasi oleh Mahkamah Agung tersebut.

Tidak jelas benar dari mana asal muasal batas waktu 180 tersebut, dan mengapa tidak lebih cepat atau lebih lambat dari 180 hari juga tidak ada seleksi waktu yang dapat dimengerti secara rasional, karena bila syarat untuk mengajukan permohonan keberatan terhadap berlakunya suatu Perda adalah anggapan kerugian publik dari pemohon, maka potensi kerugian publik itu tidak bisa dibatasi waktunya. Bisa saja, misalnya Perda yang sudah berlaku selama satu tahun dianggap tidak bermasalah oleh masyarakat, kemudian dua atau tiga tahun atau beberapa tahun setelah berlakunya Perda tersebut baru menimbulkan masalah sosial, sehingga bila hal tersebut terjadi maka masyarakat kehilangan hak untuk mengajukan permohonan karena dipangkas oleh aturan yang dibuat oleh Mahkamah Agung secara sepihak.

Salah satu kelemahan lagi dari Perma No. 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materil oleh Mahkamah Agung adalah tidak diaturnya batas waktu proses pengujian peraturan perundang-undangan, termasuk Perda, oleh Mahkamah Agung. Misalnya kapan dan berapa lama waktu penunjukan majelis hakim dilakukan dan berapa lama waktu maskimal yang dapat digunakan majelis hakim untuk memeriksa perkara pengujian peraturan. Ketiadaan pengaturan batas waktu proses itu sangat ironis mengingat dalam Perma tersebut Mahkamah Agung malah membatasi waktu hak warganegara untuk menyampaikan permohonan keberatan.

Ketiadaan batas waktu pengujian oleh Mahkamah Agung, apalagi ditengah menumpuknya perkara kasasi di Mahkamah Agung berpotensi membuat Perda yang sedang diuji terkatung-katung pelaksanaannya di daerah karena pengujian yang lama. Perma No 1 Tahun 2004 juga tidak merumuskan ruang bagi masyarakat untuk dapat mengawasi jalannya proses pengujian oleh Mahkamah Agung. Dari rumusan Perma No. 1 Tahun 2004 sendiri sudah nampak bahwa Mahkamah Agung masih bersifat tertutup, padalah objek yang sedang disengketakan adalah objek yang terkait dengan kepentingan publik, yaitu suatu peraturan (regeling) yang berlaku umum di

masyarakat. 21 Model pengujian Perda yang kedua dilakukan oleh pemerintah c.q Departemen

Dalam Negeri. Pengujian Perda oleh pemerintah atau yang dalam kajian pengujian peraturan (toetzingrecht) dikenal dengan istilah executive review lahir dari

21 Ibid.

kewenangan pengawasan pemerintah pusat terhadap penyelenggaraan (otonomi) pemerintahan daerah. 22

UU No 32 Tahun 2004 memberi perintah bahwa Perda yang dibuat oleh DPRD bersama kepala daerah agar disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan. Terkait dengan pembatalan Perda, Pasal 136 ayat (4) UU No 32/2004 tentang Pemda menyebutkan bahwa “Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.” Kemudian Pasal 145 ayat (2) UU tersebut menyebutkan “Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh pemerintah.” Ayat (3) menyebutkan “Keputusan pembatalan Perda ... ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya

menyebutkan “Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.”

Ada dua bentuk pengawasan dalam executive reviewi yang dapat dilakukan oleh pemerintah yaitu pengawasan preventif dan pengawasan represif. Pengawasan preventif dilakukan terhadap rancangan Perda yang bermuatan APBD, pajak daerah dan retribusi daerah serta Perda tata ruang. Pengawasan preventif terhadap rancangan Perda APBD, pajak daerah dan retribusi daerah serta tata ruang kabupaten/kota

22 Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), UU Press, Yogyakarta, 2005, hal. 47.

dilakukan oleh Walikota, sedangkan Pengawasan preventif terhadap rancangan Perda APBD, pajak daerah dan retribusi daerah serta tata ruang provinsi dilakukan oleh pemerintah (pusat). Selanjutnya pengawasan represif dilakukan terhadap seluruh Perda yang sudah dibuat oleh pemerintah daerah, termasuk Perda yang pada dasarnya sudah

dilakukan pengawasan preventif. 23 Berbeda dengan judicial review, Perda yang dilakukan pengawasan oleh

lembaga kehakiman, Mahkamah Agung, executive review Perda dalam bentuk pengawasan oleh pemerintah dilakukan melalui beberapa lembaga negara departemen, yaitu Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan terhadap Perda bermuatan keuangan, Kementerian Pekerjaan Umum terhadap Perda tata ruang, serta departemen sektoral sumberdaya alam terhadap Perda yang bermuatan sumberdaya alam. Tidak jarang proses evaluasi/pengujian Perda oleh pemerintah dilakukan lintas departemen yang dikoordinasikan oleh Departemen Dalam Negeri selaku “pembina” pemerintah daerah. Pengujian Perda merupakan kewenangan pemerintah dalam rangka pengawasan dan pembinaan terhadap penyelenggaraan otonomi daerah oleh pemerintah daerah.

Berdasarkan Pasal 26 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Rancangan Peraturan Daerah (RanPerda) dapat berasal dari DPRD atau kepala daerah (Gubernur, Bupati, atau Walikota). RanPerda yang disiapkan oleh Kepala Daerah disampaikan kepada DPRD.

23 Ibid.

RanPerda yang disiapkan oleh DPRD disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah.

Berdasarkan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pembahasan RanPerda di DPRD dilakukan oleh DPRD bersama Gubernur atau Bupati/Walikota. Pembahasan bersama tersebut melalui tingkat-tingkat pembicaraan, dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani legislasi, dan dalam rapat paripurna.

Berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan RanPerda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota disampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada Gubernur atau Bupati/Walikota untuk disahkan menjadi Perda, dalam jangka waktu paling lambat 7 hari sejak tanggal persetujuan bersama. Raperda tersebut disahkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota dengan menandatangani dalam jangka waktu 30 hari sejak Raperda tersebut disetujui oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota. Jika dalam waktu 30 hari sejak RanPerda tersebut disetujui bersama tidak ditandangani oleh Gubernur atau Bupati/Walikota, maka Raperda tersebut sah menjadi Perda dan wajib diundangkan.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan merupakan landasan yuridis pembentukan peraturan perundang- undangan baik di tingkat pusat maupun daerah. Undang-Undang ini memuat secara lengkap pengaturan baik menyangkut sistem, asas, jenis dan materi muatan, proses pembentukan yang dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan merupakan landasan yuridis pembentukan peraturan perundang- undangan baik di tingkat pusat maupun daerah. Undang-Undang ini memuat secara lengkap pengaturan baik menyangkut sistem, asas, jenis dan materi muatan, proses pembentukan yang dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan,

Untuk kepastian hukum dan ketertiban dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, di tingkat pusat telah ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan Perundang- Undangan.

Berdasarkan perintah Pasal 27 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dan Pasal 140 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, perlu ditetapkan Peraturan Presiden tentang Tata Cara Pengajuan Rancangan Peraturan Daerah. Rancangan Peraturan Presiden tersebut telah disiapkan oleh Departemen Dalam Negeri dan Departemen Hukum dan HAM dan telah disampaikan

kepada Presiden untuk ditetapkan menjadi Peraturan Presiden. 24

24 Ibid., hal. 47.

Urgensi pengaturan tata cara pengajuan Rancangan Peraturan Daerah adalah agar lebih tercapai koordinasi antara Satuan Kerja Perangkat Daerah dalam penyiapan Rancangan Peraturan Daerah dan efektifitas proses pengharmonisasian Rancangan Peraturan Daerah. Kondisi yang baik dalam perencanaan dan persiapan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah dan harmonisasi materi atau substansi Rancangan Peraturan Daerah antar Satuan Kerja Perangkat Daerah akan melahirkan Peraturan Daerah yang baik dan berkualitas.

Dokumen yang terkait

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL AGRIBISNIS PERBENIHAN KENTANG (Solanum tuberosum, L) Di KABUPATEN LUMAJANG PROVINSI JAWA TIMUR

27 309 21

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

ANALISIS PENGARUH MANAJEMEN LABA TERHADAP NILAI PERUSAHAAN (Studi Empiris Pada Perusahaan Property dan Real Estate Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia)

47 440 21

ANALISIS PENGARUH PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE TERHADAP KINERJA PEMERINTAH DAERAH (Studi Empiris pada Pemerintah Daerah Kabupaten Jember)

37 330 20

EFEKTIVITAS PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN (P3K) TERHADAP SIKAP MASYARAKAT DALAM PENANGANAN KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS (Studi Di Wilayah RT 05 RW 04 Kelurahan Sukun Kota Malang)

45 393 31

PENGALAMAN KELUARGA DALAM MERAWAT ANGGOTA KELUARGA DENGAN GANGGUAN JIWA (SKIZOFRENIA) Di Wilayah Puskesmas Kedung Kandang Malang Tahun 2015

28 256 11

STUDI PENGGUNAAN SPIRONOLAKTON PADA PASIEN SIROSIS DENGAN ASITES (Penelitian Di Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Malang)

13 140 24

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65