Kedudukan Lembaga Kejaksaan dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia

BAB II
KEDUDUKAN KEJAKSAAN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN
REPUBLIK INDONESIA
A. Sejarah Kejaksaan dan Jaksa Agung di Indonesia
Jaksa sudah ada sejak zaman raja-raja berkuasa di Nusantara. Tetapi
Kejaksaan baru ada di Indonesia pada pertengahan abad ke 19, sewaktu
Pemerintah Kolonial (Gubernur Hindia Belanda) mengeluarkan “Reglemen Bumi
Putera” atau Inlandsch Reglement 98 (disingkat IR) dan “Reglemen Organisasi
Pengadilan” atau Reglement op de Rechterlijke Organisatie (disingkat RO). 99 IR
1848 merumuskan, antara lain, hukum acara pidana, sedangkan RO merumuskan
Badan Penuntut Umum pada Pengadilan Bumi Putera (Landraad) maupun pada
Pengadilan Golongan Eropa (Raad van Justitie). 100 Di zaman kolonial, jaksa
untuk golongan Eropa, sebutannya officier van justitie. Sedangkan untuk orang
Indonesia asli sebutanya djaksa, perubahan dari adhyaksa, sebutan jaksa di zaman
kuno.
Pada akhir tahun 1941, IR menjadi Reglemen Bumi Putera yang
Dibaharui, kemudian menjadi Reglemen Indonesia yang Dibaharui (RIB) yang

98

Indische Reglement disusun oleh MR.H.L.Whicers mulai berlaku sejak tanggal 1 Mei

1848 sebagai hukum acara pidana dan hukum acara perdata bagi Golongan Bumi Putera.
Sedangkan untuk Golongan Eropa berlaku Reglement op de Strafvordering dan sebagai hukum
acara perdata Reglement op Rechtsvordering. Lihat dalam buku Yesmil Anwar dan Adang,
Pembaruan Hukum Pidana, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, tahun terbit tidak
diketahui), hlm. 41.
99
RM Surachman & Jan Maringka, Eksistensi Kejaksaan Dalam Konstitusi di Berbagai
Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), hlm. 40.
100
IR berlaku dalam yuridiksi-yuridiksi di Pulau Jawa dan Madura di bawah kewibawaan
atau pengawasan seorang Magistraat yang diemban oleh seorang Resident (di Ibukota
Karesidenan), dengan dibantu oleh para Assistant Resident (AR) di Kabupaten-kabupaten. Jabatanjabatan tersebut adalah jabatan-jabatan bagi orang-orang Belanda. Residen bertanggung jawab
kepada Gubernur Provinsi. Baca Ibid.hlm 40-41

33

Universitas Sumatera Utara

34


dalam bahasa aslinya disebut Herziene Inlandsch Reglement (HIR) 101 guna
mengatur proses peradilan bagi golongan pribumi (masyarakat Indonesia pada
zaman penjajahan Belanda). 102
Selain mengatur tentang Hukum Acara Pidana bagi golongan Bumiputera
(IR yang kemudian diperbaharui menjadi HIR) tersebut juga mengatur hal-hal
tentang kewajiban melakukan pekerjaan/tugas Polisi dan tentang mencari
kejahatan dan pelanggaran pada umumnya, 103 yang dilaksanakan oleh kepala desa
dan sekalian pegawai bawahan yang lain, kepala distrik dan pejabat yang
diperbantukan kepadanya, Kepala Jaksa dan Jaksa, Bupati dan Patih, Residen,
begitu pula dengan Asisten-Residen diluar wilayah. 104 Kemudian kewajiban
tersebut juga diberikan bagi kepala bangsa Asing di lingkungannya masingmasing. 105
RM Surachman dan Jan Maringka mengatakan bahwa para jaksa
dikatakan termasuk korsa (korps; corps) pangreh praja 106 yang merupakan
pegawai negeri (bhinnenlandsch ambtenaar; civil servant), bukan korsa pegawai

101

Pada kenyataannya, apabila Herzeine Indislandsch Reglement dibandingkan dengan
hukum acara pidana bagi golongan Eropa yang diatur dalam Reglement op de Strafvordering (ROS:
Staatblad 1817 No. 14), ROS dianggap jauh lebih baik dari pada HIR terkhusus mengenai aturan

tentang jaminan-jaminan perlindungan hak-hak tersangka atau terdakwa. Baca pada Yesmil Anwar
dan Adang, Op.cit. hlm 40
102
Ibid.
103
Diuraikan pada Bab I dan II Herziene Indlandsch Reglement. Yang dimaksud
"melakukan tugas kepolisian" dalam pasal ini dengan singkat ialah "menjaga ketertiban dan
keamanan umum" bagi kepentingan negara yang bersangkutan, pada zaman pemerintah Hindia
Belanda untuk menegakkan penjajahan Belanda dan pada masa pendudukan tentara Jepang untuk
memenangkan perang Asia Timur Raya.
104
Pasal 1 ayat (1) sampai (6) Herziene Indlandsch Reglement.
105
Pasal 2 Herziene Indlansch Reglement.
106
Pangreh praja/pang-reh pra-ja/ pangréh praja/ ark n penguasa lokal pada masa
pemerintahan kolonial Belanda untuk menangani daerah jajahannya; pamong praja. Lihat
Departemen Pendidikan Nasional, Op.cit, hlm. 942.

Universitas Sumatera Utara


35

kehakiman (judicial service).

107

Contoh konkretnya, seorang Mantri Polisi

Kecamatan yang telah berpengalaman selama bertahun-tahun dapat diangkat
menjadi Camat (Asisten Wedana). Tetapi ada juga Mantri Polisi yang dapat
diangkat menjadi Ajun Jaksa. Demikian juga Camat setelah berpengalaman
bertahun-tahun dapat menjadi Wedana. Akan tetapi, ada pula sebagian Camat
yang diangkat menjadi Jaksa. Setelah berpengalaman bertahun-tahun baru Jaksa
tersebut dapat diangkat menjadi “djaksa kepala” (Hoof djaksa) atau Kepala
Kejaksaan. 108
Namun demikian Jaksa dimasa IR 1848 bukanlah penuntut umum yang
berwenang penuh 109, melainkan jaksa yang belum mumpuni, (belum volwaardig)
dan kedudukannya sebagai hulpmagistraat (ajun magistrate) yang bertanggung
jawab kepada Residen di masing-masing keresidenan. 110 Sebaliknya pada Badan

Penuntut Umum (Openbaar Ministerie di Belanda, atau disingkat OM) untuk
pengadilan bagi Golongan Eropa yang dipimpin oleh Procureur Generaal, yaitu
Jaksa Agung pada Mahkamah Agung (Hooggerechtshof) Hindia Belanda di
Batavia. Jadi di masa kolonial, badan penuntut umum untuk golongan Eropa ini
termasuk korsa pegawai kehakiman (judicial service), bukan korsa pegawai negeri
(civil service). 111

107

RM Surachman dan Jan Maringka, Eksistensi … Op.cit, hlm. 41.
Ibid.
109
Pasal 46 ayat (2) berbunyi “Kalau tidak ditentukan orang yang lain, maka yang
dikatakan pegawai-pegawai penuntut umum dalam reglemen ini, ialah jaksa jaksa pada pengadilan
negeri.”
110
RM Surachan dan Jan Maringka,Eksistensi … Op.cit.hlm. 41
111
Ibid.
108


Universitas Sumatera Utara

36

Tidak dapat disangkal, Badan Penuntut Umum (Kejaksaan) Indonesia
modern merupakan adaptasi dari Badan Penuntut Umum atau Openbaar Ministrie
(disingkat OM) di Belanda. Adapun OM di Belanda merupakan adaptasi dari
Badan Penuntut Umum Perancis era Napoleon Bonaperte yang dikenal sebagai
Ministere Publique (Pengadilan Agung). 112
Selanjutnya, dalam masa pendudukan Pemerintah Bala Tentara
Kekaisaran Jepang (1941-1945) di Indonesia tidak terjadi perubahan yang terlalu
mendasar kecuali dihapusnya Raad van Justice sebagai pengadilan untuk
golongan Eropa 113 dan digantikan dengan Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri),
Kootoo Hooin (Pengadilan Tinggi), dan Saikoo Hooin (Mahkamah Agung). Pada
pengadilan-pengadilan tersebut masing-masing dibentuk Kejaksaan Pengadilan
Negeri (Tihoo Kenkatsu Kyoku), Kejaksaan Pengadilan Tinggi (Kootoo Kensatsu
Kyoku), dan Kejaksaan Agung (Saiko Kenkatsu Kyoku). 114
Badan-badan peradilan tersebut merupakan pengadilan bagi semua
golongan penduduk (Indonesia, Timur Asing, dan Eropa), kecuali bangsa Jepang.

Dengan kata lain, badan-badan peradilan pada masa pendudukan militer Jepang

112

Ibid.
Ketentuan tersebut berlaku dengan dikeluarkannya Osamu Serei (Undang Undang)
Nomor 1 tahun 1942 yang mulai berlaku pada tanggal 7 Maret 1942. Maka dikeluarkan aturan
Peralihan di Jawa dan Madura yang berbunyi: “Semua badan-badan pemerintah dan
kekuasaannya, hukum dan Undang-undang dari pemerintah zaman dahulu tetap diakui sah buat
semenara waktu asal saja tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer” yang tujuannya
agar Hukum Acara yang sebelumnya tetap digunakan. Lihat buku Yesmil Anwar & Adang, Op.cit.
hlm. 42. Istilah Kejaksaan juga dipergunakan secara resmi melalui undang-undang tersebut yang
kemudian diganti dengan Osamu Seirei No. 3 Tahun 1942 dan No. 2 Tahun 1944.
114
RM Surachman dan Jan Maringka, Eksistensi Op.cit. hlm 42
113

Universitas Sumatera Utara

37


tidak memiliki kewenangan untuk melakukan investigasi dan menyidangkan
tersangka maupun terdakwa yang berkewarganegaraan Jepang. 115
Berdasarkan Osamu Seirei No. 3 Tahun 1942 Pasal 2, Kejaksaan
(Kensatsu Kyoku) ditugaskan untuk: 116
1. menyelidiki kejahatan dan pelanggaran,
2. menurut perkara,
3. menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal,
4. mengurus pekerjaan lain-lain wajib dilakukan menurut hukum.
Periode pendudukan Jepang ini sangat penting dalam sejarah Kejaksaan
Indonesia, karena jaksa dan kejaksaan menjadi berwenang penuh, menggantikan
para Magistrat (Magistraaten), para penuntut umum Belanda (officieren van
justitie) dan badan penuntut umum (Openbaar Ministerie). Sedangkan kepolisian,
seperti di Jepang dan di Belanda, merupakan auxiliary agency, dan menurut HIR
1941 berstatus dan hubungan antara kedua penegak hukum tersebut sewaktu di
tahun 1945 Indonesia memproklamasikan kemerdekaan.
Selain melakukan perubahan pada badan peradilan, pihak Jepang juga
meniadakan Magistraat dan officier van justicie yang merupakan alat penuntut
umum pada masa penjajahan Belanda. Tugas dan wewenang mereka dibebankan
kepada penuntut umum Bumiputera (Jaksa) di bawah pengawasan Kepala Kantor

Kejaksaan bersangkutan, yang merupakan seorang Jaksa Jepang dan membuat
kedudukan Jaksa sebagai satu-satunya penuntut umum. 117

115

Ibid. hlm 43
Marwan Effendy, Op.cit. hal 65-66
117
Ibid. hlm. 66
116

Universitas Sumatera Utara

38

Memasuki masa proklamasi kemerdekaan Indonesia, dalam Aturan
Peralihan yang dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 118
menyatakan peraturan yang masih ada tetap berlaku sampai digantikan dengan
peraturan yang baru 119. Jadi secara yuridis formal Lembaga Kejaksaan Republik
Indonesia sudah ada sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan yang

ditegaskan dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 jo PP No. 2 Tahun 1945,
ketentuan yang digariskan oleh Osamu Serei No. 3 Tahun 1945 menyatakan Jaksa
merupakan satu-satunya pejabat penuntut umum di Negara Republik Indonesia
Proklamasi berdasarkan. Marwan Effendy dalam bukunya juga mengatakan tepat
pada tanggal 19 Agustus, Rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
memutuskan mengenai kedudukan Kejaksaan dalam struktur Negara Republik
Indonesia dalam lingkungan Departemen Kehakiman. 120
Pada saat itu, kedudukan Kejaksaan Agung RI sebagai badan negara
(staatorgan) dalam UUD 1945 pada dasarnya melanjutkan apa yang sudah
dirumuskan di dalam Indische Staatsregeling (IS). 121 Dalam ketentuan perundangundangan yang dimaksud, Kejaksaan Agung berdampingan dengan Mahkamah

118

Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 berbunyi “Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia mengatur dan menyelenggarakan kepidahan Pemerintahan kepada Pemerintah
Indonesia.”
119
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 berbunyi “Segala Badan Negara dan Peraturan
yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang
Dasar ini.”

120
Marwan Effendy. Op,cit. hlm. 67
121
Indische Staatsregeling (I.S.) semacam UUD Dependence State (negara yang belum
merdeka) di jaman Hindia Belanda. I.S. merupakan peraturan ketatanegaraan Indonesia yang
menggantikan Regering Reglement (R.R.). Sejak tanggal 23 Juli 1925 R.R. diubah menjadi I.S.
yang termuat dalam Stb 1925 No. 415, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1926. Lihat
dalam
Ilham
Mahendra,
Diktat
Pengantar
Hukum
Indonesia,
(diakses
dari
https://ilhamendra.files.wordpress.com/2009/02/diktat-phi-sejarah.pdf), terakhir diakses pada
14/07/2016 pukul 23.02 wib.

Universitas Sumatera Utara

39

Agung. Sedangkan administratif, seperti pengadilan, kejaksaan berada di bawah
Kementrian Kehakiman. 122
Mengingat keadaan seperti itu, dalam rapat Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agugstus 1945, Soepomo, perancang
utama UUD (the leading framer of the constitution) menjelaskan, tugas pokok
Kementrian Kehakiman meliputi perihal administrasi pengadilan, kejaksaan,
penjara, hukum pernikahan menurut hukum Islam, pengurusan wakaf dan
zakat. 123
Menyimak pemikiran para penyusun UUD 1945, di zaman pendudukan
Jepang, menurut Yusril Ihza Mahendra, jelas sekali kekuasaan kehakiman
mengikuti perumusan yang sangat dipengaruhi buah penalaran Muh. Yamin,
seorang yuris lulusan Fakultas Hukum yang di masa itu disebut “Sekolah Tinggi
Hukum” (Rechts Hooge School/RHS). Tidak terlalu mengherankan, mengapa
tokoh penting dalam ilmu hukum dan ilmu sastra di Indonesia ini sedikit banyak
dibayangi sistem yudikatif. 124 Perhatiannya

difokuskan

pada

kekuasaan

kehakiman yang merdeka, yaitu badan-badan peradilan, dalam konteks
pengadilan, bukam dalam konteks keseluruhan sistem peradilan pidana (criminal
justice system). Teori mengenai komponen-komponennya yang berfungsi sebagai
penyelenggara proses peradilan, waktu itu belum dikenal. Dalam pikiran Yamin,
Kejaksaan ialah apa yang dikenal pada masa itu, baik dipraktikkan di Belanda
122

Marwan Effendy. Op,cit. hlm.67
RM Surachman & Jan Maringka, Eksistensi … Op.cit. Hlm 49
124
Yuzril Izha Mahendra, Kedudukan Kejaksaan dan Posisi Jaksa Agung dalam sistem
presidensial di bawah UUD 1945, (diakses dari http://yusril.ihzamahendra.com/2010/08/20/
kedudukan-kejaksaan-dan-posisi-jaksa-agung-dalamsistem-presidensial-di-bawah-UUD-1945-oleh
-prof-dr-yusril-ihza-mahendra?), terakhir diakses pada 14/07/2016 pukul 23:11 wib.
123

Universitas Sumatera Utara

40

maupun Hindia Belanda. Akibatnya dalam keseluruhan proses perdebatan UUD
1945 status kejaksaan tidak pernah dibahas. Demikian juga kepolisian tidak
pernah diperdebatkan.
Maka dari itu, tahun 1945 dan beberapa tahun setelah Indonesia merdeka,
Kejaksaan dan Jaksa Agung sangat kuat, meskipun tidak diatur dalam UUD 1945.
Di antara para Pendiri Republik, tidak sedikit yang bergelar meester in de rechten
(mr), setara dengan magister hukum atau strata dua sekarang. Para yuris tersebut,
terutama

Soepomo

dan

Muh.

Yamin,

benar-benar

mengetahui

betapa

signifikannya peran dan kedudukan jaksa hingga saat itu. Akan tetapi mereka
tidak memasukkan kejaksaan kedalam UUD, justru karena mengetahui posisi
Badan Penuntutan (Kejaksaan) di Belanda, yang disebut Openbaar Ministerie
(OM). Seperti Ministere Publique bentukan Kaisar Napoleon di Perancis, OM
berada di bawah Menteri Kehakiman.

125

Pada masa setelah Dekrit Presiden (5 Juli 1959-11 Maret 1966) terjadi
perubahan dalam status Kejaksaan dari lembaga nondepartemen di bawah
Departemen Kehakiman menjadi lembaga yang berdiri sendiri, yang dilandaskan
pada Keputusan Presiden No. 204 Tahun 1960 Tanggal 15 Agustus 1960 yang
belaku surut terhitung mulai tanggal 22 Juli 1960. 126 Kemudian Pimpinan Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong dengan surat Nomor: 5261/DPR-GR/1961
Tanggal 30 Juni 1961 dan surat Nomor: 5263/DPR-GR/1961 Tanggal 30 Juni
125

RM Surachman dan Jan Maringka, Eksistensi … Op.cit. hlm 50
Peristiwa perubahan status lembaga Kejaksaan tersebut didahului dengan berubahnya
kedudukan Jaksa Agung dari pegawai tinggi Departemen Kehakiman menjadi Menteri ex Officio
dalam Kabinet Kerja I dan kemudian Menteri dalam Kabinet Kerja II, III, dan IV, Kabinet
Dwikora dan Kabinet Dwikora yang disempurnakan, yang merupakan Jaksa Agung pertama yang
menyandan status Menteri, walaupun hanya Menteri ex Officio. Lihat Ibid. hlm68-69
126

Universitas Sumatera Utara

41

1961 perihal Pengesahan Rancangan Undang-undang Tentang Kentuan-ketentuan
Pokok Kejakasaan Republik Indonesia oleh Presiden Ir. Soekarno menjadi
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kejaksaan Republik Indonesia. 127 Untuk mengatur dan menetapkan kedudukan,
tugas, dan wewenang Kejaksaan dalam kerangka sebagai alat revolusi dan
menempatkan Kejaksaan dalam struktur organisasi departemen disahkan UndangUndang No. 16 Tahun 1962 tentang Pembentukan Kejaksaan Tinggi. 128
Dengan keluarnya Keputusan Presiden Nomor 204 tahun 1960 pada
tanggal 22 Juli 1960 (oleh Presiden Soekarno) dengan jelas memisahkan
Kejaksaan dari Kementrian Kehakiman dari Mahkamah Agung. Kejaksaan
bertransformasi menjadi suatu institusi yang berdiri sendiri di luar Departemen
Kehakiman dan langsung menjadi bagian dari kabinet. Keppres tersebut
merupakan landasan hukum pertama yang memposisikan Kejaksaan menjadi
benar-benar bagian dari domein eksekutif. 129
Suatu hal yang menjadi pertanyaan adalah, apakah sudah tepat bila
kedudukan kejaksaan diletakkan di bawah kekuasaan eksekutif? Apabila kita
mengacu pada teori Separation of Power, Montesquieu tidak memberikan
pemikiran dimana letak sistem penuntutan, karena teori Separation of Power pada
saat itu tujuan dari teori tersebut hanya untuk mencegah terjadi kekuasaan raja

127

Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, Sejarah Kejati Jateng, (diakses dari http://kt-jateng.
kejaksaan. go.id/main/profile/sejarah.html), terakhir diakses pada tanggal 02 Juli pukul 23:41 wib.
128
Marwan Effendy, Op.cit. hlm. 69
129
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

42

yang mutlak. 130 Oleh karena itu, letak sistem penuntutan menjadi pemikiran yang
serius dalam teori ilmu hukum dan pembagian kekuasaan negara menjadi tiga
bagian perlu dipikirkan kembali. 131
Sistem yang diterapkan oleh Presiden sukarno adalah sistem penuntutan
yang berada dibawah Kepala Pemerintahan. Sebenarnya praktek sistem
penuntutan- bermacam-macam bentuknya. Suatu negara tidak memiliki
keseragaman, masing-masing negara memiiliki model yang berbeda-beda. Bahkan
Kejaksaan RI sendiri yang merupakan adaptasi dari Kejaksaan Belanda memiliki
perbedaan-perbedaan. Pada negara-negara eropa kontinental dikaitkan dengan
teori pemisahan kekuasaan melahirkan beberapa model seperti 132:
1. Sistem penuntutan merupakan bagian eksekutif, berada dibawah Mentri
Kehakiman dan Kepala Pemerintahan. Model seperti ini disebut model perancis
(French Prosecutions model). Sistem ini diadopsi negara-negara lain seperti
Czech Republik, Belanda, Inggris, Jepang dan Indonesia.
2. Sistem penuntuan yang terpisah dan mandiri dari kekuasaan eksekutif, dan
bertanggung jawab kepada parlemen. Model ini dapat ditemukan pada negara
antara lain: Hungaria, Republik Slovakia, dan Macedonia.

130

Ilham
Mahendra,
Kekuasaan
Penuntutan,
(diakses
dari
https://ilhamendra.files.wordpress.com/2008/05/27kekuasaan-penuntutan.pdf) terakhir diakses
pada 11/10/2016 pukul 10.02 wib.
131
Ibid.
132
Selain pembagian 3 model tersebut menurut Milan Hanzel negara-negara Eropa
memiliki model penuntutan yang sangat berfariasi. “Existing models of prosecutions in Europe,
whisch vary considerably, can be assesed according to different criteria. Procecution can be
integrated and unique body with its own organizational structure; it can be established as several
independent bodiesindependent agent. However, it can be also subordinated body, authority at
courts and for courts, body with wide or narrow competencies, authorithy of penal proceedings or
authorit with competencies in area of public administration, etc.”Milan Hanzel. lihat Ibid.

Universitas Sumatera Utara

43

3. Sistem penuntutan merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman (yudikatif).
Model seperti ini ditemukan pada negara-negara, antara lain Italian dan Bulgaria.
Semua model diatas hanya bersifat fungsional untuk mencari jawaban
mana dari tiga model tersebut yang dapat menciptakan lembaga kejaksaan yang
ideal. Ideal yang dicari disini adalah lembaga kejaksaan yang independen secara
kelembagaan maupun independen secara fungsional. Independen yang dimaksud
tidak adanya ancaman maupun campur tangan kekuasaan lembaga negara lainnya.
Independensi ini disebut dengan external institution independence. 133
Memasuki masa Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto (19661998), Kejaksaan mengalami banyak perubahan, mulai dari perubahan pimpinan,
stuktur organisasi maupun tata kerja.Perubahan pimpinan pertama kali terjadi
pada tanggal 27 Maret 1966 dengan digantinya Menteri/Jaksa Agung Sutardhio
oleh Brigjen. Sugih Arto, Asisten I Menteri/Panglima Angkatan Darat, sehari
sebelum dibubarkannya Kabinet Dwikora yang Disempurnakan dan diganti
dengan Kabinet Dwikora yang Disempurnakan Lagi. Ketika itu organisasi
Kejaksaan di bawah kordinasi Wakil Perdana Menteri Bidang Pertahanan dan
Keamanan yang merangkap Menteri Angkatan Darat, Letjen. Soeharto. Setelah
perubahan pimpinan berdasarkan Surat Keputusan Wakil Perdana Menteri Bidang
Pertahanan dan Keamanan No.: KEP/A/16/1966 Tanggal 20 Mei 1966, dilakukan
perubahan dan pembaharuan mengenai Pokok-pokok Organisasi Kementrian
Kejaksaan, yang intinya sebagai berikut 134:

133
134

Ibid
Ibid. hlm 70

Universitas Sumatera Utara

44

1. Menteri/Jaksa Agung memimpin langsung Kementrian Kejaksaan dengan
dibantu oleh tiga orang Deputi Menteri/Jaksa Agung, masing-masing
dalam bidang-bidang Intelijen/Operasi, Khusus dan Pembinaan, dan
seorang Pengawas Umum (Inspektur Jendral)
2. Ketiga Deputi dan Pengawas Umum dalam melaksanakan tugasnya
dipimpin dan dikoordinasikan oleh Menteri/Jaksa Agung;
3. Di bawah para Deputi ada direktorat-direktorat, biro dan seksi, sedangkan
di bawah Pengawasan Umum hanya ada inspektorat-inspektorat.
Menyusul setelah perubahan organisasi adalah perubahan dalam susunan
para pembantu Menteri/ Jaksa Agung berdasarkan Surat Keputusan Wakil
Perdana Menteri Bidang Pertahanan dan Keamanan No.: KEP/E/40/1966 Tanggal
15 Juni 1966.
Pada tanggal 25 Juli 1966 Kabinet Dwikora yang Disempurnakan Lagi
dibubarkan dan dibentuklah Kabinet Ampera, dimana Jaksa Agung tidak
dicantumkan sebagai Menteri dalam rangka pemurnian pelaksanaan UndangUndang Dasar 1945 status Kejaksaan sebagai Departemen ditiadakan dan
Kejaksaan Agung dinyatakan sebagai Lembaga Kejaksaan Tinggi Pusat dan Jaksa
Agung tidak diberi kedudukan Menteri. 135
Kemudian Kejaksaan Agung mengalami perubahan dalam bidang
organisasi yang ditetapkan oleh Jaksa Agung dalam Surat Keputusan Sementara
Jaksa Agung No.: KEP-086/D.A/7/1968 Tanggal 6 juli 1968. Setelah
memerhatikan hasil-hasil Musyawarah Kerja Kejaksaan seluruh Indonesia Tahun
135

Keputusan Presidium Kabinet Ampera No. 26/U/Kep/9/66 Tanggal 6 September 1966
tentang Penegasan Status Kejaksaan Agung.

Universitas Sumatera Utara

45

1967, keluarlah keputusan Presiden No. 29 Tahun 1969 Tanggal 22 Maret 1969
tentang Pokok-Pokok Organisasi Kejaksaan yang mencabut Keputusan Wakil
Perdana Menteri Bidang Pertahanan dan Keamanan No.: KEP-A/16/1966 Tanggal
20 Mei 1969 dan oleh Keppres No. 29 Tahun 1969 Bidang Operasi/Intelijen
dijadikan Bidang Intelijen. Menyusul pelaksanaan Keppres No. 29 Tahun 1969
dikeluarkan Surat Keputusan Jaksa Agung No.: KEP-061/D.A/7/1969 tentang
Tugas dan Organisasi Kejaksaan dan Kejaksaan Daerah. Dalam Musyawarah
Kerja Kejaksaan tahun 1971 dikeluarkan Keppres No. 29 Tahun 1971 yang dalam
pelaksanaannya dikeluarkan Keputusan

Jaksa Agung No.:KEP-022/D.A/5/71

Tanggal 15 Mei 1971 tentang Kelengkapan Susunan Organisasi Tata Kerja dan
Perincian Tugas Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Daerah dan mencabut Surat
Keputusan Jaksa Agung No.: KEP-061/.A/7/1969 Tanggal 4 Juli 1969.
Susunan organisasi dan tata kerja institusi Kejaksaan Republik Indonesia
mengalami perubahan yang

mendasar dengan keluarnya Keputusan Presiden

Republik Indonesia No. 55 Tahun 1991 tentang Susunan Organisasi dan Tata
Kerja Kejaksaan Republik Indonesia Tanggal 20 November 1991. Pada keputusan
sebelumnya, Keputusan Presiden No. 86 Tahun 1982 susunan organisasi
Kejaksaan terdiri dari 136:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Jaksa Agung;
Jaksa Agung Pembinaan;
Jaksa Agung Muda Pengawasan Umum;
Jaksa Agung Muda Intelijen;
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum;
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus;
136

Keputusan Presiden No 86 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Organisasi dan Tata
Kerja Kejaksan Republik Indonesia (Kutipan: Lembaran Lepas Sekretariat Negara Tahun 1991).

Universitas Sumatera Utara

46

7. Pusat Penelitian dan Pengembangan;
8. Instansi Vertikal: Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri.
Sedangkan dalam Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1991 terdiri dari 137:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Jaksa Agung;
Wakil Jaksa Agung;
Jaksa Agung Muda Pembinaan;
Jaksa Agung Muda Intelijen;
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum;
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus;
Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara;
Jaksa Agung Muda Pengawasan;
Kejaksaan di daerah: Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri
Pada periode Orde Baru ini terjadi sebanyak 7 (tujuh) kali pergantian

Jaksa Agung RI, yaitu, Sugih Arto, Ali Said, Ismael Saleh, Hari Suharto, dan
Sukarto Marmo Sudjono, Singgih 138 , A. Soedjono C. Atmonegoro 139 . Dengan
demikian, sampai pada masa tersebut kedudukan kejaksaan dalam sejarah
Ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan-perubahan untuk mendudukkan
dan memfungsikan Kejaksaan secara optimal. 140
Setelah berakhirnya masa orde baru yang ditandai dengan terjadinya
Reformasi di Indonesia, pada tubuh kejaksaan sendiri terjadi hingga 6 kali
pergantian Jaksa Agung dalam satu Periode. 141 Pada masa Reformasi ini juga
terjadi penambahan fungsi yang berkaitan dengan tugas dan wewenang Jaksa
137

Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia
(Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3451).
138
Munculnya Singgih sebagai Jaksa Agung menjadi fenomena baru di kalangan
kejaksaan. Sebab, sejak orde baru, baru kali ini jaksa agung diangkat dari kalangan jaksa sendiri
alias jaksa karier. Singgih (56 tahun) dilantik Presiden Soeharto menggantikan Almarhum
Sukarton Marmosudjono yang meninggal dunia pada 29 Juni 1990. Lihat Kejaksaan Agung RI,
Profil Jaksa Agung dari Masa ke Masa,(diakses dari https://www.kejaksaan.go.id/profil_
kejaksaan.php?id=12), terakhir diakses pada 13/07/2016 pukul 15:06 wib.
139
Ibid.
140
Marwan Effendy, Op.cit. hlm 72.
141
Kejaksaan Agung RI, Profil … Op.cit

Universitas Sumatera Utara

47

Agung yang dapat kita lihat dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun
1999 142 dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang tentang Peradilan
Hak Asasi Manusia. Dalam UU No. 26 Tahun 2000 hukum acara atas pelanggaran
HAM berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana yang terdiri
dari 143:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penangkapan.
Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penahanan.
Komnas HAM sebagai penyelidik berwenang melakukan penyelidikan.
Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penyidikan.
Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penuntutan.
Pemeriksaan dilakukan dan diputuskan oleh Majelis Hakim Pengadilan
HAM.
Dalam undang-undang tersebut dengan jelas kita dapat melihat Jaksa

Agung memperoleh kembali kewenangan untuk melakukan penyidikan dan
penuntutan perkara namun khusus pada penanganan perkara pelanggaran Hak
Asasi Manusia.
Namun di bidang penanganan perkara korupsi justru terhadap tugas dan
kewenangan

penyidikan

dan

penuntutan

Kejaksaan

justru

mengalami

pengurangan dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi pada tanggal 29
Desember 2003 144 yang merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002. 145 Marwan Effendy berpendapat hal ini terjadi karena pada Era
Reformasi perkara-perkara yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi disinyalir
142

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1999 Tentang Pencabutan
Undang-Undang Nomor Ii/Pnps/Tahun 1963 Tentang
Pemberantasan Kegiatan Subversi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 73)
143
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Peradilan Hak
Asasi Manusia (LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 208)
144
Keputusan Presiden Nomor 2666/M/2003
145
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137)

Universitas Sumatera Utara

48

masyarakat bernuansa politis dan tidak ditangani dengan serius oleh Kejaksaan.146
Adnan Buyung Nasution 147 juga mengatakan keadaan Kejaksaan yang seperti
sekarang ini sebenarnya amat jauh dari kondisi ideal sebuah institusi Kejaksaan di
sebuah negara hukum. Pada prinsipnya, Kejaksaan adalah satu dan tidak
terpisahkan, dengan Jaksa Agung yang berada di puncaknya (openbaar ministerie
een en ondeelbaar en de procureur generaal aan het hoofd). Permasalahannya
ketika kewenangan penuntutan ini terdapat pada KPK, maka dengan jelas
bertentangan dengan prinsip een en oondelbaar tersebut. Kewenangan penuntutan
harus tetap berada di dalam satu lembaga dan tidak terpisahkan, yaitu Institusi
Kejaksaan selaku Penuntut Umum (Openbaar Ministerie), yang berwenang
melakukan penuntutan seluruh kasus tanpa terkecuali, termasuk penuntutan
korupsi. 148
Selanjutnya dengan digantinya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991
Tentang Kejaksaan RI dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang
Kejaksaan Republik Indonesia. Kedudukan kejaksaan dalam Undang-Undang
dikatakan sebagai badan yang berwenang dalam penegakkan hukum dan keadilan
yang menjalankan kekuasaan negara dibidang penuntutan 149, kejaksaan dipimpin
oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada presiden.150

146

Marwan Effenfy, Op.cit. hlm 73.
Adnan Buyung Nasution, Reposisi Kejaksaan dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia,
(makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional Posisi Ideal Kejaksaan dalam Sistem
Ketetanegaraan Indonesia Berdasarkan UUD 1945),(Jakarta: Puslitbang, 2014), hlm.35.
148
Ibid, hlm. 36.
149
Pasal 2 (1) Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang ini
disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.
150
Pasal 19 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 berbunyi “Jaksa Agung diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden.
147

Universitas Sumatera Utara

49

Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri merupakan
kekuasaan negara khususnya di bidang penuntutan, dimana semuanya merupakan
satu kesatuan. 151
RM Surachman dan Jan Maringka dalam bukunya berpendapat bahwa
kedudukan kejaksaan dalam undang-undang tersebut masih samar (problematik,
ambigu), sehubungan dengan makna kekuasaan Kejaksaan dalam melakukan
kekuasaan negara dibidang penuntutan secara merdeka.

152

Karena dalam

pelaksanaannya, Undang-Undang 16 Tahun 2004 Tentang Kedudukan Kejaksaan
Republik Indonesia dituntut menjalankan fungsi dan kewenangan secara merdeka.
Namun di sisi lain, kemerdekaan itu rentan dengan intervensi apabila pemerintah
tidak benar-benar memiliki komitmen dalam menegakkan supremasi hukum,
mengingati Kejaksaan merupakan lembaga yang berada di bawah kekuasaan
eksekutif.
B. Kejaksaan Sebagai Lembaga Pemerintah yang Melaksanakan Kekuasaan
Negara di Bidang Yudikatif
Kekuasaan yudikatif atau yang sering disebut kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
151

Pasal 2 ayat 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 berbunyi “Jaksa Agung
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Dalam Penjelasan pasal 2 ayat 3 dikatakan “yang
dimaksud dengan “Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan” adalah satu landasan dalam
pelaksanaan tugas dan wewenangnya di bidang penuntutan yang bertujuan memelihara kesatuan
kebijakan dibidang penuntutan sehingga dapat menampilkan ciri khas yang menyatu dalam tata
pikir, tata laku, dan tata kerja Kejaksaan.
152
Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
menjelaskan bahwa dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh
kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan tersebut memiliki tujuan untuk
melindungi profesi kejaksaan yang digariskan dalam “Guidelines on The Role of Prosecutors” dan
“International Association of Prosecutor”. Lihat RM Surancham dan Jan Maringka, Eksistensi …
Op.cit. hlm 98-99

Universitas Sumatera Utara

50

yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya,
dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. 153
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, kejaksaan merupakan lembaga
yang berada di bawah kekuasaan lembaga eksekutif, namun termasuk salah satu
badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman menurut UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena menjadi bagian
dari lembaga peradilan.
Dalam Pasal 2 UU 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, dikatakan
bahwa kejaksaan merupakan lembaga pemerintah yang menjalankan kekuasan
pemerintah di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan pada undangundang dalam kekuasaan tersebut dilaksanakan secara merdeka dan Kejaksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah satu atau tidak terpisahkan.
Pelaksanaan kekuasaan negara ini diselenggarakan oleh Kejaksaan Agung yang
berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia dan daerah hukumnya
meliputi wilayah kekuasaan NKRI, Kejaksaan Tinggi yang berkedudukan di
ibukota provinsi yang daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi dan terakhir
Kejaksaan Negeri yang berkedudukan di ibukota kabupaten/kota yang daerah
hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota. 154
Kewenangan kejaksaan yang diatur dalam UU no 16 tahun 2004 tentang
Kejaksaan RI terbagi-bagi atas bidang pidana, perdata dan tata usaha negara serta

153
154

Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945
Pasal 3 – 4 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI

Universitas Sumatera Utara

51

bidang ketertiban dan kesejahteraan umum. Berikut adalah tugas dan kewenangan
Kejaksaan yang berkaitan dengan peradilan:
1. Bidang Pidana:
a. melakukan Penuntutan;
b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat,
putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang;
e. melengkapi perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan
tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya
dikoordinasikan dengan pihak penyidik.
Dalam hal penuntutan pihak Kejaksaan sebagai Penuntut Umum setelah
menerima berkas atau hasil penyelidikan dari penyidik segera setelah menunjuk
salah seorang jaksa untuk memperlajari dan menelitinya yang kemudian hasil
penelitiannya diajukan kepada Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari). Menurut Leden
Marpaung bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses
penuntutan yaitu 155:
a. Mengembalikan berkas perkara kepada penyidik karena ternyata belum
lengkap disertai petunjuk-petunjuk yang akan dilakukan penyidik
(prapenuntutan)
b. Melakukan penggabungan atau pemisahan berkas
c. Hasil penyidikan telah lengkap tetapi tidak terdapat bukti cukup atau
peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya
disarankan agar penuntutan dihentikan. Jika sara disetujui maka
diterbitkan surat ketetapan. Atas surat ketetapan dapat diajukan
praperadilan.
d. Hasil penyidikan telah lengkap dan dapat diajukan ke pengadilan Negeri.
Dalam hal ini Kajari menerbitkan surat penunjukkan Penuntutan Umum.
155

Leden Marpaun, Tindak Pidana Korupsi dan Pemecahannya, (Jakarta: Sinar Grafika
1992), hlm.19-20

Universitas Sumatera Utara

52

Penuntut umum membuat surat dakwaan dan setelah surat dakwaan
rampung kemudian dibuatkan surat pelimpahan perkara yang diajukan
kepada Pengadilan Negeri.
Selain tugas dan wewenang Kejaksaan yang diatur dalam Undangundang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, juga di
dalam KUHAP diatur tugas dan kewenangan tersebut. Berdasarkan itu menurut
Djoko Prakoso dapat diinventarisir kewenangan yang diatur dalam KUHAP
tersebut sebagai berikut. 156
a. Menerima pemberitahuan dari penyidik dalam hal penyidik telah mulai
melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana
(Pasal 109 ayat (1)) dan pemberitahuan baik dari penyidik maupun
penyidik pegawai negeri sipil yang dimaksud oleh Pasal 6 ayat (1) huruf b
mengenai penyidikan dihentikan demi hukum.
b. Menerima berkas perkara dari penyidik dalam tahap pertama dan kedua
sebagaimana dimaksud oleh Pasal 8 ayat (3) huruf a dan b dalam hal acara
pemeriksaan singkat menerima berkas perkara langsung dari penyidik
pembantu (Pasal 12).
c. Mengadakan pra penuntutan (Pasal 14 huruf b) dengan memperhatikan
ketentuan materi Pasal 110 ayat (3), (4) dan Pasal 138 ayat (1) dan (2).
d. Memberikan perpanjangan penahanan (Pasal 24 ayat (2), melakukan
penahanan rumah (Pasal 22 ayat (2), penahanan kota (Pasal 22 ayat (3)),
serta mengalihkan jenis penahanan (Pasal 23).
e. Atas permintaan tersangka atau terdakwa mengadakan penangguhan
penahanan serta dapat mencabut penangguhan dalam hal tersangka atau
terdakwa melanggar syarat yang ditentukan (Pasal 31).
f. Mengadakan penjualan lelang benda sitaan yang lekas rusak atau
membahayakan karena tidak mungkin disimpan putusan pengadilan
terhadap perkara itu memperoleh kekuatan hukum yang tetap atau
mengamankannya dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya (Pasal
45 ayat (1)).
g. Melarang atau mengurangi kebebasan hubungan antara penasehat hukum
dengan tersangka sebagai akibat disalahgunakan haknya (Pasal 70 ayat
(4)) dan mengawasi hubungan antara penasehat hukum dengan tersangka
156

Djoko Prakoso, Alat bukti dan Kekuatan Pembuktian didalam Proses Pidana,
(Yogyakarta: Liberty, 1988), hlm. 23-25

Universitas Sumatera Utara

53

tanpa mendengar isi pembicaraan (Pasal 71 ayat (1)). Dan dalam hal
kejahatan terhadap keamanan negara dapat mendengar isi pembicaraan
tersebut (Pasal 71 ayat (2)).
h. meminta dilakukan praperadilan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk
menerima sah atau tidaknya penghentian suatu penyidikan oleh penyidik
(Pasal 80). Maksud Pasal 80 inii adalah untuk menegakkan hukum,
keadilan dan kebenaran melalui sarana pengawasan secara horizontal.
i. Dalam perkara koneksitas, karena perkara pidana itu harus diadili oleh
pangedilan dalam lingkungan peradilan umum, maka penuntut umum
menerima penyerahan perkara dari oditur militer dan selanjutnya dijadikan
dasar untuk mengajukan perkara tersebut kepada pengadilan yang
berwenang (Pasal 91 ayat (1)).
j. Menentukan sikap apakah suatu berkas perkara memenuhi persyaratan
atau tidak untuk dilimpahkan ke pengadilan (Pasal 139).
k. Mengadakan tindakan lain antara lain meneliti identitas tersangka, barang
bukti dengan memperhatikan secara tefas batas wewenang dan fungus
antara penyidik, penuntut umum dan pengadilan (Pasal 14 huruf (i)).
l. Apabila penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat
dilakukan penuntutan, maka dalam waktu secepatnya ia membuat surat
dakwaan (Pasal 140 ayat (1).
m. Membuat surat penetapan penghentian penuntutan (Pasal 140 ayat (2)
huruf a).
n. Melanjutkan penuntutan terhadap tersangka yang dihentikan karena
adanya alasan baru (Pasal 140 ayat (2) huruf d).
o. Mengadakan penggabungan perkara dan membuatnya dalam suatu surat
dakwaan (Pasal 141)
p. Mengadakan pemecahan penuntutan (splitsing) terhadap satu berkas
perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan beberapa
orang tersangka (Pasal 142).
q. Melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan disertai surat dakwaan
beserta perkara (Pasal 143 ayat (1)).
r. Membuat surat dakwaan (Pasal 143 ayat (2)).
s. Untuk maksud penyempurnaan atau untuk tidak melanjutkan penuntutan,
penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan
menetapkan hari sidang atau selambat-lambatnya tujuh hari sebelum
sidang dimulai (Pasal 144).
Di samping itu, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 dan UndangUndang 5 Tahun 1991 mengatur tugas dan wewenang Jaksa Agung, yaitu:

Universitas Sumatera Utara

54

a. Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum
dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang
Kejaksaan;
b. B. Mengefektifkan proses penegakkan hukum yang diberikan
oleh Undang-Undang;
c. Mengkoordinasikan penanganan perkara pidana tertentu dengan
instansi terkait berdasarkan Undang-Undang yang pelaksanaan
koordinasinya ditetapkan oleh Presiden;
d. Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum;
e. Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah
Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara;
f. Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada
Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana;
g. Menyampaikan pertimbangan kepada Presiden mengenai
permohonan grasi dalam hal pidana mati;
h. Mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau
keluar wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia karena
keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, Pasal 36 ayat 1, 2, dan 3, dan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991, Pasal 33 ayat 1, 2, dan 3 sama-sama
menegaskan bahwa Jaksa Agung memberikan izin kepada tersangka atau
terdakwa untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit dalam negeri,
kecuali dalam keadaan tertentu dapat dilakukan perawatan di luar negeri. Izin
secara tertulis untuk berobat atau menjalani perawatan di dalam negeri diberikan
oleh Kepala Kejaksaan Negeri Setempat atas nama Jaksa Agung, sedangkan untuk
berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit di luar negeri hanya diberikan
oleh Jaksa Agung. Izin dimaksud hanya diberikan atas dasar rekomendasi dokter,
dan dalam hal diperlukannya perawatan di luar negeri rekomendasi tersebut
dengan jelas menyatakan kebutuhan untuk itu, yang dikaitkan dengan belum
mencukupinya fasilitas perawatan tersebut di dalam negeri.

Universitas Sumatera Utara

55

Secara keseluruhan tugas serta kewenangan Kejaksaan yang diatur dalam
Undang-Undang Kejaksaan Republik Indonesia maupun Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana digunakan oleh pihak Kejaksaan dalam usaha penegakkan
hukum tanpa terkecuali berdasarkan tugas dan wewenang yang dimiliki oleh
Kejaksaan, dapat dilihat bahwa antara penyidik, penuntut umum dan hakim dalam
rangka melaksanakan penegakkan hukum di bidang pidana dapat dikatakan
sebagai rangkaian kegiatan yang saling menopang satu sama lain. 157
2. Bidang perdata dan tata usaha negara: 158
Undang Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia menyebutkan bahwa dalam bidang perdata dan tata usaha kejaksaan
dengan kuasa khusus bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan
atas nama negara 159 serta dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum
kepada instansi pemerintah lainnya 160.
Di luar dari pada undang-undang kejaksaan, tugas pokok dan fungsi dari
lembaga kejaksaan juga diatur dalam Perpres RI Nomor 38 Tahun 2010 Tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI.
Pasal 24 ayat (1) undang-undang tentang kejaksaan berbunyi: “Jaksa
Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara mempunyai tugas dan wewenang
melaksanakan tugas dan kewenangan Kejaksaan di bidang perdata dan tata usaha
negara. (2) lingkup bidang perdata dan tata usaha negara sebagaimana ayat 1

157

Ibid, hal 26.
Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67
159
Pasal 30 ayat (2) Undang-undang No 16Tahun 2004
160
Pasal 34 ayat (2) Undang-undang No 16 Tahun 2004
158

Universitas Sumatera Utara

56

meliputi penegakan hukum, bantuan hukum, pertimbangan hukum, dan tindakan
hukum lain kepada negara atau pemerintah meliputi lembaga/ badan negara,
lembaga/instansi pemerintah pusat dan daerah, badan usaha milik negara/daerah
di bidang perdata dan tata usaha negara untuk menyelamatkan, memulihkan
kekayaan/keuangan negara, menegakkan kewibawaan pemerintah dan negara
serta memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat. 161
Berikut ini uraian berdasarkan ruang lingkup tugas dan kewenangan
Jaksa Agung Muda Perdata dan TUN
1. Penegakkan Hukum merupakan tugas Jaksa sebagai Pengacara Negara
untuk mengajukan gugatan atau permohonan kepada pengadilan di bidang
perdata sebagaimana ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan
dalam rangka memelihara ketertiban umum, kepastian hukum dan
melindungi kepentingan negara dan pemerintah serta hak-hak keperdataan
masyarakat. Contoh (i) mengajukan gugatan pembatalan perkawinan
(Pasal 26 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974), (ii) mengajukan permohonan
pembubaran PT dengan alasan PT melanggar kepentingan umum atau PT
melakukan perbuatan yang melanggar peraturan perundang undangan. (iii)
(Pasal 146 ayat (1) huruf a UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas). (iv) Mengajukan permohonan pailit dengan alasan kepentingan
umum. (Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundan Kewajiban Pembayaran Utang). (v) Pembatalan Paten (UU No.
14 Tahun 2001 tentang Paten pasal 91 ayat (4)).

161

Universitas Sumatera Utara

57

2. Bantuan Hukum merupakan tugas Jaksa sebagai Pengacara Negara dalam
bidang Perdata dan Tata Usaha Negara untuk melakukan pemberian jasa
hukum kepada Instansi Pemerintah atau Lembaga Negara atau BUMN
atau Pejabat Tata Usaha Negara untuk bertindak sebagai Kuasa Pihak
dalam perkara Perdata dan Tata Usaha Negara berdasarkan Surat Kuasa
Khusus.
3. Pertimbangan Hukum adalah tugas Jaksa Pengacara Negara untuk
memberikan pendapat hukum (Legal opinion/LO) dan/atau pendampingan
(Legal Assistance) di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara atas dasar
permintaan dari Lembaga Negara, instansi pemerintah di pusat/daerah,
BUMN/BUMD, yang pelaksanaannya berdasarkan Surat Perintah JAM
DATUN, Kajati, Kajari.
4. Tindakan Hukum lain adalah tugas Jaksa Pengacara Negara untuk
bertindak sebagai mediator atau fasilitator dalam hal terjadi sengketa atau
perselisihan antar lembaga negara, instansi pemerintah di pusat/daerah,
BUMN/BUMD di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara.
5. Pelayanan Hukum adalah tugas Jaksa Pengacara Negara untuk
memberikan penjelasan tentang masalah hukum perdata dan tata usaha
negara kepada anggota masyarakat yang meminta.
C.
Kejaksaan Sebagai Lembaga Pemerintah yang Melaksanakan
Kekuasaan di Bidang Non Yudisial
Kejaksaan

dalam

melaksanakan

fungsi

penuntutan,

tugas,

dan

wewenangnya, sebagai lembaga pemerintah harus mampu mewujudkan kepastian
hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan

Universitas Sumatera Utara

58

kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan
yang hidup dalam masyarakat. Kejaksaan juga harus mampu terlibat sepenuhnya
dalam proses pembangunan, antara lain turut menciptakan kondisi yang
mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila, serta berkewajiban untuk
turut menjaga dan menegakkan kewibawaan pemerintah dan negara serta
melindungi kepentingan masyarakat.
Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut
menyelenggarakan kegiatan 162:
a. Peningkatan Kesadaran Hukum Masyarakat;
Institusi Kejaksaan sebagai institusi penegak hukum merupakan salah satu dari
aspek dari struktur hukum disamping substansi hukum dan kultur hukum, dimana
ketiga aspek ini sangat mempengaruhi dan menjadi komponen pokok dalam
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan hukum dalam rangka mengatasi
persoalan hukum dalam arti secara luas dan khususnya masalah penegakan
hukum. Seperti diketahui tujuan penegakan hukum adalah sejalan dengan tujuan
hukum itu sendiri, yaitu mewujudkan ketertiban dan lainnya adalah untuk
tercapainya keadilan. Suatu ketertiban mustahil akan dapat diwujudkan, jika
hukum diabaikan. Kesadaran dan kepatuhan masyarakat terhadap hukum, tidak
saja berpengaruh terhadap ketertiban dan keadilan, tetapi berperan membentuk
kultur (budaya) hukum suatu masyarakat, karena mengatur perilaku. 163
162

Pasal 30 (3) UU Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia
Abdurrahman Misno, Teori Sistem Hukum Friedman, ( diakses dari http://dokumen.
tips / documents/ teori-sistem-hukum-friedman.html), terakhir di akses pada tanggal 06 Oktober
2016 pukul 01:12 wib.
163

Universitas Sumatera Utara

59

Kesadaran hukum ada pada diri setiap manusia, dengan tidak memandang bahwa
orang tersebut berpendidikan hukum atau tidak, dan asas hukum yang mengatakan
semua orang dianggap tahu akan norma-norma hukum yang berlaku
dimasyarakat, maka persoalan kesadaran hukum bukan hanya persoalan
sekelompok masyarakat yang memiliki pengetahuan tentang hukum. Namun
demikian selaku aparatur penegak hukum yang dituntut untuk berlaku dan
bersikap sesuai ketentuan hukum, baik didalam melaksanakan tugas maupun
diluar kedinasan.
Oleh karena itu Aparat Kejaksaan khususnya jaksa adalah individu
manusia yang dibentuk berdasarkan norma atau nilai-nilai yang ditentukan secara
sadar dalam ketentuan hukum. Norma hukum dan nilai-nilai yang hendak
ditanamkan dalam proses pembentukan jaksa, melalui pendidikan, tidak hanya
mengisyaratkan seorang jaksa memiliki pengetahuan ilmu hukum, akan tetapi
juga memberikan pemahaman akan tugas dan tanggung jawab sebagai penegak
hukum yang harus dijalankannya secara sadar, bertanggungjawab, berintegritas
dan bermoral. Dengan demikian pendidikan dan pelatihan yang dilakukan
aparatur Kejaksaan bukan hanya berkaitan penegakan hukum yang dilakukan
secara profesional, tegas, transparan, kredibel, adil dan berkepastian hukum saja,
akan tetapi juga bagaimana output yang dihasilkan dari kinerja institusi kejaksaan
dapat meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. Disamping itu, Intitusi
Kejaksaan juga melakukan berbagai kegiatan pendidikan secara informal, seperti
penerangan dan penyuluhan hukum disetiap lapisan masyarakat dan ikut serta

Universitas Sumatera Utara

60

dalam upaya edukasi penanaman nilai-nilai kejujuran dalam pergaulan seharihari. 164
b. Pengamanan Kebijakan Penegakkan Hukum;
Kebijakan penegakkan hukum ini meliputi proses yang dinamakan sebagai
kebijakan criminal atau criminal policy. Konsepsi dari kebijakan penegakkkan
hukum inilah yang nantinya akan diaplikasikan melalui tataran institusional
kejaksaan melalui suatu sistem yang akan

diaplikasikan melalui tataran

institusional melalui suatu sistem yang dinamakan Criminal Justice System
(Sistem Peradilan Pidana), karenanya ada suatu keterkaitan antara kebijakan
penegakkan hukum dengan sistem peradilan pidana, yaitu sub sistem dari sistem
peradilan pidana inilah yang nantinya akan melaksanakan kebijakan penegakkan
hukum berupa pencegahan dan penanggulangan terjadinya suatu kejahatan
dimana peran-peran dari sub sistem ini akan menjadi lebih acceptable bersamasama dengan peran masyarakat.
c. Pengawasan Peredaran Barang Cetakan;
Penjelasan ayat ini menyatakan bahwa tugas dan