Kedudukan Lembaga Kejaksaan dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia

(1)

DAFTAR PUSTAKA A.Buku

Amsari, Ferri, Perubahan UUD 1945: Perubahan Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013).

Armansyah, Pengantar Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, (Medan: USU Pers, 2012).

Arrasjid, Chainur, Dasar-Dasar Ilmu Hukum,(Jakarta: Sinar Grafika, 2008). Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2010).

________________, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013).

Cornford, James, The Constitution of The United Kingdom, (London: Institute for Policy Research,1991)

Damian, Edy dan Robert, N. Hornick, Indonesia’s Formal Legal System, An Introduction.( Bandung: Alumni, 1976).

De Cruz, Peter, Perbandingan Sistem Hukum, (Bandung: Nusa Media, 2010). Gunawan, Ilham, Peran Kejaksaan dalam Menegakkan Hukum dan Stabilitas

Politik, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994).

Hartanti, Evi, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012).

Ibrahim, Johnny, Teori & Metode Penelitian Hukum Normatif, (Jawa Timur: Bayu Media,2005).

Kansil, C.S.T., Ilmu Negara Umum dan Indonesia (Jakarta :PT Pradnya Paramita, 2001)

Kansil, C.S.T dan Kansil Christine S.T., Pengantar Ilmu Hukum Indoensia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011).


(2)

Manan, Bagir, Peranan Peraturan Perundang-undangan Dalam Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung: Armico, Bandung 1987).

Marpaung, Leden, Tindak Pidana Korupsi dan Pemecahannya, (Jakarta: Sinar Grafika 1992).

Marwan Effendy, Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum,(Jakarta: Gramedia, 2005).

Mawardi, Arsyad, Pengawasan & Keseimbangan antara DPR dan Presiden dalam Sistem Ketatanegaraan RI (Kajian Yuridis, Normatif, Empiris, Historis, dan Komprehensif),(Semarang: RaSAIL Media Group, 2013). MD, Mahfud. 2008. Perlukan Amandemen Kelima UUD 1945?,(Jakarta: Badan

Pembinaan Hukum Nasional-Departemen Hukum dan HAM)

Purba, Hasim, Suatu Pedoman Memahami Ilmu Hukum, (Medan: CV. Cahaya Ilmu, 2006).

Prakoso, Djoko, Alat bukti dan Kekuatan Pembuktian didalam Proses Pidana, (Yogyakarta: Liberty, 1988).

Pramono, B.S., Pokok-pokok Pengantar Ilmu Hukum, (Surabaya: Penerbit Usaha Nasional, tanpa tahun terbit).

Pramudya, Kelik dan Ananto Widiatmoko, Pedoman Etika Profesi Aparat Penegak Hukum :Hakim, Jaksa, Polisi, Notaris & Advokat, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010)

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum,(Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2010).

Surachman, RM & Jan Maringka, Eksistensi Kejaksaan Dalam Konstitusi di Berbagai Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015).

_____________________________, Peran Kejaksaan dalam Sistem Peradilan Pidana di Kawasan Asia Pasifik, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015).

Samidjo, Ilmu Negara, (Bandung: Armico, 2002).

Soekanto, Soerjono Faktor-Faktor yang memperngaruhi penegakkan hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013)

______________ dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatid, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1994).


(3)

Syafiie, Inu Kencana, Sistem Pemerintahan Indonesia, (Jakarta: Refika Aditama, 2005).

Utrecht, E., Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru, 1983).

Viswandro, Maria Matilda, & Bayu Saputra, Mengenal Profesi Penegak Hukum, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2015).

Yesmil, Anwar dan Adang, Pembaruan Hukum Pidana, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, tahun terbit tidak diketahui).

B.Kamus Hukum, Jurnal, Makalah

Adji, Indriyanto Seno, Kejaksaan Agung Kearah Reposisi Independensi & Konstitusionalitas, (makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional Posisi Ideal Kejaksaan dalam Sistem Ketetanegaraan Indonesia Berdasarkan UUD 1945),(Jakarta: Puslitbang, 2014).

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008)

Hamzah, Andi, Konsep dan Strategi pembaharuan Kejaksaan Republik Indonesia, (makalah disampaikan pada Workshop Governance Audit Of The Public Prosecutor Servive),( Bali, 2001).

Hamzah, Fahri, Peranan DPR RI dalam Menempatkan Posisi Ideal Kejaksaan pada Sistem Ketatanegaraan RI berdasarkan UUD 1945, (makalah disampaikan pada Seminar Nasional: Posisi Ideal Kejaksaan Dalam Sistem Ketatanegaraan RI Berdasarkan UUD 1945, Jakarta: Puslitbang Kejaksaan RI, 2014)

Harkriswono, Hakristuti, Kejaksaan Agung dalam Tatanan Kelembagaan: Beberapa Catatan Awal.(makalah disampaikan pada Seminar Hukum dalam Konteks Perubahan ke Dua UUD 1945 yang diselenggarakan oleh MPR dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta 24-26 Maret 200), hlm. 7.

Mahrus Ali, Pengawasan Peredaran Barang Cetakan, Due Process of Law dan Hak atas kebebasan mengeluarkan pendapat, (Jurnal Konstitusi, Volume 8, Nomor 4, Agustus 2011 ISSN 1829-7706, Vol. 531).


(4)

Nasution, Adnan Buyung, Reposisi Kejaksaan dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional Posisi Ideal Kejaksaan dalam Sistem Ketetanegaraan Indonesia Berdasarkan UUD 1945),(Jakarta: Puslitbang, 2014).

Puslitbang Kejaksaann Agung, Posisi Ideal Kejalsaan dalam Sistem Ketatanegaraan R.I. Berdasarkan UUD Tahun 1945, (Hasil Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung), (Jakarta : Puslitbang Kejaksaan

Agung, 2014).

C.Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang nomor 8 Tahun 1981 (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana)

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137)

Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Peradilan Hak Asasi Manusia (LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 208)

Keputusan Presidium Kabinet Ampera No. 26/U/Kep/9/66 Tanggal 6 September 1966 Tentang Penegasan Status Kejaksaan Agung.

Keputusan Presiden No 86 Tahun 1982 Tentang Pokok-Pokok Organisasi dan Tata Kerja Kejaksan Republik Indonesia (Kutipan: Lembaran Lepas Sekretariat Negara Tahun 1991).

Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3451).


(5)

Constitution of October 4, 1958 (UUD Perancis) Constitution of the Federal Republic of Nigeria1999 The Code For Crown Prosecutors 2013 (7th Edition)

D.Website

Aghnia, Adzkia, KPK INCAR PENYUAP SENGKETA DUA PILKADA DI KASUS AKIL MOCHTAR, CNN Indonesia, (edisi 28 November 2015)

(diakses

pada 24/06/2016 pukul 1:03 WIB)

Adji, Indriyanto Seno, Kejaksaan Agung dan Eksistensi Konstitusionalitas http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0406/22/opini/1097980.htm. (diakses pada 07/07/2016 pada pukul 00:18 wib)

Aidul, FA, Negara Hukum Indonesia: Dekolonisasi dan Rekonstruksi Tradisi, (Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 4 19 OKTOBER 2012: 489 – 505),

Wib).

Asshiddiqie, Jimly, Lembaga-Lembaga Negara, Organ Konstitusi Menurut

UUD 1945.

Attorney General’s Office, (diakes dari https://www.gov.uk/government/ organisations/attorney-generals-office), terakhir diakses pada 10/10/2016 pukul 21:52 wib

In brief. The Constitution of United Kingdom: “A Written or Unwritten Constitution?”,(diakses dari pukul 22:47 wib.

Kejaksaan Agung RI, Profil Jaksa Agung dari Masa ke Masa,(diakses dari

pada


(6)

Kejaksaan Agung RI, Visi & Misi, (diakses dari diakses pada tanggal 06 Oktober 2016 pukul 01:21 wib.

Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah. 2012. Sejarah Kejati Jateng. (diakses dari http://kt-jateng. kejaksaan. go.id/main/profile/sejarah.html), terakhir diakses pada tanggal 02 Juli 2016.

Khumaidi, Pemisahan Dan Pembagian Kekuasaan Dalam Konstitusi Perspektif

Desentralisasi, (diakses dari

19/06/2016).

Mahendra, Ilham, Diktat Pengantar Hukum Indonesia, (diakses dari:

___________________, Kekuasaan Penuntutan,( diakses dari:

Mahendra, Yuzril Izha, Kedudukan Kejaksaan dan Posisi Jaksa Agung dalam

sistem presidensial di bawah UUD 1945, (Friday, August 20th, 2010) prof-dr-yusril-ihza-mahendra? (diakses pada 14/07/2016 pukul 23:11) Misno, Abdurrahman, Teori Sistem Hukum Friedman, ( diakses dari

terakhir di akses pada tanggal 06 Oktober 2016 pukul 01:12 wib.

Ministere de la Justice, The French Legal System, (diakses dari pada tanggal 09/10/2016 pada pukul 16:49 wib.Online Indonesian English Dictionary, (diakses dari terakhir diakses pada tanggal 09/10/2016 pukul 14:13 wib.

Openbaar Misnisterie, Organitatie, 07 September 2016 pukul 11:26)


(7)

Paul, Hemetsberger, Public Prosecutor, 20:49)

Pujiningsih, Sri,KONSEP HUKUM INDONESIA DI MASA SEKARANG,

PusLitbang Kejaksaan Agung RI, Studi Tentang Implementasi Kekuasaan Penuntutan di Negara Hukum Indonesia Mei.2016 pukul 23.06 wib).

Ria, Soal Transportasi Berbasis Online, Pemerintah diminta Mebenahi Aturan,

Ridho, Gugum, Independensi Institusi Kejaksaan, (diakses dari

RFQ, Pentingnya Asas Keadilan untuk Mengatur Bisnis Transportasi Online,

S. Anwary, Penegakan Negara Hukum Di Republik Indonesia, http://www.isepsamra.or.id/

penegakan%20supremasi20hukum%20RI.doc.)

Suryono, Brandoi, Sandal Jepit dan Buah Kakao Ketidakadilan Bagi Masyarakat Kecil, Kompasiana, (Edisi 25 Juni 2015)

00:51 WIB)

The Crown Prescution Service, Facts About CPS, (diakses dari 10/10/2016 pukul 19.55 wib.


(8)

Umar, Djani, Negara, Bangsa dan Warganegara, 02:28 wib)

Vouin, Robert, The Role of the Prosecutor in French Criminal Trials, The

American Journal of Comparative Law Vol. 18, No. 3 (Summer, 1970),

pp. 483-497, September 2016 pukul 11:10)

Zulkarnain, Ridwan, Negara Hukum Indonesia: Kebalikan Nachtwachterstaat, (Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum Volume 5 No. 2 Mei-Agustus 2012, ISSN 1978-5186) &title=NEGARA%20HUKUM%20INDONESIA%20KEBALIKAN%20 NACHTWACHTERSTAAT. (E-Jurnal diakses pada 16/06/2016 pukul 02:28 wib.)


(9)

BAB III

PERBANDINGAN KEDUDUKAN LEMBAGA KEJAKSAAN DALAM KONSTITUSI DI BEBERAPA NEGARA

Mengapa orang perlu melihat masyarakat atau budaya hukum yang lain? Ehrmann mengungkapkan bahwa hanya dengan menganalisis satu macam budaya hukum saja akan memperlihatkan apa yang kebetulan sedang terjadi ketimbang apa yang dibutuhkan, apa sifatnya permanen ketimbang apa yang dapat berubah dalam norma-norma dan agensi-agensi hukum, serta apa yang mengkarakteristikkan berbagai keyakinan yang mendasari keduanya. Hukum dari suatu budaya akan mengasumsikan teori etis tempat hukum tersebut diberlakukan.170

Setiap negara tentunya memiliki peraturan, di bidang kekuasaan kehakiman. (rechterlijke macht) dan penyelenggaraan peradilan pidana (strafrechtspleging; administration of criminal justice). Peraturan tersebut tercantum dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Peradilan, dan Undang-Undang Kejaksaan. Perbedaannya apakah terpisah-pisah seperti halnya kejaksaan di Indonesia? Atau apakah terintegrasi seperti di Belanda

Di Indonesia Jaksa memiliki peranan penting bidang hukum dalam proses pengadilan. Baik sebagai penuntut umum, maupun sebagai pengacara negara, jaksa termasuk salah satu jabatan penting lainnya. Begitu pula di negara-negara Timur, seperti Thailand, Myanmar, Korea (Selatan & Utara), dan tiongkok. Demikian juga di Barat, misalnya Perancis, Spanyol, Belanda, Jerman dan Skotlandia (yuridiksi dalam United Kingdom (UK).


(10)

melalui RO (wet op de rechterlijke organisatie) atau Undang-Undang Organisasi Kehakiman.171

Tata urutan undang-undang, dapat membantu penelaahan Kedudukan Jaksa Agung dalam Konstitusi suatu negara. Menurut Hans Kelsen norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam satu susunan yang hierarchies, dimana norma yang di bawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya hingga berhenti pada suatu norma yang tertinggi yang disebut dengan norma dasar (grundnorm).172

Apabila tidak ditemukan ketentuan konstitusional mengenai kedudukan kejaksaan tersebut di suatu negara, yang berarti tidak tercantum dalam ketentuan normatif dalam UUD suatu negara, maka harus di cari undang-undang organik (undang-undang Pokok). Misalnya saja dalam Undang Undang Dasar 1945, baik sebelum maupun sesudah 4 kali diamandemen, tidak ditemukan pengaturan tentang peran dan kedudukan Jaksa Agung/Kejaksaan. Maka hal tersebut dapat kita temukan dalam Undang-Undang Pokok Kejaksaan.

Peraturan tertinggi adalah UUD yang mengandung norma dasar (ursprung norm;

grundnorm; basic norm).

173

171 RM Surachman dan Jan Maringka. Eksistensi … Op.cit.hlm 47

172 Armansyah, Pengantar Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, (Medan: USU Pers,

2012), hlm. 11

Untuk lebih lengkap, perlu juga dibuka KUHAP. Terutama di negara yang Undang-Undang Dasarnya

173

Namun Damian dan Hornick memberi opini bahwa dalam undang-undang pokok (undang-undang-undang organik) di Indonesia, lebih berfungsi sebagai pernyataan kebijakan (policy declaration) ketimbang sebagai rencana legislatif (statutory schemes). Edy Damian dan Robert N Hornick, Indonesia’s Formal Legal System, An Introduction.( Bandung: Alumni, 1976), hlm. 22


(11)

tidak mencantumkan peran dan kedudukan Jaksa Agung dan Kejaksaan, seperti Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk itu berikutnya kita akan membahas kedudukan Jaksa Agung dalam negara-negara yang memiliki tradisi sistem hukum Anglo Saxon atau Common Law dan civil law atau Eropa Kontinental.

A. Kedudukan Kejaksaan dalam Konstitusi Negara dengan Sistem Anglo Saxon

Negara-negara bertradisi hukum anglo-saxon atau common law (bersistem hukum Sakson-Inggris), termasuk sempalannya yang bertradisi hukum

anglo-american (bersistem hukum Amerika-Inggris) adalah Filipina, Malaysia,

Singapura, Brunei Darussalam, Uni Myanmar, Papua Nugini, Australia, New Zealand, Fiji, Kiribati, Macronesia, Nauru, Samoa, Tonga, Tuvalu, dan Vanuatu.174

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa UK tidak mempunyai konstitusi terkodifikasi.

Maka dari itu, pada subbab ini kedudukan Kejaksaan dan Jaksa Agung yang akan menjadi acuan pembahasan adalah Inggris dan Wales yang tergabung dalam United Kingdom (UK).

175

174

RM Surachman dan Jan Maringka, Peran Kejaksaan dalam Sistem Peradilan Pidana di Kawasan Asia Pasifik, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), hlm 2

175 James Cornford, The Constitution of The United Kingdom, (London: Institute For

Policy Research, 1991), hlm. 3.

Tetapi hal ini tidak sepenuhnya benar. Meskipun tidak ada dokumen kodifikasi tunggal, seperti yang dimiliki Amerika Serikat atau Perancis, lebih dari setengah konstitusi Inggris tertulis, terutama dalam undang-undang dan kasus hukum. Sementara sisanya dapat ditemukan dalam konvensi yang tidak mengikat,seperti aturan parlemen, dan hak prerogatif kerajaan. Berbagai sumber membuatnya sulit untuk menentukan Konstitusi secara spesifik. Namun di sisi


(12)

lain memungkinkan konstitusi tersebut dapat dengan mudah diubah, memberikan sifat fleksibel. Secara tradisional, konstitusi UK terdiri atas dua prinsip: doktrin supremasi parlemen dan Rule of Law.176 Tetapi pada Juli 1991 James Cornford menyusun sebuah draft sebagai pedoman untuk memudahkan publik memahami konstitusi yang berjudul The Constitution Of The United Kingdom. Draft tersebut merupakan kumpulan-kumpulan undang-undang yang terdiri dari 129 Articles dan 6 schedules, disertai dengan penjelasannya yang menjelaskan tentang asal mula dan tujuan dari masing-masing ketetapan.177

Legitimasi lembaga kejaksaan UK pada yuridiksinya hanya didasarkan pada undang-undang organik negara-negara UK itu sendiri.178 Wilayah yuridiksi UK Raya terbagi 3: Pertama, yurisdiksi Inggris dan Wales. Kedua di yurisiksi Irlandia Utara (Northen Ireland) menunjukkan Kejaksaan (Public Prosecution

Service of Northen Ireland) baru lahir lebih lambat lagi, 13 Juni 2005, sedangkan

pada yurisdiksi ketiga yaitu Skotlandia yang dimana konsep kejaksaan pada negara tersebut sudah lahir di abad ke-15.179

Lembaga kejaksaan pada yuridiksi Inggris dan Wales adalah Attorney

General Office (AGO). Kejaksaan Agung (AGO) adalah Departemen Kementrian

yang menyokong Attorney General (Jaksa Agung) dan Solicitor General (Pengacara Negara) sebagai penasehat hukum negara. Kejaksaan Agung (AGO) juga membantu penegak hukum dalam melaksanakan tugas lainnya yang

176 In brief.The Constitution of United Kingdom: “A Written or Unwritten

Constitution?”,(diakses dari diakses pada tanggal 09/10/2016 pukul 22:47 wib.

177

James Cornford. Op.cit,hlm.4.

178 RM Surachman dan Jan Maringka, Eksistensi … Op.cit, hlm. 75. 179 Ibid, hlm. 73


(13)

berkaitan dengan kepentingan umum. Penegak Hukum yang dimaksudkan disini adalah government ministers180

a. yang memberikan nasihat hukum kepada pemerintah :

b. yang mengawasi, departemen penuntut utama yang independen seperti Crown Prosecution Service

c. yang mengawasi, Her Majesty Crown Prosecution Service Inspektorat, yang memeriksa bagaimana kasus dituntut

d. yang mengawasi, Departemen Hukum Pemerintah, yang menyediakan pelayanan hukum kepada pemerintah

e. yang menjawab pertanyaan tentang pekerjaan mereka di Parlemen

f. yang melakukan fungsi lainnya untuk kepentingan umum, seperti melihat kalimat yang mungkin terlalu rendah - tugas tersebut independen dari pemerintah

AGO dipimpin oleh seorang Attorney General (Jaksa Agung). Berikut ini merupakan tugas dan fungsi dari Attoney General181

1. are not members of Parliament; and

: 47. Attorney-General

47.1. There is established by this Constitution the office of

Attorney-General.

47.2. The Attorney-General shall be appointed by the Prime Minister

from among persons who —

2. have rights of audience, or are entitled to conduct litigation, in the superior courts of any part of the United Kingdom.

47.3. Act of Parliament shall provide for the conditions of service in

respect of the office, but the Attorney-General ceases to hold office 1. if he or she ceases to have a qualification for appointment to

the office; or

2. if removed from office by the Prime Minister; or

3. on the receipt by the Prime Minister of a letter of resignation from the Attorney-General; or

4. when a new election to the office of Prime Minister is completed.

47.4. The Attorney-General —

1. is the principal legal adviser to the Government; and

2. has responsibility, on behalf of the Government, with respect to the conduct of litigation to which the Government is a party.

47.5. The Attorney-General shall attend, but shall not vote at, meetings

of the Cabinet.

180 Attorney General’s Office, (diakes dari https://www.gov.uk/government/

organisations/attorney-generals-office), terakhir diakses pada 10/10/2016 pukul 21:52 wib.


(14)

Terjemahannya: 47. Jaksa Agung

47.1. Konstitusi ini mengatur tentang Kejaksaan Agung

47.2. Orang yang dipilih oleh Perdana Menteri sebagai Jaksa Agung: 1. bukan merupakan anggota Parlemen.

2. mempunyai hak audience182

47.3. Kebijakan dari parlemen dibutuhkan apabila Jaksa Agung berhenti memegang jabatannya karena kondisi:

atau hak untuk mengadakan proses pengadilan pada pengadilan tertinggi di seluruh Kerajaan Inggris.

1. tidak memenuhi syarat untuk di tunjuk sebagai pemegang jabatan

2. diberhentikan oleh Perdana Menteri

3. surat Pengunduran diri Jaksa Agung diterima oleh Perdana Menteri

4. ketika terpilihnya Perdana Mentri yang baru dalam Pemilihan Umum.

47.4. Jaksa Agung

1. Penasehat hukum bagi pemerintah

2. memiliki tanggung jawab, bertindak atas nama pemerintah sehubungan apabila pemerintah terlibat dalam proses litigasi. 47.5. Jaksa Agung wajiib menghadiri rapat kabinet namun tidak dapat

memberi suara(memilih)

Ketentuan diatas menunjukkan bahwa Jaksa Agung ditunjuk oleh Perdana Menteri. Sebagai seorang professional Jaksa Agung hanya memberi nasehat bagi pemerintah dan menghadiri setiap pertemuan atau rapat kabinet, namun tidak memberi suara (memilih) untuk itu Jaksa Agung yang dipilih adalah Pengacara Senior yang bukan merupakan anggota Parlemen. Jaksa Agung dalam pasal 47.4.2. dikatakan memiliki tanggung jawab bertindak atas nama pemerintah dalam setiap proses pengadilan yang melibatkan pemerintah, namun bukan dalam bidang

182an opportunity to state your case and be heard (kesempatan untu menyatakan pendapat

dan di dengarkan. Lihat Online Indonesian English Dictionary, (diakses dari


(15)

puntutan tindak pidana. Kewenangan penuntutan tersebut dibawah Director of

Public Prosecution.183

Fungsi penuntutan kejaksaan sendiri, dijalankan oleh lembaga non-departemen tersendiri dan terpisah dari Kejaksaan yaitu Crown Presecution

Service (CPS)

184

. CPS sendiri baru dibentuk sebagai badan independen untuk melakukan penuntutan pada peradilan pidana berkerjasama dengan polisi dan penyidik lainnya185 pada 1 oktober 1986186 dengan keluarnya undang-undang tentang penuntutan terhadap perbuatan pidana (the Prosecution of Offences Act

1985).187

CPS merupakan badan non-departemen yang independen yang dipimpin oleh Director of Public Prosecutor (DPP). DPP merupakan Penuntut Umum tertinggi diseluruh wiayah Inggris & Wales. DPP bekerja secara independen di bawah pengawasan dari seorang Attorney General (Jaksa Agung) yang bertanggung jawab kepada Perlemen atas seluruh kinerja CPS. Jaksa CPS mempersiapkan kasus untuk pengadilan dan menghadiri pengadilan pada seluruh tingkatan pengadilan yaitu Pengadilan Magistratur dan Pengadilan yang lebih Tinggi.

188

CPS terbagi atas 4 divisi khusus, yaitu:

183 James Cornford, (BAB Commentary), Op.cit. hlm. 34

184 Attorney General’s Office, (diakes dari https://www.gov.uk/government/

organisations/attorney-generals-office), terakhir diakses pada 10/10/2016 pukul 21:52 wib.

185 Crown Prosecutions Service, The Code for Crown Prosecutor, 2013 ( diakses dari

pada 08//10/2016 pukul 23:32 wib.

186

RM. Surachman dan Jan Maringka. Eksistensi … Op.cit.hlm 45.

187 Ibid.

188 The Crown Prescution Service, Facts About CPS, (diakses dari


(16)

Health/ yang juga memasukkan kesejahteraan desa dan kesehatan), the

Pemberantasan Terorisme) dan

189

B.Kedudukan Kejaksaan dalam Konstitusi Negara dengan Sistem Eropa Continental

Berdasarkan uraian-uraian diatas dapat dipahami bahwa Kedudukan Kejaksaan Agung yang ada di Kerajaan Inggris masuk dalam lingkup kekuasaan Eksekutif. Artinya Kejaksaan Agung memiliki kemiripian dengan Kejaksaan RI dan dapat dikatakan tidak independen karena Jaksa Agung memiliki peranan politik dalam kabinet pemerintahan. Namun untuk menghindari hal tersebut antara peranan politik dan peranan hukum Kejaksaan (AGO) dipisahkan dengan cara menghilangkan hak vote Jaksa Agung dalam setiap rapat kabinet pemerintahan, dan peranan hukum dalam fungsi penuntutan dari Kejaksaan dipisahkan dan dilaksanakan oleh jaksa dibawah badan non-departemen yang independen dan terpisah dari kejaksaan yaitu Crown Prosecution Service namun tetap berada dibawah pengawasan Jaksa Agung.

Negara- Negara bertradisi civil law system atau continental system (bersistem hukum Eropa daratan) adalah Jepang, Korea Selatan, Thailand, Kamboja, Taiwan, Timor Leste, dan Indonesia.190

Berbeda dengan negara common law atau anglo-saxon, negara-negara dengan tradisi sistem hukum Eropa Continental tidak memiliki gabungan negara-negara yang khusus beranggotakan negara-negara yang bertradisi civil law.

189 Ibid.


(17)

Maka dari itu pembahasan kejaksaan pada subbab ini difokuskan pada kedudukan Kejaksaan dalam konstitusi negara Perancis karena kejaksaan modern lahir di jantung Eropa (Paris). Namun Prancis tidak ada mencantumkan Kejaksaan dalam Konstitusinya namun hanya merinci kekuasaan dan wewenang The High

Councilof Judiciary (Dewan Tinggi Peradilan). 191 Dalam menyelidiki hakim dan jaksa yang dilaporkan Dewan ini dikepalai oleh Presiden Republik, dan secara ex

officio Menteri Kehakiman menjadi Wakil Ketuanya dan juga dapat mewakili

Presiden bertindak sebagai Ketua Dewan.192 Dengan keanggotaannya yang lebih berwibawa, Dewan Agung ini di Indonesia hampir dapat disamakan dengan gabungan Komisi Kejaksaan dengan Komisi Yudisial. Karena Dewan tersebut terdiri dari bagian hakim dan bagian jaksa.193

Kejaksaan Perancis berada dibawah otoritas Menteri Kehakiman, sehingga kejaksaan juga berada di bawah kekuasaan eksekutif. Sebelumnya telah disebutkan bahwa Kejaksaan Modern lahir di Perancis, karena memang Kejaksaan Perancis lah yang mempelopori bentuk Kejaksaan yang berada di bawah eksekutif. Kejaksaan dengan tipe ini dikenal pula dengan France Prosecution

Service Model. Dari Perancis diturunkan ke Belanda, begitupun Belanda

diturunkan ke Indonesia. Selain itu Kejaksaan dengan kedudukan dibawah eksekutif juga dapat ditemui di negara Jepang, Republik Chech dan termasuk juga

191 UUD Perancis, Pasal 65 (Constitution of October 4, 1958 Article 65)

192 The High Council of the Judiciary shall be presided over by the President of the

Republic. The Minister of Justice shall be its ex officio Vice-president. He may deputize for the President of the Republic. Lihat Ibid.

193 The High Council of the Judiciary shall consist of a section with jurisdiction over

judges and a section with jurisdiction over public prosecutors. Constitution of October 4, 1958 Article 65 (1)


(18)

negara-negara yang tergabung dalam United Kingdom dan Britain Commonwealth.194

Meskipun berada dibawah eksekutif, kejaksaan di Perancis terbukti tetap bisa menjadi lembaga yang independen karena Organisasi Kejaksaan Perancis dibangun berdasarkan pada 3 prinsip dasar195

Selain itu dalam pasal 64 UUD Perancis berbunyi: “The President of the Republic shall be the guarantor of the independence of the Judicial Authority.” (Presiden Republik yang menjamin independensi kekuasaan peradilan). Dari pasal

: - Subordinasi dalam Rantai Perintah:

Jaksa penuntut umum ditempatkan dibawah pengawasan dan kontrol atasannya dan dibawah otoritas Menteri Kehakiman

- Melaksanakan Penuntutan Seutuhnya:

Jaksa penuntut umum dianggap sebagai perwujudan dari seseorang sejak jaksa tersebut bertindak atas nama kejaksaan seutuhnya. Konsekuensinya adalah, jaksa dapat menggantikan jaksa lainnya termasuk dalam fase putusan dalam suatu kasus.

- Kekuasaan (Legitimasi) Penuntut Umum Tidak Berubah:

Kekuasaan dari penuntut umum tidak dapat ditentang karena jaksa membela kepentingan masyarakat secara keseluruhan dan menerapkan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah.

194 Gugum Ridho, Independensi Institusi Kejaksaan, (diakses dari

pada 11//10/2016 pada pukul 9:14 wib.

195 Ministere de la Justice, The French Legal System, (diakses dari

/art_pix/french_legal_ system), terakhir diakses pada tanggal 09/10/2016 pada pukul 16:49 wib.. hlm. 8.


(19)

tersebut dapat dipahami negara benar-benar menjamin independensi lembaga peradilan.

Proses pemidanaan Perancis terutama dalam hal penyelidikan, menggunakan sistem adversarial untuk mendapatkan keseimbangan antara hak dan pembelaan, hak dari korban dan masyarakat secara keseluruhan.196

Jaksa Penuntut umum mengawasi departemen penyelidikan kriminal (police

judiciaire). Jaksa penuntut umum harus secepatnya memberitahukan segala

pelanggaran yang diperbuat termasuk penahanan yang dilakukan oleh petugas polisi untuk tujuan penyelidikan. Jaksa memastikan bahwa tahanan yang berada di kanto polisi dilakukan sepatutnya sesuai dengan hukum dan memastikan penahanan maksimum dilakukan maksimal 48 jam. Ketika seseorang dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran, maka akan dilakukan penyelidikan (preliminary investigation or investigation of flagrancy) yang dilakukan oleh berbagai departemen polisi. Kejaksaan kemudian memeriksa kasus tersebut dan memutuskan penuntutan pada kasus tersebut. Penuntut umum dapat memutuskan

Prinsip utama yang dirumuskan dalam the introduction of the Code of Criminal

Procedure (pembukaan dari undang-undang tentang prosedur pemidanaan)

adalah:

- adil dan adversarial,

- informasi dan jaminan atas hak-hak korban,

- presumption of innocence (asas praduga tidak bersalah) dan hak untuk membela diri.


(20)

untuk menghentikan proses penuntutan sesuai dengan prinsip dasar dalam kebijakan penuntutan.197

Terdapat hirarki dalam pelaksanaan penuntutan: Procureurs de la

République (Jaksa penuntut republik/ tingkat pertama) berada dibawah Procureurs Généraux (Jaksa Penuntut Umum /tingkat banding) yang dapat

memberikan arahan/instruksi mengenai tugas dan fungsi dan kebijakan dari yuridiksinya dan juga keputusan yang harus diambil dalam kasus, juga dirasa perlu. Jaksa Penuntut Umum memberikan laporan pertanggungjawaban langusng kepada Menteri Kehakiman.198

Di Perancis, semua Jaksa Agung tetap menjadi pimpinan para jaksa di wilayahnya masing-masing (seluas yurisdiksi pengadilan banding bersangkutan), tidak bergabung menjadi Dewan Jaksa Agung, seperti di Belanda dan Belgia.

Di Perancis jumlah Jaksa Agung (Procureur General) sesuai dengan jumlah Pengadilan Banding. Karena itu ada 35 Jaksa Agung (Procureur General) di seluruh Perancis. Jumlah tersebut tidak termasuk 1 oraang Jaksa Agung (Procureur General) pada Mahkamah Kasasi (setara Mahkamah Agung). Jaksa pada Mahkamah kasasi ini, bukan atasan para Jaksa Agung pada Pengadilan Banding yang banyak itu. Seperti kepada para Jaksa Agung pada Mahkamah Kasasi pun Menteri Kehakiman dapat memberi saran, instruksi, dan surat-surat edaran, akan tetapi lebih jarang dan lebih terbatas. Menteri Kehakiman dapat melakukan intervensi kepada semua jaksa di Perancis, karena Menteri inilah yang harus mempertanggungjawabkan kebijakan penuntutan di muka parlemen.

197 Ibid. 198 Ibid.hlm.5


(21)

Pola Struktur Kejaksaan dalam Hierarki seperti itu dapat ditemukan di negara-negara yang pernah dikuasai Kaisar Perancis, Napoleon Bonaperte. Di daerah ini, jaksa berwenang menangani perkara pidana dari awal hingga akhir, yaitu melakukan, memimmpin, dan mengawasi penyidikan (dalam teori). Dalam kesehariannya sebagian besar kasus ditangani penyidik instansi maupun. Hanya dalam hal-hal penting saja, jaksa mengintervensi penyidikan.199

Jaksa Agung pada Mahkamah Kasasi adalah wakil pemerintahan untuk memberikan legal opininya kepada Majelis yang sedang menyidangkan perkara kasasi. Wewenang penuntutannya terbatas pada penuntutan Presiden, Perdana Menteri/Menteri di “Pengadilan Republik”, suatu Pengadilan Tinggi Khusus, bukan Pengadilan Tinggi biasa, khusus untuk mengadili Presiden yang sudah diajukan oleh Parlemen yang sepakat (dengan suara mayori 3/4nya). Bahwa Presiden harus dimakzulkan melalui proses impeachment (Di Indonesia pada zaman Konstitusi RIS dan UUDS 1950, dikenal sebagai Forum Privilegatium).200

199 RM Surachman dan Jan Maringka, Eksistensi … Op.cit. hlm.86. 200 Ibid.87.


(22)

BAB IV

KEDUDUKAN IDEAL LEMBAGA KEJAKSAAN

DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA A.Kedudukan Ideal Kejaksaan melalui Penguatan Secara Kelembagaan

Pertanyaan seputar posisi kejaksaan terus berkembang menjadi pemikiran dan wacana yang melingkupi institusi Kejaksaan. Isu intervensi dan independensi sangat mengemuka, dibalik kritik atau bahkan olok-olok bahwa kinerja kejaksaan sangat rendah dan lamban.201 Kemunculan gugatan di MK tentang masa jabatan Jaksa Agung oleh Presiden serta keterkaitannya dengan kabinet dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-VIII/2010 tanggal 22 September 2010 yang mengabulkan permohonan uji materil yang diajukan oleh Prof Yusril Ihzra Mahendra, Guru Besar Hukum dan Mantan Menteri Hukum dan HAM atas kesesuaian Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia terhadap UUD 1945, membuka mata publik bahwa masih terdapat ketidakjelasan mengenai kedudukan Kejaksaan dalam sistem Ketatanegaraan Indonesia.202

201 Bambang Kesowo, Posisi Ideal Kejaksaan dalam Sistem Administrasi Pemerintahan

dan Ketatanegaraan Indonesia, (makalah disampaikan pada Seminar Nasional Posisi Ideal Kejaksaan RI dalam Sistem Ketatanegaraan RI, (Jakarta: Puslitbang, 2014), hlm 45.

Ketentuan tentang kedudukan yang menyatakan Kejaksaan RI sebagai “Lembaga Pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang” telah memancing pertanyaan: lembaga apakah Kejaksaan RI? lembaga pemerintahan ataukah semestinya lembaga negara? Putusan tersebut

202

Yuzril Izha Mahendra, Kedudukan Kejaksaan dan Posisi Jaksa Agung

dalam sistem presidensial di bawah UUD 1945, (Friday, August 20th, 2010)

mahendra?) (diakses pada 14/07/2016 pukul 23:11)


(23)

menyatakan Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “masa jabatan Jaksa Agung itu berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dengan berakhirnya masa Jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan.” Putusan tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan.203

Bambang Kesowo memberi pendapat bahwa penggunaan kata kejaksaan adalah lembaga negara bukan merupakan sesuatu yang keliru, karena pokok pemahaman yang tertuang dalam Bab menimbang huruf c UU Nomor 16 Tahun 2004 tersebut tetap sejalan dengan pemikiran dasar yang ada dalam UUD.

204

Namun terlepas dari putusan MK yang mennyatakan apakah Jaksa Agung diposisikan sebagai pejabat di dalam kabinet atau masa jabatan Jaksa Agung adalah sesuai dengan periode (masa jabatan) Presiden, karena undang-undang tidak mengatur hal tersebut secara tegas, maka implementasinya dalam praktik di lapangan, menimbulkan masalah konstitusionalitas yakni ketidakpastian Hukum.

205

Ketidakpastian hukum mengenai kedudukan Kejaksaan secara umum dan secara lebih khusus mengenai jabatan Jaksa Agung dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia yang menimbulkan ambivalensi tersendiri dalam dunia penegakkan hukum di Indonesia.206

203 Ibid

204 Bambang Kesowo, Op.cit. hlm 45 205 Ibid

206 RM Surachman dan Jan Maringka, Eksistensi … Op.cit, hlm. 112.


(24)

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2014 menjelaskan bahwa Kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan kewenangannya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini telah memberikan independensi kepada kejaksaan dan bertujuan melindungi profesi Jaksa seperti digariskan dalam “Guidelines on the Role of Prosecutors” dan “International Association of Prosecutors”. Namun apabila dicermati terdapat celah, dimana Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 justru menempatkan Kejaksaan dalam kedudukan yang samar karena memiliki tugas ganda (double

obligation) dalam pelaksanaannya. Hal ini disebabkan di satu sisi, Kejaksaan

dituntut menjalankan fungsi, dan wewenangnya secara merdeka. Di sisi lain, kemerdekaan tersebut rentan terhadap intervensi karena proses pengangkatan dan pemberhantian Jaksa Agung dilakukan oleh Presiden. Tugas ganda (double

obligation) tersebut pada akhirnya justru kerap menimbulkan keraguan mengenai

objektifitas korsa Adhyaksa dalam mengambil berbagai keputusan penting terkait dengan penanganan perkara yang menyangkut kepentingan Pemerintahan. Banyak kalangan menganggap, mustahil Kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan lainnya, karena kedudukan kejaksaan berada di bawah kekuasaan eksekutif.207

207 Lain dengan kultur bangsa Prancis dan kultur bangsa Belanda, dan kultur Jepang.

Sekalipun Kejaksaan di Perancis dan di bawah Menteri Kehakiman, Menteri yang bersangkutan boleh dikatakan jarang sekali. Lihat Ibid. hlm 99.

Adanya pemikiran dengan tidak meletakkan kejaksaan dalam kekuasaan eksekutif dapat memberikan kemungkinan kejaksaan melaksanakan penuntutan dengan obyektif merupakan


(25)

hal yang wajar, karena sebagai mana yang kita ketahui unsur kekuasaan yudikatif dan eksekutif saling berkaitan dalam aktivitas penuntutan.208

Tidak dapat dipungkiri bahwa, perdebatan panjang mengenai Independensi Kejaksaan dan posisinya dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia juga disebabkan ketidakjelasan posisi Kejaksaan dalam Undang-Undang 1945.209 Ketentuan UUD 1945, hanya menyebutkan kejaksaan secara eksplisit dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. Dari empat kali perubahan UUD 1945, yaitu sejak yang pertama (1999) sampai yang terakhir yaitu yang keempat (2002), banyak perubahan dari materi UUD 1945 yang telah berubah, baik perubahan rumusan, perubahan letak, maupun ketentuan-ketentuan baru, dimana hanya 12% dari ketentuan UUD 1945 yang tidak berubah.210 Tentunya dari berbagai perubahan terhadap UUD tersebut berimplikasi luas dan radikal dalam kehidupan bernegara 211

208 Ilham Mahendra, Kekuasaan Penuntutan, (diakses dari:

. Namun sangat disayangkan bahwa kedudukan kejaksaan yang memainkan posisi sentral dalam kerangka sistem peradilan pidana, ternyata belum mendapat cukup perhatian sebagai salah satu hal mendasar yang perlu diatur dalam konstitusi, misalnya dibandingkan dengan kedudukan Kepolisian RI yang telah diatur dalam Bab mengenai pertahanan dan keamanan. Naskah UUD 1945 setelah Amandemen menjabarkan sebanyak 34

209 Jimly Asshiddiqie, Lembaga-Lembaga Negara, Organ Konstitusi Menurut UUD 1945,

(), hlm. 53.

210

Fahri Hamzah, Peranan DPR RI dalam Menempatkan Posisi Ideal Kejaksaan pada Sistem Ketatanegaraan RI berdasarkan UUD 1945, (makalah disampaikan pada Seminar Nasional :Posisi Ideal Kejaksaan Dalam Sistem Ketatanegaraan RI Berdasarkan UUD 1945, Jakarta: Puslitbang Kejaksaan RI, 2014), hlm. 65.


(26)

organ-organ/lembaga negara, namun pada kenyataanya Kejaksaan tidak termasuk dalam 34 organ yang secara tegas disebutkan dalam UUD 1945. Memang menimbulkan sebuah pertanyaan tersendiri mengenai sejauh manakah negara menganggap penting untuk menjamin kedudukan Kejaksaan dalam menjalankan fungsi penegakkan hukum di Indonesia, atau apakah fungsi penuntutan yang dilaksanakan oleh Kejaksaan dipandang kurang penting dibandingkan dua sub sistem peradilan pidana lain yang secara tegas telah diatur dalam UUD 1945, yaitu Kepolisian (penyidikan) dan Mahkamah Agung (Pengadilan).212

Menurut Profesor Indriyanto Seno Adjie 213 , eksistensi substansi perubahan Amandemen ke III Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, menyatakan negara Indonesia adalah negara hukum. Tidak cukup makna gramatikal tanpa ada penjelasan maupun tambahan pelaksanaan dari makna negara hukum. Melainkan harus diikuti penegasan atas sistem penegakkan hukum dan lembaga-lembaganya termasuk aksentuansi perlunya eksistensi kejaksaan melalui konstitusi (UUD) sebagai bentuk penegasan mengenai kedudukan Kejaksaan Agung yang merupakan subsistem dari Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System).214

Begitu pula perubahan Amandemen ke III Pasal 24 UUD 1945 yang menyatakan, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan diterjemahkan dalam kaitan penegakkan hukum terhadap pelaksanaan Sistem

212

RM Surachman dan Jan Maringka, Eksistensi … Op.cit. hlm.45.

213

Indriyanto Seno Adji, Kejaksan Agung dan Eksistensi Konstitusionalitas (diakses dari tanggal 09/10/2016 pada pukul 17:36 wib.


(27)

Peradilan Pidana, khususnya eksistensinya kejaksaan sebagai lembaga negara yang independen di bidang fungsi penuntutan tertinggi.

Senada dengan pandangan tersebut, menurut Prof. Jimly Asshiddiqie215

Menurut Prof. Yusril Ihza Mahendra

tidaklah tepat untuk menyatakan bahwa kepolisian lebih penting daripada Kejaksaan Agung hanya karena ketentuan mengenai Kepolisan tercantum dalam UUD 1945, sedangkan ketentuan mengenai Kejaksaan Agung sama sekali tidak tercantum secara eksplisit dalam UUD 1945. Sejalan dengan prinsip Negara Hukum yang ditentukan oleh Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, lembaga Kejaksaan tersebut tetap dapat disebut memiliki kedudukan yang sangat penting dalam hukum tata negara (Constitutional law), sehingga memiliki “constitutional

importance” seperti lembaga-lembaga lain yang keberadaannya disebut secara

eksplisit dalam UUD 1945.

216

215

Lihat: Jimly Asshiddiqie, Lembaga … Op.cit.hlm.32.

, kedudukan kejaksaan Agung RI sebagai badan negara (staatorgan) dalam UUD 1945 pada dasarnya meneruskan apa yang telah ada diatur di dalam Indische Staatregeling yang menempatkan Kejaksaan Agung berdampingan dengan Mahkamah Agung. Sementara secara administratif, baik kejaksaan maupun pengadilan berada di bawah Kementrian Kehakiman. Itulah sebabnya, dalam rapat PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tanggal 19 Agustus 1945, Prof Soepomo melaporkan bahwa ruang lingkup tugas Kementrian Kehakiman yang akan dibentuk ialah menangani

hal-216

Yuzril Izha, Kedudukan Kejaksaan dan Posisi Jaksa Agung dalam sistem presidensial di bawah UUD 1945, (Friday, August 20th, 2010) 1945-oleh-prof-dr-yusril-ihza-mahendra? (diakses pada 14/07/2016 pukul 23:11)


(28)

hal administrasi pengadilan , kejaksaan, penjara, nikah, talak dan rujuk serta penanganan masalah wakaf dan zakat. Sedangkan landasan hukum bagi Kejaksaan untuk menjalankan tugas dan wewenangnya, sepenuhnya didasarkan pada Herzeine Indonesich Reglemen (HIR) yang diperluas dengan Regeling

Reglement Stb 1922. No. 522 HIR kemudian diubah menjadi RIB (Reglemen

Indonesia yang di perbaharui. Persepsi bahwa Kejaksaan merupakan bagian tidak terpisahkan dari pengadilan, menjadi dasar mengapa Kejaksaan tidak disebutkan secara eksplisit. Sama halnya dengan Kepolisian yang memiliki kaitan dengan peradilan, sebelum perubahan UUD 1945 juga sama sekali tidak dimasukkan ke dalam UUD. Namun Permasalahan muncul ketika Presiden Soekarno melalui Keputusan Presiden 204 Tahun 1960 secara tegas memisahkan Kejaksaan dari Kementerian Kehakiman dan Mahkamah Agung, dan menjadikannya sebagai institusi yang berdiri sendiri dibawah kabinet. Bahkan persepsi tersebut tetap dipertahankan hingga Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Pasal 24 UUD 1945 dirasakan tidaklah dapat menjawab kebutuhan akan jaminan kemandirian Kejaksaan dalam kerangka sistem peradilan pidana sebagaimana kedudukannya saat ini, yaitu sebagai lembaga pemerintah yang berada di bawah kekuasaan eksekutif.217

Sistem penuntutan yang berada dibawah eksekutif menjadi suatu permasalahan yang mendapatkan sorotan tajam baik dalam tugas penyidikan maupun dalam tugas penuntutan kejaksaan, karena dipandang tidak mandiri dan


(29)

independen dalam menangani perkara-perkara. Marwan Effendy berpendapat218 dalam keadaan seperti itu sangat mendesak untuk mereposisi institusi Kejaksaan agar mandiri dan independen dalam penegakan hukum Indonesia. Tanpa adanya perubahan yang mendasar terhadap produk legislatif yang merupakan landasan pijak jatidiri Kejaksaan RI, harapan kedepan untuk diperolehnya suatu kebijakan penyidikan dan penuntutan yang memenuhi rasa keadilan, kepastiian hukum, dan kemanfaatan bagi pencari keadilan, tetap akan jauh dari kenyataan, bagaikan panggang jauh dari api. Implikasinya, anggapan bahwa kejaksaan RI adalah sebagai perpanjangan tangan penguasa akan selalu mengemuka meskipun mempunyai kedudukan sentral di dalam penegakkan hukum.219 Untuk itu hal yang dapat dilakukan untuk menjamin kedudukan kejaksaan tersebut adalah menata ulang konsep-konsep yang tertuang dalam ketentuan-ketentuan peraturan yang mengatur tentang independensi Kejaksaan dan Jaksa Agung dan juga memasukkan pembahasan tersebut sebagai pembahasan utama dalam wacana perubahan UUD220

Agar institusi Kejaksaan lebih “mumpuni” (onafhandelijk) dalam penegakkan hukum dan tidak terkesan sebagai alat penguasa, maka kedudukan Kejaksaan harus dikembalikan sebagai alat penegak hukum dan lepas dari

, karena di dalam prakteknya pelaksanaan berbagai ketentuan yang berlaku tersebut terbukti belum dapat mewujudkan suatu bentuk yang ideal dari independensi Kejaksaan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

218

Marwan Effendy, Op.cit. hlm 68

219

Ibid.

220 Ilham Mahendrra, Kekuasaan Penuntutan, (diakses dari:


(30)

komponen Polkam dalam kabinet. Andi Hamzah berpendapat bahwa Undang-Undang Kejaksaan harus menjamin keindependensian kejaksaan sehingga kejaksaan dapat menuntut siapa saja tanpa adanya intervensi pemerintah.221 Selain itu Andi Hamzah berpendapat bahwa kejaksaan harus ditempatkan dan menjadi bagian dari Mahkamah Agung sebahai kekuasaan kehakiman dan tidak dicampuri oleh kekuasaan eksekutif. Dalam hal ini Andi Hamzah berpendapat222

Mengenai wacana Amandemen UUD 1945, dalam perjalanannya UUD 1945 mengandung anasir otoriter yang artinya korup (absolute power, corupt

absolutely – Lord Acton).

bahwa kejaksaan harus berada dibawah yudikatif, karena kemandirian dan independensi institusi Kejaksaan sangat diperlukan walau harus dengan mereposisinya sesuai dengan fungsinya agar lepas dari pengaruh eksekutif. Apalagi fungsi Kejaksaan bukan hanya di bidang pidana, melainkan juga di bidang perdata dan Tata Usaha Negara serta berbagai penugasan dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum.

223

Oleh karenanya Teori Hukum Tata Negara mulai mendapat perhatian dan berkembang pesat saat bangsa Indonesia memasuki era reformasi. Salah satu arus utama dari era reformasi adalah gelombang demokratisasi.224

Dalam perkembangannya berbagai dinamika yang timbul setelah amandemen ke-4 UUD 1945 pada tahun 2002, kembali mengundang perdebatan, mengenai apakah perlu kembali dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945.

.

221 Andi Hamzah, Konsep dan Strategi pembaharuan Kejaksaan Republik Indonesia,

(makalah disampaikan pada Workshop Governance Audit Of The Public Prosecutor Servive, Bali 21-22 Februari 2001), hlm. 6.

222

Ibid

223 Fahri Hamzah, Op.cit. hlm. 65.


(31)

Mengenai hal tersebut, menurut Prof. Mahfud Md, Guru Besar dan mantan Ketua Mahkamah Indonesia225

Kedua, kelompok yang ingin mempertahankan UUD hasil amandemen yang ada sekarang. Arus kedua pada umumnya anggota-anggota parpol yang memiliki kursi dominan di DPR dan MPR, terutama mereka yang dulunya menjadi anggota Panitia Ad Hoc I MPR yang bertugas membahas perubahan UUD 1945 sejak tahun 1999 sampai tahun 2002. Menurut mereka perubahan lanjutan itu tidak perlu dilakukan karena hasil amandemen yang ada sekarang sudah menyerap dan mengompromikan semua aspirasi yang berkembang di dalam masyarakat ketika itu. Menurut mereka, perlu adanya kesadaran bahwa melakukan perubahan atas UUD itu akan menguras energy yang sangat besar dan apapun

, terdapat 3 kelompok arus:

pertama, kelompok yang ingin kembali pada UUD yang asli. Kelompok

pertama terdiri dari tokoh terutama para purnnawirawan TNI yang dulunya memang telah bersumpah untuk menjadi Sapta Margais yang setia pada Pancasila dan UUD 1945. Pendukung arus ini tidak banyak namun tetap ada, bahkan pada acara seminar yang diselenggarakan oleh badan Wantimpres tanggal 3 April 2008 yang lalu masih ada yang menyesalkan perubahan UUD 1945 tersebut. Alasan pengikut arus ini perubahan UUD 1945 telah kebablasan, mengkhianati amanat dan hasil karya para pendiri atau founding people, emosional, terburu-buru, dan tidak menyerap aspirasi masyarakat atau disosialisasikan secara proporsional.

225

Mahfud MD, Perlukan Amandemen Kelima UUD 1945?, makalah disampaikan pada Konvensi Hukum Nasional UUD 1945 sebagai Landasan Konstitusional Grand Design dan Sistem Politik Hukum Nasional yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional-Departemen Hukum dan HAM di Jakarta tanggal 15-16 April 2008.


(32)

hasilnya pasti aka nada kontra. Apabila diubah lagi pun pasti kelak aka nada persoalan lain atas hasil-hasilnya.

Ketiga, kelompok atau arus yang ingin melakukan perubahan atau

amandemen lanjutan yang di dalam Konstitusi ini disebut Amandemen Kedua. Arus ketiga merupakan arus yang paling kuat karena didukung oleh hampir semua akademisi hukum dan ilmuwan politik di perguran tinggi, lembaga studi Konstitusi, LSM-LSM pegiat hukum dan konstitusi, anggota-anggota Komisi Konstitusi, dan beberapa ormas besar. Alasan perlunya perubahan lanjutan menurut pengikut arus ini karena dalam kenyataannya hasil perubahan UUD 1945 memang mengandung beberapa kelemahan yang harus diperbaiki kembali sebagai tuntutan yang wajar.

Prof Mahfud MD memposisikan dirinya sebagai penganut aliran yang ketiga,226

226 Ibid.

yaitu masih diperlukannya amandemen selanjutnya terhadap UUD 1945. Hal ini didasari pada pemahaman bahwa tidak ada konstitusi yang tidak berubah. Di mana pun dan kapan pun UUD adalah resultante yang disepakati berdasarkan kebutuhan pada saat dibuat, sehingga ketika situasi Poleksosbud berubah maka resultante-nya pun juga dapat diubah. Oleh karena itu, rata-rata perubahan konstitusi di dunia berjalan setelah paling lama 30 tahun. Pokok dari upaya perubahan konstitusi itu adalah membuat kesepakatan politik (resultante) baru karena ada perkembangan baru, ada hal-hal penting yang terlewatkan atau ditemukan masalah (kekurangan) pada konstitusi yang sudah ada atau sedang berlaku.


(33)

Kembali pada posisi ideal Kejaksaan RI terkait dengan wacana di atas, Harkristuti Harkrisnowo mengatakan bahwa kejaksaan harus independen dengan merumuskan kembali dengan tegas dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan undang-undang organiknya demi independensi kejaksaan.227 Beliau berpendapat bahwa independensi kejaksaan bukan berarti kejaksaan harus ditempatkan di luar lembaga eksekutif. Independensi kejaksaan dapat dicapai asalkan pimpinan eksekutif commited pada keinginan untuk mencapai supremasi hukum yang berkeadilan walaupun kejaksaan berada dalam kekuasaan eksekutif.228

Bambang Kesowo 229

Apabila pendapat tersebut dicermati, faktor utama independensi adalah kualitas manusia yang menjalankan jabatan tersebut. Karena kualitas seorang pejabatlah yang menentukan dapat atau tidaknya seseorang diintervensi atau menginterensi proses penegakkan hukum di Kejaksaan. Maka Jaksa Agung sebaiknya tetap diangkat oleh Presiden, namun konstitusi harus menegaskan bahwa Kejaksaan dan Jaksa Agung tidak boleh diintervensi oleh kekuasaan, mengatakan dalam persoalan independensi, semuanya tergantung integritas pihak yang diintervensi. Kualitas manusia yang menjadi pelaksana mekanisme internal menjadi penting. Karena tidak ada jaminan apapun, termasuk dalam peraturan perundang-undangan, yang dengan efektif dapat menangkal, kecuali dengan memperkuat integritas manusia yang mendukungnya.

227 Hakristuti Harkriswono, Kejaksaan Agung dalam Tatanan Kelembagaan: Beberapa

Catatan Awal.(makalah disampaikan pada Seminar Hukum dalam Konteks Perubahan ke Dua UUD 1945 yang diselenggarakan oleh MPR dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta 24-26 Maret 200), hlm. 7.

228 Ibid


(34)

seperti pada negara Perancis dimana UUDnya menegaskan bahwa Presiden harus menjamin independensi dalam kekuasaan kehakiman.

B.Kedudukan Ideal Kejaksaan melalui Penguatan Kewenangan

Dalam masa transisi sebuah negara akan mengalami goncangan politik, sosial dan ekonomi yang sangat keras.230 Cara satu-satunya dalam menghadapi hal tersebut dengan menghadirkan institusi negara yang kuat, khususnya institusi inti demokrasi itu sendiri (legislatif, judikatif, dan eksekutif). Institusi penegak hukum merupakan institusi prioritas yang harus disiapkan agar transisi tidak mengalami kegamangan. Hal ini dikarenakan penegak hukumlah yang menjadi wasit dalam penguatan institusi inti.231

Munculnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK merupakan salah satu tindak lanjut dari mandat penguatan institusi deomkrasi tersebut.

232

Dengan begitu banyaknya agenda reformasi yang merupakan amanat transisi dari sistem otoriter kepada sistem demokrasi, sudah sangat tepat tugas pencegahan korupsi sebagai inti dari undang-undang tentang KPK tersebut, karena semua lembaga lain termasuk Presiden sebagai kepala birokrasi negara akan berada dalam koordinasi KPK yang menjalankan kewenangan yang besar dalam pemberantasan korupsi khususnya pencegahan.233

230 Fahri Hamzah, Op.cit. hlm 65. 231

Ibid.

232 Hadirnya KPK sebagai suatu tindak lanjut dari pelaksanaan mandat dapat dilihat dalam

dasar menimbang serta batang tubuh undang-undang tersebut. Pasal 1 UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK dengan jelas menyebutkan “… pemberantasan tindak pidana korupsi (TPK) adalah serangkaian tindakan untuk mencegah, memberantas TPK melalui upaya koodinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, dan penuntutan, dan pemeriksaan pengadilan dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

233 Fahri Hamzah, Op.cit. hlm 66.

Namun KPK mengalami disorientasi pencegahan dan terjebak dalam euphoria penindakan yang


(35)

menyebabkan KPK abai dengan tugas utamanya dalam menguatkan lembaga penegak hukum inti (kepolisian dan kejaksaan) yang dimana apabila dicermati UU No 30 Tahun 2002 mengandung pesan bahwa penindakan hanya sebuaah pintu darurat yang dibuat jika dalam pencegahan terdapat hambatan-hambatan besar karena penggunaan pintu penindakan ini mengabaikan hukum acara yang dapat memunculkan efek sistemik yang berbahaya.234

Adnan Buyung

235

mengatakan KPK adalah lembaga ad hoc yang keberadaannya termporer dan tidak bisa dipertahankan selamanya karena pada akhirnya kewenangan penindakan khususnya penuntutan harus tetap berada di dalam satu lembaga dan tak terpisahkan dibawah institusi kejaksaan selaku Penuntut Umum (Openbaar Ministerie), yang berwenang melakukan penuntutan seluruh kasus tanpa terkecuali, termasuk kasus korupsi. Seharusnya peran KPK adalah membantu melakukan reformasi di tubuh Kejaksaan. Namun KPK terbukti melupakan peran tersebut dengan menonjolkan kewenangan penuntutannya sendiri yang menyebabkan persaingan yang tidak sehat. Inriyanto Seno Aji mengatakan bahwa Seharusnya Kejaksaan, KPK dan Polri memiliki hubungan esensial dengan dan diantara penegak hukum yang terintegrasi dari Sistem Peradilan Pidana, karena lembaga penegak hukum KPK tidaklah dapat memberikan eksistensi terhadap permasalahan korupsi secara luas tanpa adanya eksistensi lembaga penegak hukum lainnya, yaitu Kejaksaan Agung dan Polri.236

234 Ibid. 235

Adnan Buyung, Op.cit, hlm. 36

236 Indriyanto Seno Adji, Kejaksaan Agung Kearah Reposisi Independensi &

Konstitusionalitas,(makalah disampaikan pada Seminar Hukum Posisi Ideal Kejaksaan dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Berdasarkan UUD 1945), (Jakarta:Puslitbang Kejaksaan RI), hlm.61-62.


(36)

Maka dari itu sama halnya dengan penguatan secara kelembagaan, penguatan kewenangan penuntutan Kejaksaan juga perlu secara jelas dan tegas diatur pada Bab tersendiri dalam Konstitusi Indonesia. Agar dalam setiap penuntutan yang bukan dilakukan oleh kejaksaan tetap terkoordinasi dengan Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi sehingga tidak bertentangan dengan prinsip een en ondelbaar.


(37)

BAB V PENUTUP A.Kesimpulan

1. Kedudukan kejaksaan dalam Undang-Undang dikatakan sebagai badan yang berwenang dalam penegakkan hukum dan keadilan yang menjalankan kekuasaan negara dibidang penuntutan. Namun penempatan posisi Kejaksaan oleh Undang-Undang masih ambigu, menyebabkan Kejaksaan memiliki tugas ganda (double obligation) yang kerap menimbulkan keraguan mengenai objektifitas korsa Adhyaksa dalam mengambil berbagai keputusan penting terkait dengan penanganan perkara yang menyangkut kepentingan Pemerintahan. Ditambah dengan adanya KPK memunculkan pertentangan terhadap prinpsip een en openbaar. Posisi kejaksaan dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia juga tidak diatur dalam Undang-Undang 1945, menimbulkan anggapan negara tidak menjamin kedudukan Kejaksaan dalam menjalankan fungsi penegakkan hukum di Indonesia terutama dalam fungsi penuntutan. Faktor penyebabnya adalah kedudukan kejaksaan Agung RI sebagai badan negara (staatorgan) dalam UUD 1945 pada dasarnya meneruskan apa yang telah ada diatur di dalam Indische Staatregeling. Landasan hukum tersebut menimbulkan persepsi bahwa Kejaksaan merupakan bagian tidak terpisahkan dari pengadilan menjadi dasar mengapa Kejaksaan tidak disebutkan secara eksplisit dalam Undang Undang Dasar.

2. Setelah diperbandingkan dengan negara Inggris dan Wales dan juga Perancis terdapat persamaan dan perbedaan sebagai berikut ini:


(38)

93

Persamaan:

a. Kejaksaan masuk dalam domein/ ruang lingkup kekuasaan Eksekutif. b. Kejaksaan memiliki fungsi penuntutan, sebagai penasehat hukum bagi

instansi pemerintahan lainnya.

c. Jaksa Agung/Penuntut Umum yang merupakan pimpinan Lembaga Kejaksaan sama-sama mempertanggungjawabkan kinerjanya selama menjabat kepada Menteri Kehakiman ataupun Kepala Pemerintahan. Perbedaan:

1. Pada negara-negara dengan sistem hukum Anglo-saxon kejaksaan/penuntut umum biasanya diatur dalam Konstitusi dan undang-undang organik negaranya sedangkan di Indonesia dan Perancis hanya diatur dalam undang-undang organik dan peraturan perundang-undangan lainnya.

2. Pada negara Inggris dan Wales, fungsi penuntutan dipisahkan dari lembaga kejaksaan dan dijalankan oleh lembaga independen non-departemen, sementara Kejaksaan di Indonesia dan Perancis fungsi penuntutannya dijalankan oleh Lembaga Kejaksaan itu sendiri. Namun Perancis menjamin Independensi lembaganya dalam UUD.

3. Negara-negara dengan sistem hukum anglo-saxon memiliki Attorney

General sebagai pucuk pimpinan, dan Indonesia adalah Jaksa Agung.

Berbeda dengan Kejaksaan Perancis semua Jaksa Penuntut Umum tetap menjadi pimpinan para jaksa di wilayahnya masing-masing dan


(39)

94

bertanggungjawab langsung kepada Menteri Kehakiman atas kinerja kejaksaan pada wilayah yuridiksinya masing-masing.

3. Posisi ideal Kejaksaan RI terwujud apabila kejaksaan Independen secara kelembagaan dan fungsional melalui amandemen atau menggantikannya dengan undang-undang baru serta memasukkan penguatan atas jaminan independensi Kejaksaan secara kelembagaan dan fungsi penegakkan hukum sebagai salah satu agenda penting dalam wacana amandemen UUD agar institusi Kejaksaan lebih “mumpuni” (onafhandelijk) dalam penegakkan hukum dan tidak terkesan sebagai alat penguasa. Kemudian secara kewenangan prinsip een en ondelbaar sepenuhnya dijalankan oleh Kejaksaan

B.Saran

1. Perlunya merubah institusi Kejaksaan dari lembaga pemerintahan menjadi “badan negara” yang mandiri dan independen (tidak adanya ancaman maupun campur tangan kekuasaan lembaga negara lainnya) dan mengangkat Jaksa Agung sebagai pejabat negara oleh Presiden sebagai Kepala Negara (bukan sebagai Kepala Pemerintahan) atas persetujuan DPR. melalui amandemen undang-undang yang ada atau menggantikannya dengan undang-undang baru agar Institusi Kejaksaan lebih mumpuni (onafhandelijk) dalam penegakkan hukum dan tidak terkesan sebagai alat penguasa.

2. Perlu memasukkan Kejaksaan dalam UUD secara implisit untuk memperkuat Kejaksaan secara kelembagaan yang independen dan fungsinya kewenangannya sebagai pelaksana fungsi penuntutan..


(40)

BAB II

KEDUDUKAN KEJAKSAAN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

A. Sejarah Kejaksaan dan Jaksa Agung di Indonesia

Jaksa sudah ada sejak zaman raja-raja berkuasa di Nusantara. Tetapi Kejaksaan baru ada di Indonesia pada pertengahan abad ke 19, sewaktu Pemerintah Kolonial (Gubernur Hindia Belanda) mengeluarkan “Reglemen Bumi Putera” atau Inlandsch Reglement98 (disingkat IR) dan “Reglemen Organisasi Pengadilan” atau Reglement op de Rechterlijke Organisatie (disingkat RO).99 IR 1848 merumuskan, antara lain, hukum acara pidana, sedangkan RO merumuskan Badan Penuntut Umum pada Pengadilan Bumi Putera (Landraad) maupun pada Pengadilan Golongan Eropa (Raad van Justitie).100

Pada akhir tahun 1941, IR menjadi Reglemen Bumi Putera yang Dibaharui, kemudian menjadi Reglemen Indonesia yang Dibaharui (RIB) yang

Di zaman kolonial, jaksa untuk golongan Eropa, sebutannya officier van justitie. Sedangkan untuk orang Indonesia asli sebutanya djaksa, perubahan dari adhyaksa, sebutan jaksa di zaman kuno.

98 Indische Reglement disusun oleh MR.H.L.Whicers mulai berlaku sejak tanggal 1 Mei

1848 sebagai hukum acara pidana dan hukum acara perdata bagi Golongan Bumi Putera. Sedangkan untuk Golongan Eropa berlaku Reglement op de Strafvordering dan sebagai hukum acara perdata Reglement op Rechtsvordering. Lihat dalam buku Yesmil Anwar dan Adang, Pembaruan Hukum Pidana, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, tahun terbit tidak diketahui), hlm. 41.

99 RM Surachman & Jan Maringka, Eksistensi Kejaksaan Dalam Konstitusi di Berbagai

Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), hlm. 40.

100

IR berlaku dalam yuridiksi-yuridiksi di Pulau Jawa dan Madura di bawah kewibawaan atau pengawasan seorang Magistraat yang diemban oleh seorang Resident (di Ibukota Karesidenan), dengan dibantu oleh para Assistant Resident (AR) di Kabupaten-kabupaten. Jabatan-jabatan tersebut adalah Jabatan-jabatan-Jabatan-jabatan bagi orang-orang Belanda. Residen bertanggung jawab kepada Gubernur Provinsi. Baca Ibid.hlm 40-41


(41)

34

dalam bahasa aslinya disebut Herziene Inlandsch Reglement (HIR)101 guna mengatur proses peradilan bagi golongan pribumi (masyarakat Indonesia pada zaman penjajahan Belanda). 102

Selain mengatur tentang Hukum Acara Pidana bagi golongan Bumiputera (IR yang kemudian diperbaharui menjadi HIR) tersebut juga mengatur hal-hal tentang kewajiban melakukan pekerjaan/tugas Polisi dan tentang mencari kejahatan dan pelanggaran pada umumnya,103 yang dilaksanakan oleh kepala desa dan sekalian pegawai bawahan yang lain, kepala distrik dan pejabat yang diperbantukan kepadanya, Kepala Jaksa dan Jaksa, Bupati dan Patih, Residen, begitu pula dengan Asisten-Residen diluar wilayah.104 Kemudian kewajiban tersebut juga diberikan bagi kepala bangsa Asing di lingkungannya masing-masing.105

RM Surachman dan Jan Maringka mengatakan bahwa para jaksa dikatakan termasuk korsa (korps; corps) pangreh praja

106

101

Pada kenyataannya, apabila Herzeine Indislandsch Reglement dibandingkan dengan hukum acara pidana bagi golongan Eropa yang diatur dalam Reglement op de Strafvordering (ROS: Staatblad 1817 No. 14), ROS dianggap jauh lebih baik dari pada HIR terkhusus mengenai aturan tentang jaminan-jaminan perlindungan hak-hak tersangka atau terdakwa. Baca pada Yesmil Anwar dan Adang, Op.cit. hlm 40

102

Ibid.

103

Diuraikan pada Bab I dan II Herziene Indlandsch Reglement. Yang dimaksud "melakukan tugas kepolisian" dalam pasal ini dengan singkat ialah "menjaga ketertiban dan keamanan umum" bagi kepentingan negara yang bersangkutan, pada zaman pemerintah Hindia Belanda untuk menegakkan penjajahan Belanda dan pada masa pendudukan tentara Jepang untuk memenangkan perang Asia Timur Raya.

104

Pasal 1 ayat (1) sampai (6) Herziene Indlandsch Reglement.

105

Pasal 2 Herziene Indlansch Reglement.

106Pangreh praja/pang-reh pra-ja/ pangréh praja/ ark n penguasa lokal pada masa

pemerintahan kolonial Belanda untuk menangani daerah jajahannya; pamong praja. Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Op.cit, hlm. 942.

yang merupakan pegawai negeri (bhinnenlandsch ambtenaar; civil servant), bukan korsa pegawai


(42)

35

kehakiman (judicial service). 107 Contoh konkretnya, seorang Mantri Polisi Kecamatan yang telah berpengalaman selama bertahun-tahun dapat diangkat menjadi Camat (Asisten Wedana). Tetapi ada juga Mantri Polisi yang dapat diangkat menjadi Ajun Jaksa. Demikian juga Camat setelah berpengalaman bertahun-tahun dapat menjadi Wedana. Akan tetapi, ada pula sebagian Camat yang diangkat menjadi Jaksa. Setelah berpengalaman bertahun-tahun baru Jaksa tersebut dapat diangkat menjadi “djaksa kepala” (Hoof djaksa) atau Kepala Kejaksaan.108

Namun demikian Jaksa dimasa IR 1848 bukanlah penuntut umum yang berwenang penuh

109

, melainkan jaksa yang belum mumpuni, (belum volwaardig) dan kedudukannya sebagai hulpmagistraat (ajun magistrate) yang bertanggung jawab kepada Residen di masing-masing keresidenan.110 Sebaliknya pada Badan Penuntut Umum (Openbaar Ministerie di Belanda, atau disingkat OM) untuk pengadilan bagi Golongan Eropa yang dipimpin oleh Procureur Generaal, yaitu Jaksa Agung pada Mahkamah Agung (Hooggerechtshof) Hindia Belanda di Batavia. Jadi di masa kolonial, badan penuntut umum untuk golongan Eropa ini termasuk korsa pegawai kehakiman (judicial service), bukan korsa pegawai negeri (civil service).111

107 RM Surachman dan Jan Maringka, Eksistensi … Op.cit, hlm. 41. 108 Ibid.

109

Pasal 46 ayat (2) berbunyi “Kalau tidak ditentukan orang yang lain, maka yang dikatakan pegawai-pegawai penuntut umum dalam reglemen ini, ialah jaksa jaksa pada pengadilan negeri.”

110 RM Surachan dan Jan Maringka,Eksistensi … Op.cit.hlm. 41 111 Ibid.


(43)

36

Tidak dapat disangkal, Badan Penuntut Umum (Kejaksaan) Indonesia modern merupakan adaptasi dari Badan Penuntut Umum atau Openbaar Ministrie (disingkat OM) di Belanda. Adapun OM di Belanda merupakan adaptasi dari Badan Penuntut Umum Perancis era Napoleon Bonaperte yang dikenal sebagai

Ministere Publique (Pengadilan Agung).112

Selanjutnya, dalam masa pendudukan Pemerintah Bala Tentara Kekaisaran Jepang (1941-1945) di Indonesia tidak terjadi perubahan yang terlalu mendasar kecuali dihapusnya Raad van Justice sebagai pengadilan untuk golongan Eropa113 dan digantikan dengan Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri),

Kootoo Hooin (Pengadilan Tinggi), dan Saikoo Hooin (Mahkamah Agung). Pada

pengadilan-pengadilan tersebut masing-masing dibentuk Kejaksaan Pengadilan Negeri (Tihoo Kenkatsu Kyoku), Kejaksaan Pengadilan Tinggi (Kootoo Kensatsu

Kyoku), dan Kejaksaan Agung (Saiko Kenkatsu Kyoku).114

Badan-badan peradilan tersebut merupakan pengadilan bagi semua golongan penduduk (Indonesia, Timur Asing, dan Eropa), kecuali bangsa Jepang. Dengan kata lain, badan-badan peradilan pada masa pendudukan militer Jepang

112

Ibid.

113 Ketentuan tersebut berlaku dengan dikeluarkannya Osamu Serei (Undang Undang)

Nomor 1 tahun 1942 yang mulai berlaku pada tanggal 7 Maret 1942. Maka dikeluarkan aturan Peralihan di Jawa dan Madura yang berbunyi: “Semua badan-badan pemerintah dan kekuasaannya, hukum dan Undang-undang dari pemerintah zaman dahulu tetap diakui sah buat semenara waktu asal saja tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer” yang tujuannya agar Hukum Acara yang sebelumnya tetap digunakan. Lihat buku Yesmil Anwar & Adang, Op.cit. hlm. 42. Istilah Kejaksaan juga dipergunakan secara resmi melalui undang-undang tersebut yang kemudian diganti dengan Osamu Seirei No. 3 Tahun 1942 dan No. 2 Tahun 1944.


(44)

37

tidak memiliki kewenangan untuk melakukan investigasi dan menyidangkan tersangka maupun terdakwa yang berkewarganegaraan Jepang.115

Berdasarkan Osamu Seirei No. 3 Tahun 1942 Pasal 2, Kejaksaan (Kensatsu Kyoku) ditugaskan untuk:116

1. menyelidiki kejahatan dan pelanggaran, 2. menurut perkara,

3. menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal, 4. mengurus pekerjaan lain-lain wajib dilakukan menurut hukum.

Periode pendudukan Jepang ini sangat penting dalam sejarah Kejaksaan Indonesia, karena jaksa dan kejaksaan menjadi berwenang penuh, menggantikan para Magistrat (Magistraaten), para penuntut umum Belanda (officieren van

justitie) dan badan penuntut umum (Openbaar Ministerie). Sedangkan kepolisian,

seperti di Jepang dan di Belanda, merupakan auxiliary agency, dan menurut HIR 1941 berstatus dan hubungan antara kedua penegak hukum tersebut sewaktu di tahun 1945 Indonesia memproklamasikan kemerdekaan.

Selain melakukan perubahan pada badan peradilan, pihak Jepang juga meniadakan Magistraat dan officier van justicie yang merupakan alat penuntut umum pada masa penjajahan Belanda. Tugas dan wewenang mereka dibebankan kepada penuntut umum Bumiputera (Jaksa) di bawah pengawasan Kepala Kantor Kejaksaan bersangkutan, yang merupakan seorang Jaksa Jepang dan membuat kedudukan Jaksa sebagai satu-satunya penuntut umum.117

115 Ibid. hlm 43

116 Marwan Effendy, Op.cit. hal 65-66 117 Ibid. hlm. 66


(45)

38

Memasuki masa proklamasi kemerdekaan Indonesia, dalam Aturan Peralihan yang dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)118 menyatakan peraturan yang masih ada tetap berlaku sampai digantikan dengan peraturan yang baru119. Jadi secara yuridis formal Lembaga Kejaksaan Republik Indonesia sudah ada sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan yang ditegaskan dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 jo PP No. 2 Tahun 1945, ketentuan yang digariskan oleh Osamu Serei No. 3 Tahun 1945 menyatakan Jaksa merupakan satu-satunya pejabat penuntut umum di Negara Republik Indonesia Proklamasi berdasarkan. Marwan Effendy dalam bukunya juga mengatakan tepat pada tanggal 19 Agustus, Rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia memutuskan mengenai kedudukan Kejaksaan dalam struktur Negara Republik Indonesia dalam lingkungan Departemen Kehakiman.120

Pada saat itu, kedudukan Kejaksaan Agung RI sebagai badan negara (staatorgan) dalam UUD 1945 pada dasarnya melanjutkan apa yang sudah dirumuskan di dalam Indische Staatsregeling (IS).

121

118 Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 berbunyi “Panitia Persiapan Kemerdekaan

Indonesia mengatur dan menyelenggarakan kepidahan Pemerintahan kepada

Dalam ketentuan perundang-undangan yang dimaksud, Kejaksaan Agung berdampingan dengan Mahkamah

119

Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 berbunyi “Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini.”

120 Marwan Effendy. Op,cit. hlm. 67

121 Indische Staatsregeling (I.S.) semacam UUD Dependence State (negara yang belum

merdeka) di jaman Hindia Belanda. I.S. merupakan peraturan ketatanegaraan Indonesia yang menggantikan Regering Reglement (R.R.). Sejak tanggal 23 Juli 1925 R.R. diubah menjadi I.S. yang termuat dalam Stb 1925 No. 415, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1926. Lihat dalam Ilham Mahendra, Diktat Pengantar Hukum Indonesia, (diakses dari


(46)

39

Agung. Sedangkan administratif, seperti pengadilan, kejaksaan berada di bawah Kementrian Kehakiman.122

Mengingat keadaan seperti itu, dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agugstus 1945, Soepomo, perancang utama UUD (the leading framer of the constitution) menjelaskan, tugas pokok Kementrian Kehakiman meliputi perihal administrasi pengadilan, kejaksaan, penjara, hukum pernikahan menurut hukum Islam, pengurusan wakaf dan zakat.123

Menyimak pemikiran para penyusun UUD 1945, di zaman pendudukan Jepang, menurut Yusril Ihza Mahendra, jelas sekali kekuasaan kehakiman mengikuti perumusan yang sangat dipengaruhi buah penalaran Muh. Yamin, seorang yuris lulusan Fakultas Hukum yang di masa itu disebut “Sekolah Tinggi Hukum” (Rechts Hooge School/RHS). Tidak terlalu mengherankan, mengapa tokoh penting dalam ilmu hukum dan ilmu sastra di Indonesia ini sedikit banyak dibayangi sistem yudikatif.124

122 Marwan Effendy. Op,cit. hlm.67 123

RM Surachman & Jan Maringka, Eksistensi … Op.cit. Hlm 49

Perhatiannya difokuskan pada kekuasaan kehakiman yang merdeka, yaitu badan-badan peradilan, dalam konteks pengadilan, bukam dalam konteks keseluruhan sistem peradilan pidana (criminal

justice system). Teori mengenai komponen-komponennya yang berfungsi sebagai

penyelenggara proses peradilan, waktu itu belum dikenal. Dalam pikiran Yamin, Kejaksaan ialah apa yang dikenal pada masa itu, baik dipraktikkan di Belanda

124

Yuzril Izha Mahendra, Kedudukan Kejaksaan dan Posisi Jaksa Agung dalam sistem presidensial di bawah UUD 1945, (diakses dari -prof-dr-yusril-ihza-mahendra?), terakhir diakses pada 14/07/2016 pukul 23:11 wib.


(47)

40

maupun Hindia Belanda. Akibatnya dalam keseluruhan proses perdebatan UUD 1945 status kejaksaan tidak pernah dibahas. Demikian juga kepolisian tidak pernah diperdebatkan.

Maka dari itu, tahun 1945 dan beberapa tahun setelah Indonesia merdeka, Kejaksaan dan Jaksa Agung sangat kuat, meskipun tidak diatur dalam UUD 1945. Di antara para Pendiri Republik, tidak sedikit yang bergelar meester in de rechten (mr), setara dengan magister hukum atau strata dua sekarang. Para yuris tersebut, terutama Soepomo dan Muh. Yamin, benar-benar mengetahui betapa signifikannya peran dan kedudukan jaksa hingga saat itu. Akan tetapi mereka tidak memasukkan kejaksaan kedalam UUD, justru karena mengetahui posisi Badan Penuntutan (Kejaksaan) di Belanda, yang disebut Openbaar Ministerie (OM). Seperti Ministere Publique bentukan Kaisar Napoleon di Perancis, OM berada di bawah Menteri Kehakiman. 125

Pada masa setelah Dekrit Presiden (5 Juli 1959-11 Maret 1966) terjadi perubahan dalam status Kejaksaan dari lembaga nondepartemen di bawah Departemen Kehakiman menjadi lembaga yang berdiri sendiri, yang dilandaskan pada Keputusan Presiden No. 204 Tahun 1960 Tanggal 15 Agustus 1960 yang belaku surut terhitung mulai tanggal 22 Juli 1960.126

125 RM Surachman dan Jan Maringka, Eksistensi … Op.cit. hlm 50 126

Peristiwa perubahan status lembaga Kejaksaan tersebut didahului dengan berubahnya kedudukan Jaksa Agung dari pegawai tinggi Departemen Kehakiman menjadi Menteri ex Officio dalam Kabinet Kerja I dan kemudian Menteri dalam Kabinet Kerja II, III, dan IV, Kabinet Dwikora dan Kabinet Dwikora yang disempurnakan, yang merupakan Jaksa Agung pertama yang menyandan status Menteri, walaupun hanya Menteri ex Officio. Lihat Ibid. hlm68-69

Kemudian Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong dengan surat Nomor: 5261/DPR-GR/1961 Tanggal 30 Juni 1961 dan surat Nomor: 5263/DPR-GR/1961 Tanggal 30 Juni


(48)

41

1961 perihal Pengesahan Rancangan Undang-undang Tentang Kentuan-ketentuan Pokok Kejakasaan Republik Indonesia oleh Presiden Ir. Soekarno menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia.127 Untuk mengatur dan menetapkan kedudukan, tugas, dan wewenang Kejaksaan dalam kerangka sebagai alat revolusi dan menempatkan Kejaksaan dalam struktur organisasi departemen disahkan Undang-Undang No. 16 Tahun 1962 tentang Pembentukan Kejaksaan Tinggi.128

Dengan keluarnya Keputusan Presiden Nomor 204 tahun 1960 pada tanggal 22 Juli 1960 (oleh Presiden Soekarno) dengan jelas memisahkan Kejaksaan dari Kementrian Kehakiman dari Mahkamah Agung. Kejaksaan bertransformasi menjadi suatu institusi yang berdiri sendiri di luar Departemen Kehakiman dan langsung menjadi bagian dari kabinet. Keppres tersebut merupakan landasan hukum pertama yang memposisikan Kejaksaan menjadi benar-benar bagian dari domein eksekutif.129

Suatu hal yang menjadi pertanyaan adalah, apakah sudah tepat bila kedudukan kejaksaan diletakkan di bawah kekuasaan eksekutif? Apabila kita mengacu pada teori Separation of Power, Montesquieu tidak memberikan pemikiran dimana letak sistem penuntutan, karena teori Separation of Power pada saat itu tujuan dari teori tersebut hanya untuk mencegah terjadi kekuasaan raja

127 Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, Sejarah Kejati Jateng, (diakses dari http://kt-jateng.

kejaksaan. go.id/main/profile/sejarah.html), terakhir diakses pada tanggal 02 Juli pukul 23:41 wib.

128 Marwan Effendy, Op.cit. hlm. 69 129 Ibid.


(49)

42

yang mutlak.130 Oleh karena itu, letak sistem penuntutan menjadi pemikiran yang serius dalam teori ilmu hukum dan pembagian kekuasaan negara menjadi tiga bagian perlu dipikirkan kembali.131

Sistem yang diterapkan oleh Presiden sukarno adalah sistem penuntutan yang berada dibawah Kepala Pemerintahan. Sebenarnya praktek sistem penuntutan- bermacam-macam bentuknya. Suatu negara tidak memiliki keseragaman, masing-masing negara memiiliki model yang berbeda-beda. Bahkan Kejaksaan RI sendiri yang merupakan adaptasi dari Kejaksaan Belanda memiliki perbedaan-perbedaan. Pada negara-negara eropa kontinental dikaitkan dengan teori pemisahan kekuasaan melahirkan beberapa model seperti132

130

Ilham Mahendra, Kekuasaan Penuntutan, (diakses dari :

1. Sistem penuntutan merupakan bagian eksekutif, berada dibawah Mentri Kehakiman dan Kepala Pemerintahan. Model seperti ini disebut model perancis (French Prosecutions model). Sistem ini diadopsi negara-negara lain seperti Czech Republik, Belanda, Inggris, Jepang dan Indonesia.

2. Sistem penuntuan yang terpisah dan mandiri dari kekuasaan eksekutif, dan bertanggung jawab kepada parlemen. Model ini dapat ditemukan pada negara antara lain: Hungaria, Republik Slovakia, dan Macedonia.

131 Ibid.

132Selain pembagian 3 model tersebut menurut Milan Hanzel negara-negara Eropa

memiliki model penuntutan yang sangat berfariasi. “Existing models of prosecutions in Europe, whisch vary considerably, can be assesed according to different criteria. Procecution can be integrated and unique body with its own organizational structure; it can be established as several independent bodiesindependent agent. However, it can be also subordinated body, authority at courts and for courts, body with wide or narrow competencies, authorithy of penal proceedings or authorit with competencies in area of public administration, etc.”Milan Hanzel. lihat Ibid.


(1)

II

Pada penyajian skripsi ini penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan yang disebabkan keterbatasan pengetahuan ilmiah yang dimiliki oleh penulis, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk melengkapi dan menyempurnakan karya ilmiah ini.

Penulis sendiri dalam proses pengerjaan skripsi ini menyadari telah mendapatkan banyak sekali bantuan, dukungan, saran serta doa yang tulus dari berbagai pihak untuk merampungkan skripsi ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis dengan kerendahan hati menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada:

1. Bapak Prof. Budiman Ginting, S.H., M. Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. OK Saidin, S.H., M. Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M. Hum., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M. Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Faisal Akbar Nasution, S.H., M. Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku Dosen Pembimbing I yang telah menyediakan dan meluangkan waktu untuk memberikan arahan serta bimbingan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.


(2)

III

6. Ibu Rafiqoh Lubis Lubis, S.H., M. Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak membantu penulis dalam memberikan bimbingan, member waktu, sumbangan pikiran, kritik dan saran yang membangun kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

7. Bapak/Ibu Dosen Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama masa perkuliahan.

8. Seluruh Staf dan pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 9. Wanita-wanita pujaan hati penulis, Priskila Ponomban, Claudia Ponomban

dan Louise Apfia Ponomban, untuk semua dukunngan doa dan kasih sayang kepada penulis.

10. Bang Deddy seorang abang yang penuh dengan karisma & talenta dan ayah yang luar biasa bagi keponakan penulis Dariel Purba dan Giffel Purba yang sangat tampan dan lucu.

11. Keluarga Besar penulis, Opung Baik, Opung Lewet, Tulang Ando, Tante Eli, Tante Moni, Tante Nora, Pak Anggi Ribar, Alica, Chrisyel, Shakira. Terimakasih untuk harapan dan doa kepada penulis.

12. Keluarga Kecil Penulis “ETROG” yang terdiri dari orang-orang yang luarbiasa baik dan mengagumkan seperti Ka Dessy Saida Simbolon, Ester Josephin Hutagaol, Rika Ambarita, Bobby Hanriadi Sitompul, Ka Dyna Hasibuan. Terimakasih untuk kebersamaannya selama ini.

13. Sahabat-sahabat terbaik penulis dari semester 1 sampai sekarang, Ito Cangkok penulis “Febriyani Helena Panjaitan”, sang ikan lele yang licin


(3)

IV

(Scot Parulian Lumbang Tobing) beserta aparanya (Immanuel Yanrichi Tobing), Anak hits Pekanbaru dan Medan (Arya Mulatua Manurung dan Frengky Arianto Simamora) dan sahabat penulis dari sejak SMA “Matchius Sinulingga”. Terimakasih untuk semua suka tanpa duka yang sudah dilewati bersama-sama.

14. Sahabat-sahabat penulis yang tidak kalah baiknya dan sangat-sangat berjasa bagi penulis ”Fredrik Girsang, Trioktober Sinaga, Frans Wardana Sitinjak, Mazmur Sinulingga”. Terimakasih sudah bersedia menampung penulis di Kos Bolang selama ini.

15. Sahabat Bolang Ka Naomi, Ka Sonya, Ka Evelyn, Sarah, Meilinda, Ander. Terimakasih untuk segalanya. Sukses buat semuanya, dan semoga Tuhan Yesus memberkati.

16. The Bandits “Bella, Natalia, Vanny, Deddy Ginting”. Terimakasih untuk kebersamaan dan pelajaran berharganya.

17. Sahabat penulis “Nadella Trully” untuk semua semangat, doa, dan kenangan yang tak terlupakan bagi penulis.

18. Sahabat terakhir penulis “Vista Venisia Clerence”. Lah terkataken.

19. Seluruh Civitas GMKI Komisariat FH-USU yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. UOUS!

20. Seluruh teman-teman satu jurusan Departemen Hukum Tata Negara dan anggota Persatuan Mahasiswa Hukum Tata Negara. Semoga kedepannya semakin sukses dan maju.


(4)

V

Semoga kedepannya penulisan skripsi ini dapat menjadi bahan referensi serta koleksi karya ilmiah yang memberikan kontribusi pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum terutama dalam bidang yang berkaitan dengan judul penelitian ini.

Akhir kata, Tinggilah Iman, Tinggilah Ilmu, dan Tinggilah Pengabdian. Ut Omnes Unum Sint, Syalom!

Medan, Oktober 2016 Penulis ,

Yeremia Pangellah Ponomban NIM: 120 200 113


(5)

VI DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... I DAFTAR ISI ... VI ABSTRAKSI ... VIII

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...1

B. Perumusan Masalah ...10

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ...11

D. Keaslian Penulisan...12

E. Tinjauan Kepustakaan ...13

1. Pengertian Jaksa dan Kejaksaan ...13

2. Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia ...16

F. Metode Penelitian ...28

G. Sistematika Penulisan ...31

BAB II KEDUDUKAN LEMBAGA KEJAKSAAN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA A. Sejarah Terbentuknya Kejaksaan di Indonesia ...33

B. Kejaksaan Sebagai Lembaga Pemerintah yang Melaksanakan Kekuasaan Negara di Bidang Yudisial ...49

C. Kejaksaan Sebagai Lembaga Pemerintah yang Melaksanakan Kekuasaan di Bidang Non Yudisial ... 57

BAB III PERBANDINGAN KEDUDUKAN LEMBAGA KEJAKSAAN DALAM KONSTITUSI DI BEBERAPA NEGARA A. Kedudukan Kejaksaan dalam Konstitusi Negara-Negara dengan Sistem Anglo Saxon ...66


(6)

VII

B. Kedudukan Kejaksaan dalam Konstitusi Negara-Negara dengan Sistem Eropa Continental ...71 BAB IV KEDUDUKAN IDEAL LEMBAGA KEJAKSAAN DALAM

SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA A. Kedudukan Ideal Kejaksaan secara Kelembagaan ...77 B. Kedudukan Ideal Kejaksaan secara Kewenangan ...88 BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ...91 B. Saran ...93 DAFTAR PUSTAKA ...IX