Tinjauan Yuridis Penyelesaian Wanprestasi dalam Perjanjian Kredit yang Mengakibatkan Kredit Macet (Studi pada Bank SUMUT Medan)

BAB II
PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM
A. Segi-segi Hukum Perjanjian
Mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur perjanjian pada umumnya
terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Buku ke III dengan
judul “Tentang Perikatan”. Kata perikatan mempunyai arti yang lebih luas dari
perjanjian. Sebab dalam Buku ke III itu, diatur juga perihal hubungan hukum yang
sama sekali tidak bersumber pada persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal
perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum dan perihal
perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak
berdasarkan persetujuan, akan tetapi sebagian besar dari buku ke III di tunjukan
pada perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian.24
1. Pengertian dan Pengaturan Perjanjian
Perjanjian menurut ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata disebutkan sebagai berikut:25
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

24
25


R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 2003), hlm. 122
Pasal 1313, Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Universitas Sumatera Utara

Terhadap rumusan Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
terdapat beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para sarjana hukum,
diantaranya dikemukakan oleh:
R. Subekti, yang memberi pengertian perjanjian: 26
“Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang
lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal,
bahwa dalam bentuknya perjanjian merupakan serangkaian perikatan yang
mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkannya atau ditulisnya.”
M. Yahya Harahap, memberikan pengertian perjanjian sebagai berikut: 27
“Perjanjian atau Verbintenis mengandung pengertian suatu hubungan
hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi hak
kekuatan kepada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus kewajiban
pada pihak lain untuk menunaikan prestasi”.
Abdulkadir Muhammad, mengatakan: 28
“Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan dua orang atau lebih saling

mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu dalam lapangan hukum harta
kekayaan”.

26
27

R. Subekti , Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 1987), hlm. 1
M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Bandung: PT. Alumni, 1986), hlm.

6
28

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Alumni, 1980), hlm.77

Universitas Sumatera Utara

R. Setiawan, memberikan pendapat: 29
“Perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.
Dari pengertian yang dikemukakan tersebut dapat disimpulkan, bahwa

perjanjian merupakan perbuatan yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua
belah pihak yang melakukan janji tersebut, untuk saling melakukan prestasi dan
kontra prestasi dalam lapangan hukum kekayaan.30
Hukum perjanjian menganut sistem terbuka, artinya peraturan-peraturan
hukum perjanjian yang tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata
hanya merupakan peraturan pelengkap saja. Jadi kepada masyarakat diberikan
kebebasan yang seluas-luasnya untuk membuat suatu perjanjian sesuai dengan
syarat-syarat yang mereka tentukan dan sepakati bersama. Sistem terbuka dari
Kitab Undang-undang Hukum Perdata terdapat dalam Pasal 1338 yang
berbunyi:31
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya”.
Jadi setiap orang dapat membuat perjanjian apa saja sesuai dengan yang
diangan-angankan, dikehendaki serta disepakati, asal perjanjian yang mereka buat

29

R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Bina Cipta, 1979), hlm. 2
Ibid
31

Pasal 1338, Kitab Undang-undang Hukum Perdata
30

Universitas Sumatera Utara

tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum pada
Pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.32
Disamping manganut sistem terbuka, Kitab Undang-undang Hukum
Perdata juga menganut asas konsensualitas. Asas konsensualitas itu penting untuk
menentukan saat lahirnya suatu perjanjian. Adapun dari asas konsensualitas ini
menurut R. Subekti, adalah: 33
“Bahwa pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul yaitu sejak
detik tercapainya kata sepakat mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian antara
para pihak”.
Jadi suatu perjanjian dikatakan sah jika kedua belah pihak yang terlibat
dalam perjanjian itu telah mencapai kata sepakat.
2. Syarat Sahnya Perjanjian
Perjanjian berisi syarat-syarat tertentu. Berdasarkan pada syarat-syarat itu
perjanjian dapat dipenuhi atau dilaksanakan oleh pihak-pihak karena dari syaratsyarat itulah dapat diketahui hak dan kewajiban pihak-pihak dan cara
melaksanakannya.34 Perjanjian dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi Pasal

1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menentukan empat syarat
sahnya suatu perjanjian:35

32

Pasal 1337, Kitab Undang-undang Hukum Perdata
R. Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: PT. Alumni, 1982), hlm. 15
34
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti,
2011), hlm. 293
35
Pasal 1320, Kitab Undang-undang Hukum Perdata
33

Universitas Sumatera Utara

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Yang dimaksud dengan kesepakatan di sini adalah adanya rasa
ikhlas atau saling memberi dan menerima atau sukarela di antara
pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Kesepakatan tidak

ada apabila perjanjian dibuat atas dasar paksaan, penipuan atau
kekhilafan.
b. Kecakapan untuk membuat perikatan
Yaitu bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian harus cakap
menurut hukum, serta berhak dan berwenang melakukan
perjanjian. Menurut Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata kecakapan diukur bila para pihak yang membuat perjanjian
telah berumur 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi sudah
menikah dan sehat pikirannya.36
c. Suatu hal tertentu
Hal tertentu maksudnya objek yang diatur dalam perjanjian
tersebut haruslah jelas, dan dapat ditentukan. Jadi, tidak boleh
samar-samar.
d. Suatu sebab yang halal
Maksudnya isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan
perundang-undangan yang sifatnya memaksa, ketertiban umum,
dan kesusilaan.

36


Pasal 330, Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Universitas Sumatera Utara

Dua syarat yang pertama (a dan b) dinamakan syarat subjektif, karena
menyangkut orang-orang atau subjek yang mengadakan perjanjian tersebut.
Sedangkan dua syarat yang terakhir (c dan d) dinamakan syarat objektif, karena
mengenai objek perjanjian itu sendiri.37
Sedangkan Abdul R. Saliman menjelaskan tafsiran atas Pasal 1320 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, yaitu:38
a. Syarat subjektif
Syarat subjektif adalah syarat yang menyangkut pada subjek-subjek
perjanjian itu, atau dengan perkataan lain syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh mereka yag membuat perjanjian, meliputi:
1) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya,
2) Kecakapan pihak yang membuat perjanjian.
Apabila syarat subjektif tidak dapat terpenuhi, maka salah satu pihak
mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat
meminta pembatalan adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan
sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas. Jadi perjanjian yang telah dibuat itu

akan terus mengikat kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian, selama tidak
dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan
tersebut.39

37

R. Subekti, Op.Cit, hlm. 36
Abdul R. Saliman, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Teori dan Contoh Kasus, (Jakarta:
Perdana, 2014), hlm. 12-13
39
Ibid
38

Universitas Sumatera Utara

b. Syarat objektif
Syarat objektif adalah syarat yang menyangkut pada objek perjanjian
itu sendiri, yang meliputi:
1) Suatu hal tertentu,
2) Suatu sebab yang halal.

Apabila syarat objektif tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi
hukum atau batal dengan sendirinya, artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan
suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.
3. Asas-asas Hukum Perjanjian
Di dalam membuat suatu perjanjian tentunya harus memperhatikan asasasas yang ada pada perjanjian tersebut. Hukum perjanjian Indonesia mengenal
asas penting yang merupakan dasar kehendak pihak-pihak untuk mencapai tujuan,
beberapa asas yang berkaitan dengan perjanjian, yaitu:40
a. Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract)
Asas kebebasan berkontrak terdapat dalam Pasal 1338 Kitab Undangundang Hukum Perdata yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”.41 Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan
kebebasan kepada para pihak untuk:42

40

Johannes Ibrahim, Pengimpasan Pinjaman dan Asas Kebebasan Berkontrak Dalam
Perjanjian Kredit Bank, (Jakarta: CV. Utomo, 2003), hlm. 37
41
Pasal 1338, Kitab Undang-undang Hukum Perdata
42

Johannes Ibrahim, Loc.Cit

Universitas Sumatera Utara

1) Membuat atau tidak membuat perjanjian.
2) Mengadakan perjanjian dengan siapapun.
3) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratan, serta
4) Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
b. Asas konsensualisme (concensualism)
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 Ayat (1)
Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pada pasal tersebut ditentukan
bahwa salah satu syarat sahnya suatu perjanjian adalah adanya kata
kesepakatan antara kedua belah pihak. Sejak saat itu perjanjian
mengikat dan mempunyai akibat hukum. Asas ini merupakan asas
yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan
secara formal, melainkan cukup dengan secara lisan saja, artinya dapat
dipercaya dengan kata-kata yang diucapkannya.43
c. Asas kepastian hukum (pacta sunt servanda)
Asas kepastian hukum dapat dilihat pada Pasal 1338 Ayat (1) Kitab
Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan “Semua perjanjian

yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya”.44 Artinya bahwa kedua belah pihak wajib mentaati
dan melaksanakan perjanjian yang telah disepakati sebagaimana
mentaati undang-undang. Oleh karena itu, akibat dari asas kepastian
hukum ini adalah perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali tanpa
persetujuan dari pihak lain. Hal ini disebutkan dalam Pasal 1338 Ayat
43
44

Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hlm. 296
Pasal 1338 Ayat (1), Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Universitas Sumatera Utara

2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu “Suatu perjanjian tidak
dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau
karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup
untuk itu.45
d. Asas itikad baik (good faith)
Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 Ayat 3 Kitab Undangundang Hukum Perdata yang berbunyi “Perjanjian harus dilaksanakan
dengan itikad baik”.46 Asas ini merupakan asas bahwa para pihak,
yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak
berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan
baik dari para pihak. Asas itikad baik ini terbagi menjadi dua macam,
yaitu:47
1) Itikad baik dalam arti subjektif, yaitu kejujuran seseorang dalam
melakukan suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada
sikap batin seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum.
Itikad baik dalam arti subjektif ini diatur dalam Pasal 531 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata yang mengatakan “Kedudukan itu
beritikad baik, manakala si yang memegangnya memperoleh
kebendaan tadi dengan cara memperoleh hak milik dalam mana tak
tahulah dia akan cacat cela yang terkandung didalamnya”.48

45

Pasal 1338 Ayat (2), Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Pasal 1338 Ayat (3), Kitab Undang-undang Hukum Perdata
47
Johanes Ibrahim, Op.Cit, hlm. 38
48
Pasal 531, Kitab Undang-undang Hukum Perdata
46

Universitas Sumatera Utara

2) Itikad baik dalam arti objektif, yaitu penilaian terletak pada akal
sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang objektif untuk menilai
keadaan menurut norma-norma yang objektif.
e. Asas kepribadian (personality)
Asas kepribadian ini berhubungan dengan subjek yang terikat dalam
suatu perjanjian. Asas kepribadian ini diatur dalam Pasal 1340 Ayat
(1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa
“Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya”.49
pernyataan ini mengandung arti bahwa perjanjian yang dibuat oleh
para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.
4. Berakhirnya perjanjian
Suatu perjanjian berakhir apabila perikatan yang timbul dari perjanjian
tersebut telah dilaksanakan, yaitu masing-masing telah memenuhi prestasinya.
Menurut R. Setiawan ada beberapa cara yang dapat mengakibatkan
berakhirnya suatu perjanjian, yaitu:50
a. Ditentukan dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak, misalnya
perjanjian berlaku untuk waktu tertentu.
b. Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu perjanjian.
c. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan dengan terjadinya
peristiwa tertentu suatu perjanjian akan berakhir.
d. Pernyataan penghentian perjanjian (opzegging). Opzegging dapat
dilakukan oleh kedua belah pihak atau salah satu pihak.
e. Perjanjian hapus karena putusan hakim.
f. Apabila para pihak telah merasa bahwa tujuan perjanjian sudah
tercapai.
49
50

Pasal 1340 Ayat (1), Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Johanes Ibrahim, Op.Cit, hlm. 96

Universitas Sumatera Utara

g. Dengan persetujuan para pihak, untuk mengakhiri perjanjian tersebut.
Sedangkan berakhirnya dari suatu perikatan adalah sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 1381 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, menyebutkan
sepuluh hapusnya suatu perikatan, yaitu:51
a. Pembayaran, pengertian pembayaran dalam hal ini harus dipahami
secara luas tidak boleh diartikan dalam ruang lingkup yang sempit,
seperti yang selalu diartikan oleh masyarakat hanya terbatas pada
masalah yang berkaitan dengan pelunasan hutang semata-mata. Karena
ditinjau dari segi teknis, tidak selamanya mesti berbentuk sejumlah
uang atau barang tertentu bisa saja dengan pemenuhan jasa, atau
pembayaran dengan bentuk berwujud atau dengan immaterial.
Pembayaran prestasi dapat dilakukan dengan melakukan suatu prestasi.
b. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau
penitipan

barang,

sepatutnya

dilaksanakan

sesuai

hal

yang

diperjanjikan termasuk waktu pemenuhannya, namun tidak jarang
prestasi tersebut dapat dipenuhi sebelum waktu yang diperjanjikan.
Penawaran dan penerimaan pemenuhan prestasi sebelum waktunya
dapat menjadi sebab berakhirnya perjanjian, misalnya perjanjian
pinjam meminjam yang pembayarannya dilakukan dengan cicilan,
apabila pihak yang berhutang dapat membayar semua jumlah
pinjamannya sebelum jatuh tempo, maka perjanjian dapat berakhir
sebelum waktunya.

51

Pasal 1381, Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Universitas Sumatera Utara

c. Pembaharuan
menyebabkan

hutang

(Novasi),

berakhirnya

suatu

pembaharuan
perjanjian,

hutang

sebab

dapat

munculnya

perjanjian baru yang menyebabkan perjanjian lama yang diperbaharui
berakhir. Misalnya perjanjian novasi dimana terjadi pergantian pihak
debitur.
d. Kompensasi atau perhitungan timbal balik, dengan cara ini adalah
suatu cara penghapusan dengan jalan memperhitungkan utang piutang
secara timbal balik antara kreditur dengan debitur.
e. Percampuran hutang, pencampuran hutang terjadi jika kedudukan
kreditur dan debitur menjadi satu, maka terjadilah secara otomatis
pencampuran hutang, misalnya bila debitur menjadi ahli waris tunggal
dari debitur, dan bila seorang wanita juga seorang debitur kemudian
menikah dengan kreditur dalam suatu percampuran hutang.52
f. Pembebasan hutang, pembebasan hutang ini dapat terjadi karena
adanya kerelaan pihak kreditur untuk membebaskan debitur dari
kewajiban membayar hutang, sehingga dengan terbebasnya debitur
dari kewajiban pemenuhan hutang, maka hal yang disepakatai dalam
perjanjian sebagai syarat sahnya perjanjian menjadi tidak ada, dengan
demikian berakhirlah suatu perjanjian. Namun pembebasan hutang
pada masa sekarang sungguh sangat sulit, hal ini disebabkan karena
ketatnya persaingan ekonomi.

52

Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hlm. 144

Universitas Sumatera Utara

g. Hapusnya barang yang diperjanjikan, jika barang yang menajadi objek
suatu perjanjian musnah, maka perjanjian itu menjadi hapus asal
musnahnya barang itu bukan karena kesalahan pihak debitur dan dalam
hal ini pihak debitur harus membuktikannya.
h. Pembatalan perjanjian, tidak terpenuhinya syarat sah perjanjian dapat
menyebabkan perjanjian berakhir, misalnya karena pihak yang
melakukan perjanjian tidak memnuhi syarat kecakapan hukum.
i. Berlakunya suatu syarat batal, yang dimaksud dengan syarat batal
adalah suatu syarat yang tidak dipenuhi, maka perjanjian itu menjadi
batal atau perjanjian itu tidak pernah ada. Biasanya digantungkan pada
suatu peristiwa yang terjadinya tidak tentu.
j. Lewat waktu (daluwarsa), daluwarsa adalah suatu alat untuk
memperoleh sesuatu atau dibebaskan dari suatu perikatan dengan
lewatnya waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh
undang-undang.
Dengan berakhirnya perjanjian tersebut, maka para pihak kembali kepada
keadaan semula seperti sebelum perjanjian itu dibuat, dan para pihak terlepas dari
hak dan kewajiban yang terdapat dalam perjanjian tersebut.
B. Wanprestasi Dalam Perjanjian
Di dalam perjanjian selalu ada dua subjek hukum yaitu pihak yang
berkewajiban untuk melaksanakan suatu prestasi dan pihak yang berhak atas suatu
prestasi. Di dalam pemenuhan suatu prestasi atas perjanjian yang telah dibuat oleh
para pihak tidak jarang pula debitur lalai dalam melaksanakan kewajibannya atau

Universitas Sumatera Utara

tidak melaksanakan seluruh prestasinya, hal inilah yang disebut dengan keadaan
wanprestasi.53
1. Pengertian Wanprestasi
Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi
yang buruk dan bila dibandingkan dengan perkataan wanbeheer yang berarti
pengurusan yang buruk, demikian juga perkataan wandaad yang berarti perbuatan
yang buruk.54
Terdapat beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para sarjana tentang
pengertian wanprestasi tersebut, yaitu:
Menurut Wirjono Prodjodikoro, mengatakan bahwa:55
“Wanprestasi adalah ketiadaan suatu prestasi di dalam hukum perjanjian,
berarti suatu hal harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian”.
Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa:56
“Wanprestasi

terjadi

apabila

debitur

“karena

salahnya”

tidak

melaksanakan apa yang diperjanjikan maka debitur itu wanprestasi atau cidera
janji”.

53

R. Subekti, Op.Cit, hlm. 50
Ibid
55
Wirjono Prodjidikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, (Bandung: Sumur, 1981), hlm. 17
56
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank,(Bandung, Alumni, 1978), hlm.
54

59

Universitas Sumatera Utara

M. Yahya Harahap mengatakan bahwa:57
“Wanprestasi dapat dimaksudkan juga sebagai pelaksanaan kewajiban
yang tidak tepat pada waktunya atau dilaksanakan tidak selayaknya. Hal
ini mengakibatkan apabila salah satu pihak tidak memenuhi atau tidak
melaksanakan isi perjanjian yang telah mereka buat maka pihak yang telah
melanggar isi perjanjian tersebut telah melakukan perbuatan wanprestasi”.
Dari uraian tersebut dapat diketahui maksud dari wanprestasi yaitu
seseorang dapat dikatakan melakukan wanprestasi bilamana tidak memberikan
prestasi sama sekali, terlambat memberikan prestasi, melakukan prestasi tetapi
tidak menurut ketentuan yang ditetapkan dalam perjanjian.58 Dengan demikian
bahwa dalam setiap perjanjian, prestasi merupakan sesuatu yang wajib dipenuhi
oleh debitur dalam setiap perjanjian, apabila debitur tidak memenuhi prestasi
sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian tersebut makan dikatakan
wanprestasi.59
2. Bentuk-bentuk Wanprestasi
Wanprestasi seorang debitur yang lalai terhadap janjinya dapat berupa:60
a. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali, sehubungan dengan
debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka dapat dikatakan
debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.
b. Debitur memenuhi prestasinya tetapi tidak tepat waktunya, apabila
prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka
debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
c. Debitur memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru, debitur
yang memenuhi prestasi tetapi keliru apabila prestasi yang keliru
tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak
memenuhi prestasi sama sekali.
57

M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm. 60
Achmad Ichsan, Hukum Perdata-IB, (Bandung: Pembimbing Masa, 1969), hlm. 38
59
Ibid
60
Wan Sadjaruddin Baros, Beberapa Sendi Hukum Perikatan, (Medan: USU Press,
1992), hlm. 7
58

Universitas Sumatera Utara

Wanprestasi itu tidak terjadi dengan sendirinya, maka untuk menentukan
seseorang itu wanprestasi tergantung kepada waktu yang diperjanjikan. Dalam
kenyataannya, untuk menentukan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam
suatu perjanjian tidaklah mudah karena sering sekali terjadi di dalam perjanjian
tidak disebutkan kapan suatu hak dan kewajiban harus sudah dilaksanakan. Yang
mudah untuk menentukan saat debitur wanprestasi yaitu pada saat seseorang itu
melakukan perbuatan yang dilarang dalam perjanjian tersebut dan debitur tidak
memenuhi perikatan maka dapat dikatakan sebagai wanprestasi.
Jika dalam perjanjian tersebut tidak disebutkan atau ditentukan kapan
suatu hak dan kewajiban harus dilaksanakan, maka untuk keadaan semacam ini,
menurut hukum perdata, penetuan wanprestasi didasarkan pada surat peringatan
dari pihak kreditur kepada pihak debitur yang biasanya dalam bentuk somasi atau
teguran.
Pada Pasal 1238 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan
“Si berhutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah
akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini
menetapkan bahwa si berhutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang
ditentukan”.61
Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan
wanprestasi apabila sudah menerima surat somasi.

61

Pasal 1238, Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Universitas Sumatera Utara

3. Akibat Terjadinya Wanprestasi
Seorang debitur sudah diperingatkan atau sudah dengan tegas ditagih
janjinya, maka jika pihak debitur tetap tidak memenuhi prestasi yang
diperjanjikannya, pihak debitur itu berada dalam keadaan lalai atau alpa dan
terhadap debitur yang lalai dapat dikenakan empat sanksi yaitu:62
a. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur, Adapun ganti rugi
yang dikenalkan dalam Pasal 1243 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata adalah:63
1) Biaya, biaya merupakan segala pengeluaran dan perongkosan
yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh pihak kreditur.
2) Rugi, rugi merupakan setiap kerugian yang disebabkan karena
kerusakan barang yang merupakan kepunyaan kreditur yang
timbul sebagai akibat kelalaian debitur.64
3) Bunga, bunga merupakan kerugian yang berupa kehilangan
keuntungan yang sudah dibayangkan dan dihitung oleh
kreditur.
Ketentuan tentang ganti rugi ini diatur dalam Pasal 1248
sampai dengan Pasal 1251 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, oleh
undang-undang diberikan ketentuan tentang apa yang dapat dimasukan
dalam ganti rugi tersebut. Dapat dikatakan ketentuan-ketentuan itu
merupakan pembatasan dari apa yang boleh dituntut sebagai ganti rugi.
Dengan demikian seorang debitur yang lalai, masih dilindungi oleh
undang-undang terhadap kewenangan si kreditur.65

62

Wan Sadjaruddin Baros, Op.Cit, hlm. 8
Pasal 1243, Kitab Undang-undang Hukum Perdata
64
R Subekti , Pokok-pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Bina Cipta, 1979), hlm. 49
65
Nasrani, “Tinjauan Hukum Mengenai Penyelesaian Wanprestasi Yang Timbul Pada
Perjanjian Kredit Bank”, (Medan, Universitas Sumatera Utara, 2005), hlm. 45
63

Universitas Sumatera Utara

Pasal 1248 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatakan:66
“Bahkan hal jika tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan
karena tipu daya si berhutang, penggantian biaya, rugi dan bunga
sekadar mengenai kerugian yang dideritanya oleh si berpiutang dan
keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang
merupakan akibat langsung dari tak dipenuhinya perikatan.”
b. Pembatalan perjanjian, pembatalan perjanjian, bertujuan membawa
kedua belah pihak kembali kepada keadaan sebelum perjanjian
diadakan. Kalau pihak kreditur sudah menerima prestasi dari pihak
debitur, baik uang ataupun barang, maka itu harus dikembalikan.
Masalah pembatalan perjanjian karena adanya kelalaian pihak
debitur ini dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Pasal
1266 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang antara lain
menganggap bahwa syarat batal selamanya dianggap tercantum dalam
perjanjian dalam timbal balik. Meskipun pembatalannya harus
dimintakan kepada hakim, jadi pembatalan suatu perikatan tidak terjadi
dengan sendirinya dengan adanya wanprestasi itu, melainkan harus
dimintakan kepada hakim dan hakimlah yang membatalkan perjanjian
itu dengan keputusannya.67
Dengan demikian wanprestasi hanyalah sebagai alasan hakim
untuk menjatuhkan keputusannya yang membatalkan perjanjian itu.
Karenanya hakim menurut keadaan berwenang untuk memberikan
tenggang waktu kepada debitur untuk memenuhi prestasinya. Dalam
66
67

Pasal 1248, Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Nasrani, Op.Cit, hlm. 46

Universitas Sumatera Utara

memberikan waktu tersebut hakim harus mempertimbangkan apakah
debitur dapat memenuhi prestasinya, dan apakah prestasi itu ada
manfaatnya bagi kreditur.
Tenggang waktu yang diberikan untuk memenuhi prestasinya
ini disebut dengan terme de grace (jangka waktu pengampunan).
Apabila tenggang waktu yang ditentukan dalam mana pihak
debitur harus memenuhi kewajibannya telah lampau dan debitur masih
dalam keadaan wanprestasi, maka hal ini berakibat harta benda milik
debitur akan dieksekusi atau dilelang untuk memenuhi tuntutan dari
krediturnya, dalam hal ini apabila ternyata pihak debitur ada
meminjam sebagian harta bendanya dalam bentuk gadai, fidusia
maupun hipotik maka ekseskusinya dilakukan terhadap barang
jaminan tersebut.
c. Peralihan risiko, peralihan risiko atas kelalaian seorang debitur disebut
dalam Pasal 1237 Ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Yang
mengatakan “Jika si berutang lalai akan meyerahkannya, maka
semenjak saat kelalaian, kebendaan adalah atas tanggungannya.”68
d. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan dimuka hakim,
tentang pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi ke empat
bagi seorang debitur yang lalai adalah tersimpul dalam suatu peraturan
Hukum Acara, bahwa pihak yang dikalahkan wajib membayar biaya

68

Pasal 1237 Ayat (1), Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Universitas Sumatera Utara

perkara terdapat pada Pasal 181 Ayat (1) HIR. Seorang debitur yang
lalai tentu akan dikalahkan sampai terjadi perkara dimuka hakim.

Universitas Sumatera Utara