Konstruksi Pesan Persuasi Politik Anggota DPD Provinsi Sumatera Utara Drs. Rijal Sirait pada Pemilu DPD Tahun 2014

14

BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Paradigma dan Teori
2.1.1. Paradigma Interpretif
Istilah paradigma sebagai konsep ilmu komunikasi pertama kali
diperkenalkan oleh Thomas Kuhn dalam bukunya yang diberi judul The Structure
of Scientific Revolution (Sobur, 2014: 579). Menurut Kuhn, paradigma bukan

hanya sekedar aliran teori, melainkan model atau pola yang diterima sebagai hasil
kesepakatan. Bagi Kuhn, para ilmuwan bekerja di dalam paradigma-paradigma,
yang merupakan cara-cara umum untuk melihat dunia dan memutuskan karya
ilmiah apa yang harus dikerjakan serta teori-teori apa yang dapat digunakan dalam
mendukung sebuah karya ilmiah.
Paradigma-paradigma (world view), dipegang teguh oleh suatu komunitas
sarjana (ilmuwan) terdiri dari keyakinan-keyakinan, nilai-nilai, dan teknik-teknik
yang dimiliki bersama, dalam pandangan Kuhn disebut sebagai:
“Ilmu normal, bentuk ilmu yang dikerjakan secara rutin hari demi
hari. Lama-kelamaan, bagaimana pun, ilmu normal menghasilkan

serangkaian anomali yang tidak bisa diselesaikan dalam paradigma.
Pada titik ini akan terdapat pemutusan yang tiba-tiba dan paradigma
lama akan digantikan dengan paradigma baru (Kuhn dalam Sobur,
2014: 580).”
Paradigma sebagai pandangan dunia (world view) sebagai sebuah model,
sistem, atau perspektif yang terorganisasi dalam karya akademis yang menyokong
teori-teori serta metodologi penelitian tertentu, dan sering mengesampingkan
pendekatan-pendekatan saingannya. Yang diyakini nilainya, dan teknik-teknik
tersebut dalam perspektif metodologi.

14

Universitas Sumatera Utara

15

Paradigma merupakan gambaran fundamental mengenai masalah pokok
dalam ilmu tertentu. Paradigma membantu dalam menentukan apa yang mcsti
dikaji, pertanyaan apa yang mestinya diajukan, bagaimana cara mengajukannya
dan apa aturan yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh.

Paradigma merupakan unit konsensus yakni penerimaan bersama dalam metode
ilmiah terluas dalam bidang ilmu tertentu dan membantu membedakan satu
komunitas ilmiah (atau subkomunitas) tertentu dari komunitas ilmiah yang lain
dengan nilai, dan teknik-teknik berbeda.
Salah satu paradigma berpikir metodologis dilihat dari perspektif
interpretif. Perspektif interpretif tumbuh berdasarkan ketidakpuasan
terhadap perspektif positivis yang dipandang terlalu umum, terlalu
mekanis, dan tidak mampu menangkap keruwetan, nuansa dan
kompleksitas dari interaksi manusia (Ardianto dan Anees , 2007:
124).
Perspektif interpretif mencari sebuah pemahaman bagaimana (how) kita
membentuk pemaknaan dunia melandasi interaksi dan bagaimana kita berperilaku
terhadap dunia yang kita bentuk itu. Pencarian jenis pemahaman interpretif,
melalui teori interpretif mendekati dunia dan pengetahuan dengan cara yang
sangat berbeda dengan perspektif positivis.

Pemahaman dalam perspektif

interpretif dijabarkan melalui teori-teori fenomenologi, hermeneutika, dan
interaksionisme simbolis. Fenomenologi merupakan dunia sehari-hari dalam

kehidupan pribadi, yang akan membentuk kesatuan makna, dengan proses dialogis
sebagai sarana mencapai kesamaan keyakinan dalam interaksionisme simbolis.
Uraiannya adalah sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

16

1) Teori Fenemonologi
Fenomenologi dalam bahasa filsafat diartikan sebagai: percakapan dengan
fenomenon, atau sesuatu yang sedang menggejala (Driyarkara, 1989: 117). Pokok

permasalahan fenomenologi adalah fenomena, yang dalam KBBI (2014: 281)
diartikan sebagai: hal-hal yang dapat disaksikan dengan pancaindra, dan dapat
diterangkan dan dinilai secara ilmiah.
“Dunia-kehidupan (labenswelt) adalah dasar makna yang dilupakan oleh
ilmu pengetahuan”, hal ini dikemukakan oleh Husserl, pencetus filsafat
fenomenologi (Ardianto dan Anees, 2007: 127). Dunia kehidupan adalah unsur
sehari-hari yang membentuk kenyataan kita, unsur-unsur dunia sehari-hari kita
hadapi sebagai kenyataan yang menjadi dasar setiap teori sebagai “abstraksi dari

realitas” (Sobur, 2014: 780). Kita kerap memaknai kehidupan tidak secara apa
adanya, tetapi berdasarkan teori-teori, refleksi filosofis tertentu, atau berdasarkan
oleh penafsiran-penafsiran yang diwarnai oleh kepentingan-kepentingan, situasi
kehidupan, dan kebiasaan-kebiasaan kita. Maka fenemonologi menyerukan
kembali kepada benda-benda itu (zuruck zu de sachen selbst), yaitu upaya untuk
menemukan kembali dunia kehidupan.
Fenomenologi sebagai sebuah istilah diperkenalkan oleh Johann Heinrich
Lambert pada tahun 1.764 untuk menunjuk pada teori penampakan (Sobur, 2014:
204). Istilah fenomena (phenomenon) bagi gambaran khayal dari pengalaman
manusia, dan kemudian mengartikan fenomenologi (phenomenology) sebagai
teori tentang khayalan.

Universitas Sumatera Utara

17

Tradisi fenomenolog menekankan pada proses interpretasi. Teori-teori
fenomenologis melihat interpretasi sebagai sebuah proses pemahaman yang sadar
dan hati-hati. Fenomenologi secara harfiah berarti penelitian tentang pengalaman
sadar, di mana interpretasi mengambil peranan yang penting (Littlejohn dan Foss,

2011: 192).
Schutz dalam karyanya, The Phenomenology of the Social World ,
mendefinisikan bahwa fenomenologi dunia sosial pada dasarnya
membahas tiga tema utama, yakni: 1) dunia kita sehari-hari, 2)
sosialitas, dan 3) makna dan pembentukan makna (Sobur, 2014:
211).
Dunia sehari-hari dalam pergaulan sosial membentuk bahasa dan makna,
serta terjadi interaksi sosial antar anggota masyarakat yang membentuk berbagai
tipe harapan dan tingkah laku yang kemudian diterima bersama. Dunia sehari-hari
merupakan kenyataan paling dasar, dengan bahasa dan pembentukan makna
bersama menjadi realitas terpenting dalam kehidupan manusia.
Sosialitas akan menjadi tindakan sosial, ketika penerimaan terhadap
kehidupan sehari-hari dibentuk menjadi tingkah laku yang kemudian diterima
bersama. Tindakan sosial terjadi ketika suatu perbuatan diarahkan kepada orang
lain sebagai teman.
Kesosialan menurut Plat, kenyataan bahwa manusia itu bertumbuh dan
berkembang dalam banyak ruang rohani (interpersonal), di mana hidup
bersama menciptakan banyak cara tertentu dalam berpikir, berbicara,
menilai, merasa dan berbuat dengan maksud asasi agar hidup bersama
mencapai taraf insani (Sobur, 2014: 211).

Menunjukkan bahwa penciptaan hidup bersama, di mana sesama manusia
saling memikirkan, bersedia untuk bergaul satu sama lain sebagai teman, bergaul
dengan damai, serta saling membantu karena mereka tunduk pada keadilan dan
cinta kasih. Makna dan pembentukan makna dalam struktur sosial sehari-hari

Universitas Sumatera Utara

18

dengan dukungan akal sehat (common sense) terbentuk dalam percakapan, itulah
komunikasi. Secara definitif, akal sehat sebagai pengetahuan yang ada pada setiap
orang dewasa yang sadar. Pengetahuan ini sebagian besar tidak berasal dari
penemuan sendiri, tetapi diturunkan secara sosial dari orang-orang sebelumnya.
Kaitan dengan peneliti, dalam pandangan fenomenologi, peneliti berusaha
memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam
situasi tertentu. Inkuiri fenomenologis memulai dengan diam, tindakan untuk
mengungkap pengertian tentang sesuatu yang diteliti. Yang ditekankan oleh kaum
fenomenologi adalah aspek subyektif dari perilaku orang. Mereka berusaha untuk
masuk ke dalam dunia konseptual para subyek yang ditelitinya sedemikian rupa
sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian dikembangkan

oleh mereka di sekitar peristiwa dalam kehidupannya sehari-hari (Moleong, 2006:
17).
Tugas utama analisis fenomenologi adalah merekonstruksikan dunia
kehidupan manusia sebenarnya dalam bentuk yang mereka sendiri
alami. Realitas dunia tersebut bersifat intersubjektif dalam arti bahwa
sebagai anggota masyarakat berbagai persepsi dasar mengenai dunia
yang mereka internalisasikan melalui sosialisasi dan memungkinkan
mereka melakukan interaksi atau komunikasi (Mulyana, 2003: 63).
Berdasarkan kapasitas politisi yang adalah aktor politik, para politisi
merupakan aktor kreatif dan dinamis, kajian analisis terhadap perilaku aktual
manusia sebagai politisi haruslah berdasarkan orientasi subjektif mereka sendiri.
Bagaimana para politisi dalam peran diri sebagai politico mampu menjadi wakil
rakyat dan menjadi dirinya sendiri dalam konteks pribadi.
Kaum fenomenologis berkepentingan meneliti bagaimana dunia dihayati
berdasarkan pemikiran-pemikiran bahwa realitas terpenting adalah bagaimana
manusia melukiskannya atau menghayati dunianya. Pemahaman-pemahaman di

Universitas Sumatera Utara

19


dalam perspektif fenomenologi dicari melalui pemahaman melalui metodemetode kualitatif. Metode observasi partisipan, open-onded interviewing dan
dokumen perorangan. Metode ini mencari data deskriptif yang memungkinkan
para fenomenologis “memahami dunia sebagaimana sang subjek memahaminya”
(Douglas dalam Arrianie, 2010: 26).
Pemahaman

tentang

fenomenologi

sesungguhnya

adalah

subjek

pendekatan untuk mengungkap secermat mungkin objek yang dikaji dan aspekaspek lain yang tidak mungkin dihitung dengan istilah matematika yang bagi
Bogdan dan Taylor:
“Tugas dari kaum fenomenologis menurut kami, dan tugas bagi para

pemakai metodologi kualitatif ialah: menangkap proses penafsiran
ini. Yang paling penting adalah, untuk menangkap makna-makna
dari tingkah laku manusia, di mana fenomenologis berusaha
memandang sesuatu dari sudut pandangan “orang itu sendiri”.
(Tingkah laku orang lain tidak diartikan menurut sudut pandang kita
yang terkesan subjektif) (Arrianie, 2010: 27).
Kemampuan menyerap dan kemudian mengungkapkan lagi perasaanperasaan, motif-motif, dan pemikiran yang ada dibalik tindakan politisi, termasuk
motif apa yang menarik bagi seorang wakil rakyat untuk menjadi anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), akan dikemukakan sebagai temuann penelitian,
apakah karena keprihatianannya untuk membela kepentingan rakyat, individu,
kelompok tertentu dan lain sebagainya, juga menjadi titik sentral untuk
mengetahui motif sang politisi dalam sistem perwakilan. Juga menjadi penting
tentang bagaimana mengembalikan fungsi dan peran politik sang aktor politik
sesuai dengan kapasitas peran yang harus dihayatinya termasuk bagaimana ia
memaknai peran sebagai wakil dari individu dan kelompok terwakil sesuai dengan
standar penilaian pribadinya.

Universitas Sumatera Utara

20


Beberapa

pendekatan

fenomenologi

saya

gunakan

untuk

lebih

memperjelas dunia kehidupan yang dapat disaksikan dengan pancaindra, dan
dapat diterangkan dan dinilai secara ilmiah, diantaranya adalah.

(1) Psikologi Fenomenologis Carl Rogers: Komunikasi Di Dalam dan Di
Antara Manusia

Carl Rogers (Sobur, 2013: 103) menyatakan bahwa: “jika psikologi
meninggalkan metode ilmiah yang positivis (sains modern), dengan metode apa
psikologi melanjutkan perjalanannya? Dengan fenomenologi...”, secara singkat
pernyataan tersebut menunjukkan bahwa bagaimana kita dan apa yang kita
lakukan adalah refleksi dari pengalaman subjektif kita terhadap dunia dan diri
kita sendiri.
Pada Rogers menurut Rakhmat, “fenomenologi menjadi dogma yang
menyatakan bahwa hanya pengalamanlah otoritas terakhir dalam kehidupan”.
Dalam On Becoming a Person, Rogers menulis:
“Hanya kepada pengalaman aku harus kembali berulang-ulang; untuk
menemukan perkiraan kebenaran yang lebih tepat sebagaimana apa
adanya dalam proses menjadi pada diriku. Tidak Alkitab, tidak pada
nabi, tidak Freud, tidak pula penelitian, tidak wahyu dari Tuhan atau
dari manusia dapat mengungguli pengalaman langsungku” (Sobur,
2013: 104).
Rogers menjelaskan manfaat komunikasi dengan gaya bertutur sederhana
melalui penjelasan ringan, tetapi dengan kemampuan tutur bahasa menyejukkan
hati menjadi modal politik bagi para aktor untuk memenangkan hati pemilih.
Digambarkan sebagai berikut di bawah ini:

Universitas Sumatera Utara

21

Meski kecenderungan untuk membuat penilaian banyak ditemui pada
hampir semua pertukaran bahasa, penilaian ini memuncak pada situasi
seperti ini di mana perasaan dan emosi terlibat sepenuhnya. Oleh
karena itu, semakin kuat perasaan kita, semakin besar
kemungkinannya bahwa tidak akan ada elemen yang sama dalam
komunikasi tersebut, yang akan ada hanya dua pikiran, dua perasaan,
dua penilaian, yang saling kehilangan dalam ruang psikologi (Sobur,
2013: 105-106)”.
Hal ini menurut Rogers menempatkan setiap orang dalam berbicara untuk
kepentingannya sendiri setelah ia mampu memahami dan menyadari sudut
pandang diri secara pribadi, baru kemudian mencoba benar-benar mencapai
kerangka pemikiran pembicara lain, memahami sepenuhnya perasaan orang lain,
lawan bicara anda sehingga dapat merangkumnya untuk menjadi solusi terhadap
pembicaraan. Konsekuensinya, proses komunikasi saling mempengaruhi di dalam
diri setiap individu, pemahaman sudut pandangan orang lain, pendapat pribadipun
harus banyak diubah. Emosi tidak akan ada lagi dalam suatu diskusi, perbedaan
berkurang, dan perbedaan yang tetap ada adalah yang rasional serta bisa dipahami.
Artinya, penciptaan situasi di mana masing-masing pihak mulai
memahami pihak lain dari sudut pandang masing-masing individu tersebut. Pada
praktiknya, menurut Sobur (2013: 106), hal ini dapat dicapai, bahkan saat
perasaannya memuncak melalui pengaruh dari seseorang yang bersedia
memahami setiap sudut pandang dengan penuh empati, dan yang kemudian
bertindak sebagai katalis untuk menghasilkan pengertian yang lebih jauh.

(2) Fenomenologi Linguistik Austin: Komunikasi Bahasa Pergaulan
Searle dalam salah satu karyanya, Speeach Acts, mengatakan bahwa:
“tindak tutur adalah unit dasar dari komunikasi” (Sobur, 2013: 125). Diantara
filsuf-filsuf Inggris mungkin tidak ada orang yang begitu bersemangat

Universitas Sumatera Utara

22

menyelidiki bahasa pergaulan yang bisa seperti Austin, demikian kata Bertens
(1990 dikutip kembali dalam Sobur, 2013: 125). “Ia yakin bahwa kita dapat
belajar banyak dengan memperhatikan bahasa biasa”.
Austin selalu menekankan bahwa penggunaan bahasa tidak boleh
dilepaskan dari situasi konkrit di mana ucapan-ucapan kita
dikemukakan dan dari fenomena-fenomena yang dimaksudkan
dengannya. Artinya, unsur-unsur bahasa (what) dianggap sama
penting dengan dunia fonomen-fenomen (when). Oleh karena itu,
Austin menilai fenemonologi linguistik (linguistic phenomenology)
sebagai nama yang tepat untuk menunjukkan usahanya karena
dengan nama itu dinyatakan percobaannya untuk menjelaskan
fenomena-fenomena melalui penyelidikan bahasa (Bertens dalam
Sobur, 2013: 125-126).
Hampshire sebagaimana dikutip Justin (Sobur, 2013: 137), menunjukkan
adanya dua tesis yang bisa menjelaskan pandangan Austin tentang relasi antara
bahasa dan „realitas‟: tesis kuat dan tesis lemah. Tesis kuat mengandung aplikasi
Prinsip Alasan Cukup (Principal of Sufficient Reason) dari Leibniz terhadap
bahasa sehari-hari. Tesis kuat juga menyatakan bahwa selalu ada alasan yang
mampu menerangkan mengapa ada perbedaan dalam bahasa sehari-hari sehingga
jika kita mencarinya cukup keras, kita pasti akan menemukannya. Pemeriksaan
terhadap bahasa sehari-hari justru mampu menjawab pertanyaan filosofis tentang
kebebasan

kehendak,

persepsi,

menamai

dan

menjelaskan,

pernyataan

kondisional.
Tesis yang lemah berpendapat bahwa sebelum kita memperkenalkan
perbedaan teknis, kita perlu mempelajari perbedaan yang terdapat dalam bahasa
sehari-hari dan bertanya mengapa mereka ada di sana. Perbedaan teknis perlu
disadari sebagai perbaikan bagi bahasa sehari-hari.

Universitas Sumatera Utara

23

Melalui metode fenomena linguistik, Austin (Sobur, 2013: 138) berupaya
memecahkan persoalan relasi antara bahasa dan problem filosofis. “Ketika kita
memeriksa apa yang harus kita katakan... kita melihat... bukan hanya pada katakata... tetapi juga pada realita”.
Fenomenologi linguistik bukan sekedar alat analisis atas kata-kata atau
bahasa, melainkan alat analisis atas „apa yang harus kita katakan pada suatu
waktu‟ (Justin dalam Sobur, 2013: 138). Oleh karena itu melalui fenomenologi
linguistik kita tidak diharuskan juga menganalisis situasi di mana percakapan atau
ujaran itu terjadi. Dengan kata lain, melalui pendekatan fenomenologi linguistik,
kita sebetulnya tengah mengamati dan menganalisis dunia: dunia kehidupan,
dunia sosial, dunia kita.

(3) Fenomenologi Habermas: Dunia Kehidupan Sebagai Konsep Tindakan
Komunikatif
Komunikasi boleh dikatakan merupakan tema hidup Habermas, dan
menjadi benang merah karya-karyanya. Bagi Habermas, komunikasi bukanlah
teknik atau komunikasi seperti yang biasa terjadi dalam media. Baginya menurut
Sobur (2013: 141), “komunikasi adalah sesuatu yang demikian khas dan dasariah
melekat pada masyarakat sehingga tanpanya, masyarakat tak kan ada”.
Habermas mengembangkan konsep dunia-kehidupan (Labenwelt) sebagai
pelengkap untuk konsep tindakan komunikatif (Hardiman, 2013: 38). Dalam
karyanya, The Theory of Communicative Action, ia membagi tindakan menjadi
empat jenis (Sumaryono, dalam Sobur, 2013: 153): tindakan teleologis, tindakan
normatif, tindakan dramaturgik, dan tindakan komunikatif.

Universitas Sumatera Utara

24

Tindakan teleologis aktor politik mempertahankan tujuan yang khas dan
untuk mencapainya dibutuhkan sarana tepat dan sesuai, yaitu keputusan. Untuk
membina tindakan ini, diperlukan model strategi dengan maksud untuk
memperhitungkan keberhasilan tindakan aktor, juga antisipasi dari keputusan
yang menjadi bagian yang ditambahkan pada tujuan yang hendak dicapai. Dengan
demikian, konsep dasar dalam tindakan ini adalah keputusan.
Melalui tindakan normatif, pertama-tama tindakan ini tidak diarahkan
pada tingkah laku aktor soliter (sendirian), tetapi lebih diarahkan pada kelompokkelompok sosial. Kita semua atau anggota kelompok sosial pada umumnya
mempunyai kecenderungan kepada nilai-nilai yang berlaku umum sehingga
mengukur tindakan kita atas dasar norma kelompok. Dengan demikian, konsep
dasar tindakan ini adalah pemenuhan terhadap norma.
Dramaturgik digambarkan sebagai, tindakan penampilan diri aktor politik
dalam image atau gambaran penampilan dirinya tersebut. Dengan demikian, yang
menjadi konsep dasar dalam tindakan ini adalah penampilan diri di hadapan
umum atau masyarakat.

Tindakan komunikatif, pada dasarnya menunjuk kepada interaksi,
sekurang-kurangnya dari dua orang yang mempunyai kemampuan berbicara dan
bertindak, serta membentuk hubungan antarpersona, baik secara verbal maupun
secara nonverbal. Di sini, aktor mencapai pemahaman terhadap suatu tindakan
serta rencana tindakan-tindakannya sendiri, juga tindakan terbaik atas dasar
persetujuan. Konsep dasar dalam tindakan ini adalah interpretasi. Di dalam
interpretasi bahasa mendapat tempat yang utama. Artinya, dunia-kehidupan

Universitas Sumatera Utara

25

memungkinkan tindakan komunikatif. Juga membantu pencapaian konsensus
karena berlaku sebagai basis bersama bagi para pelaku tindakan komunikatif.

2) Teori Hermeneutika
Hermeneutika dalam penelitian ini dikemukakan untuk menjelaskan
bagaimana pencarian metode ilmu sosial (dalam hal ini ilmu komunikasi) yang
berbeda dengan ilmu alam. Pada bagian fenomenologi kita telah menemukan
istilah dunia-kehidupan. Untuk dapat memahami hubungan dunia-kehidupan
dengan metode ilmu sosial, di mana batasan objek ilmu-ilmu sosial, seperti apa
yang dikemukakan Hardiman yaitu:
“Segala bentuk objek-objek simbolis yang kita hasilkan dalam
percakapan dan tindakan, mulai dari ungkapan-ungkapan langsung
(seperti pikiran, perasaan, dan keinginan), melalui endapanendapannya (seperti dalam teks-teks kuno, tradisi-tradisi, karya seni,
barang-barang kebudayaan, teknik-teknik dan seterusnya) sampai
pada susunan-susunan yang dihasilkan secara tidak langsung yang
sifatnya stabil tertata (seperti prana-pranata, sistem sosial, struktur
kepribadian” (Ardianto dan Anees, 2007: 130).
Objek ilmu sosial ini ditemukan sebagai objek-objek yang belum
terstruktur secara simbolis. Objek ini merupakan pengetahuan prateoritis yang
dihasilkan oleh para pelaku yang bertindak atau berbicara. Inilah wilayah duniakehidupan. Para pelaku sosial berada dalam wilayah prateoritis, atau dalam
wilayah dunia-kehidupan, karena cara bertindak dan berperilakunya belum
terstruktur; jadi tidak bisa diterima begitu saja sebagai benar apa adanya seperti
dan sebagaimana yang diinginkan oleh perspektif positivisme.
Dunia-kehidupan tidak dapat diketahui melalui observasi seperti dalam
metode-metode ilmu alam, melalui cara khas tertentu yang menurut pendapat
Hardiman disebut dengan pemahaman. Bahwa:

Universitas Sumatera Utara

26

“Apa yang ingin ditemukan dalam dunia sosial itu terutama bukan
kausalitas yang niscaya, melainkan makna. Oleh karena itu, tujuan
ilmuwan sosial mendekati wilayah observasinya adalah memahami
makna (sinnverstehen). Dalam hal ini, ilmuwan sosial tidak lebih
tahu daripada para pelaku dalam dunia-kehidupan itu. Oleh karena
itu, dengan cara tertentu ia harus masuk ke dalam dunia-kehidupan
yang unsur-unsurnya ingin ia jelaskan itu. Untuk menjelaskannya, ia
harus memahami. Untuk memahaminya ia harus dapat berpartisipasi
dalam menghasilkan dunia-kehidupan itu. Akhirnya partisipasi itu
mengandaikan bahwa ia sudah masuk dalam dunia-kehidupan itu”
(Ardianto dan Anees, 2007: 130).
Rasionalitas komunikatif merupakan inti dari ketidakterukuran permainan
bahasa sebagai kata akhir mengukur syarat-syarat yang memungkinkan
komunikasi sosial antarbudaya berbeda; suatu rasiolitas yang sama bagi semua
peserta dialog dan memang disyaratkan dalam tiap bentuk komunikasi.
Rasionalitas komunikatif didapatkan dari tindakan bicara, menilai, memahami dan
beraksi (Suharto, dalam Sobur, 2013: 161).
Pada titik inilah, hermeneutika menempati posisi penting.
Hermeneutika mengajukan metode pemahaman (verstehen) terhadap
dunia-kehidupan. Hermeneutika menegaskan bahwa fenomena khas
manusia adalah bahasa dalam memahami manusia dapat dimulai dari
bahasa sebagai objek-objek simbolis yang kita hasilkan dalam
percakapan dan tindakan, mulai dari ungkapan-ungkapan langsung
(seperti pikiran, perasaan, dan keinginan), melalui endapanendapannya (seperti dalam teks-teks kuno, tradisi-tradisi, karya seni,
barang-barang kebudayaan, teknik-teknik dan seterusnya) sampai
pada susunan-susunan yang dihasilkan secara tidak langsung yang
sifatnya stabil tertata (seperti prana-pranata, sistem sosial, struktur
kepribadian) (Ardianto dan Anees , 2010: 130).
Hermeneutika, sebagaimana dimaksudakan Habermas (Sobur, 2013: 157)
mengacu pada suatu „kemampuan‟ yang kita peroleh melalui belajar untuk
„menguasai‟ suatu bahasa alamiah. Hermeneutika juga bisa dipahami sebagai seni
memahami makna-makna yang bisa dikomunikasikan secara linguistik.

Universitas Sumatera Utara

27

Artinya, secara umum hermeneutika senantiasa berada dalam konteks
komunikasi,

suatu

menafsirkannya.

subjek

Dalam

menyampaikan

pemahaman

gagasan,

Habermas,

dan

terdapat

subjek
empat

lain
aspek

hermeneutika filosfis relevan dengan sains dan interpertasi hasil-hasilnya,
meliputi:
(1) kesadaran hermeneutika menghancurkan pemahaman diri secara
objektif mengenai sastra (geisteswissenschaften) tradisional; (2)
kesadaran hermeneutika memperingatkan ilmu sosial menenai
masalah yang muncul dari prastrukturasi objek secara simbolik; (3)
kesadaran hermeneutika mempengaruhi pemahaman diri secara
ilmiah dari ilmu alam; dan (4) kesadaran hermeneutika dituntut oleh
satu area interpretasi dan memiliki perhatian sosial yang besar
(Sobur, 2013: 162-163).
Pemahaman sastra tidak objektif dalam pemahaman hermeneutika,
berdampak pada menempatkan ilmu sosial secara simbolik pada perspektif sosial.
Hingga secara ilmiah, pemahaman ini akan menjadi pemahaman ilmiah dari ilmu
alam, bukan sesuatu yang hanya diterima apa adanya, akan tetapi dapat dianalisis
berdasarkan metode ilmiah (scientific). Interpretasi atau penafsiran individu atau
sekelompok individu dalam pergaulan sosial memiliki tanggung jawab sosial
besar, hingga tidak semua orang bebas dan mampu menafsirkan dunia kehidupan
berdasarkan pengalaman tanpa landasan analisis ilmiah.

3) Teori Interaksionisme Simbolis
Teori interaksi simbolis atau teori interaksi simbolis digunakan dalam
melihat fenomena politisi sebagai aktor politik. Manusia sebagai makhluk yang
dinamis, mampu menyelesaikan masalah secara rasional dan masyarakat
diasumsikan sebagai proses di mana individu-individu akan berinteraksi satu
dengan lainnya, bekerjasama melakukan perannya, mengembalikan arah dan

Universitas Sumatera Utara

28

tindakan, juga berkomunikasi. Maka paling tidak menurut Arrianie (2010: 28),
teori interaksionisme simbolik merupakan: “pendekatan yang bermanfaat untuk
menggali berbagai pengertian tentang kehidupan kelompok manusia dengan fokus
sentralnya tentang interaksi dan komunikasi yang dilakukan manusia”.
Pendekatan teori interaksionisme simbolis yang dikemukakan oleh Mead
dan Blumer berasumsi bahwa pengalaman manusia ditengahi oleh penafsiran.
Dalam karyanya, yang paling terkenal, yaitu masyarakat, diri sendiri dan pikiran,
Mead menyatakan bahwa:
“Kategori-kategori masyarakat, diri sendiri dan pikiran merupakan
aspek-aspek yang berbeda dari proses umum yang sama yang disebut
tindak sosial, yang merupakan kesatuan tingkah laku yang tidak
dapat dianalisis ke dalam bagian-bagian tertentu” (Littlejohn dan
Foss, terjemahan Hamdan, 2011: 232).
Dalam bentuk yang paling sederhana dan mendasar, sebuah tindakan sosial
melibatkan sebuah hubungan dari tiga bagian: gerak tubuh awal dari individu,
respons dari orang lain terhadap gerak tubuh tersebut, dan sebuah hasil. Hasilnya
adalah arti tindakan tersebut bagi pelaku komunikasi. Tindakan dimulai dengan
sebuah dorongan; melibatkan persepsi dan menunjukkan makna, pengulangan
secara mental, pertimbangan alternatif, dan penyempurnaan.
Makna merupakan sebuah hasil komunikasi yang penting. Pemaknaan
setiap individu berarti hasil dari interaksi dengan orang lain. Sebagai contoh,
walaupun anda mungkin belum pernah mendengar satu kandidat tertentu dalam
Pemilu, para tim sukses kandidat itu telah mengenal calon mereka masing-masing
dengan baik, dari mulai mereka bersama dalam keadaan tertentu sampai pada
kepribadian yang dimiliki kandidat; mereka telah belajar bahwa mereka dapat

Universitas Sumatera Utara

29

berkomunikasi melalui berbagai keadaan yang menunjukkan interaksi dengan diri
kandidat.
Penafsiran ini seperti percakapan internal: “Pelaku memilih,
memeriksa, menahan, menyusun kembali, dan mengubah makna
untuk mengetahui situasi di mana ia ditempatkan dan arah tindakantindakannya”. Jelasnya, setiap individu tidak akan dapat
berkomunikasi tanpa berbagi makna dari simbol-simbol yang
digunakan (Littlejohn dan Foss, 2011: 232).
Para ahli interaksionisme simbolis melihat bahwa individu adalah obyek
yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan
individu yang lain.
“Mereka menemukan bahwa individu-individu berinteraksi dengan
menggunakan simbol-simbol, yang di dalamnya berisi tanda-tanda,
isyarat, dan kata-kata. Simbol atau lambang adalah sesuatu yang
digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan
kesepakatan sekelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan
verbal), perilaku nonverbal dan objek yang disepakati bersama”
(Afdjani dan Soemirat, 2010: 59).
Setiap individu manusia menggunakan simbol-simbol berbeda untuk
memahami objek. Arti yang diberikan berdasarkan pada hubungan yang
terbangun dalam interaksi sosial. Objek menurut Blumer (Littlejohn dan Foss,
2011: 235) yang diperkuat dengan pendapat Mead terbagi atas tiga jenis: (1) fisik
(benda-benda), (2) sosial (manusia), dan abstrak (gagasan-gagasan).
Misalnya, seorang politisi bisa berarti sesuatu bagi masyarakat minoritas
pada suatu kelompok masyarakat tertentu yang selama ini membela kepentingan
mereka untuk keadaan tertentu; interaksi yang berbeda antara wakil rakyat dengan
yang diwakili (masyarakat) yang berbeda akan menciptakan makna-makna yang
berbeda untuk label politisi. Ini menunjukkan makna benda-benda di dalam
interaksi sosial memiliki makna berbeda dari apa yang terjadi pada interaksi
tertentu. Tidak demikian dengan politisi yang setelah terpilihnya mengabaikan

Universitas Sumatera Utara

30

kontrak sosial antara terwakil dan siapa yang diwakili, akibatnya, akan diberikan
hukuman bagi aktor politik dalam masayarakat. Bahkan, sebelum terpilih,
masyarakat sudah memberikan penolakan karena berbagai simbol-simbol berbeda
untuk memahami subjek.
Sosial yakni setiap individu manusia belajar untuk mendefinisikan maknamakna yang terjadi dalam setiap interaksi masyarakat, dirinya, dan pikiran. Hal ini
tidak terjadi dengan sendirinya, banyak individu yang tidak menemukan pengaruh
antara fisik (benda-benda), sosial (manusia) dan abstrak (gagasan-gagasan). Citra
tentang aktor politik menjadi penting sebagai bagian fisik bagaimana tampilan diri
dan sikap diri, hingga secara sosial diterima masyarakat, da ide-idenya dipercaya.
Yakni, pikiran ditentukan oleh makna-makna tersebut dan anggapan kelompok
(masyarakat) merupakan hasil-hasil dari interaksi. Interaksionisme simbolis
sebagai gerakan, ada untuk meneliti cara-cara manusia berkomunikasi, memusat,
atau dapat membagi makna.
Teori interaksi simbolik mengetengahkan soal diri sendiri (the self) dengan
segala atribut dunia luarnya. Artinya, dalam setiap interaksi manusia selalu
dipenuhi dengan simbol-simbol dan interaksi baik dalam kehidupan sosial
maupun kehidupan diri sendiri, dengan demikian maka interaksi simbolik tidak
lain merupakan cara pandang yang memperlakukan individu sebagai diri sendiri
sekaligus diri sosial yang berkomunikasi dan berinteraksi dengan individu di luar
dirinya. Interaksi dan komunikasi politik dilakukan untuk mempertukarkan pesanpesan politik dalam masa kampanye politik dengan pendekatan persuasif politik
menjadi bagian dari interaksionisme simbolik. Kandidat berinteraksi dan

Universitas Sumatera Utara

31

berkomunikasi mencapai kesamaan makna yang hendak diperjuangkan dari
pilihan bersama.

2.1.2. Komunikasi Politik
1) Definisi Komunikasi Politik
Komunikasi dan politik menjadi salah satu kajian komunikasi politik
tentang: proses dasar dalam komunikasi adalah penggunaan bersama (Sobur,
2014: 396). Pengertian ini melukiskan bahwa komunikasi merupakan proses yang
dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama, suatu keadaan yang
akan membentuk pikiran, perasaan atau kegiatan bersama. Dalam bahasa Inggris,
untuk kata tindakan ini adalah to share. Proses saling berbagi atau menggunakan
informasi secara bersama dan pertalian antara para peserta dalam informasi, itulah
komunikasi.
Komunikasi sebagai satu proses digambarkan di bawah ini:
Bagi Heidegger, komunikasi adalah suatu proses yang
memungkinkan orang berbagi atau mendorong perasaan/pengertian
bahwa dunia dapat dipahami, bahwa pengalaman masing-masing
individu dalam kelompok atau masyarakat tertentu menjadi berarti.
Tanpa komunikasi, orang akan kehilangan suatu keyakinan terhadap
kemungkinan untuk memahami pengalaman mereka akan dunia
(Sobur, 2014: 396).
Dampaknya bahwa seseorang yang tidak melakukan komunikasi dalam
interaksi sosialnya akan kehilangan pemahaman tentang berartinya pengalaman
mereka

dari

dan

untuk

orang

lain.

Suatu

masyarakat

yang

tidak

mengkomunikasikan pemahaman mereka tentang dunia, berdasarkan pengalaman
mereka akan kehilangan kesempatan bagi para anggota masyarakat tersebut untuk
merasa bahwa pengelaman mereka juga mempunyai arti terhadap keseluruhan

Universitas Sumatera Utara

32

masyarakat yang lain dalam dunia. Pendidikan menjadi pendukung bagi perasaan
akan adanya pemahaman (intelligibility) dengan cara membuka saluran
komunikasi.
Siap menang dan siap kalah, wujud penerimaan terhadap apa pun hasil
kontestasi politik. Termasuk tentang bagaimana meninggalkan dan menanggalkan
ego pribadi sebagai seorang “negarawan” istilah yang dipakai oleh Pemerintah
berkuasa saat ini ketika melabelkan hal tersebut kepada seorang kandidat Presiden
pada Pemilu 2014 lalu. Pertimbangan moral yang mengarahkan diri, masyarakat,
dalam pertarungan politik (kontestasi politik) siap menerima kehendak Tuhan.
Karena sesunguhnya faham keridhoan (kehendak Tuhan) dalam konteks
kepemimpinan masih diakui keberadaannya hingga sekarang di dalam masyarakat
Indonesia dan di daerah. Pribadi, agama dan Tuhan menjadi bagian menyatu
dalam kaitan etika politik.
Politik itu kejam, merupakan bahasa yang sering digunakan oleh orangorang yang merasa kecewa dan dikecewakan oleh politik. Hanya kepentingan
sesaat, tidak ada lawan dan kawan abadi, yang ada kepentingan bersama yang
dapat dipertukarkan secara transaksional. Sajian pengertian dan pandangan
tentang politik yang jauh dari etika politik. Akan tetapi dibenarkan oleh sebagian
besar politisi karena kekuasaan adalah kontestasi, memiliki harga tersendiri dalam
setiap aktivitasnya. Politik berada dipersimpangan keyakinan diri pribadi dan
masyarakat. Puja puji politik dan tidak jarang akhirnya politik dipersalahkan atas
segala dampak dari kebijakan yang dilalui dalam kehidupan sosial. Kesalahankesalahan pilihan dalam menetapkan keinginan hidup orang banyak sebagai
peraturan bersama.

Universitas Sumatera Utara

33

Idealnya, politik merupakan upaya manusia untuk membangun relasi
kehidupan di dalam negara yang mengatur hubungan kehidupan antara warga
negara dan negara. Hubungan yang disepakati antara pemerintah dan pihak yang
diperintah. Jelasnya, akan dipaparkan dalam definisi:
Secara etimologis, politik berasal dari bahasa Yunani: Polis. Politik
sering diartikan sebagai Negara Kota (city-state). Kata polis
memiliki banyak derivasi, seperti “polities” (warga negara) yang
dalam bahasa Inggris disebut citizen, dan “politicos” yang berarti
kewarganegaraan (civic). Artinya, secara konseptual politik yang
berasal dari bahasa Yunani berasal dari peradaban Yunani sebagai
usaha manusia untuk menciptakan tata kehidupan masyarakat yang
baik, dalam negara berarti menjadi warga negara dan
berkewarganegaraan yang baik dalam negara (Halim, 2014: 1).
Tinjauan terminologis, memberikan pengertian politik berkembang dari
kepentingan-kepentingan yang melatarbelakanginya dalam setiap pemberian
penafsiran tentang hal ini, sebagai mana dikemukakan dari beberapa pendapat di
bawah ini yang menunjukkan pergeseran makna dan pemaknaan politik sebagai
definisi yang disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan pada waktu itu. Ada
yang mengartikan politik sebagai cita-cita keadilan, upaya mencapai keputusankeputusan kolektif, serta upaya-upaya suatu bangsa mempertahankan dan
merubahan peraturan-peraturan yang selama ini diyakini dalam kehidupan
kebangsaaan.
Politik terus mengalami perkembangan, seiring kemajuan negara, melalui
institusi formal juga perubahan masyarakat melalui institusi non fomal (di luar
negara) proses demokratisasi, desentralisasi, keterbukaan, pasar bebas, privatisasi
dan globalisasi. Berkembangnya masyarakat madani, LSM, pers, dan lembagalembaga agama mewarnai perkembangan politik yang tidak hanya terbatas pada

Universitas Sumatera Utara

34

permasalahan negara akan tetapi sebagai makhluk individu dan sekaligus sosial.
Secara lengkap dapat kita lihat dalam pernyataan berikut:
Perkembangan politik ke arah pengertian politik yang diperluas
bukan terbatas pada permasalahan negara, tetapi manusia secara
keseluruhan dalam negara, sebagai makhluk individu dan sekaligus
sosial, dan sebagai pribadi merdeka sebagai hamba Tuhan. Inilah
yang menjadi dasar etika politik: dalam memandang manusia
sebagai zoon politicon (hewan berpolitik) ialah antropologi falsafah
(antroplogi kefilsafatan) (Khaeron, 2013: 18).
Aliran antropologi falsafah dan kemasyarakatan melahirkan dua paham
atau dua aliran, yakni: 1) aliran individualisme; dan 2) aliran kolektivisme
(Khaeron, 2013: 18). Individualisme merupakan cikap bakal liberalisme dalam
politik dan kapitalisme liberal dalam ekonomi. Sedangkan kolektivisme
merupakan cikal bakal dari paham sosialisme dan komunisme. Yang diutamakan
dalam paham liberal adalah kodrat manusia sebagai individu dan pribadi merdeka,
bukan manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk Tuhan.
Negara sosialis menunjukkan keberpihakan negara terhadap pendahuluan
kepentingan dan hak-hak masyarakat. Kecuali dalam negara yang menganut
paham komunis, dalam beberapa negara yang menganut paham sosialisme, hakhak individu tidak sepenuhnya ditindas.
Indonesia, sebagai negara dengan mayoritas muslim, memiliki
keunikan tersendiri dalam penempatan dan pengembangan sistem
etika politik, tidak menjadi paham individualisme dan juga tidak
menjadi paham kolektivisme. Pandangan Pancasila, relatif sejalan
dengan pandangan Islam. Dalam Islam, manusia selaku individu
ditempatkan dalam konteks kebersamaan dan persaudaraan
(Khaeron, 2013: 19).
Kebersamaan dan persaudaraan tidak akan pernah tercapai karena di dalam
politik ada kekuasaan sebagai masalah sentral di dalam suatu negara. Negara
merupakan pelembagaan masyarakat politik (polity) paling besar dan memiliki

Universitas Sumatera Utara

35

kekuasaan yang otoritatif (Marijan, 2012: 17). Bahkan, dalam pandangan Max
Weber kekuasaan di dalam suatu negara itu mencakup penggunaan paksaan yang
absah di dalam suatu wilayah tertentu.
Perbincangan politik sebagai fakta sosial, di mana negara menjadi objek
dan sekaligus subjek pembicaraan, berkaitan dengan kekuasaan di dalamnya,
seperti tentang bagaimana kekuasaan itu muncul, sumber-sumbernya, proses
perebutan dan mempertahankannya, dinamikanya, berikut pengalokasian dan
pendistribusiannya yang sering kali menjadi masalah pada hubungan antara wakil
dan terwakil dalam politik. Tentang konsep kebersamaan dan persaudaraan yang
memudar ketika kekuasaan sudah didapat. Kebersamaan dan persaudaraan
menjadi konsep penting dalam membangun etika politik, tentang bagaimana
istilah “siap menang dan siap kalah” dalam setiap kali kompetisi kekuasaan
mampu diterjemahkan sebagai kebersamaan dan persaudaraan. Inilai mentalitas
dalam konsep etika.
Politik dan komunikasi diyakini berjalan seiring dalam kehidupan sosial.
Tanpa politik tidak akan ada upaya bersama membangun kesamaan makna antar
manusia di dalam proses sosial. Tanpa komunikasi dan politik Negara Republik
Indonesia tidak akan berdiri. Di atas segalanya di dalam sistem politik dan proses
komunikasi, etika menjadi penting, mengikat tata moral dan kelakuan yang tidak
statis akan tetapi lebih memberi arah dalam perjalanan komunikasi politik.
Keadaan mendasar harus dipahami tentang keberlangsungan sistem politik searah
dengan perkembangan

dan perubahan masyarakat

melalui

pemahaman-

pemahaman politik yang melekat di dalam diri mereka, bersumber dari informasi
dan pendidikan politik.

Universitas Sumatera Utara

36

2) Komunikasi Politik: Komunikasi Persuasi Propaganda, Perklanan
dan Retorika
Secara umum menurut pandangan Soyomukti (2013: 23), setiap individu
atau kelompok politik akan memilih media komunikasi yang efektif untuk meraih
tujuan. Komunikasi yang melibatkan kepentingan untuk meraih, melaksanakan
dan membagi kekuasaan inilah yang disebutk komunikasi politik. Relefan dengan
penelitian ini, komunikasi politik yang dimaksud adalah merupakan tujuan
individu, yakni Rijal Sirait, memilih media komunikasi yang efektif dalam
kepentingan meraih kekuasaan di DPD Provinsi Sumatera Utara sebagai satusatunya wakil Alwashliyah Provinsi Sumatera Utara.
Komunikasi
politik, menggunakan
bentuk-bentuk
(form)
komunikasi, yang digambarkan oleh Black dan Haroldsen dalam
bukunya A Taxonomy of Concepts is Communication (1975) dan
diuraikan kembali, ke dalam 9 bentuk komunikasi politik, yakni: (1)
komunikasi intrapribadi, (2) komunikasi antarpribadi, (3)
komunikasi organisasional, (4) rumor, (5) komunikasi massa, (6)
komunikasi media massa, (7) telekomunikasi, (8) komunikasi verbal,
dan (9) komunikasi nonverbal (Soyomukti, 2013: 23).
Arti penting sumbangan pemikiran Almond terletak pada
pandangannya bahwa: “semua sistem politik yang pernah ada di
dunia ini, yang ada sekarang, dan yang akan ada nanti mempunyai
persamaan yang mendasar, yaitu adanya kesamaan fungsi yang
dijalankan oleh semua sistem politik” (Sobur, 2014: 420).
Indikasi ini menunjukkan komunikasi politik merupakan salah satu fungsi
yang tidak dapat diabaikan dalam sistem politik pada masa lalu, sekarang dan
pada masa datang dalam sistem politik dengan tidak melupakan bentuk-bentuk
komunikasi yang akan digunakan dengan tujuan keterjangkauan informasi baik
disampaikan secara pribadi atau menggunakan media massa. Berbagi informasi
menjadi tema yang membedakan komunikasi seseorang dalam masyarakat. Pesan
politik yang dibagikan menjadi tema komunikasi politik yang semakin membesar

Universitas Sumatera Utara

37

menjadi sistem politik. Sistem keterwakilan politik menempatkan wakil dan
masyarakat yang diwakili dalam proses interaksi dan komunikasi. Interaksi terjadi
pada pemosisian masing-masing pihak dalam kepentingan yang saling mengisi.
Komunikasi sebagai proses dialog mencapai kesamaan persepsi dan tujuan,
sebagai model pertukaran pesan pilihan kepada masing-masing pihak.
Pada setiap bagian sistem politik terjadi komunikasi politik, mulai dari
proses penanaman nilai (sosialisasi politik atau pendidikan politik) sampai pada
pengartikulasian dan penghimpunan aspirasi kepentingan, serta pada proses
pengambilan

kebijaksanaan,

pelaksanaannya,

dan

penilaian

terhadap

kebijaksanaan tersebut. Tiap-tiap bagian atau tahap ini disambungkan oleh
komunikasi politik.
Kajian komunikasi politik dilakukan melalui cara memilah-milah
setiap komponen yang terlibat, ditelaah secara holistik paradigmatik,
dengan melihat kaitan komponen yang satu dengan komponen
lainnya secara fungsional, di mana terdapat tujuan yang jelas yang
akan dicapai. Sanders dan Kaid menyebutkan dalam karyanya yang
berjudul Political Communication, Theory and Research: An
Overview 1976-1977, seperti dikutip Effendy, mengatakan bahwa
“komunikasi politik harus intentionally persuasive” (Sobur, 2014:
418).
Persuasif merupakan proses dialogis dalam komunikasi politik yang
menempatkan

masing-masing

pihak,

perwakilan

dan

terwakili

saling

mendengarkan, dan memahami. Menggunakan perspektif interpretif dan
transaksional, komunikasi politik sebagai: “pertukaran makna di antara dua pihak
atau lebih yang berkaitan dengan distribusi dan pengelolaan kekuasaan”
(Mulyana, 2014: 10-11).

Universitas Sumatera Utara

38

Secara umum, komunikasi politik sebagai setiap bentuk penyampaian
pesan politik, berupa lambang, kata-kata terucapkan atau tertlulis, maupun melalui
pesan-pesan visual, baik secara langsung ataupun tidak kepada sejumlah
sasaranya.
Adanya hubungan yang signifikan antara komunikasi dalam
pencapaian sasaran-sasaran politik juga diakui oleh Graber:
“sebagian besar aktivitas politik adalah permainan kata-kata. Politisi
berhasil meraih kekuasaan karena keberhasilannya berbicara secara
persuasif kepada para pemilih dan kepada elit politik. Selain itu juga
bergantung kepada efektifitas komunikasi dalam kegiatan seharihari” (Arrianie, 2010: 15).
Penekanan makna pada komunikasi politik sebagai sebuah proses
intentionalli persuasif, sebagai upaya merubah sikap dan perilaku seseorang harus

dilakukan terus menerus, tidak hanya menggunakan satu metode pendekatan
komunikasi, akan tetapi bisa dipadukan dengan bentuk komunikasi yang paling
dekat dengan setiap individu atau kelompok individu.
Persuasi diartikan sebagai upaya: “1) mengubah sikap dan perilaku
orang dengan menggunakan kata-kata lisan dan tertulis; 2)
penanaman opini baru; dan 3) usaha yang disadari untuk mengubah
sikap, kepercayaan, atau perilaku orang melalui transmisi pesan
(Nimmo, 1989: 131).
Ada tiga cara utama berpikir tentang persuasi seperti yang terjadi dalam
politik. Pendekatan-pendekatan kepada persuasi politik ini: 1) propaganda; 2)
periklanan; dan 3) retorik (Nimmo, 1989: 135). Serupa dalam beberapa hal:
semuanya bertujuan (purposif), disengaja (intensional), dan melibatkan pengaruh;
semuanya terdiri atas hubungan timbal balik antara orang-orang, jadi bukan satu
orang mendikte yang lain, dan semuanya menghasilkan berbagai tingkat
perubahan dalam dalam persepsi, kepercayaan, nilai, dan pengharapan pribadi.
Dipahami bahwa komunikasi politik sebagai intensitas politik yang bertujuan

Universitas Sumatera Utara

39

mencapai sesuatu yang disengaja, yakni penanaman persepsi positif, kepercayaan,
nilai dan harapan pribadi.
Komunikasi politik yang secara terus menerus dilakukan Rijal Sirait dalam
pemilu DPD 2014 lalu, dapat dilihat dari propaganda politik, iklan politik, dan
retorika politik. Penjelasannya sebagai berikut.

(1) Propaganda
Istilah propaganda pertama sekali dikenalkan oleh Lasswell dalam karya
klasik yang berjudul, Propaganda Technique in The World War (1927), dengan
hati-hati pertama sekali mendefinisikan propaganda sebagai:
“Kontrol opini dengan simbol-simbol penting, atau, berbicara secara
lebih konkrit dan kurang akurat melalui cerita, rumor, berita,
gambar, atau bentuk komunikasi sosial lainnya”. Pada tahun 1937,
Lasswell, mendefinisikan kembali propaganda berbeda dengan
definisi awal, yakni sebagai: “... teknik tindakan manusia dengan
memanipulasi representasi (penyajian). Representasi bisa berbentuk
lisan, tulisan, gambar atau musik” (Severin dan Tankard, 2005: 129).
Tidak ada kriteria absolut untuk menentukan apakah sebuah tindakan
persuasi adalah propaganda. Representasi atau penyajian yang berbentuk lisan,
tulisan, gambar atau musik. Hanya bisa dinilai dari anggapan bahwa suatu
tindakan menguntungkan sumbernya, tetapi tidak menguntungkan penerimanya,
maka tindakan itu adalah propaganda. Artinya, propaganda hanya digunakan
untuk menyakikan pesan secara lisan, tulisan, atau gambar hanya untuk
kepentingan sumber tanpa mempertimbangkan kepentingan penerima. Pada
konteks politik, aktor politik yang hanya mengumbar janji tanpa mampu
membuktikan janji secara nyata dalam kekuasaannya melakukan propaganda, dan
itu adalah kebohongan.

Universitas Sumatera Utara

40

Definisi Ellul, menyebutkan propaganda sebagai:
“Suatu alat yang dipergunakan oleh kelompok yang terorganisasi
untuk menjangkau individu-individu yang secara psikologis
dimanipulasi dan digabungkan ke dalam suatu organisasi. Yang
terpenting menurut Ellul (dan bagi sarjana-sarjana yang lain),
“perkembangan kelompok itu terjadi secara serempak dengan
perkembangan propaganda”. Propaganda adalah suatu gejala
kelompok yang erat kaitannya dengan “organisasi dan tindakan;
yang tanpa itu propaganda praktis tidak ada”. Propaganda yang
efektif hanya dapat bekerja di dalam suatu kelompok, pada
prinsipnya di dalam suatu negara (Nimmo, 1989: 137).
Lee and Lee, dalam bukunya yang berjudul The Fine Art of Propaganda,
menyebutkan tujuh alat umum propaganda. Alat-alat itu diberi nama-nama yang
menarik dan cukup sederhana untuk diajarkan di sekolah-sekolah umum, yakni:
1) Menjelek-jelekkan (name calling).
2) Menghubungkan sesuatu dengan kata yang baik (glittering
generality).
3) Membawa otoritas, dukungan dan gengsi dari sesuatu yang
dihargai dan disanjung kepada sesuatu yang lain agar sesuatu
yang lain itu lebih dapat diterima (transfer).
4) Kesaksian (testimoni).
5) Orang biasa (plain folks).
6) Pemilihan dan pemanfaatan fakta atau kebohongan (card
stacking).
7) Memiliki tema (bandwagon) (Severin dan Tankard, 2005: 131).
Brown (Severin dan Tankard, 2005: 131), pakar psikologi dalam
penelitiannya tahun 1958, menyimpulkan bahwa “alat-alat propaganda tidak
selalu efektif”. Karakteristik penerima pesan, sebagai individu seperti tingkat
pendidikan, dan sikap awal terhadap opini tersebut. Juga termasuk kesepakatan
kelompok berbeda pendapat dengan sumber.
Penting untuk dipahami bahwa propaganda bisa saja cukup efektif, peneliti
tidan menggunakan kata sangat efektif, karena dari perkembangan propaganda
sejak tahun 1927 hingga tahun 1958, dinyatakan oleh Severin dan Tankard (2005:
145), “dari bukti-bukti ilmiah bahwa Institute for Propaganda Analysis terlalu

Universitas Sumatera Utara

41

melebih-lebihkan efektivitas alat-alat tersebut”. Propaganda dengan tujuh teknik
di dalamnya, bisa dianggap penting sebagai usaha awal untuk mengeluarkan teori
tentang perubahan sikap. Inilah yang kemudian dinilai sebagai teknik komunikasi
dengan pendekatan persuasif.
Propaganda sebagai teknik komunikasi persuasif menurut pendapat
Sobur, adalah: “ditujukan kepada kalangan tertentu dengan maksud
memengaruhi opini, kepercayaan, emosi, serta perilaku mereka”.
Informasi yang disampaikan para propagandis bisa benar atau salah.
Propaganda menurut McQuail, dilakukan berdasarkan kepentingan
sumber atau pengirim, bukan penerima. Hampir pasti dalam
beberapa hal menurut McQuail, propaganda informasinya tidak
jujur, bahkan bohong, sebagaimana jenis penyesatan informasi
tersebut (2014: 663).
Propaganda dalam politik dilakukan secara sengaja dan terang-terangan,
menjadi kontrol sosial. Menghasilkan tatanan sosial oleh orang-orang yang secara
terus menerus belajar dan memperkuat kesetiaan politik, kepercayaan religius,
pandangan sosial, kebiasaan, kaidah-kaidah, dan suatu cara hidup yang mendasar
yang sama pada orang-orang tersebut. Dalam sekala sempit, di dalam organisasi
propaganda bisa dilakukan dengan efek yang dapat diperhitungkan. Akan tetapi,
dalam masyarakat atas keinginan mendapatkan partisipasi luas dari masyarakat
dalam Pemilu, tidak ada kelompok yang hanya dapat duduk dan menunggu opini
publik yang menguntungkan, mengharuskan organisasi giat memobilisasi
dukungan publik. Menyebarkan ideologinya, membangkitkan kewaspadaan
jumlah besar orang, menciptakan hubungan yang erat dengan dan diantara
mereka, menggalang kesetiaan mereka, dan mempertahankan kesetiaan diantara
mereka.

Universitas Sumatera Utara

42

Propaganda dalam fungsi sikap, berkenaan dengan perubahan sikap dalam
pengembangan pendekatan fungsional terhadap perubahan sikap membedakan
penerima sebagai pribadi rasional dan irasional. Rasionalitas berpikir dalam posisi
organisasi akan menjadi penghambat dalam mencapai individu-individu yang
secara psikologis dimanipulasi