Pengaruh Gaya Komunikasi dan Kepemimpinan Kepala Ruangan Terhadap Budaya Kerja Unit Pelayanan Keperawatan di Rumah Sakit Swasta di Kota Medan

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gaya Komunikasi
2.1.1 Pengertian Gaya Komunikasi
Gaya komunikasi (communication style) didefinisikan sebagai seperangkat
perilaku antar pribadi yang terspesialisasi digunakan dalam suatu situasi tertentu
(a specialized set of interpersonal behaviors that are used in a given situation).
Gaya komunikasi merupakan cara penyampaian dan gaya bahasa yang baik. Gaya
yang dimaksud sendiri dapat bertipe verbal yang berupa kata-kata atau nonverbal
berupa vokallik, bahasa badan, penggunaan waktu, penggunaan ruang dan jarak.
Pengalaman membuktikan bahwa gaya komunikasi sangat penting dan bermanfaat
karena akan memperlancar proses komunikasi dan menciptakan hubungan yang
harmonis (Parwiyanto, 2000).
Masing-masing gaya komunikasi terdiri dari sekumpulan perilaku
komunikasi yang dapat dipakai untuk mendapatkan respon atau tanggapan
tertentu dalam situasi yang tertentu pula. Kesesuaian dari suatu gaya komunikasi
yang digunakan, bergantung pada maksud dari pengirim (sender) dan harapan
pada penerima (receiver). Gaya komunikasi adalah adalah jendela untuk
memahami bagaimana dunia memandang sepenuhnya sebagai suatu kepribadian
unik. Hal Ini akan mempengaruhi hubungan, karir dan kesejahteraan emosional.

Dengan memahami gaya komunikasi akan memungkinkan untuk bekerja pada
aspek yang dapat dilihat (Nurhasanah, 2010).

13

Universitas Sumatera Utara

14

Ada empat tipe dasar menurut Ehow (2012) yang digunakan untuk
menggambarkan gaya komunikasi seseorang:
1. Komunikasi pasif
Gaya komunikasi pasif adalah tidak pernah membela diri sendiri, jika
seorang komunikator pasif akan menghindari untuk mengungkapkan pikiran,
perasaan dan opininya. Ketika mengekspresikan perasaan dirinya, sering
dengan cara minta maaf yang terkadang diabaikan oleh orang lain. Bahkan
sebagai komunikator pasif, mengizinkan orang lain untuk mengambil
keuntungan dengan melanggar hak-hak. Akibatnya merasa cemas, terjebak dan
putus asa karena berada di luar kendali hidup. Mungkin membenci orang lain
karena tidak mendapatkan kebutuhan terpenuhi dengan sempurna. Perilaku

membiarkan orang lain untuk mendominasi, seperti dengan berbicara lembut
dengan kontak mata terbatas dan menggunakan bahasa tubuh tunduk,
mengalami depresi dan kebingungan. Lebih jauh komunikator Pasif
menghindari konfrontasi beresiko oleh karena mereka menghindari untuk
mengekspresikan pendapat dan perasaan mereka secara terbuka. Pasif
komunikator biasanya memiliki rasa minder dan memungkinkan orang lain
untuk melanggar hak-hak mereka. Mereka cenderung berbicara lembut dan
menunjukkan kontak mata miskin. Pasif komunikator sering merasa marah
karena kebutuhan mereka tidak terpenuhi.

Universitas Sumatera Utara

15

2. Agresif
Gaya komunikasi agresif adalah jika seorang komunikator agresif, tetap
mempertahankan diri sendiri dan hak-hak secara langsung namun terkadang
berprilaku tidak pantas. komunikasi verbal ada kesan dapat melecehkan dan
melanggar atas hak orang lain. Pribadi agresif juga berasal dari rasa rendah diri
yang dilampiaskan dalam bentuk dominasi kekuasaan. Sebagai komunikator

agresif, mencoba untuk mendominasi orang lain dan mengancam, sering
mengkritik, dan menyalahkan lemahnya orang lain untuk mendapatkan
kekuasaan. Bahasa tubuh terlihat sombong, dan cepat marah kalau tidak sesaui
dengan keinginan. Sebagai hasilnya, dijauhi orang lain dan merasa lepas
kendali, tidak bisa mendapatkan kebutuhan terpenuhi dengan cara yang sehat.
Merasa orang lain berutang budi atau menganggap orang lain lebih rendah.
komunikasi Agresif melibatkan manipulasi. Seorang komunikator agresif
mungkin mencoba untuk membuat orang lain melakukan apa yang mereka
inginkan dengan menginduksi rasa bersalah atau menggunakan intimidasi.
komunikator agresif tidak memperhitungkan perasaan orang lain dan sering
berbicara dalam

keras,

menuntut

suara.

komunikator agresif sering


mengganggu dan tidak mendengarkan dengan baik. Untuk menjadi
komunikator yang lebih efektif, anda harus mengekspresikan diri secara
langsung secara jujur dan harus menghormati orang lain.

Universitas Sumatera Utara

16

3. Pasif-agresif
Gaya komunikasi pasif-agresif adalah jika seorang komunikator pasifagresif, tidak berhubungan langsung dengan masalah, tampaknya tidak
memiliki masalah luar dengan orang lain, sedangkan secara tidak langsung
mengekspresikan kemarahan dan frustrasi. Sebagai komunikator pasif-agresif,
menggunakan sarkasme, penolakan dan bahasa tubuh membingungkan. Dapat
mencoba untuk melemahkan atau bahkan sabotase orang lain. Akibatnya,
merasa tidak berdaya dan tidak efektif. Memiliki kesulitan memperoleh
kepercayaan sejak lain tidak melihat sebagai stabil atau mudah, dapat
meningkatkan efektivitas komunikasi dengan langsung berurusan dengan
masalah. Komunikator Pasif-agresif menghindari konfrontasi langsung namun
upaya untuk mendapatkan bahkan melalui manipulasi. Mereka sering merasa
tidak berdaya dan kesal. Mereka sering mengatakan "ya" ketika mereka benarbenar ingin mengatakan "tidak." Pasif-agresif komunikator sering sarkastis dan

berbicara unkindly tentang orang-orang di belakang punggung mereka. Mereka
mungkin bergumam untuk diri mereka dari pada menghadapi orang atau
masalah.
4. Tegas
Gaya komunikasi tegas adalah komunikator yang kuat jika tegas. Jika
seorang komunikator tegas, efektif menyatakan pikiran dan perasaan secara
jelas dan hormat. Menangani masalah tanpa melanggar atau mengasingkan
orang lain. Cenderung memiliki, sehat harga diri yang tinggi. Sebagai
komunikator tegas, menggunakan bahasa tubuh tenang, kontrol diri dan
mendengarkan aktif.

Universitas Sumatera Utara

17

Akibatnya, merasa memegang kendali dan lain-lain merasa betah dan
terhubung. Menerima tanggung jawab untuk masalah dan pilihan dan berdiri
sendiri. Tidak mencoba untuk mengendalikan orang lain. (Ehow, 2012 ).
Gaya komunikasi dipengaruhi situasi, bukan kepada tipe seseorang, gaya
komunikasi ini bukan tergantung pada tipe seseorang melainkan kepada situasi

yang dihadapi. Setiap orang akan menggunakan gaya komunikasi yang berbedabeda ketika mereka sedang gembira, sedih, marah, tertarik atau bosan. Begitu juga
seseorang yang berbicara dengan sahabat baiknya, orang yang baru dikenal dan
dengan anak-anak akan berbicara dengan gaya yang berbeda. Selain itu gaya yang
digunakan dipengaruhi oleh banyak faktor, gaya komunikasi adalah sesuatu yang
dinamis dan sangat sulit untuk ditebak. Sebagaimana budaya, gaya komunikasi
adalah sesuatu yang relatif. Sedangkan gaya komunikasi menurut Tubbs dan
Sylvia Moss (2002), yang akan kita jadikan acuan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1) The controlling style
Gaya komunikasi yang bersifat mengendalikan orang, ditandai dengan adanya
suatu kehendak atau maksud untuk membatasi, memaksa dan mengatur
perilaku, pikiran dan tanggapan orang lain. Orang-orang yang menggunakan
gaya komunikasi ini dikenal dengan nama komunikator satu arah atau oneway communications. Pihak-pihak yang menggunakan controlling style of
communications ini, lebih memusatkan perhatian kepada pengiriman pesan
dibanding upaya mereka untuk berharap pesan. Mereka tidak mempunyai rasa
ketertarikan dan perhatian untuk berbagi pesan.

Universitas Sumatera Utara

18


Mereka tidak mempunyai rasa ketertarikan dan perhatian pada umpan balik,
kecuali jika umpan balik atau feedback tersebut digunakan untuk kepentingan
pribadi mereka. Para komunikator satu arah tersebut tidak khawatir dengan
pandangan negatif orang lain, tetapi justru berusaha menggunakan
kewenangan dan kekuasaan untuk memaksa orang lain mematuhi pandanganpandangannya.
Pesan-pesan yang berasal dari komunikator satu arah ini, tidak berusaha
‘menjual’ gagasan agar dibicarakan bersama namun lebih pada usaha
menjelaskan kepada orang lain apa yang dilakukannya.
The controlling style of communication ini sering dipakai untuk mempersuasi
orang lain supaya bekerja dan bertindak secara efektif, dan pada umumnya
dalam bentuk kritik. Namun demkian, gaya komunikasi yang bersifat
mengendalikan ini, tidak jarang bernada negatif sehingga menyebabkan orang
lain memberi respons atau tanggapan yang negatif pula.
2) The equalitarian style
Aspek penting gaya komunikasi ini ialah adanya landasan kesamaan. The
equalitarian style of communication ini ditandai dengan berlakunya arus
penyebaran pesan-pesan verbal secara lisan maupun tertulis yang bersifat dua
arah (two-way traffic of communication). Dalam gaya komunikasi ini, tindak
komunikasi dilakukan secara terbuka. Artinya, setiap anggota organisasi dapat

mengungkapkan gagasan ataupun pendapat dalam suasana yang rileks, santai
dan informal. Dalam suasana yang demikian, memungkinkan setiap anggota
organisasi mencapai kesepakatan dan pengertian bersama.

Universitas Sumatera Utara

19

Orang-orang yang menggunakan gaya komunikasi yang bermakna
kesamaan ini, adalah orang-orang yang memiliki sikap kepedulian yang tinggi
serta kemampuan membina hubungan yang baik dengan orang lain baik dalam
konteks pribadi maupun dalam lingkup hubungan kerja. The equalitarian style
ini akan memudahkan tindak komunikasi dalam organisasi, sebab gaya ini
efektif dalam memelihara empati dan kerja sama, khususnya dalam situasi
untuk mengambil keputusan terhadap suatu permasalahan yang kompleks.
Gaya komunikasi ini pula yang menjamin berlangsungnya tindakan
share/berbagi informasi di antara para anggota dalam suatu organisasi.
3) The structuring style
Gaya komunikasi yang berstruktur ini, memanfaatkan pesan-pesan verbal
secara tertulis maupun lisan guna memantapkan perintah yang harus

dilaksanakan, penjadwalan tugas dan pekerjaan serta struktur organisasi.
Pengirim pesan (sender) lebih memberi perhatian kepada keinginan untuk
mempengaruhi orang lain dengan jalan berbagi informasi tentang tujuan
organisasi, jadwal kerja, aturan dan prosedur yang berlaku dalam organisasi
tersebut. Stogdill dan Coons dari The Bureau of Business Research of Ohio
State University, menemukan dimensi dari kepemimpinan yang efektif, yang
mereka beri nama Struktur Inisiasi atau Initiating Structure. Stogdill dan
Coons menjelaskan mereka bahwa pemrakarsa (initiator) struktur yang efisien
adalah orang-orang yang mampu merencanakan pesan-pesan verbal guna lebih
memantapkan tujuan organisasi, kerangka penugasan dan memberikan
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul.

Universitas Sumatera Utara

20

4) The dynamic style
Gaya komunikasi yang dinamis ini memiliki kecenderungan agresif,
karena


pengirim

pesan

atau

sender

memahami

bahwa

lingkungan

pekerjaannya berorientasi pada tindakan (action-oriented). The dynamic style
of communication ini sering dipakai oleh para juru kampanye ataupun
supervisor yang membawa para wiraniaga (salesmen atau saleswomen).
Tujuan utama gaya komunikasi yang agresif ini adalah mestimulasi atau
merangsang pekerja/karyawan untuk bekerja dengan lebih cepat dan lebih
baik. Gaya komunikasi ini cukup efektif digunakan dalam mengatasi

persoalan persoalan yang bersifat kritis, namun dengan persyaratan bahwa
karyawan atau bawahan mempunyai kemampuan yang cukup untuk mengatasi
masalah yang kritis tersebut.
5) The relinguishing style
Gaya komunikasi ini lebih mencerminkan kesediaan untuk menerima
saran, pendapat atau pun gagasan orang lain, daripada keinginan untuk
memberi perintah, meskipun pengirim pesan (sender) mempunyai hak untuk
memberi perintah dan mengontrol orang lain. Pesan-pesan dalam gaya
komunikasi ini akan efektif ketika pengirim pesan atau sender sedang bekerja
sama dengan orang-orang yang berpengetahuan luas, berpengalaman, teliti
serta bersedia untuk bertanggung jawab atas semua tugas atau pekerjaan yang
dibebankannya.

Universitas Sumatera Utara

21

6) The withdrawal style
Akibat yang muncul jika gaya ini digunakan adalah melemahnya tindak
komunikasi, artinya tidak ada keinginan dari orang-orang yang memakai gaya
ini untuk berkomunikasi dengan orang lain, karena ada beberapa persoalan
ataupun kesulitan antar pribadi yang dihadapi oleh orang-orang tersebut.
Dalam deskripsi yang kongkrit adalah ketika seseorang mengatakan: “Saya
tidak ingin dilibatkan dalam persoalan ini”. Pernyataan ini bermakna bahwa ia
mencoba melepaskan diri dari tanggung jawab, tetapi juga mengindikasikan
suatu keinginan untuk menghindari berkomunikasi dengan orang lain. Oleh
karena itu, gaya ini tidak layak dipakai dalam konteks komunikasi organisasi.
Gambaran umum yang diperoleh dari uraian di atas adalah bahwa the
equalitarian style of communication merupakan gaya komunikasi yang ideal.
Sementara tiga gaya komunikasi lainnya: structuring, dynamic dan
relinguishing dapat digunakan secara strategis untuk menghasilkan efek yang
bermanfaat bagi organisasi. Dan dua gaya komunikasi terakhir: controlling
dan withdrawal mempunyai kecenderungan menghalangi berlangsungnya
interaksi yang bermanfaat.
Dari ke-enam gaya komunikasi tersebut akan dijadikan sebagai acuhan
dan bahan yang paling penting dalam penelitian ini, karena penelitian ini akan
mencari tahu dari gaya komunikasi tersebut di atas yang mana yang dipakai oleh
pemimpin kepala ruangan di Rumah Sakit Bunda Thamrin Medan dalam
berkomunikasi dengan anggota lain dalam dudaya kerja unit pelayanan
keperawatan.

Universitas Sumatera Utara

22

Setiap orang memiliki gaya komunikasi masing-masing. Norton (1983)
mengemukakan gaya komunikasi dibagi menjadi sepuluh yaitu:
1. Dominant: yaitu komunikator dominan dalam berinteraksi. Orang seperti
cenderung

ingin

menguasai

pembicaraan

dan

tidak

suka

dipotong

pembicaraanya;
2. Dramatic: yaitu dalam berkomunikasi sering berlebihan, menggunakan hal-hal
yang mengandung kiasan, cerita dan permainan suara;
3. Animated expressive yaitu: komunikator cenderung menggunakan bahasa non
verbal, untuk memberi warna dalam berkomunikasi, seperti kontak mata,
ekspresi wajah dan gerak badan;
4. Open: yaitu komunikator bersifat terbuka, ramah tamah, tidak ada rahasia
sehingga timbul rasa percaya dan terbentuk komunikasi dua arah;
5. Argumentative: yaitu komunikator yang cenderung suka berargumen dan
agresif dalam berkomunikasi;
6. Relaxad: yaitu komunikator lebih tenang dan menyenangkan;
7. Friendly: yaitu komuniator yang berifat positif dan saling mendukung terhadap
orang lain;
8. Attentative: yaitu komunikator berinteraksi dengan orang lain dengan menjadi
pendengar yang aktif, empati dan sensitif;
9. Precise: yaitu komunikator lebih fokus pada ketelitian, dokumentasi dan bukti
dalam informasi dan argumentasi;
10. Impression

leaving:

yaitu

kemampuan

seorang

komunikator

dalam

membentuk kesan pada pendengarnya;

Universitas Sumatera Utara

23

Proses komunikasi seseorang dipengaruhi oleh gaya komunikasi
seseorang. Gaya komunikasi adalah suatu kekhasan yang dimiliki setiap orang
dan gaya komunikasi antara orang yang satu dengan yang lain berbeda. Perbedaan
antara gaya komunikasi satu orang dengan yang lain dapat berupa perbedaan
dalam ciri-ciri model dalam berkomunikasi, tata cara berkomunikasi, cara
berekpresi dalam berkomunikasi dan tanggapan yang diberikan atau ditujjukan
pada saat berkomunikasi (Sumiar dkk, 1999).
2.1.2 Faktor Pendorong Gaya Komunikasi
Ada tujuh komponen yang diidentifikasikan sebagai penyebab gaya
interaksi-tujuh hal yang mampu merefleksikan atau memberikan pandangan
mengenai interaksi setiap individu. Dengan demikian faktor yang mempengaruhi
gaya komunikasi, antara lain:
1. Kondisi fisik
Sesuai dengan penjelasan di atas terlihat jelas bahwasannya kondisi fisik
di mana kita melakukan komunikasi sangat mempengaruh gaya komunikasi.
Seperti halnya ketika kegiatan komunikasi itu dilakukan dengan kapasitas
minim dalam bertatap muka, hal tersebut akan berakibat pada ketidak
nyamanan dan kurangnya kepastian antara si pengirim dan penerima pesan.
Selain itu dapat menimbulkan ketidaksesuaian atau kenyamanan antara kedua
belah pihak.
2. Peran
Persepsi akan peran kita sendiri (sebagai pelanggan, teman atasan) dan
peran komunikator lainnya mempengaruhi bagaimana kita berinteraksi. Setiap
orang memiliki harapan yang berbeda dari peran mereka sendiri dan orang lain,

Universitas Sumatera Utara

24

dan dengan demikian mereka akan sering melakukan komunikasi antar satu
dengan lainnya.
3. Konteks histories
Sejarah mempengaruhi setiap interaksi. Sejarah bangsabangsa, tradisi
spiritual, perusahaan, dan masyarakat dengan mudah dapat mempengaruhi
bagaimana kita memandang satu sama lain, dengan demikian dapat
mempengaruhi gaya komunikasi.
4. Kronologi
Bagaimana interaksi itu cocok menjadi serangkaian peristiwa yang
mempengaruhi pilihan gaya komunikasi seseorang. Hal tersebut akan membuat
perbedaan, jika itu adalah pertama kalinya seseorang berinteraksi tentang
sesuatu atau kesepuluh kalinya, jika interaksi masa lalu seseorang telah berhasil
atau tidak menyenangkan. Maka akan membuat suatu perbedaan terhadap gaya
komunikasi seseorang.
5. Bahasa
Bahasa yang kita gunakan, "versi" dari bahasa yang kita ucapkan
misalnya, Aussie, Inggris, atau versi bahasa Inggris Amerika dan kelancaran
kita dengan bahasa tersebut. Semuanya memainkan peran dalam gaya
berkomunikasi seseorang. Gaya komunikasi seseorang dalam bahasa Inggris
berarti bahwa orang yang terbiasa berbahasa jepang tidak sepenuhnya
memahami dia, dan kemampuan ini akan memberikan batasan pada seseorang
untuk sepenuhnya berpartisipasi dan mempengaruhi arah pembicaraan.

Universitas Sumatera Utara

25

6. Hubungan
Seberapa baik kita tahu orang lain, dan seberapa banyak kita suka atau
percaya dia dan sebaliknya. Hal ini akan mempengaruhi bagaimana kita
berkomunikasi. Selain itu, pola kita mengembangkan hubungan tertentu dari
waktu ke waktu sering memberikan efek kumulatif pada interaksi selanjutnya
antara mitra relasional.
7. Kendala
Metode yang seseorang gunakan untuk berkomunikasi (misalnya,
beberapa orang membenci e-mail atau panggilan telepon) dan waktu yang kita
miliki hanya tersedia untuk berinteraksi dengan metode di atas. Jenis kendala
tersebut akan mempengaruhi cara kita berkomunikasi.
2.1.3 Hambatan Dalam Gaya Komuniksai
1) Hambatan teknis keterbatasan fasilitas dan peralatan komunikasi
Dari sisi teknologi, hambatan teknis ini semakin berkurang dengan adanya
temuan baru dibidang kemajuan teknologi komunikasi dan informasi,
sehingga saluran komunikasi dapat diandalkan dan efesien sebagai media
komunikasi.
2) Hambatan semantik
Gangguan semantik adalah hambatan dalam proses penyampaian
pengertian atau ide secara secara efektif. Definisi semantik sebagai studi atas
pengertian, yang diungkapkan lewat bahasa. Kata-kata membantu proses
pertukaran timbal balik arti dan pengertian (komunikator dan komunikan),
tetapi seringkali proses penafsirannya keliru. Tidak adanya hubungan antara
simbol (kata) dan apa yang disimbolkan (arti atau penafsiran),

Universitas Sumatera Utara

26

dapat mengakibatkan kata yang dipakai ditafsirkan sangat berbeda dari apa
yang dimaksudkan sebenarnya.
Untuk menghindari salah komunikasi semacam ini, seorang komunikator
harus

memilih

kata-kata

yang

tepat

sesuai

dengan

karakteristik

komunikannya, dan melihat kemungkinan penafsiran terhadap kata-kata yang
dipakainya.
3) Hambatan manusiawi/hambatan yang berasal dari perbedaan individual
manusia
Terjadi karena adanya faktor, perbedaan umur, emosi dan prasangka
pribadi,

persepsi,

kecakapan

atau

ketidakcakapan,

kemampuan

atau

ketidakmampuan alat-alat pancaindera seseorang.
2.1.4 Gaya Komunikasi Kepala Ruangan
De Vries, Pieper-Bakker dan Oostenveld (2010) mendefinisikan gaya
komunikasi seorang kepala ruangan adalah sebuah perilaku yang khas
komunikatif antar kepala ruangn dengan perawat pelaksana dengan mengarahkan
hubungan hirarkis untuk mencapa suatu tujuan tertentu atau tujuan individu.
Barnlund (2008) mengatakan bahwa gaya komunikasi kepala ruangan adalah
kegiatan berbagi informasi dengan bertukar tertulis pesan, gambar, dan perilaku.
Menurut Cetie et al. (2012) gaya komunikasi kepala ruangan merupakan pilar
utama bagi perawat pelaksana yang dapat mempengaruhi mereka pada kepuasan
dan budaya kerja mereka. Di sisi lain, ketika menganalisis berbagai
kepemimpinan tampak bahwa kompetensi utama, dalam hubungan interpersonal,
selalu berada pada gaya komunikasi kepala ruangan.

Universitas Sumatera Utara

27

Rouco (2012), gaya komunikasi kepala ruangan adalah faktor kunci pada
setiap pemimpin, harus dimiliki untuk meningkatkan budaya kerja perawat, yang
berarti bahwa ia harus memiliki satu set keterampilan yang membantu untuk
menjadi komunikator yang baik. Untuk ini, kepercayaan diri adalah penting untuk
seorang kepala ruangan sehingga benar menggunakan kualitas mereka,
memberikan perasaan aman dan kehadiran (Goleman, Boyatzis & Mckee, 2013).
Selain itu, kontrol diri membantu kepala ruangan mengatasi tindakan negatif
dalam situasi yang menyebabkan stress (Viera , 2002).
Pemimpin harus memiliki nilai-nilai keyakinan dan budaya bekerja
sebagai contoh untuk diikuti oleh perawat. Secara umum, gaya komunikasi kepala
ruangan adalah sebagai berikut: komunikasi asertif; komunikasi agresif;
komunikasi pasif; dan komunikasi manipulasi. Gaya komunikasi asertif dapat
diterjemahkan ke dalam kemampuan yang menyoroti hak dan legitimasi orang di
sekitar kepala ruangan (Ashman & Lawler, 2008). Kepala ruangan gaya agresif
mencari posisi superioritas, mudah dikonotasikan dengan kekuasaan yang dimiliki
kepala ruangan (Castelfranchi, 2004). Gaya komunikasi pasif dilambangkan
dalam individu takut mencari untuk bergabung dalam lingkungan tertentu dan
memblokir perasaan permanen ketika menghadapi masalah (Bennis & Nanus,
1985). Gaya komunikasi manipulasi adalah untuk menyiratkan bahwa memenuhi
hak dan kebutuhan orang lain, tetapi hanya melakukannya untuk kepuasan dan
melakukannya

diam-diam,

secara

mutlak,

sehingga

tidak

menimbulkan

kecurigaan (Gabriel, 1996).

Universitas Sumatera Utara

28

2.1.5 Alat Ukur Gaya Komunikasi
Sousa

dan

Rouco

(2014)

mengatakan

bahwa

alat

pengukuran

mengguanakan pengkajian yang efektif memungkinkan kepala ruangan dapat
menggunakan gaya komunikasi berfokus pada tindakan prioritas (25% hal yang
merupakan masalah yang sebenarnya) dan kompetensi gaya komunikasi yang
secara spesifik seperti gaya komunikasi tegas, gaya komunikasi yang sering
marah, gaya komunikasi yang ingin menang sendiri dan gaya kominikasi yang
cenderung diam atau tidak banyak untuk berbicara.
Berikut ini ada beberapa alat penilai yang biasa digunakan untuk menilai
gaya komunikasi dalam suatu budaya kerja layanan keperawatan:
a. CSQ (communication style questionnaire)
CSQ (communication style questionnaire) merupakan metode pengukuran
gaya komunikasi berdasarkan standar yang telah disusun, yang terdiri dari
beberapa pertanyaan dan setiap pertanyaan yang terdiri dari enam dimensi
yaitu: the controlling style (jika menjawab lebih dari tiga pernyataan), the
equalitarian style (jika menjawab lebih dari tiga pernyataan), the structuring
style (jika menjawab lebih dari tiga pernyataan), the dynamic style (jika
menjawab lebih dari tiga pernyataan), the relinguishing style (jika menjawab
lebih dari tiga pernyataan) dan the withdrawal style (jika menjawab lebih dari
tiga pernyataan) (Castaneda and Nahavandi, 1991).

Universitas Sumatera Utara

29

b. daftar tilik
Ada beberapa jenis alat penilai yang berupa daftar tilik yakni skala berat,
daftar tilik paksaan, daftar tilik sederhana. Skala berat, daftar tilik yang sering
digunakan, terdiri dari pernyataan gaya komunikasi yang mewakili gaya
komunikasi dan setiap pernyataan memiliki skor berat yang menyertainya.
Daftar tilik paksaan mensyaratkan agar memilih gaya komunikasi yang tidak
digunakan dan diinginkan untuk setiap kepala ruangan. Sedangkan daftar tilik
sederhana berupa deskriptif yang terdiri dari berbagai kata atau frase yang
menjelaskan beragam gaya komunikasi setiap kepala ruangan. Kelemahan
setiap daftar tilik adalah tidak adanya seperangkat standar gaya komunikasi
dan komponen tertentu tidak dibahas.
2.1.6 Hasil Ukur
Hasil ukur yang diperoleh dalam menilai gaya komunikasi kepala ruangan
dengan menggunakan daftar tilik cheklis yang dikembangkan menurut Steward L.
Tubbs dan Sylvia Moss (2002) dengan menggunakan Skala Likert dikatakan jika
kepala ruangan memakai gaya komunikasi dari enam gaya komunikasi tersebut
harus memenuhi kriteria banyaknya penilaian checklist yang didapat dalam
melakukan komunikasi. Identifikasi gaya komunikasi dengan unit yang diteliti
yaitu: the controlling style jika skor (lebih dari 3), the equalitarian style jika skor
(lebih dari 3), the structuring style jika skor (lebih dari 3), the dynamic style jika
skor (lebih dari 3), the relinguishing style jika skor (lebih dari 3),

dan the

withdrawal style jika skor (lebih dari 3), (Castaneda and Nahavandi, 1991).

Universitas Sumatera Utara

30

2.2 Kepemimpinan
2.2.1 Pengertian Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain.
Dengan kata lain kepemimpinan dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang
untuk mempengaruhi orang lainuntuk menggerakkan orang-orang tersebut agar
dengan penuh pengertian dan senang hati bersedia mengikuti kehendak pemimpin
tersebut. Kepemimpinan manajerial ditandai dengansifat manajerial dan
keterampilan manajerial yang mengarah ke pemberdayaan.
Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok
untuk pencapaian tujuan. Bentuk pengaruh tersebut dapat secara formal seperti
tingkat manajerial pada suatu organisasi. Karena posisi manajemen terdiri atas
tingkatan yang biasanya menggambarkan otoritas, seorang individu biasa
mengasumsikan suatu peran kepemimpinan sebagai akibat dari posisi yang ia
pegang pada organisasi tersebut dan terdapat enam ciri yang terlihat dari seorang
pemimpin yaitu: 1. ambisi dan energy, 2. hasrat untuk memimpin, 3. kejujuran
dan integritas, 4. kepercayaan diri, 5. kecerdasan, 6. pengetahuan yang relevan
dengan tugas pekerjaannya (Robbins, 2006).
Menurut Stoner (1996), kepemimpinan adalah suatu proses pemberian
pengaruh terhadap kegiatan dari sekelompok anggota yang saling berhubungan
tugasnya, Selanjutnya menurut Terry (2000), kepemimpinan adalah aktivitas
untuk mempengaruhi orang supaya diarahkan mencapai tujuan. Berdasarkan
defenisi diatas dapat diketahui bahwa kepemimpinan adalah proses pengarahan
dan pemberian pengaruh kepada bawahan, didasarkan pada kemampuan

Universitas Sumatera Utara

31

seseorang pimpinan untuk mengarahkan bawahannya dalam mencapai tujuan
organisasi.
2.2.2 Teori-Teori Kepemimpinan
1) teori “trait” (bakat)
Teori ini menekankan bahwa setiap orang adalah pemimpin (pimpinan
dibawa sejak lahir bukan didapatkan) dan mereka mempunyai karakteristik
tertentu yang membuatmereka lebih baik dari orang lain, teori ini disebut dengan
“Great Man Theory”. Banyak peneliti tentang riwayat kehidupan Great Man
Theory. Tetapi menurut teori kontemporer, kepemimpinan seseorang dapat
dikembangkan bukan hanya pembawa sejak lahir, dimana teori trait mengabaikan
dampak atau pengaruh dari siapa pengasuh. Situasi, dan lingkungan lainnya
(Marqus dan Huston,1998 dalam Arwani 2006).
Swanburg (2001) menyatakan ciri-ciri pemimpin menurut teori bakat
adalah: a) inteligensi: sifat yang berhubungan dengan inteligensi termasuk
pengetahuan, ketegasan, dan kelancaran berbicara. Menyadari bahwa pengetahuan
dan kompetensi dalam pekerjaan tertentu adalah salah satu faktor terpenting
dalam keefektifan pemimpin. b) kepribadian: sifat kepribadian seperti
kemampuan beradaptasi, kepercayaan diri, kreativitas dan integritas personal
dihubungkan dengan kepemimpinan yang efektif. Seorang pemimpin adalah
orang yang efektif mengetahui bagaimana memotivasi semangat kerja para
pekerja untuk mencapai tujuan organisasi. c) kemampuan: seorang pemimpin
mempunyai cukup kepopuleran, kemasyuran, dan keterampilan interpersonal
untuk memberikan symbol, memperluas, memperdalam kesatuan kolektif diantara
anggotanya dalam system tersebut.

Universitas Sumatera Utara

32

2) teori perilaku
Nursalam (2002) menyatakan bahwa teori perilaku lebih menekankan
kepada apa yang dilakukan pemimpin dan bagaimana seorang manajer
menjalankan fungsinya. Perilaku sering dilihat sebagai suatu rentang dari sebuah
perilaku otoriter ke demokrat atau dari fokus suatu produksi ke fokus pegawai.
Tentang teori prilaku terdapat teori X dan teori Y dari McGregor yang
dihubungkan dengan motivasi dari Moslow yang menyatakan bahwa setiap
manusia merupakan kehidupan individu secara keseluruhan yang mengadakan
interaksi dengan dunia individu lain (Swanburg, 2000).
2.2.3 Fungsi Kepemimpinan
Kepemimpinan dapat diterapkan yang mengandung beberapa konsep dasar
penting dimana fungsi kepemimpinan dijalankan. Beberapa konsep itu antara lain
Leadership is an art of giving;

motivational leadership; entrepreneurship;

managing time; stress; and conflict; dan planned change oleh pemimpin visioner
dan futuristic (Swansburg & Swansburg, 1999; Rocchiccioli & Tilbury, 1998).
Kelima konsep ini hanya sebagian dari berbagai konsep yang mewarnai
kepemimpinan kontemporer. Kepemimpinan merupakan seni untuk seseorang
pemimpin melayani orang lain (leadership is an art of giving), memberikan apa
yang dimiliki untuk kepentingan orang lain. Sebagai pemimpin, ia menempatkan
dirinya sebagai orang yang bermanfaat untuk orang lain. Untuk itulah diperlukan
sosok pemimpin yang mampu secara konsisten memberikan motivasi kepada
orang lain dan memiliki kualitas kunci (Rocchiccioli & Tibury, 1998) meliputi
kemampuan akan pengetahuan dan keterampilan (memimpin dan teknis),
mengkomunikasikan ide secara efektif, percaya diri, komitmen tinggi,

Universitas Sumatera Utara

33

pemahaman tentang kebutuhan orang lain, memiliki dan mengatur energi, serta
kemampuan mengambil tindakan yang dirasakan perlu untuk memenuhi
kepentingan orang banyak.
Dalam

kemampuan

mengantisipasi

bargaining,

ini

masa

depan,

pemimpinyang menjalankan terhadap fungsi kepemimpinannya memerlukan
kemampuan yang efektif secara internal maupun eksternal (Chowdury, 2003).
Kemampuan

untuk

pemimpin

melakukan

upaya

peningkatan

diri

dan

organisasinya serta menilai berbagai asupan dan umpan balik dari lingkungan
sebagai hal yang penting dalam mengambil keputusan.
Oleh karena itu, pemimpin seperti ini perlu untuk mengenali lebih mendalam
masyarakat dimana ia memimpin baik didalam maupun diluar. Dia juga
selayaknya mengenali keinginan lingkungan tentang keluaran yang dihasilkan
organisasi melalui kepemimpinannya. Seorang pemimpin keperawatan tidak akan
berhasil melakukan fungsinya apabila tidak memiliki kemampuan mengatur
waktu, mengendalikan stress, baik yang dialaminya maupun orang lain
(bawahan), dan juga mengatasi konflik yang terjadi baik internal maupun
eksternal, baik individu, maupun kelompok (managing time, stress, and conflict).
Seseorang pemimpin melihat terjadinya konflik dalam bekerja, ia
seyogiyanya memiliki pengetahuan dasar tentang konflik dan pendekatan untuk
menyelesaikannya tanpa harus mengorbankan salah satu pihak yang berkonflik.
Konsep kelima yang cukup penting adalah kemampuan kepemimpinan yang
melibatkan ketrampilan menginisiasi perubahan/pembaharuan secara terencana
(planned/change).

Universitas Sumatera Utara

34

Kepemimpinan memerlukan seseorang pemimpin yang mampu membawa
perubahan/pembaharuan tanpa menimbulkan kecemasan dan ketidak pastian
situasi akibat perubahan/pembaharuan tersebut pada orang yang terlibat
didalamnya. Konsep ini seyogyanya mendasari sifat kepemimpinan yang visioner
dan futuristik. Hal ini karena pemimpin yang berorientasi ke masa depan dan
mengetahui pilihan masa depan yang terbaik untuk bawahannya akan mampu
membawa perubahan/pembaharuan kedalam kehidupan kerja para bawahannya
dengan sebaik-baiknya melalui perencanaan yang matang dan waktu yang tepat.
2.2.4 Kegiatan Kepemimpinan
Kegiatan kepemimpinan dalam keperawatan mencakup banyak hal.
Kegiatan tersebut mencakup cara mengarahkan, menunjukkan jalan, mensuper
visi, mengawasi tindakan anak buah, mengkoordinasikan kegiatan yang sedang
atau akan dilakukan, dan mempersatukan usaha dari berbagai individu yang
memiliki karakteristik yang berbeda. Dari semua aktivitas, mengarahkan adalah
yang paling sulit. Untuk memimpin bawahan sepanjang jalan tindakan yang telah
ditetapkan, seorang pemimpin harus memiliki pandangan gambaran akhir yang
jelas, harus terbiasa dengan kemampuan dan memotivasi bawahan, dan harus
menghargai pengeluaran waktu dan usaha mengikuti jalan yang telah ditetapkan.
Mengarahkan orang lain adalah transaksi yang rumit karena hal ini menempatkan
si pemimpin di dalam peran otoriter. Mengawasi merupakan kegiatan yang
termudah karena tanggung jawab supervisor sendiri mendatangkan keingintahuan
dan perhatian mengenai kontribusi bawahan. (Gillies, 1989).

Universitas Sumatera Utara

35

2.2.5 Gaya Kepemimpinan
Gaya adalah sebagai cara penampilan karakteristik atau tersendiri / khusus.
Follet (1940) mendefinisikan gaya sebagai hak istimewa tersendiri dari si ahli,
dengan hasil akhirnya tanpa menimbulkan isu sampingan. Gillies (1970) dalam
Nursalam (2000) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan dapat diidentifikasikan
berdasarkan perilaku pimpinan itu sendiri.
Perilaku seseorang dipengaruhi oleh adanya pengalaman bertahun-tahun dalam
kehidupannya. Oleh karena itu, kepribadian seseorang akan mempengaruhi gaya
kepemimpinan yang digunakan. Gaya kepemimpinan cenderung sangat bervariasi
dan berbeda-beda.
Gaya yang dikembangkan oleh seorang pemimpin dipengaruhi oleh tiga
faktor utama. Ketiganya akan menentukan sejauh mana ia akan melakukan
pengawasan terhadap kelompok yang dipimpin. Faktor kekuatan yang pertama
bersumber pada dirinya sendiri sebagai pemimpin. faktor kedua bersumber pada
kelompok yang dipempin, dan faktor yang ketiga tergantung pada situasi
(Muninjaya, 1999). Secara mendasar gaya kepemimpinan dibedakan atas empat
macam berdasarkan kekuasaan dan wewenang, yaitu otokratik, demokratik,
participation, dan laisez-faire atau free rain.
Keempat tipe atau gaya kepemimpinan tersebut satu sama lain memiliki
karakteristik yang berbeda (Gillies, 1986).
a. gaya

kepemimpinan

autokratis:

merupakan

kepemimpinan

yang

berorientasi pada tugas atau pekaryaan. Menggunakan kekuasaan posisi
dan kekuatan dalam memimpin dengan cara otoriter,

Universitas Sumatera Utara

36

mempertanggung jawab untuk semua perencanaan tujuan dan pembuatan
keputusan serta memotivasi bawahannya dengan menggunakan sanjungan,
kesalahan, dan penghargaan. Pemimpin menetukan semua tujuan yang akan
dicapai dalam pengambilan keputusan (Gillies, 1986). Seorang pemimpin
yang menggunakan gaya ini biasanya akan menentukan semua keputusan
yang berkaitan dengan seluruh kegiatannya dan memerintah seluruh
anggotanya untuk mematuhi dan melaksanakannya (DepKes, 1990).
b. gaya kepemimpinan demokratis: merupakan kepemimpinan yang menghargai
sifat dan kemampuan setiap staf. Menggunakan kekuasaan posisi dan
pribadinya untuk mendorong ide-ide dari staf, memotivasi kelompok untuk
menentukan tujuan sendiri. Membuat perencanaan, mengontrol dalam
penerapannya, informasi diberikan seluas-luasnya dan terbuka (Nursalam,
2002). Prinsipnya pemimpin melibatkan kelompok dalam pengambilan
keputusan dan memberikan tanggung jawab pada karyawannya (La Monica,
1986).
c. gaya kepemimpinan partisipatif: merupakan gabungan bersama antara gaya
kepemimpinan otoriter dan demokratis. Dalam pemimpin partisipatif manajer
menyajikan analisa masalah dan mengusulkan tindakan kepada para anggota
kelompok, mengundang kritikan dan komentar mereka. Dengan menimbang
jawaban bawahan atas usulannya, manajer selanjutnya membuat keputusan
final bagi tindakan oleh kelompok tersebut (Gillies, 1986).

Universitas Sumatera Utara

37

d. gaya kepemimpinan laisserz faire: disebut juga bebas tindak atau membiarkan.
Merupakan pimpinan ofisial, karyawan menentukan sendiri kegiatan tanpa
pangarah, supervisi, dan koordinasi. Staf / bawahan mengevaluasi pekaryaan
sesuai dengan cara sendiri. Pimpinan hanya sebagai sumber informasi dan
pengendali secara minimal atau sebagai fasilitator (Nursalam. 2002).
2.2.6 Ciri-Ciri Pemimpin
Menurut Kabul (2005) pemimpin yang dapat menerapkan gaya
kepemimpinan yang tepat akan dapat memuaskan bawahannya sehingga pegawai
menjadi lebih giat bekerja sehingga kinerja pegawai dapat terbentuk. Dengan
demikian dapat ditarik benang merah bahwa dalam usaha untuk meningkatkan
prestasi kerja dibutuhkan ciri-ciri pemimpin yang berperilaku partisipasif. Brown
dalam Suhana (2007) menemukan bahwa perilaku kepemimpinan yang
berorientasi pada hubungan dan tugas terhadap komitmen organisasi. Temuannya
menunjukkan bahwa perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan
yang meliputi membangun kepercayaan, memberikan inspirasi, visi, mendorong
kreativitas dan menekankan pengembangan berpengaruh secara positif pada
komitmen afektif karyawan. Sementara perilaku kepemimpinan yang berorientasi
pada tugas juga berpengaruh terhadap komitmen afektif karyawan, meski tingkat
pengaruhnya lebih rendah.
Kinerja pegawai tidak dapat dilepaskan dari peran pemimpinnya. Menurut
Bass dan Avolio (1990), peran kepemimpinan atasan dalam memberikan
kontribusi pada karyawan untuk pencapaian kinerja yang optimal dilakukan
dengan lima cara yaitu: 1. pemimpin mengklarifikasi apa yang diharapkan dari
karyawan, secara khusus tujuan dan sasaran dari kinerja mereka,

Universitas Sumatera Utara

38

2. pemimpin menjelaskan bagaimana memenuhi harapan tersebut, 3. pemimpin
mengemukakan kriteria dalam melakukan evaluasi dari kinerja secara efektif, 4.
pemimpin memberikan umpan balik ketika karyawan telah mencapai sasaran, dan
5. pemimpin mengalokasikan imbalan berdasarkan hasil yang telah mereka capai.
Teori Path Goal (Yulk, 1989) mengatakan bahwa pemimpin mendorong
kinerja yang lebih tinggi dengan cara memberikan kegiatan-kegiatan yang
memengaruhi bawahannya agar percaya bahwa hasil yang berharga bisa dicapai
dengan usaha yang serius. Kepemimpinan yang berlaku secara universal
menghasilkan tingkat kinerja dan kepuasan bawahan yang tinggi. Teori ini
menyatakan bahwa situasi yang berbeda masyarakat gaya kepemimpinan yang
berbeda. Bawahan dengan locus of control internal kepuasan kerjanya akan lebih
tinggi dengan gaya kepemimpinan yang partisipatif sedangkan bawahan dengan
locus of control eksternal kepuasan kerjanya akan lebih tinggi dengan gaya
direktif.
Ciri kepemimpinan dalam pelayanan keperawatan menurut Swanburg
(2000) harus memiliki kemampuan dan keterampilan seseorang pimpinan perawat
dalam mempengaruhi perawat lain dibawah pengawasannya untuk melaksanakan
tugas dan tanggung jawabnya dalam memberikan pelayanan dan asuhan
keperawatan sehingga tujuan keperawatan tercapai. Keterampilan dalam
kepemimpinan meliputi: 1. keterampilan teknis yaitu kesanggupan untuk mengerti
dan mengerjakan aktifitas teknis, 2. keterampilan konseptual, yaitu: kesanggupan
untuk mengkonsep dan melihat usaha sebagai keseluruhan serta dapat
menganalisanya dan 3. keterampilan hubungan antar manusia, yaitu: kesanggupan
untuk bekerja sama dengan orang lain sebagai anggota kelompok dan pimpinan.

Universitas Sumatera Utara

39

2.2.7 Pemimpin dalam Keperawatan
Kepemimpinan merupakan gaya memimpin yang dapat menghasilkan
keluaran melalui pengaturan kinerja orang lain. Pemimpin harus mampu
memastikan

bahwa

bawahan

melaksanakan

pekerjaannya

berdasarkan

keterampilan yang dimiliki dan komitmen terhadap pekerjaan untuk menghasilkan
keluaran yang terbaik. Kepemimpinan timbul sebagai hasil sinergis berbagai
keterampilan

mulai

dari

administrative

(perencanaan,

pengorganisasian,

pengendalian dan pengawasan), keterampilan teknis (pengelolaan, pemasaran, dan
teknis procedural) dan keterampilan interpersonal (Nurahmah, 2005).
Kepemimpinan

dalam

keperawatan

merupakan

kemampuan

dan

keterampilan seorang manajer keperawatan dalam mempengaruhi perawat lain di
bawah pengawasannya untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawab dalam
memberikan pelayanan keperawatan sehingga tujuan keperawatan tercapai.
Pemberian pelayanan keperawatan merupakan suatu kegiatan yang komplek dan
melibatkan berbagai individu. Agar tujuan keperawatan tercapai diperlukan
berbagai kegiatan dalam menerapkan keterampilan kepemimpinan (Nurahmah,
2005).
Menurut Kron (1981), kegiatan tersebut meliputi: 1. perencanaan dan
pengorganisasian, manajer keperawatan dituntut untuk mampu membuat rencana
kegiatan keperawatan baik yang bersifat teknis atau non teknis keperawatan,
2. penugasan dan pengarahan, manajer keperawatan bertanggung jawab dalam hal
ketepatan dan kebenaran pelaksana proses pelayanan keperawatan pasien,
3. memberi bimbingan, manajer keperawatan mampu menjadi media konsultasi
dan fasilitator pelaksanaan proses pelayanan keperawatan,

Universitas Sumatera Utara

40

4. mendorong kerja sama dan partisipasi, manajer keperawatan dituntut agar dapat
membangun kinerja dalam tim, 5. koordinasi, diperlukan sebagai sarana
konsolidasi proses pelayanan keperawatan yang dilaksanakan, 6. evaluasi
penampilan kerja, manajer keperawatan perlu melakukan penilaian terhadap
efektifitas dan efisiensi pelaksanaan tugas dan fungsi bawahannya.
Kepemimpinan dalam keperawatan dapat ditumbuhkan lebih optimal,
selain dengan menguasai keterampilan di atas tetapi juga apabila seorang manajer
keperawatan mampu memperlihatkan keterampilan dalam menghadapi orang lain
dengan efektif. Keterampilan tersebut yaitu: 1. kepiawaian dalam menggunakan
posisi, 2. kemampuan dalam memecahkan masalah secara efektif, 3. ketegasan
sikap dan komitmen dalam pengambilan keputusan, 3. mampu menjadi media
dalam penyelesaian konflik kinerja, dan 5. mempunyai keterampilan dalam
komunikasi dan advokasi (Gillies, 2994).
2.2.8 Cara Pengukuran Kepemimpinan
Rouco, (2012) mengatakan bahwa alat pengkajian kepemimpinan
keperawatan yang efektif harus memungkinkan seorang kepala ruangan dalam
memimpin harus fokus pada tindakan prioritas. Berikut ini ada beberapa alat
penilaian yang digunakan dalam menilai kepemimpinan seorang kepala ruangan.
a. LPI (leadership practices inventory)
Teknik ini merupakan skala yang digunakan untuk mengukur
kepemimpinan penilaian skala likert terdiri dari satu sampai lima pada
penilaian tersebut yang dinilai adalah dimensi dari kepemimpinan
keperawatan yang terdiri dari lima dimensi yaitu: tantangan, mengispirasi,
memperbolehkan, menjadi contoh dan memiliki hati besar.

Universitas Sumatera Utara

41

b. LCQ (leadership competences questionnaire)
Skala ini merupakan metode pengukuran seorang kepemimpinan
keperawatan yang terdiri dari enam dimensi berdasarkan standar yang
telah disusun yang terdiri dari: pemimpin yang berorientasi pada tugas,
kepemimpinan membuat keputusan, kepemimpinan yang memiliki
pandangan kedepan, pemimpin yang menyelesaikan konflik manajemen,
kepemimpinan yang ikut ambil bagian dan kelakuan kepemimpinan.
2.4.9

Hasil Ukur
Hasil pengukuran yang dilakukan dengan menggunakan Skala Likert yaitu

SS = sangat setuju, S = setuju, TS = Tidak setuju, dan STS = sangat tidak setuju.
Kepemimpinan dikatakan Baik dan Buruk, dikatakan kepemimpinan Baik jika
skor = (76-100) dan Buruk jika skor jika = (1-75) (Sudjana, 2001). Dimensi dari
kepemimpinan keperawatan yang terdiri dari lima dimensi yaitu: kepiawaian
dalam menggunakan posisi, kemampuan dalam memecahkan masalah secara
efektif, ketegasan sikap dan komitmen dalam mengambil keputusan, mampu
menjadi media dalam penyelesaian konflik, dan mempunyai keterampilan dalam
komunikasi dan advokasi. Kesimpulan yang didapat adalah instrumen evaluasi
kompetensi kepemimpinan yang dapat dikembangkan pada setiap intrumen yang
ingin digunakan.

Universitas Sumatera Utara

42

2.3. Budaya Kerja
2.3.1 Pengertian Budaya Kerja
Budaya kerja adalah suatu falsafah dengan didasari pandangan hidup
sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan juga pendorong yang
dibudayakan dalam suatu kelompok dan tercermin dalam sikap menjadi perilaku,
cita-cita, pendapat, pandangan serta tindakan yang terwujudnya sebagai kerja atau
bekerja (Getting, dkk 2001). Menurut Triguno dalam Daryatmi (2002) budaya
kerja adalah suatu falsafah yang didasari oleh pandangan hidup sebagai nilai-nilai
yang menjadi sifat, kebiasaan dan kekuatan pendorong, membudaya dalam
kehidupan suatu kelompok masyarakat atau organisasi, kemudian tercermin dari
sikap menjadi prilaku, kepercayaan, cita-cita, pendapat dan tindakan yang
terwujud sebagai kerja atau bekerja. Melaksanakan budaya kerja mempunyai arti
yang sangat dalam, karena akan merubah sikap dan prilaku sunber daya manusia
untuk mencapai produktivitas kerja yang lebih tinggi dalam menghadapi
tantangan masa depan.
Wolseley dan Camplbell dalam Triguno (1995) menyatakan bahwa orang
yang terlatih dalam kelompok budaya kerja akan mempunyai sikap:
1. menyukai kebebasan, pertukaran pendapat, dan terbuka bagi gagasan-gagasan
baru dan fakta baru dalam usahanya untuk mencari kebenaran.
2. memecahkan permasalahan secara mandiri dengan bantuan keahliannya
berdasarkan metode ilmu pengetahuan, pemikiran yang kreatif, dan tidak
menyukai penyimpangan dan pertentangan.
3. berusaha menyesuaikan diri antara kehidupan pribadinya dengan kebiasaan
sosialnya.

Universitas Sumatera Utara

43

4. mempersiapkan dirinya dengan pengetahuan umum dan keahlian-keahlian
khusus dalam mengelola tugas atau kewajiban dalam bidangnya.
5. memahami dan menghargai lingkungannya.
6. berpartisipasi dengan loyal kepada kehidupan rumag tangga, masyarakat dan
organisasinya serta penuh rasa tanggung jawab.
Keberhasilan pelaksanaan program budaya kerja antara lain dapat dilihat
dari peningkatan tanggung jawab, peningkatan kedisiplinan dan kepatuhan pada
norma/aturan, terjalinnya komunikasi dan hubungan yang harmonis dengan semua
tingkatan, peningkatan partisipasi dan kepedulian, peningkatan kesempatan untuk
pemecahan masalah serta berkurangnya tingkat kemangkiran dan keluhan.
Adapun budaya kerja menurut Hadari Nawawi (2003) dalam bukunya
Manajemen Sumber Daya Manusia menjelaskan bahwa: budaya kerja adalah
kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang oleh pegawai dalam suatu organisasi,
pelanggaran terhadap kebiasaan ini memang tidak ada sangsi tegas, namun dari
perilaku organisasi secara moral telah menyepakati bahwa kebiasaan tersebut
merupakan kebiasaan yang harus ditaati dalam rangka pelaksanaan pekerjaan
untuk mencapai tujuan.
Menurut
(KEMENPAN),

Mementeran

Negara

Pendayagunaan

Aparatur

Negara

tahun 2001, mengatakan budaya kerja adalah cara pandang

seseorang dalam memberi makna terhadap kerja. Dengan demikian, budaya kerja
merupakan cara pandang seseorang terhadap bidang yang ditekuninya dan
prinsip-prinsip moral yang dimiliki, yang menumbuhkan keyakinan yang kuat atas
dasar nilai-nilai yang diyakini memiliki semangat yang tinggi dan bersungguhsungguh untuk mewujudkan prestasi terbaik.

Universitas Sumatera Utara

44

Budaya kerja adalah cara pandang atau cara seseorang memberikan makna
terhadap kerja. Dengan demikian budaya kerja dapat dipahami sebagai cara
pandang serta suasana hati yang membutuhkan keyakinan yang kuat atas dasar
nilai-nilai yang diyakininya, serta memiliki semangat yang tinggi dan bersungguhsungguh untuk mewujudkan prestasi kerja terbaik (Departemen Agama RI, 2009).
2.3.2 Terbentuknya Budaya Kerja
Budaya kerja berbeda antara organisasi satu dengan yang lainnya, dalam
hal ini dikarenakan landasan dan sikap perilaku yang dicerminkan oleh setiap
orang dalam organisasi berbeda. Budaya kerja yang terbentuk secara positif akan
bermanfaat karena setiap anggota dalam suatu organisasi membutuhkan sumbang
saran, pendapat bahkan kritik yang

bersifat membangun dari ruang lingkup

pekerjaan demi kemajuan di lembaga tersebut. Budaya kerja akan berakibat buruk
jika pegawai dalam suatu organisasi mengeluarkan pendapat yang berbeda hal itu
dikarenakan adanya perbedaan setiap individu dalam mengeluarkan pendapat,
tenaga dan pikirannya, karena setiap individu mempunyai kemampuan dan
keahliannya sesuai bidang masing-masing.
Budaya kerja yang baik membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk
merubahnya, maka itu perlu adanya perubahan-perubahan yang dinilai dari sikap
dan tingkah laku pemimpinnya kemudian diikuti para bawahannya. Terbentuknya
budaya kerja diawali tingkat kesadaran pemimpin atau pejabat yang ditunjuk,
dimana besarnya hubungan pemimpin dan bawahannya akan menentukan cara
tersendiri yang dijalankan dalam satuan kerja atau organisasi. Cakupan makna
setiap nilai budaya kerja tersebut, antara lain:

Universitas Sumatera Utara

45

a. disiplin: perilaku yang senantiasa berpijak pada peraturan dan norma yang
berlaku didalam maupun diluar perusahaan.
Disiplin meliputi ketaatan terhadap peraturan perundang-undang, prosedur,
waktu kerja, dan berkomunikasi dengan mitra.
b. keterbukaan: kesiapan untuk memberi dan menerima informasi yang benar dari
sesama mitra kerja untuk kepentingan perusahaan.
c. saling menghargai: perilaku yang menunjukkan penghargaan terhadap
individu, tugas dan tanggung jawab orang lain sesame mitra kerja.
d. kerjasama: kesediaan untuk memberi dan menerima kontribusi dari mitra kerja
dalam mencapai sasaran dan target perusahaan (Arozieleroy, 2013).
Kesuksesan organisasi bermula dari adanya disiplin menerapkan nilai-nilai
inti perusahaan. Konsistensi dalam menerapkan kedisiplinan dalam setiap
tindakan, penegakan aturan dan kebijakan akan mendorong munculnya kondisi
keterbukaan, yaitu keadaan yang jadi prasangka negatif karena segala sesuatu
disampaikan melalui fakta dan data yang akurat (informasi yang benar).
Selanjutnya, situasi yang penuh dengan keterbukaan akan meningkatkan
komunikasi horizontal dan vertikal, membina hubungan personal baik formal
maupun informal diantara jajaran manajemen, sehingga timbul sikap saling
menghargai.
Interaksi lintas sektoral dan antar karyawan semakin baik akan
menyuburkan semangat kerjasama dalam wujud saling koordinasi manajemen
atau karyawan lintas sektoral, menjaga kekompakan manajemen, mendukung dan
mengamankan setiap keputusan manajemen, serta saling mengisi dan melengkapi.
Hal inilah yang menjadi tujuan bersama dalam rangka membentuk budaya kerja.

Universitas Sumatera Utara

46

Fungsi budaya kerja