Pengaruh Kepemimpinan Kepala Ruangan Terhadap Motivasi Kerja Perawat Pelaksana Di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan

(1)

PENGARUH KEPEMIMPINAN KEPALA RUANGAN

TERHADAP MOTIVASI KERJA PERAWAT PELAKSANA DI

RUMAH SAKIT ISLAM MALAHAYATI MEDAN

SKRIPSI

Oleh :

Arif Miftah Khoir 071101010

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(2)

INFLUENCE OF NURSE MANAGER LEADERSHIP TO

WORK MOTIVATION OF EXECUTING NURSE IN

MALAHAYATI ISLAMIC HOSPITAL MEDAN

THESIS

By :

Arif Miftah Khoir 071101010

NURSING FACULTY

SUMATERA UTARA UNIVERSITY

MEDAN


(3)

(4)

Segala puji syukur, hormat, dan pujian penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah menyertai peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Pengaruh Kepemimpinan Kepala Ruangan Terhadap Motivasi Kerja Perawat Pelaksana Di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat bagi peneliti untuk menyelesaikan pendidikan dan mencapai gelar sarjana di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Medan.

Penyusunan skripsi ini telah banyak mendapat bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes sebagai Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan Ibu Erniyati, S.Kp., MNS. sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

2. Ibu Salbiah, S.Kp., M.Kep selaku dosen pembimbing skripsi penelitian dan sebagai dosen penasehat akademik saya, yang dengan penuh kesabaran telah memberikan arahan, bimbingan, dan ilmu yang bermanfaat dalam penyusunan skripsi ini.

3. Ibu Diah Arruum, S.Kep., Ns., M.Kep. selaku dosen penguji II dan Bapak Achmad Fatih S.Kep., Ns., MNS. selaku dosen penguji III yang dengan teliti memberikan masukan yang berharga dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Seluruh staf pengajar Fakultas Keperawatan USU yang memberikan ilmu yang berharga memperlancar proses akademik dan administrasi penulis.


(5)

5. Teristimewa kepada keluargaku tercinta Ayahanda Suriyono dan Ibunda Muryati, atas didikan dan kasih sayang yang telah diberikan selama ini. Serta kepada adik-adikku tersayang (Rifwan Huzair dan Habib Ali Husni) yang selalu memberi motivasi, doa dan kasih sayang.

6. Pemimpin Rumah Sakit Islam Malahayati Medan yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian di rumah sakit tersebut. 7. Ibu Liberta Lumbantoruan Skp. Mkep yang telah memvalidkan kuesioner

saya.

8. Teman-teman mahasiswa S1 Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara, khususnya stambuk 2007 yang telah memberikan semangat dan masukan dalam penyusunan skripsi ini, teman kos ku (Pak Dedi, Rio, Sanusi) terima kasih buat doa, dukungan dan semangat yang telah diberikan kepadaku, buat sahabatku seperjuangan (Novinda, Tiva, Septian, Amri, Yoga, Sam, Ang, Yani, Hilda, Dina, Isra, Fithri), buat abang dan kakakku (B’ Roby, K’ Imay, K’ Firda) serta semua orang-orang yang kusayangi yang tak dapat kusebutkan satu persatu.

Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa mencurahkan berkat dan karunia-Nya kepada semua pihak yang telah banyak membantu peneliti. Harapan peneliti semoga skripsi ini dapat bermanfaat nantinya untuk pengembangan ilmu pengetahuan khusunya profesi keperawatan.

Medan, Juni 2011


(6)

Halaman pengesahan ... ii

Prakata ... iii

Daftar Isi ... v

Daftar Tabel ... vii

Daftarv Skema ... viii

Abstrak ... ix

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Pertanyaan Penelitian ... 5

1.3. Tujuan Peneltian ... 5

1.4. Manfaat Peneltian ... 6

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perilaku Pemimpin ... 8

2.1.1. Defenisi ... 8

2.1.2. Sifat dan syarat pemimpin ... 9

2.1.3. Peranan pemimpin ... 10

2.1.4. Metode penyelesaian masalah ... 11

2.1.5. Teori perilaku kepemimpinan ... 13

2.1.6. Teori situasional Hersey & Blanchard ... 14

2.1.7. Teori kematangan pekerjaan dan kematangan psikologis menurut Hersey & Blanchard ... 18

2.1.8. Menentukan kepemimpinan yang tepat ... 21

2.1.9. Kepemimpinan dalam keperawatan ... 26

2.2. Motivasi Kerja ... 27

2.2.1. Defenisi ... 27

2.2.2. Metode-metode motivasi ... 28

2.2.3. Tujuan pemberian motivasi... 28

2.2.4. Penguatan motivasi ... 29

2.2.5. Teori motivasi menurut Abraham Maslow ... 32

2.2.6. Indikator motivasi... 37

2.2.7. Hubungan kepemimpinan kepala ruangan terhadap motivasi kerja perawat pelaksana ... 38

BAB 3. KERANGKA PENELITIAN 3.1. Kerangka Konseptual ... 40

3.2. Defenisi operasional ... 41

3.3. Hipotesis Penelitian... 44

BAB 4. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Desain Penelitian ... 45

4.2. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan ... 45

4.2.1. Populasi... 45


(7)

4.2.3. Teknik Pengambilan Sampel ... 46

4.3. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 47

4.4. Pertimbangan Etik ... 47

4.5. Instrumen Penelitian ... 48

4.5.1. Data demografi ... 49

4.5.2. Kuisioner perilaku pemimpin ... 49

4.5.3. Kuisioner motivasi kerja perawat ... 51

4.6. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 53

4.6.1. Uji validitas instrumen... 53

4.6.2. Uji reliabilitas instrumen ... 54

4.7. Pengumpulan Data ... 55

4.8. Analisa Data ... 56

BAB 5. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Penelitian ... 59

5.1.1. Hasil Analisa Univariat ... 59

5.1.2 Hasil Analisa Bivariat ... 63

5.2. Pembahasan ... 65

5.2.1. Kepemimpinan Kepala Ruangan ... 65

5.5.2. Motivasi Kerja Perawat Pelaksana ... 71

5.3. Pengaruh Kepemimpinan Kepala Ruangan terhadap Motivasi Kerja Perawat Pelaksana ... 78

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 82

6.1.1. Kepemimpinan kepala ruangan ... 82

6.1.2 Motivasi kerja perawat pelaksana ... 82

6.1.3 Pengaruh kepemimpinan kepala ruangan terhadap motivasi kerja perawat pelaksana di RS Islam Malahayati Medan ... 82

6.2. Saran ... 83

6.2.1. Bagi Rumah Sakit Islam Malahayati Medan ... 83

6.2.2. Bagi Penelitian Keperawatan ... 84

6.2.3. Bagi Peneliti ... 84

6.2.2. Bagi Pendidikan Keperawatan ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 85

LAMPIRAN-LAMPIRAN 1. Lembar Persetujuan Responden ... 89

2. Jadwal Penelitian ... 91

3. Taksasi Dana... 92

4. Instrumen Penelitian ... 93

5. Kegiatan Bimbingan Skripsi ... 104

6. Hasil Analisa Data ... 106

7. Kuisioner Kepemimpinan Kepala Ruangan ... 116

8. Kuisioner Motivasi Kerja Perawat ... 119

9. Daftar Riwayat Hidup ... 123


(8)

Tabel 3.1. Tabel Defenisi Operasional Instrumen Penelitian ... 41 Tabel 4.1. Tabel Kriteria Penilaian Kepemimpinan Kepala Ruangan ... 51 Tabel 4.2. Tabel Distribusi Proporsi Penilaian Instrumen Motivasi Kerja ... 53 Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Demografi Perawat Pelaksana

di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Islam Malahayati Medan... 60 Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi dan Proporsi Kecenderungan Pelaksanaan

Kepemimpinan Kepala Ruangan di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan... 60 Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi dan Proporsi Kebutuhan Dasar Maslow oleh

Perawat Pelaksana di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan ... 61 Tabel.5.4. Distribusi Frekuensi dan Proporsi Motivasi Kerja Perawat

Pelaksana di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan. ... 63 Tabel 5.5. Tabel Silang Kepemimpinan Kepala Ruangan Terhadap Motivasi

Kerja Perawat Pelaksana di RS Islam Malahayati Medan ... 63 Tabel.5.6. Tabel Pengaruh Kepemimpinan Kepala Ruangan Terhadap

Motivasi Kerja Perawat Pelaksana di RS Islam Malahayati Medan ... 64


(9)

Tabel 2.1 Skema untuk mendiagnosa sebuah sistem dan menentukan

kepemimpinan yang tepat... 25

Tabel 3.1 Kerangka konseptual pengaruh kepemimpinan kepala ruangan terhadap motivasi kerja perawat pelaksana di Rumah Sakit Islam


(10)

Nama Mahasiswa : Arif Miftah Khoir N I M : 071101010

Jurusan : Sarjana Keperawatan

Tahun : 2011

Abstak

Kepemimpinan adalah sebagai kemampuan untuk mempengaruhi kelompok demi tercapainya tujuan organisasi. Motivasi kerja adalah keinginan untuk melakukan sesuatu sebagai kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan organisasi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kepemimpinan kepala ruangan terhadap motivasi kerja perawat pelaksana di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan. Penelitian ini menggunakan desain deskripsi korelasi. Berdasarkan rumus Slovin dengan tingkat signifikansi (α) = 0.05 diperoleh sampel sebanyak 88 perawat pelaksana di RS Islam Malahayati Medan. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik probability sampling jenis simple random sampling dengan instrumen penelitian menggunakan kuisioner. Metode analisa menggunakan analisa deskripsi dengan frekuensi dan persentase, dan analisa korelasi menggunakan uji Kruskall Wallis test.

Dari penelitian yang telah dilakukan diperoleh mayoritas responden wanita (93,2%), dengan tingkat pendidikan rata-rata D3 (97,7%). Mayoritas usia responden 21-34 tahun (73,9%), rata-rata lama bekerja 1-10 tahun (72,7%). Mayoritas responden belum menikah (61,4%) dan mayoritas gaji responden (54,5%) yakni Rp.800.000; - Rp.1.199.000;. Mayoritas perawat pelaksana mempersepsikan kepala ruangan memiliki kepemimpinan participating (53,4%), mayoritas perawat pelaksana memiliki motivasi kerja tinggi 70,5%, motivasi kerja sedang 29,5% dan tidak ada motivasi kerja yang rendah. Hasil analisa data diperoleh nilai signifikansi (p)= 0,001 yang menjelaskan bahwa Ho ditolak. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat pengaruh kepemimpinan kepala ruangan terhadap motivasi kerja perawat pelaksana di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan.

Peneliti mengharapkan Kepala Ruangan Di Rumah Sakit Adam Malik menerapkan kepemimpinan participating karena terbukti efektif meningkatkan motivasi kerja perawat pelaksana. Pada penelitian selanjutnya diharapkan menggunakan metode observasi dalam pengumpulan data agar data yang diperoleh lebih obyektif dan akurat dan menghindari subyektivitas responden.

Kata Kunci : Kepemimpinan kepala ruangan, motivasi kerja perawat pelaksana. ix


(11)

Executing Nurse in Malahayati Islamic Hospital Medan. Student Name : Arif Miftah Khoir

N I M : 071101010

Major : Bachelor of Nursing Year : 2011

Abstraction

Leadership is the ability to influence groups to achieve organizational goals. Work motivation is a desire to do something as a willingness to issue a high level of effort for the purpose of the organization.

This study aims to determine the effect of the nursing manager leadership to work motivation of executing nurse in Malahayati Islamic Hospital Medan. This study uses a design description of the correlation. Slovin formula based on the significance level (α) = 0.05 obtained a sample of 88 executing nurses in Malahayati Islamic Hospital Medan. Technique using probability sampling techniques types of simple random sampling by using a questionnaire research instruments. Analysis method using frequency analysis and description with percentages, and correlation analysis using Kruskall Wallis test.

From the research that was done it was found that the majority of respondents were female (93.2%), with an average education level of D3 (97.7%). The average age of respondents were in 21-34 years (73.9%), length of work is at 1-10 years (72.7%). The majority of respondents were not married (61.4%) and the majority of salaries of respondents (54.5%) which is Rp.800.000; - Rp.1.199.000;. Based on the perception of the executing nurse the majority of nurses perceive a nurse manager has a participating leadership (53.4%), majority of executing nurses is 70.5% has higher work motivation, moderate work motivation is 29.5% and there is no low work motivation. Results of analysis had a significance value (p) = 0.001 which explains that Ho is rejected. From the results of data analysis can be concluded that there is influence of nurse manager leadership to work motivation of executing nurse in the Malahayati Islamic Hospital Medan.

Researcher expected nurse manager in Malahayati Islamic Hospital Medan to applied participating leadership because effective to enhance work motivation of executing nurses. In further research are expected to use the method of observation to the data obtained more objective and accurate and avoid the subjectivity of respondents.


(12)

Nama Mahasiswa : Arif Miftah Khoir N I M : 071101010

Jurusan : Sarjana Keperawatan

Tahun : 2011

Abstak

Kepemimpinan adalah sebagai kemampuan untuk mempengaruhi kelompok demi tercapainya tujuan organisasi. Motivasi kerja adalah keinginan untuk melakukan sesuatu sebagai kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan organisasi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kepemimpinan kepala ruangan terhadap motivasi kerja perawat pelaksana di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan. Penelitian ini menggunakan desain deskripsi korelasi. Berdasarkan rumus Slovin dengan tingkat signifikansi (α) = 0.05 diperoleh sampel sebanyak 88 perawat pelaksana di RS Islam Malahayati Medan. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik probability sampling jenis simple random sampling dengan instrumen penelitian menggunakan kuisioner. Metode analisa menggunakan analisa deskripsi dengan frekuensi dan persentase, dan analisa korelasi menggunakan uji Kruskall Wallis test.

Dari penelitian yang telah dilakukan diperoleh mayoritas responden wanita (93,2%), dengan tingkat pendidikan rata-rata D3 (97,7%). Mayoritas usia responden 21-34 tahun (73,9%), rata-rata lama bekerja 1-10 tahun (72,7%). Mayoritas responden belum menikah (61,4%) dan mayoritas gaji responden (54,5%) yakni Rp.800.000; - Rp.1.199.000;. Mayoritas perawat pelaksana mempersepsikan kepala ruangan memiliki kepemimpinan participating (53,4%), mayoritas perawat pelaksana memiliki motivasi kerja tinggi 70,5%, motivasi kerja sedang 29,5% dan tidak ada motivasi kerja yang rendah. Hasil analisa data diperoleh nilai signifikansi (p)= 0,001 yang menjelaskan bahwa Ho ditolak. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat pengaruh kepemimpinan kepala ruangan terhadap motivasi kerja perawat pelaksana di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan.

Peneliti mengharapkan Kepala Ruangan Di Rumah Sakit Adam Malik menerapkan kepemimpinan participating karena terbukti efektif meningkatkan motivasi kerja perawat pelaksana. Pada penelitian selanjutnya diharapkan menggunakan metode observasi dalam pengumpulan data agar data yang diperoleh lebih obyektif dan akurat dan menghindari subyektivitas responden.

Kata Kunci : Kepemimpinan kepala ruangan, motivasi kerja perawat pelaksana. ix


(13)

Executing Nurse in Malahayati Islamic Hospital Medan. Student Name : Arif Miftah Khoir

N I M : 071101010

Major : Bachelor of Nursing Year : 2011

Abstraction

Leadership is the ability to influence groups to achieve organizational goals. Work motivation is a desire to do something as a willingness to issue a high level of effort for the purpose of the organization.

This study aims to determine the effect of the nursing manager leadership to work motivation of executing nurse in Malahayati Islamic Hospital Medan. This study uses a design description of the correlation. Slovin formula based on the significance level (α) = 0.05 obtained a sample of 88 executing nurses in Malahayati Islamic Hospital Medan. Technique using probability sampling techniques types of simple random sampling by using a questionnaire research instruments. Analysis method using frequency analysis and description with percentages, and correlation analysis using Kruskall Wallis test.

From the research that was done it was found that the majority of respondents were female (93.2%), with an average education level of D3 (97.7%). The average age of respondents were in 21-34 years (73.9%), length of work is at 1-10 years (72.7%). The majority of respondents were not married (61.4%) and the majority of salaries of respondents (54.5%) which is Rp.800.000; - Rp.1.199.000;. Based on the perception of the executing nurse the majority of nurses perceive a nurse manager has a participating leadership (53.4%), majority of executing nurses is 70.5% has higher work motivation, moderate work motivation is 29.5% and there is no low work motivation. Results of analysis had a significance value (p) = 0.001 which explains that Ho is rejected. From the results of data analysis can be concluded that there is influence of nurse manager leadership to work motivation of executing nurse in the Malahayati Islamic Hospital Medan.

Researcher expected nurse manager in Malahayati Islamic Hospital Medan to applied participating leadership because effective to enhance work motivation of executing nurses. In further research are expected to use the method of observation to the data obtained more objective and accurate and avoid the subjectivity of respondents.


(14)

1.1. Latar Belakang

Setiap organisasi yang didirikan mempunyai tujuan tertentu yang akan dicapai. Tujuan yang akan dicapai setiap organisasi dipengaruhi oleh perilaku organisasi itu sendiri (organization behaviour) sebagai pencerminan dari perilaku dan sikap para pelaku yang berada dalam organisasi yang bersangkutan. Perilaku pemimpin yang efektif sangat diperlukan dalam mencapai suatu tujuan organisasi yang tercermin dari kepemimpinannya. Sejalan dengan Astuti (2010) yang menjelaskan bahwa salah satu faktor yang mendukung keberhasilan organisasi yaitu kepemimpinan. Kepemimpinan (leadership) adalah kemampuan individu untuk mempengaruhi orang lain yang mengarah kepada pencapaian tujuan (Monica, 1998: 69). Kondisi ini berlaku pada semua organisasi, termasuk di dalamnya organisasi keperawatan. Kepemimpinan dalam keperawatan melibatkan upaya perorangan untuk mempengaruhi perilaku orang lain untuk memberikan layanan keperawatan yang profesional, langsung dan individual.

Proses kepemimpinan didasarkan kepada pendekatan ilmiah yang disebut metode pemecahan masalah. Tujuan dari dilakukannya metode ilmiah ini adalah untuk menspesifikasi perilaku kepemimpinan yang tepat, yang diindikasikan oleh tingkat kematangan kelompok dalam suatu organisasi (Monica, 1998: 54). Model yang dikembangkan oleh Hersey dan Blanchard (1977: 72-73 dalam Monica, 1998: 76) di Center for Leadership Studies, perilaku kepemimpinan digunakan sebagai istilah-istilah “perilaku pekerjaan” dan “perilaku hubungan” yang dikaitkan dengan tingkat kematangan pekerjaan bawahan. Teori ini menjelaskan bahwa perilaku


(15)

kepemimpinan didasarkan pada keadaan situasi sistem yang ada pada suatu organisasi. Teori ini membagi perilaku kepemimpinan (leadership behavior/ LB) menjadi empat kuadran ( LB1, LB2, LB3 dan LB4) dimana perilaku ini disesuaikan dengan tingkat kematangan bawahannya (Monica, 1998: 79). Berdasarkan analisis empat kuadran teori Hersey & Blanchard tersebut, Monica (1998) mengidentifikasi kepemimpinan yang cocok pada bawahan adalah yang bersifat melatih, memuji, memperbaiki, mempengaruhi, mengarahkan, memotivasi bawahan untuk berbuat yang terbaik bagi organisasi. Salah satu manfaat perilaku kepemimpinan yang efektif adalah berkaitan dengan motivasi yang diberikan kepada bawahannya (Monica, 1998)

Motivasi berasal dari kata motif yang artinya kebutuhan, keinginan, rangsangan atau impuls dalam diri seseorang yang menimbulkan perilaku (Monica, 1998: 30). Motivasi kerja adalah keinginan untuk melakukan sebagai kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan-tujuan organisasi, yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu untuk memenuhi suatu kebutuhan individual Robbins (2002: 55). Robbins (2007) juga menjelaskan bahwa seorang pemimpin harus mengerti apa yang memotivasi anggotanya untuk peningkatan penggunaan kemampuan dan tenaganya dalam bekerja serta apa yang membuat anggotanya tidak puas dalam bekerja seperti mengkaji terlebih dahulu kebutuhan-kebutuhan individu dalam kelompok (Monica, 1998: 31). Di sisi lain, kebutuhan bawahan dalam memenuhi keinginannya semakin meningkat, para bawahan bekerja dengan harapan akan memperoleh upah/gaji yang dapat untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Selain itu, pemenuhan kebutuhan dari para bawahan akan pelayanan dan penghargaan oleh atasan terhadap prestasi kerja yang dihasilkannya yang sesuai


(16)

dengan prinsip keadilan dapat memotivasi kerja mereka. Sehingga dengan seringnya para bawahan termotivasi untuk melakukan pekerjaannya dengan baik, akan meningkatkan kualitas dan kepuasan kerja yang diinginkan (As’ad dalam Masyjui, 2005).

Harvard & James (dalam Monica, 1998: 11) dalam penelitiannya tentang motivasi diperoleh hasil penelitian bahwa dalam setiap jam, pegawai dapat mempertahankan pekerjaannya dengan hanya bekerja sebanyak 20 sampai 30% dari kapasitas mereka, tetapi setelah di motivasi dengan tepat oleh pemimpin mereka, mereka dapat bekerja sampai 80-90% dari kemampuan mereka. Penelitian serupa dilakukan oleh Wardoyo (1996, dalam Euis, 2001) tentang situasi kepemimpinan dengan motivasi berprestasi paramedis puskesmas di Kabupaten Magetan diperoleh hasil bahwa dalam situasi kepemimpinan yang mendukung, 79,4% responden mempunyai motivasi tinggi, sedangkan dalam situasi kepemimpinan tidak mendukung motivasi tinggi dari responden hanya 44,8%. Hal ini menjelaskan bahwa pengaruh perilaku kepemimpinan dalam memotivasi bawahannya sangat diperlukan dalam meningkatkan motivasi kerja pegawai.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Erwina (2007) tentang hubungan motivasi kerja dengan disiplin kerja perawat pelaksana diperoleh hasil penelitian bahwa motivasi kerja perawat baik, tetapi hasil penelitian juga menunjukkan bahwa 14 perawat (23,3%) merasa kurang puas bekerja di rumah sakit tersebut, 27 perawat (45,0%) sering terlintas dalam benak perawat untuk pindah kerja, sebanyak 9 perawat (15,0%) menyatakan gaji yang diperoleh tidak mencukupi kebutuhan ekonomi sehari-hari, 34 perawat (56,7%) terkadang menghindari tanggung jawab pekerjaan mereka, 35 perawat (58,3%) tidak pernah memperoleh


(17)

bonus dari atasan, 35 perawat (58,3%) tidak pernah memperoleh penghargaan dari hasil pekerjaan yang telah dicapai selama ini, dan 7 perawat (11,7%) tidak pernah diajak berdiskusi oleh atasan ketika perawat menghadapi kesulitan. Hal ini mengindikasikan bahwa masih banyak perawat pelaksana yang memiliki motivasi kerja yang rendah yang disebabkan belum terpenuhinya kebutuhan perawat dan penerapan perilaku kepemimpinan yang belum efektif.

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan dengan memberikan kuisioner tentang kepemimpinan terhadap lima orang perawat pelaksana di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan didapatkan data bahwa kepemimpinan kepala ruangan cenderung bersifat participating, dimana kepala ruangan berusaha mengaktifkan perawat pelaksana yang dipimpinnya. Kepala ruangan dan perawat pelaksana bersama-sama memberi gagasan dalam memutuskan permasalahan di ruangan dan kesepakatan yang diputuskan akan dilaksanakan bersama-sama melalui komunikasi dua arah dan memberikan dukungan kepada perawat pelaksana untuk melakukan apa yang terbaik dari pekerjaan mereka melalui pemberian motivasi. Dengan kondisi yang sedemikian rupa akan memberikan kesempatan kepada perawat untuk mengarahkan dirinya dalam pencapaian aktualisasi diri, sehingga motivasi kerja perawat pelaksana juga akan semakin meningkat.

Berdasarkan uraian di atas dan fenomena yang terjadi di lapangan, peneliti tertarik untuk meneliti tentang kepemimpinan kepala ruangan dalam mempengaruhi perawat untuk meningkatkan motivasi kerjanya. Masalah pokok yang di kaji dalam penelitian ini adalah bagaimana “Pengaruh kepemimpinan kepala ruangan terhadap motivasi kerja perawat pelaksana di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan”.


(18)

1.2. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan dari penelitian ini adalah

1.2.1. Bagaimana kepemimpinan kepala ruangan di Rumah Sakit Malahayati Islam Medan.

1.2.2. Bagaimana motivasi kerja perawat pelaksana di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan.

1.2.3. Bagaimana pengaruh kepemimpinan kepala ruangan terhadap motivasi kerja perawat pelaksana di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengidentifikasi sejauh mana pengaruh kepemimpinan kepala ruangan terhadap motivasi kerja perawat pelaksana di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan.

1.3.2. Tujuan Khusus

a) Untuk mengidentifikasi kepemimpinan kepala ruangan yang terdiri dari telling, selling, participating, dan delegating melalui persepsi perawat pelaksana di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan.

b) Untuk mengidentifikasi motivasi kerja perawat pelaksana yang dapat diukur dari pemenuhan kebutuhan fisiologis, kebutuhan keamanan, kebutuhan sosial, kebutuhan akan harga diri, serta kebutuhan aktualisasi diri di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan.


(19)

c) Untuk mengidentifikasi pengaruh kepemimpinan kepala ruangan (telling, selling, participating dan delegating) terhadap motivasi kerja perawat pelaksana di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian yang digunakan adalah:

1.4.1. Bagi rumah sakit, diharapkan dapat memberikan gambaran dan sumbangan pemikiran tentang kepemimpinan yaitu pengaruh kepemimpinan kepala ruangan terhadap motivasi kerja perawat pelaksana di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan.

Bagi pimpinan rumah sakit, sebagai evaluasi pemimpin rumah sakit untuk mengetahui apakah kepemimpinan yang dilakukannya sudah efektif dan memberikan masukan bagi pimpinan Rumah Sakit Islam Malahayati Medan dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan peningkatan kinerja organisasi salah satu faktor yang dominan dalam menentukan tingkat motivasi kerja adalah kepemimpinan seorang pemimpin.

1.4.2. Bagi penelitian keperawatan, hasil penelitian dapat digunakan sebagai referensi penelitian sejenis di masa mendatang.

1.4.3. Bagi peneliti, penelitian ini dapat menambah wawasan pengetahuan mengenai perilaku kepemimpinan dan motivasi kerja perawat pelaksana di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan dan sebagai studi perbandingan antara teori dengan kenyataan yang terjadi di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan.


(20)

1.4.4. Bagi pendidikan keperawatan, untuk memperkaya wawasan pengetahuan mengenai Ilmu Manajemen Keperawatan, khususnya tentang pengaruh kepemimpinan kepala ruangan terhadap motivasi kerja perawat pelaksana.


(21)

2.1. Perilaku kepemimpinan 2.1.1. Defenisi

Kepemimpinan adalah proses untuk mempengaruhi orang lain untuk memahami dan setuju dengan apa yang diperlukan dan bagaimana pekerjaan dilakukan secara efektif, serta proses untuk memfasilitasi upaya individu dan kolektif untuk mencapai tujuan (Rivai, 2003). Robbins (1996: 39) menjelaskan bahwa kepemimpinan adalah sebagai kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok demi tercapainya tujuan organisasi.

Defenisi kepemimpinan secara luas meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya (Rivai, 2003:2). Kepemimpinan dipengaruhi oleh sifat bawaan yang berhubungan dengan intelegensi, kepribadian dan kemampuan. Menurut Ghiselli (dalam Handoko, 1998) menyatakan sifat-sifat kepemimpinan efektif adalah supervisory ability, kebutuhan akan prestasi dalam pekerjaan, kecerdasan, ketegasan, kepercayaan diri dan inisiatif. Warsito (2006) mengikhtisarkan empat ciri/sifat utama kepemimpinan yaitu (1) kecerdasan, (2) kedewasaan dan keluasan hubungan sosial, (3) motivasi diri dan dorongan berprestasi, dan (4) sikap-sikap hubungan manusiawi. Monica (1998: 69) menjelaskan bahwa kepemimpinan adalah bekerja melalui individu dan kelompok untuk mencapai tujuan organisasi. Nimran (2004: 64) mengemukakan bahwa kepemimpinan atau leadership adalah merupakan


(22)

suatu proses mempengaruhi perilaku orang lain agar berperilaku seperti yang akan dikehendaki.

Perilaku adalah apa yang seseorang lakukan dan apa yang orang lain terima atau rasakan dan menjadi sebuah tindakan (Monica 1998: 31). Perilaku kepemimpinan adalah respon individu sebagai seorang motivator dalam suatu organisasi terhadap suatu tindakan yang dapat diamati dan mempunyai dampak positif maupun negatif terhadap suatu organisasi (Depkes, 2008). Perilaku kepemimpinan adalah pola perilaku yang diperlihatkan orang itu pada saat mempengaruhi aktivitas orang lain seperti yang dipersepsikan orang lain (Monica, 1998). Sedangkan pengertian kepemimpinan menurut Hersey & Blanchard (1977 dalam Monica, 1998: 73) adalah tindakan dari seorang pemimpin untuk mempengaruhi orang lain dalam mencapai suatu tujuan sesuai dengan situasi organisasi, yang meliputi empat hal yaitu: menyampaikan atau telling, menjual atau selling, dengan peran serta atau participating, pendelegasian atau delegating.

2.1.2. Sifat dan syarat pemimpin

Menurut Sunindhia (1993) menjelakan bahwa pemimpin harus memiliki sifat dan syarat yaitu:

a. Pemimpin harus peka terhadap iklim lingkungannya, harus mendengarkan saran-saran, nasehat-nasehat, dan pandangan dari orang-orang disekitarnya. Semakin banyak informasi yang dia dapatkan maka semakin mantap pandangannya secara situasional.


(23)

b. Pemimpin harus menjadi teladan dalam lingkungannya, paling sedikitnya dia harus menjadi suri teladan mengenai segala apa yang dia instruksikan, dia ajarkan, dan dia harapkan dari bawahannya /pengikutnya.

c. Pemimpin harus bersikap dan bersifat setia, setia kepada janjinya, setia kepada organisasinya, setia kepada bawahannya dan setia kepada pekerjaannya.

d. Pemimpin harus mampu mengambil keputusan, artinya: harus pandai, cakap dan berani mengambil keputusan setelah semua faktor relevan diperhitungkan. Berani dalam artian berani secara moril (moral courage) dengan penuh tanggung-jawab, dan tidak melarikan diri jikalau ada akibat-akibat yang meminta pertanggungjawaban.

2.1.3. Peranan pemimpin

Siagian (2002: 66) menjelaskan bahwa peranan pemimpin dalam kepemimpinannya di suatu organisasi ada tiga bentuk, yaitu peranan yang bersifat interpersonal, peranan yang bersifat informasional, dan peran pengambilan keputusan. Yang dimaksud dengan peranan yang bersifat interpersonal dalam organisasi adalah bahwa seorang pemimpin dalam organisasi merupakan simbol akan keberadaan organisasi, seorang pemimpin bertanggung jawab untuk memotivasi dan memberikan arahan kepada bawahan dan seorang pemimpin mempunyai peran sebagai penghubung. Peranan yang bersifat informasional mengandung arti bahwa seorang pemimpin dalam organisasi mempunyai peran sebagai pemberi, penerima dan penganalisa informasi. Peran pemimpin dalam pengambilan keputusan


(24)

mempunyai arti bahwa pemimpin mempunyai peran sebagai penentu kebijakan.

Anoraga (2004) mengemukakan bahwa ada sembilan peranan kepemimpinan seorang dalam organisasi yaitu pemimpin sebagai perencana, pemimpin sebagai pembuat kebijakan, pemimpin sebagai ahli, pemimpin sebagai pelaksana, pemimpin sebagai pengendali, pemimpin sebagai pemberi hadiah atau hukuman, pemimpin sebagai teladan dan lambang atau simbol, pemimpin sebagai tempat menimpakan segala kesalahan, dan pemimpin sebagai pengganti peran anggota lain.

Pemimpin tim yang baik membantu anggota-anggotanya mencapai tujuan dengan memberikan mereka petunjuk yang jelas, pelatihan yang sesuai, dan sarana dan prasarana yang diperlukan untuk bekerja. Sering kali terjadi, orang-orang gagal mencapai apa yang mereka rasa dapat mereka lakukan, dan mereka akan menimpakan kesalahan ini kepada orang lain. Pemimpin yang bijak akan ikut berbagi kesalahan, dan akan bekerja sebaik-baiknya untuk memberikan contoh kepada para anggotanya (Irmim, 2004).

2.1.4. Metode penyelesaian masalah

Kepemimpinan yang efektif didasarkan pada pemikiran yang metodis, yang pertama-tama di ambil dari teori (apa yang terbukti efektif melalui sejumlah besar penelitian) dan kemudian intuisi (apa yang terbukti efektif melalui penelitian tentang pengalaman diri (Monica, 1998: 14). Penggunaan metode ilmiah dalam manajemen adalah untuk membantu pemimpin dalam mengkaji beberapa kebutuhan dari sistem lain dan dalam memilih prioritas, mengidentifikasi elemen orang dan situasi yang penting dalam mengemban


(25)

tujuan-tujuan khusus, mengkaji secara kritis kekuatan dari orang-orang tersebut dan mengembangkan strategi yang melibatkan kekuatan-kekuatan tersebut dalam pekerjaan (Monica, 1998: 1).

Tujuan prioritas dari seorang pemimpin adalah mencapai tujuan-tujuan dengan cara mengaktivasi sebuah sistem. Segala sesuatu yang dilakukan oleh pemimpin untuk mencapai tujuan harus didasarkan pada strategi yang memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi, untuk itulah digunakan metode ilmiah sebagai metode penyelesaian masalah (Monica, 1998: 15). Metode penyelesaian masalah terdiri dari :

a) Pengenalan masalah

Suatu masalah diidentifikasi melalui perbedaan antar apa yang sedang terjadi secara nyata (actual) dalam suatu situasi dan apa yang seseorang inginkan untuk terjadi (optimal) (Monica, 1998: 15).

b)Defenisi masalah

Setelah suatu situasi dikaji untuk menentukan area prioritas kebutuhan, untuk mengidentifikasi apakah kelompoknya sejalan dengan kebutuhan ini (actual), dan untuk mengidentifikasi apakah keinginan seseorang relatif sesuai dengan kebutuhan ini (optimal), maka kemudian dapat ditetapkan suatu masalah (Monica, 1998: 16).

c) Analisa masalah

Setelah masalah diidentifikasi, maka masalah haruslah di analisa. Analisis

akan menghasilkan tiga tujuan: 1) mengapa masalah terjadi; 2) menganalisa kemampuan kelompok untuk mencapai tujuan (tingkat


(26)

diindikasikan oleh tingkat kematangan kelompok, yang dibutuhkan dalam rangka memenuhi kebutuhan kelompok untuk mencapai tujuan. Keputusan perilaku kepemimpinan yang tepat akan didasarkan pada apa yang bisa berhasil menurut penelitian. (Monica, 1998: 17).

2.1.5. Teori perilaku kepemimpinan

Teori perilaku lebih menekankan pada apa yang dilakukan pemimpin dan bagaimana seorang pemimpin menjalankan fungsinya. Bila berbicara mengenai perilaku kepemimpinan, maka terlebih dahulu harus membahas teori-teori kepemimpinan. Gary (2001) menjelaskan bahwa teori kepemimpinan terbagi ke dalam empat kategori, yaitu Teori Sifat (Traits Theory), Teori Perilaku Kepemimpinan (Behavioral Theories of Leadership), Teori Situasional (Situational Theory), dan Teori Neo-Karismatik (Neocharismatic Theories).

Teori Kepemimpinan Situasional adalah suatu pendekatan terhadap kepemimpinan yang menganjurkan pemimpin untuk memahami perilaku bawahan, dan situasi sebelum menggunakan perilaku kepemimpinan tertentu. Pendekatan ini menghendaki pemimpin untuk memiliki kemampuan diagnosa dalam hubungan antara manusia (Monica, 1998). Teori-teori yang termasuk dalam Teori Kepemimpinan Situasional adalah Teori Kepemimpinan Fiedler, Teori Situasional Hersey & Blanchard, Teori Pertukaran Pemimpin-Anggota (Leader Member Exchange Theory), Teori Jalur Tujuan (Path Goal Theory), dan Model Partisipasi-Pemimpin. Disini peneliti akan membahas lebih lanjut mengenai teori Situasional Hersey & Blanchard.


(27)

2.1.6. Teori situasional Hersey dan Blanchard

Teori Situasional (The situational theory) Hersey & Blanchard melakukan pendekatan yang berfokus pada perhatian yang besar pada karakteristik bawahan dalam menentukan perilaku kepemimpinan yang tepat (Daft, 2003). Model ini menjelaskan bahwa para manajer perlu menyesuaikan perilaku kepemimpinan mereka sebagai respons terhadap berbagai karakter dari orang-orang yang menjadi bawahannya seperti harapan pekerja, pengalaman, keahlian, dan kesanggupan dalam menerima tanggung jawab (Monica, 1998: 72). Hal penting pada teori Hersey & Blanchard adalah bahwa bawahan bervariasi dalam tingkat kesiapannya dalam melakukan pekerjaan.

Orang dengan kemampuan yang terbatas dan kurangnya pelatihan, ataupun rasa ketidakamanan, memerlukan perilaku kepemimpinan yang berbeda dari mereka yang tinggi kesiapannya dan mempunyai kemampuan, ketrampilan, percaya diri, dan kemampuan bekerja yang baik (Daft, 2003). Berdasarkan model kepemimpinan Hersey & Blanchard tersebut, perilaku kepemimpinan ini dibagi menjadi empat kuadran menurut situasi yang dihadapi yang dikaitkan dengan tinggi rendahnya kecenderungan kepada pekerjaan (task behavior) dan rendahnya kecenderungan kepada hubungan terhadap orang-orang (relationship behavior) (Sule & Saefullah, 2008). Keempat kuadran pada teori kepemimpinan situasional Hersey & Blanchard dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Pekerjaan yang tinggi dan hubungan yang rendah (LBI)

Perilaku ini disetarakan dengan menyampaikan atau telling (Daft, 2003). Dimana situasi yang dihadapi adalah tuntutan terhadap pekerjaan yang


(28)

tinggi dan rendah terhadap hubungan orang-orang atau relasi, maka pemimpin yang berorientasi pada pekerjaan yang tinggi lebih dibutuhkan, kadangkala kecenderungan untuk sedikit otoriter karena rendahnya kesiapan bawahan dalam menerima tanggung jawab pekerjaan. Pada situasi ini pekerjaan lebih penting untuk dikerjakan daripada membangun hubungan dengan orang-orang (Sule & Saefullah, 2008). Seorang pemimpin pada pokoknya mendefenisikan pekerjaan, menerangkan pada kelompok tanggung jawab setiap orang, kapan pekerjaan harus dilakukan, menetapkan peran-peran yang dimainkan oleh bawahannya dan memerintahkan kepada mereka apa, bagaimana, bilamana dan dimana bawahan harus melaksanakan berbagai jenis pekerjaan agar keputusan dapat dilaksanakan dengan efektif, serta mengawasi pekerjaan dengan ketat (Rivai, 2003: 54). Komunikasi satu arah menjadi karakteristik perilaku kepemimpinan meskipun perilaku hubungan yang rendah haruslah ada. Pada kondisi ini pengambilan keputusan mutlak berada pada pemimpin sedangkan peran bawahan sangat minimal (Monica, 1998: 72).

b. Pekerjaan yang tinggi dan hubungan yang tinggi (LB2)

Perilaku ini disetarakan dengan menjual atau selling (Daft, 2003). Dimana kondisi yang dihadapi memerlukan perhatian yang tinggi terhadap pekerjaan sekaligus orang-orang, sehingga lebih mengarah kepada gaya kepemimpinan demokratis dan berorientasi kepada kemajuan dan perubahan sangat diperlukan. Selain pekerjaan dapat diselesaikan, pemimpin dalam situasi ini berhadapan dengan tim kerja yang baik, memiliki motivasi untuk berprestasi dalam pekerjaan yang tinggi, sehingga


(29)

mereka tidak perlu lagi diarahkan secara ekstra untuk bekerja (Sule & Saefullah, 2008). Pemimpin memberikan perhatian yang seimbang terhadap keyakinan, keinginan dan kebutuhan kelompok. Pemimpin mungkin mendefenisikan suatu tujuan, menunjuk apa yang perlu dikerjakan, siapa yang mempunyai tanggung-jawab khusus dan sudah terdapat interaksi dengan kelompok. Rencana sebelumnya dari pemimpin mungkin diubah karena reaksi bawahan. Pada kondisi seperti ini, peran pemimpin dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan cukup besar, tetapi masukan dan pendapat bawahan sudah mulai dipertimbangkan pemimpin untuk memperbaiki dan menyempurnakan keputusan-keputusan yang telah ditetapkan dan akan dilaksanakan (Daft, 2003). Dengan menerapkan tindakan ini diharapkan keputusan-keputusan pimpinan akan mendapat dukungan dan lebih mudah menginstruksikannya, sehingga kepemimpinan berlangsung efektif (Rivai, 2003: 54).

c. Hubungan yang tinggi dan pekerjaan yang rendah (LB3)

Disetarakan dengan peran serta atau participating. Dengan menjalankan tindakan partisipasi pemimpin berusaha mengaktifkan orang-orang yang dipimpinnya. Bawahan memiliki karakteristik tim kerja yang baik dan mereka termotivasi dengan baik untuk berada dalam organisasi, akan tetapi belum banyak diarahkan pada pekerjaan yang memberikan tantangan kepada mereka, sehingga orientasi kepada pekerjaan masih rendah. Kondisi seperti ini perhatian utama pemimpin bukanlah pekerjaan dan berbagai keruwetannya, tetapi sebaliknya perhatian diberikan untuk proses, untuk mendapatkan kelompok bekerja dan bersama-sama secara efektif untuk


(30)

menyelesaikan pekerjaan (Monica, 1998: 73). Pimpinan dan bawahan bersama-sama memberi gagasan dalam pengambilan keputusan maupun dalam melaksanakannya melalui komunikasi dua arah dan lebih difasilitasi oleh pimpinan apabila bawahan mempunyai kemampuan dan pengetahuan untuk menyelesaikan pekerjaan (Daft, 2003). Menghadapi situasi ini, pemimpin perlu untuk memberikan dukungan kepada orang-orang atau pekerja untuk melakukan apa yang terbaik dari pekerjaan mereka melalui pemberian motivasi. Pemimpin menciptakan suasana mendukung, konstruktif, dan berorientasi pada pemecahan masalah.

Pemimpin pada kuadran ini benar-benar harus memperhatikan aspek relasi antarmanusia dan pemimpin cenderung bersikap partisipatif (Sule & Saefullah, 2008). Partisipasi tidak berarti bebas berbuat semaunya, tetapi dilakukan secara terkendali dan terarah berupa kerja sama dengan tidak mencampuri atau mengambil tugas pokok orang lain. Keikutsertaan pemimpin harus tetap dalam fungsi sebagai pemimpin dan bukan bawahan (Rivai, 2003: 55).

d. Pekerjaan yang rendah dan hubungan yang rendah (LB4)

Perilaku ini disetarakan dengan pendelegasian karena pengendalian dipindahkan dari pemimpin kepada bawahan. Pemimpin mempertahankan suatu sikap merendah dalam gaya ini, memungkinkan para bawahan untuk diberi kesempatan memainkan kemampuan mereka melalui pendelegasian dan pengarahan umum dengan catatan bawahan memiliki kemampuan yang tinggi serta kedewasaan. Dalam hal ini para bawahan dituntut memiliki kematangan (kemampuan) pekerjaan dan kematangan psikologis


(31)

(kemauan). Kematangan pekerjaan dikaitkan dengan kemampuan untuk melaksanakan sesuatu yang berdasarkan pengetahuan dan ketrampilan sedangkan kematangan psikologis dikaitkan dengan kemampuan atau motivasi untuk melakukan sesuatu yang erat kaitannya dengan rasa yakin. Agar pendelegasian lebih efektif, pemimpin perlu menyeleksi dan menyusun tugas yang dilimpahkan, menyeleksi orang yang tepat, berkemampuan dan memiliki komitmen terhadap pekerjaan dan yang terakhir memberikan arahan dan motivasi kepada bawahan (Nursalam, 2002: 110). Untuk bawahan yang mempunyai tingkat kesiapan tinggi, pemimpin memberi tahu tujuan secara umum dan memberikan otoritas dan tanggung-jawab kepada seseorang atau kelompok untuk mengerjakan pekerjaan, persetujuan awal dari pemimpin mungkin atau mungkin tidak perlu diminta sebelum keputusan itu diimplementasikan dan bawahan dinilai mampu untuk mengerjakannya (Daft, 2003). Pada waktunya, pemimpin mungkin dibutuhkan untuk konsultasi dan berdiskusi, atau untuk memberikan pengarahan dan dorongan positif. Interaksi seperti itu tidak direncanakan secara teratur, tetapi akan terjadi karena kebutuhan meningkat (Monica, 1998: 74).

2.1.7. Teori kematangan pekerjaan dan kematangan psikologis menurut Hersey dan Blanchard.

Kematangan dalam pekerjaan adalah kemampuan seseorang untuk menyelesaikan masalah, termasuk pengetahuan dan pengalaman. Kemampuan (ability) adalah menunjukkan potensi orang untuk melaksanakan pekerjaan, sedangkan kemauan adalah keinginan dan minat yang timbul dari diri


(32)

seseorang untuk melakukan pekerjaan. Adapun kematangan psikologis adalah keinginan seseorang untuk melaksanakan suatu pekerjaan dengan kepercayaan diri dan penghargaan diri (Hersey, Blanchard, 1977). Dengan menggunakan variabel kemampuan dan kemauan, Hersey dan Blanchard (1977) dalam Monica (1998: 59) mendesain empat batasan dalam tingkat-tingkat kematangan:

Tingkat kematangan Karakteristik bawahan M1- Kematangan rendah Tidak mau dan tidak mampu M2- Kematangan moderat Mau tetapi tidak mampu M3- Kematangan moderat Mampu tetapi tidak mau

M4- Kematangan tinggi Mampu dan mau

Sumber : Monica, 1998

Secara rinci keempat kuadran tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Kuadran M1: Tingkat kematangan bawahan rendah, yaitu kondisi dimana kemampuan bawahan dalam melaksanakan tugas rendah, bawahan tidak mau memikul tanggung-jawab dan ketidakyakinan untuk dapat melakukan sesuatu. Penyebabnya tugas yang diembannya jauh di atas kemampuannya, kurang mengerti kaitan antara tugas dan tujuan organisasi (Rivai, 2003: 74).

b. Kuadran M2: Tingkat kematangan bawahan rendah ke sedang atau moderat rendah, yaitu kondisi dimana kemampuannya melaksanakan tugas masih rendah tetapi memiliki rasa tanggung-jawab sehingga ada upaya berprestasi. Mereka yakin akan pentingnya tugas dan tahu pasti tujuan yang ingin dicapai. Penyebabnya bawahan belum berpengalaman atau belum mengikuti pelatihan


(33)

dan pendidikan atau kurang memiliki ketrampilan pada saat sekarang tetapi memiliki motivasi yang tinggi (Rivai, 2003: 74).

c. Kuadran M3: Tingkat kematangan bawahan sedang ke tinggi atau moderat tinggi, yaitu bawahan mempunyai kemampuan untuk melaksanakan tugas tetapi karena suatu hal tidak yakin akan keberhasilan sehingga tugas itu tidak dilaksanakan. Penyebabnya misalnya bawahan merasa kecewa karena dipindahtugaskan ke bidang yang lain dan tidak puas dengan penempatan yang baru (Rivai, 2003: 75).

d. Kuadran M4: Tingkat kematangan bawahan tinggi, yaitu bawahan mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menyelesaikan tugas ataupun memecahkan masalah dan punya motivasi tinggi serta besar tanggung-jawabnya. Bawahan mendapat kepuasan atas prestasinya dan yakin akan selalu berhasil (Rivai, 2003: 75). Misalkan pada sebuah Rumah Sakit, dimana pimpinan menengah di bagian emergensi ingin merubah model pelayanan keperawatan dari keperawatan dalam tim menjadi keperawatan primer. Sistem ini akan berada pada tingkat kematangan M1 (tidak mau dan tidak mampu) jika mayoritas anggotanya tidak mengenal konsep keperawatan primer dan tidak memiliki pengalaman dalam keperawatan primer dan para anggota secara verbal dan non-verbal mencerminkan ketidakinginan mereka untuk berubah. Jika para anggota antusias dengan perubahan tersebut, ingin memperoleh pengetahuan meskipun keperawatan primer adalah hal yang baru, maka sistem akan didiagnosa sebagai M2 (Monica, 1998).


(34)

Sistem akan berada pada tingkat kematangan M3 (mampu tetapi tidak mau) jika mayoritas para anggota sistem memiliki pengetahuan tentang keperawatan primer dan telah memiliki pengalaman terlebih dahulu, tetapi tidak mempunyai pengalaman positif dengan model itu dan telah merasa bahwa keperawatan tim adalah model yang mereka inginkan. Jika mayoritas para anggota mempunyai pengetahuan tentang dan berpengalaman dengan keperawatan primer, menyukainya dan bersemangat untuk memasukkan model tersebut ke dalam pekerjaan di unit mereka, maka sistem akan berada pada tingkat kematangan M4 (Monica, 1998). Faktor lain untuk diingat ketika menggunakan teori ini adalah bahwa seseorang itu akan mau atau tidak mau dan mampu atau tidak mampu. Tidak ada daerah kelabu atau yang setengah-setengah. Sebagai contoh, jika seseorang mau mencoba sesuatu meskipun ia meragukan manfaatnya, maka sebenarnya orang itu tidak mau. Orang dikatakan mampu apabila mereka mampu ditinggalkan sendiri sepenuhnya (Monica, 1998).

2.1.8. Menentukan perilaku kepemimpinan yang tepat

Perilaku kepemimpinan berespon terhadap diagnosa lingkungan diri, sistem dan pekerjaan ditambah penerapan teori perilaku kepemimpinan. Teori-teori yang digunakan untuk mendiagnosa sistem dibaca secara maju dari kanan ke kiri. Dengan perkataan lain, tingkat tertinggi perkembangan berada pada sisi kiri. Nomor-nomor perilaku kepemimpinan (LB1, LB2, LB3 dan LB4) ditempatkan pada arah jarum tempat kwadran perilaku kepemimpinan, bergerak berlawanan arah jarum jam dari yang paling minimal sampai paling matang. Dalam rangka menentukan perilaku kepemimpinan


(35)

yang tepat, untuk suatu diagnosa sistem harus dijembatani ke bagian atas gambar (perilaku kepemimpinan). Misalnya pekerjaannya adalah merubah model pemberian layanan keperawatan pada suatu unit keperawatan, dari model keperawatan tim menjadi model keperawatan primer (Monica, 1998: 79). Penjelasan mengenai penentuan perilaku kepemimpinan ini akan dijelaskan pada skema 1 halaman 26.

Pemimpin menggunakan teori Hersey dan Blanchard (1977, dalam Monica, 1998) untuk mendiagnosa suatu sistem. Para anggota sistem di diagnosa satu-persatu, kemudian ditetapkan tingkat kematangan sistem tersebut misalnya M1, M1 yaitu kondisi dimana sebagian besar anggota kelompok tidak mau dan tidak mampu untuk menjalankan pekerjaan. Dalam hal ini tingkat kematangan M1 berhubungan langsung dengan LB1 (telling). Karena itu, demi pencapaian pekerjaan, sebaiknya pemimpin memulai dengan berperilaku sesuai dengan LB1, yaitu pekerjaan yang tinggi dan hubungan yang rendah. Pemimpin harus mengembangkan suatu strategi yang memberikan pengetahuan pada perawat pelaksana tentang keperawatan primer dan memberitahukan bagaimana, kapan dan dimana tugas itu dikerjakan serta menjelaskan tanggung-jawab mereka. Dengan perkatan lain, pemimpin harus mengambil tanggung-jawab penuh untuk memungkinkan pekerjaan ini diselesaikan tepat waktu (Monica, 1998: 79).

Diagnosa dan penetapan perilaku kepemimpinan akan memberikan tempat untuk mulai bagi pemimpin suatu tempat yang menurut penelitian, memiliki kemungkinan tertinggi untuk sukses. Perubahan kematangan sistem harus tercermin dari perilaku kepemimpinan, apakah bergerak maju satu


(36)

kuadran (pertumbuhan) atau mundur satu kwadran (kemunduran). Jika seorang pemimpin memulai pada LB1 dan menemukan bahwa kelompok telah menjadi lebih mau menerima terhadap keperawatan primer, maka pemimpin harus berubah secara bertahap dari LB1 ke LB2 (selling), yaitu hubungan tinggi dan pekerjaan tinggi (Monica, 1998: 79).

Pada tahap LB2, interaksi kelompok dimulai, tetapi pemimpin masih mempertahankan pengendalian terhadap pencapaian pekerjaan. Walaupun pemimpin masih menerapkan perilaku telling yaitu menjelaskan tugas dan peranan terhadap bawahan tetapi pemimpin juga menerapkan perilaku suportif untuk memperkuat kemauan dan antusias bawahan untuk melakukan pekerjaan. Jika seorang pemimpin berada pada LB2 dan menemukan bahwa kelompok mengalami kemunduran dalam kematangan, yaitu menjadi berkurang kemauan untun mengemban pekerjaan, maka seorang pemimpin akan harus bergerak mundur ke LB1 (Monica, 1998: 79).

Bawahan dengan tingkat kematangan sedang ke tinggi, yaitu bawahan yang mampu tetapi tidak mau (M3) melakukan hal-hal yang diinginkan pemimpin. Ketidakmauan bawahan seringkali merasa kurang yakin dengan kemampuannya. Bawahan perlu di motivasi dan menciptakan komunikasi dua arah antara pemimpin dan bawahan untuk mendukung upaya bawahan dalam menggunakan kemampuan yang mereka miliki. Pemimpin mengikutsertakan (LB3) bawahan dalam pengambilan keputusan sedang peranan pemimpin yang utama adalah memudahkan dan berkomunikasi. Dengan demikian perilaku partisipasi yang suportif memiliki kemungkinan efektif paling tinggi dengan bawahan pada tingkat kematangan ini.


(37)

Tujuan pemimpin dalam menentukan perilaku kepemimpinan yang tepat adalah untuk menggerakkan sistem untuk mencapai LB4 (delegating), pekerjaan dan hubungan yang rendah. Bawahan dengan tingkat kematangan seperti ini adalah orang-orang yang mampu dan mau atau yakin memikul tanggung-jawab. Dengan demikian perilaku yang “mendelegasikan” yang menyediakan arahan atau dukungan yang rendah, memiliki kemungkinan efektif paling tinggi dengan bawahan pada tingkat kematangan tinggi. Meskipun pemimpin boleh jadi mengidentifikasi masalah, tetapi tanggung-jawab untuk melaksanakan rencana diberikan kepada bawahan yang matang. Mereka diperkenankan melaksanakan sendiri pekerjaan dan memutuskan tentang bagaimana, bilamana, dan dimana pelaksanaan pekerjaan itu. Ketika suatu sistem menjadi matang, ia dapat memantau dirinya sendiri dan menyelesaikan pekerjaan. Pemimpin kemudian dapat mendelegasikan pada bawahan dan menjadi bebas untuk bekerja menyelesaikan pekerjaan yang lain. Pendelegasian hanya terjadi pada LB4 (Monica, 1998: 79).


(38)

Memberikan Perilaku Dukungan Pemimpin (Relationship

Behaviour)

Memberikan Panduan (Task Behaviour)

Gambar: Model Kepemimpinan Situasional Hersey dan Blanchard (1977, dalam Monica, 1998)

M4 M3 M2 – 3 M2 M1 Aktualisasi diri Harga diri Sosial Rasa aman Fisiologis Gambar: Hirarki Kebutuhan Maslow (1970, dalam Monica, 1998)

Pencapaian Pengakuan Relasi Interpersonal Keamanan Kerja Kehidupan- Pertumbuhan Prestasi Kemajuan Kondisi Kerja pribadi

Tanggung-jawab Status Kebijakan Gaji

M4 M3 M2 M1

Mampu Mampu tetapi Mau tetapi Tidak mau dan dan mau tidak mau tidak mampu tidak mampu Gambar : Kematangan Pekerjaan dan Kematangan Psikologis, Hersey &

Blanchard (1977, dalam Monica, 1998)

Skema 2.1 : Skema untuk mendiagnosa sebuah sistem dan menentukan perilaku kepemimpinan yang tepat.

Hubungan Tinggi Pekerjaan Rendah LB3

Hubungan tinggi Pekerjaan Tinggi LB2

LB4 Hubungan Rendah

Pekerjaan Rendah

LB1

Hubungan Rendah Pekerjaan Tinggi

SISTEM DIAGNOSA TINGKAT KEMATANGAN


(39)

Keterangan Skema :

LB1 (Leadership behavior 1) = Telling LB2 (Leadership behavior 2) = Selling LB3 (Leadership behavior 3) = Participating LB4 (Leadership behavior 4) = Delegating

M1 (Mature 1) = Tingkat kematangan bawahan rendah

M2 (Mature 2) = Tingkat kematangan bawahan rendah ke sedang (moderat rendah) M2-M3 = Tingkat kematangan bawahan antara M2 dan M3

M3 (Mature 3) = Tingkat kematangan bawahan sedang ke tinggi (moderat tinggi) M4 (Mature 4) = Tingkat kematangan bawahan tinggi

2.1.9. Kepemimpinan dalam keperawatan

Kepemimpinan dalam keperawatan merupakan penggunaan ketrampilan seorang pemimpin dalam mempengaruhi perawat-perawat lain dibawah pengawasannya untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dalam memberikan pelayanan dan asuhan keperawatan sehingga tujuan keperawatan tercapai. Menurut Bennis (dalam Lancaster, 1997), mengidentifikasi empat kemampuan penting bagi seorang pemimpin yaitu (1) mempunyai pengetahuan yang luas dan kompleks tentang sistem manusia, (2) menerapkan pengetahuan tentang pengembangan dan pembinaan bawahan, (3) mempunyai kemampuan hubungan antar manusia, (4) mempunyai sekelompok nilai-nilai dan kemampuan mengenal orang lain dengan baik (Lancaster, 1997).

Kepala ruangan sebagai pemimpin dalam melaksanakan kegiatan pelayanan dan asuhan keperawatan diharapkan dapat: (1) membantu staf keperawatan mencapai tujuan yang ditentukan, (2) mengarahkan


(40)

kegiatan-kegiatan keperawatan, (3) bertanggung jawab atas tindakan keperawatan yang

dilakukan, (4) melaksanakan keperawatan berdasarkan standar, (5) menyelesaikan pekerjaan dengan benar, (6) mencapai tujuan keperawatan,

(7) mensejahterakan staf keperawatan, dan (8) memotivasi staf keperawatan (Warsito, 2006).

2.2. Motivasi Kerja 2.2.1. Defenisi

Motivasi berasal dari bahasa latin, Mavere yang artinya dorongan, keinginan-keinginan, penggerak rangsangan atau impuls dalam diri seseorang yang menimbulkan perilaku (Hasibuan, 2005: 216). Robbins (2002: 55) menjelaskan bahwa motivasi kerja adalah keinginan untuk melakukan sesuatu sebagai kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan-tujuan organisasi, yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu untuk memenuhi suatu kebutuhan individual.

Motivasi kerja menurut Hasibuan (2005: 216) adalah pemberian daya gerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang agar mereka mau bekerja sama, bekerja efektif dan terintegrasi dengan segala upayanya untuk mencapai suatu tujuan. Motivasi bekerja tidak hanya berwujud kebutuhan ekonomis yang bersifat materil saja, akan tetapi bisa juga berwujud penghargaan dari lingkungan, prestise dan status sosial, yang semuanya berbentuk ganjaran sosial yang imateril sifatnya. Tidak selalu motif uang itu menjadi motif primer bagi orang yang bekerja. Kebanggaan akan hasil karya sendiri, interest atau minat yang besar terhadap pekerjaan, merupakan insentif kuat untuk mencintai suatu pekerjaan (Rivai, 2003).


(41)

2.2.2. Metode-metode motivasi

Terdapat dua metode dalam motivasi, metode tersebut adalah metode langsung dan metode tidak langsung (Hasibuan, 2005). Kedua metode motivasi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a) Metode langsung, merupakan motivasi materiil atau non materiil yang diberikan secara langsung kepada seseorang untuk pemenuhan kebutuhan dan kepuasannya. Motivasi ini dapat diwujudkan misalnya dengan memberikan pujian, penghargaan, bonus dan piagam.

b) Metode tidak langsung, merupakan motivasi yang berupa fasilitas dengan maksud untuk mendukung serta menunjang gairah kerja dan kelancaran pekerjaan.

2.2.3. Tujuan pemberian motivasi

Adapun tujuan pimpinan memberikan motivasi terhadap bawahan menurut Rivai (2003) yaitu:

a. Mendorong gairah dan semangat kerja bawahan. b. Meningkatkan moral dan kepuasan kerja bawahan. c. Meningkatkan produktivitas kerja bawahan.

d. Mempertahankan loyalitas dan kestabilan terhadap organisasi.

e. Meningkatkan kedisiplinan dan menurunkan tingkat absensi bawahan. f. Menciptakan suasana dan hubungan yang baik.

g. Meningkatkan kreativitas dan partisipasi bawahan. h. Meningkatkan tingkat kesejahteraan bawahan.


(42)

Hasibuan (2005: 216) menjelaskan bahwa motivasi kerja diberikan kepada bawahan dimaksudkan agar :

1. Pemimpin dapat membagi-bagikan pekerjaannya kepada para bawahannya untuk dikerjakan dengan baik.

2. Karena ada bawahan yang mampu untuk mengerjakan pekerjaannya, tetapi ia malas atau kurang bergairah mengerjakannya.

3. Untuk memelihara dan atau meningkatkan kegairahan kerja bawahan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya.

4. Untuk memberikan penghargaan dan kepuasan kerja bawahannya.

2.2.4. Penguatan Motivasi

Modifikasi perilaku adalah serangkaian teknik di mana teori penguatan digunakan untuk memodifikasi perilaku manusia. Asumsi dasar yang melandasi modifikasi perilaku adalah hukum efek (law of effect), yang menyatakan bahwa perilaku yang secara positif memperoleh penguatan cenderung diulangi, dan perilaku yang tidak memperoleh penguatan cenderung tidak diulangi (Daft, 2003).

Robbins (2007: 490) menjelaskan bahwa penguatan (reinforcement) didefenisikan sebagai sesuatu yang menyebabkan perilaku tertentu untuk diulangi atau dihambat Ada empat perangkat penguatan yaitu:

a. Penguatan positif (positive reinforcement), adalah administrasi konsekuensi yang menyenangkan dan menghasilkan penghargaan setelah berperilaku yang diinginkan, seperti pemberian pujian, bonus atau penghargaan (Robbins, 2007: 490).


(43)

b. Avoidance learning. Adalah penghilangan konsekuensi yang tidak menyenangkan setelah berperilaku seperti yang diinginkan. Avoidance learning kadangkala disebut penguatan negatif. Avoidance learning terjadi ketika seorang pemimpin berhenti mengkritik dan menegur bawahan pada saat perilaku tidak benar telah dihentikan (Sule & Saefullah, 2008).

c. Hukuman (punishment). Adalah pembebanan dari hasil yang tidak menyenangkan pada bawahan. Hukuman biasanya terjadi setelah berperilaku tidak seperti yang diinginkan. Pemimpin berharap bahwa hukuman yang diberikan akan mengurangi perilaku tersebut terulang kembali (Daft, 2003).

d. Peniadaan (extinction) adalah penarikan penghargaan positif, yang berarti bahwa perilaku tersebut tidak lagi memperoleh penguatan dan karenanya kecil kemungkinan untuk terjadi di masa yang akan datang. Misalnya, seorang pemimpin memberikan kebijakan memperbolehkan mendengar radio saat bekerja, ternyata kebijakan ini menyebabkan produktivitas bawahan menurun, maka pemimpin meniadakan kembali kebijakan ini untuk mengembalikan produktivitas kerja bawahan( Sule & Saefullah, 2008).

Menurut Mangkunegara (dalam Nursalam, 2002), terdapat beberapa prinsip-prinsip dalam motivasi kerja bawahan, yaitu:

a. Prinsip Partisipatif. Dalam upaya memotivasi kerja, bawahan perlu diberikan kesempatan ikut berpartisipasi dalam menentukan tujuan yang akan dicapai oleh pemimpin.


(44)

b. Prinsip komunikasi. Pemimpin mengkomunikasikan segala sesuatu yang berhubungan dengan usaha pencapaian pekerjaan. Dengan informasi yang jelas bawahan akan lebih mudah dimotivasi kerjanya.

d. Prinsip mengakui andil bawahan. Pemimpin mengakui bahwa bawahan mempunyai andil di dalam usaha pencapaian tujuan. Dengan pengakuan, bawahan akan lebih mudah dimotivasi kerjanya.

e. Prinsip pendelegasian wewenang. Pemberian wewenang kepada bawahan akan memberikan kesempatan kepada bawahan dalam mengambil sebuah keputusan, menjadi lebih bertanggung jawab dan lebih memotivasi bawahan untuk bekerja lebih baik dan tepat waktu dalam penyelesaian pekerjaan.

f. Prinsip memberi perhatian. Pemimpin memberikan perhatian terhadap apa yang diinginkan bawahannya, dan bawahan akan termotivasi bekerja sesuai dengan harapan pemimpin.

Memotivasi bawahan merupakan tanggung-jawab para pemimpin. Terdapat teori-teori yang membimbing pemimpin untuk mengetahui apa yang dapat memotivasi individu dan untuk menerapkan perilaku kepemimpinan yang tepat, yang akan meningkatkan kemungkinan untuk dapat memotivasi orang agar mengerjakan pekerjaan-pekerjaannya (Monica, 1998). Pada penelitian ini, peneliti akan menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi bawahan berdasarkan kebutuhan-kebutuhan (needs) yang diambil dari teori motivasi Abraham Maslow.


(45)

2.2.5. Teori motivasi menurut Abraham Maslow

Teori Hirarki Kebutuhan (hierarchy of needs theory) dari Maslow menyatakan bahwa manusia dimotivasi oleh berbagai kebutuhan yang sangat tergantung dari kepentingan individu (Daft, 2003). Adapun dasar teori motivasi hirarki kebutuhan Maslow yaitu:

a) Manusia adalah mahluk sosial yang berkeinginan; ia selalu menginginkan lebih banyak. Keinginan ini terus menerus, baru berhenti jika akhir hayatnya tiba.

b) Suatu kebutuhan yang telah dipuaskan tidak menjadi alat motivasi bagi pelakunya, hanya kebutuhan yang belum terpenuhi yang menjadi alat motivasi.

Kebutuhan manusia diklasifikasi menjadi lima hierarki kebutuhan yaitu : a. Kebutuhan Fisiologis (physiological needs)

Kebutuhan fisik manusia yang paling dasar disebut juga kebutuhan untuk mempertahankan hidupnya (Robbins, 2007: 483). Hal-hal yang termasuk kebutuhan fisiologis yaitu sandang, pangan, air, udara, seks, istirahat dan tempat tinggal. Dalam rancangan organisasi ini direfleksikan sebagai kebutuhan atas cakupan, panas, udara dan gaji pokok yang layak untuk menjamin kelangsungan hidup dan adanya jaminan kesehatan (Monica, 1998: 55). Keinginan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis ini merangsang seseorang berperilaku dan bekerja giat. Kebutuhan fisiologis ini termasuk kebutuhan utama, tetapi merupakan kebutuhan yang bobotnya paling rendah (Hasibuan, 2005: 224).


(46)

b. Kebutuhan Keamanan (safety needs)

Hersey & Blanchard (1977) dalam Monica (1998: 56) mendefenisikan kebutuhan keamanan sebagai pelibatan dengan pemeliharaan diri di tempat kerja. Perlindungan terhadap trauma fisik dalam lingkungan adalah suatu kebutuhan keamanan. Kebutuhan keamanan merefleksikan kebutuhan akan keselamatan kerja dan merasa terbebas dari kecelakaan kerja, keamanan kerja dalam pengoperasian alat-alat canggih, penerangan di tempat kerja, kebebasan dari tekanan yang terus-menerus, tunjangan tambahan, dan jaminan kerja (Daft, 2003). Kebutuhan akan keamanan harta di tempat pekerjaan pada waktu jam-jam kerja, misalnya motor yang di parkir jangan sampai hilang. Tempat kerja yang baik dan nyaman juga akan meningkatkan motivasi kerja bawahan sehingga akan meningkatkan kepuasan kerja dan kinerja bawahan (Hasibuan, 2005: 224).

c. Kebutuhan sosial (social needs)

Hersey & Blanchard (1977, dalam Monica, 1998) secara kuat mengekspresikan kebutuhan sosial sebagai hubungan interpersonal yang berarti. Kebutuhan-kebutuhan sosial melibatkan suatu proses interaksi berupa komunikasi terapeutik kepada pasien yang sifatnya membantu kesembuhan pasien (Monica, 1998). Contoh lain dari suatu tingkat kebutuhan sosial adalah mereka yang menikmati bekerja bersama dalam kelompok-kelompok dan tim-tim, menganggap lingkungan kerja sebagai situasi sosial, mengajak orang untuk merasa menjadi bagian dari kelompok kerja, partisipasi dalam kelompok kerja, dan hubungan positif dengan pemimpin (Daft, 2003).


(47)

Manusia pada dasarnya selalu ingin hidup berkelompok dan tidak seorang pun manusia ingin hidup menyendiri di tempat terpencil. Karena manusia adalah mahluk sosial, sudah jelas ia menginginkan kebutuhan-kebutuhan sosial. Hasibuan (2005: 225) menjelaskan kebutuhan sosial yang terdiri dari empat kelompok, yaitu:

1. Kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain di lingkungan ia hidup dan bekerja (sense of belonging).

2. Kebutuhan akan perasaan dihormati, karena setiap manusia merasa dirinya penting (sense of importance). Serendah-rendahnya pendidikan dan kedudukan seseorang ia tetap merasa dirinya penting. Karena itu dalam memotivasi bawahan pemimpin harus dapat melakukan tindakan yang menimbulkan kesan bahwa tenaga mereka diperlukan dalam proses pencapaian tujuan organisasi.

3. Kebutuhan akan perasaan maju dan tidak gagal (sense of achievement). Setiap orang senang akan kemajuan dan tidak seorang pun yang menyenangi kegagalan. Kemajuan di segala bidang merupakan keinginan dan kebutuhan yang menjadi idaman setiap orang.

4. Kebutuhan akan perasaan ikut serta (sense of participating). Setiap bawahan akan merasa senang, jika ia diikutsertakan dalam berbagai kegiatan organisasi dalam arti diberi kesempatan untuk mengemukakan saran-saran, pendapat-pendapatnya kepada pemimpin mereka.

d. Kebutuhan harga diri (esteem of needs)

Esteem of needs adalah kebutuhan akan penghargaan diri, pengakuan serta penghargaan prestise dari pimpinan ataupun dari rekan kerjanya. Idealnya


(48)

prestise timbul karena adanya prestasi, tetapi tidak selamanya demikian. Akan tetapi perlu diperhatikan oleh pimpinan bahwa semakin tinggi kedudukan seseorang dalam jabatan organisasi maka semakin tinggi pula prestisenya.

Maslow mengidentifikasi dua jenis kebutuhan harga diri yaitu:

1) Keinginan untuk pencapaian sesuatu, kompetensi dan menguasai kegiatan-kegiatan professional, keyakinan diri, kemandirian dan kebebasan.

2) Keinginan untuk berwibawa, status, reputasi dan penghargaan, menerima pekerjaan yang menantang dan pengakuan akan prestasi (Monica, 1998: 57). Orang-orang yang memiliki kebutuhan harga diri mencari pemenuhannya dengan secara jelas dan secara samar meminta untuk diperhatikan (Robbins, 2007: 483). Mereka mungkin ingin dikatakan bahwa mereka adalah perawat super, bahwa mereka selalu menjalankan tanggung-jawab mereka, bahwa mereka dapat diandalkan dan sebagainya (Monica, 1998: 57).

e. Kebutuhan Aktualisasi Diri (self-actualization needs)

Kebutuhan ini merupakan tingkatan tertinggi. Menjadi kebutuhan mendesak apabila semua kebutuhan lain telah terpenuhi. Ini melibatkan harapan seseorang untuk mencapai potensi yang paling penuh (Monica, 1998: 58). Douglas (1980, dalam Monica, 1998: 58) memberikan karakteristik pegawai yang telah memiliki aktualisasi diri sebagai mereka yang menemukan arti dan pertumbuhan pribadi dalam pekerjaan; mereka secara aktif mencari tanggung-jawab baru, bekerja didasari dengan


(49)

kemampuan, kecakapan, ketrampilan, dan potensi optimal untuk mencapai prestasi kerja yang sangat memuaskan atau luas biasa yang sulit dicapai orang lain (Hasibuan, 2005: 226) dan menerima pekerjaan sebagai bermain, melaksanakan tugas sebagai sesuatu yang menyenangkan (Robbins, 2007: 483) (Swanburg, 2000: 293). Orang dengan tingkat kebutuhan pada tingkat aktualisasi diri lebih menghargai waktu, menghargai sesama manusia dan mempunyai rasa yang kuat pada kebenaran dan kesalahan, pada kebaikan dan kejelekan. Selanjutnya, orang-orang ini mendorong diri sendiri (dorongan instrinsik) dan bukan mencari dorongan dari orang lain (dorongan ekstrinsik). Dorongan ekstrinsik menunjukkan karakteristik orang pada tingkat harga diri.

Orang-orang yang mengaktualisasi diri akan menyelesaikan, menjelaskan apa yang perlu kepada pemimpin, dan kemudian melanjutkan tanggung-jawabnya. Mereka akan menggantungkan diri, saling tergantung atau mandiri sesuai dengan arah mereka sendiri dan sesuai dengan tuntutan situasi. Seorang perawat pada tingkat ini akan berusaha keras untuk menolong diri dan orang lain dalam lingkungan itu tanpa harus diberi tahu (Monica, 1998: 58). Mereka berupaya menjadi seseorang yang seharusnya. Perawat ingin menjadi segala macam yang mereka dapat, untuk mencapai potensi, untuk menjadi perawat yang berguna, mempertimbangkan menjadi kreatif dan memenuhi standar penampilan seseorang. Menurut Hasibuan (2005: 226) kebutuhan aktualisasi diri berbeda dengan kebutuhan lain dalam dua hal, yaitu:


(50)

1. Kebutuhan aktualisasi diri tidak dapat dipengaruhi dari luar. Pemenuhannya hanya berdasarkan keinginan atas usaha individu itu sendiri.

2. Aktualisasi diri berhubungan dengan pertumbuhan seorang individu. kebutuhan ini berlangsung terus-menerus terutama sejalan dengan meningkatnya jenjang karir seorang individu.

Hasibuan (2005: 226) menjelaskan bahwa pentingnya pemimpin mengenal karakteristik kebutuhan bawahan berdasarkan teori hierarki kebutuhan Maslow karena teori ini:

a) Teori ini memberikan informasi bahwa kebutuhan manusia itu jamak (material dan nonmaterial) dan bobotnya bertingkat pula.

b) Pemimpin mengetahui bahwa seseorang berperilaku atau bekerja adalah untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan (material dan nonmaterial) yang akan memberikan kepuasan baginya.

c) Kebutuhan manusia itu berjenjang sesuai dengan kedudukan atau sosial ekonominya. Seseorang yang berkedudukan rendah (sosial ekonomi lemah) cenderung dimotivasi oleh material, sedang orang yang berkedudukan tinggi cenderung dimotivasi oleh nonmaterial.

d) Pemimpin akan lebih mudah memberikan alat motivasi yang paling sesuai untuk merangsang semangat bekerja bawahannya

2.2.6. Indikator motivasi

Sesuai dengan diagram Hirarki kebutuhan Maslow, Monica (1998) menyebutkan pengukuran motivasi meliputi 5 aspek motivator yang meliputi aspek-aspek :


(51)

a. Kebutuhan fisiologis b. Kebutuhan keamanan c. Kebutuhan sosial d. Kebutuhan Harga diri e. Kebutuhan aktualisasi diri

Kepala perawat dapat menggunakan teori Maslow untuk mendiagnosa tingkat kematangan sistem dalam menyelesaikan masalah tertentu (Monica, 1998: 55).

2.2.7. Hubungan kepemimpinan kepala ruangan terhadap motivasi kerja perawat pelaksana

Perilaku kepemimpinan ditentukan oleh pemimpin itu sendiri, sehingga jika kepemimpinan yang diterapkan baik dan dapat memberikan arahan yang baik kepada bawahan, maka akan timbul kepercayaan dan menciptakan motivasi kerja dalam diri pegawai, sehingga tujuan organisasi dapat tercapai

(Fahmi, 2009). Proses motivasi dalam kegiatan pemimpin dimulai dari 1) pemimpin menunjukkan jalan (strategi) terhadap pencapaian tujuan organisasi, 2) pemimpin mengkaji (mendiagnosa) kebutuhan internal bawahan, 3) bawahan bersikap atau bertindak dengan mengikuti jalan yang akan memuaskan kebutuhannya, 4) bawahan mencapai tujuan organisasi dan menerima imbalan, pemenuhan kebutuhan pegawai meningkatkan kepuasan kerja, 5) pemimpin berhasil dalam mencapai tujuan organisasi (Monica 1998).

Seorang kepala perawat menjalankan perannya sebagai seorang pemimpin, bertanggung-jawab memotivasi bawahan dalam mencapai tujuan-tujuan organisasi. Dengan menggunakan teori motivasi untuk mencapai tujuan-tujuan


(52)

ini, pertama-tama kepala perawat perlu mengkaji kekuatan motif tertinggi dari perawat pelaksana, dan kemudian menentukan tujuan yang akan secara langsung memuaskan kebutuhan pribadi perawat pelaksana. Kepala perawat memberikan pemenuhan kebutuhan perawat pelaksana, bila pemenuhan kebutuhan terpenuhi maka akan mempengaruhi motivasi kerja, sehingga kepala perawat dapat meningkatkan motivasi kerja perawat pelaksana (Monica 1998).


(53)

3.1. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual dalam penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh kepemimpinan kepala ruangan dari Hersey & Blanchard yang terdiri dari menyampaikan atau telling, menjual atau selling, peran serta atau participating, pendelegasian atau delegating, terhadap motivasi kerja berdasarkan kebutuhan dasar Maslow yang terdiri dari kebutuhan fisiologis, kebutuhan keamanan, kebutuhan sosial, kebutuhan harga diri , kebutuhan aktualisasi diri (Monica, 1998). Berdasarkan tujuan penelitian dan tinjauan pustaka maka kerangka konseptual dapat digambarkan sebagai berikut :

Keterangan : = variabel yang diteliti = variabel pengontrol

Skema 3.1. Kerangka konseptual pengaruh kepemimpinan kepala ruangan terhadap motivasi kerja perawat pelaksana di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan

PERILAKU

KEPEMIMPINAN (X) Meliputi :

Menyampaikan atau telling Menjual atau selling

Peran serta atau participating Pendelegasian atau delegating (Hersey & Blanchard, 1977 dalam Monica, 1998: 77).

KARAKTERISTIK KEPALA RUANGAN 1.Usia

2.Jenis kelamin 3.Pendidikan 4.Lama bekerja

KARAKTERISTIK PERAWAT PELAKSANA

1. Usia

2. Jenis kelamin 3. Pendidikan 4. Lama bekerja 5. Status pernikahan MOTIVASI KERJA (Y) Kebutuhan fisiologis Kebutuhan keamanan Kebutuhan sosial Kebutuhan harga diri Kebutuhan aktualisasi diri (Maslow dalam Monica, 1998: 55).


(54)

3.2. Defenisi operasional

Defenisi operasional dalam penelitian ini akan dijabarkan pada tabel di bawah ini.

Tabel 3.1 Tabel defenisi operasional instrument penelitian

Variabel Defenisi Alat ukur Hasil ukur Skala Variabel Independen: Kepemimpinan kepala ruangan 1.Telling 2.Selling Kepemimpinan kepala ruangan adalah segala tindak-an ytindak-ang dilakuktindak-an kepala ruangan dalam mem-pengaruhi perawat pelaksana untuk meningkatkan motivasi kerja perawat pelaksana berdasarkan teori Hersey & Blanchard melalui persepsi perawat pelaksana di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan. Telling adalah peri-laku kepala ruangan yang cenderung otoriter, komunikasi terjadi satu arah dan keputusan mutlak dimiliki oleh kepala ruangan.

Selling adalah peri-laku kepala ruangan yang cenderung demokratis,

memperhatikan kebutuhan perawat dan memberikan motivasi kepada perawat serta komunikasi sudah mulai terjalin dengan baik. Kuisioner sebanyak 20 pernyataan Nilai maksimal 80 (20 x 4) dan nilai minimal 20 (20 x 1)

Dengan skala penilaian

SL= Selalu S= Sering K= Kadang – kadang TP= Tidak Pernah

Untuk

pernyataan 1, 3, 14, 17, 18. jawaban SS = 4, jawaban S = 3, jawaban K = 2, jawaban TP= 1

Untuk

pernyataan 4, 8, 12, 13, 15. jawaban S = 4, jawaban SS = 3, jawaban K = 2, jawaban TP = 1 1.Telling 2.Selling 3.Participating 4.Delegating Kepemimpinan Telling Kepemimpinan Selling Nominal


(55)

3.Participating

4.Delegating

Participating adalah perilaku kepala ruangan yang bersama-sama

dengan perawat pelaksana memberi ide dan saran, mengambil keputus-an dkeputus-an melakskeputus-ana-

melaksana-kannya serta komunikasi terjalin dua arah.

Delegating adalah perilaku kepala ruangan yang memberikan kesempatan dan memfasilitasi perawat pelaksana untuk melaksanakan tugas yang dilimpah-kan kepadanya.

Untuk

pernyataan 2, 7, 11, 16, 19. jawaban K = 4, jawaban S = 3, jawaban SS = 2, jawaban TP = 1

Untuk

pernyataan 5, 6, 9, 10, 20. jawaban TP = 4, jawaban K = 3, jawaban S = 2, jawaban SS = 1

Kepemimpinan Participating

Kepemimpinan Delegating

Motivasi kerja Motivasi kerja adalah keinginan perawat pelaksana untuk melaksanakan pekerjaan dimana keinginan tersebut timbul sebagai upaya dalam memenuhi kebutuhan perawat pelaksana yang diukur berdasarkan kebutuhan dasar Maslow di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan.

Kuisioner

dengan 30 item pernyataan yang akan terbagi ke dalam lima kategori ke-butuhan perawat pelaksana.

Nilai maksimal 18 dan nilai minimal 6.

Dengan skala penilaian.

S = Setuju KS=Kurang Setuju TS=Tidak Setuju

S = 3 KS = 2 TS = 1

Motivasi kerja rendah Motivasi kerja sedang Motivasi kerja rendah Ordinal


(56)

1.Kebutuhan fisiologis 2.Kebutuhan keamanan 3.Kebutuhan sosial 4.Kebutuhan harga diri Kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan yang harus dipenuhi perawat pelaksana yang menyangkut kebutuhan dasar manusia.

Kebutuhan keaman- an adalah kebutuhan yang harus dipenuhi perawat pelaksana yang menyangkut perlindungan diri dan keselamatan kerja. Kebutuhan sosial adalah kebutuhan yang menyangkut interaksi dengan rekan kerja, penerimaan dalam

tim kerja ataupun komunikasi

terapeutik dengan pasien yang harus dipenuhi oleh perawat pelaksana di

RSI Islam Malahayati Medan. Kebutuhan harga diri adalah kebutuhan yang harus dipenuhi perawat pelaksana dalam pencapaian sebuah kompetensi, status maupun pengakuan dari pemimpin dan rekan kerja. Kuisioner dengan pernyataan nomor 1-6 Kuisioner dengan pernyataan nomor 7-12 Kuisioner dengan pernyataan nomor 13-18 Kuisioner dengan pernyataan nomor 19-24


(57)

5. Kebutuhan aktualisasi diri

Kebutuhan

aktualisasi diri adalah kebutuhan tertinggi yang harus dipenuhi perawat pelaksana me-nyangkut pencapaian puncak karir dan mengaktualisasikan diri dalam me-nyelesaikan

masalah.

Kuisioner dengan pernyataan nomor 25-30

3.3. Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah dugaan sementara dan masih harus diuji kebenarannya melalui penelitian (Arikunto, 2006). Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah hipotesis nol (Ho) yaitu tidak terdapat pengaruh kepemimpinan kepala ruangan terhadap motivasi kerja perawat pelaksana di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan.


(58)

4.1.Desain Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh kepemimpinan kepala ruangan terhadap motivasi kerja perawat pelaksana di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskripsi korelasi yang bertujuan untuk mengungkapkan pengaruh hubungan antar variabel, meliputi variabel independen (kepemimpinan kepala ruangan) dan variabel dependen (motivasi kerja), peneliti mencari, menjelaskan suatu pengaruh, memperkirakan, menguji berdasarkan teori yang ada.

4.2. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan sampel 4.2.1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subyek yang akan diteliti (Arikunto, 2006: 130). Adapun populasi dalam penelitian ini adalah perawat pelaksana di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan yang berjumlah 112 orang.

4.2.2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi terjangkau yang dapat dipergunakan sebagai subjek penelitian (Nursalam, 2003). Penentuan besar sampel ditentukan dengan menggunakan rumus Slovin (dalam Hasan, 2002) sehingga diperoleh besar sampel sebanyak 88 perawat pelaksana. Pengambilan sampel telah dilakukan pada 11 ruangan di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan.


(59)

Rumus Slovin: n =

1 2+ d N

N

n = 112 = 88 112.(0.05)2 + 1 Keterangan :

n = Besar sampel N = Besar populasi

d = Taraf signifikansi (α = 0.05)

4.2.3. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan teknik probability sampling jenis simple random sampling yaitu dengan memilih kelompok subjek yang dipilih secara acak atau random sehingga setiap subjek dalam populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk terpilih atau tidak terpilih menjadi responden (Nursalam, 2003). Adapun syarat bagi perawat pelaksana untuk menjadi responden yaitu bersedia dan tidak sedang cuti. Peneliti memilih calon responden dengan teknik ordinal (tingkatan sama) (Arikunto, 2006: 137).

Sebelum memilih sampel, peneliti terlebih dahulu meminta seluruh daftar nama perawat pelaksana di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan. Kemudian 112 perawat diberi nomor urut, oleh karena sampel penelitian berjumlah 88 atau sekitar tiga perempat dari populasi, maka pengambilan nomor dilakukan dengan melompat setelah 3 subjek, mulai dari nomor 1, 2, 3, 5, 6, 7, 9, 10 dan seterusnya, dan kalau sudah sampai nomor terbawah padahal belum diperoleh 88 calon responden, maka kembali ke urutan atas lagi. Peneliti menemui calon responden berdasarkan nomor yang terpilih, bila calon responden tidak sedang cuti dan bersedia menjadi responden,


(60)

maka inilah yang menjadi responden penelitian. Dan untuk mengantisipasi tidak kembalinya kuisioner dan data yang tidak lengkap, peneliti menambahkan jumlah kuisioner sebanyak 10% dari sampel penelitian yang diberikan kepada perawat diluar sampel penelitian (Notoatmojo, 2002), sehingga total kuisioner yang dipersiapkan yaitu sebanyak 97 buah.

4.3. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan yang beralamat di jalan Diponegoro No. 2-4 Medan. Alasan peneliti memilih Rumah Sakit Islam Malahayati Medan sebagai tempat penelitian adalah dengan pertimbangan bahwa belum pernah dilakukan penelitian sejenis di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan, dan untuk mengetahui apakah kepemimpinan kepala ruangan di Rumah Sakit Malahayati Medan sudah efektif atau belum dalam menjalankan peran kepemimpinannya yang ditinjau dari penerapan perilaku kepemimpinan yang tepat dalam upaya meningkatkan motivasi kerja perawat pelaksana. Selain itu lokasi rumah sakit ini strategis dan memiliki jumlah perawat yang memadai untuk dijadikan sebagai responden penelitian. Penelitian ini telah dilakukan selama dua bulan mulai Februari 2011 sampai Maret 2011.

4.4. Pertimbangan Etik

Penelitian ini dilakukan setelah mendapat rekomendasi dari Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan sebelum dilakukan penelitian/ pengumpulan data, peneliti terlebih dahulu mengurus prosedur penelitian mulai dari izin dari pihak Rumah Sakit Islam Malahayati Medan. Karena peneliti menggunakan manusia sebagai subjek penelitian, maka hakekatnya sebagai


(61)

manusia harus dilindungi dengan memperhatikan prinsip-prinsip dalam pertimbangan etik yaitu responden mempunyai hak untuk memutuskan apakah ia bersedia menjadi subjek atau tanpa ada sanksi apapun dan responden tidak mengalami kerugian, peneliti harus memberikan penjelasan dan informasi secara lengkap dan rinci serta bertanggung-jawab jika ada sesuatu yang terjadi kepada responden.

Responden tidak boleh didiskriminasi jika menolak untuk melanjutkan menjadi subjek penelitian. Kerahasiaan data responden dijaga, untuk itu perlu adanya anonymity (tanpa nama) dan confidentiality (rahasia), lembar tersebut hanya diberi nomor dan kode tertentu. Kerahasiaan informasi yang diberikan responden dijamin oleh peneliti dan data-data yang diperoleh dari responden mutlak digunakan untuk keperluan penelitian (Nursalam, 2003).

4.5. Instrumen Penelitian

Teknik pengumpulan data dari responden yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah kuisioner yang sesuai variabel penelitian. Adapun jenis kuisioner yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kuisioner langsung, dimana responden menjawab tentang dirinya sendiri (kuisioner motivasi kerja perawat pelaksana), dan kuisioner tidak langsung, dimana responden menjawab tentang orang lain (kuisioner kepemimpinan kepala ruangan) (Arikunto, 2006: 152). Sebagai data tambahan peneliti melakukan wawancara kepada perawat pelaksana yang menjadi reponden dan juga dengan kepala administrasi RS Islam Malahayati Medan penelitian yang dilakukan saat pengumpulan data. Instrumen dalam penelitian ini terdiri dari tiga bagian yaitu data demografi mengenai identitas perawat pelaksana, kuisioner kepemimpinan kepala ruangan yang menggali


(62)

perilaku yang diterapkan kepala ruangan dan kuisioner motivasi kerja perawat pelaksana yang menggali sejauh mana pemenuhan kebutuhan perawat berdasarkan teori kebutuhan Maslow di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan. Semua kuisioner dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan tinjauan pustaka.

Metode kuisioner yaitu metode pengumpulan data dengan menggunakan daftar pertanyaan yang dibagikan pada responden, untuk memperoleh informasi tentang hal-hal yang diidentifikasi Secara rinci instrumen dalam penelitian ini dijelaskan di bawah ini:

4.5.1. Data demografi

Kuisioner data demografi meliputi jenis kelamin, usia, status pernikahan, pendidikan, lama kerja, penghasilan perbulan selama bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit Islam Malahayati. Data demografi responden tidak dihubungkan dengan salah satu variabel/tidak di analisis, tetapi hanya untuk menggambarkan karakteristik responden.

4.5.2. Kuisioner kepemimpinan kepala ruangan

Kuisioner tentang kepemimpinan kepala ruangan dalam persepsi perawat pelaksana ini dibuat oleh peneliti sendiri yang berisi tentang penerapan perilaku kepemimpinan kepala ruangan. Kuisioner ini menggunakan skala likert yang terdiri dari 20 pernyataan dengan empat pilihan, yaitu jawaban “SS atau sangat sering”, “S atau sering”, “K atau kadang-kadang” dan “TP atau tidak pernah”. Dengan demikian skor yang dapat maksimum yang dapat diperoleh yaitu 20 x 4 = 80 dan nilai minimum yang dapat diperoleh yaitu 20 x 1 = 20. Kuisioner telah disusun sedemikian rupa dengan tujuan untuk mendorong responden agar lebih menganalisis dan


(1)

29.Saya sebagai perawat pelaksana mempunyai keinginan untuk mengikuti perlombaan perawat teladan

30.Saya sebagai perawat pelaksana akan tetap sabar bila mendapatkan perlakuan tidak baik dari pasien atau keluarganya

44 3 50,0 39,8 29 37 33,0 42,0 15 16 17,0 18,2 122


(2)

Lampiran 9

Daftar Riwayat Hidup

Nama : Arif Miftah Khoir

Tempat/Tanggal Lahir : Pematang Siantar/ 29 Juli 1989

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Alamat : Pasar 1 A Perdagangan, Kecamatan Bandar,

Kabupaten Simalungun

Riwayat Pendidikan :

1. SD Swasta Dr. Cipto Mangun Kusumo (1995-2001)

2. SLTP N 1 Bandar (2001-2004)

3. SMA N 1 Bandar (2004-2007)

4. Fakultas Keperawatan USU (2007-2012)


(3)

(4)

(5)

(6)