Analisis Yuridis Terhadap Kedudukan Akta Wasiat Yang Tidak Diketahui Oleh Ahli Waris Dan Penerima Wasiat

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Manusia sebagai makhluk individu ternyata tidak mampu hidup sendiri, dalam
menjalankan kehidupannya senantiasa akan bergantung pada orang lain. Manusia
saling membutuhkan dan harus bersosialisasi dengan orang lain. Hal ini disebabkan
manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tidak dapat memenuhinya sendiri.
Untuk itu manusia juga dikatakan sebagai mahkluk sosial, karena pada diri manusia
ada dorongan untuk berhubungan (interaksi) dengan orang lain. 1
Kelompok terkecil dalam interaksi manusia dengan manusia lainnya tercermin
dalam sebuah keluarga, sedangkan kelompok yang lebih besar dalam interaksi
manusia dengan manusia lainnya tercermin dalam sebuah negara. Istilah kelompok
dapat diartikan sebagai “masyarakat setempat”, istilah mana menunjuk pada warga
sebuah desa, kota, suku atau bangsa. Apabila anggota-anggota kelompok, baik
kelompok itu besar maupun kecil, hidup bersama sedemikian rupa, sehingga
merasakan bahwa kelompok tersebut dapat memenuhi kepentingan-kepentingan
hidup utama, maka kelompok tadi disebut sebagai masyarakat setempat. 2

1


Elly.M.Setiadi, dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2006), hal 63-64.
2
Soerjono Soekanto, Fungsi Hukum Dan Perubahan Sosial, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1991), hal 162.

Universitas Sumatera Utara

Keluarga sebagai kelompok terkecil dalam interaksi antar manusia terbentuk
melalui perkawinan, ikatan antara kedua orang yang berlainan jenis dengan tujuan
membentuk mahligai rumah tangga. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. 3
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan dinyatakan bahwa “syarat untuk sahnya suatu perkawinan harus
berdasarkan hukum agama dan harus dilakukan pendaftaran perkawinan di lembaga
pencatatan perkawinan setempat”. Sahnya suatu perkawinan selanjutnya akan
menimbulkan akibat hukum keperdataan serta hak dan kewajiban secara hukum bagi

setiap individu dalam perkawinan, seperti: kewajiban untuk saling cinta-mencintai
dan hormat-menghormati, kewajiban untuk setia dan memberi bantuan lahir bathin
yang satu kepada yang lain, kewajiban suami yang merupakan hak isteri untuk
melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah
tangga sesuai dengan kemampuannya, kewajiban isteri yang merupakan hak suami
untuk mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya 4 serta hak dan terkait harta
bersama dalam perkawinan. 5
Tujuan dari pengaturan hak dan kewajiban suami istri adalah agar suami istri
dapat menegakkan rumah tangga yang merupakan sendi dasar dari susunan
3

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 32 dan 33 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
5
Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

4

Universitas Sumatera Utara


masyarakat. Sehingga undang-undang memberikan hak dan kedudukan isteri adalah
seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan
pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. 6
Hak dan kewajiban suami istri terkait harta benda dalam perkawinan telah
diatur dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Pengaturan terkait harta benda dalam perkawinan
ini dirasa perlu guna mencegah adanya perselisihan antara suami dan istri terkait
harta benda dalam perkawinan yang selanjutnya juga akan turut merugikan hak
seorang anak dalam perkawinan. Pengaturan terkait harta benda dalam perkawinan
ini juga dirasa perlu guna mencegah terjadinya perselisihan terkait harta benda dalam
perkawinan jika dikemudian hari salah satu individu dalam perkawinan meninggal
dunia terlebih dahulu, yang menyebabkan terbukanya harta warisan.
Hukum kewarisan sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan
manusia, karena setiap manusia pasti akan meninggal dunia. 7 Apabila ada peristiwa
hukum, yaitu meninggalnya seseorang akan muncullah akibat hukum, yaitu tentang
bagaimana caranya kelanjutan pengurusan hak-hak kewajiban seseorang yang telah
meninggal dunia itu. Penyelesaian dan pengurusan hak-hak dan kewajiban seseorang
sebagai akibat adanya peristiwa hukum karena meninggalnya seseorang diatur dalam
hukum kewarisan.


6

Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), hal 2.
7

Universitas Sumatera Utara

Hukum waris merupakan bagian dari hukum harta benda 8, karena wafatnya
seseorang maka akan ada pemindahan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati
dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya. Pemindahan
harta kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati pada dasarnya diberikan kepada
keluarga tapi juga tidak menutup kemungkinan adanya pemindahan harta kekayaan
tersebut kepada pihak ketiga. Karena itu hukum waris merupakan kelanjutan hukum
benda, tetapi juga mempunyai segi hukum keluarga.
Terdapat aneka hukum waris yang berlaku bagi warga negara Indonesia, dalam
pengertian bahwa di bidang hukum waris dikenal adanya tiga macam hukum waris,
yaitu: 9


1. Hukum Waris Barat, tertuang di dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.
2. Hukum Waris Islam, merupakan ketentuan Al-quran dan Hadist.
3. Hukum Waris Adat, beraneka ragam tergantung di lingkungan mana
masalah warisan itu terbuka.
Pembagian warisan menurut hukum waris perdata dapat dilaksanakan ketika
terbukanya warisan, ditandai dengan meninggalnya pewaris. Pewarisan hanya
berlangsung karena kematian. 10 Peristiwa kematian menurut hukum mengakibatkan
terbukanya warisan dan sebagai konsekuensinya seluruh kekayaan (baik berupa

8

H.Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),

hal 82.
9

Tamakiran, Asas-asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistem Hukum, (Bandung: Pionir Jaya,
1992), hal 7.
10

Pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Universitas Sumatera Utara

aktiva maupun pasiva) yang tadinya dimiliki oleh seorang peninggal harta beralih
dengan sendirinya kepada segenap ahli warisnya secara bersama-sama. 11
Pembagian harta warisan atau harta peninggalan diawali dengan penentuan
siapa saja yang berhak untuk mendapatkan bagian-bagian tersebut, menentukan besar
bagian yang didapat oleh yang berhak tersebut serta langkah selanjutnya penyelesaian
pembagian harta warisan yang dilaksanakan dengan kesepakatan para pihak yang
berhak dalam pembagian harta warisan tersebut. Pihak yang berhak dalam pembagian
harta warisan atau harta peninggalan adalah ahli waris, ahli waris merupakan orangorang yang berhak menerima harta warisan (harta pusaka). Ahli waris dalam waris
perdata ada dua pembagian, yaitu ahli waris karena undang-undang (ab intestato) dan
ahli waris karena wasiat (testamentair). 12

1.

Ahli waris karena undang-undang ( ab intestato)
Ahli waris karena undang-undang atau ab intestato merupakan keluarga yang
sedarah, baik sistem kekeluargaan ke atas maupun ke bawah. Prinsip yang

dipegang oleh undang-undang ialah bahwa dalam pewarisan menurut undangundang, keluarga sedarah yang terdekat selalu mengenyampingkan atau
menindih keluarga yang lebih jauh sehingga keluarga yang lebih jauh itu tidak

11

Syahril Sofyan, Beberapa Dasar Teknik Pembuatan Akta (Khusus Warisan), (Medan:
Pustaka Bangsa Press, 2011), hal 5.
12
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Waris Kodifikasi, (Surabaya: Airlangga University
Press, 2000), hal 4.

Universitas Sumatera Utara

ikut mewaris. 13 Pada pewarisan karena undang-undang adanya beberapa
golongan yang ditentukan, sehingga golongan yang terdekat dari pewaris
memiliki prioritas utama untuk menjadi ahli waris dari pewaris. Golongan
tersebut yaitu, golongan pertama, golongan kedua, golongan ketiga dan golongan
keempat. Setiap golongan adanya kategori tertentu dan pembagian yang berbeda
pula.
2.


Ahli waris menurut wasiat ( testamentair erfrecht )
Ahli waris ini didasarkan atas wasiat yaitu dalam Pasal 874 Kitab UndangUndang Hukum Perdata, setiap orang yang diberi wasiat secara sah oleh pewaris
wasiat, terdiri atas, testamentair erfgenaam yaitu ahli waris yang mendapat
wasiat yang berisi suatu erfstelling (penunjukkan satu atau beberapa ahli waris
untuk mendapat seluruh atau sebagian harta peninggalan); legataris yaitu ahli
waris karena mendapat wasiat yang isinya menunjuk seseorang untuk mendapat
berapa hak atas satu atau beberapa macam harta waris, hak atas seluruh dari satu
macam benda tertentu, hak untuk memungut hasil dari seluruh atau sebagian dari
harta waris.

Dalam hukum perdata, wasiat merupakan sesuatu yang penting, karena
perselisihan diantara para ahli waris terkait harta warisan dapat dihindarkan dengan
adanya pesan terakhir. Dengan wasiat, pewaris dapat menentukan siapa saja yang

13

M.U. Sembiring, Beberapa Bab Penting Dalam Hukum Waris Menurut Kitab UndangUndang Hukum Perdata, (Medan: Program Pendidikan Notariat Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, 1989), hal 2.


Universitas Sumatera Utara

akan menjadi ahli waris. Dengan wasiat dapat juga warisan itu diperuntukan kepada
seseorang tertentu, baik berupa beberapa benda tertentu atau sejumlah benda yang
dapat di ganti. Wasiat atau testament yang berisi sebagian atau seluruh harta
kekayaan, hanyalah janji dari pembuat testament kepada penerima testament. Janji itu
baru bisa dilaksanakan setelah pembuat testament itu meninggal dunia. 14
Adapun yang merupakan syarat-syarat wasiat terdiri: Pembuat testament harus
mempunyai budi akal, artinya orang yang sakit ingatan dan orang yang sakitnya
begitu berat, sehingga ia tidak dapat berpikir secara teratur 15 dan orang yang belum
dewasa dan yang belum berusia 18 tahun tidak dapat membuat testament. 16
Suatu wasiat hanya boleh dinyatakan, baik dengan akta tertulis sendiri
(olographis testament), baik dengan akta umum (openbaar testament), ataupun akta
rahasia atau tertutup (geheim testament). 17 Jadi wasiat menurut bentuknya ada tiga
yaitu: wasiat yang ditulis sendiri (olographis testament), wasiat umum (openbaar
testament) dan wasiat rahasia atau wasiat tertutup (geheim testament). Mengenai
wasiat yang ditulis sendiri (olographis testament) undang-undang menjelaskan yakni
suatu wasiat tertulis sendiri harus seluruhnya ditulis dan ditanda tangani oleh si yang
mewariskan sendiri. Surat wasiat yang demikian oleh si yang mewariskan harus
disampaikan kepada seorang notaris. 18


14

Anisitus Amanat, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), hal 81-82.
15
Pasal 895 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
16
Pasal 897 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
17
Pasal 931 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
18
Pasal 932 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Pasal 938-939 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata wasiat dengan
akta umum harus dibuat di hadapan notaris dan dua orang saksi dan notaris harus
menulis atau menyuruh menulis kehendak pewaris dalam kata-kata yang jelas
menurut apa adanya yang disampaikan oleh pewaris kepadanya.

Bila pewaris hendak membuat surat wasiat tertutup atau rahasia, dia harus
menandatangani penetapan-penetapannya, baik jika dia sendiri yang menulisnya
ataupun jika ia menyuruh orang lain menulisnya; kertas yang memuat penetapanpenetapannya, atau kertas yang dipakai untuk sampul, bila digunakan sampul, harus
tertutup dan disegel. 19
Pewaris juga harus menyampaikannya dalam keadaan tertutup dan disegel
kepada notaris, dihadapan empat orang saksi, atau dia harus menerangkan bahwa
dalam kertas tersebut tercantum wasiatnya, dan bahwa wasiat itu ditulis dan
ditandatangani sendiri, atau ditulis oleh orang lain dan ditandatangani olehnya.
Notaris harus membuat akta penjelasan mengenai hal itu, yang ditulis di atas kertas
atau sampulnya, akta ini harus ditandatangani baik oleh pewaris maupun oleh notaris
serta para saksi, dan bila pewaris tidak dapat menandatangani akta penjelasan itu
karena halangan yang timbul setelah penandatanganan wasiatnya, maka harus
disebutkan sebab halangan itu. 20
Notaris bertugas dan berkewajiban untuk membuat daftar akta yang berkenaan
dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan; mengirimkan

19

Pasal 940 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Pasal 940 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

20

Universitas Sumatera Utara

daftar akta atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Pusat Daftar Wasiat
pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum
dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya. 21
Jika notaris lalai melaksanakan tanggung jawabnya terkait wasiat, maka dapat
merugikan para penerima wasiat dan akibatnya notaris tersebut dapat dituntut di
muka pengadilan oleh para penerima wasiat. Notaris tersebut dapat dikenai sanksi
berupa: peringatan tertulis; pemberhentian sementara; pemberhentian dengan hormat;
atau pemberhentian dengan tidak hormat. 22
Pada umumnya dalam proses pembuatan wasiat, pemberi wasiat sering kali
tidak memberitahu kepada ahli warisnya ataupun kepada penerima wasiat akan
adanya wasiat yang dibuat oleh pemberi wasiat. Tidak adanya kewajiban bagi
pemberi wasiat untuk memberitahukan adanya wasiat yang akan dia buat menjadikan
pemberi wasiat dapat langsung menghadap ke notaris untuk membuat atau sekedar
menyimpan dan mendaftarkan akta wasiatnya. Akibatnya setelah terbukanya warisan,
seringkali ahli waris dan penerima wasiat tidak mengetahui adanya wasiat itu.
Kemungkinan ini menimbulkan permasalahan tersendiri dalam hukum kewarisan
terutama apabila, sudah dilaksanakannya pembagian warisan secara ab intestato
sedangkan dikemudian hari terdapat wasiat yang dibuat oleh pewaris atau pemberi
wasiat kepada seseorang penerima wasiat.

21

Pasal 16 huruf (i) Dan (j) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
22
Pasal 16 ayat (11) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.

Universitas Sumatera Utara

Kondisi dimana ahli waris dan penerima wasiat tidak mengetahui adanya wasiat
pada saat terbukanya wasiat ini tentunya amat sangat merugikan penerima wasiat dan
menimbulkan ketidaknyamanan ahli waris karena hilangnya kepastian hukum dari
pembagian warisan sebelumnya. Kondisi ini juga menimbulkan ketidakpastian akan
siapa yang bertanggung jawab atas masalah tidak diketahuinya adanya wasiat, apakah
ahli waris yang berkewajiban memeriksa adanya wasiat ke Daftar Pusat Wasiat
ataukah menjadi kewajiban setiap pelaksana hukum pembuat surat keterangan ahli
waris memeriksa adanya wasiat ke Daftar Pusat Wasiat, karena tidak ada keharusan
yang tegas secara normatif terkait siapa yang diwajibkan memeriksa adanya sebuah
wasiat.
Berdasarkan

Surat

Keputusan

Departemen

Dalam

Negeri

Direktorat

Pendaftaran Tanah Nomor DPT/12/63/12/69 juncto pasal 111 ayat 1 C point 4 PMNA
No 3 tahun 1997, dibedakan tentang siapa saja yang berwenang untuk membuat
keterangan waris. Pembagian kewenangan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Untuk penduduk golongan Eropa dan WNI keturunan Tionghoa,
keterangan warisnya dibuat di hadapan notaris.
2. Untuk penduduk pribumi, keterangan waris cukup dibuat di bawah tangan,
yang disaksikan dan dibenarkan (disahkan) oleh lurah dan dikuatkan oleh
camat setempat.
3. Untuk WNI keturunan Timur Asing (India dan Arab), yang berwenang
membuat keterangan warisnya adalah Balai Harta Peninggalan (BHP).
Sehingga yang seharusnya bertanggung jawab memeriksa adanya wasiat adalah
pelaksana hukum pembuat surat keterangan ahli waris, karena kunci dari penentuan

Universitas Sumatera Utara

siapa saja yang berhak mewarisi harta peninggalan pewaris berada di keterangan
waris.
Untuk membuktikan bahwa seseorang merupakan ahli waris dari pewaris, maka
berdasarkan Pasal 111 ayat 1 C point 4 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, disebutkan
bahwa surat tanda bukti hak yang bentuknya terdiri dari:

1. Wasiat dari pewaris, atau
2. Putusan Pengadilan, atau
3. Penetapan notaris/Ketua Pengadilan, atau
4. Surat keterangan waris

Surat keterangan ahli waris merupakan salah satu dokumen yang menjadi
referensi atau alat bukti dalam melakukan pembagian harta peninggalan untuk ahli
waris. Dari keterangan ini akan dapat diketahui siapa saja yang berhak atas warisan
atau harta peninggalan pewaris. 23
Surat keterangan ahli waris di Indonesia sampai saat ini pengaturannya masih
pluralistik karena keterangan ahli waris didasarkan pada peraturan yang berbeda
berdasarkan golongan penduduk di Indonesia yang bermacam-macam. Akibatnya
sampai kini keterangan ahli waris masih belum seragam sehingga tidak
mencerminkan unsur kepastian hukum yang diamanatkan konsep negara hukum.
23

http://medianotaris.com/berikan_keterangan_ahli_waris_kepada_notaris_berita320.html

Universitas Sumatera Utara

Pembuatan surat keterangan waris pun tidak memenuhi syarat formal maupun
syarat material sebagai akta untuk pembuktian hukum. Sehingga bila dilihat dengan
cermat, bisa jadi keterangan ahli waris yang dimiliki seseorang ternyata dibuat oleh
pejabat yang tidak berwenang atau pejabat yang tidak mengetahui formalitas
pembuatan surat keterangan ahli waris seperti untuk terlebih dahulu memeriksa
adanya wasiat ke Daftar Pusat Wasiat (DPW). Dengan demikian produk keterangan
ahli waris seperti ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.
Berdasarkan uraian di atas maka penelitian tesis ini mengambil judul “Analisis
Yuridis Terhadap Kedudukan Akta Wasiat Yang Tidak Diketahui Oleh Ahli Waris
Dan Penerima Wasiat”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana kedudukan akta wasiat yang tidak diketahui keberadaan akta wasiat
oleh ahli waris dan penerima wasiat bagi golongan penduduk pribumi?
2. Bagaimana akibat hukum pembagian warisan apabila pada akhirnya diketahui
adanya akta wasiat?
3. Bagaimana upaya hukum ahli waris untuk mendapatkan perlindungan hukum
apabila warisan telah dibagi baru kemudian diketahui adanya wasiat?

Universitas Sumatera Utara

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang disebut diatas, maka tujuan yang hendak
dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui kedudukan akta wasiat yang tidak diketahui adanya oleh ahli
waris dan penerima wasiat bagi golongan penduduk pribumi.
2. Untuk mengetahui akibat hukum pembagian warisan tanpa diketahui adanya akta
wasiat.
3. Untuk mengetahui perlindungan hukum kepada ahli waris terkait dengan
pembagian warisan yang tidak didasarkan kepada akta wasiat.
D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun
secara praktis dibidang hukum perdata, dan hukum waris terkhususnya tentang akta
wasiat.

1. Secara Teoritis
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa:
a. Menambah khasanah ilmu Hukum Perdata khususnya hukum waris
berdasarkan wasiat (testament) dan Hukum Kenotariatan.

Universitas Sumatera Utara

b. Memberi bahan masukan dan/atau dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih
lanjut untuk melahirkan berbagai konsep keilmuan yang dapat memberikan
andil bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum perdata khususnya waris.
2. Secara Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa:
a. Manfaat yang sebesar-besarnya bagi para praktisi hukum khususnya bagi para
Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sehubungan dengan Pewarisan
dan wasiat.
b. Mengungkap masalah-masalah yang timbul dan/atau muncul dalam lapangan
hukum dan masyarakat serta memberikan solusinya sehubungan dengan wasiat.
c. Memperbaharui peraturan-peraturan yang menyangkut dengan pelaksanaan
pembagian warisan terhadap adanya wasiat bagi pemerintah dan pihak
legislatif.
E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera
Utara khususnya di lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Magister Kenotariatan
Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul ini belum pernah
dilakukan. Akan tetapi ditemukan beberapa judul tesis yang berhubungan dengan
topik dalam tesis ini diantara lain:

Universitas Sumatera Utara

1. Maya Primasari, Nim. 017011039, dengan judul Pengalihan Hak Atas Tanah
Melalui Hibah Wasiat dan Proses Balik Namanya (Suatu Kajian Hukum di Kota
Medan).
Rumusan Masalah:
a. Apakah Hibah Wasiat (legaat) merupakan suatu cara untuk memperoleh Hak
Milik?
b. Apakah kendala-kendala atau hambatan-hambatan yang terdapat dalam proses
balik nama sertipikat hak atas tanah yang peralihannya dilakukan berdasarkan
hibah wasiat?
c. Bagaimanakah proses balik nama sertipikat hak atas tanah yang peralihannya
dilakukan melalui hibah wasiat?
2. Sahriani, Nim. 077011084, dengan judul Pembagian Harta Warisan Orang Yang
Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Mahkamah
Agung RI No. 51 K/Ag/1999).
Rumusan Masalah:
a. Hak-hak apakah yang didapat oleh ahli waris yang berbeda agama dengan
pewaris ?
b. Dapatkah diberlakukan wasiat wajibah bagi orang yang berbeda agama?
c. Berapakah bagian harta pewaris yang dapat diterima melalui wasiat wajibah
untuk orang yang berbeda agama ?

Universitas Sumatera Utara

3. Muhammad Hekki Mikhail, Nim. 107011107, dengan judul Analisis Hukum
Tentang Penetapan Hak Wasiat Wajibah Terhadap Ahli Waris Non Muslim (Studi
Putusan No. 0141PDT.P/2012/PA.Sby).
Rumusan Masalah:
a. Kenapa ahli waris non muslim tidak mendapat warisan dari keluarga yang
muslim?
b. Apa yang menjadi dasar pemberian wasiat wajibah kepada keluarga non
muslim?
c. Bagaimanakah

pandangan

Pengadilan

Agama

terhadap

Putusan PA

No.0140/Pdt.P/2012/PA.Sby?

Dari judul penelitian tersebut tidak ada kesamaan dengan penelitian yang
dilakukan. Dengan demikian judul ini belum ada yang membahasnya sehingga
penelitian ini dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori

Setiap

penelitian

memerlukan

adanya

landasan

teoritis,

sebagaimana

dikemukakan oleh M. Solly Lubis bahwa “landasan teoritis merupakan kerangka
pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, asas maupun konsep yang relevan
digunakan untuk mengupas suatu kasus ataupun permasalahan.” 24 Dalam penelitian
24

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994) hal 80.

Universitas Sumatera Utara

suatu permasalahan hukum, maka relevan apabila pembahasan dikaji menggunakan
teori-teori hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum. Teori hukum dapat
digunakan untuk menganalisis dan menerangkan pengertian hukum dan konsep
yuridis, yang relevan untuk menjawab permasalahan yang muncul dalam penelitian
hukum. 25
Pada ilmu hukum kelangsungan perkembangan suatu ilmu senantiasa
tergantung pada metodologi, aktivitas penelitian, imajinasi sosial dan teori. 26 Teori
adalah menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu
terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat
menunjukkan ketidakbenarannya. Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk
memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang
diamati. 27
Untuk tercapainya suatu ketertiban dan kedamaian maka hukum berfungsi
untuk memberikan jaminan bagi seseorang agar kepentingannya diperhatikan oleh
orang lain. Jika kepentingan itu terganggu, maka hukum harus melindunginya dan
setiap ada pelanggaran hukum, maka hukum itu harus dilaksanakan dan ditegakkan. 28

25

Salim H. S, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: RajawaliPers, 2010), hal

54.
26

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1986), hal. 6.
JJ. Wuisman, Penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, (Jakarta: UI
Press, 1996), hal 203.
28
Syafruddin Kalo, Modul Kuliah Penemuan Hukum, (Medan: Program Studi Magister
Kenotariatan USU, 2005), hal 38.
27

Universitas Sumatera Utara

Penegakkan hukum pada prinsipnya harus dapat memberi manfaat atau berdaya
guna bagi masyarakat, namun disamping itu masyarakat juga mengharapkan adanya
penegakan hukum untuk tercapainya suatu keadilan. 29
Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk menstrukturisasikan penemuanpenemuan selama penelitian, membuat beberapa pemikiran, prediksi atas dasar
penemuan dan menyajikannya dalam bentuk penjelasan-penjelasan dan pertanyaanpertanyaan. Penelitian ini berusaha untuk memahami kepastian hukum dari
kedudukan akta wasiat yang tidak diketahui oleh ahli waris dan penerima wasiat. Hal
ini berarti teori yang digunakan untuk menjelaskan fakta dan peristiwa hukum yang
terjadi sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum.
Pembahasan mengenai kekuatan hukum pembagian warisan pada hakekatnya
tidak dapat terlepas dari hubungan dengan masalah kepastian hukum, dimana adanya
kepastian hukum dalam pembagian warisan. Teori kepastian hukum mengandung 2
(dua) pengertian yaitu: 30

a. Adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui
perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan,
b. Berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah
karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu
dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh
negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasalpasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam
putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim
lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di putuskan”.

29

Ibid.
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana Pranada Media Group,
2008), hal 158.
30

Universitas Sumatera Utara

“Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara
normatif, bukan sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu
peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis.
Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi tafsir) dan logis dalam
artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan
atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari
ketidakpastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi
norma. Pemikiran pada umumnya beranggapan bahwa kepastian hukum merupakan
keadaan dimana perilaku manusia, baik individu, kelompok, maupun organisasi,
terikat dan berada dalam koridor yang sudah digariskan oleh aturan hukum. Secara
etis, pandangan seperti ini lahir dari kekhawatiran yang dahulu kala pernah
dilontarkan oleh Thomas Hobbes bahwa “manusia adalah serigala bagi manusia
lainnya (homo hominilupus)”. Perkembangan pemikiran manusia modern yang
disangga oleh rasionalisme yang dikumandangkan Rene Descartes (cogito ergo sum),
fundamentalisme mekanika yang dikabarkan oleh Isaac Newton serta empirisme
kuantitatif yang digemakan oleh Francis Bacon menjadikan sekomponen manusia di
Eropa menjadi orbit dari peradaban baru. Pengaruh pemikiran mereka terhadap
hukum pada abad XIX nampak dalam pendekatan law and order (hukum dan
ketertiban). 31

31

Yance Arizona, Apa itu Kepastian Hukum?, http.//yancearizona.net/2008/04/13/apa-itu
kepastian-hukum/, diakses tanggal 16 Januari 2015.

Universitas Sumatera Utara

Salah satu pandangan dalam hukum ini mengibaratkan bahwa antara hukum
yang normatif (peraturan) dapat diikuti ketertiban yang bermakna sosiologis. Sejak
saat itu, manusia menjadi komponen dari hukum berbentuk mesin yang rasional dan
terukur secara kuantitatif dari hukum-hukum yang terjadi karena pelanggarannya.
Pandangan mekanika dalam hukum tidak hanya menghilangkan kemanusiaan di
hadapan hukum dengan menggantikan manusia sebagai sekrup, mor atau gerigi,
tetapi juga menjauhkan antara apa yang ada dalam idealitas aturan hukum dengan
realitas yang ada dalam masyarakat. Idealitas aturan hukum tidak selalu menjadi fiksi
yang berguna dan benar, demikian pula dengan realitas perilaku sosial masyarakat
tidak selalu mengganggu tanpa ada aturan hukum sebelumnya. Ternyata law and
order menyisakan kesenjangan antara tertib hukum dengan ketertiban sosial. Law and
order kemudian hanya cukup untuk the order of law, bukan the order by the law (law
dalam pengertian peraturan/legal). Jadi kepastian hukum adalah kepastian aturan
hukum, bukan kepastian tindakan terhadap atau tindakan yang sesuai dengan aturan
hukum. Karena frasa kepastian hukum tidak mampu menggambarkan kepastian
perilaku terhadap hukum secara benar-benar”. 32
Kepastian hukum bagi subjek hukum dapat diwujudkan dalam bentuk yang
telah ditetapkan terhadap suatu perbuatan dan peristiwa hukum. Hukum yang berlaku
pada prinsipnya harus ditaati dan tidak boleh menyimpang atau disimpangkan oleh
subjek hukum. Ada tertulis istilah fiat justitia et pereat mundus yang diterjemahkan

32

Yance Arizona, Apa itu Kepastian Hukum?, http.//yancearizona.net/2008/04/13/apa-itu
kepastian-hukum/, diakses tanggal 16 Januari 2015.

Universitas Sumatera Utara

secara bebas menjadi “meskipun dunia runtuh hukum harus ditegakkan” yang
menjadi dasar dari asas kepastian dianut oleh aliran positivisme. Hukum diciptakan
untuk memberikan kepastian perlindungan kepada subjek hukum yang lebih lemah
kedudukan hukumnya. 33
Kepastian hukum bermuara pada ketertiban secara sosial. Dalam kehidupan
sosial, kepastian adalah mensamaratakan kedudukan subjek hukum dalam suatu
perbuatan dan peristiwa hukum. Dalam paham positivisme, kepastian diberikan oleh
negara sebagai pencipta hukum dalam bentuk undang-undang. Pelaksanaan kepastian
dikonkritkan dalam bentuk lembaga yudikatif yang berwenang mengadili atau
menjadi wasit yang memberikan kepastian bagi setiap subjek hukum. Dalam
hubungan secara perdata, setiap subjek hukum dalam melakukan hubungan hukum
melalui perjanjian juga memerlukan kepastian hukum. Pembentuk undang-undang
memberikan kepastiannya melalui Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Perjanjian yang berlaku sah adalah undang-undang bagi para subjek hukum
yang melakukannya dengan itikad baik. Subjek hukum diberikan keleluasaan dalam
memberikan kepastian bagi masing-masing subjek hukum yang terlibat dalam suatu
kontrak. Kedudukan yang sama rata dipresentasikan dalam bentuk itikad baik. Antar
subjek hukum yang saling menghargai kedudukan masing-masing subjek hukum
adalah perwujudan dari itikad baik.

33

Yance Arizona, Apa itu Kepastian Hukum?, http.//yancearizona.net/2008/04/13/apa-itu
kepastian-hukum/, diakses tanggal 16 Januari 2015.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Soerjono Soekanto bagi kepastian hukum yang penting adalah
peraturan dan dilaksanakan peraturan itu sebagaimana yang ditentukan. Apakah
peraturan itu harus adil dan mempunyai kegunaan bagi masyarakat adalah di luar
pengutamaan kepastian hukum. Dengan tersedianya perangkat hukum yang tertulis,
siapa pun yang berkepentingan akan mudah mengetahui kemungkinan apa yang
tersedia baginya untuk menguasai dan menggunakan tanah yang diperlukannya,
bagaimana cara memperolehnya, hak-hak, kewajiban serta larangan-larangan apa
yang ada didalam. 34
Jika dikaitkan dengan teori kepastian hukum menurut Satjipto Rahardjo,
kepastian hukum adalah “Sicherkeit Des Rechts Selbst” (kepastian mengenai hukum
itu sendiri). Ada 4 (empat) hal yang erat kaitannya dengan makna kepastian hukum. 35

a. Hukum itu positif, dengan maksud bahwa hukum adalah perundang-undangan
(gesetzliches Recht).
b. Hukum itu didasarkan pada fakta (tatsachen), bukan pada suatu rumusan
tentang penilaian yang nantinya akan diterapkan oleh hakim, seperti
“kemauan baik” dan ”kesopanan”.
c. Fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga nantinya
menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping itu juga bertujuan agar
mudah dijalankan.
d. Bahwa hukum positif itu tidak boleh sering diubah-ubah atau diganti.
Berdasarkan teori kepastian hukum menurut Satjipto Rahardjo diatas, bahwa
hukum itu didasarkan pada fakta (tatsachen), fakta itu harus dirumuskan dengan cara

34

Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-Masalah Sosial,
(Bandung: Alumni, 1982) hal 21.
35
Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, (Jakarta: UKI Press, 2006), hal 102.

Universitas Sumatera Utara

yang jelas sehingga nantinya menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, disamping
itu juga bertujuan agar mudah dijalankan.
Jika dikaitkan dengan teori kepastian hukum tersebut bahwa kedudukan akta
wasiat yang tidak diketahui keberadaannya oleh ahli waris dan penerima wasiat tidak
memiliki kepastian hukum yang jelas, disebabkan karena keberadaan wasiat tersebut
tidak ada yang mengetahui selain pembuat wasiat dan atau notaris sebagai pembuat
atau penyimpan wasiat, dan tidak ada keharusan bagi pembuat wasiat untuk
memberitahu kepada ahli waris dan atau penerima wasiat akan adanya wasiat yang
dibuatnya tersebut tidak memberikan suatu kejelasan dan kepastian hukum apakah
berdasarkan

kewajiban

penunjukan

seorang

pelaksana

wasiat

(executeur

testamentair) dalam hal kepengurusan pelaksanaan dari isi akta wasiat yang telah
ditulis oleh pewaris, dan atau apakah berdasarkan kewajiban notaris untuk
menginformasikan adanya wasiat kepada ahli waris setelah pembuat wasiat
meninggal, atau apakah berdasarkan kewajiban ahli waris untuk memeriksa adanya
wasiat sebelum membagi harta warisan.

2. Konsepsi

Kerangka

konsepsional

ini

penting

dirumuskan

agar

tidak

tersesat

kepemahaman lain, diluar maksud yang diinginkan. Konsepsional ini merupakan alat
yang dipakai oleh hukum disamping unsur lainnya seperti asas dan standar. Oleh
karena itu, kebutuhan untuk membentuk konsepsional merupakan salah satu dari hal-

Universitas Sumatera Utara

hal yang dirasakan penting dalam hukum. Konsepsional adalah suatu konstruksi
mental yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran
penelitian untuk keperluan analisis. 36
Dalam bahasa Latin, kata conceptus (dalam bahasa Belanda, begrip) atau
pengertian merupakan hal yang dimengerti. Pengertian bukanlah merupakan defenisi
yang dalam bahasa Latin adalah defenitio. Defenisi tersebut berarti perumusan (dalam
bahasa Belanda onschrijving) yang pada hakekatnya merupakan suatu bentuk
ungkapan pengertian disamping aneka bentuk lain yang dikenal didalam epistimologi
atau teori ilmu pengetahuan. 37 Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa
konsepsional atau pengetian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian
hukum. 38
Di sini terlihat dengan jelas bahwa suatu konsepsional atau suatu kerangka
konsepsional pada hakikatnya merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih
konkrit dari kerangka teoritis (tinjauan pustaka) yang sering kali masih bersifat
abstrak. Namun, suatu kerangka konsepsional terkadang dirasakan masih juga abstrak
sehingga diperlukan defenisi operasional yang akan menjadi pegangan konkrit
didalam proses penelitian. 39 Maka konsepsional merupakan defenisi dari apa yang

36

Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996) dan Aminuddin dan H.
Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hal 4849.
37
Konsep berbeda dengan teori, dimana teori biasanya terdiri dari pernyataan yang
menjelaskan hubungan kausal antara dua variable atau lebih. Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian
Kualitatif, (Yogyakarta: Roke Sarasni, 1996), hal. 22-23 dan 58-59, Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,
Ibid dan Aminuddin dan H. Zainal Asikin, Ibid.
38
Soerjono Soekanto, Op.cit, hal. 21.
39
Satjipto Rahardjo, Op.cit, hal. 30 dan Aminuddin dan H. Zainal Asikin, Op.Cit, hal. 48.

Universitas Sumatera Utara

perlu diamati, konsepsional terdiri dari variabel-variabel yang ingin menentukan
adanya hubungan empiris. 40
Untuk dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini perlu didefenisikan
beberapa konsep dasar sehingga diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan
penelitian yang telah ditentukan. Konsep tersebut sebagai berikut :

a. Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa
yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak semula
dengan sengaja untuk pembuktian. 41
b. Wasiat adalah suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang
dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia dan dapat dicabut
kembali. 42
c. Ahli waris adalah kaum keluarga, orang yang berhak menerima pusaka,
peninggalan orang yang telah meninggal. 43
d. Penerima wasiat adalah orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga
dengan pemberi wasiat, atau orang pribadi lain. 44
e. Harta kekayaan adalah barang-barang yang menjadi kekayaan seseorang baik
yang berwujud dan tidak berwujud yang bernilai dan yang menurut

40

Koentjaraningrat, et-al, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Cet 3, (Jakarta: Gramedia,
1980), hal.21.
41
Teguh Samudera, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, (Jakarta: Alumni, 1992), hal
37.
42
Pasal 875 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
43
Muhammad Ali, Kamus lengkap Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Amani), hal 618.
44
Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1997 Tentang
Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Karena Hibah Wasiat.

Universitas Sumatera Utara

hukum. 45
f. Surat keterangan waris adalah surat keterangan yang dibuat oleh notaris yang
memuat ketentuan siapa yang menurut hukum merupakan ahli waris yang sah dari
seseorang yang meninggal dunia. 46
g. Daftar Pusat Wasiat adalah seksi yang bertugas melakukan penyusunan daftar
wasiat (testament) yang dilaporkan oleh notaris baik testament terbuka, testament
tertulis maupun testament tertutup atau rahasia, serta meneliti daftar formal daftar
wasiat dan penyiapan bahan penyelesaian permohonan surat keterangan wasiat. 47
h. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. 48
G. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan
konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten.
Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu; sistematis adalah
berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang
bertentangan dalam suatu kerangka tertentu. 49

45

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Perum Balai Pustaka, 1995), hal 342.
46
R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat Di Indonesia –Suatu Penjelasan, (Jakarta:
Rajawali Pers, 1982), hal 19
47
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Peraturan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia nomor:M.03-PR.07.10 tahun 2005, (Jakarta:
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2005).
48
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
49
Soerjono Soekanto, Op.cit, hal 42.

Universitas Sumatera Utara

1. Jenis dan Sifat Penelitian
a. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Pendekatan
normatif oleh karena sasaran penelitian ini adalah hukum atau kaedah (norm).
Pengertian kaedah meliputi asas hukum, kaedah dalam arti sempit (value), Peraturan
hukum konkret. Penelitian yang berobjekan hukum normatif berupa asas-asas hukum,
sistem hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal. 50
Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara
menganalisa hukum yang tertulis dari bahan perpustakaan atau data sekunder belaka
yang lebih dikenal dengan nama bahan sekunder dan bahan acuan dalam bidang
hukum atau bahan rujukan bidang hukum. 51
b. Sifat Penelitian
Metode pendekatan penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, bersifat
deskriptif analisis maksudnya dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran
secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis
dimaksudkan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis
secara cermat untuk menjawab permasalahan. 52

50

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hal 70.
51
Ibid, hal 33.
52
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung: Alumni,
1994), hal 101.

Universitas Sumatera Utara

2. Sumber Data
Sebagai data dalam penelitian ini digunakan data sekunder sebagai data yang
dapat menunjang keberadaan data primer tersebut, adapun kedua data tersebut
meliputi sebagai berikut:
a. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung melalui wawancara
(interview) yang dilakukan terhadap:
1) Ketua Balai Harta Peninggalan Medan
2) Notaris Kota Medan
b. Data Sekunder
Data dalam penelitian ini menggunakan data sekunder. Data sekunder merupakan
data yang diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan atau penelaahaan terhadap
berbagai literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau materi
penelitian yang sering disebut sebagai bahan hukum. 53 Data sekunder berasal dari
penelitian kepustakaan (library research) yang diperoleh dari:
1) Bahan Hukum Primer.
Yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai landasan
utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini yaitu:
a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
b) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

53

Fajat dan Yulianto, Dualisme Penelitan Hukum. Normatif dan Empiris, (yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010) hal 34.

Universitas Sumatera Utara

c) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 3 tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
2) Bahan Hukum Sekunder.
Yaitu bahan hukum memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,
seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, rancangan undang-undang,
hasil-hasil penelitian, hasil karangan dari kalangan hukum, dan seterusnya. 54.
3) Bahan Hukum Tertier.
Yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan sekunder, contohnya adalah kamus dan seterusnya. 55
3. Metode Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang diperlukan, pengumpulan data dilakukan
melalui tahap-tahap penelitian antara lain:
a. Penelitian Kepustakaan (Library Research).
Studi Kepustakaan ini dilakukan untuk mendapatkan atau mencari konsepsikonsepsi, teori-teori, asas-asas dan hasil-hasil permikiran lainnya yang berkaitan
dengan permasalahan penelitian. 56

54

Ibid, hal 13.
Ibid.
56
Muis, Pedoman Penulisan Skripsi Dan Metode Penelitian Hukum, (Medan: Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, 1990), hal 48.
55

Universitas Sumatera Utara

b. Penelitian Lapangan (Field Research).
Studi lapangan ini dilakukan untuk mendapatkan atau menggali informasiinformasi dan catatan lapangan yang diperlukan untuk menginventarisir hal-hal
baru yang terdapat dilapangan yang ada kaitannya dengan permasalahan
penelitian, sedangkan alat pengumpulan datanya adalah:
1) Studi Kepustakaan
Mengumpulkan data sekunder yang terkait dengan permasalahan yang
diajukan dengan cara mempelajari buku-buku, hasil penelitian dan dokumendokumen perundang-undangan yang terkait selanjutnya digunakan untuk
kerangka teoritis pada penelitian lapangan.
2) Pedoman Wawancara.
Pengumpulan data selain secara pengamatan dapat diperoleh dengan
mengadakan wawancara informasi diperoleh langsung dari responden atau
informasi dengan cara tatap muka. Wawancara adalah proses memperoleh
keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tatap muka atara si penanya
atau pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan
alat yang dinamakan panduan wawancara. Sehingga penelitian ini berusaha
menggali informasi dari narasumber yang berkaitan dengan penelitian ini.
4. Analisis Data
Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna
untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data dalam
penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dengan menggunakan

Universitas Sumatera Utara

metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang
bersifat unik dan kompleks. Padanya terdapat regulitas atau pola tertentu, namun
penuh dengan variasi (keragaman). 57
Analisis data penelitian berisi uraian tentang cara-cara analisis yang
menggambarkan bagaimana suatu data dianalisis dan apa manfaat data yang
terkumpul untuk dipergunakan memecahkan masalah yang dijadikan objek
penelitian. 58
Bahwa penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif, yang artinya data
diuraikan secara deskriptif, sebagaimana bentuk-bentuk penelitian ilmu sosial, bila
dilakukannya sebuah penelitian atas ilmu tersebut. Selanjutnya ditarik kesimpulan
dengan menggunakan metode berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang dimulai dari
hal-hal yang umum untuk selanjutnya menarik hal-hal yang khusus, dengan
menggunakan ketentuan berdasarkan pengetahuan umum seperti teori-teori, dalildalil, atau prinsip-prinsip dalam bentuk proposisi-proposisi untuk menarik
kesimpulan

terhadap

fakta-fakta

yang

bersifat

khusus, 59

guna

menjawab

permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini.

57

Burhan Bungin, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis
Kearah Penguasaan Modal Aplikasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal 53.
58
Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, (Jambi: Mandar Maju, 2008), hal 174.
59
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal 109.

Universitas Sumatera Utara