Karakteristik Penderita Kanker Paru Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Pada Tahun 2014

5

BAB 2
TINJAUAN PUSAKA

2.1.

Anatomi dan Fisiologi Paru

2.1.1.

Anatomi Paru
Paru-paru dikelilingi oleh dinding dada. Dinding dada terdiri daripada iga

dan otot-otot antara iga. Paru-paru dipisahkan oleh mediastinum, dimana terletaknya
jantung dan organ-organ lain. Di bawah paru-paru, terletaknya diafragma, iaitu
lapisan otot tipis yang memisahkan rongga dada dari perut (Canadian Cancer Society,
2015).

Gambar 2.1. Anatomi Paru (Moore, Dalley dan Agur, 2010)


2.1.1.1.

Pleura
Paru-paru dibungkus oleh lapisan pleura yang dibagi menjadi 2 jenis

yaitu pleura viseral dan pleura parietal. Pleura viseral adalah pleura yang menempel
erat pada dinding paru sedangkan pleura parietal adalah pleura yang tidak menempel
langsung pada paru. Pleura parietal lebih tebal dibanding pleura viseral. Di antara
pleura visceral dan pleura parietal terdapat rongga yang disebut kavum pleura (Moore,
Dalley dan Agur, 2010).

Universitas Sumatera Utara

6

2.1.1.2.

Paru
Paru-paru dibagi menjadi 2 yaitu paru kanan dan paru kiri. Di paru


kanan terdiri dari 2 fissura: fissure horizontal dan fissura oblique yang membahagi
paru kepada 3 lobus yaitu: lobus superior, lobus medius dan lobus inferior. Paru
kanan lebih luas dan pendek karena dome diafragma kanan lebih tinggi dibanding
dome diafragma kiri. Paru kiri terdiri dari 1 fissura yaitu fissura oblique dan 2 lobus.
Fissura oblique terletak di antara lobus superior dan lobus inferior paru kiri. Di batas
anterior paru kiri terdapat deep cardiac notch karena deviasi apeks jantung ke arah
kiri (Moore, Dalley dan Agur, 2010).

2.1.1.3.

Bronkus
Bronkus terdiri dari dua bagian yaitu bronkus kanan dan bronkus kiri.

Di setiap bronkus akan terbentuk lobar bronkus sekunder, dua di kiri dan tiga di
kanan. Setiap lobar bronkus sekunder akan bercabang menjadi tertiary segmental
bronchi yang kemudian akan membentuk bronkiolus. Di akhir brokiolus, terdapat
jutaan kantung kecil udara yang disebut alveoli. Alveoli diselaputi oleh kapiler dan
memiliki dinding yang tipis. Fungsi alveoli adalah untuk mentransportasi udara dan
memastikan terjadinya pertukaran gas (Moore, Dalley dan Agur, 2010).


2.1.2.

Perdarahan
Setiap paru mempunyai satu arteri pulmonari dan dua vena pulmonari. Arteri

pulmonari akan membawa darah yang kadar oksigennya kurang ke paru dan vena
pulmonari akan mengalirkan darah yang mempunyai kadar oksigen yang tinggi dari
paru ke jantung. Arteri bronkial menyuplai darah untuk kebutuhan metabolisme.
Arteri bronkial merupakan cabang dari aorta torakalis. Vena bronkial kanan
mengalirkan darah ke vena azygos dan vena bronkial kanan mengalirkan darah ke
vena hemiazygos atau vena superior intercostalis kiri (Moore, Dalley dan Agur, 2010).

Universitas Sumatera Utara

7

2.1.3.

Aliran Getah Bening
Terdapat beberapa kumpulan nodus limfa yang merupakan bagian dari


sistem limfatik, drainase cairan yang diproduksi oleh paru (Canadian Cancer Society,
2015)
i.

Nodus bronkial

: kelenjar getah bening di sekitar
bronkus utama

ii.

Nodus hilus

: kelenjar getah bening di daerah di
mana trakea terbagi menjadi bronkus
utama

iii.


Nodus mediastinal (Superior) : kelenjar getah bening di bagian atas
mediastinum

iv.

Nodus mediastinal subkarinal

: kelenjar getah bening di bawah trakea
dimana

trakea

terbagi

menjadi

bronkus utama.
v.

Nodus mediastinal (Inferior)


: kelenjar getah bening di bagian bawah
mediastinum.

2.1.4.

Fisiologi Paru
Fungsi utama paru-paru adalah untuk pertukaran gas. Udara masuk ke mulut

atau hidung ke trakea, bronki dan bronkiolus dan akhirnya alveoli. Di alveoli terjadi
pertukaran gas antara alveoli dan darah di kapilari pulmonari dan sebaliknya. Oksigen
akan berdifusi dari alveoli ke aliran darah sedangkan karbon dioksida akan berdifusi
ke alveoli dari aliran darah. Saat inspirasi, terjadi pertukaran gas untuk menggantikan
oksigen yang telah masuk ke dalam aliran darah dan karbon dioksida yang ada di
alveolus (Ganong, 2010).
Paru juga memainkan peranan dalam sistem pertahanan tubuh. Apabila
terdapat benda asing yang masuk ke dalam bronki akan terjadi refleks bronkial
konstriksi dan batuk. Di epitelium saluran nafas satu pertiga dari anterior hidung
bronkiolus terdapat silia dan periciliary fluid. Dibahagian atas silia dan periciliary


Universitas Sumatera Utara

8

fluid dapat dijumpai lapisan mukus yang fungsinya untuk memerangkap dan
mengeluarkan benda asing dengan bantuan silia (Ganong, 2010).

2.2.

Kanker Paru

2.2.1.

Definisi dan Jenis
Apabila sel dalam satu bagian tubuh tumbuh tanpa terkontrol, seseorang itu

dikatakan mengidap kanker. Kanker adalah kumpulan penyakit dimana terdapat
pertumbuhan yang abnormal dan pembelahan sel yang tidak terkontrol dan sel-sel itu
menyebar ke dalam jaringan yang sehat.
Terdapat dua jenis kanker paru, yaitu Karsinoma Paru Bukan Sel Kecil

(KPBSK) dan Karsinoma Paru Sel Kecil (KPSK). Sekitar 80% kanker paru adalah
KPBSK dan dapat dibagikan dalam tiga subkategori tergantung pada ukuran, bentuk
dan komposisi sel kimia. Subkategori ini termasuk sel skuamus karsinoma,
adenokarsinoma, dan sel besar karsinoma yang tidak berdiferensiasi. Sel skuamus
karsinoma sebanyak 25% hingga 30 %. Adenokarsinoma sekitar 32-40% dari semua
kanker paru. Sel besar karsinoma yang tidak berdiferensiasi sekitar 8% hingga 16%
dari semua jenis kanker paru ( Zarogoulidis, 2013).
Sekitar 10% hingga 15 % dari semua tipe kanker paru adalah kanker paru sel
kecil yang dapat menyebar dengan cepat ke seluruh tubuh . Kanker tipe ini biasanya
bermula di bronkus yang berdekatan dengan dada dan dapat berdiferensiasi dengan
cepat membentuk tumor-tumor yang besar dan menyebar ke nodus limfa dan organ
seperti tulang, otak, dan hati (Helvie et al., 2011).

2.2.2.

Epidemiologi
Pada hasil studi Eastern Mediterranean Health Journal, sekitar 8,95 per

100.000 yaitu sebanyak 15,2 per 100.000 pada pria dan 3,95 per 100.000 pada wanita
terdiagnosa dengan kanker paru. Rata-rata didagnosa dengan kanker paru pada umur

57,5 tahun. Banyak pasien pada saat diagnosis merupakan perokok atau telah berhenti
merokok yaitu sekitar 82,5 %. Adenokarsinoma merupakan tipe kanker paru yang

Universitas Sumatera Utara

9

paling dominan dengan meliputi sekitar 43,9% berbanding dengan tipe kanker paru
yang lain. Kebanyakan kasus pada saat diagnosa merupakan kanker paru pada
stadium akhir yaitu sekitar 64,2% pada stadium IV ( Ibrahim, 2010).

2.2.3.

Etiologi

2.2.3.1. Merokok
Rokok menyebabkan sekitar 82% hingga 90% kanker paru pada pria dan 79%
kanker pada perempuan. Efek daripada merokok merupakan faktor yang paling
dominan menyebabkan kanker paru dibandingkan faktor-faktor lain. Hasil studi
menunjukkan perokok mempunyai resiko 22 kali lebih tinggi untuk didiagnosis

dengan kanker paru dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Terdapat
hubungan antara kebiasaan merokok dengan mortalitas kanker paru. Resiko kanker
paru tergantung pada jumlah rokok yang dihisap yang disebut sebagai pack years
yaitu (jumlah rokok yang dihisap dalam satu hari × jumlah tahun yang dirokok).
Jumlah tahun yang dirokok lebih tinggi resikonya dibandingkan dengan jumlah rokok
yang dihisap dalam sehari. Efek rokok terhadap kanker paru tergantung pada jenis
rokok yang dihisap yang meliputi kriteria seperti kandungan tar serta adanya filtrasi
atau tidak. Seseorang yang menghisap rokok yang tidak difiltrasi mempunyai resiko
lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang menghisap jumlah batang rokok yang
sama tetapi rokoknya telah difiltrasi. Pipa dan cerutu mempunyai resiko yang lebih
rendah dibandingkan rokok karena perokok pipa dan cerutu kurang menghisap rokok
dan kurang menarik nafas dalam ketika merokok, namun mempunyai resiko tujuh
kali lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Rokok
mengandungi sekitar 4000 jumlah bahan kimia, di mana minimal 43 daripada bahan
tersebut adalah karsinogen (Churg, 2005).

2.2.3.2. Perokok pasif
Bukti hasil studi menunjukkan asap rokok yang dihisap oleh orang yang
merokok untuk masa yang lama meningkatkan resiko pada orang di sekitarnya yang


Universitas Sumatera Utara

10

tidak merokok dan menghirup asap tersebut yaitu sebanyak 0,3 hingga 1,0. Sekitar
25 % dari kanker paru pada orang yang tidak merokok disebabkan oleh perokok pasif
(Churg, 2005).

2.2.3.3. Polusi udara dan pekerjaan yang terpapar karsinogen
Insidensi dan mortalitas kanker paru lebih tinggi di kawasan perindustrian
yang memicu terjadinya kanker paru disebabkan oleh polusi udara. Kanker paru
terjadi pada pekerja yang terpapar dengan bahan-bahan karsinogen seperti asbestos.
Polusi udara menyebabkan 10% daripada kanker paru di negara berkembang (Churg,
2005). Beberapa substansi di tempat kerja telah dibuktikan bersifat karsinogenik pada
paru. IARC telah mengidentifikasikan arsen, asbestos, berilium, kadmium, klorometil
ester, kromium, nikel, radon, silika dan vinyl chloride sebagai karsinogen. Pada tahun
2000, diketahui terdapat sekitar 10% kematian kanker paru antara pria yaitu sekitar
88.000 kematian dan sekitar 5% kematian pada perempuan dengan sekitar 14.300
kematian di seluruh dunia disebabkan terpapar dengan 8 jenis bahan yang bersifat
karsinogenik pada paru yaitu asbestos, arsen, berilium, kadmium, kromium, nikel,
silika dan diesel. Steeland dan colleagues memperkirakan sekitar 6.800 hingga
17.000 kanker paru disebabkan oleh paparan bahan kimia di tempat kerja (Cruz et al.,
2011).

2.2.3.4. Gas radon
Gas radon menyebabkan kanker paru pada pekerja yang bekerja di kawasan
pertimahan. Environmental Agency’s risk memprediksi 20.000 daripada kematian
kanker paru setiap tahun disebabkan oleh gas radon dan harus diambil langkah
keselamatan awal menguranginya sebanyak 25% (Churg,2005).

2.2.3.5. Parut dan fibrosis
Karsinoma

perifer,

terutamanya

adenokarsinoma

subpleura

dan

bronkioalveolar disebabkan oleh parut. Parut ini mengandungi kolagen dan akan

Universitas Sumatera Utara

11

menyebabkan kerutan pada lapisan pleura. Parut yang terjadi disebabkan oleh
penyakit-penyakit

seperti

bronchiectacis,

tuberkulosis

atau

trauma.

Studi

menunjukkan 3 hingga 7% karsinoma paru disebabkan oleh jaringan parut dan sekitar
tiga perempat daripada karsinoma paru ini adalah adenokarsinoma (Churg, 2005).
Dari 1.186 karsinoma parut tersebut 23,2% berasal dari riwayat tuberkulosis. Harus
dicatat bahwa data ini berasal dari Amerika Serikat dimana insiden tuberkulosis paru
hanya 0,015 % atau ± 1/20 insiden tuberkulosis di Indonesia (Alsagaff.H et al., 2005).
Berdasarkan hasil penelitian Journal of Cardiothoracic Surgery, didapati penyakit
tuberkulosis paling umum terdapat pada karsinoma sel skuamus yaitu sekitar 51.6%
dan pada adenokarsinoma sekitar 43.8% ( Zhou,2013).

2.2.4.

Klasifikasi histopatologi

Gambar 2.2. Karsinoma sel skuamus (Travis, 2011)

2.2.4.1. Karsinoma sel skuamus
Berciri khas proses keratinisasi, pembentukan bridge intersellular dan
pembentukan mutiara.
a)

Papillary

b)

Clear cell

c)

Small cell

d)

Basaloid

Universitas Sumatera Utara

12

Gambar 2.3. Karsinoma sel kecil (Travis, 2011)
2.2.4.2. Karsinoma sel kecil
Pembentukan sarang, trabekula, dan menbentuk rosette. Disebut juga oat
cell carcinoma karena bentuknya mirip biji gandum. Sel-sel bermitosis dengan
banyak sekali. Tidak mempunyai nukleoli dan terdapat gambaran nekrosis.
a)

Combined small cell carcinoma

Gambar 2.4. Adenokarsinoma (Travis, 2011)
2.2.4.3. Adenokarsinoma
Sel tumor memasuki ruang alveoli. Tidak mempunyai sel kohesif. Khas
dengan bentuk formasi glandular dan kecenderungan ke arah pembentukan
konfigurasi papilari. Biasanya membentuk musin, dan sering tumbuh dari bekas
kerusakan jaringan paru (scar).
a)

Adenocarcinoma, mixed subtype

b)

Acinar adenocarcinoma

c)

Papillary adenocarcinoma

Universitas Sumatera Utara

13

d)

Bronchioalveolar

carcinoma:

nonmucinous,

mucinous,

mixed

nonmucinous and mucinous or indeterminate
e)

Solid adenocarcinoma with mucin production : fetal adenocarcinoma,
mucinous carcinoma, mucinous cystadenocarcinoma, signet ring
adenocarcinoma, clear cell adenocarcinoma

Gambar 2.5. Karsinoma sel besar (Travis, 2011)
2.2.4.4. Karsinoma sel besar
Ini suatu subtipe yang gambaran histologisnya dibuat secara ekslusi. Sel ini
kurang berdiferensiasi dan mempunyai sitoplasma dan nukleoli. Sel ini tidak ada
gambaran diferensiasi skuamosa atau glandular (Travis, 2011).
a)

Large cell neuroendocrine carcinoma
- Combined large cell neuroendocrine carcinoma

b)

Basaloid carcinoma

c)

Lymphoepithelioma–like carcinoma

d)

Clear cell carcinoma

e)

Large cell carcinoma with rhabdoid phenotype

Universitas Sumatera Utara

14

2.2.5.

Patogenesis

NORMAL
EPITHLEIUM

METAPLASIA

MILD
DYSPLASIA

SEVERE
DYSPLASIA

CARCINOMA
Gambar 2.6. : Patogenesis
(Fisheman et al., 2008)
2.2.6.

Gejala Klinis
Pada fase awal kebanyakan kanker paru tidak menunjukkan gejala-gejala

klinis. Bila telah menampakkan gejala berarti pasien dalam stadium lanjut. Menurut
Journal of Chest, gejala-gejala yang paling sering ditemukan adalah batuk dengan
sekitar 8-75%, kehilangan berat badan 0-68%, dipsnea 3-60%, nyeri dada 20-49%,
hemoptisis 6-35%, nyeri tulang 6-25%, demam 0-20% dan mengi sekitar 0-2% (Spiro,
2007).

2.2.7.

Prosedur Diagnostik dan Diagnosis

2.2.7.1. Pemeriksaan sitologi
Pemeriksaan sitologi dikerjakan terutama bila pasien ada keluhan seperti
batuk. Pemeriksaan sitologi tidak selalu memberikan hasil yang positif karena ia
tergantung dari letak tumor terhadap bronkus, jenis tumor, teknik pengeluaran sputum,

Universitas Sumatera Utara

15

dan jumlah sputum yang diperiksa. Dianjurkan pemeriksaan 3-5 hari berturut-turut
dan pada waktu pemeriksaan,sputum harus segar.
Pada kanker paru yang letaknya sentral, pemeriksaan sputum yang baik
dapat memberikan hasil positif sampai 67-85% pada karsinoma sel skuamus.
Pemeriksaan sitologi sputum dianjurkan sebagai pemeriksaan rutin dan skrining
untuk diagnosis dini kanker paru, dan saat ini sedang dikembangkan diagnosis dini
pemeriksaan sputum memakai immune staining dengan MAb dengan antibodi 624H
untuk antigen KPSK (Kanker Paru Karsinoma Sel Kecil) dan antibodi 703 D untuk
antigen KPKBSK (Kanker Paru Karsinoma Bukan Sel Kecil). Laporan dari National
Cancer Institute USA teknik ini memberikan hasil sensitivitas 91% dan spesifitas
88%.
Pemeriksaan sitologi lain untuk diagnostik kanker paru dapat dilakukan pada
cairan pleura, aspirasi kelenjar getah bening servikal, supraklavikula, bilasan, dan
sikatan bronkus pada bronkoskopi (Sudoyo, 2009).

2.2.7.2. Pemeriksaan histopatologi
Menurut Sudoyo (2009), pemeriksaan histopatologi adalah standar emas
diagnosis kanker paru untuk mendapatkan spesimennya dapat dengan cara biopsi
melalui bronkoskopi:
Modifikasi dari bronkoskopi serat optik dapat berupa:
a.

Transbronchial Lung Biopsy (TBLB) dengan tuntutan fluroskopi, atau
ultrasonografi

b.

Belakangan

ini

sedang

dikembangkan

pemeriksaan

fluorescence

bronchoscopy dengan memakai fluorescence exchanging agent seperti HpD
(hematoporphyrin derivative) memberikan konsentrat fluoresensi pada
jaringan kanker. Teknik yang lebih baru lagi adalah dengan auto
fluorescence bronchoscopy. Hasil pemeriksaan ini menunjukkan 50% lebih
sensitif daripada white light bronchoscopy untuk deteksi karsinoma in situ
dan displasia berat.

Universitas Sumatera Utara

16

c.

Ultrasound bronchoscopy, juga dikembangkan pada saat ini untuk
mendeteksi tumor perifer, tumor endobronkial, kelenjar getah bening
mediastinum dan lesi daerah hilus.

d.

Hasil positif dengan bronkoskopi ini dapat mencapai 95% untuk tumor
yang letaknya sentral dan 70-80% untuk tumor yang letaknya perifer.

e.

Trans–bronchial Needle-Aspiration (TBNA). Dikerjakan pada nodul getah
bening di hilus atau mediastinum. Hasilnya akan lebih baik bila dituntun
dengan CT scan.

2.2.7.3. Diagnosis Kanker Paru
Langkah pertama adalah secara radiologis dengan menentukan apakah lesi
intratorakal tersebut sebagai tumor jinak atau ganas. Bila fasilitas ada dengan teknik
Positron Emission Tomography (PET) dapat dibedakan antara tumor jinak dan ganas
serta untuk menentukan staging penyakit. Kemudian ditentukan apakah letak lesi
sentral atau perifer, yang bertujuan untuk menentukan bagaimana cara pengambilan
jaringan tumor. Untuk lesi yang letaknya perifer, kombinasi bronkoskopi dengan
biopsi, sikatan, bilasan, transtorakal biopsi / aspirasi dan tuntunan USG atau CT Scan
akan memberikan hasil yang lebih baik. Sedangkan untuk lesi sentral, langkah
pertama sebaiknya dengan pemeriksaan sitologi sputum diikuti bronkoskopi fleksibel.
Secara radiologis dapat ditentukan ukuran tumor (T), kelenjar getah bening torakal (N)
dan metastasis ke organ lain (M) ( Sudoyo, 2009).

2.2.8.

Stadium Kanker Paru

Tabel 3.1 : Stadium Kanker Paru (TNM Staging, 2009)
Tumor primer
TX

Tumor primer sulit dinilai, atau tumor primer terbukti dari penemuan sel
tumor ganas pada sekret bronkopulmoner tetapi tidak nampak secara
radiologis atau bronkoskopik

Universitas Sumatera Utara

17

T0

Tidak ada bukti ada tumor primer

Tis

Karsinoma in situ

T1

Tumor < 3cm

T1a

Tumor < 2 cm

T1b

Tumor antara 2 – 3 cm

T2

Tumor antara 3-7 cm

T2a

Tumor antara 3 – 5 cm

T2b

Tumor antara 5 – 7 cm

T3

Tumor lebih dari ≥7cm

T4

Tumor menyebar ke mediastinum, jantung, pembuluh darah besar, trakea,
esofagus, pleura, efusi pleura maligna.

Tabel 3.2. : Stadium Kanker Paru (TNM Staging, 2009)
Metastasis jauh (M)
M0

Tak ditemukan metastasis jauh

M1

Ditemukan metastasis jauh

M1a

Metastase di daerah intratoraks

M1b

Metastase di daerah extratorakal

Tabel 3.3. : Stadium Kanker Paru (TNM Staging, 2009)
Kelenjar getah bening regional (N)
NX

Kelenjar getah bening regional tidak dapat dinilai

N0

Tidak terbukti keterlibatan kelenjar getah bening

N1

Metastasis pada kelenjar getah bening peribronkial atau hilus ipsilateral,
termasuk perluasan tumor secara langsung

N2

Metastasis pada kelenjar getah bening mediatinum ipsilateral atau KGB
subkarina

N3

Metastasis pada mediastinal kontralateral, skalenus atau supraklavikula

Universitas Sumatera Utara

18

Tabel 3.4. : Anatomic Stage TNM (American Joint Committee on Cancer)
ANATOMIC STAGE / PROGNOSTIC GROUPS
Occult Carcinoma

TX

N0

M0

Stage 0

Tis

N0

M0

Stage IA

T1a

N0

M0

T1b

N0

M0

Stage IB

T2a

N0

M0

Stage IIA

T2b

N0

M0

T1a

N1

M0

T1b

N1

M0

T2a

N1

M0

T2b

N1

M0

T3

N0

M0

T1a

N2

M0

T1b

N2

M0

T2a

N2

M0

T2b

N2

M0

T3

N1

M0

T3

N2

M0

T4

N0

M0

T4

N1

M0

T1a

N3

M0

T1b

N3

M0

T2a

N3

M0

T2b

N3

M0

T3

N3

M0

T4

N2

M0

T4

N3

M0

Stage IIB

Stage IIIA

Stage IIIB

Universitas Sumatera Utara

19

Stage IV

Any T

Any N

M1a

Any T

Any N

M1b

2.2.9.

Penatalaksanaan

a)

Radioterapi

b)

Radioterapi dilakukan sebagai pengobatan kuratif dan bisa juga sebagai
terapi adjuvant /paliatif pada tumor. Pengobatan ini mempunyai nilai kuratif
sekitar 20% pada karsinoma sel skuamus dan kesembuhan pasien diprediksi
selama 5 tahun. Terapi paliatif dilaksanakan pada sel besar karsinoma. Nilai
kuratifnya rendah pada sel adenokarsinoma. Radioterapi mengurangi ukuran
tumor pada karsinoma sel kecil.

c)

Kemoterapi

d)

Pengobatan ini mempunyai respon yang terbatas pada karsinoma sel
skuamus dan karsinoma sel besar. Kemoterapi mempunyai respon yang
kurang baik pada adenokarsinoma namun mempunyai respon yang baik pada
karsinoma sel kecil.

e)

Pembedahan

f)

Pembedahan mempunyai nilai kuratif sekitar 25% pada karsinoma sel
skuamus dan survival pasien selama 5 tahun serta penyakitnya terbatas. Cara
ini membawa keuntungan yang kurang pada karsinoma sel besar
dibandingkan pada karsinoma sel skuamus. Pada adenokarsinoma,
kesembuhan pasien rendah dan pada karsinoma sel kecil, pembedahan
dilakukan untuk mengurangi ukuran tumor (Spiro, 2005).

Universitas Sumatera Utara