Pengaruh Salinitas Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Akar Semai Mangrove Rhizophora apiculata Blume

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia mempunyai kawasan hutan mangrove terluas di dunia. Luas
mangrove Indonesia diperkirakan sekitar 20.9% dari total mengrove dunia
(Spalding et al, 2010).Hutan mangrove memiliki peranan ekologi, sosial-ekonomi,
dan sosial-budaya yang sangat penting; misalnya menjaga menjaga stabilitas
pantai dari abrasi, sumber kayu bakar dan kayu bangunan, serta memiliki fungsi
konservasi, pendidikan, ekoturisme dan identitas budaya. Tingkat kerusakan
ekosistem mangrove dunia, termasuk Indonesia sangat cepat akibat pembukaan
tambak, penebangan hutan mangrove, pencemaran lingkungan, reklamasi dan
sedimentasi, pertambangan, sebab-sebab alam seperti badai/tsunami, abrasi dan
intrusi air laut, dan tenggelamnya suatu pulau (Setyawan dan Kusumo, 2006).
Mangrove

merupakan

kawasan

yang

terbentuk


akibat

adanya

pembentukan tanah lumpur dan daratan secara terus-menerus oleh tumbuhan
sehingga secara perlahan-lahan berubah menjadi semidaratan. Kata mangrove
merupakan kombinasi antara kata mangue (bahasa portugis) yang berarti
tumbuhan dan grove (bahasa inggris) yang berarti belukar atau hutan kecil (Arief,
2003).
Kemampuan mangrove tumbuh pada air asin karena kemampuan akar-akar
tumbuhan untuk mengeluarkan atau mensekresikan garam. Johannes (1975)
mengatakan, bahwa spesies dari genera Rhizophoradan Laguncularia mempunyai
akar-akar yang dapat memisahkan garam. Pemisahan garam terjadi ketika proses
penguapan atau transpirasi di daun. Penguapan daun ini menimbulkan terjadinya
tekanan negatif yang menyebabkan air yang ada di sistem perakaran tertarik

Universitas Sumatera Utara

kedekatxylem dan peristiwa ini pula terjadi pemisahan air tawar dan laut yang ada

di membran akar (Kordi, 2012).
Pemilihan jenis Rhizophora apiculata ada penelitian ini merupakan langkah
yang baik mengingat jenis ini mudah tumbuh dan propagulnya tidak sulit untuk
dicari dibandingkan dengan jenis lainnya, selain itupropagul jenis ini juga tersedia
dalam jumlah yang cukup banyak. Pengetahuan tentang konsentrasi salinitas yang
terbaik untuk pertumbuhan dan perkembangan akar semai

R.

apiculata diperlukan untuk program rehabilitas kawasan hutan maupun bukan
kawasan hutan.

Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui tingkat konsentrasi salinitas yang terbaik terhadap
pertumbuhan dan perkembangan akar semai mangrove R. apiculata.

Hipotesis Penelitian
1. Perbedaan tingkat salinitas mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
akar semai mangrove R. apiculata.
2. Konsentrasi salinitas yang rendah berpengaruh paling baik untuk pertumbuhan

dan perkembangan akar semai mangrove R. apiculata.

Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi mengenai konsentrasi salinitas terbaik berdasarkan
pertumbuhan dan perkembangan akar R. apiculata.
2. Menjadi refrensi bagi pihak terkait dalamupaya kegiatan rehabilitasi lahan
bekas tambak di pulau sembilan dengan jenis R. apiculata.

Universitas Sumatera Utara

TINJAUAN PUSTAKA

Deskripsi Umum Rhizophora apiculata Blume

Gambar 1. Morfologi R. apiculata (Rusila et al, 1999).

R. apiculata dengan nama lokal yang terkenal yaitu bakau minyak
memiliki perawakan pohon yang tinggi mencapai 30 m, batang berkayu, silindris,
kulit luar batang berwarna abu-abu kecoklatan dengan celah vertikal, muncul
akar udara dari percabangannya. Permukaan daun R. apiculata halus mengkilap,


Universitas Sumatera Utara

ujung runcing, berbentuk lonjong, permukaan bawah tulang berwarna kemerahan,
dan tangkai pendek. Bunga tanaman ini terletak di ketiak daun, umumnya tersusun
atas dua bunga, berkelopak 4, berwarna putih kekuningan, putik 1 berbelah 2,
panjang 0,5-1 mm. Buahnya berwarna hijau, hipokotil silindris berdiameter 12cm, dan panjangnya mencapai 20 cm, bagian ujung sedikit berbintik-bintik dan
berwarna hijau kemerahan (Rusilaet al, 1999).

Sistem Perakaran Mangrove Rhizophora apiculata Blume
Akar merupakan organ yang kontak secara langsung dengan lingkungan
salin, oleh karena itu akar merupakan struktur yang berfungsi mengatur
pengambilan dan transpor ion. Akar merupakan barrier utama terhadap
pergerakan larutan kedalam tumbuhan dan sebagai hasilnya konsentrasi ion yang
diantarkan ke tunas sangat berbeda dari konsentrasi ion pada medium eksternal
(Shannon et al, 1994).
R. apiculata merupakan jenis mangrove yang memiliki akar tunjang,
dimana terjadi pertumbuhan akar secara berulang. Akar selain berfungsi sebagai
penyerap makanan dari tanah juga tampak berfungsi sebagai penunjang.
PadaRhizophora juga terdapatperakaran lain yang terdiri atas akar liar yang

tumbuh lateral dari hipokotil yang tumbuh dari batang tua. Pertumbuhan akar ini
berurutan dari pangkal ke arah bagian atas batang. Akar-akar tersebut mencuat
dari batang, mengarah ke tanah dan menggantung (sehingga disebut pula akar
gantung) dan kemudian masuk ke tanah dan berakar lagi. Panjang cabang akar
gantung mencapai 10 m (Sukardjo, 1984).

Universitas Sumatera Utara

Zonasi Mangrove

Gambar 2. Pola Zonasi Mangrove(Bengen, 2004)

Watson (1982) berpendapat bahwa hutan mangrove dapat dibagi menjadi
lima bagian berdasarkan frekuensi air pasang, yaitu: zonasi yang terdekat dengan
laut, akan didominasi oleh Avicennia spp dan Sonneratia spp, tumbuh pada
lumpur lunak dengan kandungan organik yang tinggi. Avicennia spp tumbuh pada
substrat yang agak keras, sedangkan Avicennia alba tumbuh pada substrat yang
agak lunak. Zonasi yang tumbuh pada tanah kuat dan cukup keras serta dicapai
oleh beberapa air pasang, zonasi ini sedikit lebih tinggi dan biasanya didominasi
oleh Bruguiera cylindrica ke arah daratan lagi, zonasi yang didominasi oleh

Rhizophora mucronata dan R. apiculata. Jenis R. mucronata lebih banyak
dijumpai pada kondisi yang agak basah dan lumpur yang agak dalam
(Talib, 2008).
Zonasi dapat dipengaruhi oleh beberapa factor yang dinyatakan oleh
(Lear dan Turner 1977) diantaranya adalah :
1. Fisiografi atau bentuk permukaan, hal ini dapat berupa kemiringan permukaan
yang mana bisa menentukan lama dan perluasan dari genangan pasang surut.

Universitas Sumatera Utara

Faktor fisiografi ini bisa mempengaruhi zonasi karena dapat berpengaruh
dalam hal salinitas, aliran air dan aerasi tanah.
2. Kisaran pasang surut
3. Iklim, ini mempengaruhi presipitasi, evaporasi dan temperatur yang
membatasi jenis mangrove yang menyusun pola zonasi (Soeroyo, 1992).

Adaptasi Mangrove Terhadap Suhu
Spesies

mangrove


mempunyai

toleransi

yang

berbeda

terhadap

peningkatan suhu udara. Dalam hal ini fotosintesis dan beberapa ekosiologi
mangrove seperti produksi daun yang maksimal terjadi pada tingkat suhu optimal
tertentu, dibawah dan diatas suhu tersebut fotosintesis dan produksi daun menurun
(Hogarth, 1999).
Keunikan daun mangrove sebagai adaptasi terhadap lingkungan yang
biasanya mempunyai suhu dan radiasi sinar matahari yang tinggi terlihat pada
daun-daun yang posisinya terbuka padatajuk teratas secara tajamcondong, kadangkadang posisinya mendekati vertikal, sedangkan daun yang ternaungi cenderung
posisinya horizontal. Akibatnya radiasi sinar matahari terseleksi sepanjang
permukaan fotosintetik luas, sementara pemasukan panas per unit luas daun dan

suhu menjadi berkurang. Oleh karena itu, walaupun lingkungan tempat tumbuh
mangrove yang memiliki radiasi sinar matahari dan suhu udara yangumumnya
tinggi yangmendorong laju transpirasi yang tinggi pula, namun pada
kenyataannya mangrove memiliki laju traspirasi yang rendah yang disebabkan
oleh adaptasi anatomi daunnya. Berdasarkan hasil pengukuran Scholander et al,
(1962) diketahui bahwa laju transpirasi vegetasi mangrove, yakni sebesar 1,5 –

Universitas Sumatera Utara

7,5 mg/dm2/mnt secara nyata lebih rendah dibandingkan laju transpitasi vegetasi
daratan, yakni sebesar 10 – 55 mm/dm2/mnt (Onrizal, 2005).

Adaptasi Mangrove Terhadap Salinitas
Salinitas akan berpengaruh pada pengaturan ion-ion internal, yang secara
langsung memerlukan energi untuk transpor aktif ion-ion guna mempertahankan
lingkungan internal.Hal ini sangat berpengaruh pada proses fisiologis yang dapat
berakibat pada mortalitas kepiting. Oleh sebab itu, perlu dilakukan upaya-upaya
untuk meningkatkan vitalitas agar resiko kematian dapat dikurangi (Karim, 2007).
Pohon mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas yang sesuai dengan
habitat yang dipengaruhi oleh pasangsurut dan salinitas. Adaptasi terhadap

genangan air ini di cerminkan oleh pembentukan akar napas (pneumatofor), akar
lutut dan akar tunjang serta perkecambahan biji pada waktu buah masih menempel
di pohon (vivipar). Kandungan garam, (antara lain NaCl) sangat menentukan
kemampuan tumbuh dan reproduksi mangrove. Hampir semua jenis mangrove
merupakan jenis yang toleran terhadap garam, tetapi bukan merupakan jenis yang
membutuhkan garam untuk hidupnya (salt demanding), (Richards, 1964). Lebih
lanjut Barbour (1970) menyatakan bahwa untuk pertumbuhan dan perkembangan
mangrove serta kriteria mengenai toleransi bagi jenis-jenis mangrove terhadap
garam perlu diperinci mengingat sifat-sifat fisika dan kimia habitatnya selalu
berubah-ubah

sebagai

akibat

pengaruh

pasangsurut,

air


tawar/sungai,

pengendapan lumpur dan dekomposisi bahan organik hasil guguran daun, ranting,
bunga, buah dan lain-lain (Sukardjo, 1984).
Scholander et al (1962) menyatakan bahwa pada umumnya transpirasi
jenis-jenis

mangrove

adalah

rendah,

sedangkan

akarnya

terus-menerus


Universitas Sumatera Utara

mengabsorbsi air garam.Hal ini menyebabkan terjadinyaakumulasi garam pada
daun. Untuk mengatasi hal ini beberapa jenis mangrove mempunyai kelenjar
pengeluaran garam (excretion gland) pada daunnya, sedangkan bagi jenis
mangrove yang tidak memiliki kelenjar pengeluarangaramdilakukan dengan cara
mengalirkan garam tersebut ke daun-daun muda yang baru terbentuk. Pada
salinitas yang tinggi,ion-ion Na+ dan Cl- mendominasi komposisi ion jaringan,
tetapi K+, Mg2+ dan Ca+ juga terdapat dengan konsentrasi yang nyata. Pada
konsentrasi lebih kecil dari 50 mM NaCl, maka K+ dan Mg2+ terdapat pada
konsentrasi rendah yang mendominasi kation dalam cairan sel (Downton, 1982).
Walsh (1974) menyatakan bahwa kecepatan transpirasi yang tinggi dapat
menyebabkan akumulasi yang tinggi dari substansi-substansi yang aktif secara
osmotik pada daun tua. Tekanan osmotik tidak bervariasi secara langsung dengan
kandungan air,tetapi daun yang lebih tua selalu mengandung air yang lebih
banyak dan mempunyai tekanan osmotik yang lebih tinggi daripada daun yang
lebih muda (Onrizal, 2005).
Banyak penelitian yang telah menemukan bahwa semai tumbuh paling
baik di salinitas rendah (25% air laut atau 0,5% konsentrasi garam), di salinitas
tinggi (50%-75% dari air laut atau 1,5%-2% konsentrasi garam) atau pada
keadaan kekurangan garam (salinitas 0% atau air tawar) adalah efek dari
pertumbuhan (Downton, 1982; Clough, 1984; Wang dan Lin, 1999). Pertumbuhan
yang lambat di air tawar sering dianggap berasal dari ketidakmampuan halophyte
untuk mengakumulasi bahan ion anorganik dalam jumlah yang cukup untuk
osmoregulasi ketika substrat kekurangan garam (sodium chloride) (Clough, 1984).
Beberapa peneliti mempertimbangkan peristiwa tersebut menjadi ekspresi dari ciri

Universitas Sumatera Utara

fisiologi mangrove yang membutuhkan garam (Wang dan Lin, 1999), tetapi
beberapa peneliti telah berusaha menjelaskan mekanisme tersebut.
Ball et al (1997) menyatakan bahwa laju pertumbuhan, laju fotosintesis
dan penggunaan air dari semai R. apiculatadan R. stylosa yang ditanam pada
kondisi salinitas yang relatif lebih rendah lebih tinggi daripada semai yang
ditanam pada kondisi salinitas yang relatif lebih tinggi. Fenomena ini juga
diperkuat oleh penelitian Kusmana (2010) bahwa semai R. mucronata

yang

ditanam pada kondisi salinitas sekitar 10 ppt memperlihatkan riap diameter dan
tinggi batang yang lebih tinggi daripada semai yang ditanam pada kondisi salinitas
sekitar 28ppt.
Efektivitas penyerapan tanaman ditentukan secara langsung oleh jumlah
akar primer dan daya tembus akar dalam tanah (Robinson, 1999). Poedjirahajoe
(2006) melaporkan bahwa jumlah akar mangrove sangat dipengaruhi oleh lokasi
tempat tumbuh serta dapat merupakan indikasi dari kesesuaian mangrove terhadap
tempat tumbuhnya.
Rasio batang/akar menunjukkan bahwa rerata berat kering akar lebih besar
dibanding berat kering batang. Rasio berat kering batang/akar merupakan karakter
fisiologi yang dapat membantu untuk memahami pertumbuhan relatif batang-akar.
Hal ini berkaitan dengan sinar matahari atau naungan, tanah yang lembab atau
tanah yang kering serta salinitas (Ramayani, 2012). Setiap tanaman mempunyai
ciri khas yang berbeda untuk menggambarkan hubungan antara tajuk dan akar.
Keseimbangan tajuk dan akar merupakan upaya organ tanaman tersebut dalam
mempertahankan keseimbangan fisiologis, sehingga masing-masing organ
tanaman dapat melakukan fungsinya secara normal (Klepper, 1991).

Universitas Sumatera Utara