Pengaruh Penyinaran Sinar Ultraviolet C (UV-C) Sebagai Elisitor Untuk Meningkatkan Produksi Katekin Melalui Kultur Kalus Pucuk Daun Teh (Camellia sinensis L.)

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Botani Teh (Camellia sinensis L.)
Tanaman teh berasal dari daerah pegunungan di Assam, China, Burma,Thailand,
dan Vietnam. Produksi teh maksimum dicapai pada suhu 13-30 oC. Tanaman teh
tumbuh baik pada kondisi tanah vulkanik muda dengan drainase yang baik dan
tanah yang masam (pH 4.5-5.5 ). Teh tidak tahan terhadap kekeringan yang lama,
karenanya teh terpusat didaerah bagian barat Indonesia yang memiliki curah hujan
antara 2500 mm per tahun sampai 3500 mm per tahun( Sutini, 2008).
Tanaman teh berakar tunggang menyebar secara merata baik vertikal
maupun horizontal. Daun mempunyai bentuk yang beraneka ragam bergantung
pada varietasnya. Bunga teh berbentuk bulat, berwarna putih dan dilapisi lilin,
terdiri dari atas putik, bakal buah, 4-6 petal, dan 100-300 benang sari. Buah teh
termasuk buah kotak yang umumnya terdiri atas 3 butir biji (Muchtar, 1988).

Gambar 2.1 Camellia sinensis L.

Universitas Sumatera Utara

5


Taksonomi dari teh adalah sebagai berikut:
: Plantae
: Spermatophyta
: Dicotyledonae
: Theales
: Theaceae
: Camellia
: Camellia sinensis L. (Padua et al., 1999 and Pandey, 2003)

Kerajaan
Divisi
Kelas
Ordo
Famili
Genus
Spesies

2.2 Metabolit Sekunder
Metabolit sekunder adalah senyawa metabolit yang digunakan secara langsung bagi

pertumbuhan organisme dan ditemukan dalam bentuk yang unik atau berbeda-beda
antara spesies yang satu dan lainnya. Setiap organisme biasanya menghasilkan
senyawa metabolit sekunder yang berbeda-beda, bahkan mungkin satu jenis
senyawa metabolit sekunder hanya ditemukan pada satu spesies dalam suatu
kingdom.

Senyawa ini juga tidak selalu dihasilkan, tetapi hanya pada saat

dibutuhkan saja atau pada fase-fase tertentu. Fungsi metabolit sekunder adalah
untuk mempertahankan diri dari kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan,
misalnya untuk mengatasi hama dan penyakit, menarik polinator, dan sebagai
molekul sinyal. Singkatnya, metabolit sekunder digunakan organisme untuk
berinteraksi dengan lingkungannya (Dewi, 2008).
Senyawa metabolit sekunder merupakan senyawa yang disintesis oleh
suatu makhluk hidup bukan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, akan tetapi
untuk mempertahankan eksistensinya dalam berinteraksi dengan ekosistem. Dalam
proses interaksi dengan lingkungan hidupnya, seringkali kadar metabolit sekunder
yang disintesis berubah-ubah. Secara khusus, senyawa metabolit sekunder
mempunyai fungsi umum yaitu sebagai alat pengikat (attractant) bagi serangga
atau hewan lainnya untuk membantu penyerbukan, sebagai alat penolak (repellant)

terhadap gangguan hama atau hewan pemangsanya, dan sebagai alat pelindung
(protectant) terhadap kondisi lingkungan fisik yang ekstrim (Sumaryono, 1996).
Flavonoid adalah sekelompok besar senyawa polifenol tanaman. Komponen
tersebut pada umumnya terdapat dalam keadaan terikat atau terkonjugasi dengan
senyawa gula. Lebih dari 4000 jenis flavonoid telah diidentifikasi dan beberapa
diantaranya berperan dalam pewarnaan bunga, buah dan daun (de Groot and
Rauen, 1998)

Universitas Sumatera Utara

6

2.3 Katekin
Katekin bersifat asam lemah (pKa1 = 7,72 dan pKa2 = 10,22) sukar larut
dalam air dan sangat tidak stabil diudara terbuka. Bersifat mudah teroksidasi pada
pH mendekati netral (pH 6,9) dan lebih stabil pada pH lebih rendah (2,8 dan 4,9).
Katekin juga mudah terurai oleh cahaya dengan laju reaksi lebih besar pada pH
rendah (3,45) dibandingkan pH 4,9 (Maeta et al., 2007). Sifat fisikokimianya
menjadi tantangan tersendiri dalam formulasi katekin menjadi sediaan obat.
Struktur kimia dari katekin adalah sebagai berikut:

OH
OH

O

OH

OH
OH

Gambar 2. Struktur Kimia Katekin
2.4 Kultur Jaringan
Praktik luar kultur jaringan tanaman bermula dari pembuktian sifat
totipotensi (total genetic potential) sel, yaitu bahwa setiap sel tanaman yang hidup
dilengkapi dengan informasi genetik dan perangkat fisiologis yang lengkap untuk
tumbuh dan berkembang menjadi tanaman utuh, jika kondisinya sesuai (Yusnita,
2003). Kearah mana sel-sel tanaman dapat diinduksi untuk mengekspresikan
totipotensinya sangat tergantung pada sejumlah variabel termasuk faktor eksplan,
komposisi medium, zat pengatur tumbuh, dan stimulus fisik, seperti cahaya, suhu
dan kelembaban. Sebagai konsekuensinya, keberhasilan teknik kultur jaringan

sangat tergantung pada optimasi variabel-variabel tersebut Aplikasi kultur jaringan
tanaman bermanfaat terutama dalam perbanyakan klon atau perbanyakan massal
dari tanaman yang sifat genetiknya identik satu sama lain (Zulkarnain, 2009).
Eksplan yang digunakan adalah jaringan yang masih muda. Jaringan muda
ini tersusun atas sel-sel yang masih muda dan aktif membelah sehingga diharapkan
bisa menghasilkan tanaman yang sempurna (Purwanto, 2008).

Universitas Sumatera Utara

7

Sel yang berasal dari spesies tanaman apapun dapat dibiakkan atau
dikulturkan secara aseptik pada medium hara. Kultur biasanya dimulai dengan
menanamkan satu iris jaringan steril pada medium hara yang dipadatkan dengan
agar. Dalam waktu 2-3 minggu akan terbentuk kalus. Kalus semacam ini dapat
disubkulturkan dengan memindahkan potongan kecil pada medium agar segar. Jika
diinginkan kultur suspensi sel kalus dipindahkan pada medium cair, dan wadahnya
kemudian ditempatkan pada pengocok. Berangsur-angsur dalam waktu beberapa
minggu dan dengan melakukan subkultur, akan didapat kultur suspesi sel. Waktu
yang dibutuhkan untuk mendapatkan kalus dan kultur suspensi sel amat beragam,

dan terutama bergantung pada jaringan eksplan dan komposisi medium kultur.
Kultur suspensi sel terdiri dari campuran agregat sel, kumpulan sel dan sel tunggal
(Wetter and Constabel, 1991).

2.5 Kultur Jaringan Untuk Memproduksi Metabolit Sekunder
Kemampuan totipotensi adalah kemampuan setiap sel untuk

tumbuh menjadi

tanaman sempurna bila diletakkan dilingkungan yang sesuai (Suryowinoto, 1991
cit. Hendaryono dan wijayanti, 1994). Pada prinsipnya kultur jaringan memerlukan
tiga tahap utama. Tahap pertama meliputi, yaitu menjaga agar kultur yang
ditumbuhkan dapat berkembang dengan baik dalam kondisi aseptik. Tahap kedua
adalah melakukan usaha agar dapat terjadi multiplikasi (penggandaan) propagula
dengan cepat sehingga diperoleh tunas dalam jumlah besar. Tahap ketiga
merupakan persiapan pemindahan planlet ke media tanam dalam pot atau tanah.
Perkembangan teknik perbanyakan klon melalui kultur in vitro mengarah kepada
optimasi beberapa aspek penting, yaitu sifat eksplan awal, komposisi media,
kondisi fisik media, dan lingkungan kultur (Murashige, 1974). Keuntungan kultur
jaringan diantaranya, yaitu mendapatkan tanaman baru dengan waktu relatif

singkat dan produksi metabolit sekunder. Menurut Gunawan (1995) melalui kultur
kalus dan kultur sel dapat memproduksi metabolit sekunder.
Dalam rangka memproduksi metabolit sekunder dengan teknik kultur
jaringan tanaman, ternyata suspensi sel merupakan teknik alternatif produksi yang
dapat ditingkatkan menjadi skala industri, karena memiliki kemiripan dengan
kultur sel mikrobia dalam produksi antibiotik atau bahan kimia lain. Walaupun

Universitas Sumatera Utara

8

demikian, sistem kultur suspensi sel sering menghadapi banyak masalah, utamanya
yang menyangkut “dinamika sel”, yaitu bahwa sel yang berada dalam perubahan
bentuk maupun lingkungan akan mengakibatkan biosintesis metabolit sekunder
akan meningkat atau menurun (Staba,1980).
Kultur jaringan dapat digunakan sebagai metode alternatif untuk
memperoleh metabolit sekunder. Kultur organ, terutama kultur akar, merupakan
salah satu tipe kultur jaringan yang banyak digunakan untuk mempelajari
biosintesis metabolit sekunder (Hashimoto and Yamada, 1994). Kultur jaringan
dapat digunakan sebagai salah satu alternatif untuk memproduksi bahan bioaktif

dalam tumbuhan. Menurut Tabata (1977) dan Vanisree et al. (2003) keuntungan
produksi metabolit sekunder melalui kultur jaringan tumbuhan adalah sebagai
berikut :
1.Melalui kultur jaringan tumbuhan dapat dibentuk senyawa yang bermanfaat
dalam kondisi terkontrol dan dalam waktu yang relatif lebih singkat.
2.Sel-sel tumbuhan dapat diperbanyak dengan mudah untuk memperoleh metabolit
tertentu.
3. Pertumbuhan sel secara otomatis terawasi dan proses metabolisme dapat diatur
secara rasional.
4. Hasil produksi yang diperoleh lebih konsisten, baik dalam kualitas maupun
kuantitas.
5. Melalui kultur jaringan tumbuhan dapat dibentuk senyawa baru yang tidak
terdapat dalam tanaman induknya dan senyawa baru ini mungkin berguna untuk
dikembangkan atau dimanfaatkan lebih jauh.
6. Kultur tidak bergantung pada kondisi lingkungan seperti keadaan geografis,
iklim, musim dan tidak memerlukan lahan yang luas.
Teknik kultur jaringan tanaman terdiri atas metode in vivo (George dan
Sherington, 1984) dan in vitro (Chawla, 2002). Kultur jaringan tumbuhan yang
sering digunakan dalam produksi metabolit sekunder adalah kultur kalus dan kultur
suspensi sel (Staba, 1980). Fowler (1983) juga menyatakan bahwa kultur kalus dan

kultur sel tumbuhan secara in vitro adalah sumber yang potensial untuk produksi
metabolit sekunder.

Universitas Sumatera Utara

9

Elisitasi adalah induksi dengan penambahan elisitor untuk memperoleh
metabolit yang sempurna. Elisitor dapat diklasifikasikan berdasarkan sumbernya
yaitu elisitor abiotik dan biotik. Elisitor abiotik merupakan elisitor non-biologis
seprti ion logam dan senyawa anorganik seperti Cu. Cd, Ca2+, sinar ultraviolet
(UV) dan sebagainya. Elisitor biotik merupakan elisitor biologis seperti jamur,
bakteri dan sebagainya. Pada saat ini, produksi metabolit sekunder melalui kultur
sel tanaman melalui elisitasi telah membuka peluang baru yang penting bagi
industri farmasi (Namdeo, 2007).

2.6 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)/ High Performance Liquid
Chromathography (HPLC)
Kromatografi merupakan salah satu metode pemisahan komponen-komponen
campuran dalam keadaan kesetimbangan diantara dua fase yaitu fase diam yang

dapat menahan cuplikan dan fase gerak yang dapat membawa cuplikan.
Kromatografi berdasarkan fase geraknya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
kromatografi gas dan kromatografi cair (Day and Underwood, 2002).
KCKT merupakan salah satu contoh kromatografi cair yang menggunakan
zat cair sebagai fase gerak. Selain untuk pemisahan, metode ini juga dapat
digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif. Keuntungan menggunakan
KCKT antara lain jumlah sampel yang diperlukan sangat sedikit (beberapa
mikroliter), waktu yang diperlukan oleh suatu komponen untuk mencapai detektor
atau waktu retensinya hanya dalam beberapa menit, dan batas deteksinya sampai
nanogram perliter. Instrumen dasar KCKT terdiri dari pompa, sistem pemasukan
sampel, kolom, detector f dan rekorder (Hendayana et al, 1994).
Untuk analisis kuantitatif diasumsikan bahwa lebar atau tinggi Puncak
(Peak) sebanding (proportional) dengan kadar/ konsentrasi zat yang menghasil
puncak. Dalam metoda yang paling sederhana diukur lebar atau tinggi Puncak,
yang kemudian dinormalisasi (ini berarti bahwa setiap lebar atau tinggi puncak
diekspresikan sebagai suatu persentase dari total). Hasil normalisasi dari lebar atau
tinggi puncak memberikan komposisi dari campuran yang dianalisis (Putra,2004)

Universitas Sumatera Utara