rendahnya partisipasi politik di Indones

Rendahnya Partisipasi Politik Pada Pemilu Ancaman
Nilai-Nilai Demokrasi
Oleh : Husnul Chotimah R
(Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang)

Pendahuluan
Partisipasi politik merupakan salah satu elemen dari politik. Tingginya
partisipasi politik sangat terlihat pada negara-negara demokrasi, berbeda dengan
negara yang otoriter, meskipun dapat berpartisipasi dalam politik akan tetapi
partisipasinya terbatas pada hal-hal tertentu saja. Salah satu tolak ukur partisipasi
politik suatu negara adalah dengan adanya pemilihan umum (Pemilu). Indonesia
sebagai salah satu negara demokrasi telah melaksanakan pemilu sejak tahun 1955.
Dalam sejarah Republik Indonesia selama lebih enam dasawarsa, telah
berlangsung pemilu 11 (sebelas kali) dengan rezim yang berbeda. Terakhir
Indonesia melaksanakan pemilu pada tahun ini dengan terpilihnya Joko Widodo
sebagai presiden untuk 5 (lima) tahun kedepan. Sebagai negara yang bisa
dikatakan baru menganut nilai-nilai demokrasi, Indonesia dapat dikatakan berhasil
dalam menerapkan nilai-nilai demokrasi dibandingkan dengan beberapa negara
lainnya.
Keberhasilan ini tak luput dari partisipasi politik masyarakat Indonesia
terhadap sistem demokrasi. Partisipasi politik di Indonesia sejak tahun 1955

bagaikan “ Gelombang” terkadang naik, dan kadang pula turun. Inilah yang
sedang dihadapi bangsa kita. Partisipasi politik masyarakat Indonesia terakhir ini
mengalami kemorosotan, kita dapat melihatnya pada jumlah pemilih dalam
pemilu yang baru saja dilaksanakan dan berdampak pada nilai-nilai demokrasi.
Hal ini menjadi tanda tanya besar, Mengapa partisipasi politik masyarakat
Indonesia sebagai negara demokrasi mengalami penurunan ?

Pembahasan
Sebelum membahas lebih jauh, kita harus mengetahui apa itu partisipasi
politik karena sebagian masyarakat Indonesia sendiri belum memahami apa itu
partisipasi politik dan tujuannya. Partisipasi politik yakni tindakan atau sikap
individu atau sekelompok orang yang ikut terlibat dalam dunia politik dengan
memilih pemimpin dan secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi
kebijakan pemerintah.
Menurut

Herbert

Miclosky


dalam

bukunya

Elly

M.

Setiadi

mengemukakan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari
warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses
pemilhan penguasa, baik secara langsung mapun tidak langsung, dalam proses
pembentukan kebijakan umum. Sementara itu, Kevin R. Hardwick, beranggapan
bahwa partisipasi politik memberi perhatian pada cara-cara warga negara
berinteraksi dengan pemerintah,

warga negara berupaya menyampaikan

kepentingan-kepentingan mereka terhadap pejabat-pejabat publik agar mampu

mewujudkan kepentingan-kepentingan tersebut.1 Dari beberapa pandangan di atas
dapat disimpulkan bahwa partisipasi politik merupakan keikutsertaan masyarakat
dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah baik secara langsung maupun tidak
langsung.

Secara

langsung,

artinya

jika

seseorang

ataupun

kelompok

memengaruhi kebijakan pemerintah melaui kontak baik secara tertulis maupun

tidak dan ikut telibat dalam proses politik. Sementara itu secara tidak langsung,
artinya jiksa sesorang atau kelompok memengaruhi kebijakan pemerintah melalui
perantara dan hanya sebatas mendengar informasi/ berita-berita tentang peristiwa
politik yang terjadi.
Partisipasi politik bisa muncul dalam berbagai bentuk. Memberikan suara
pada pemilihan umum bukan satu-satunya bentuk dari partisipasi politik, akan
tetapi terdapat bentuk-bentuk lainnya seperti menghadiri rapat umum,
mengadakan hubungan (contacting) atau lobbying dengan pejabat pemerintah atau
1 Frank N. Magill (eds), Internastional Encyclopedia of Government and Politics, Singapore :
Toppan Company PTE LTD, 1996 .. Hlm. 1016.

anggota parlemen, menjadi anggota partai atau salah satu gerakan sosial dengan
aksi yang secara langsung dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah, dan
sebagainya. Selain itu partisipasii politik tidak harus dilakukan oleh sekelompok
orang akan tetapi dapat dilakukan oleh individu itu sendiri.
Terlepas dari bentuk dan pelaku partisipasi politik, terdapat persoalan
tentang apakah partisipasi politik dilakukan hanya jika secara sadar dan sukarela
sementara tindakan yang dimobilisasi tidak dapat dikatakan sebagai partisipasi
politik. Jika melihat kembali defenisi partisipasi politik menururut Herbert
Miclosky bahwa partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga

masyarakat untuk memengaruhi kebijakan pemerintah, maka tindakan politik
yang di mobilisasi oleh pihak tertentu agar tercapai kepentingannya serta tidak
direncanakan untuk memengaruhi proses politik maka tindakan politik tersebut
tidak dapat dikatakan sebagai tindakan politik menururut pendapat Herbert. Jika
menggunakan konsep ini untuk melihat partisipasi politik di Indonesia maka
partisipasi politik masyarakat Indonesia sangat rendah, karena sebagian kegiatan
partsipasi politik di Indonesia di mobilisasi oleh pihak-pihak tertentu, contoh yang
dapat kita lihat yakni ketika menjelang pemilu dimana para kandidat akan
melakukan segala cara untuk memeroleh suara terbanyak agar dapat
memenangkan pemilihan tersebut. Tidak hanya dengan melakukan kampanye
akan tetapi juga menggunakan “money politic”. Semalam sebelum pemilihan
dilaksanakan, tim sukses dari seorang kandidat melaksanakan aksinya dengan
membagi uang kepada masyarakat sehingga dapat merubah pilihan rakyat yang
awalnya memilih calon A menjadi calon B. Karena kondisi ekonomi rakyat yang
rendah sehingga mudah dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung
jawab dengan membeli suara rakyat walaupun hanya 50 ribu untuk 5 tahun
kedepan. Hal ini memberikan pengertian bahwa suara rakyat bukan murni karena
kehendak rakyat itu sendiri secara sukrela akan tetapi karena ada paksaan.
Pandangan ini didasarkan pada Demokrasi yang menyatakan bahwa hanya
kegiatan otonomlah yang dapat dikategorikan sebagai partisipasi politik sebab

kegiatan politik yang timbul dari paksaan atau disuruh pihak lain disebut
merupakan salah satu ciri sistem politik totaliter. Pernyataan ini didasarkan pada
asumsi bahwa yang disebut partisipasi politik adalah kegiatan individu atau

kelompok yang dilakukan secara otonom sebab bagi penganut paham demokrasi
seperti Indonesia, partisipasi politik adalah didasari oleh kebebasan untuk
mengagregasikan kepentingan politiknya bukan karena tekanan atau mobilisasi.2
Pemilu sebagai Barometer Demokrasi
Setelah meraih kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 maka untuk
pertama kalinya pada tahun 1955 Indonesia melaksanakan Pemilu sebagai salah
satu indikator negara Demokrasi yang di anut Indonesia. Sejak 1955 hingga 2014
partisipasi masyarakat terhadap pemilu mengalami penurunan. Dalam pemilihan
umum pertama tahun 1955 yang dilaksanakan dalam suasana yang khidmat
karena merupakan pemilihan umum pertama yang pernah diadakan, presentasenya
adalah 91%, yaitu 39 juta dari total jumlah warga negara yang berhak memilih
sejumlah 43 juta. Presentase partisipasi pada tahun 1992 adalah 95% atau 102,3
juta. Pada pemilihan umum 1999 dan tahun 2004 partisipasi menurun. Partisipasi
dalam pemilu legislatif 2004 turun menjadi 84% dan pemilihan umum presiden
putaran kedua turun menjadi 77,4%.3 Pada tahun 1990-an Indonesia menempati
urutan ke tiga pemilih terbanyak pada pemilihan umum yakni 95%.

(http://www.Ipu.org/parline-e/reports/).
Penurunan juga terjadi pada tahun 2009 dan 2014. Pada pemilu 2009
mencapai 70,99 persen (Pileg) dan 71,7 persen (Pilpres) sementara pada tahun
2014 Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada Pilpres 2014 adalah 190.307.134. Namun
yang menggunakan hak pilihnya sebanyak 133.574.277 suara. Sebagian
masyarakat memutuskan untuk tidak ikut serta dalam pemilu 2014 atau yang
sering disebut sebagai Golput. Dikutip dari sebuah surat kabar online bahwa
Tingkat golput dalam gelaran Pilpres 2014 mencapai 29,8% atau 56.732.857
suara. Angka golput Pilpres 2014 lebih parah dibanding Pilpres 2009 yang
mencapai 27,7%. Bahkan lebih buruk dibanding Pilpres 2004 yang hanya
mencapai 24%.(Harianterbit.com). Hal ini menunjukkan rendahnya partisipasi
politik masyarakat Indonesia dari tahun ke tahun dalam proses pemilu.

2 Elly M. Setiadi & Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Politik., 2013. Hlm 140
3 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 2008. Hlm 376

Sungguh ironis negeri ini dengan presentase pemilih yang semakin
menurun sebagai negara yang menganut nilai-nilai demokrasi. Menurut Robert
Dahl, bahwa pemilihan umum merupakan gambaran ideal dan maksimal bagi
suatu pemerintahan demokrasi di zaman modern. Demokrasi sendiri yakni

pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep ini
sesuai dengan pemilu dimana rakyat memilih pemimpin untuk memenuhi
kepentingan rakyatnya. Prinsip-prinsip dalam pemilu yakni adanya keterbukaan,
kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat kesemuanya sesuai dengan prinsipprinsip dari demokrasi seperti yang dikatakan oleh Samuel Huntington bahwa
demokrasi ada jika para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sebuh
sistem dipilih melalui suatu pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala dan di
dalam sistem itu para calon bebas bersaing untuk memperoleh suara dan hampir
seluruh penduduk dewasa dapat memberikan suara. Hal yang perlu ditekankan
disini adalah pemilihan yang adil, jujur dan berkala dalam sistem, namun pada
realitanya konsep ini sama sekali melenceng. Pada zaman modern ini sangat sulit
mencari proses pemilihan umum yang adil dan jujur karena semua orang ingin
menjadi pemenang maka apapun akan dilakukannya agar keinginannya tercapai.
Dengan melihat jumlah presentase pemilih yang mengalami penurunan serta
prosesnya yang tidak lagi adil dan jujur menandakan bahwa nilai-nilai demokrasi
sudah mulai luntur.
Penyebab rendahnya partisipai politik
Rendahnya partisipasi politik masyarakat terutama pada pemilu tidak
muncul begitu saja, karena tidak mungkin ada asap jika tidak ada apinya,
begitupun dengan rendahnya partisipasi politik yang memiliki beberapa faktor
penyebab. Dalam bukunya Elly M. Setiadi dijelaskan ada beberapa faktor yang

memengaruhi berubahnya prilaku memilih. Pertama, prilaku elit politik lokal.
Prilaku elit politik berhubungan dengan pembagian kekuasaan baik untuk sektor
birokrasi maupun ekonomi. Birokrasi ada pembagian kekuasaan dalam
pemerintahan sementara dari sektor ekonomi, terlihat dari siapa penyumbang
terbesar ketika masih dalam pencalonan maka akan mendapatkan jatah dalam
pembagian proyek dipemerintahan. Sehingga jika ingin melihat prilaku elit
kekuasaan birokrasi maka lihat saja ke mana uang bergerak. Praktek-praktek

seperti ini diketahui rakyat sehingga rakyat tidak mempercayai janji-janji politik
pada saat pemilihan. Di pedesaan atau kampung-kampung juga mengetahui
praktek seperti ini sehingga dari pada hanya dikecewakan oleh janji-janji palsu
maka mereka pun meminta bagian mereka kepada elit politik, karena mereka tau
bahwa suara mereka sangat diperlukan dalam pemilihan. Setelah mendapat
bagiannya, mereka akan kembali ke kebun dan bersikap pasif dalam pengontrolan
atau pun pengawasan terhadap pemerintah. Kedua, politik primordial kesukuan.
Sistem adat yang kental di Indonesia sangat berpengaruh terhadap politik.
Masyarakat adat akan cenderung memilih seseorang yang berasal dari suku yang
sama. Jika selama jabatannya seseorang tidak melakukan sesuatu untuk sukunya
maka biasanya suku-suku akan mengalihkan dukungan politik mereka kepada
seseorang yang kiranya dapat memerhatikan suku tersebut. Ketiga, konsep rakyat.

Konsep ini terlihat pada masa order baru dimana masyarakat sipil dijauhkan dari
kegiatan politik. Pasrtisipasi politik masyarakat hanya pada pemilihan untuk lima
tahun sekali yang mana hasilnya sudah dapat diduga. Setelah itu rakyat hanya
dimobilisasi untuk mendukung kegiatan pemerintah.
Rendahnya partisipasi politik masyarakat juga tak lepas dari rendahnya
kesadaran politik, sikap dan kepercayaan terhadap pemerintah. Kesadaran politik
yakni pengetahuan masyarakat akan sosial politik serta perhatiannya terhadap
lingkungan sosial dan politik. sikap dan kepercayaan seseorang terhadap sistem
politik yakni bagaimana seseorang memberikan penilaian terhadap suatu
pemerintahan, dipercayai atau tidak dan disukai atau tidak. 4 Hal ini sesuai dengan
komponen dari budaya politik dimana ada orientasi kognitif yaitu pengetahuan,
orientasi afektif yakni perasaan atau kepercayaan dan orientasi evaluatif
memutuskan. Sehingga jika dirangkaikan maka seseorang dalam memilih maupun
bertindak dalam politik harus mengetahui dan memiliki pengetahuan tentang
politik serta orang yang mencalonkan diri dalam pemilihan, setelah mengetahui
maka akan menimbulkan suatu kepercayaan, setelah memiliki kepercayaan
seseorang baru dapat memutuskan siapa yang akan dia pilih. Kesadaran politik
masih sangat rendah dalam masyarakat Indonesia, masih banyak penduduk
Indonesia yang “buta huruf” sehingga berdampak pada aspek lainnya baik “buta”
4 Elly M. Setiadi & Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Politik., 2013. Hlm 154


akan politik, ekonomi dan yang lainnya. Sehingga jika pengetahuan saja tidak
punya maka bagaimana kepercayaan akan muncul. Salah satu faktor penting
penyebab rendahnya partisipasi politik yakni ketidaknetralan media dalam
memberikan informasi kepada masyarakat. Media yang seharusnya netral tidak
lagi bersikap sebagai pemberi informasi yang valid karena media juga di kuasai
oleh elit-elit politik sehingga informasi yang diberitakan hanya berpihak pada
partai politik tertentu. Tak jarang kita melihat media yang saling bersaing untuk
menjatuhkan lawan politiknya. Hal ini yang membuat masyarakat menjadi
bingung karena informasi yang diberitakan

tidak lagi murni namun sudah

dicampuri oleh kepentingan-kepentingan politik sehingga masyarakat lebih
memutuskan untuk bersikap pasif dibanding salah mengambil langkah karena
hanya terpaku pada satu media yang yang tidak lagi netral.
Penutup
Pemilihan umum (pemilu) yang telah dilaksanakan di negeri ini sejak
tahun 1955 adalah dampak dari adanya nilai-nilai demokrasi yang dianutnya.
Indonesia sebagai negara demokrasi yang menjunjung tingggi nilai, mengeluarkan
pendapat, kebebasan berserikat adanya persamaan hak, sistem pemerintahan yang
adil dan jujur di implementasikan dalam Pemilu. Pemilu merupakan suatu proses
pemilihan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia untuk memilih pemimpin yang
berintegritas dan berkualitas dengan cara yang baik dan jujur sangat erat dengan
demokrasi. Sehingga pemilu adalah salah satu barometer bagi implementasi dari
nilai-nilai demokrasi.
Pemilu dari tahun 1955 hingga sekarang mengalami rendahnya partisipasi
politik masyarakat. Rendahnya partisipasi masyarakat memberikan pengertian
bahwa nilai-nilai demokrasi mengalami penurunan, sehinggga dapat dikatakan
sebagai ancaman bagi demokrasi. Jika hal ini terus dibiarkan hingga 50 % warga
Indonesia bersikap pasif terhadap pemilu maka akan menjadi bencana besar bagi
demokrasi di Indonesia, hingga sekarang rakyat yang pasif telah mencapai 27,7%.
Adanya sikap antusias dari warga masyarakat dalam partisipasi politik tentu
membawa pada konsekuensi pada tatanan politik yang stabil. Ada berbagai
penyebab dari rendahnya partisipasi politik terutama pada pemilu yakni, 1).

Kekecewaan masyarakat terhadap sikap kaum elit karena serentetan kasus korupsi
serta kiprahnya yang kurang memuaskan publik. 2) masyarakat merasa tidak
terkena dampak dari proses politik. 3) public distrust terhadap lembaga politik
bahkan lembaga pemerintah. 4) media yang tidak netral. 5) keterbukaan media
yang tidak dimanfaatkan dengan baik. 6) minimnya pendidikan politik
dilingkungan

sekolah

dan

ketidakpahaman

masyarakat

akan

hak

dan

kewajibannya.
“Tidak akan ada asap jika tidak ada api” akan tetapi asap tersebut dapat di
bersihkan agar tidak menyebar ke tempat yang lain salah satunya dengan
menyiram api tersebut agar tidak ada lagi asap yang lebih besar. Begitupun
dengan masalah rendahnya pastisipasi politik. Pemerintah tidak bisa saja berdiam
diri melihat kondisi yang tragis ini. Sosialisasi politik sangat penting bagi
masyarakat, sosialisasi ini bisa dilakukan oleh pemerintah, partai politik dan
mahasiswa. Pemerintah seharusnya memberikan pendidikan politik kepada
masyarakat agar masyarakat memiliki pengetahuan akan politik. Sebaiknya
disetiap sekolah di terapkan pendidikan politik sehingga pelajar memiliki bekal
tentang politik selain itu agar dapat menyadari akan hak dan kewajibannya.
Pemerintah juga sebaiknya melakukan sosialisasi rutin kepada masyarakat
khususnya masyarakat pedesaan.
Peran mahasaiswa juga sangat penting dalam melakukan sosialisasi
politik, dengan berbagai oraganisasi yang digeluti mahasiswa seharunsya
memberikan kontribusi yang besar kepada masyarakaat sebagai “agent of control”
dengan memberikan pemahaman akan pentingnya demokrasi. Pemerintah dan
partai-partai

politik

mesti

meningkatkan

kinerja,

khususnya

dalam

menyejahterakan rakyat serta penyediaan lapangan pekerjaan. Dengan demikian
maka masyarakat akan terus mendukung program pemerintah dan yang terkahir
bagi media yang merupakan perantara antara pemerintah dan masyarakat
sebaiknya menjadi media yang independen dan bersikap adil dan netral. Para
politisi sebaiknya tidak menaruh kepentingan kelompoknya kedalam media. Jika
pemerintah tidak serius mengatasi hal ini maka nilai-nilai demokrasi yang dianut
oleh Indonesia lambat laun mulai luntur sehingga masyarakat akan terus bersikap
pasif terhadap politik.

Dafar Pustaka
Budiarjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : PT Gramedia, 2008;
Ebyhara, Abu Bakar, Pengantar Ilmu Politik, Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2010;
Fadjar, Mukhtie, Pemilu Perselisihan dan Demokrasi, Malang; Setara Press, 2013;
Faturohman, Deden & Wawan Sobari, Pengantar Ilmi Politik, Malang:
UMM press, 2002;
Setiadi, Elly M & usman Kolip. Pengantar Sosiologi, Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group. 2013;
http://pemilu.metrotvnews.com/read/2014/07/21/268756/dua-faktorrendahnya-partisipasi-politik-pemilih-muda. Di unduh 23 Oktober 2014. 11:00
WIB
http://www.harianterbit.com/read/2014/07/23/5622/26/26/TerburukSepanjang-Sejarah-Golput-Pilpres-Capai-567-Juta. Di unduh 23 Oktober 2014.
11:30 WIB