T1__BAB III Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Indonesia dan The 1951 Refugee Convention: Studi tentang Keterikatan Negara pada Perjanjian Internasional yang Memiliki Karakteristik Law Making Treaty T1 BAB III

BAB III
PEMBAHASAN
Bab ini akan mengupas lebih dalam mengenai pokok permasalahan
dan tujuan yang hendak dijawab. Adapun pokok permasalahan yang
dimaksud adalah mengenai apakah The 1951 Refugee Convention and
1967 Protocol dapat dikatakan sebagai

Law Making Treaty, dan

bagaimana hak dan kewajiban internasional Indonesia terhadap pengungsi
apabila dikaitkan dengan norma-norma dalam The 1951 Convention
Refugee and 1967 Protocol dimana bentuk tanggungjawab masyarakat
internasional terhadap status pengungsi internasional dalam hukum
nasionalnya. Cara penulis menjawab permasalahan tersebut melalui
pendekatan perundang-undangan yaitu dengan menelaah The 1951
Refugee Convention and 1967 Protocol.

Khususnya bagi Indonesia yang belum meratfikasi konvensi
mengenai

status


pengungsi.

Dengan

demikian

menjadi

pokok

permasalahan yang akan diangkat penulis mengenai bagaimana karakter
dari konvensi status pengungsi tersebut dan hak serta kewajiban Indonesia
berdasarkan konvensi status pengungsi tersebut.
Argumentasi penulis adalah konvensi status pengungsi merupakan
lex specialist dari DUHAM

itu sendiri. Walaupun konvensi status

pengungsi belum diratifikasi oleh Indonesia namun konvensi ini

merupakan

hasil

kodifikasi

kebiasaan

internasional.
38

internasional

masyarakat

Sehingga konvensi status pengungsi merupakan jenis perjanjian
yang berbentuk Law making treaty untuk negara yang bukan non peserta
akan tetap menimbulkan kewajiban bagi negara non peserta tersebut.
Alasan mendasarnya adalah konvensi status pengungsi tersebut terdapat
unsur general principles of law.

Dalam tesis ini penulis merangkum pokok untuk memperkuat
argumentasi diantaranya adalah pertama sejarah hukum status pengungsi,
kedua prinsip general principle of law yang terdiri dari nonrefoulement,dan equality non-discrimination. Serta peran Indonesia yang

secara tidak langsung mengadopsi instrumen konvensi status pengungsi
dalam hukum normatif Indonesia.

A. Tinjauan Umum Terhadap The 1951 Refugee Convention and 1967
Protocol
Masyarakat internasional mulai mengenal pengungsi sejak
perang dunia ke I (1914-1918) terjadi perang Balkan yang
mengakibatkan pergolakan pada kekaisaran Rusia. Diperkirakan 1-2
juta orang meninggalkan Rusia dan menuju kenegara Eropa, Asia
Tengah, Asia Selatan pada tahun 1918 dan 1922 .1 Pada saat itu LBB
(Liga Bangsa Bangsa) mendirikan High Commissionner for Refugees
1938 namun karena peran High Commissionner for Refugees 1938
1

Gilbert Jaeger, On The History of the International Protection of Refugee , ICRC
September 2001 Vol 83 No. 843., h. 727 dalam diakses pada 3-09-2017

http://www.icrc.org/Web/Eng/siteengO.nsf/iwpList128/5BA471F787461F15C1256B6699608ACF

39

terbatas sehingga dibubarkan pada tahun 1946.2 Perang dunia ke II
dapat dikatakan sebagai tonggak awal lahirnya konvensi status
pengungsi, dengan banyaknya korban perang khususnya bagi negara
yang kalah. Akibat dari perang tersebut menyebabkan banyak penduduk
yang merasa khawatir dan cemas untuk kembali kenegara asalnya.
Namun penyelesaian mengenai masalah pengungsi dilakukan
berdasarkan kebiasaan internasional.3 Pada tahun 1951 Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) mengadakan konfrensi di Jenewa pada 2-25 Juli
1951 sesuai keputusan majelis umum Perserikatan Bangsa Bangsa.
Tujuan dari konfrensi

tersebut

membahas

pembentukan


kebiasaan internasional terhadap penyelesaian mengenai pengungsi
yang dikodifikasikan sehingga berbentuk hukum positif yaitu konvensi
1951 mengenai status pengungsi yang berada diwilayah Eropa. Namun
seiring berjalannya waktu dan mengikuti perkembangan, karena
konvensi 1951 tentang status pengungsi merupakan bagian dari hukum
internasional

4

dalam konvensi ini juga timbul kelemahan. Adapun

kelemahannya adalah dalam konvensi status pengungsi pada tahun
1951 hanya mengatur wilayah Eropa saja.
Sehingga seiring berjalannya waktu dan perkembangan jaman
maka lahir sebuah instrumen hukum yaitu protokol 1967 menjadi
pelengkap. Sejak saat dilakukan pembakuan dalam format universal
2

Koesparmono Irsan, Pengungsi Internasional dan Hukum Hak Asasi Manusia, Komisi

Nasional Hak Asasi Mnausia, Jakarta, 2007, h.119
3
Wagiman, Opc.Cit hal.105
4
Ibid., hal.105

40

yang diakomodir secara universal berdasarkan kesepakatan negaranegara.
Munculnya protokol ini merupakan pelengkap dari konvensi
1951. Isi dari protokol konvensi 1967 menghapus dua pokok penting
yaitu terkait dengan pembahasan geografis dan waktu.

5

Sehingga

disebut Convention Relating to the Status Of Refugees
Hukum pengungsi internasional berdiri sebagai akibat dari
interaksi antara hukum internasional dan hukum nasional. Aspek

hukum ini mengedepankan hak asasi manusia diposisi paling atas. Pada
masa sekarang, instrumen-instrumen internasional tentang pengungsi
serta pendukungnya mulai disempurnakan dan semakin dikukuhkan
yaitu pasca Piagam PBB dan Deklarasi Hak Asasi Manusia disepakati
Konvenan Sipil dan Politik serta Konvenan Ekonomi, Sosial, dan
Budaya.6
Esensi hukum hak asasi manusia internasional mengatur
kemanusiaan universal tanpa terikat atribut ruang dan waktu.7 Namun
setiap konvensi yang diratifikasi memiliki dua kewajiban yaitu
kewajiban tindakan dan kewajiban proses. Lingkup dari kewajiban
tindakan adalah menghormati,melindungi dan memenuhi sedangkan

5

Konvensi 1951 hanya mencakup wilayah Eropa dan untuk kasus pengungsian terjadi
sebelum 1 januari 1951
6
Davidson, Hak Asasi Manusia: Sejarah, Teori, dan Praktik Dalam Pergaulan
Internasional, Grafiti, Jakarta, 1994, h. 84-85
7

Agus fadillah, pengantar hukum internasional dan hukum humaniter internasional ,
jakarta,2007 hal.vi

41

kewajiban proses terdiri atas anti diskriminasi, peran serta masyarakat
dan kemajuan yang memadai.8
Sehingga dalam peraturan mengenai hukum status pengungsi
terdapat beberapa hal yang perlu diketahui antara konvensi 1951 dan
protokol 1967 yaitu :
TABEL PERBANDINGAN ANTARA KONVENSI DAN
PROTOKOL
NO

POKOK PASAL

KONVENSI

PROTOKOL


1

Kebebasan beragama

Pasal 4



2

Hak milik atas benda

Pasal 13



bergerak

dan


tidak

bergerak
3

Hak berserikat

Pasal 15



4

Hak berswakarya

Pasal 18



5


Hak menjalankan profesi

Pasal 19



liberal
6

Hak atas pendidikan

Pasal 22



7

Hak bekerja dan jaminan

Pasal 24



Pasal 26



sosial
8

Kebebasan

berpindah

tempat

8

Wagiman Op.Cit hal.34

42

Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Protokol Status Pengungsi 1967
menyebutkan bahwa negara-negara pihak dalam Protokol ini
menetapkan Pasal 2 sampai dengan Pasal 34 Konvensi Status
Pengungsi sebagaimana didefinisikan dalam Konvensi tersebut.
Namun ada beberapa pasal-pasal yang tidak dapat direservasi
merupakan ketentuan pasal 4. Tercantum dalam pasal 42 konvensi
status pengungsi dan protokol yaitu :

TABEL POKOK PASAL YANG TIDAK DAPAT
DIRESERVASI
NO

POKOK PASAL

KONVENSI

PROTOKOL

1

Pengertian Pengungsi

Pasal 1

2

Non diskriminasi

Pasal 3



3

Kebebasan beragama

Pasal 4



4

Akses ke pengadilan

Pasal 6



5

Non refoulement

Pasal 33



6

Klausula akhir

Pasal 36-46

Pasal II

Pasal III-XI

Instrumen konvensi status pengungsi yang tidak dapat
direservasi

merupakan

instrumen

dari

kebiasaan

Internasional.

Kebiasaan internasional yang dimaksud adalah general principles of
law. Sehingga mengandung norma jus cogens dimana norma ini

43

merupakan norma yang memaksa. Pada 1 Juli 2013, terdapat 145
negara yang telah menjadi negara anggota konvensi dan 146 untuk
Protokol tersebut.9 Dengan demikian untuk memperjelas pembahasan
mengenai prinsip dan norma tersebut. Penulis akan menjabarkan
sebagai berikut.

B. The Convention Relating to the Status of Refugees merupakan Law
Making Treaty
Dalam bab ini penulis melalui pendekatan

perundang-

undangan yang diambil dari konvensi status pengungsi akan
menganalisis instrumen hukum dari konvensi Law making treaty
yang merupakan salah satu sifat dari perjanjian internasional.
Analisa ini akan menggambarakan mengenai karakteristik dari law
making

treaty

yaitu

terbuka,mengandung

prinsip

general

principles.

Dalam analisa ini akan membuktikan bahwa konvensi
status pengungsi mengandung instrumen yang berkarakter law
making treaty. Selain itu pembahasan ini akan membahas bahwa

Indonesia secara tidak langsung memberikan kewajibannya yang
diatur dalam hukum normatif nasionalnya.
Universal

Declaration

of

Human

Rights

(UDHR)

merupakan instrumen internasional pertama yang mengakui adanya
9

Diakses tanggal 04/10/201
https://en.wikipedia.org/wiki/Convention_Relating_to_the_Status_of_Refugees#cite_noteconvrat-1

44

hak mengenai suaka yang diterima secara universal oleh semua
negara. Pasal 14 ayat (1) UDHR mengatur,”Everyone has the right
to seek and enjoy in other countries asylum from persecution”.
Selanjutnya, dalam Pasal 14 ayat (2) mengatur,“This right may not
be invoked in the case of prosecutions genuinely arising from nonpolitical crimes or from acts contrary to the purposes and

principles of the United Nations”. Aturan dasar UDHR di atas
menunjukkan bahwa suaka merupakan bagian Hak Asasi Manusia
(HAM) yang muncul ketika ada ketakutan atas bahaya persekusi,
tetapi tidak berhak diberikan bagi pelaku tindak pidana atau
kejahatan non-politik.
Sehingga dengan demikian dalam sub bab ini penulis akan
menjabarkan mengenai karakteristik law making-treaty dalam
konvensi status pengungsi yang mengandung general principles
sebagai berikut.

1. Karakteristik Terbuka
Konvensi 1951 pada saat itu hanya berlaku di wilayah yang
terletak di Eropa saja, namun seiring berjalannya waktu dan
perkembangannya muncullah instrumen protokol 1967 yang
merupakan pelengkap dari konvensi 1951 dimana pemberlakuan
batas wilayah dan geografis dihapuskan.
Protokol ini merupakan suplementing instrument dengan
konvensi yang mana protokol ini mengubah sifat konvensi yang
45

terbatas menjadi tidak terbatas. Dimana pembatasan yang hanya
wilayah Eropa saja menjadi tidak ada batasan yang diatur dalam
Pasal 1 ayat 3 tentang Protokol 1967 berbunyi :
“the present Protocol shall be applied by the States Parties
here to without any geographic limitation ...”

Dengan demikian maka sifat dari konvensi ini terbuka
karena tidak memiliki batasan negara.
Karakteristik terbuka seperti multirateral treaties dalam
perjanjian yang bersifat multilateral ini berkaitan dengan
kepentingan

negara-negara

yang

telah

berusaha

untuk

menyelesaikan perselisihan dan menetapkan hak dan kewajiban
dimana terdapat prinsip-prinsip baru dalam hukum internasional.10
Adapun karakteristik dari perjanjian multilateral ini bersifat timbal
balik, memiliki tanggung jawab intergral, dan tanggung jawab
independen .11 Dengan demikian perjanjian multilateral merupakan
perjanjian yang bersifat universal yaitu perjanjian yang diadakan
diantara beberapa negara tanpa batasan wilayah apapun.
Contoh dari perjanjian multirateral yang bersifat timbal
balik adalah Konvensi Wina 1961/1963 tentang hubungan
diplomatik dan konsuler walaupun pelaksanaannya bersifat
bilateral saja namun dalam prakteknya setiap negara melaksanakan
kewajiban yang ada dalam konvensi tersebut, contohya perjanjian
10
11

Eddy pratomo., Locc.Cit hal.103
Ibid.,hal.102

46

mengenai hubungan diplomatik semua negara mengirimkan
perwakilannya di berbagai negara yang dan memiliki wilayah
teritorial di negara tersebut yaitu kantor kedutaan besar.
Kemudian mengenai perjanjian multilateral yang memiliki
tanggungjawab integral yaitu konvensi Genosida 1948 dimana
perjanjian ini negara yang bukan peserta dianggap peserta
perjanjian dan memiliki kewajiban erga omnes. Sifat yang terakhir
adalah perjanjian independent dimana dalam perjanjian ini hanya
dapat membebankan kepada negara peserta dengan catatan bahwa
negara peserta tersebut harus mampu contohnya adalah konvensi
peluncuran senjata. 12
Dalam protokol ini juga mengatur tentang perlunya
kerjasama atau kooperasi dari negara-negara yang ada dengan
lembaga internasional PBB maupun UNCHR dalam penanganan
pengungsi.13 Mengenai pengungsi yang diatur dalam konvensi
1951

status

pengungsi

terdapat

prinsip-prinsip

pengungsi

internasional yaitu prinsi suaka, prinsip non-refoulement,Equality
dan Non-Discrimination

12
13

Eddy, Loc.Cit. hal.102
The protocol Relating to the Status of Refugees (606 U.N.T.S. 267), pasal 2

47

2. Mengandung General Principles of law
Berikut akan dipaparkan bahwa konvensi 1951 memiliki
norma yang mengandung general principles bersifat jus cogens
yang merupakan karakter dari law making-treaty.
a. Equality non-discrimination
Non diskriminasi diatur dalam Pasal 3 konvensi 1951
menyebutkan bahwa :
“The Contracting States shall apply the provisions of this
Convention to refugees without discrimination as to race,
religion or country of origin”
Prinsip pertama, yaitu prinsip non diskriminasi dalam
konvensi ini merupakan prinsip yang bersifat jus cogens, karena
dalam “International Bill of Human Rights”, yaitu UDHR, ICCPR
maupun ICESCR, prinsip ini telah dimuat secara tegas dan
sebelumnya dipertegas dalam piagam PBB (United Nations
Charter).

Prinsip ini merupakan bagian dari General Principle of law
yang dalam Pasal 2 Universal Declaration of Human Rights
(UDHR) menyebutkan bahwa :

“everyone is entitled to all the rights and freedoms set
forth in this Declaration, without distinction of any kind,
such as race, colour, sex, language, religion, political or
other opinion, national or social origin, property, birth or
other status. Furthermore, no distinction shall be made on
the basis of the political, jurisdictional or international
status of the country or territory to which a person

48

belongs, whether it be independent, trust, non-selfgoverning or under any other limitation of sovereignty.”

Dalam Pasal 2 ICCPR 1966 dijelaskan bahwa “setiap
negara pihak dari konvenan ini berjanji untuk menghormati dan
menjamin hak-hak yang diakui dalam konvenan ini bagi semua
orang yang berada dalam wilayahnya dan tunduk pada wilayah
hukumnya tanpa pembedaan apapun”

ICESCR (International Covenant on Economic, Social and
Cultural Rights) 1966 juga mengatur tentang Prinsip NonDiscrimination.Perlindungan Hak-hak pengungsi atau warga

negara asing dalam kovenan ini diatur dalam Pasal 2 yang
menyatakan bahwa :

1) Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini, berjanji untuk
mengambil langkah-langkah, baik secara individual
maupun melalui bantuan dan kerjasama internasional,
khususnya dibidang ekonomi dan teknis sepanjang tersedia
sumber dayanya, untuk secara progresif mencapai
perwujudan penuh dari hak-hak yang diakui oleh Kovenan
ini dengan cara-cara yang sesuai, termasuk dengan
pengambilan langkah-langkahlegislatif.
2) Negara Pihak pada kovenan ini berjanji untuk menjamin
bahwa hak-hak yang diatur dalam Kovenan ini akan
dilaksanakan tanpa diskriminasi apapun sepertii ras, warna
kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat
lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan,
kelahiran atau status lainnya.
3) Negara-negara berkembang, dengan memperhatikan hak
asasi manusia dan perekonomian nasionalnya, dapat
menentukan sampai seberapa jauh mereka dapat menjamin
hak-hak ekonomi yang diakui dalam Kovenan ini kepada
warga negara asing.14

14

Pasal 6 kovenan Ekosob 1966

49

Prinsip ini merupakan aspek dasar dari hukum pengungsi yang
telah dikembangkan menjadi hukum kebiasaan internasional. Sehingga
prinsip ini bersifat mengikat bagi setiap negara meskipun negara belum
meratifikasi konvensi status pengungsi.15 Dasar dibangunnya prinsip
tersebut atas ketidakberpihakan serta tanpa diskriminasi.
Bantuan kemanusiaan terhadap pengungsi tidak boleh dialihkan
dengan alasan politis atau kemiliteran dan yang petama memiliki
kewenangan terkait dengan prinsip non-discrimination adalah negara
penerima.16 Dalam konvensi wina tahun 1969 menetapkan bahwa hukum
kebiasaan internasional mengikat bagi semua negara.17
Adapun prinsip non-discrimination dikategorikan sebagai jus
cogens yang merupakan norma dasar hukum internasional menurut

konvensi wina 1969 merupakan suatu norma yang diterima dan diakui
oleh masyarakat internasional sebagai suatu norma yang tidak bisa
dilanggar dan hanya bisa diubah oleh norma dasar hukum internasional
baru yang sama sifatnya.

18

Dengan demikian prinsip ini tetap diterapkan

untuk negara dimana pengungsi mencari perlindungan walaupun negara
tersebut bukan merupakan peserta konvensi status pengungsi

15

UNCHR III
Wagiman., Loc.Cit hal. 120
17
Sumaryo suryokusumo, Studi Kasus Hukum Internasional,PT Tatanusa, Jakarta, 2007.
16

Hal.186
18

Wagiman., Loc.Cit hal.123

50

b.

Kebebasan beragama
Prinsip kedua, yaitu prinsip kebebasan beragama terdapat dalam

Pasal 4 :
“The Contracting States shall accord to refugees within
their territories treatment at least as favourable as that
accorded to their nationals with respect to freedom to
practice their religion and freedom as regards the religious
education of their children.”

Sama halnya dengan prinsip non-diskriminasi, dimana prinsip ini
menyebutkan bahwa setiap orang memiliki hak untuk memeluk agama dan
melaksanakan ibadah agamanya masing-masing. Bila dicermati prinsip ini
merupakan turunan dari prinsip non diskriminasi “...to refugees without
discrimination as to race, religion...” karena semua itu merupakan alasan
yang semakin tidak terbatas dan semakin banyak pula instrumen yang
memperluasnya. Serta masyarakat internasional pun menyadari dan
mengakui eksistensi dari prinsip ini.

c.

Akses pengadilan

Prinsip ketiga yaitu Akses ke pengadilan (pasal 16 ayat 1) yang
berbunyi :
“A refugee shall have free access to the courts of law on the
territory of all Contracting States.”
Pasal 10 UDHR juga menyebutkan bahwa :

51

“Everyone is entitled in full equality to a fair and public
hearing by an independent and impartial tribunal, in the
determination of his rights and obligations and of any
criminal charge against him.”
Pengertian pasal diatas menyebutkan bahwa setiap orang berhak
memperoleh keadilan yang seadil-adilnya di depan hukum. Adapun
gagasan kesetaraan mensyaratkan adanya perlakuan yang sama khususnya
dalam mendapatkan bantuan huku. Karena alasan ini menyangkut harkat
dan martabat manusia yang harus diperlakukan sama.

d. Non-Refoulement
Prinsip terakhir yaitu Non refoulement (Pasal 33) yang berbunyi
bahwa :
“No Contracting State shall expel or return (“refouler”) a
refugee in any manner whatsoever to the frontiers of territories
where his life or freedom would be threatened on account of his
race, religion, nationality, membership of a particular social group
or political opinion.”
Prinsip non-refoulement merupakan prinsip utama dalam pencarian
suaka. Prinsip ini merupakan refleksi dari komitmen masyarakat
internasional untuk memastikan terpenuhinya HAM, termasuk hak untuk
hidup; hak untuk bebas dari siksaan atau perlakukan-perlakuan yang
kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia; serta hak
perorangan untuk bebas dan merasa aman. Hak-hak tersebut, serta hak-hak
lainnya, tidak akan dapat dinikmati apabila seorang pengungsi
dikembalikan ke dalam keadaan penyiksaan atau keadaan yang berbahaya.

52

Hak-hak tersebut serta hak-hak lainnya, tidak akan dapat dinikmati apabila
seorang pengungsi dikembalikan ke dalam keadaan penyiksaan atau
keadaan yang berbahaya.19
Intinya

konsep

prinsip

tersebut

memulangkan/mengembalikan/mengusir

melarang

negara

untuk

seseorang/sekelompok

orang

diwilayahnya dimana nyawa ataupun kebebasan mereka terancam.20
Prinsip ini menurut beberapa ahli termasuk dalam jus cogens merujuk
pada the free encylopedia disebutkan bahwa “Non-refoulement is a jus
cogens of international law that forbids the explusion of a refugee into

area where shele might be again subjected to presecution”
Untuk beberapa negara prinsip tersebut telah menjadi bagian dari
hukum nasionalnya khususnya Indonesia yang

telah diratifikasinya

Convention Againts Torture 1998 serta International Covenant on Civil
and Political Rights 2006 maka Indonesia berkewajiban menghormati

prinsip ini .21 Walaupun ditulis secara eksplisit dalam surat perdana
menteri Mr Ali Sostroamidjojo Nomor 11/RI/1956 tentang perlindungan
pelarian politik.
Karena prinsip non-refoulement merupakan prinsip hukum
internasional dan oleh karenanya mengikat bagi negara peserta maupun
negara peserta. Dengan demikian semua bantuan kemanusiaan terhadap
pengungsi puncaknya terdapat dalam prinsip tersebut.

UN High Commissioner for Refugees Publication, “UNHCR Note on the
Principle of
19

Non-Refoulement” diakses pada (04/09/2017).
20
Wagiman., Loc.Cit hal.93
21
Ibid., hal. 116

53

Konvensi 1951 dan protokol 1967 merupakan satu kesatuan
instrumen hukum tentang status pengungsi internasional dimana secara
substansia konvensi ini melindungi HAM diantaranya adalah pertama
hukum HAM yang mengatur secara umum dan normal, kedua hukum
HAM diberlakukan dalam situasi perang dikenal dengan Hukum
Humaniter, ketiga Hukum HAM yang khusus diterapkan kepada
pengungsi (dikenal dengan Hukum Pengungsi). Hukum HAM mengenai
pengungsi ini diterapkan karena berada diluar negaranya dan tidak ada
yang melindungi para pengungsi.
Berdasarkan sifat atau karakteristik diatas dapat ditarik kesimpulan
bahwa konvensi status pengungsi dilihat dari isinya memiliki karakteristik
law making treaty yang dibuktikan dalam peraturannya terdapat nonrefoulement,

dan

equality

non-discrimination.

Peraturan

tersebut

merupakan bagian dari general principles of law dimana peraturan diatas
tersebut mengandung prinsip jus cogens.
Dengan demikian norma ini mengatur bahwa setiap orang memiliki
hak yang dijunjung tinggi oleh orang lain sehingga dalam pemberlakuan
konvensi tersebut dapat di berlakukan bagi negara peserta dan bukan
negara peserta. Bila dilihat dari tinjauan diatas dapat diuraikan bahwa
setiap negara selain memiliki hak untuk mengatur negaranya sendiri
dengan hukum nasionalnya. Namun prinsip umum ini merupakan hukum
primer yang diakui dan di hormati oleh masyarakat.
Sikap negara-negara yang menghormati adanya norma primer
dilakukan dengan mengkodifikasikan dalam bentuk hukum normatif

54

nasional di tiap-tiap negara sehingga secara tidak langsung bila suatu
negara non peserta konvensi status pengungsi harus tunduk terhadap
konvensi

tersebut.

Walaupun

kewajiban

dari

negara

tersebut

dipertanggungjawabkan berdasarkan hukum normatif yang berlaku dalam
hukum nasionalnya.
Sehingga kesimpulannya adalah Konvensi status pengungsi ini
dilihat dari instrumen-instrumennya terdapat prinsip-prinsip umum seperti
non diskriminasi, kebebasan beragama, akses kepengadilan dan non
refoulment. Instrumen tersebut merupakan instrumen yang bersifat jus
cogens merupakan bagian dari kebiasaan internasional yang sudah ada

sejak lama.

C. Sikap Indonesia Terhadap Convention Relating to the Status of
Refugees dalam Norma Konstitusi

Indonesia secara geografis diapit oleh dua benua yaitu benua Asia
dan Australia, sehingga tidak heran bahwa wilayah Indonesia sebagai
obyek tempat pemberhentian para pencari suaka khususnya pengungsi
dibagian Asia seperti Myanmar,Vietnam,Afganistan dan lain-lain banyak
diantara mereka menuju Australia agar mendapatkan hak suaka. Berada
diantara negara – negara penerima pencari suaka dan pengungsi dalam
jumlah

besar

seperti

Malaysia,

Thailand

dan

Australia,

secara

berkelanjutan Indonesia terkena dampak dari pergerakan populasi
tercampur (mixed population movements).

55

Setelah penurunan jumlah di akhir tahun 1990-an, jumlah
kedatangan pencari suaka ke Indonesia kembali meningkat di tahun 2000,
2001 dan 2002. Meskipun jumlah kedatangan kemudian menurun lagi
pada tahun 2003 – 2008, tren kedatangan kembali meningkat di tahun
2009 dengan jumlah 3,230 orang meminta perlindungan melalui UNHCR.
Saat ini mayoritas pencari suaka tersebut datang dari from Afghanistan
dan Somalia. (Data kedatangan pencari suaka yang mendaftarkan diri di
UNHCR dari tahun ke tahun: 385 di tahun 2008; 3,230 pada tahun 2009;
3,905 pada tahun 2010; 4,052 di tahun 2011, 7,223 di tahun 2012; 8,332 di
tahun 2013;5,659 di tahun 2014; 4,426 di tahun 2015; 3,112 di tahun
2016).
Indonesia mengeluarkan Perpres Nomor 125 Tahun 2016 tentang
Penanganan Pengungsi Luar Negeri sehingga ini merupakan bukti
kepatuhan Indonesia meski belum meratifikasi Convention Relating to the
Status of Refugees selain itu Indonesia juga bekerjasama

dengan

organisasi UNCHR yang berdiri di Indonesia sejak tahun 1979 yang
memiliki kantor perwakilan pusat di Jakarta (cabang Medan, Tanjung
Pinang, Surabaya, Makasar, Kupang dan Pontianak). Catatan jumlah
pengungsi di Indonesia di tahun ini (2017) yaitu sekitar Sampai dengan
akhir Maret 2017, sebanyak 6,191 pencari suaka terdaftar di UNHCR
Jakarta secara kumulatif dari Afghanistan (42%) dan Somalia (14%).
Sementara sejumlah 8,279 pengungsi terdaftar di UNHCR Jakarta dari
Afghanistan (57%), Myanmar (10%), dan Somalia (7%).
22

22

Dalam hal ini

Diakses pada 15/09/2017 : http://www.unhcr.org/id/unhcr-di-indonesia

56

indonesia berdasarkan index negara mengenai perkara pengungsi dalam
index tersebut indonesia berada dalam posisi 32 yang berarti
mempersilahkan pengungsi datang ke negara mereka.23
Indonesia merupakan negara yang belum meratifikasi konvensi
status pengungsi. Akan tetapi secara praktek Indonesia menghormati
kebijakan pelaksanaan masyarakat lintas dunia yang dituangkan dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 paragraf ke empat yang berbunyi
“dan ikut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
perdamaian abadi dan keadilan sosial...”. Sifat kekuatan norma dalam
pembukaan UUD 1945 tidak dapat dirubah. Dengan demikian sejak
dahulu Indonesia secara hukum konstitusionalnya yang merupakan Dasar
hukum nasional secara tegas

mematuhi atau mengakui eksistensi dari

hukum kebiasaan masyrakat internasional.
Maka Indonesia menyerahkan penanganan pengungsi kepada
UNCHR (United Nation High Commisioner for Refugees) merupakan
orgnaisasi Internasional yang bergerak dalam bidang penanganan
pengungsi Internasional. Karena Indonesia merupakan negara non peserta
maka Indonesia tidak memiliki payung hukum untuk melakukan penangan
pengungsi yang masuk ke Indonesia.
Dengan menjunjung hak asasi manusia yang terdapat dalam Pasal
28G ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi :

23

Diakses pada 15/09/2017 : https://tirto.id/indonesia-dan-persimpangan-parapengungsi-9jb

57

“setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau
perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia
dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”

Sehingga secara tidak langsung indonesia menjunjung tinggi
general principles dikodifikasikan

dalam

Pasal 28 Undang-Undang

Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa
“setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan
politik dari negara lain” yang merupakan lex specialist dari Pasal 28G
UUD 1945 .Dengan demikian hak untuk mencari suaka sudah
dilembagakan dan dijamin secara konstitusional.
Hukum nasional lainnya juga mengatur tentang hak mencari suaka
diantaranya adalah :
Pasal 25 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999
Hubungan Luar Negeri menyebutkan bahwa :

tentang

“kewenangan memberikan suaka kepada orang asing berada
ditangan Presiden dengan memperhatikan pertimbangan Menteri”

Pasal tersebut berkolerasi dengan Artikel 35 (1) Convention
Relating to the Status of Refugee menyebutkan bahwa :

“The Contracting States undertake to co-operate with the Office of
the United Nations High Commissioner for Refugees, or any other
agency of the United Nations which may succeed it, in the exercise
of its functions, and shall in particular facilitate its duty of
supervising the application of the provisions of this Convention”

Pasal 26 :

58

“pemberian suaka kepada orang asing dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan nasional serta dengan
memperhatikan hukum, kebiasaan dan praktek internasional”

Sesuai dengan Artikel 36 Convention Relating to the Status of
Refugee yang berbunyi :
“The Contracting States shall communicate to the SecretaryGeneral of the United Nations the laws and regulations which they
may adopt to ensure the application of this Convention.”

Pasal 27 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999

tentang

Hubungan Luar Negeri :
“presiden menetapkan kebijakan masalah pengungsi dari luar
negeri dengan memperhatikan pertimbangan Menteri”

Sesuai dengan Artikel 35 (2) Convention Relating to the Status of
Refugee yang berbunyi :
“In order to enable the Office of the High Commissioner or any
other agency of the United Nations which may succeed it, to make
reports to the competent organs of the United Nations, the
Contracting States undertake to provide them in the appropriate
form with information and statistical data requested concerning:
(a) The condition of refugees,
(b) The implementation of this Convention, and;
(c) Laws, regulations and decrees which are, or may hereafter be,
in forcerelating to refugees”.

Pasal 14 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi
juga menyebutkan bahwa :
“permintaan ekstradisi ditolak, jika terdapat sangkaan
yang cukup kuat bahwa yang dimintakan ekstradisinya akan
dituntut, dipidana, atau dikenakan tindakan lain karena
lasan yang bertalian dengan agamanya, keyakinan politik

59

atau kewarganegaraannya atau karena termasuk suatu
suku bangsa atau golongan penduduk tertentu”

Sesuai dengan Artikel 3 Convention Relating to the Status of
Refugee yang berbunyi bahwa :
“The Contracting States shall apply the provisions of this
Convention to refugees without discrimination as to race,
religion or country of origin.”

Meskipun secara normatif Indonesia telah memuat dalam
konstitusi atau perundang-undangan, namun hingga saat ini implementasi
tentang hak pencari suaka ini belum ada aturan operasionalnya yang
jelas.24 Sangat disayangkan hingga saat ini instrumen hukum internasional
terkait pengungsi internasional belum diinkorporasikan kedalam sistem
hukum nasional.
Namun berdasarkan konstitusi nasional, indonesia secara eksplisit
juga menghargai tentang kebebasan beragama yang diatur dalam pasal 29
ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 :

“negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”

Dengan demikian walaupun Indonesia belum meratifikasi konvensi
status pengungsi Indonesia tetap terikat oleh kewajiban dari instrumen
konvensi tersebut. Adapun instrumen hukum yang dimaksud adalah

24

Stephane Jaquement, 2004, Mandat dan fungsi dari Komisariat Tinggi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Urusan Pengungsi (UNCHR), artikel dimuat dalam jurnal hukum internasional Vol.
2 No. 1, Lembaga pengkajian hukum internasional fakultas hukum universitas indonesia, hlm. 20.

60

instrumen hukum yang mengandung general principles dari pembahasan
diatas. Sehingga dengan demikian Indonesia wajib mengikuti aturan yang
ada dalam Convention Relating to the Status of Refugees tersebut diatas.
Dengan demikian Indonesia berkewajiban mewujudkan pasal-pasal yang
tidak dapat di reservasi dalam Convention Relating to the Status of
Refugees yaitu Non diskriminasi, Kebebasan beragama, Non refoulement.

Serta Indonesia berhak mendapatkan bantuan Internasional dalam
mewujudkan kewajiban yang sudah diatur.
Diluar dari instrumen yang mengandung general principles akan
membawa dampak yang sangat merugikan bagi Indonesia. Yaitu mengenai
penyelesaian sengketa yang diatur dalam Pasal IV Protokol 1967 status
pengungsi, dimana penyelesaian sengketa dapat diajukan di Mahkamah
Internasional (ICJ) namun karena Indonesia belum meratifikasinya maka
Indonesia tidak memiliki hak untuk mengajukan gugatan kepada ICJ

25

sehingga cukup disayangkan apabila negara tidak meratifikasi konvensi
ini.

25

Wagiman.,Loc.Cit hal.91

61

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24