Tinjauan Yuridis Penggunaan Formulir Akta Jual Beli Kapling Perumahan Oleh Ppat Di Kota Medan

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kebutuhan manusia dalam kehidupan ini begitu banyak seperti, kebutuhan
untuk makan dan minum, kebutuhan pakaian, kebutuhan untuk tempat tinggal atau
perumahan, kebutuhan transportasi dan lain sebagainya. Kebutuhan manusia akan
tempat tinggal atau perumahan tersebut sudah merupakan suatu hal yang pokok
dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat dilihat dari begitu banyaknya program
pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah dan salah satunya adalah program
pembangunan perumahan untuk rakyat. Berdasarkan program tersebut maka pihak
pemerintah maupun swasta berlomba-lomba untuk mengadakan pembangunan
perumahan untuk rakyat dengan memanfaatkan lahan yang ada. Alvi Syahrin
mengatakan bahwa, “pembangunan perumahan dan pemukiman akan terus meningkat
seirama dengan pertambahan penduduk, dinamika kependudukan dan tuntutan
ekonomi, sosial budaya yang berkembang”.1
Dengan

berkembangnya


pembangunan

perumahan

seiring

dengan

pertumbuhan penduduk maka pihak swasta atau pengembang melaksanakan program
pembangunan perumahan dan pemukiman bagi semua pihak, terutama untuk
golongan ekonomi menengah ke bawah dengan pengadaan Rumah Sangat Sederhana
(selanjutnya disebut RSS). Program pembangunan Rumah Sangat Sederhana (RSS)
1

Alvi Syahrin, Pengaturan Hukum Dan Kebijakan Pembangunan Perumahan Dan
Pemukinan Berkelanjutan,Pustaka Bangsa Press, Medan, 2003, hal. 1.

1 1


2

adalah “program yang ditetapkan untuk memperluas kesempatan bagi masyarakat
untuk mendapatkan rumah dan mengurangi kesenjangan sosial, karena harganya
disesuaikan dengan daya beli sebagian masyarakat golongan berpenghasilan rendah”.
Pasal 1 huruf d., Keputusan Kepala BPN No. 9 Tahun 1997 tentang Pemberian Hak
Milik Atas Tanah Untuk Rumah Sangat Sederhana (RSS) dan Rumah Sederhana
(RS)menentukan :
1. “Harga perolehan tanah dan rumah, dan apabila atas bidang tanah tersebut
sudah dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan, Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
Pajak Bumi dan Bangunan Tanah dan rumah tersebut tidak lebih daripada Rp.
30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah);
2. Luasnya tidak lebih daripada 200 m2; dan
3. Di atasnya dibangun rumah dalam rangka pembangunan perumahan massal
atau kompleks perumahan”.

Pasal 2 ayat (1)Keputusan Kepala BPN No. 9 Tahun 1997 tersebut,
menentukan bahwa :
Hak Guna Bangunan (HGB) atas tanah untuk RSS dan RS di atas tanah
negara termasuk di atas tanah pengelolaan, kepunyaan perseorangan Warga

Negara Indonesia, atas permohonan pemegang hak atau kuasanya bisa diubah
menjadi Hak Milik. Sedangkan tanah RSS dan RS di atas tanah Hak
Pengelolaan (HPL) kepunyaan perseorangan WNI yang belum dimiliki
dengan HGB, diberikan kepadanya Sertifikat Hak Milik (SHM).2
Selanjutnya pada Pasal 2 ayat (2), Keputusan Kepala BPN No. 9 Tahun 1997
ditetapkan pula bahwa : Untuk permohonan pendaftaran perubahan HGB menjadi
SHM dan perolehannya, dikenai kewajiban pembayaran administrasi kepada negara
sebesar Rp. 10.000,- dan sumbangan landreform sebesar Rp. 5.000,- dan biaya

2

Kian Goenawan, Panduan Mengurus Izin Tanah & Properti, Cetakan Pertama,Pustaka
Grahatama, Yogyakarta, 2008, hal. 48.

2

3

pendaftaran sesuai dengan ketentuan Keputusan Kepala BPN No. 2 Tahun 1992
tentang Biaya Pendaftaran Tanah.3

Permohonan pendaftaran perubahan HGB menjadi Hak Milik diajukan kepada
Kepala Kantor Pertanahan setempat dengan melampirkan dokumen sebagai berikut :
1) Sertifikat Hak Guna Bangunan yang dimohon untuk diubah menjadi Hak
Milik;
2) Akta jual beli atau surat perolehan mengenai rumah beserta tanah yang
bersangkutan;
3) SPT Pajak Bumi dan Bangunan terakhir, apabila atas bidang tanah
tersebut sudah dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan tersendiri; dan
4) Surat persetujuan dari pemegang Hak Tanggungan, apabila tanah tersebut
dibebani Hak Tanggungan.4
Akta jual beli inilah (angka 2 di atas) yang harus disertakan untuk
mendaftarkan perubahan HGB menjadi Hak Milik. Akta Jual Beli didapatkan dengan
mengisi Formulir Akta Jual Beli yang diperoleh oleh PPAT dari Kantor Wilayah
BPN setempat. Namun, Akta Jual Beli dari BPN itu sangat sulit didapat dikarenakan
sering kekurangan stok dan proses pengadaan yang tidak transparan.
Asas terang dan tunai pada hukum agraria yang berlaku bersumber dari
hukum adat. Ini berarti jual beli harus dilakukan di hadapan pejabat yang
berwenang (PPAT atau Camat) dan harus ada pembayaran atas jual beli
tersebut. Bila kedua syarat telah dipenuhi, jual beli dikatakan sah menurut
hukum. Setelah transaksi dibuktikan dengan adanya AJB, PPAT wajib

mendaftarkan jual beli sekaligus balik nama ke atas nama pembeli ke kantor
pertanahan setempat.5
Pelaksanaan program pembangunan perumahan dan pemukiman yang
dilakukan oleh pihak swasta atau pengembang dengan berbagai cara seperti melalui

3

Ibid., hal. 49.
Ibid., hal. 49-50.
5
Ibid., hal. 40.
4

3

4

sistem Kredit Pemilikan Rumah (selanjutnya disebut KPR) yang dilakukan oleh
pengembang atau developer sendiri ataupun KPR melalui suatu bank atau lembaga
pembiayaan yang ada di daerah. Selain pemilikan rumah melalui KPR, pihak

pengembang atau developer juga memberikan cara pemilikan rumah melalui
pembelian secara tunai dengan sistem jual beli kepada para konsumen. Sistem jual
beli perumahan yang dilakukan pengembang atau developer kepada para konsumen
didasarkan pada perjanjian jual beli menurut Undang-Undang. Menurut Pasal 1457
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) bahwa,
“jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya
untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga
yang telah dijanjikan”.
Sementara itu R. Subekti memberikan definisi tentang perjanjian jual beli
yang tidak jauh berbeda dengan definisi dari Pasal 1457 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa perjanjian jual beli adalah, “suatu perjanjian di mana pihak yang
satu menyanggupi akan menyerahkan hak milik atas sesuatu barang sedangkan pihak
lainnya menyanggupi akan membayar sejumlah uang sebagai harganya”.6
Berdasarkan Pasal 1457 KUHPerdata dan pernyataan dari R. Subekti tersebut maka
ada beberapa unsur dari perjanjian jual beli, yaitu :
1. Ada pihak penjual dan pembeli.
2. Ada objek barang atau benda yang diperjanjikan.
3. Ada penyerahan barang atau benda oleh penjual kepada pembeli.
6


R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata,Intermasa, Jakarta, 1992, hal. 161-162.

4

5

4. Ada pembayaran uang sebagai harga oleh pembeli kepada penjual.
Sesuai dengan definisi dan unsur-unsur dari perjanjian jual beli tersebut, maka
dapat dikatakan bahwa perjanjian jual beli terjadi jika kedua belah pihak mencapai
suatu kata sepakat tentang barang atau benda dan harga. Hal ini sesuai dengan Pasal
1458 KUHPerdata yang menyatakan bahwa : “jual beli itu dianggap telah terjadi
antara kedua belah pihak seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat
tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan
maupun harganya belum dibayar”. Selain dari hal tersebut, R. Subekti menyatakan
bahwa dalam perjanjian jual beli, penjual mempunyai dua kewajiban pokok antara
lain :
1. “Menyerahkan barang serta menjamin dapat memiliki barang tersebut dengan
tentram; dan
2. Bertanggungjawab terhadap cacat-cacat yang tersembunyi”.7
Sementara kewajiban pembeli menurut R. Subekti adalah, “membayar harga

pada waktu dan di tempat yang telah ditentukan dan disepakati kedua belah pihak”.8
Terhadap pernyataan dari R. Subekti tersebut tentang kewajiban penjual dan pembeli
dari perjanjian jual beli secara umum, maka dapat dipahami bahwa sebenarnya
banyak hal yang terjadi dan perlu diuraikan secara lebih mendalam lagi tentang
perjanjian jual beli, seperti : mengenai penyerahan barang atau benda, risiko dan lain
sebagainya. Unsur-unsur yang ada dalam perjanjian jual beli yang telah diuraikan

7
8

Ibid., hal. 162.
Ibid., hal. 162-163.

5

6

sebelumnya jika dihubungkan dengan perjanjian jual beli kapling perumahan oleh
pengembang kepada para konsumen, maka dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Ada pihak penjual yaitu pengembang dan pihak pembeli;

2. Ada objek barang atau benda yang diperjanjikan yaitu perumahan;
3. Ada penyerahan oleh penjual kepada pembeli yaitu adanya penyerahan
perumahan oleh pengembang kepada konsumen; dan
4. Ada pembayaran uang sebagai harga oleh pembeli kepada penjual yaitu
adanya pembayaran uang sebagai harga oleh konsumen kepada pengembang.

Berdasarkan unsur-unsur perjanjian jual beli perumahan yang dilakukan oleh
pihak pengembang kepada para konsumen sebagaimana telah diutarakan sebelumnya,
maka dapat dikatakan bahwa jual beli perumahan untuk konsumen yang ekonominya
menengah ke atas ataupun menengah ke bawah (RSS) selalu berhubungan dengan
tanah sebagai tempat berdirinya rumah tersebut. Sehingga jual beli perumahan
tersebut identik dengan jual beli tanah, karena rumah merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dengan tanah. Menurut Urip Sutanto, “Pengertian jual beli tanah adalah
perbuatan hukum yang berupa penyerahan Hak Milik (penyerahan tanah untuk
selama-lamanya) oleh penjual kepada pembeli, yang pada saat itu juga pembeli
menyerahkan sejumlah harganya kepada penjual”.9 Berdasarkan pernyataan dari Urip
Sutanto tersebut, maka jual beli perumahan yang dilakukan oleh pengembang kepada
pihak konsumen merupakan suatu perbuatan hukum yang dimaksudkan untuk
9


Urip Sutanto, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta , 2010, hal. 360.

6

7

memindahkan hak atas tanah perumahan beserta rumahnya dari pemegang hak
(penjual atau pengembang) kepada pihak lain (pembeli atau konsumen) dengan
pembayaran sejumlah uang secara tunai yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
Peralihan hak atas tanah atau perumahan tersebut yang dilakukan oleh pihak
pengembang kepada konsumen pada kenyataannya adalah menggunakan formulir
Akta Jual Beli. Sementara untuk suatu peralihan hak atas tanah atau perumahan
melalui jual beli adalah merupakan bagian dari kewenangan seorang Pejabat Pembuat
Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT) dan hal ini sesuai dengan Pasal 2 ayat (2)
Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat
Akta Tanah yang menyebutkan bahwa perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah sebagai berikut :
1.
2.

3.
4.
5.
6.
7.

Jual beli.
Tukar menukar.
Pemasukan ke dalam Perusahaan (inbreng).
Pembagian hak bersama.
Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik.
Pemberian Hak Tanggungan.
Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.
Nelly Sriwahyuni mengutip pendapat Jimly Asshiddiqie,yang mengatakan

bahwa :
Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998
tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Blangko Akta Jual
Beli yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional (selanjutnya disebut BPN)
hanya bisa dipergunakan oleh pihak PPAT dimana objek peralihan hak atas
tanah atau perumahan melalui jual beli dilangsungkan. PPAT diangkat oleh
Pemerintah, dalam hal ini BPN dengan tugas dan kewenangan tertentu dalam
rangka melayani kebutuhan masyarakat akan akta pemindahan hak atas tanah,
akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa pembebanan hak

7

8

tanggungan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku.10
Dalam hal melakukan perbuatan hukum untuk mengalihkan suatu hak atas
tanah haruslah di hadapan seorang Notaris atau PPAT yang bertujuan untuk
memperoleh kekuatan pembuktian yang sah dan dibuatkan dengan Akta
Otentik. Khusus untuk tanah-tanah yang bersertifikat jual beli atau pengalihan
hak ini dilakukan di hadapan PPAT, tetapi ada kalanya pelaksanaan jual beli
ini dilakukan di hadapan Notaris yang dinamakan Perjanjian Jual
Beli/Perikatan Jual Beli.11
Kewenangan PPAT yang diatur dalam berbagai peraturan perundangundangan memberikan kewenangan kepada PPAT untuk membuat (to make) akta jual
beli perumahan. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 3 ayat (1)
dan (2) Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah yang menyatakan bahwa “seorang PPAT mempunyai
kewenangan untuk membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum mengenai hak
atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun yang terletak di daerah kerjanya”.
PPAT berwenang membuat akta jual beli, tukar menukar, akta pemasukan
dalam perusahaan, dan akta pembagian hak bersama mengenai hak atas tanah
dan hak milik atas satuan rumah susun yang menjadi objek perbuatan hukum.
Sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, pembuatan akta PPAT tidak
pernah sekalipun dilimpahkan kepada instansi lain yaitu kepada Badan
Pertanahan Nasional (BPN). Dalam aturan hukum yang mengatur keberadaan
BPN tidak satu pasal pun yang menegaskan bahwa BPN mempunyai
kewenangan tertentu terhadap PPAT atau PPAT lahir secara atributif atau
delegatif dari kewenangan BPN. Akan tetapi, dalam hal ini PPAT lahir
sebagai belesregel atau policy rules dari Pemerintah langsung.
Kewenangan PPAT membuat akta (to make) adalah menciptakan, melakukan,
mengerjakan sendiri akta PPAT, bukan mengisi (to fill) formulir/blanko. Oleh
10

Nelly Sriwahyuni Siregar, “Tinjauan Yuridis Kedudukan Kuasa Mutlak Dalam Peralihan
Hak Atas Tanah Oleh Notaris/PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah)”,Tesis, Program Studi Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2008, hal. 2-3.
11
Ibid., hal. 3.

8

9

karena itu, mengisi formulir bukan berarti membuat akta PPAT. Pada
kenyataannya, selama ini PPAT masih mengisi formulir/blanko, maka hal ini
membuktikan telah terjadi kesalahkaprahan dan penyesatan (misleading)
dalam memahami dan menerapkan kewenangan PPAT sesuai dengan tataran
hukum yang benar. Akta PPAT yang digunakan sebagai alat bukti bahwa
telah terjadi perbuatan hukum tertentu menangani hak atas tanah dan hak
milik atas rumah, bentuk dan jenisnya ditentukan oleh Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah. Pengaturan ini tentunya membawa akibat hukum terhadap
kekuatan pembuktian akta PPAT itu sendiri.12
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah pada Pasal 38 ayat (2) menyebutkan bahwa : “bentuk, isi, dan cara
pembuatan akta-akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) diatur oleh
Menteri”. Ketentuan ini merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah No.
10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, bahkan kemudian dipertegas
dalam Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 2006
tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998
tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah pada Pasal 53 ayat (1)
yang mengatakan bahwa : “Akta PPAT dibuat dengan mengisi blangko akta
yang tersedia secara lengkap sesuai dengan petunjuk pengisiannya”. PPAT
dilahirkan bukanlah untuk mengisi blangko kosong melainkan membuat Akta
Otentik. Hal ini bertentangan dengan kewenangan PPAT itu sendiri.13
Dengan format formulir yang baku tersebut, maka formulir atau formulir yang
telah disediakan tersebut tinggal diisi saja. Memang hal ini menjadikan lebih mudah,
cepat dan memiliki standar keseragaman. Pembuatan dan penerbitan dari formulir
akta tersebut dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) seperti yang
tercantum pada Pasal 51 Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun
2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998
12

Anita Budiman, “Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah Untuk Mengisi Blanko Akta
Tanah”, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Airlangga,
Surabaya, 2010, hal. 2.
13
Evi Novita Tri Setyorini, “Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Pembuatan
Akta Sehubungan Dengan Kekosongan”,Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro, Semarang, 2005, hal. 21.

9

10

bahwa : “Formulir akta PPAT dibuat dan diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia dan hanya dibeli oleh PPAT, PPAT Pengganti, PPAT Sementara
atau PPAT Khusus”.14 Hal tersebut kemudian menjadi masalah ketika terjadi
kelangkaan yang berujung pada kekosongan formulir atau formulir akta tersebut
sampai saat ini. Bahkan beberapa media telah mengupas hal ini, sebagai berikut :
Forum Kepala Desa dan Lurah Kota Tangerang Selatan, Banten, mendatangi
Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tangerang mempertanyakan
blanko akte jual beli tanah yang kosong selama enam bulan. Sudah enam
bulan blanko akte jual beli tanah kosong, sedangkan permintaan saat ini sudah
banyak. Bila ketersediaan blanko akta jual beli tanah tidak disediakan
secepatnya, maka akan menghambat sistem pelayanan bagi masyarakat. Tak
hanya itu saja, kekosongan blanko akta jual beli tanah juga mempengaruhi
Pendapatan Asli Daerah.15
Benar bahwa adanya kekosongan Formulir Akta Jual Beli di Badan
Pertanahan Nasional. Begitu juga di BPN Kota Medan. Kemudian BPN
mengeluarkan kebijakan dengan memperbolehkan PPAT menggunakan blanko akta
yang difotokopi, dilegalisir, dan diberi nomor registrasi oleh Badan Pertanahan
Nasional Wilayah masing-masing daerah sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran
Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 640-1884 tanggal 31 Juli 2003 tentang
Blanko Akta PPAT.
Namun kebijakan ini kemudian menimbulkan perdebatan panjang di kalangan
Pejabat Pembuat Akta Tanah. Perdebatan itu pada intinya dalam hal
pembuktian. Apalagi untuk transaksi jual beli atas tanah yang bernilai
milyaran rupiah, para pihak ragu apabila menggunakan blangko akta tersebut.
Bahkan beberapa praktisi dan akademisi saling berbeda pendapat ketika ada
14

Ibid., hal. 22.
Robert Adhi Kusumaputra, “Astaga, Blanko Akte Jual Beli Tanah Kosong Enam Bulan”,
http://properti.kompas.com/read/2011/05/18/20520289/Astaga.Blanko.Akte.Jual.Beli.Tanah.Kosong.E
nam.Bulan., diakses pada 11 Juni 2011.
15

10

11

yang berargumen bahwa PPAT sebenarnya memiliki kewenangan untuk
membuat akta pertanahan tanpa menggunakan blangko akta tersebut.16
Sehubungan dengan uraian latar belakang di atas maka judul penelitian tesis
ini adalah “Tinjauan Yuridis Penggunaan Formulir Akta Jual Beli Kapling
Perumahan Oleh PPAT di Kota Medan”.
B. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang yang sudah dipaparkan maka rumusan masalah
dalam tulisan ilmiah ini, antara lain :
1. Bagaimana pelaksanaan jual beli kapling perumahan dengan menggunakan
formulir akta jual beli di Kota Medan?
2. Bagaimana keabsahan penggunaan formulir akta jual beli oleh pengembang di
Kota Medan?
3. Bagaimana hambatan-hambatan yang terjadi pada saat penggunaan formulir
akta jual beli oleh pengembang di Kota Medan?
C. Tujuan Penelitian
Bertolak dari rumusan masalah yang sudah dipaparkan sebelumnya maka
tujuan dari penelitian ini, antara lain :
1. Untuk mengetahui pelaksanaan jual beli kapling perumahan dengan
menggunakan formulir akta jual beli di Kota Medan.
2. Untuk mengetahui keabsahan penggunaan formulir akta jual beli oleh
pengembang di Kota Medan.

16

Evi Novita Tri Setyorini, Op.cit., hal. 23.

11

12

3. Untuk menganalisis hambatan-hambatan yang terjadi pada saat penggunaan
formulir akta jual beli oleh pengembang di Kota Medan.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberi manfaat baik
secara teoritis maupun praktis, yaitu :
1. Secara Teoritis
a.

Sebagai bahan informasi bagi para akademisi maupun sebagai bahan
pertimbangan bagi penelitian selanjutnya.

b.

Memperkaya khasanah kepustakaan dalam hal literatur mengenai Blanko
Akta Jual Beli yang masih sedikit.

2. Secara Praktis
a.

Sebagai bahan masukan bagi Badan Pertanahan Nasional dalam
menerapkan peraturan.

b.

Sebagai bahan masukan bagi Notaris/PPAT dalam melakukan perikatan
antara Developer dengan Masyarakat sebagai pembeli.

c.

Sebagai bahan masukan bagi Developer dalam melakukan penjualan
kapling perumahan.

d.

Sebagai bahan masukan bagi Masyarakat dalam melakukan pembelian
kapling perumahan yang dikembangkan oleh Developer.

E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi yang ada dari Perpustakaan Universitas Sumatera
Utara khususnya di lingkungan Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

12

13

Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis Penggunaan
Formulir Akta Jual Beli Kapling Perumahan oleh PPAT di Kota Medan”, belum
pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya.
Namun ada penelitian yang menyangkut masalah formulir akta jual beli,
antara lain :
1. Tesis atas nama Chairani Bustami dengan judul ”Aspek-Aspek Hukum yang
Terkait Dalam Akta Perjanjian Jual Beli yang Dibuat Notaris Dalam Kota
Medan”, Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Tahun
2002;
2. Tesis atas nama Alvin Hidayat dengan judul ”Aspek Hukum Dalam Perjanjian
Jual Beli Tanah Yang Diperbuat Dihadapan Notaris/PPAT”, Program
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara pada
tahun 2008;
3. Tesis atas nama Pantas Situmorang dengan judul ”Problematika Keotentikan
Akta PPAT”, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, di Medan
pada tahun 2008.

Ketiga tesis di atas memiliki rumusan permasalahan dan kajian yang berbeda.
Penelitian ini mengkaji mengenai penggunaan formulir akta jual beli kapling
perumahan khususnya masalah yang ditimbulkan dari penggunaan formulir akta jual
beli. Dengan demikian, penelitian ini adalah asli baik dilihat dari materi,
permasalahan, dan kajian dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

13

14

F. Kerangka Teori dan Konsep
1.

Kerangka Teori
Suatu penelitian hukum dengan kerangka konsepsional dan landasan atau

kerangka teori merupakan suatu hal yang penting. Pada kerangka konsepsional
menurut Soerjono Soekanto, “diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang
akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum, dan di dalam landasan/kerangka
teoritis diuraikan segala sesuatu yang terdapat dalam teori sebagai sistem

atau

ajaran”.17
Kerangka teori adalah, “suatu kerangka berfikir lebih lanjut terhadap masalahmasalah yang diteliti”18. Berbicara tentang teori yang digunakan pada penelitian
penggunaan formulir akta jual beli oleh pengembang di kota Medan adalah
didasarkan pada teori Asas Kebebasan berkontrak yang terdapat dalam Pasal 1338
ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa, “semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata dapat dilihat bahwa ada kata
“semua” dalam kalimat “perjanjian yang dibuat secara sah”. Kata “semua” menurut
Sutarno, “memberitahukan kepada setiap orang boleh membuat perjanjian yang
syarat dan ketentuan dalam perjanjian ditentukan atau diatur sendiri oleh para pihak
dan perjanjian yang dibuat tersebut mengikat bagi para pihak seperti undangundang”.19

17

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 6.
18
Ibid., hal. 6-7.
19
Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank,Alfabeta, Bandung, 2004, hal. 75.

14

15

Sementara itu untuk kalimat “perjanjian yang dibuat secara sah” mengandung
arti bahwa setiap perjanjian yang dibuat tersebut harus memenuhi syarat sahnya suatu
perjanjian, sehingga baru dapat dikatakan perjanjian tersebut mengikat bagi para
pihak yang membuatnya seperti undang-undang. Syarat sah suatu perjanjian
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, antara lain :
1. Kesepakatan dari mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.
Setelah Akta Jual Beli dibuat berdasarkan perjanjian Pasal 1320 KUHPerdata,
barulah selanjutnya didaftarkan pada Badan Pertanahan Nasional. Akta Jual Beli yang
didaftarkan di BPN berguna untuk bukti kepemilikan sertifikat tanah. Selanjutnya
sertifikat tanah yang menjadi objek dalam Akta Jual Beli, dibalik namakan menjadi
nama Pembeli.
Fungsi pendaftaran tanah adalah untuk menjamin kepastian hukum.
Kedudukan PPAT termasuk akta-aktanya, bentuk akta dan blangko aktanya
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kegiatan pendaftaran tanah
dan secara historis embrio kelahiran PPAT dimulai pada tahun 1961 melalui
Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Pada
waktu itu dikenal dengan istilah Pejabat yang berwenang membuat Akta
(bukan akta otentik) mengenai perbuatan-perbuatan hukum dengan objek hak
atas tanah dan hak jaminan atas tanah.20
Dalam menjalankan jabatannya PPAT wajib menggunakan blangko akta
(formulir) yang telah dicetak. Secara historis penggunaan blangko diawali
20

Reza Febriantina, “Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam Pembuatan
Akta Otentik”,Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,
Semarang, 2010, hal. 28.

15

16

dengan Peraturan Kepala BPN No. 11 Tahun 1961 tentang Bentuk Akta,
kemudian setelah berlaku Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah, penggunaan blangko akta diatur dalam Peraturan Kepala
BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.21
Hal ini menimbulkan persepsi bahwa Badan Pertanahan Nasional terkenal
arogan dalam kebijakan yang dibuat berupa Keputusan Kepala BPN No. 1
Tahun 2006, yang mewajibkan PPAT untuk membeli dan memakai blangko
akta PPAT yang dibuat oleh BPN. Padahal berdasarkan Pasal 1 ayat (1)
Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah, PPAT dalam jabatannya memiliki kewenangan untuk
membuat akta sendiri.22
Pengaturan penggunaan formulir-formulir akta (blangko akta) dilatar
belakangi karena pada waktu itu sebagian besar PPAT dijabat oleh Camat
yang karena jabatannya (ex officio) menjalankan sementara Jabatan PPAT,
yang sebagian besar tidak bergelar Sarjana Hukum sehingga untuk
memudahkan pelaksanaan jabatannya itu dibuatlah formulir-formulir akta dan
buku petunjuk pengisian formulir (blangko akta) itu. Blangko yang dibuat
oleh BPN adalah yang berkaitan dengan pertanahan, blangko tersebut
berwujud form isian dan PPAT hanya mengisi form isian tersebut. Blangko
tersebut dicetak oleh yayasan yang dimiliki oleh BPN. Hal ini bertentangan
dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang
menyebutkan bahwa pendirian Yayasan tidak boleh berbisnis, melainkan
untuk kepentingan sosial (nirlaba). Saat ini yayasan tersebut sedang diaudit
serta diperiksa oleh tim Kejaksaan Agung.23

Berdasarkan isi aturan hukum yang mengatur eksistensi PPAT sebagaimana
diuraikan di atas, bahwa kewenangan PPAT yaitu diberi kewenangan membuat Akta
Pejabat Pembuat Akta Tanah otentik.MenurutKamus Besar BahasaIndonesiabahwa :
”membuat adalah menciptakan, melakukan, atau mengerjakan”.

21

Ibid., hal. 29.
Ibid., hal. 29-30.
23
Hukum Online, “PPAT Gugat BPN Karena Menolak Pendaftaran Akta Jual Beli”,
beta.hukumonline.com/.../ppat-gugat-bpn-karena-menolak-pendaftaran-akta-jual-beli., diakses pada 14
Juni 2011.
22

16

17

Dengan demikian PPAT mempunyai kewenangan untuk menciptakan,
membuat, dan mengerjakan akta, yang berarti mengerjakan, melakukan, dan
membuatnya sendiri akta (PPAT) yang menjadi kewenangannya sebagaimana
tersebut dalam Pasal 95 Keputusan Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 jo Pasal 2
ayat (2) Keputusan Kepala BPN No. 37 Tahun 1998, yaitu akta : Jual Beli;
Tukar-Menukar; Hibah; Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);
pembagian hak bersama; pemberian hak tanggungan; pemberian hak guna
bangunan atas tanah hak milik; pemberian hak pakai atas tanah hak milik; dan
surat kuasa membebankan hak tanggungan.24
Oleh karena itu, bagaimana mungkin PPAT sebagai Pejabat Umum dalam
mengimplementasikan kewenangannya hanya mengisi blangko atau formulir
yang bentuk dan isinya ditentukan oleh BPN, tetapi blangko/formulir tersebut
dicetak oleh pihak lain. Padahal, kewenangan PPAT tersebut bukan berasal
dari kewenangan BPN atau BPN memberikan kewenangannya kepada PPAT.
Dalam aturan hukum yang mengatur kewenangannya kepada BPN, yaitu
Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1988 tidak ada satu pasal pun dalam
Keppres tersebut yang menegaskan bahwa BPN mempunyai kewenangan
tertentu terhadap PPAT atau PPAT lahir secara atributif ataupun delegatif dari
kewenangan BPN. Akan tetapi dalam hal ini PPAT lahir sebagai beleidsregel
atau policyrules dari Pemerintah langsung. Dengan kata lain, PPAT bukan
lahir dari kewenangan BPN dan juga bukan subordinasi BPN atau bukan
pelimpahan dari kewenangan BPN. Sejak semula dibuat lembaga PPAT
dengan kewenangan yang melekat pada jabatan PPAT, bahwa kewenangan
PPAT tersebut tidak pernah menjadi kewenangan BPN.25
Dengan demikian, sudah saatnya PPAT untuk kembali melakukan
kewenangannya sebagaimana pengertian membuat akta tersebut di atas. Selain
itu, BPN ataupun pihak lainnya agar segera menghentikan kegiatannya
melakukan pencetakan formulir akta-akta PPAT yang hanya meraih dan
mengeruk keuntungan dari kegiatan menjual formulir-formulir akta PPAT,
yang telah dilakukannya sejak keberadaan PPAT tahun 1961.26
Sebagai sarana penting untuk dokumen otentik perbuatan hukum dalam
peralihan hak atas tanah, maka formulir akta tanah seharusnya selalu tersedia di
Kantor PPAT. Namun, para PPAT yang diberi tugas oleh BPN untuk membuat akta
24

Reza Febriantina, Loc.cit., hal. 30-31.
Ibid., hal. 32-33.
26
Habib Adjie, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2009, hal. 281.
25

17

18

hak atas tanah ini sempat kesulitan karena ketersediaan akta terganggu menunggu
penetapan tata cara pengelolaannya oleh Pemerintah.Selain daripada teori Asas
Kebebasan berkontrak yang telah disebutkan di atas, maka teori yang juga
berhubungan dengan penelitian penggunaan formulir akta jual beli oleh pengembang
di kota Medan adalah teori tentang akta. Hal tersebut dikarenakan penelitian ini ada
hubungannya dengan akta jual beli dan oleh sebab itu teori tentang akta harus
digunakan sesuai dengan penelitian ini.
Menurut R. Subekti dan Tjitrosoebadio, “akta berasal dari bahasa Latin “acta”
yang berarti geschrift atau surat dan kata “acta” merupakan bentuk jamak dari kata
“actum” yang berarti perbuatan-perbuatan”.27 Selain itu menurut R. Subekti
sebagaimana dikutip Sutarno mengatakan bahwa, “akta diartikan sebagai surat atau
tulisan yang sengaja dibuat dan ditandatangani, memuat peristiwa-peristiwa yang
menjadi dasar daripada suatu hak untuk dijadikan alat bukti”.28
Sedangkan menurut Pitlo dalam buku yang diterjemahkan oleh M. Isa Arief
mengartikan akta itu sebagai “suatu surat yang ditandatangani, diperbuat untuk
dipakai sebagai bukti dan dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu
diperbuat”.29 Kemudian menurut Sudikno Mertokusumo bahwa : “akta adalah surat
yang diberi tandatangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar

27

R. Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1980, hal. 9.
Sutarno, Op.cit., hal. 101.
29
M. Isa Arief, Pembuktian dan Daluarsa, Intermasa, Jakarta, 1978, hal 52.
28

18

19

daripada suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk
pembuktian”.30
Berdasarkan beberapa pendapat dari ahli hukum tersebut di atas tentang
pengertian akta, maka ada beberapa unsur dari pengertian akta tersebut antara lain :
1. Surat yang sengaja dibuat.
2. Ditandatangani para pihak.
3. Diperuntukkan atau dibuat untuk dijadikan sebagai alat bukti tentang suatu
peristiwa.
Setelah melihat beberapa pengertian dan unsur-unsur pengertian dari akta
tersebut, maka dapat dikatakan bahwa tidak semua surat disebut sebagai akta kalau
tidak memenuhi unsur-unsur tersebut. Hal yang sama juga dikatakan oleh Victor
Situmorang yang menyatakan bahwa, “tidaklah semua surat dapat disebut akta,
melainkan hanya surat-surat tertentu yang memenuhi syarat-syarat tertentu pula baru
dapat disebut akta”.31
Berdasarkan pernyataan dari Victor Situmorang di atas maka unsur-unsur dari
akta tersebut, harus memenuhi kriteria bahwa dibuat dengan sengaja dan
ditandatangani yang bertujuan sebagai alat bukti terhadap suatu peristiwa-peristiwa
yang menjadi dasar suatu hak tertentu. Dengan demikian, suatu surat dikatakan
sebagai akta harus dapat menjadi alat bukti dipersidangan.
Berdasarkan Pasal 1866 KUHPerdata alat-alat bukti tersebut terdiri atas :
30
31

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1985, hal. 121.
Victor Situmorang, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1996,

hal.52.

19

20

1. Bukti tulisan.
2. Bukti dengan saksi-saksi.
3. Persangkaan-persangkaan.
4. Pengakuan dan sumpah.
Sebagaimana yang disebut dalam Pasal 1866 KUHPerdata di atas, maka akta
merupakan alat bukti tulisan. Pembuktian dengan tulisan tersebut menurut Pasal 1867
KUHPerdata adalah, “pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan
otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan”, dan hal yang sama juga
disebutkan oleh Sutarno yang mengatakan bahwa : “ada dua bentuk akta yaitu : Akta
Otentik; dan Akta di Bawah Tangan”.32
Mengenai akta otentik tersebut diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa, “suatu akta otentik ialah akta yang di dalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum
yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya”. Sudikno Mertokusumo
mengatakan bahwa : “Suatu akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang
diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan, yang
mencatat

apa

yang

dimintakan

untuk

berkepentingan”.33

32
33

Sutarno, Op.cit., hal. 101.
Sudikno Mertokusumo, Op.cit., hal. 124.

20

dimuat

di

dalamnya

oleh

yang

21

Berdasarkan pengertian dari akta otentik yang disebutkan dalam Pasal 1868
KUHPerdata dan definisi akta otentik menurut Sudikno Mertokusumo, maka yang
disebut akta otentik yang memenuhi syarat-syarat antara lain34 :
1. Akta yang dibuat oleh atau akta yang dibuat di hadapan pegawai-pegawai
umum yang ditunjuk oleh undang-undang.
2. Bentuk akta ditentukan oleh undang-undang dan cara membuatnya akta harus
menurut ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang.
3. Di tempat di mana pejabat berwenang membuat akta tersebut.
Sebagaimana telah disebutkan di atas tentang akta otentik, bahwa akta otentik
yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat
umum, namun apabila yang membuatnya pejabat yang tidak cakap atau tidak
berwenang ataupun bentuknya cacad maka menurut M. Yahya Harahap “akta tersebut
tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil akta otentik oleh karena itu tidak dapat
diperlakukan sebagai akta otentik, namun akta demikian mempunyai nilai kekuatan
sebagai akta di bawah tangan dengan syarat apabila akta itu ditandatangani oleh para
pihak”.35
Pernyataan M. Yahya Harahap tersebut sama halnya seperti yang disebutkan
dalam Pasal 1869 KUHPerdata yaitu bahwa, “suatu akta yang karena tidak kuasa atau
tidak cakapnya pegawai termaksud di atas, atau karena suatu cacad dalam bentuknya,

34
35

Ibid., hal. 125.
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata,Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 566.

21

22

tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatan
sebagai tulisan di bawah tangan, jika ia ditandatangani oleh para pihak”.
Sebagaimana yang telah disebutkan oleh M. Yahya Harahap dan Pasal 1869
KUHPerdata di atas, maka dapat dikatakan bahwa otentik tidaknya suatu akta
tidaklah cukup apabila akta itu dibuat oleh atau di hadapan pejabat saja, akan tetapi
caranya membuat akta otentik itu haruslah menurut ketentuan yang ditetapkan oleh
undang-undang. Selain itu, suatu akta yang dibuat oleh seorang pejabat tanpa
wewenang dan tanpa ada kemampuan untuk membuatnya atau tidak memenuhi
syarat, tidaklah dapat dianggap sebagai akta otentik, tetapi hanya mempunyai
kekuatan sebagai akta di bawah tangan jika ditandatangani oleh pihak-pihak yang
bersangkutan dengan akta tersebut.
Sementara itu, Pejabat yang dimaksud dalam KUHPerdata sebagaimana
disebutkan di atas antara lain “Notaris, Panitera, Jurusita, Pegawai Catatan Sipil,
Hakim dan sebagainya”.36 Sedangkan menurut Sutarno tentang pejabat yang
dimaksud dalam KUHPerdata tersebut juga tidak jauh berbeda yaitu, “Notaris,
Hakim,

Juru

Sita

pada

Pengadilan,

Pegawai

Catatan

Sipil

dan

dalam

perkembangannya seorang Camat karena jabatannya sebagai Pejabat Pembuat Akta
Camat (selanjutnya disebut PPAT)”.37 Dengan demikian sebagaimana yang
disebutkan oleh Sudikno Mertokusumo dan Sutarno, maka dapat dikatakan bahwa
suatu Akta Notaris, Putusan ataupun Penetapan Hakim, Berita Acara yang dibuat oleh

36
37

Sudikno Mertokusumo, Op.cit., hal. 124.
Sutarno, Op.cit., hal. 102.

22

23

juru sita Pengadilan atau Panitera Pengadilan, Akta Perkawinan yang dibuat oleh
Pegawai Catatan Sipil/Kantor Urusan Agama, Akta Kelahiran yang dibuat oleh
Pegawai Catatan Sipil, Akta-Akta yang dibuat oleh PPAT seperti akta jual beli
tanah/rumah merupakan akta-akta otentik.
M. Yahya Harahap mengatakan bahwa, “pada umumnya akta otentik yang
menyangkut bidang perdata dibuat oleh Notaris”.38 Dan hal ini ditegaskan lagi dalam
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang
menyatakan bahwa, “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat
akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
ini”. Akan tetapi dalam Pasal 1868 KUHPerdata tentang akta otentik, hanya
menerangkan tentang yang dinamakan akta otentik, sedangkan tentang pejabat umum
dalam pasal tersebut tidak diberikan penjelasan ataupun pengertian sedikitpun.
Namun dalam pasal-pasal yang lain dalam KUHPerdata maupun dalam peraturanperaturan atau ketentuan-ketentuan lain ditegaskan adanya pejabat lain yang diberi
tugas atau wewenang untuk membuat akta otentik.
Menurut Ahmad Sanusi, ada pejabat lain yang ditugaskan dapat membuat
akta-akta otentik berdasarkan pasal-pasal yang lain dalam KUHPerdata maupun
dalam peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan lainnya yang dikecualikan dari
kewenangan dari Notaris antara lain :
1. Akta Catatan Sipil yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan berdasarkan
Pasal 4 KUHPerdata.

38

M.Yahya Harahap, Op.cit., hal. 573.

23

24

2. Akta yang dibuat oleh PPAT berdasarkan Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
juncto Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akte Tanah.
3. Akta wasiat dalam daerah pertempuran yang dibuat di hadapan perwira
minimal berpangkat letnan dengan dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi,
berdasarkan Pasal 946 KUHPerdata.
4. Kapten Kapal atau Nahkoda atau Mua’lim boleh membuat akta wasiat bagi
penumpang yang sedang menghadapi kematiaan dengan dihadiri oleh 2 (dua)
orang saksi berdasarkan Pasal 947 KUHPerdata.
5. Bila terjadi penyakit menular di suatu tempat dan orang luar tidak boleh
masuk, Notaris tidak ada, Pegawai Umum (Bupati atau Camat) boleh
membuat surat wasiat dengan dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi berdasarkan
Pasal 948 ayat (1) KUHPerdata, demikian juga apabila terjadi gempa bumi,
sakit atau kecelakaan yang mengakibatkan kematian, pemberontakan atau
bencana alam lainnya yang hebat dalam keadaan yang sungguh-sungguh
terancam kematian, sedangkan dalam jarak 9 (sembilan) kilometer disekitar
itu tidak ada Notaris.39
Namun demikian menurut Victor Situmorang, ada beberapa akta yang
menjadi kewenangan Notaris bersama-sama dengan pejabat lain untuk membuatnya,
yaitu :
1. Akta pengangkatan anak di luar kawin berdasarkan Pasal 281 KUHPerdata.
2. Berita acara tentang kelalaian pejabat penyimpan hipotik berdasarkan Pasal
1227 KUHPerdata.
3. Berita acara tentang penawaran pembayaran tunai dan konsinyasi berdasarkan
Pasal 1405 dan Pasal 1406 KUHPerdata.
4. Akta protes wessel dan cek berdasarkan Pasal 143 KUHPerdata.40
Kekosongan formulir Akta PPAT tersebut dimanfaatkan oleh Kantor Wilayah
BPN, yaitu dengan menentukan dan mewajibkan formulir akta PPAT tersebut
difotocopy dan fotocopynya harus diketahui/dilegalisasi oleh salah satu Kepala Seksi

39

Ahmad Sanusi, Pengantar Ilmu Hukum Dan Pengantar Tata Hukum Indonesia, Tarsito,
Bandung, 1999, hal. 89.
40
Victor Situmorang, Op.cit., hal. 34-35.

24

25

pada Kanwil BPN tersebut.41Apabila tidak ada orang yang meleges maka PPAT dapat
menunggu atau menitipkan kepada Pegawai BPN yang sedang bertugas pada saat itu
untuk dilakukannya legalisasi Formulir Akta Jual Beli. Tentunya legalisasi tersebut
tidak gratis, setidaknya harus ada biaya yang sama dengan biaya membeli formulir
akta PPAT di kantor pos setempat. Sudah tentu hal ini menyuburkan pungutan liar
(transaction cost) dan penyalahgunaan wewenang oleh BPN, dalam arti tidak ada
aturan hukum yang bersumber dari kewenangan BPN untuk melegalisasi fotokopi
akta PPAT tersebut.
2.

Konsep
Konsepsi adalah, “salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsepsi

dalam penelitian adalah untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstrak
dan kenyataan, sedangkan konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstrasi
yang disebut definisi operasional”.42 Kegunaan dari adanya konsepsi agar ada
pegangan dalam melakukan penelitian atau penguraian, sehingga dengan demikian
memudahkan bagi orang lain untuk memahami batasan-batasan atau pengertianpengertian yang dikemukakan. Oleh karena itu, di dalam penelitian ini dikemukakan
beberapa konsep dasar sebagai berikut :

41

Surat Edaran Kepala BPN No. 640-1884 tentang Blanko Akta PPAT, tertanggal 13 Juli
2003, yang menyatakan bahwa : “apabila di daerah Saudara terdapat kelangkaan blanko akta PPAT
tertentu agar Saudara segera menerbitkan fotocopy akta yang disahkan sebagaimana surat kami
tersebut di atas. Pada halaman pertama akta sebelah kiri atas ditulis Disahkan Penggunaannya dan
ditandatangani oleh Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi atau Pejabat yang ditunjuk serta dibubuhi
paraf dan cap dinas setiap halaman”.
42
Samadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998,
hal.28.

25

26

1. “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik
dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No.
30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris”;43
2. “Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat Pemerintah yang
ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat
akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT”;44
3. “Akta adalah surat yang diberi tandatangan, yang memuat peristiwa-peristiwa
yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak
semula dengan sengaja untuk pembuktian”;45
4. “Akta PPAT adalah akta tanah yang diuat oleh PPAT sebagai bukti telah
dilaksanakan perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun”;46
5. Formulir Akta Jual Beli Perumahan adalah formulir kosong (belum diisi) yang
didapat dari Kantor Wilayah BPN setempat;
6. “Fotocopy Formulir Akta Jual Beli Perumahan adalah rekaman formulir
kosong Formulir Akta Jual Beli yang didapat dari Kantor Wilayah BPN
setempat”;47

43

Pasal 1 angka 1, Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Pasal 1 angka 1, Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah.
45
Sudikno Mertokusumo, Op.cit., hal. 121.
46
Pasal 1 angka 4, Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah.
47
Surat Edaran Kepala BPN No. 640-1884, tanggal 31 Juli 2003 tentang Blanko Akta PPAT.
44

26

27

7.

“Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan
dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk
membayar harga yang telah dijanjikan”;48

8.

“Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian
dan sarana pembinaan keluarga”;49

9.

“Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan
tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan
sarana lingkungan”;50

10. Pengembang adalah orang atau perusahaan (badan hukum – legal entity) yang
melakukan pembangunan untuk perumahan.
G. Metode Penelitian
Kegiatan penelitian merupakan sarana ilmu pengetahuan dan teknologi. Hasilhasil yang dicapai dan berguna bagi kehidupan manusia dimulai dari kegiatan
penelitian bahkan menjadi tradisi yang berlaku dalam pergaulan masyarakat
ilmiah. Pengetahuan dan teknologi diperoleh saat ini dipastikan melalui
kegiatan penelitian termasuk ilmu-ilmu sosial yang di dalamnya termasuk
ilmu hukum.51
Penelitian mengandung metode atau cara yang harus dilalui sebagai syarat
dalam penelitian. Metode dilaksanakan pada setiap kegiatan penelitian
didasarkan pada cakupan ilmu pengetahuan yang mendasari kegiatan
penelitian. Meskipun masing-masing terdapat karakteristik metode yang
digunakan pada setiap kegiatan penelitian, akan tetapi terdapat prinsip-prinsip
umum yang harus dipahami oleh semua peneliti seperti pemahaman yang
sama terhadap validitas dari hasil capaian termasuk penerapan prinsip-prinsip
kejujuran ilmiah.52
48

Pasal 1457, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Pasal 1 angka 1, Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman.
50
Pasal 1 angka 2, Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman.
51
Muhamad Muhdar, “Bahan Kuliah Metode Penelitian Hukum : Sub Pokok Bahasan
Penulisan Hukum”, Universitas Balikpapan, Balikpapan, 2010, hal. 2.
52
Ibid., hal. 3.
49

27

28

Kejujuran ilmiah adalah kode etik penulisan karya tulis ilmiah, yaitu :
1. Menjunjung tinggi posisi terhormat penulis sebagai orang terpelajar,
kebenaran hakiki informasi yang disebarluaskan dan tidak menyesatkan orang
lain;
2. Tidak menyulitkan pembaca dengan tulisan yang dibuat;
3. Memperhatikan kepentingan penerbit penyandang dana penerbitan dengan
cara mempadatkan tulisan agar biaya pencetakan bisa ditekan;
4. Memiliki kesadaran akan perlunya bantuan penyunting sebagai jembatan
penghubung dengan pembaca;
5. Teliti, cermat, mengikuti petunjuk penyunting mengenai format dan
sebagainya;
6. Tanggap dan mengikuti usul/saran penyunting;
7. Bersikap jujur mutlak diterapkan kepada diri sendiri dan umum dengan tidak
menutupi kelemahan diri;
8. Menjunjung tinggi hak, pendapat, temuan orang lain dengan cara tidak
mengambil ide orang lain diakui sebagai ide/gagasan sendiri;
9. Mengakui hak cipta/Hak Kekayaan Intelektual dengan cara tidak melakukan
plagiat atas tulisan sendiri dan orang lain.53
“Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan
pendekatan juridis normatif”.54 Dengan demikian objek penelitian adalah norma
hukum yang terwujud dalam kaidah-kaidah hukum dibuat dan ditetapkan oleh
pemerintah dalam sejumlah peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang
terkait secara langsung dengan formulir akta jual beli perumahan yang dikeluarkan
oleh Badan Pertanahan Nasional.
1.

Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif dengan

menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dalam
53

Etika Penulisan Ilmiah, (DITJEN DIKTI : Lokakarya Pelatihan Penulisan Artikel Ilmiah yang
diselenggarakan DP2M), hal. 2-6., seperti yang diringkas/disarikan oleh M. A. Rifai., dalam Munandir., “Kode
Etik Menulis : Butir-Butir”, www.unissula.ac.id /perpustakaan/.../Munandir%20(kode%20etik).ppt., 2007, diakses
pada 11 Juni 2011.
54
Adapun tahap-tahap dalam analisis yuridis normatif adalah : merumuskan azas-azas hukum dari data
hukum positif tertulis; merumuskan pengertian-pengertian hukum; pembentukan standar-standar hukum; dan
perumusan kaidah-kaidah hukum. Sumber : Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian
Hukum,Rajawali Press, Jakarta, 2010, hal. 166-167.

28

29

menggunakan pengkajian terhadap penggunaan formulir akta jual beli kapling
perumahan di Kota Medan.
Pendekatan tersebut berkaitan dengan pendekatan dilakukan dengan
menggunakan teori hukum murni yang berupaya membatasi pengertian
hukum pada bidang-bidang hukum saja, bukan karena hukum itu
mengabaikan atau memungkiri pengertian-pengertian yang berkaitan,
melainkan karena pendekatan seperti ini menghindari pencampuradukan
berbagai disiplin ilmu yang berlainan metodologi (sinkretisme metodologi)
yang mengaburkan esensi ilmu hukum dan meniadakan batas-batas yang
ditetapkan pada hukum itu oleh sifat pokok bahasannya.55
Sifat

penelitian

adalah

penelitian

deskriptif

yang

ditujukan

untuk

menggambarkan secara tepat, akurat, dan sistematis gejala-gejala hukum terkait
dengan studi terhadap penggunaan formulir akta jual beli di Kota Medan.
2.

Sumber Bahan Hukum
Penelitian hukum normatif yang menitikberatkan pada penelitian kepustakaan

dan berdasarkan pada data sekunder, maka sumber bahan hukum yang dapat
digunakan dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu :
1. Bahan hukum primer, meliputi seluruh peraturan perundang-undangan yang
relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian, antara lain :
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek);
b. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel);
c. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria;

55

Hans Kelsen, Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, diterjemahkan
oleh Raisul Muttaqien, disunting oleh Nurainun Mangunsong, Cetakan Ketiga,Nusamedia & Nuansa,
Bandung, 2007, hal. 1-2.

29

30

d. Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman;
e. Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan;
f. Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan;
g. Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;
h. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
i. Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah;
j. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.
3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pe