Peran Serta Masyarakat Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009

BAB II
PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENANGGULANGAN
TINDAK PIDANA NARKOTIKA MENURUT UNDANG-UNDANG
NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

A. Arti Penting Peran Serta Masyarakat Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika.
Aturan-aturan hukum tentang penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika tidak terbatas
pada tindakan dengan menghukum dan memasukkan pelanggar ke dalam penjara sebanyakbanyaknya. Namun yang lebih substansial ialah bagaimana upaya pemerintah dapat membimbing
warga masyarakat agar tidak kecanduan untuk melakukan penyalahgunaan Narkotika.
Kebijakan pemerintah dalam rangka penanggulangan tindak pidana narkotika tidak hanya
bersifat penerapan prosedur hukum belaka, tapi lebih subtansial ialah membangun tatanan hukum
dalam suatu sistem hukum nasional yang bermanfaat untuk kepentingan nasional. Lawrence M.
Friedman dalam bukunya Law and Behavioral Sciencesmengatakan bahwa:
“the three elements togertehr srtuctural, cultural, and substantive make-up
totally
which, for want of a better term, we call the legal system. The living
law of society, its
legal system in this revised sense, is the law as actual
process. It is the way in which sructural,
cultural and substantive element
interact with each other, under the influence too, of external,

situational
factors, pressing in from the large society.” 59
Selanjutnya Lawrence M. Friedman menyatakan bahwa untuk terciptanya suatu peraturan
yang ideal ialah dipenuhinya komponen-komponen substansi hukum (substance of the rule), struktur
(structure) dan budaya hukum (legal culture). Sebagai suatu sistem hukum, ketiga komponen
tersebut, yakni substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum dapat diaktualisasikan secara
nyata. 60

59

M. Lawrence Friedman, Law and Behavioral Sciences, (New York: The Bobbs Company, Inc, 1969), hal.104.
M. Lawrence Friedman, The Legal System: A Sosial Science Perspective, (New York: Russell Sage
Foundation, 1975), hal 11-20.
60

Bekerjanya hukum tersebut menampakkan hubungan erat yang diproses melalui struktur
hukum dan keluarannya adalah budaya hukum. Peraturan-peraturan mana yang dilaksanakan, dan
mana yang tidak, semua itu merupakan masalah yang masuk dalam lingkup budaya hukum. Dalam
konteks dengan prilaku sosial. Keluaran dari system hukum itu diantaranya merupakan kerangka
pengendalian sosial. Proses interaksi sosial pada hakekatnya merupakan satu atau beberapa

peristiwa hukum, yang unsur-unsurnya meliputi perilaku hukum, kejadian, keadaan yang semuanya
didasarkan pada tanggung jawab dan fasilitas. 61
Dipandang dari sudut yuridis, hubungan antar peranan disebut sebagai hubungan hukum
yang merupakan salah satu pengertian dasar dari sistem hukum. Hubungan hukum tersebut
merupakan setiap hubungan yang mempunyai akibat hukum dan pada hakekatnya menyangkut
hubungan antar peranan dalam bentuk hak dan kewajiban.
Hukum dapat dianggap sebagai mempengaruhi perilaku, didasarkan pada suatu analisis
bahwa hukum diartikan sebagai suatu kontrol sosial dan berhubungan dengan pembentukan dan
pemeliharaan aturan-aturan sosial. Analisa ini berpijak pada kemampuan hukum untuk mengontrol
perilaku-perilaku manusia dan menciptakan suatu kesesuaian di dalam prilaku-prilaku tersebut.
Sering dikatakan bahwa salah satu dari karakteristik hukum yang membedakannya dari aturan aturan yang bersifat normatif ialah adanya mekanisme kontrol, yaitu yang disebut sebagai sanksi.
Hukum berfungsi untuk menciptakan aturan-aturan sosial dan sanksi digunakan sebagai alat
untuk mengontrol mereka yang menyimpang dan juga digunakan untuk menakut - nakuti agar orang
tetap patuh pada aturan-aturan sosial yang sudah ditentukan. Di dalam hubungan antara hukum
dengan prilaku sosial, terdapat adanya unsur pervasive sosially (penyerapan sosial), artinya bahwa
kepatuhan dan ketidakpatuhan terhadap hukum serta hubungannya dengan sanksi atau rasa takut
terhadap sanksi dikatakan saling relevan atau memiliki suatu pertalian yang jelas, apabila aturan-

61


Ibid, .

aturan hukum dengan sanksinya atau dengan perlengkapannya untuk melakukan tindakan paksaan
(polisi, jaksa, hakim, dan sebagainya) sudah diketahui atau dipahami arti dan kegunakannya oleh
individu atau masyarakat yang terlibat dengan hukum itu. 62
Secara logis bahwa suatu sanksi juga merupakan fakta yang diterapkan dan sebagai bentukan
yang berasal dari hukum sehingga sanksi harus diterapkan. Bilamana kita tidak dapat bertindak atau
berprilaku tertentu karena dibentuk oleh suatu aturan hukum tertentu, tindakan tersebut menurut
peneliti tidak merupakan efek dari hukum. 63
Hubungan antara kontrol sosial (social control) dengan aturan-aturan sosial mungkin dapat
diformasikan, tapi bila memasuki kontrol hukum ke dalam hubungan ini, formulasi tersebut tidak
konsisten dengan analisis logika. Dengan demikian, pengaruh hukum terhadap bentuk dan arah
prilaku manusia tidak dapat diukur dengan menggunakan cara analisis logika, dan juga tidak ada
satu pun indikasi yang menunjukkan bahwa hukum akan dapat menyebabkan perilaku manusia akan
bersesuaian atau bertentangan dengan kehendak dari hukum tersebut.
Peran serta masyarakat dalam proses penegakan hukum yang bersifat demokratis, memiliki
beberapa indikator kinerjanya, yaitu: 64
1) Adanya prinsip keterbukaan informasi serta aturan-aturan yang mengatur tentang
kebebasan informasi (freedom of information act) termasuk aturan pengecualian
sepanjang berkitan masalah keamanan nasional, catatan penegakan hukum, dan

sebagainya.
2) Adanya jaminan ketaatan penguasa terhadap prinsip kedaulatan hukum atas dasar
prinsip equality before the law.
3) Ditegakkannya asas kekuasaan kehakiman yang merdeka dan tanggung jawab.
4) Adanya jaminan yang luas bagi warga Negara untuk memperoleh keadilan (access to
justice).
5) Diperlukan perundang-undangan yang demokratis dan aspiratif.
6) Adanya sarana dan prasarana yang memadai.

62

Adam Podgorecki dan C.J.Whelen, Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum, (Jakarta: Bina Aksara, 1987),

hal. 257.
63
64

Ibid, .
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Bp. Undip, 2002), hal. 23.


Peran serta masyarakat dalam konteks penyelenggaraan negara, mengandung hak - hak dan
kewajiban sebagai berikut: 65
1) Hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi mengenai penyelenggaraan negara.
2) Hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari penyelenggara negara.
3) Hak menyampaikan saran dan pendapatan secara bertanggung jawab terhadap kebijakan
penyelenggaraan negara.
4) Hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal ini melaksanakan haknya dan apabila
hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan disidang pengadilan sebagai saksi pelapor,
saksi atau saksi ahli sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dengan mentaati norma agama, dan norma sosial lainnya.
5) Kesadaran hukum masyarakat dan para penegak hukum dalam semangat yang interaktif
antara kesadaran hukum, persepsi keadilan.

Muladidalam pandangannya tentang jaminan kepastian, ketertiban, penegakan hukum dan
perlindungan hukum dalam era globalisasi mengindentifikasikan bahwa pada masa lalu perubahan
sosial (social change) yang cepat akibat proses modernisasi sudah dirasakan sebagai sesuatu yang
potensial dapat menimbulkan keresahan dan ketegangan sosial (social unrest and social tension). 66
Perubahan sistem nilai dengan cepat menuntut adanya norma-norma kehidupan sosial baru
yang menyibukkan badan legislatif, lembaga-lembaga penyelesaian sengketa (in and out court) dan
usaha-usaha untuk mensosialisasi hukum. Dengan semakin meningkatnya proses modernisasi dan

memunculkan fenomena baru berupa globalisasi yang menuntut perubahan struktur hubungan
hukum (legal structure), substansi-substansi baru pengaturan hukum (legal substance) dan budaya
hukum (legal culture) yang sering sama sekali baru. Tanpa adanya perubahan sistem hukum
tersebut, tuduhan-tuduhan selanjutnya pasti muncul, seperti penguasa tidak dapat menjamin
kepastian hukum, akan timbul bahaya-bahaya terhadap ketenteraman hidup (peaceful life) dalam
berbagai kehidupan sosial, semua akan menjadi tidak pasti dan tidak tertib serta tidak terlindung.
Penegakan hukum aktual (actual enforcement) akan jauh dari penegakan hukum ideal (total
enforcement and full enforcement) hukum hanya akan melindungi yang powerful, dan terjadi
65
66

Ibid, hal. 26.
Ibid, hal. 57.

pelanggaran hak asasi manusia, dan seterusnya. Di sinilah masalah kepastian hukum, ketertiban
hukum dan perlindungan hukum akan dirasakan sebagai kebutuhan yang pada dasarnya
mengandung dua hal, yakni aman (jasmaniah) dan tenteram

(batiniah) yang semuanya dapat


dicakup dalam tujuan hukum, yaitu kedamaian (the function of law is to maintain peace). 67
Penegakan hukum sendiri harus diartikan dalam tiga kerangka konsep, yaitu (1) konsep
penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement concept) yang menuntut agar semua nilai
yang ada di belakang norma hukum tersebut ditegakkan tanpa kecuali; (2) yang bersifat penuh (full
enforcement concept) yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi dengan hukum acara dan
sebagainya demi perlindungan kepentingan individual; (3) dan konsep penegakan hukum aktual
(actual enforcement concept) yang muncul setelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan
hukum karena keterbatasan - keterbatasan, baik yang berkaitan dengan sarana-prasarana, kualitas
sumber daya manusianya, kualitas perundang- undangannya, dan kurangnya peran serta
masyarakat. 68
Apa pun konotasinya perubahan sosial akibat modernisasi dan globalisasi tidak merupakan
sesuatu yang bersifat fakultatif (change is not optional) dan tidak dapat dihindari. Keduanya
merupakan sesuatu yang alamiah yang timbul serta merta akibat kompleksitas dan heteroginitas
hubungan antarmanusia sebagai makhluk sosial, sebagai akibat penemuaan alat - alat tekonologi
modern.
Hukum merupakan hasil dari proses kebijakan politik, dalam hal ini, Muladi menyatakan
bahwa politik hukum (legal policy) dalam arti kebijakan negara (public policy) dibidang hukum,

67


68

Siswantoro Sunarso, Penegekan Hukum Psikotropika, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), hal. 84.

Ibid,.

harus dipahami sebagai bagian kebijakan sosial, yaitu usaha setiap masyarakat/ pemerintah untuk
meningkatkan kesejahteraan warganya di segala aspek kehidupan. 69
Hal ini dapat mengandung dua dimensi, yaitu kebijakan kesejahteraan sosial (social welfare
policy) dan kebijakan perlindungan sosial (social defense policy). Hukum dan kebijakan publik
mengendalikan dan membentuk pola sampai seberapa jauh masyarakat dapat diatur dan diarahkan.

B. Bentuk-Bentuk Peran Serta Masyarakat Dalam Penanggulangan Tindak Pidana
Narkotika
Kewajiban masyarakat ialah melaporkan tentang terjadinya tindak pidana narkotika kepada
aparat penegakan hukum. Di samping kewajiban itu, masyarakat mempunya hak untuk mendapatkan
jaminan keamanan dan perlindungan hukum dari aparat penegakan hukum. Namun demikian, hak
dan kewajiban masyarakat kelihatan amat terbatas, khususnya dalam menindak para pelaku
kejahatan tersebut. 70
Hubungan antara hak dan kewajiban amat terkait dengan proses belajar dalam perubahan

perilaku masyarakat terhadap aturan hukum. Beberapa definisi tentang arti belajar telah banyak
dikemukakan oleh para ahli yang berbeda-beda pendiriannya, karena berlainan titik tolaknya.
Sumadi Suryabrata telah menyimpulkan hal-hal pokok belajar sebagai berikut: 71
1) Belajar itu membawa perubahan (dalam arti behavioral changes, actual maupun potensial)
2) Perubahan itu pada pokoknya adalah didapatkannya kecakapan baru.
3) Perubahan itu terjadi karena usaha (dengan sengaja)

Beberapa konsepsi atau teori belajar menurut ahli - ahli yang mengikuti teori molekular
berpendapat bahwa perkembangan tingkah laku itu tergantung kepada belajar.
69

Ahli-ahli yang

Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukumdi Indonesia (Jakarta: Habibie Centre,
2002), hal.269.
70
Siswantoro Sunarso¸ Penegakan Hukum Psikotropika, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), hal. 158.
71
Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas,1993), hal. 249.


mengikuti paham molekular bersifat atomistis, yakni cenderung untuk memikirkan sesuatu kesatuan
dari segi susunannya. Kebiasaan - kebiasaan yang kompleks, misalnya dianggap sebagai kumpulan
dari sejumlah refleks - refleks bersyarat. Transfer of training dianggap terjadi kalau ada unsur unsur yang identik antara hal yang lama dan situasi yang baru atau sedang dihadapi. 72
Peran serta masyarakat sangat dibutuhkan untuk memberantas penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika, karena tanpa dukungan masyarakat maka segala usaha, pada dan
kegiatan penegakkan hukum akan mengalami kegagalan. Disinilah pentingnya mengubah sikap
tingkah laku dan kepedulian masyarakat terhadap pencegahan dan penanggulangan tindak pidana
narkotika.
Penyuluhan hukum harus menggunakan strategi yang cepat dan efektif, sehingga masyarakat
benar-benar memahami tentang bahaya narkotika dan akan melakukan action anti-narkotika.
Penerapan sanksi pidana yang berat kepada para pelaku kejahatan akan memberikan deterrent effect
(efek jera) dan sekaligus berdampak pada law of effect serta dampak sosialnya, yaitu sebagai
wahana pembelajaran publik, sehingga masyarakat akan sadar betul tentang pentingnya menjauhi
penyalahgunaan narkotika. 73
Pembelajaran publik berdasarkan pengamatan terhadap konsistensi penegakan hukum dan
penerapan sanksi pidana berat, akan tercipta norma-norma sosial yang dijunjung tinggi, sehingga
norma - norma sosial tersebut sebagai sarana pengendalian sosial, yang dilembagakan kembali
kepada norma-norma hukum untuk dipatuhi dan ditaati.
Bentuk – bentuk peran serta masyakat dalam upaya penanggulangan Tindak Pidana
narkotika antara lain ialah:


72
73

Ibid,.
Siswantoro Sunarso¸ Penegakan Hukum Psikotropika, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), hal. 159.

1. Pencegahan Tindak Pidana Narkotika
Suatu motto di bidang kesehatan menyatakan bahwa “pencegahan itu lebih baik daripada
pengobatan.” Bertitik tolak dari pemikiran ini, pertanyaan kita ialah bagaimana upaya masyarakat
dapat

melakukan

pengawasan

terhadap

semua

aktifitas

warga

masyarakat

agar tidak

mengalahgunakan penggunaan obat-obatan narkotika secara illegal.
Kata-kata kunci peran serta masyarakat dalam kaitan dengan pemberantasan penyalahgunaan
dan peredaran gelap narkotika, tujuannya ialah bagaimana upaya untuk membangun sistem
pengendalian sosial tersebut melalui proses belajar. Masyarakat sebagai suatu sistem sosial, yaitu
suatu sistem yang hidup dipastikan akan menghadapi sejumlah masalah dan harus dapat diatasi
untuk memungkinkan sistem sosial tersebut bisa melangsungkan kehidupannya. 74
Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dipandang sebagai suatu ancaman dan akan
dapat menghancurkan sistem sosial masyarakat tersebut. Bentuk-bentuk kegiatan pencegahan yang
dilakukan masyarakat antara lain; kampanye anti penyalahgunaan narkotika, penyuluhan selukbeluk narkotika, pendidikan dan pelatihan kelompok sebaya (peer group)
2. Kewajiban Melaporkan Tindak Pidana Narkotika
Sesuai rumusan Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 dalam Pasal 107 dikatakan bahwa:
masyarakat dapat melaporkan kepada pejabat yang berwenang atau BNN jika mengetahui adanya
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.
Kewajiban melaporkan ini merupakan salah satu bentuk atau wujud peran serta masyarakat
dalam pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Ketentuan ini apabila
dilanggar dikenakan sanksi pidana, oleh sebab itu diperlukan pemahaman terhadap hak dan
kewajiban masyarakat dalam pencegahan kejahatan ini. 75

74

Siswanto, Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), hal.311.
Undang-undang No. 35 Tahun 2009, pasal 107.

75

3. Jaminan Keamanan dan Perlindungan Hukum
Penggunaan orang-orang yang terlibat atau dilibatkan secara langsung oleh penegakan
hukum, baik sebagai informan maupun yang terlibat dalam pembelian terselubung dan/ atau
penyerahan yang diawasi, perlu mendapatkan prioritas jaminan keamanan dan perlindungan hukum
oleh penegak hukum. Dalam hal ini perlu diperjelas apa yang dimaksud dengan jaminan keamanan
dan perlindungan.
Keamanan yang berasal dari kata “aman”, yang memberikan makna, terbebas dari perasaan
takut dari gangguan baik fisik dan psikis, adanya rasa kepastian dan bebas dari kekhawatiran
keragu-raguan, ketakutan, perasaan dilindungi dari segi macam bahaya dan perasaan kedamaian,
ketentraman lahiriah dan batiniah.
Sebenarnya kondisi aman seperti tersebut di atas itulah yang merupakan kendala masyarakat
dalam berkomunikasi dengan aparat penegakan hukum, khususnya dengan aparat kepolisian,
berkaitan dengan kewajiban melaporkan tentang suatu peristiwa tindak pidana. Secara empiris
masyarakat yang melapor ke polisi justru menimbulkan rasa kekhawatiran, kejenuhan, dan proses
yang bertele-tele sehingga menyita waktu si pelapor.
4. Pengembangan Kelembagaan Masyarakat.
Manusia dapat dipandang sebagai suatu organisme, dan manusia selalu melakukan beberapa
aktivitas tertentu dalam kaitan dengan kehidupan sosialnya, yakni untuk mempertahankan diri (self
maintenance), melakukan pengawasan dan pengendalian diri (self control), terkait dengan proses
timbal balik (processof feed – back) serta melakukan komunikasi informasi (communication of
information) yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan (equilibrium) secara homeostatis dalam
tatanan kehidupan sosialnya. 76

76

Siswantoro Sunarso¸ Penegakan Hukum Psikotropika, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), hal. 163.

Hubungan organisme manusia dengan manusia lainnya dapat dilihat dalam tatanan
kehidupan sibernetika. Usaha mempertahankan diri, melakukan pengawasan dan pengendalian,
proses timbal balik, melakukan komunikasi informasi merupakan suatu faktor menciptakan kondisi.
Dalam kaitan dengan peran serta masyarakat dalam penanggulangan narkotika, polisi mengakui
masyarakat enggan melaporkan narkotika kepada petugas. 77
Pandangan masyarakat ini disebabkan karena kurang adanya tanggapan dari kepolisian,
padahal selama ini masyarakat telah memberikan informasi dan penanggalangan kekuatan untuk
bertindak sendiri memberantas narkotika. Merasa tidak ditanggapi masyarakat menjadi curiga
bahwa polisi ikut terlibat atau mengambil keuntungan material dari penyalahgunaan narkotika
tersebut. Berdasarkan fenomena di atas, diperlukan sistem penyebaran atus informasi dan penguatan
untuk membangkitkan motivasi masyarakat.
5. Pelaksanaan Program Kuratif
Program ini disebut juga dengan program pengobatan. Program kuratif dilakukan oleh
masyarakat sebagai bentuk peran serta dalam penanggulangan tindak pidana narkotika yang
ditujukan kepada pemakai narkotika. Tujuannya adalah untuk mengobati ketergantungan dan
menyembuhkan penyakit sebagai akibat dari pemakaian narkotika, sekaligus memberhentikan
pemakaian narkotika. Bentuk kegiatan pengobatan pemakai narkotika antara lain: menghentikan
pemakaian narkotika, pengobatan gangguan kesehatan, pengobatan terhadap kerusakan organ tubuh,
pengobatan terhadap penyakit ikutan lain seperti HIV dan AIDS, Hepatitis B/C, dan lain-lain. 78

77

Ibid,.
Badan Narkotika Nasional, Petunjuk Teknis Advokasi Bidang Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Bagi
Lembaga/Instansi, (Jakarta: BNN RI, 2010), hal. 36.
78

6. Melaksanakan Program Rehabilitatif
Rehabilitatif adalah upaya pemulihan kesehatan fisik dan psikis yang ditujukan kepada
pemakai narkotika yang sudah menjalani program kuratif. Tujuannya adalah agar dia tidak memakai
lagi dan bebas dari penyakit ikutan yang disebabkan oleh bekas pemakaian narkotika.
Banyak masyarakat yang membuka usaha rehabilitasi korban narkotika untuk menolong
pemulihan mereka. Usaha yang dilakukan masyarakat ini sangat baik karena membantu pemerintha
untuk mengatasi permasalahan narkoba. Rehabilitasi ini dapat dilakukan oleh masyarakat dan tentu
saja ini akan mengurangi tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh pemakai narkotika. 79
7. Mengawasi upaya penangkapan adanya pelanggaran, penahanan tersangka,

jalannya

penuntutan (persidangan/pengadilan) dan jalannya eksekusi hukuman.
Masyarakat dapat membantu proses penegakan hukum tindak pidana narkotika dengan cara
mengawasi adanya penangkapan pelanggaran tentang narkotika, penahanan tersangka, jalannya
penuntutan dan eksekusi hukuman. Upaya ini sangat efektif bila dilakukan sehingga tidak ada
permainan yang dapat dilakukan antara personil aparat dengan pelaku pelanggaran hukum pidana
narkotika.
Selain itu masyarakat juga akan paham mengenai proses peradilan tindak pidana narkotika
dan bersama-sama melakukan pemantauan peradilan narkotika (drugs judicial watch). Apabila ini
bisa dijalankan dengan baik, maka sebagian dari permasalahan narkotika dapat teratasi dengan baik.
8. Mengawasi Pemusnahan Barang Bukti Narkotika.
Bentuk lain dari peran serta masyarakat adalah dengan melakukan pengawasan terhadap
pemusnahan barang bukti narkotika yang dilakukan oleh instansi terkait seperti pihak kepolisian dan
BNN. Pengawasan ini perlu dilakukan oleh masyarakat untuk menghindari adanya permainan dalam

79

Ibid, hal. 38.

pemusnahan barang bukti. Contohnya barang bukti ditukar dengan yang lain atau barang buktinya
tidak sesuai jumlahnya dengan yang ditangkap.
Bila ada pengawasan dari masyarakat tentu saja hal ini tidak akan terjadi. Dan inilah yang
telah dilakukan masyarakat khususnya PIMANSU dalam upaya penanggulangan tindak pidana
narkotika.
Agar masyarakat mau berpartisipasi aktif, diperlukan syarat: 80
1. Adanya aparat penegak hukum yang akomodatif, simpatik, dan mampu mengajak
masyarakat berpartisipasi
2. Instasni pmerintah terkait harus dapat bekerja sama secara transparan dengan LSM atau
lembaga sosial terkait lainnya.
3. Perilaku aparat penegak hukum yang terpuji dan bekerja dengan jujur, profesional, serta
kebal terhadap sogok dan suap.
4. Penerapan hukum secara tegas, konsekuen, konsisten dan transparan
5. Adanya petunjuk atau pedoman untuk berpartisipasi bagi masyarakat dari semua instasi
terkait agar partisipasi masyarakat terarah dan efektif.

C. Pengaturan Mengenai Peran Serta Masyarakat Dalam Penanggulangan Tindak Pidana
Narkotika
1. Istilah Perbuatan Pidana
Perbuatan Pidana adalah suatu perbuatan dikatakan telah melanggar hukum dan dapat
dikenakan sanksi pidana harus memenuhi dua unsur, yakni (1) adanya unsur actus reus atau unsur
esensial dari kejahatan dan means rea (mental element), yakni keadaan sikap batin.

81

Lebih lanjut,

Zainal Abidin Farid menyatakan bahwa actus reus merupakan unsur suatu delik, sedangkan mens
rea termasuk pertanggungjawaban pembuat.
Berkaitan dengan tindak pidana narkotika, bahwa dalam rumusan perbuatan pidana dalam
undang-undang narkotika mengalami kesulitan untuk merumuskan pidana bagi para pengguna

80
81

Ibid, hal. 119.
Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, (Jakarta: Sinar Grafika, 19950, hal. 35.

narkotika, apabila diukur dari maksud melakukan perbuatan tersebut. Rumusan pidana menurut
undang-undang narkotika telah jelas menetapkan bahwa barang siapa tanpa hak, memiliki,
menyimpan, dan/atau membawa narkotika merupakan tindak pidana. Pengertian tanpa hak disini
ialah tidak memenuhi ketentuan tentang suatu keharusan melakukan perbuatan tersebut.
Berkaitan dengan asas mens rea (pertanggungjawaban pelaku atas perbuatannya) dalam
hubungannya dengan tindak pidana narkotika bahwa pengguna narkotika secara tidak sah, tetap
dipandang bertanggung jawab atas perbuatan yang telah dilakukan. Sedangkan yang berkaitan
dengan perbuatan melawan hukum, undang-undang narkotika secara normatif, telah menetapkan
bahwa jenis perbuatan yang secara tegas dilarang oleh undang-undang tersebut. Hal ini dipertegas
dengan rumusan bahwa tindak pidana di bidang narkotika adalah kejahatan. Percobaan atau bantuan
untuk melakukan tindak pidana dianggap sebagai kejahatan.
2. Pengertian Tentang Narkotika dan Jenis-jenisnya
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sitensis
maupun semi sitensis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan. 82
Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan
penyakit tertentu. Namun, jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar
pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat
khususnya generasi muda. Hal ini akan lebih merugikan jika disertai dengan penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan
nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.

82

Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Pasal 1

Pengertian narkotika dalam UU No. 35 Tahun 2009 adalah tanaman papever, opium mentah,
opium masak, seperti candu, jicing, jicingko, opium obat, morfina, tanaman koka, daun koka,
kokaina mentah, kokaina, ekgonina, tanaman ganja, damar ganja, garam-garam atau turunannya dari
morfin dan kokaina. Bahan lain, baik alamiah, atau sitensis maupun semi sitensis yang belum
disebutkan yang dapat dipakai sebagai pengganti morfina atau kokaina yang ditetapkan Menteri
Kesehatan sebagai narkotika, apabila penyalahgunaannya dapat menimbulkan akibat ketergantungan
yang merugikan, dan campuran- campuran atau sediaan-sediaan yang mengandung garam-garam
atau turunan-turunan dari morfina dan kokaina, atau bahan-bahan lain yang alamiah atau olahan
yang ditetapkan menteri kesehatan sebagai narkotika. 83
Berdasarkan rumusan Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 diatas, dapat ditarik
kesimpulan, bahwa tanaman atau barang ditetapkan sebagai narkotika atau bukan setelah melalui
uji klinis dan labotarium oleh Depertemen Kesehatan.Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009
tentang Narkotika membagi narkotika menjadi tiga golongan, sesuai dengan Pasal 6 ayat 1:
1. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai
potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contohnya antara lain: Kokain,
Amphetamine, Ganja,Methamphetamine, Tanaman papaver somniverum, Opium Masak
seperti Candu, jicing dan jicingko, Tanaman Koka, Daun Koka, Kokain Mentah, Kokaina,
dan lainnya. Narkotika Golongan I ini ada 65 (enam puluh lima) macam.
2. Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai
pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/ atau untuk tujuan pengembangan
ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.Contoh
Narkotika

83

Ibid,.

Golongan

II

antara

lain:

Morfin,

Metadone,Petidin,

Alfasetilmetadol,

Alfametadol, Betamedtadol, Betaprodina, Dekstromoramida, Diapromida, Hidromorfinol,
Isometadonia, Fenazosina, Fentatil, Hidromorfina, Fentanil, Klonitazena, dan lainnya.
Narkotika Golongan II ini berjulumlah 86 (delapan puluh enam) macam.
3. Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan
dalam terapi dan/ atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi
ringan mengakibatkan ketergantungan. Contoh Narkotika Golongan III antara lain:
Buprenorfin,kodeina, Asetildihidrokodeina, polkodina, Etilmorfina, Nikokodina, Polkodina
dekstromoramida, Diampromida, propiram dan lainnya. Termaksud Narkotika Golongan III
ini ada 14 ( empat belas ) macam termaksud beberapa campuran lainnya.
Sistem hukum di Indonesia, penyalahgunaan narkotika dikualifikasi sebagai kejahatan di
bidang narkotika yang diatur dalam UU No. 35 tahun 2009 tentang narkotika. “Khusus dalam
masalah penyalahgunaan narkotika ketentuan-ketentuan hukum yang sudah ada belum dapat
menjangkaunya, sebab ketentuan-ketentuan yang masih lama memiliki beberapa kelemahan, antara
lain”: 84
1. Tidak adanya keseragaman dalam pengertian narkotika.
2. Sanksi yang terlalu ringan dibanding dengan penyalahgunaan narkotika.
3. Ketidaktegasan dalam pemberantasan penjual, pemilik, pemakai, pengedardan penyimpanan
narkotika.
4. Ketidakserasian antara ketentuan hukum pidana mengenai narkotika.
Undang-undang No.35 Tahun 2009 tentang narkotika disamping mengatur penggunaan
narkotika,juga mengatur secara khusus ketentuan pidana sebagaimana yang diatur dalam Bab XV
Pasal 111 sampai dengan Pasal 148 yang berjumlah 37 pasal. Semua tindak pidana yang diatur
dalam undang-undang tersebut merupakan kejahatan, alasannya adalah bahwa narkotika
dipergunakan untuk pengobatan dan kepentingan ilmu pengetahuan, maka apabila ada perbuatan

84

Ibid, hal. 12.

diluar kepentingan-kepentingan tersebut sudah merupakan kejahatan mengingat besarnya akibat
yang ditimbulkan dari pemakaian narkotika secara tidak sah.
3.

Pengaturan Peran Serta Masyarakat Menurut Undang-undang No. 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika
Selain memberikan kewenangan yang besar terhadap penegak hukum, khususnya BNN,

Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 juga mewajibkan masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Masyarakat
dijadikan seperti penyelidik dengan cara mencari, memperoleh, dan memberikan informasi dan
mendapatkan pelayanan dalam hal-hal tersebut. Dalam undang-undang ini masyarakat tidak
diberikan hak untuk melakukan penyuluhan, pendampingan dan penguatan terhadap pecandu
narkotika. 85
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 104 dan Pasal 54 UndangUndang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika menegaskan bahwa masyarakat mempunyai
kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperanserta membantu pencegahan, pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor Narkotika. 86
Peran serta masyarakat ialah peran aktif masyarakat untuk mewujudkan upaya
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. 87Hak masyarakat dalam upaya
pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika
diwujudkan dalam bentuk: 88
a. mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak
pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
b. memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang
adanya dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika kepada
85

Undang-Undang No.35 tahun 2009 tentang Narkotika pada Bab XIII pasal 104-108
Ibid,.
87
Siswantoro Sunanto, Penegakan Hukum Psikotropika, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 157.
88
Ibid, pasal 106.
86

penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
c. menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum
atau BNN yang menangani perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
d. memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada
penegak hukum atau BNN;
e. memperoleh perlindungan hukum pada saat yang bersangkutan melaksanakan haknya
atau diminta hadir dalam proses peradilan.
Pemerintah memberikan penghargaan kepada penegak hukum dan masyarakat yang
telah berjasa dalam upaya pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika dan prekursor narkotika.
Pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 dilakukan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan: 89
1. Aspek Model Moral Dennis L.Thombs. Aspek lebih kepada teori yang memandang
penyebab terjerumusya seseorang menjadi pecandu karena terjadi degradasi moral,maka
untuk penyembuhannya harus melalui tempatan yang disertai dengan penanaman nilai-nilai
moral yang berlaku di masyarakat, antara lain dengan memberikan hukuman penjara.
2. Aspek pendekatan Disease Model (model Penyakit), menggap kecanduan sebagai penyakit
adksi yang bersifat kronis, progresif, dan fatal, oleh karenanya penyembuhannya melalui
terapi dan rehabilitasi medis. Menurut Dr. Elfrin Jellineck melalui penelitiannya telah
mengembangkan dasar medis dari paradigm dan ruang lingkup efek penyakit bukan sekadar
proses biokimia dalam diri pecandu, namun merambahi ke aspek spiritual sehinga
penyembuhannya pun membutuhkan pendekatan spiritual.
3. Pengalaman empiric di berbagai pelososk negeri ini terhadap stigma pecandu telah mengakar
kuat. Bahkan kini telah tumbuh menjadi gagasan dan keyakinan masyarakat yang telah
menghubungkan pecandu Narkoba dengan perilaku jahat, telah berkembang lama dan
mendunia menjadi pengalaman masyarakat dalam memperlakukana pecandu. Stigma ini pula
yang membuat banyak pecandu yang menjadi korban, mengucilkan diri dan takut berobat ke
fasilitas rehabilitasi.
4. Aspek kehidupan sosial. Peran serta masyarakat di bidang kehidupan sosial dalam mencegah
peredaran gelap Narkoba perlu mencermati hal-hal yang berkaitan dengan gangguan
penggunaan zat narkotika dan psikotropika. Masalah ini dapat menimbulkan berbagai
problem sosial, antara lain; dalam upaya untuk mendapatkan zat karena dorongan yang
begitu besar mereka akan berbuat “apa saja”, untuk mendapatkannya seperti; pemaksaan
sampai pada tindak kekerasan atau pembunuhan; pencurian, perampokan; perampasan;
jambret; menjual diri; korupsi; penggelapan uang perusahaan, dan lain-lain. Akibat perilaku
di atas akan terjadi hubungan dengan anggota keluarga, teman, pasangan akan terganggu,
misalnya: pertengkaran; keretakan dalam rumah tangga dan perceraian; diberhentikan dari
89

hal. 37.

Badan Narkotika Nasional RI, Buku P4GN Bidang Pemberdayaan Masyarakat, (Jakarta: BNN RI, 2010),

5.

6.

7.

8.

pekerjaan, dikeluarkan dari sekolah, dan lain-lain. Dalam kondisi intoksikasi, dimana
dijumpai tingkah laku yang maladaptif, kendala emosi terganggu, mudah tersinggung
sehingga menimbulkan tindak kekerasan dan perilaku kriminal, seperti; pembunuhan,
pemerkosaan, dapat juga terjadi kecelakaan lalu lintas yang tidak hanya membahayakan
dirinya, tetepi juga tehadap lingkungannnya.
Dari aspek agama. Narkoba merupakan masalah nasional yang merupakan hal yang terjadi
akibat kelakuan remaja yang ingin merasakan keenakan sesaat. Pada saat ini pemerintah
bersama tokoh-tokoh agama dan kalangan masyarakat masih berusaha untuk menghilangkan
kebiasaan buruk yang sering dilakukan oleh masyarakat khususnya oleh para remaja. Dalam
masalah ini agama memberikan arahan tentang hal-hal yang sebenarnya tidak perlu
dilakukan oleh masyarakat karena menggunakan narkotika melawan hidup. Orang-orang
yang menyalahgunakan obat-obatan hamper selalu diakibatkan oleh pelarian dari
tanggungjawab yang sebenarnya dapat dihindari dan ia tidak memahami atau kehilangan
makna dan nilai hidup.
Aspek pengurangan pemasukan BNN sebagai focal point dalam pemberantasan Narkoba
membutuhkan peran serta aktif masyarakat termasuk dalam aspek pengawasan peredaran
Narkoba. Permasalahan yang terus cenderung terjadi adalah bahwa dengan penutupan salah
satu jalur pemasukan berakibat membuka jalur-jalur pemasukan yang lain. Demikian juga
dengan menyingkirkan satu pemasok mengakibatkan sejumlah pemasukan lain muncul.
Pengurangan permintaan dapat dilakukan dengan memberikan pendidikan usia dini tentang
bahaya Narkoba, sehingga tumbuh dan berkembangnya perilaku kebal terhadap Narkoba
akan mengurangi permintaan, sehingga dari waktu ke waktu akan semakin berkurang
terhadap permintaan Narkoba.
Aspek perubahan paradigma penanganan pecandu. Bahwa pergeseran paradigma masyarakat
terhadap pecandu dari kriminalisasi menjadi humanis dan realistis telah terjadi seiring
lahirnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 telah mendorong terjadinya bagi perubahan
dalam penanganan Narkoba terutama aspek pencegahan, pemberantasan dan
penyalahgunaan. Lihat saja ancaman hukuman pelaku kejahatan narkotika kini jauh lebih
keras penanganan korban lebih humanis, dan dalam aspek pencegahan yang melibatkan
masyarakat. Lebih dari dua dasawarsa paradigm pecandu dikriminalisasi dan di-stigma
negatif oleh masyarakat. Harapan terhadap paradigma baru adalah lahirnya cara pandang dan
perlakuan terhadap pecandu bukan lagi kriminal, namun korban yang harus ditolong guna
penyembuhannya. Paradigma ini menjadi lebih humanis dalam memperlakukan
penyalahguna Narkoba. Kini pecandu mulai menghadapi respon dan dukungan kondusif
lingkungan bukan penolakan.
Aspek stigma (stempel negative) untuk pecandu ditengah masyarakat. Kondisi pandangan
masyarakat terhadap stigma pecandu Narkoba. (1). Pandangan masyarakat terhadap pelaku
kejahatan pada umumnya sinis, dan skeptic. Misalnya saja terhadap residivis, eks tahanan
politik, termasuk pecandu Narkoba. Pengalaman empirik menegaskan bahwa pecandu
Narkoba merupakan korban yang diberikan stigma sebagai kriminal. Simak saja perundangundangan yang berlaku kebanyakan menjatuhkan hukuman didalam penjara kepada pecandu.
(2). Masih rendahnya kepedulian terhadap pecandu. Pengalaman yang berkembang di
masyarakat, pada umunya menutup diri untuk bergaul dengan pecandu meskipun mereka
telah sembuh dan bertobat. (3). Stigma pecandu sebagai biang kerok terjadinya kriminalitas.
Pecandu selama ini hanya mendapatkan stigma hingga sebagian menggangap sebagi
samapah masyarakat yang harus disingkirkan, dipenjara atau bila perlu dihapuskan dari
makhluk bumi ini. (4). Pecandu belum sepenuhnya mendapatkan ruang pemulihan pecandu
yang memadai. Kurang lebih 30 s/d 40% penjara di seluruh Indonesia kebanyakan kasus

Narkoba dan tidak tertutup kemungkinan angka ini akan terus meningkat jika pemerintah,
aparat dan pihak-phak terkait tidak segera menanggapi, memutuskan dan merealisasikan
tindakan langkah preventif disertai tindakan nyata untuk pemulihan si pecandu. (5).
Perlakuan yang diskriminatif. Sebagai kaum minoritas (minority society), pecandu sangat
rentan akan pelanggaran hak asasi manusia. (6). Stigma negatif terus berkembang. Pecandu
Narkoba, sekeras apa pun dia berusaha, tidak bisa sepenuhnya sembuh. Mereka selalu
identik dengan kekerasan, bertingkah seenaknya, menggangu orang lain, dan merusak.
Bahkan dianggap sebagai sampah masyarakat. Stigma negative itu yang akhirnya kembali
membuat mantan pecandu Narkoba kembali terpuruk. Mereka kembali terbenam dalam
gelimangan Narkoba.

4. Peran Serta Masyarakat dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2010 Tentang Badan Narkotika Nasional.
Peran serta masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana narkotika juga terdapat dalam
Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional Pasal 49: dalam rangka
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berperan serta dan
membantu pelaksanaan P4GN, BNN dapat memfasilitasi dan mengkoordinasikan pembentukan
wadah peran serta masyarakat. 90
Pasal 50 menyebutkan: wadah peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
49 dapat berupa forum koordinasi, pusat pelaporan dan informasi, serta wadah lainnya sesuai
kebutuhan. 91
Peran serta masyarakat yang dikumpulkan dalam suatu wadah oleh BNN dapat menjadi
suatu kekuatan tersendiri karena masyarakat mempunyai legitimasi untuk melakukan pencegahan
dan pemberantasan narkotika tanpa adanya hak yang ditentukan oleh Undang-Undang. Pada Bab II
tentang Peran Serta Masyarakat Pasal 2 disebutkan: 92
(1) Peran serta masyarakat diwujudkan dalam bentuk:
a. Mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah
tindak pidana Narkotika dan Prekusor Narkotika; dan
90

terjadi

Direktorat Hukum, Deputi Hukum dan Kerjasama Badan Narkotika Nasional, Himpunan PerundangUndangan Republik Indonesia, (Jakarta, BNN RI, 2011), hal.261.
91
Ibid,.
92
hal.384.

b. Melaporkan bila mengetahui adanya penyalahgunaan atau peredaran
gelap
Narkotika dan Prekusor Narkotika.
(2) Selain bentuk peran serta sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga diwujudkan dalam
bentuk:
a. Mencari, memperoleh, memberikan informasi dan melaporkan adanya
penyalahgunaan atau peredaran gelap Psikotropika, Prekusor, dan bahan
adiktif
lainnya kecuali bahan adiktif tembakau dan alkohol; dan
b. Desiminasi informasi, advokasi, pemberdayaan alternatif, dan
penjangkauan
penyalahgunaan dan/atau pecandu Narkotika, Psikotropika, dan bahan adiktif lainnya
kecuali bahan untuk tembakau dan alkohol.
Wadah peran serta masyarakat diatur dalam peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional No
6 Tahun 2012, pada Bab III Pasal 3 yang menyebutkan: 93
(1) Wadah peran serta masyarakat dapat berupa forum koordinasi, pusat pelaporan dan
informasi, serta wadah lainnya sesuai kebutuhan.
(2) Keanggotaan wadah peran serta masyarakat berasal dari Organisasi Non Pemerintahaan atau
Lembaga Swadaya Masyarakat yang memiliki visi dan misi di bidang pencegahan dan
peredaran gelap Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan bahan adiktif lainnya. ( P4GN)
Pasal 4
(1) Badan Narkotika Nasional (BNN) memfasilitasi dan mengkoordinasikan penentuan bentuk
dan susunan organisasi, rincian tat kerja, penunjukan pemimpin, pengurus, dan keanggotaan
wadah peran serta masyarakat.
(2) Pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pada tingkat pusat dilakukan oleh Deputi
Pemberdayaan Masyarakat.
(3) Pada tingkat Provinsi dilakukan oleh Kepala BNN Provinsi dan pada tingkat Kabupaten/kota
dilakukan oleh Kepala BNN Kabupaten/kota.

Peran serta masyarakat dan dinaungi oleh suatu wadah yang difasilitasi oleh BNN RI akan
semakin memperkuat keikutsertaan masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana narkotika.
Pada konsepnya semua aturan yang ada sebagai pendukung tindakan masyarakat untuk menjalankan
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredan gelap narkotika.

93

Ibid, 385.

5.

Peran Serta Masyarakat dalam Inpres No. 12 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan
Kebijakan dan Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan
Peredaran Gelap Narkoba Tahun 2011 – 2015
Pencapaian “Indonesia bebas Narkoba”, diperlukan Kebijakan dan Strategi nasional

Pencegahan Dan Pemberantasan Penyalahgunaan Dan Peredaran Gelap Narkoba (Jakstranas P4GN)
sebagai bentuk komitmen bersama seluruh komponen masyarakat, bangsa dan negara Indonesia,
maka presiden menginstruksikan untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas
dan kewenangan masing-masing instansi terkait dalam rangka pelaksanaan Jakstranas P4GN tahun
2011 – 2015. 94
A. Subjek / Pelaksana:
1. Para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu II;
2. Sekretaris Kabinet;
3. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia;
4. Jaksa Agung;
5. Panglima Tentara Nasional Indonesia;
6. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal;
7. Para Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian;
8. Para Gubernur; dan
9. Para Bupati/Walikota,

94

Inpres RI No. 12 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi Nasional Pencegahan dan
Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba Tahun 2011 – 2015

B. Objek Kebijakan P4GN:
Mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masingmasing, dalam rangka pelaksanaan Jakstranas P4GN 2011-2015, yang meliputi bidang : 95
1. Pencegahan;
2. Pemberdayaan Masyarakat;
3. Rehabilitasi; dan
4. Pemberantasan.
C. Fokus Bidang Pencegahan adalah sebagai berikut:
1. Bidang Pencegahan, memfokuskan pada:
a. Upaya menjadikan siswa/pelajar pendidikan menengah dan mahasiswa memiliki pola
pikir, sikap, dan terampil menolak penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba;
b. Upaya menjadikan para pekerja memiliki pola pikir, sikap dan terampil menolak
penyalahguna dan peredaran gelap Narkoba.
2. Bidang Pemberdayaan Masyarakat, memfokuskan pada:
a. Upaya menciptakan lingkungan pendidikan menengah dan Kampus bebas dari
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba terutama ganja, shabu, ekstasi, dan
heroin;
b. Upaya menciptakan lingkungan kerja bebas dari penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkoba;
c. Upaya penyadaran dengan pemberdayaan masyarakat di daerah-daerah yang secara
sosiologis dan ekonomis melakukan penanaman ganja.
3. Bidang Rehabilitasi memfokuskan pada:
a. Upaya mengintensifkan wajib lapor pecandu narkotika;
95

Inpres RI No. 12 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi Nasional Pencegahan dan
Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba Tahun 2011 – 2015

b. Upayamemberikan pelayanan rehabilitasi sosial kepada penyalahguna, korban
penyalahgunaan dan pecandu Narkoba.
c. Upaya pembangunan kapasitas lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi secara
sosial secara prioritas berdasarkan kerawanan daerah penyalahguna Narkoba;
d. Upaya pembinaan lanjut kepada mantan penyalahguna, korban penyalahgunaan, dan
pecandu Narkoba.
4. Bidang pemberantasan, memfokuskan pada:
a. Upaya pengawasan ketat terhadap impor, produksi, distribusi, penggunaan (end user)
ekspor, dan re-ekspor bahan kimia prekusor dan penegakan hukum terhadap jaringan
tersangka yang melakukan penyimpangan;
b. Upaya pengungkapan pabrikan gelap Narkoba dan/ atau laboratorium rumahan dan
jaringan sindikat yang terlibat;
c. Upaya pengungkapan tindak pidana pencucian uang yang berkaitan dengan tindak
pidana narkotika secara tegas dan keras sesuai peraturan perundang-undangan;
d. Upaya penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, dan peradilan jaringan sindikat
Narkoba baik dalam maupun luar negeri secara sinergi.

Dengan adanya Inpres No. 12 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi
Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba Tahun
2011-2015 diharapkan upaya masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana narkotika dapat
terlaksana dengan baik dan didukung oleh berbagai pihak terkait.

D. Peran Badan Narkotika Nasional (BNN) RI Dalam Pemberdayaan Masyarakat untuk
Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika
1. Sejarah Singkat Badan Narkotika Nasional
Sejarah penanggulangan bahaya Narkotika dan kelembagaannya di Indonesia dimulai Tahun
1971 pada saat dikeluarkannya Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) nomor 6 Tahun 1971
kepada Kepala Badan Koordinasi Intelligen Nasional (BAKIN) untuk menanggulangi 6 (enam)
permasalahan nasional yang menonjol, yaitu pemberantasan uang palsu, penanggulangan
penyalahgunaan Narkoba, penanggulangan penyeludupan, penanggulangan subversi, pengawasan
orang asing.
Berdasarkan Inpres tersebut Kepala BAKIN membentuk Bakolak Inpres Tahun 1971 yang
salah satu tugas dan fungsinya adalah menanggulangi bahaya Narkoba. Bakolak Inpres adalah
sebuah badan koordinasi yang beranggotakan wakil-wakil dari Departemen Kesehatan, Departemen
Sosial, Departemen Luar Negeri, Kejaksaan Agung, dan lain-lain, yang berada di bawah komando
dan bertanggungjawab kepada Kepala BAKIN. Badan ini tidak mempunyai wewenang operasional
dan tidak mendapat alokasi anggaran sendiri dari APBN melainkan disediakan berdasarkan
kebijakan internal BAKIN.
Pada masa itu, permasalahan Narkoba di Indonesia masih merupakan permasalahan kecil
dan Pemerintah Orde Baru terus memandang dan berkeyakinan bahwa permasalahan Narkoba di
Indonesia tidak akan berkembang karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang ber-Pancasila dan
agamais. Pandangan ini ternyata membuat pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia lengah terhadap
ancaman bahaya Narkoba, sehingga pada saat permasalahan Narkoba meledak dengan dibarengi
krisis mata uang regional pada pertengahan Tahun 1997, pemerintah dan bangsa Indonesia seakan
tidak siap untuk menghadapinya,

berbeda dengan Singapura, Malaysia dan Thailand yang sejak

Tahun 1970 secara konsisten dan terus menerus memerangi bahaya Narkoba.

Menghadapi permasalahan Narkoba yang berkecenderungan terus meningkat, Pemerintah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) mengesahkan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
Berdasarkan kedua Undang-Undang tersebut, pemerintah (Presiden Abdurrahman Wahid)
membentuk Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN), dengan Keputusan Presiden Nomor
116 Tahun 1999. BKNN adalah suatu Badan Koordinasi penanggulangan Narkoba yang
beranggotakan 25 Instansi Pemerintah terkait.
BKNN diketuai oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) secara ex-officio.
Sampai Tahun 2002 BKNN tidak mempunyai personil dan alokasi anggaran sendiri. Anggaran
BKNN diperoleh dan dialokasikan dari Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia
(Mabes Polri), sehingga tidak dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara maksimal.
BKNN sebagai badan koordinasi dirasakan tidak memadai lagi untuk mengahadapi ancaman
bahaya Narkoba yang makin serius. Oleh karenanya berdasarkan Kepustusan Presiden Nomor 17
Tahun 2002 tentang badan Narkotika Nasional, BKNN diganti dengan Badan Narkotika Nasional
(BNN). BNN sebagai sebuah lembaga forum dengan tugas mengkoordinasikan 25 instansi
pemerintah terkait dan ditambah dengan kewenangan operasional, mempunyai tugas dan fungsi;
1). mengoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan
nasional penanggulangan Narkoba; dan 2). mengkoordinasikan pelaksanaan kebijakan nasional
penanggulangan Narkoba.
Mulai Tahun 2003 BNN baru mendapatkan alokasi anggaran dari APBN. Dengan alokasi
anggaran APBN tersebut, BNN terus berupaya meningkatkan kinerjanya bersama-sama dengan
BNP dan BNK. Namun karena tanpa struktur kelembagaan yang memiliki jalur komando yang tegas
dan hanya bersifat koordinatif (kesamaan fungsional semata), maka BNN dinilai tidak dapat bekerja

optimal dan tidak mampu menghadapi permasalahan Narkoba yang terus meningkat dan makin
serius.
Oleh karena itu pemegang otoritas dalam hal ini segera menerbitkan Peraturan Presiden
Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi (BNP) dan
Badan Narkotika Kabupaten/Kota (BNK), yang memiliki kewenangan operasional melalui
kewenangan anggota BNN terkait dalam satuan tugas, BNN-BNP-BNKab/Kota merupakan mitra
kerja pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota yang masing-masing bertanggung jawab
kepada Presiden, Gubernur dan Bupati/Walikota, dan yang masing-masing (BNP dan BN Kab/Kota)
tidak mempunyai hubungan srtuktural-vertikal dengan BNN.
Merespon perkembangan permasalahan Narkoba yang terus meningkat dan makin serius,
maka Ketetapan MPR-RI Nomor VI/MPR/2002 melalui Sidang Umum Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) Tahun 2002 telah
merekomendasikan kepada

Dokumen yang terkait

Peranan Badan Narkotika Nasional (BNN) Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

33 230 74

SKRIPSI PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA MENGUNAKAN NARKOTIKA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA MENGUNAKAN NARKOTIKA YANG DILAKUKAKAN ANGGOTA KEPOLISIAN DENGAN UNDANG UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA.

0 2 11

PENDAHULUAN PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA MENGUNAKAN NARKOTIKA YANG DILAKUKAKAN ANGGOTA KEPOLISIAN DENGAN UNDANG UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA.

0 2 13

PENUTUP PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA MENGUNAKAN NARKOTIKA YANG DILAKUKAKAN ANGGOTA KEPOLISIAN DENGAN UNDANG UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA.

0 2 4

EFEKTIVITAS PENERAPAN UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG TINDAK PIDANA NARKOTIKA Efektivitas Penerapan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Tindak Pidana Narkotika (Studi Kasus di Wilayah Kota Surakarta).

0 3 19

PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA.

0 1 9

Peran Serta Masyarakat Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009

0 0 14

Peran Serta Masyarakat Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009

0 0 2

Peran Serta Masyarakat Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009

0 1 21

Peran Serta Masyarakat Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009

0 0 4