Kebijakan Non Penal Dalam Upaya Pencegahan Dan Perlindungan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafiking) (Studi Kasus Provinsi Sumatera Utara)

BAB II
KEBIJAKAN NON PENAL DALAM REGULASI SECARA NASIONAL DAN
LOKAL KUSUSNYA SUMATERA UTARA TERKAIT PENCEGAHAN DAN
PERLINDUNGAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG (TRAFIKING)

D. Kebijakan Kriminal Dalam Pencegahan dan Perlindungan Korban
Perdagangan Orang
1. Kebijakan Penal
Istilah “kebijakan” yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris “policy” dan
dalam bahasa belanda “politiek” sedangkan untuk penggunaan istilah “penal”
diartikan sebagai penggunaan hukum pidana. Jika dirangkai dalam penggunaan
bahasa singkat kita, kebijakan hukum pidana bisa disebut juga sebagai “politik
hukum pidana” yang merangkum pokok bahasan politik hukum secara keseluruhan
karena hukum pidana adalah satu bagian dari ilmu hukum. 42
Penggunaan hukum pidana menjadi salah satu upaya dalam penanggulangan
kejahatan,

dengan

memfungsikan


sanksi

hukumnya

berupa

pemidanaan.

Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana termasuk sebagai
proses dalam mengatasi permasalahan sosial dalam bidang kebijakan kriminal
penegakan hukum. 43

42

Mahmud Mulyadi, “Criminal Policy Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy
dalam Penanggulangan Kejahatan dan Kekerasan” (Penerbit Pustaka Bangsa Press-Medan-2008), hal
65
43
Analisa penulis yang dibaca dari Teguh Prasetyo, “Kriminaslisasi Dalam Hukum Pidana”,
(Penerbit Nusa Media-Bandung, 2011), hal 19


Penanggulangan

lewat

jalur

kebijakan

penal,

diartikan

satu

usaha

penanggulangan kejahatan yang menitik beratkan pada sifat “revresif” yakni :
(penindasan/pemberantasan/penumpasan) setelah kejahatan itu terjadi. Marc Ancel
menyatakan bahwa “modern criminal science” terdiri dari tiga kompenan

“criminology”, “criminal law”, dan “penal policy”. Lebih lanjut disebutkan beliau
“penal policy” adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai
tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih
baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang,
tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para
penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. 44
Menurut Solly Lubis Politik Hukum adalah kebijaksanaan politik yang
menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku, mengatur berbagai hal
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. 45 Menurut Sudarto, Politik Hukum adalah :
a. Usaha mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan
dan situasi pada suatu saat;
b. Kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa
digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat
dan mencapai apa yang dicita-citakan. 46

Pengertian diatas menyatakan bahwa pelaksanaan politik hukum pidana
merupakan satu wujud pilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana

44


Refrensi dari buku Barda Nawawi Arief, Op.cit, hal 23
M. Solly Lubis, “Seba-serbi Politik & Hukum”, (Penerbit PT. Sofmedia,Jakarta-2011) hal 51
46
Refrensi Barda Nawawi Arief, Op.cit, hal 26
45

yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dalam
kesempatan lain beliau menyatakan, bahwa melaksanakan politik hukum pidana
berarti, usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan
keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. 47
Lebih lanjut A. Mulder mengemukakan secara rinci tentang ruang lingkup
politik hukum pidana yang menurutnya bahwa politik hukum pidana adalah garis
kebijakan untuk menentukan : a. seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang
berlaku perlu dilakukan perubahan atau diperbaharui; b. apa yang dapat diperbuat
untuk mencegah terjadinya kejahatan; c. cara bagaimana penyidikan, penuntutan,
peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan. 48
Defenisi Mulder diatas terinspirasi dari pendapat Marc Ancel terhadap “sistem
hukum pidana” yang menurutnya “bahwa tiap masyarakat yang terorganisir memiliki
sistem hukum pidana yang terdiri dari : a. peraturan-peraturan hukum pidana dan

sanksinya, b. suatu prosedur hukum pidana, dan c. mekanisme pelaksanaan pidana. 49
Upaya penanggulangan kejahatan mempergunakan hukum pidana pada
hakikatnya merupakan suatu usaha penegakan hukum. Artinya secara politik atau
kebijakan hukum pidana, itu merupakan satu bagian kebijakan dalam penegakan
hukum (law inforcement policy), sedangkan proses perumusan atau pembuatan
hukumnya (undang-undang) pidana menjadi bagian terintegral dari usaha melindungi
masyarakat (social welfare) yang disebut sebagai bagian kebijakan atau politik sosial
47

Refrensi Barda Nawawi Arief, Op.cit
Refrensi Mahmud Mulyadi, Opc.cit, hal 67
49
Rferensi Barda Nawawi Arief, Op.cit, hal. 27

48

(social policy), yang dapat diartikan bahwa kebijakan sosial itu segala usaha yang
rasional dalam pencapaian kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup
perlindungan masyarakat. 50
Permasalahan sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab I dalam latar belakang,

peningkatan kasus yang terjadi setiap tahun dari 49 korban yang telah melakukan
pengaduan, pelaku yang dilaporkan bagai kebal hukum. Menunjukan lemahnya
sistem penegakan hukum (law enforcement) dari pencapaian azas tanggung jawab
Negara dalam melindungi korban. Kemauan (will) dari aparatur penegak hukum
cendrung diragukan pada akhirnya dipertanyakan keseriusannya dalam berupaya
melindungi korban perdagangan orang sekaligus menanggulangi kejahatan.
Sebagaimana halnya ungkapan dari keraguan yang dikutip secara tidak
langsung dari Mahmud Mulyadi yakni “mungkinkah pemidanaan dapat dijadikan
sebagai instrument dalam pencegahan kejahatan terhadap anggapan pemidanaan
bukan mengurangi terjadinya kejahatan tetapi justru menambah dan membuat
kejahatan semakin marak” 51. Keraguan itu muncul karena gagalnya lembaga
permasyarakatan dalam mengintegrasikan narapidana kepada kehidupan sosial yang
lebih baik.
Pertanyaan diatas tidak perlu muncul, bila ada sinkronisasi antara pencapaian
tujuan hukum 52 dan fungsi hukum 53 itu sendiri. Mengacu kepada pendapat para

50

Barda Nawawi Arief, Ibid, hal 28
Mahmud Mulyadi, Op.cit, hal 67

52
Pendapat Gustav Radbruch dalam buku Achmad Ali, “Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian
Filosofis dan Sosiologis”, (PT. Toko Gunung Agung Tbk-2002), hal 83
51

sarjana diatas lalu dihubungkan dengan teori pencegahan yang dikemukakan oleh
Peter Hoefnagels upaya kebijakan kriminal yang bertujuan sebagai “kebijakan yang
dapat merubah prilaku manusia untuk berbuat lebih baik”.
Aplikasi pelaksanaan undang-undang (Crim law application-practical
criminology) berfungsi dan terlaksana tentulah pertanyaan-pertanyaan dan keraguraguan terhadap fungsi penggunaan pidana terhadap permasalahan penghapusan
tindak pidana perdagangan orang ini tidak perlu muncul.
Sebagaimana ungkapan sarjana yang dipahami penulis dari Inkeri Antilla
atas permasalahan kejahatan yang dihadapi dengan fungsi pidana telah berlangsung
beratus-ratus tahun lalu, secara gambling Herbert L Packer juga mengemukakan
dimana “usaha pengendalian perbuatan anti sosial dengan mengenakan pidana pada
seseorang yang bersalah melanggar peraturan pidana”, merupakan “suatu problem
sosial yang mempunyai dimensi hukum yang penting” 54.
Ketidakmutlakan bidang kebijakan dikarenakan hakikat masalah kebijakan,
orang dihadapkan pada penilaian dan pemilihan dengan berbagai alternatif. Dengan
demikian masalah pengendalian atau pencegahan kejahatan menggunakan hukum

pidana bukan hanya merupakan problem sosial tetapi seperti yang diungkapkan
Packer bisa jadi merupakan masalah dari kebijakan itu sendiri (the problem of
policy) 55.

53

Lihat buku Achmad Ali, Op.cit, hal 88
Analisa penulis dari Teguh Prasetyo, Op.cit, hal 20
55
Analisa Refrensi dari Teguh Prasetyo, ibid

54

Kaitannya dalam penegakan hukum tindak pidana perdagangan orang, selain
hasil akhir dari penggunaan hukum pidana dengan penerapan sanksi yang tidak
maksimal, kemauan dan keinginan dari penegak hukum dalam menjalankan wibawa
hukum (law enforcement) tidak berjalan. Demikian halnya proses perlindungan dalam
pengajuan ganti rugi, sebagaimana contoh kasus yang penulis tangani secara bersama
dengan beberapa organisasi kemasyarakatan yakni : Putusan Pengadilan Negeri
Medan No. 1554/Pid.B/2012/PN.Mdn tentang Putusan Restitusi dan Sanksi Pidana

terhadap pelaku, keberpihakan hukum hanya diatas kertas semata namun putusan
restitusi itu tidak mampu dieksekusi atau dianmaning.
Menjawab permasalahan diatas seyogianya kita kembali kepada semangat dan
tujuan dari satu kebijakan atau aturan hukum yang dibuat guna memberikan
kemanfatan, keadilan dan kepastian bagi semua pihak. Seandainya aturan kebijakan
itu tidak termanfaatkan, sepantasnya patut dipertanyakan, untuk apa disahkan dan
dilegalkan kalau hanya sebagai proses pencitraan Negara pada Internasional.
Sepatutnyalah guna memperkecil dan menurunkan jumlah korban, maka kebijakan
non penal baik sebelum terjadi kasus dan setelah terjadinya kasus perlu diwujudkan
sebagai pencegahan sedini mungkin terhadap penanggulangan kejahatan tersebut.

2. Kebijakan Non Penal
Penerapan kebijakan non penal lebih menitiktekankan terhadap tindakan
pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Sasaran utamanya bagaimana kebijakan itu
mampu menangani faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan tindak pidana

perdagangan orang dengan upaya “preventif” agar semua pihak bisa bergerak dan
bersinergi terhadap permasalahan-permasalahan sosial yang secara langsung atau
tidak langsung dapat menumbuh suburkan upaya percaloan dalam perekrutan tenaga
kerja untuk ekploitasi atau perbudakan.

Kerangka teori yang dirangkum dari pendapat Peter Hofnagels dalam
kebijakan

pencegahan

dan

penanggulangan

kejahatan

sebagaimana

halnya

dikemukakan oleh Barda Nawawi yakni 56:
a. Penerapan hukum pidana (criminal law application);
b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punisthment);
c. Mempengaruhi


pandangan

masyarakat

mengenai

kejahatan

dan

pemindanaan lewat media massa (influencing views of society on crime
and punishment mass media).
Mengacu kepada sistematika kebijakan kriminal yang telah ada usaha-usaha
kebijakan non penal dalam pencegahan dan perlindungan korban perdagangan orang
(trafiking) menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief dapat berupa :
Penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan tanggung
jawab sosial warga masyarakat, penggarapan jiwa masyarakat melalui pendidikan
moral, agama dan sebagainya, pengingkatan usaha-usaha kesejahteraan anak dan
remaja, kegiatan patroli dan pengawasan lainnya secara kontiniu oleh polisi dan
aparat kemanan lainnya. Usaha-usaha non penal ini dapat meliputi bidang yang
sangat luas di seluruh sector kebijakan sosial 57.

56

Barda Nawawi Arief, Op.cit, hal 56
Refrensi Abintoro Prakoso, “Kriminologi Hukum & Hukum Pidana”, (Penerbit Laksbang
Grafika-Yogyakarta), 2013, hal 159.
57

Pencegahan kejahatan (upaya non penal) memfokuskan diri pada campur
tangan sosial, ekonomi dan pelbagai area kebijakan publik dengan maksud mencegah
terjadinya kejahatan. Bentuk lain dari keterlibatan masyarakat, nampak dari upaya
pencegahan situasional dan peningkatan kapasitas masyarakat dalam penggunaan
sarana kontrol sosial informal. Peningkatan pencegahan kejahatannya berorientasi
pada pelaku atau offender-centred crime prevention dan berorientasi pada korban atau
victim-centred crime prevention 58.
Tujuan utama dari usaha-usaha non penal bagaimana mampu memperbaiki
kondisi-kondisi sosial tertentu, secara langsung mempunyai pengaruh preventif
terhadap kejahatan. Upaya keseluruhan kegiatan preventif non penal itu memiliki
kedudukan strategis dalam memegang posisi kunci yang seyogianya terus
diintensifkan dan diefektifkan.
Kegagalan dalam menggarap posisi strategis ini justru akan berakibat sangat
fatal bagi usaha penanggulangan kejahatan. Oleh karena itu suatu kebijakan kriminal
harus dapat mengintegrasikan dan mengharmonisasikan seluruh kegiatan preventif
non penal ke dalam satu sistem kegiatan Negara yang teratur dan terpadu.
Sebagaimana diungkapkan Radzinovics menyatakan :
“Criminal policy must combine the varior preventive activities and adjust them so as
to from a single comprehensive machine and finally coordinate the whole into an
arganized system of activity” 59

58
59

Ibid, hal 160
Ibid, hal 161

(Kebijakan criminal harus menggabungkan variasi kegiatan pencegahan dan
menyesuaikannya sehingga ada satu kesatuan yang komprehensif dan akhirnya dapat
terkordinasikan dalam satu kesatuan sistem yang sama “diterjemahkan langsung
penulis”).
Penulis merangkum beberapa kebijakan yang telah dilahirkan guna
memahami sistematika kebijakan antara keterkaitan peristiwa dengan pihak atau
subjek pemangku tanggung jawab yang mampu mendorong masyarakat untuk
bersikap dan bertindak dengan menghubungkan fungsi hukum sebagai asas rule of
law dalam kaitan efektifitas hukum itu 60. Dari kajian tersebut penulis mencoba
merangkai beberapa kebijakan hukum sebagai objek yang diteliti dalam tulisan ini,
dalam bentuk skema yakni :

60

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, “Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat”,
(PT. Raja Grafindo-Jakarta), 2013, hal. 70

Skema. 4
Rangkuman Kebijakan Pencegahan Dan Perlindungan Korban Tindak Perdagangan Orang dalam Pola Pendekatan
Non Penal di Sumatera Utara*)
Sebelum Terjadinya
Kasus
(PENCEGAHAN)

internasional***)

Sifat
Justicieble dan
Non Justiciable

saBJek hukum
PenanGGunG
JaWaB

Pemerintah

Penyusunan
Kebijakan dan
Program

UU No. 14 Tahun
2009 Pengesahan
Protokol Palermo
(mencegah,
menindak dan
menghukum
perdagangan orang)
Wujud Tanggung
Jawab dan
Komitmen Negara
sebagai Peserta

UU No. 21 Tahun 2007
tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan
Orang**)

Alokasi
Anggaran

UU No. 2 Tahun 2007
tentang Kepolisian

UU No. 40 Tahun
1999 tentang Pers

Azas Legalitas
Azas Kewajiban
Azas Partisipasi
Azas Preventif
Azas Subsidiritas
PP RI Nomor 9 Tahun 2008
tentang tata cara mekanisme
pelayanan terpadu bagu saksi
dan Korban Trafiking

Daerah***)
meDia
massa/Jur
nalis***)

Azas Equality Before
The Law

Peppres No.
69 Tahun
2008
tentang
Gugus

PPT/P2TP2A ↑)
Pelayanan Pengaduan

Pusat***)

Pemerintah

UU No. 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan
saksi Korban oleh LPSK

Azas Kebebasan Pers
Azas keseimbangan
dan keselarasan
Azas Praduga tidak
bersalah

Gugus Tugas ↑)
Mengkoordinasikan
upaya
pencegahan
Melaksanakan
advokasi,
pelatihan, kerja sama
Memantau
perkembangan
pelaksanaan
penegakan
hukum
Melaksanakan pelaporan dan
evaluasi

Setelah Terjadinya Kasus
(PERLINDUNGAN KORBAN)

Perda No. 6 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Perdagangan
Perempuan dan Anak
Pergubsu No.
54 Tahun
2010 Gugus
Tugas Provsu

Pergubsu No. 24 Tahun
2005 jo No. 53 Tahun
2010 RAP Trafiking

Pergubsu
No. 20
Tahun
2012 PSO

Rehabilitasi Kesehatan
Rehabilitasi Sosial
Pemulangan dan
Reintegrasi Sosial

Bantuan
Hukum
Pengajuan
Restitusi

masyarakat***)

Keterangan :
*) Rangkuman dari beberapa Kebijakan Hukum (sesuai dengan singkronisasi
hukum)
**) UU No. 21 Tahun 2007 sebagai Payung Hukum
***) Pemilik kewajiban sebagai pemangku tanggung jawab
↑) Lembaga koordinatif atau rujukan
Kebijakan mengikat dalam pencegahan dan perlindungan korban
perdagangan orang

Keterangan lanjutan :
Hubungan secara moral dan etika tanpa keterikatan langsung
Singkronisasai kebijakan non penal secara nasional
Singkronisasi kebijakan non penal tingkal lokal
Kebijakan pelaksana dan koordinatif pusat
Kebijakan Lokal
Pendekatan Penal dengan hukum pidana

E.

Regulasi Nasional Pencegahan dan Perlindungan Korban Perdagangan
Orang (Trafiking)
Permasalahan hangat isu perdagangan orang sudah cukup lama berlangsung,

hal itu dikarenakan kasus kejahatannya cukup terorganisir, sistimatis melibatkan
sindikat (banyak pihak). Guna pencegahan dan penanggulangan korban yang setiap
tahun jumlahnya mengalami peningkatan berbagai regulasi kebijakan secara nasional
dan lokal telah disahkan. Baik secara umum dan khusus dalam wujud komitmen
Negara dalam mengatur tugas dan tanggung jawab dalam mendorong para pihak
untuk berpartisipasi melakukan pencegahan dan perlindungan korban tindak pidana
perdagangan orang.
Permasalahan isu dalam tulisan ini, komitmen negara sudah cukup jelas dalam
menyikapi perlawanan terhadap perdagangan orang. Diawali dengan lahirnya RAN
(Rencana Aksi Nasional) Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan
Anak dan Pembentukan Gugus Tugas Nasional melalui Keppres No. 88 Tahun 2002.
Selanjutnya berbagai kebijakan hukum yang bertujuan dalam menyelamatkan
perempuan dan anak dari berbagai bentuk penindasan dan perbudakan perlahan-lahan
disahkan dan diratifikasi sebagai kebijakan nasional 61.
Sebelumnya kebijakan koordinasi penanganan korban secara khusus terhadap
korban kekerasan diatur melalui Kesepakatan Bersama antara Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial dan Kapolri tentang

61

Kepres No. 88 Tahun 2002 tentang RAN Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan
dan Anak

pelayanan terpadu korban kekerasan terhadap perempuan dan anak termasuk korban
kekerasan-trafiking 62. Lalu dilanjutkan pengesahan Undang-undang tentang trafiking
sebagai payung hukum acuan dalam pembahasan tulisan ini.
Konsep kebijakan kriminal dalam wujud pencegahan dan perlindungan, jika
dirujuk dari pemikiran Saparinah Sadli sebagaimana dikemukakan oleh Muladi dan
Barda Nawawi merumuskan kejahatan atau tindak kriminal merupakan salah satu
bentuk dari “prilaku menyimpang yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk
masyarakat, tidak ada masyarakat yang sepi dari kejahatan. Sehingga prilaku yang
menyimpang itu menjadi ancaman yang nyata dan ancaman terhadap norma-norma
sosial yang mendasarkan pada kehidupan dan keteraturan sosial, yang menimbulkan
ketegangan individual maupun ketegangan sosial” 63.
Ancaman lainnya, secara langsung berpotensi merusak tatanan sosial dan
ketertiban sosial, dengan demikian kejahatan itu menjadi satu permasalahan
kemanusian atau seperti dikatakan oleh Benedict S. Alper merupakan “The oldest
social problem” 64. Ancaman jika telah terjadi akan meninggalkan dampak yang
signifikan kepada korban. Menurut analisa penulis korban tindak pidana perdagangan
orang, juga merupakan bagian perkembangan keilmuan dan telah mendapat tempat

62

Kesepakatan Bersama Menteri Negara PP RI, Menteri Kesehatan RI, Menteri Sosial RI dan
Kapolri, tgl 23 Oktober 2002 (Buku diperbanyak oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan-2006)
63
Kutipan tidak langsung dari Muladi dan Barda Nawawi, “Teori-teori dan Kebijakan Pidana”
(Penerbit Alumni Bandung-1998), hal-148
64
Kutipan tidak langsung. Ibid

dalam kajian viktimologi, sebagai ilmu yang mempelajari korban dari berbagai
aspek 65.
Lebih lanjut Muladi menyebutkan bahwa secara keseluruhan viktimologi
bertujuan untuk :

66

a). Menganalisis berbagai aspek yang berkaitan dengan korban;

b). berusaha untuk memberikan penjelasan sebab musabab terjadinya viktimisasi; c).
mengembangkan sistem tindakan guna mengurangi penderitaan manusia dapat
diartikan sebagai sebuah ilmu yang mempelajari permasalahan tentang korban. Andi
Mattalatta menyimpulkan juga pengertian korban mendasari lahirnya kajian
viktimologi yang pada awalnya hanya terbatas pada korban kejahatan.
Perkembangan kajian victimologi awalnya dilihat dari konteks kejahatan yang
dikaitkan dengan pelakunya (victim offender relationship). Pengkajian terhadap
eksistensi korban perlahan dianggap semakin penting. Tujuannya guna meninjau
hubungan korban dengan pelaku dan melihat kepentingan proses peradilan pidana.
Baik berupa penetapan pertanggung jawaban pelaku, juga dalam rangka menentukan
bentuk besaran restitusi dan atau kompensasi yang akan diterima oleh korban.
Perkembangan modus operandi kejahatan perdagangan orang semakin tidak
berperikemanusiaan. Tujuannya kerap untuk eksploitasi seksual, kerja paksa,
perbudakan, pembantu rumah tangga, adopsi illegal, jeratan hutang, pengantin

65

Refrensi Adhi wibowo, “Aspek Perlindungan Hukum, Korban Amuk Massa Sebuah Tinjauan
Viktimologi” (Penerbit Thafa Media-2013), hal-22
66
Ibid

pesanan, tetapi berkembang pesat dengan modus perdagangan organ tubuh.67
Tindakan ini jelas illegal dan melanggar hak-hak azasi manusia. Dampaknya seperti
diuraikan di latar belakang permasalahan. Berdampak panjang, hingga mengalami
gangguan fisik dan mental. Rentan terhadap tindak kekerasan, kehamilan tidak
dikehendaki, infeksi HIV/AIDS dan penyakit-penyakit menular seksual lainnya.
Semua kebijakan tertulis telah dirangkai pada Skema 4 sebagai rangkuman
terhadap pencegahan dan perlindungan korban tindak pidana perdagangan orang.
Upaya pencegahan dan perlindungan korban dikaitkan dengan kerangka teori sebagai
pisau analisis dalam konsep hukum dapat mengukur efektifitas dan kemanfaatan di
masyarakat yang dikaitkan dengan nilai-nilai atau norma budaya yang masih tertanam
dimasyarakat.
Nilai-nilai atau norma budaya yang masih tertanam tersebut sebagai potensi
dalam membangun rasa solidaritas untuk mewujudkan antipasi sosial. Lebih
memudahkan aparatur sebagai penanggung jawab bergerak guna mewujudkan
pemenuhan kepentingan dalam mengantisipasi peristiwa hukum dari waktu yang
semakin marak di Sumatera Utara. Paparan kebijakan itu juga akan digambarkan satu
persatu dalam analisis normatif yaitu :

67

Mahrus Ali dan Bayu Aji Pramono, “Perdagangan Orang, Dimensi, Instrumen Internasional
dan pengantarnya di Indonesia, Perbit PT. Citra Aditya Bandung-2011, hal 24

2. UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers

Pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa “pers adalah lembaga sosial dan wahana
komunikasi massa yang melakukan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, baik
dalam bentuk tulisan, gambar, suara, suara dan gambar, data dan grafik maupun
dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, elektronik, dan segala jenis
jalur yang tersedia” 68.
Tersimpulkan bahwa pers atau media merupakan sebuah lembaga
kemasyarakatan, yang membantu masyarakat dalam berkomunikasi, menyatakan diri,
menyampaikan dan menerima pesan atau gagasan, dalam berdialog dan menyerap
serta memberitahukan apa yang diketahuinya serta wibawa dalam menjaga ketertiban
dan perdamaian dimasyarakat 69.
Bab II pasal 3 ayat (1) menyebutkan bahwa: “Pers nasional mempunyai fungsi
sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial”. Sedangkan ayat
(2) menyebutkan “Di samping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat
berfungsi sebagai lembaga ekonomi”.
Secara garis besar dapat ditarik kesimpulan, bahwa secara tidak langsung pers
memiliki peranan penting dalam peningkatan pemahaman dalam pencegahan
68

Lihat Pasal 2 penjelasan tentang Azas keselarasan dan keseimbangan.
Lihat konsideran Menimbang point b bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani
dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan
untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejateraan umum, dan mencerdaskan
kehidupan bangsa
69

kejahatan di masyarakat baik dari segi sosial, budaya maupun ekonomi. Sebagai
mana Pasal 3 ayat (1) sisi peran dan fungsi pers yang disebutkan yakni masingmasing sebagai 70:
a. To inform (memberi informasi)
Media informasi merupakan bagian dari fungsi pers dari dimensi idealisme. Informasi
yang disajikan pers merupakan berita-berita yang telah diseleksi dari berbagai berita
yang masuk ke meja redaksi, dari berbagai sumber yang dikumpulkan oleh para
reporter di lapangan. Menurut pembinaan idil pers, pers mengemban fungsi positif
dalam

mendukung

kemajuan

masyarakat,

mempunyai

tanggung

jawab

menyebarluaskan informasi tentang kemajuan dan keberhasilan pembangunan kepada
masyarakat pembacanya. Dengan demikian, diharapkan para pembaca pers akan
tergugah dalam kemajuan dan keberhasilan itu.

b. To educate (pendidikan)
Pers atau media massa harus dapat membantu pembinaan swadaya, merangsang
prakarsa sehingga pelaksanaan demokrasi Pancasila, peningkatan kehidupan spiritual
dan kehidupan material benar-benar dapat terwujud. Untuk memberikan informasi
yang mendidik itu, pers harus menyeimbangkan arus informasi, menyampaikan fakta
di lapangan secara objektif dan selektif. Objektif artinya fakta disampaikan apa
adanya tanpa dirubah sedikit pun oleh jurnalis dan selektif maksudnya hanya berita

70

http://fungsi-pers.blogspot.com/, diakses pada tanggal 15 Juli 2014, pukul 11.50 wib.

yang layak dan pantas saja yang disampaikan. Ada hal-hal yang tidak layak diekspose
ke masyarakat luas.
c. To entertaint (Pers sebagai Media Entertainment)
Pasal 3 ayat 1 jelas menyebutkan bahwa fungsi pers adalah sebagai hiburan. Hiburan
yang diberikan pers semestinya tidak keluar dari koridor-koridor yang boleh dan tidak
boleh dilampaui. Hiburan yang sifatnya mendidik atau netral jelas diperbolehkan
tetapi yang melanggar nilai-nilai agama, moralitas, hak asasi seseorang, atau
peraturan tidak diperbolehkan. Hiburan yang diberikan pers kepada masyarakat yang
dapat mendatangkan dampak negatif, terutama apabila hiburan itu mengandung
unsur-unsur terlarang seperti pornografi dan sebagainya seharusnya dihindari.
d. Sosial control (kontrol sosial)

Maksudnya pers sebagai alat kontrol sosial dapat memaparkan peristiwa yang buruk,
keadaan yang tidak pada tempatnya dan yang menyalahi aturan, supaya peristiwa itu
tidak terulang lagi dan kesadaran berbuat baik serta mentaati peraturan semakin tinggi
dan tidak melakukan kejahatan atau peristiwa itu. Makanya, pers dikenal sebagai alat
kontrol sosial dalam bentuk “penyampai berita buruk” 71.
e. Pers sebagai lembaga ekonomi
Beberapa pendapat mengatakan bahwa sebagian besar surat kabar dan majalah di
Indonesia memperlakukan pembacanya sebagai pangsa pasar dan menjadikan berita
sebagai komoditas untuk menarik pangsa pasar itu. Perlakuan ini menjadikan

71

Sebagaimana mengacu kepada pemahaman azas praduga tidak bersalah dalam kebijakan
hukum pidana Pasal 1 KUHP.

keuntungan materi sebagai tujuan akhir pers. Konsekuensinya, pers senantiasa
berusaha menyajikan berita yang disenangi pembaca.
Lima fungsi penting media atau pers diatas, secara tidak langsung dapat
mempengaruhi perubahan sikap dan prilaku dimasyarakat, dan bahkan juga mampu
melakukan perubahan kebijakan publik yang berlaku di masyarakat. Baik dari sisi
perubahan sikap dan prilaku aparatur sebagai pemangku kebijakan, content atau isi
aturan hukum dan bahkan budaya atau karakter di masyarakat.
2. UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Keterangan saksi merupakan satu alat bukti dalam upaya penegakan hukum 72.
Adakalanya keberadaan saksi korban yang mengalami tindak kejahatan perdagangan
orang, cukup sulit diajak berkomunikasi karena rasa trauma dan malu akan dampak
buruk yang dialaminya. Tidak jarang, korban cendrung bungkam dan bahkan tidak
bersedia melakukan perlawanan. Pada akhirnya tugas dan tanggung jawab penyidik
sebagai penegak hukum cendrung tidak maksimal dikarenakan permasalahan saksi
yang cukup sulit diajak berkomunikasi.
Kebijakan perlindungan saksi dan korban adalah untuk mewujudkan
pemulihan hak-hak korban. Sebelumnya penegakan hukum untuk kepentingan korban
belumlah terakomodir. Sekalipun asas kesamaan dimata hukum (equality before the

72

Pasal 184 KUHAP

law) yakni Saksi Korban dengan pelaku pada proses peradilan pidana memiliki hak
yang sama dimata hukum 73.
Pemenuhan itu dilakukan lewat penuntutan hak-haknya di depan hukum.
Pemenuhan itu diwakili oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sebagai
institusi langsung penanggung jawab mendampingi korban di persidangan.
Prosedurnya korban telah benar-benar dipastikan mengajukan pelaporan ke pihak
yang berwajib, sehingga laporan tersebut menjadi dasar acuan pengajuan hak-hak
sebagai korban 74. Kebijakan ini dibuat karena Negara dianggap telah gagal
memberikan perlindungan yang baik kepada warga negaranya dalam hal ini korban. 75
Beberapa titik tekan Perlindungan korban dari Kebijakan UU ini sebagai
acuan pemenuhan hak korban yaitu :
a. Pasal 2
Undang-undang ini memberikan perlindungan pada saksi dan korban dalam
semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan.
Setiap Pelapor atau korban kejahatan diberi perlindungan hukum dan keamanan
yang memadai atas laporannya, agar ia tidak terancam atau terintimidasi baik hak
maupun jiwanya. Jaminan perlindungan hukum dan keamanan itu, diharapkan
mampu menciptakan keadaan yang memungkinkan masyarakat tidak lagi merasa

73

Lihat Konsideran Menimbang poin b dan Penjelasan UU No. 13 Tahun 2006 tentang
perlindungan saksi dan korban
74
Temuan penulis langsung kasus pemenuhan hak-hak korban penyekapan dan perbudakan asal
NTT kasus Sarang Walet (saat ini masih berlangsung)
75
Adhi Wibowo, Op. Cit, hal-39

takut untuk melaporkan suatu tindak pidana yang diketahuinya kepada penegak
hukum karena khawatir atau takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu.
Konsideran aturan kebijakan ini, berupaya memotivasi masyarakat untuk peduli
terhadap derita yang dialami para korban. Kaitan dengan upaya perlindungan dan
pencegahan perdagangan orang, masyarakat adalah sebagai ujung tombak dalam
mengantisipasi proses kejahatan itu tidak terjadi 76. Sehingga kemauan dan
partisipasinya sangat membantu dalam memperkecil angka kejahatan menurun 77.
b. Pasal 3
Perlindungan Saksi dan Korban berasaskan pada:
a. penghargaan atas harkat dan martabat manusia;
b. rasa aman;
c. keadilan;
d. tidak diskriminatif; dan
e. kepastian hukum.
Wujud perlindungan bagi saksi dan korban tindak pidana perdagangan orang
tetap mengacu kepada ketentuan UU No. 13 Tahun 2006 78. Perdagangan orang
merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan patut dikategorikan sebagai
tindakan yang bertentangan atas penghargaan harkat dan martabat manusia, secara
tegas disebutkan wujud komitmen negara dalam melakukan pencegahan dan
penanggulangan didasarkan pada nilai-nilai luhur, komitmen nasional dan
76

Lihat Konsideran Penjelasan alinea ke-2 “Dalam rangka menumbuhkan partisipasi
masyarakat untuk mengungkap tindak pidana, perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara
memberikan perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau
menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang telah terjadi dan
melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum”.
77
Pasal 60 ayat 1 UU No. 21 Tahun 2007 “Masyarakat berperan serta membantu upaya
pencegahan dan penangan korban tindak pidana perdagangan orang”
78
Pasal 43 UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang”

internasional guna melakukan upaya pencegahan sedini mungkin penindakan
terhadap pelaku, perlindungan korban dan peningkatan kerjasama 79.
Jaminan rasa aman, keadilan, tidak diskriminatif dan kepastian hukum atas
dampak dari kejahatan sebagai wujud komitmen negara menjamin persamaan atas
kesamaan didepan hukum (equality before the law). Guna memberikan kepastian
hukum bagi korban pencari keadilan dalam tindak pidana perdagangan orang 80.
c. Pasal 4
Perlindungan Saksi dan Korban bertujuan memberikan rasa aman kepada
Saksi dan/atau Korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses
peradilan pidana.
Perlindungan saksi dan korban disini jika dirujuk kepada Pasal 43 UU No. 21
Tahun 2007 yakni : “Ketentuan mengenai perlindungan saksi dan korban dalam
perkara tindak pidana perdagangan orang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, kecuali ditentukan
lain dalam Undang-Undang ini”, cukup singkron dan saling berkaitan satu dengan
yang lain.

d. Pasal 5 ayat (1)
Seorang saksi dan korban berhak :
a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta
bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang
akan, sedang, atau telah diberikannya;
b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan;
79

Konsideran UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang point d.
80
“Merujuk penjelasan konsideran alinea ke-4 UU Perlindungan Saksi dan Korban.

c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.

memberikan keterangan tanpa tekanan;
mendapat penerjemah;
bebas dari pertanyaan yang menjerat;
mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
mendapat identitas baru;
mendapatkan tempat kediaman baru;
memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
mendapat nasihat hukum; dan/atau
memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan
berakhir
Merujuk ketentuan Pasal 46 ayat 1 UU No. 21 Tahun 2007 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, demi keamanan korban harus
ditempatkan dalam suatu lokasi yang dirahasiakan dari siapa pun untuk menjamin
agar Saksi dan Korban aman 81. Penempatan korban tersebut guna perlindungan
korban sementara ditempatkan di rumah aman “Pusat Pelayanan Terpadu” atau
P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) di tingkat
lokal.
Hak memperoleh informasi bagi setiap perkembangan kasus yang dilaporkan,
korban juga berhak menerimanya sejauh mana perkembangan kasus yang
menimpanya 82. Ketentuan ini cukup bersinergi dengan aturan kebijakan Pasal 36
ayat (1) & (2) UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan tindak pidana
perdagangan orang dimana secara tegas menyebutkan :

81
82

Penjelasan Pasal 5 ayat 1 point a UU Perlindungan saksi dan korban
Penjelasan Pasal 5 ayat 1 point f UU Perlindungan saksi dan korban

1. Selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan didepan sidang
pengadilan, korban berhak mendapatkan informasi tentang perkembangan
kasus yang melibatkan dirinya 83.
2. Informasi tentang perkembangan kasus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berupa pemberian salinan berita acara setiap tahap pemeriksaan 84.
e. Pasal 6
Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia berat, selain berhak atas hak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak untuk mendapatkan :
a. bantuan medis; dan
b. bantuan rehabilitasi psiko-sosial.
Dasar acuan kejahatan terhadap tindak pidana perdagangan orang merupakan
satu tindak kejahatan atas pelanggaran hak azasi manusia, serta merta dalam
ketentuan kebijakan, korban tindak pidana perdagangan orang merupakan korban
pelanggaran hak azasi manusia 85. Sebagaimana dikemukakan oleh Benjamin
Mendelsohn keterkaitan pemenuhan perlindungan korban dikarenakan terjadinya
kejahatan dapat dibedakan dalam 6 (enam) kategori yakni : 86
a.
b.
c.
d.
e.
f.

83

Korban sama sekali tidak bersalah,
Seseorang menjadi korban karena kelalaiannya sendiri,
Korban sama salahnya dengan pelaku,
Korban lebih bersalah dari pada pelaku,
Korban adalah satu-satunya yang bersalah,
Korban pura-pura dan korban berimajinasi.

Penjelasan Pasal 36 ayat 1 yaitu “Yang dimaksud dengan “korban berhak mendapatkan
informasi tentang perkembangan kasus yang melibatkan dirinya” dalam ketentuan ini adalah korban
yang menjadi saksi dalam proses peradilan tindak pidana perdagangan orang”.
84
Penjelasan Pasal 36 ayat 1 yaitu :” Yang dimaksud dengan “informasi tentang
perkembangan kasus setiap tahap pemeriksaan” dalam ketentuan ini antara lain, berupa salinan
berita acara pemeriksaan atau resume hasil pemeriksaan pada tingkat penyidikan, dakwaan dan
tuntutan, serta putusan pengadilan”.
85
Landasan sosiologis dalam konsideran menibang UU No. 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, point b dan c
86
Refrensi Adhi Wibowo, Op. cit

Terhadap korban tindak pidana perdagangan orang, telah masuk dalam kategori
pelanggaran hak azasi manusia maka penggolongannya dimasukan dalam kategori
point a yakni para korban perdagangan orang merupakan korban sama sekali tidak
bersalah namun mereka cendrung dirugikan dalam peristiwa pidana yang terjadi.
f. Pasal 7 ayat (1)
Korban yang diwakili oleh LPSK berhak mengajukan ke Pengadilan
berupa :
a. hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia berat,
b. hak restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku
tindak pidana.
Tujuan diundangkannya UU No. 21 tahun 2007 tentang tindak pidana
perdagangan orang salah satunya adalah bagaimana upaya melakukan perlindungan
maksimal korban terhadap tuntutan ganti rugi yang telah dialaminya akibat kejadian
tindak pidana perdagangan orang itu 87. Sebagaimana pengajuan kerugian yang
diderita korban itu berupa : “kehilangan kekayaan atau penghasilan, penderitaan,
biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau kerugian lain
yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang”. 88
Barda Nawawi Arief yang mengemukakan upaya ganti rugi terhadap korban,
penulis memahaminya dimana sistem pidana dan pertanggung jawaban pidana
87

Lihat Konsideran penjelasan UU No. 21 tahun 2007 alinea 7 “Undang-Undang ini mengatur
perlindungan saksi dan korban sebagai aspek penting dalam penegakan hukum, yang dimaksudkan
untuk memberikan perlindungan dasar kepada korban dan saksi. Selain itu, Undang-Undang ini juga
memberikan perhatian yang besar terhadap penderitaan korban sebagai akibat tindak pidana
perdagangan orang dalam bentuk hak restitusi yang harus diberikan oleh pelaku tindak pidana
perdagangan orang sebagai ganti kerugian bagi korban, dan mengatur juga hak korban atas
rehabilitasi medis dan sosial, pemulangan serta reintegrasi yang harus dilakukan oleh negara
khususnya bagi mereka yang mengalami penderitaan fisik, psikis, dan sosial akibat tindak pidana
perdagangan orang”.
88
Pasal 48 ayat 2 UU No. 21 Tahun 2007

hendaknya diorientasikan pada korban, maka kebijakan untuk mengenakan pidana
ganti rugi untuk deli-delik tertentu seyogianya juga ditarik atau diangkat menjadi
kebijakan umum untuk semua delik. Dengan kata lain, konsep restitusi dan
kompensasi ditetapkan sebagai sanksi (kebijakan) pidana tertentu 89.
Pemberian restitusi dan kompensasi sebagaimana Stephen Schafer yang
dikutip oleh Adhi Wibowo 90 menguraikan 5 (lima) sistem pemberian restitusi dan
kompensasi kepada korban kejahatan, yaitu :
a. Ganti rugi (damage) yang bersifat keperdataan, diberikan melalui proses
perdata. Sistem ini memisahkan tuntutan ganti rugi oleh korban dari proses
pidana,
b. Kompensasi yang bersifat keperdataan, diberikan melalui proses pidana,
c. Restitusi yang bersifat perdata dan bercampur dengan sifat pidana, diberikan
melalui proses pidana,
d. Kompensasi yang bersifat perdata, diberikan melalui proses pidana dan
disokong oleh sumber-sumber penghasilan Negara,
e. Kompensasi yang bersifat netral, diberikan melalui prosedur khusus.
g. Pasal 8
Perlindungan dan hak Saksi dan Korban diberikan sejak tahap penyelidikan
dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini.
Poin kebijakan ini hadir guna memberikan keseimbangan terhadap acuan
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Menitik beratkan terhadap perlindungan
pelaku atau tersangka. Sebelum lahirnya UU Perlindungan saksi dan korban, negara
masih lebih mengutamakan perlindungan terhadap pelaku kejahatan khususnya tindak
pidana perdagangan orang. Pada hal dampak dan akibat dari kejahatannya telah

89
90

Refrensi dari Adhi Wibowo, Opc.cit, hal-40
Ibid

merupakan ancaman terhadap masyarakat, bangsa, dan negara, serta terhadap normanorma kehidupan yang ada dalam masyarakat selama ini.
Asas persamaan hak didepan hukum (equality before the law) dari dua aturan
kebijakan yaitu KUHAP dan UU Perlindungan Saksi dan Korban memiliki
kedudukan yang sama. Dalam tataran konsep hukum, sama-sama mengakui
persamaan hak bagi siapapun dimuka hukum. Guna memberikan keselarasan dan
keseimbangan atas jaminan terhadap kedudukan korban kebijakan ini bersifat khusus
(lex specialis) terhadap peristiwa kejahatan perdagangan orang dalam mewujudkan
persamaan hak yang sama dimata hukum 91.

3. UU No. 2 Tahun 2007 Tentang Kepolisian
Hakekat tugas dan fungsi Kepolisian bukan hanya semata-mata dalam ruang
penegakan hukum. Tetapi bagaimana institusi itu mampu menjaga dan memelihara
ketertiban umum demi kenyamanan dan keamanan di masyarakat. Terjaminnya
keamanan dan kenyamanan di masyarakat nota bene dapat dibuktikan meningkatnya
pengetahuan, pemahaman dan penguatan masyarakat akan satu dampak tindak
kenakalan atau kejahatan khususnya dalam hal ini pencegahan dan perlindungan
korban tindak pidana perdagangan orang (trafiking).

91

Konsideran penjelasan aliena ke-4 UU No. 13 Tahun 2006 “Perlindungan Saksi dan Korban
dalam proses peradilan pidana di Indonesia belum diatur secara khusus. Pasal 50 sampai dengan
Pasal 68 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya mengatur
perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa untuk mendapat perlindungan dari berbagai
kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, sudah saatnya perlindungan Saksi dan
Korban diatur dengan undang-undang tersendiri”.

Tanggung jawab yang telah diamanahkan dalam regulasi pokok Kepolisian
ini, jelas menitik tekankan selain penegakan hukum upaya pencegahan sedini
mungkin dengan melibatkan partisipasi masyarakat dalam menurunkan angka
kriminalitas merupakan bagian yang tidak terpisahkan sebagai tanggung jawab
institusi Kepolisian 92.
Ketentuan pokok kebijakan tertulis dari UU No. 2 Tahun 2007 tentang
Kepolisian dalam penerapan kebijakan non penal, tertuang dari beberapa point aturan
yakni :
a. Pasal 2, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 13
Menyebutkan “Fungsi Kepolisian adalah “salah satu fungsi pemerintahan
negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,
penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada
masyarakat”.
Peran dan tanggung jawab yang diemban Kepolisian, bagaimana mampu
mendorong dan peningkatan pemahaman masyarakat untuk turut serta dan
berpasrtisipasi dalam pemeliharaan keamanan serta perlindungan dan pelayanan
kepada masyarakat. Penegakan hukum terkesan sebagai pelengkap dalam pencegahan
untuk menurunkan angka kriminalitas.

92

Lihat Konsideran Menimbang point b UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
menitiktekankan tugas pokok kepolisian meliputi “Pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui
upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat
dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat Negara yang dibantu oleh
masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Kepolisian sebagai bagian dari sub sistem peradilan pidana dalam
menanggulangi kejahatan berada dalam batas-batas toleransi masyarakat, berfungsi
dan bertujuan 93:
a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;
b. Menyelesaikan kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat menjadi puas
bahwa keadilan telah ditegakan dan pelaku kejahatan telah dipidana; dan
c. Berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan itu tidak
mengulangi perbuatannya lagi.

Rangkaian permasalahan yang dirangkum dalam latar belakang tulisan ini,
menggambarkan ketidak puasan terhadap sikap dan tanggung jawab kepolisian yang
tidak mampu melindungi korban perdagangan orang. Demikian juga atas tanggung
jawab

untuk

mendorong

partisipasi

masyarakat

untuk

tidak

mengulangi

perbuatannya.
Konteks pencegahan dari teori kebijakan pencegahan dan penanggulangan
harus menunjang tujuan (goal), kesejahteraan masyarakat (sosial welfare) dan
perlindungan masyarakat (sosial defence). Aspek sosial welfare dan sosial defence
sangat mengutamakan aspek kesejahteraan dan perlindungan masyarakat yang
bersifat imateril, terutama pada tatanan nilai kepercayaan, kebenaran, kejujuran dan
keadilan 94.

93

Refrensi Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, “Politik Hukum Pidana, Kajian
KebijakanKriminalisasi dan Dekriminalisasi”. (Penerbit Pustaka Pelajar-2005), hal 116
94
Barda Nawawi Arief, “Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan”, (Penerbit Prenada Media Group-2007), hal-78

b. Pasal 14 ayat (1)
Sebagai tolok ukur dalam mendorong peningkatan partisipasi masyarakat
dalam kesadaran hukum 95.

Peran dan tanggung jawab kepolisian pada tataran kebijakan ini memberi
perintah agar melakukan pembinaan terhadap masyarakat. Perintah sebagaimana
dimaksud adalah untuk meningkatkan partisipasi terhadap kesadaran hukum serta
ketaatan hukum dalam pembinaan hukum nasional dengan memelihara dan menjamin
ketertiban dan keamanan umum.
Upaya melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan
lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan
bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Melayani
kepentingan warga masyarakat sementara sebelum ditangani oleh intansi dan/atau
pihak yang berwenang merupakan bagian fungsi penting dalam fungsi dan tanggung
jawab Kepolisian.
c. Pasal 15 dalam point b
Merumuskan
masyarakat.

mencegah

dan

menanggulangi

tumbuhnya

penyakit

Beban ganda kepolisian jelas diatur dalam aturan kebijakan ini dimana dalam
melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan, seyogianya kepolisian
mampu memainkan pendekatan terintegral. Seimbang antara pendekatan penal dan
non penal. Pada sisi politik criminal, kebijakan yang paling strategis dapat dilakukan
95

Lihat Pasal 14 ayat 1, point a samapai k UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

melalui sarana penal karena bersifat prventif. yang memaksimalkan keterpadauan
antara

penyembuhan/pengobatan

simptomatik

dan

penyembuhan/pengobatan

kausatif 96.
d. Landasan sosiologis dalam penjelasan kebijakan Kepolisian alinea 4 dan
alinea 7
Secara jelas menyebutkan filosofi dari lahirnya kebijakan UU No. 2 Tahun 2007
tentang Kepolisian bagaimana mampu mendorong tingkat partisipasi
masyarakat 97.
Sebagaimana harapan dan cita-cita UU No 21 Tahun 2007 tentang Tindak
Pidana Perdagangan orang, berharap adanya kemaksimalan pencegahan sedini
mungkin dalam sinergitas peningkatan kordinasi semua lini dan peran serta
masyarakat dalam pencegahan sedini mungkin.
e. Alinea 8 menitik beratkan upaya dan tanggung jawab kepolisian bagaimana
mengutamakan tindakan preventif sebagai asas yang hendak dicapai dalam
kebijakan ini 98.

96

Barda Nawawi Arief, Op.cit, hal-78 dan 83
Lihat penjelasan konsideran UU No. 2 Tahun 2007 yakni : “perkembangan kemajuan
masyarakat yang cukup pesat seiring dengan merebaknya fenomena supremasi hukum, hak asasi
manusia, globalisasi, demokratisasi, desentralisasi, transparansi, dan akuntabilitas, telah melahirkan
berbagai paradigm baru dalam melihat tujuan, tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawab
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya menyebabkan pula tumbuhnya berbagai
tuntutan dan harapan masyarakat terhadap pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang makin meningkat dan lebih berorientasi kepada masyarakat yang dilayaninya dan Alinea 7
menyebutkan : sesuai dengan UU D 1945 perubahan kedua, ketetapan MPRRI No. IV/MPR/2000 dan
Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000, keamanan dalam negeri dirumuskan sebagai format tujuan
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan secara konsisten dinyatakan dalam perincian tugas pokok
yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, yaitu memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, menegakan hukum, serta melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Namun
dalam penyelenggaraan fungsi kepolisian, Kepolisian Negara Republik Indonesia secara fungsional
dibantu oleh kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan
swakarsa melalui pengembangan asas subsidaritas dan asas partisipasi.
98
Lihat Penjelasan konsideran alinea 8 “namun, tindakan pencegahan tetap diutamakan
melalui pengembangan asas preventif dan asas kewajiban umum kepolisian, yaitu memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat. Dalam hal ini setiap pejabat Kepolisian Negara Republik
97

Kandungan kebijakan ini sebagai wujud layanan psikologis manusia, secara
jasmaniah merupakan organisme yang serasi, secara rohani manusia itu dihayatkan
pada tiga asas yakni “asas kenikmatan, asas realitas dan asas keserasian”. Dimana
asas-asas tersebut menghasilkan beberapa hasrat yaitu 99 :
a. Asas kenikmatan yang menghasilkan hasrat untuk hidup bebas.
b. Asas realitas yang menghasilkan hasrat untuk hidup tertib.
c. Asas keserasian yang menghasilkan hasrat untuk hidup serasi.
Singkronisasi kebijakan antara UU Kepolisian dan UU Tindak Pidana
Perdagangan Orang mengacu kepada cita-cita pencapaian dalam asas rule of law.
Kepolisian merupakan bagian terpenting sebagai penanggung jawab. Bertugas
melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan, demikian juga jika kita
hubungkan dengan konteks asas realitas siapapun pasti akan memiliki hasrat untuk
hidup tertib dan serasi.
f. Alinea 10 konsideran dalam penjelasan UU No. 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian sangat menjunjung tinggi penghormatan dalam perlindungan
dan pemajuan hak azasi manusia 100.
Terhadap tiga kebijakan diatas UU Perlindungan saksi dan korban, UU
Kepolisian dan UU Tindak Pidana Perdagangan orang, diundangkan dan disahkan
Indonesia memiliki kewenangan diskresi, yaitu kewenangan untuk bertindak demi kepentingan umum
berdasarkan penilaian sendiri”
99
Soerjono Soekanto, “Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat” , PT. Raja
Grafindo Pesada- 2013, hal-63
100
Lihat Konsideran alinea 10 menyebutkan : “begitu pentingnya perlindungan dan pemajuan
hak asasi manusia karena menyangkut harkat dan martabat manusia, Negara Republik Indonesia
telah membentuk UU No. 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi menentang penyiksaan dan
perlakukan atau hukuman lain yang keajam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia,
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM. Setiap anggota Kepolisian Republik Indonesia wajib mempedomani dan menaati ketentuan UU
diatas”

semata-mata untuk mengupayakan perlindungan terhadap Hak Azasi Manusia. Secara
jelas pengaturan