Ketimpangan Perlakuan Terhadap Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta Medan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Lembaga Pemasyarakatan merupakan institusi yang menempatkan mereka
yang bersalah untuk ditahan dalam jangka waktu tertentu sebelum menjalani
proses persidangan dan dijatuhkan vonis bersalah oleh hakim. Kehidupan seorang
Narapidana tentunya berbeda dengan kehidupan masyarakat pada umumnya.
Ketika seseorang berada di LAPAS, hak - haknya dibatasi oleh peraturan dan
norma yang berlaku di lapas tersebut. Ini karena kebebasan yang dimilikinya
hilang saat hakim sudah menjatuhkan vonis dan menghilangkan kemerdekaan
orang tersebut dimana hal tersebut sesuai dengan Dirjen Pemasyarakatan, Undang
-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Dalam konteks LAPAS, Sipir (Petugas LAPAS) merupakan orang yang
memiliki kekuasaan penuh dalam menentukan apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan para Narapidananya. Pemenuhan kebutuhan setiap para Narapidana
sudah diatur melalui aturan - aturan yang ketat. Pada dasarnya semua orang yang
berstatus Narapidana memiliki hak yang sama dikarenakan mereka adalah sama sama yang didakwa atau dijadikan tersangka karena melakukan pelanggaran
hukum. Dengan kata lain, hukum pada dasarnya menjunjung tinggi asas
berkeadilan serta tidak membeda - bedakan kedudukan atau kelas sosial
seseorang, seperti yang tercantum dalam pasal 27 ayat 1 UUD 1945.

Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Wanita Tanjung Gusta Medan
merupakan ruang lingkup dari Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM

1
Universitas Sumatera Utara

Sumatera Utara yang berdiri di atas tanah berstatus hak pinjam pakai dari
Pemerintah Daerah Sumatera Utara dengan luas area. Di tanah tersebut, didirikan
beberapa bangunan, mulai dari gedung perkantoran Petugas RUTAN, blok
tahanan, blok karantina, blok isolasi narapidana, mushola, dapur, ruang serba
guna Berta berbagai fasilitas lainnya seperti lapangan olahraga, poliklinik
LAPAS, ruang kebaktian, kantin, salon, perpustakaan dan ruang keterampilan
untuk Narapidana.
Berdasarkan data DIRJEN PAS KEMENKUMHAM Sumatera Utara per
Januari 2015 (Lihat Tabel).
Tabel 1. Komposisi Narapidana Wanita Lapas Klas II Wanita Tanjung
Gusta Medan berdasarkan Tindak Pidana (Per Januari 2015)
jumlah Narapidana

Persentase


(Frekuensi

(%)

Narkotika

297

83,20

Pembunuhan

14

4,00

Penggelapan

10


2,80

Penipuan

6

1,70

Korupsi

5

1,40

Pencurian.

5

1,40


Perlindungan anak

5

1,40

Perampokan

4

1,10

Trafficking

4

1,10

Perjudian


2

0,60

Penadahan

2

0,60

Jenis Kejahatan

2
Universitas Sumatera Utara

Mata Uang

1


0,20

Merusak barang

1

0,20

Penganiayaan

1

0,20

Total

357

100


Sumber Data :

Dokumentasi KASUBSI Registrasi LAPAS Klas IIA Tanjung Gusta
Medan, Tanggal 20 Januari 2015.

Catatan : Pidana > 3 Tahun : Jenis Kejahatan Mata Uang, Pembunuhan, Penganiayaan,
Perampokan, Penggelapan, Penipuan, Merusak Barang, Narkotika,
Korupsi, Perlindungan Anak, Trafficking
Pidana < 3 Tahun : Jenis Kejahatan Perjudian, Pencurian, Penggelapan,
Penipuan, Penadahan, Narkotika, Korupsi

Tabel 2. Komposisi Petugas LAPAS Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan
Jenis Pekerjaan

Jumlah Petugas Lapas

Persentase

(F)


(%)

Pengaman

32

43,20

Staf

42

56,80

Total

74

100


Sumber Data : Dokumentasi KASUBAG TU LAPAS Klas IIA Tanjung Gusta
Medan, Tanggal 20 Januari 2015.

Dari tabel 2 terilhat bahwa Sumber daya manusia dalam hal ini Petugas
LAPAS kurang maksimal sehingga tidak sebanding dengan apa tugas – tugas

3
Universitas Sumatera Utara

yang mereka emban baik itu dalam hal memantau segala aktivitas yang dikerjakan
oleh ditambah dengan jumlah Narapidana yang sangat besar. Narapidana,
Sebagaimana terjadi di berbagai LAPAS di Indonesia, Lembaga pemasyarakatan
Tanjung Gusta pun mengalami kelebihan kapasitas penghuni. Dari jumlah total
penghuni lapas ini merupakan narapidana yang melakukan tindak pidana
narkotika dan psikotropika dan sebagian besar warga binaan pengguna narkoba itu
rata-rata berasal dari kalangan orang mampu yang seringkali merninta fasilitas
tambahan kepada petugas rutan, misalnya berupa sel tahanan khusus, sementara
sel biasa umumnya dihuni dua puluh hingga tiga puluh warga binaan. Keadaan
seperti inilah yang terkadang membuat sel hunian di lapas seolah-olah penuh
(kelebihan kapasitas) yang hanya dialami oleh warga binaan dari kelompok yang

tidak mampu. Jadi, sisi lain dari kelebihan kapasitas adalah adanya ketidakadilan
yang dilakukan petugas di lapas terhadap narapidananya. Ketidakadilan inilah
yang menyebabkan perbedaan jumlah hunian yang tidak merata antara satu sel
dengan sel lainnya (kelebihan kapasitas di sel hunian tertentu). Adapun
pembagian sel dalam LAPAS Wanita Klas IIA Tanjung Gusta Medan berjumlah 4
sel yaitu :

Tabel 3 Pembagian sel dalam LAPAS Wanita Klas IIA Tanjung Gusta Medan
Kelebihan
Nama Blok

Jumlah Kamar

Kapasitas
Kapasitas

Blok A

4 Kamar


4 Orang

20 Orang

Blok B

12 Kamar

30 Orang

207 Orang

Blok C

6 Kamar

24 Orang

150 Orang

4
Universitas Sumatera Utara

Blok D

6 Kamar

4 Orang

20 Orang

Jumlah

29 Kamar

62 Orang

357 Orang

Sumber Data : Dokumentasi KASUBSI Registrasi LAPAS Klas IIA Tanjung Gusta
Medan, Tanggal 20 Januari 2015

Dari tabel 3 terlihat bahwa kapasitas kamar di LAPAS tersebut tidak
sesuai dengan kekentuan yang berlaku dimana dalam satu kamar yang seharusnya
di tempatkan sebanyak 5 - 7 orang akan tetapi berubah bisa mencapai ratusan
orang sehingga menimbulkan over kapasitas dan kekesakan yang berlebihan dari
Narapidana yang berasal dari daerah yang berbeda dengan jenis kejahatan yang
berbeda pula.
Selain itu, ketidakadilan di LAPAS juga terjadi dalam pemberian
pelayanan atau pemanfaatan fasilitas. Mereka yang bisa menikmati pelayanan atau
fasilitas adalah narapidana yang memiliki uang dan dekat dengan petugas. Mereka
lebih diprioritaskan oleh Petugas untuk bisa menikmati pelayanan atau pembinaan
yang ada di LAPAS dibandingkan penghuni lainnya. Temuan lapangan yang
penulis dapatkan ini diperkuat dengan pernyataan DIRJEN Pemasyarakatan
Kemenkum dan HAM Untung Sugiyono, yang mengatakan bahwa ia tidak
membantah soal adanya “kongkalikong” antara petugas dan narapidana atau
antara petugas dan pengunjung. Namun, Untung Sugiyono beralasan hal itu terjadi
karena minimnya pengawasan akibat berlebihnya daya tampung lapas atau rutan:
“Dari kelebihan kapasitas saja, untuk melakukan pengawasan itu setengah mati.
Untuk melakukan pelayanan yang optimal, setengah mati” (dikutip dari www.
bataviase.co.id pada 5 November 2014 pukul 20.30 WIB).

5
Universitas Sumatera Utara

Dengan munculnya keadaan LAPAS yang mengalami kelebihan kapasitas
maka terbentuklah suatu kesepakatan antara Petugas LAPAS dan Narapidana
Dalam pengambilan keputusan di penjara tidak semata - mata diambil dari
perilaku Narapidana tetapi bersama dengan keputusan resmi dan tak resmi
Petugas. Kesepakatan — kesepakatan yang dibentuk secara bersama, dijaga dan
dipelihara oleh para petugas lapas sesuai konteks pemenuhan kebutuhan dan
kepentingan demi keberlanjutan dan keseimbangan kehidupan di dalam LAPAS.
Kesepakatan tersebut melibatkan Narapidana dan Petugas LAPAS bekerja sama
dalam unit – unit kerja maupun ruangan tertentu tetapi tidak semua Narapidana
atau Petugas LAPAS ikut serta dan terlibat.
Berlakunya kesepakatan-kesepakatan ini membuat terhukum (narapidana)
menjalankan kesetiaan untuk mendapatkan kepercayaan, perlindungan, demi
terpenuhinya kebutuhan tertentu. Sebagai contoh, ada larangan menggunakan
telepon genggam, praktiknya narapidana diam-diam menggunakan handphone.
Hal ini mengambarkan bahwa mereka (narapidana) setia memberikan uang
perlindungan kepada petugas tertentu demi kebebasan menelepon (handphone).
Contoh lain, narapidana pembantu seharusnya membantu petugas mengawasi
narapidana lain, tapi secara terselubung narapidana pembantu malah lebih setia
pada sesama narapidana dibanding petugas dengan membiarkan saja perilaku
melanggar dilakukan narapidana lain karena solidaritas bergaul sesama
narapidana. Kesepakatan bersama marak terkait pemenuhan kebutuhan dasar
seperti pemakaian handphone, interaksi dengan pihak keluarga, kebutuhan perut,
membeli atau menjual rokok, roti, serta pemenuhan kebutuhan sekunder lain.

6
Universitas Sumatera Utara

Kesepakatan bersama mempergunakan bahasa tersendiri (lokal) yang
hanya dimengerti penghuni di balik tembok LAPAS. Bahasa pergaulan ini
dipelajari terhukum atau narapidana (baru) untuk berinteraksi dan beradaptasi baik
dalam kamar maupun blok selain untuk mempererat hubungan dengan petugas
dan tamping. Bahasa lokal dalam LAPAS dipergunakan juga demi menjaga
kerahasiaan aktivitas, dalam LAPAS dari amatan orang luar. Tiap narapidana
mempunyai kebutuhan primer, sekunder dan tertier berbeda. Pemenuhan
kebutuhan individu menjadi beragam, terwujud dalam kegiatan mengisi waktu
luang, membuat kerajinan tangan, ikut pesantren, masuk anggota band, memakai
handphone, memegang uang, mencari pemasukan, memenuhi kebutuhan seksual,
sampai memasukkan barang terlarang dan seterusnya.
Kesepakatan bersama tampak dalam pemenuhan makan sebagai kebutuhan
primer. Kesepakatan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan makan, dengan cara
membeli makanan dari luar LAPAS bisa juga memesan melalui katering yang
dibuat keluarga penghuni LAPAS, asalkan mampu membeli dan membayar saja.
Untuk memperoleh masakan langsung dari dapur, kesepakatan dibuat dengan
tamping dapur, tamping kebersihan, tamping keamanan, dimana makanan bisa
didapat dan dipesan dari dapur berupa lauk pauk dan sayuran olahan. Pesanan ini
sering

diperjual-belikan

tanpa

ketahuan

karena

terkait

kebutuhan-perut

narapidana.
Makanan olahan dapur antara lain berupa sayur bening, tempe orek, tempe
goreng, semur daging, oseng daging, nasi uduk atau nasi goreng. Makanan jenis
ini tentu lebih menggugah selera dibanding nasi cadong. Bagi narapidana kurang
mampu sering mensiasati makanan cadong dengan jenis makanan lain. Makanan

7
Universitas Sumatera Utara

cadong dicampur lauk mie rebus atau goreng, dan campuran lauk ini menjadi
makanan lumayan nikmat bagi mereka, meski terkadang harus berebut dahulu
mendapatkan “tembakan” (alat memasak air) sebagai alat memasak untuk mie dan
air dalam kamar. Berbeda dengan narapidana mampu (elit), narapidana tak
mampu seringkali hanya bisa melihat sejumlah makanan nikmat yang tersedia di
ruang para elit, tapi tak boleh mencicipi makanan tersebut, kecuali menunggu
belas kasihan elit untuk berbagi dengan mereka.
Petugas dan narapidana tidak terlalu mementingkan identitas atau Tatar
belakang berbeda, bahasa berbeda atau fisik berbeda tapi lebih menekankan pada
kemampuan aktor memenuhi kebutuhan dan kepentingan. Arena-arena sosial
dalam Lapas menggerakkan dan menjadikan lembaga penghukuman (Lapas)
menjadi tempat mengadu (curhat), bekerjasama dan berkompetisi atas pemenuhan
kebutuhan dan kepentingan baik petugas atau napi tertentu. Selain itu, menjadi
tempat pertukaran informasi masa hukuman, kebutuhan pribadi maupun
pemasukan pribadi. Kesepakatan-kesepakatan yang diciptakan, dibentuk dan
dipertahankan aktor sesuai konteks tertentu menjadi acuan berperilaku dalam
kehidupan sosial di LAPAS.

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah “Mengapa terjadi perbedaan perlakuan terhadap
Narapidana

di

LAPAS

Tanjung

Gusta

Medan

sehingga

menimbulkan

ketimpangan ?”

8
Universitas Sumatera Utara

1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas maka tujuan penelitian yang
diharapkan dan dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah untuk mengetahui
perbedaan perlakuan terhadap para Narapidana Wanita di LAPAS sehingga
menimbulkan ketimpangan.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu
pengetahuan termasuk menempuh Mata Kuliah Institusi Sosial dan Stratifikasi
Sosial tentang perilaku Petugas LAPAS memperlakukan para narapidana wanita
di Lapas Tanjung Gusta, Kelurahan. Tanjung Gusta, Kecamatan Medan Helvetia,
Medan sehingga menimbulkan ketimpangan kepada mahasiswa Departemen
Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian

ini

diharapkan

bermanfaat

bagi

penulis

agar

dapat

meningkatkan kemampuan akademisi terutama dalam hal pembuatan karya ilmiah
tentang perilaku petugas lapas memperlakukan para Narapidana Wanita di
LAPAS Tanjung Gusta, Kelurahan Tanjung Gusta, Kecamatan Medan Helvetia,
Medan sehingga menimbulkan ketimpangan dan diharapkan agar Pemerintah
Pusat membenahi fasilitas yang dibutuhkan para Narapidana Wanita serta Petugas

9
Universitas Sumatera Utara

LAPAS sebagai aparat penegak hukum mampu memperlakukan semua
narapidana secara adil sehingga mewujudkan kehidupan aman dan nyaman.

1.5 Definisi Konsep
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa definisi konsep
untuk mempermudah melakukan penelitian. Konsep adalah istilah yang terdiri
dari satu kata atau lebih yang menggambarkan suatu gejala atau menyatakan suatu
gagasan untuk memperjelas maksud dan pengertian konsep – konsep yang
terdapat dalam laporan penelitian ini, maka dibuat batasan - batasan konsep yang
dipakai sebagai berikut
1. Ketimpangan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ketimpangan Merupakan hal
yang tidak sebagaimana mestinya (tidak ada, tidak beres) dilakukan oleh
seseorang terhadap yang lainnya. Menurut Peter Blau, Ketimpangan merupakan
diferensiasi berdasarkan stratifikasi sosial atau pelapisan sosial, seperti faktor
ekonomi dan status atau jabatan. Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat
ketimpangan dalam hal pemenuhan fasilitas, pemberian remisi, proses pembinaan,
kebutuhan akan makanan serta pembagian tugas dalam LAPAS
2. Narapidana
Merupakan orang yang sedang menjalani hukuman karena tindak pidana.
Menurut UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan disebutkan bahwa
Narapidana adalah Terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di
LAPAS. Adapun hak — hak yang diterima narapidana antara lain :
1. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya.

10
Universitas Sumatera Utara

2. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani.
3. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran.
4. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak.
5. Menyampaikan keluhan dan Mendapatkan pengurangan masa pidana
(remisi).
6. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media masaa lainnya
yang tidak dilarang
7. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan.
8. Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu
lainnya.
9. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi
keluarga.
10. Mendapatkan pembebasan

3. Lembaga Pemasyarakatan.
Menurut UU No 12 tahun 1995 mengenai Pemasyarakatan, Lembaga
Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk
melaksanakan pembinaan Narapidana.

4.

Korve Blok merupakan jabatan tertinggi di dalam kamar atau yang
bertanggung jawab di dalam kamar.

5.

Tamping merupakan Narapidana yang dipekerjaan (pendamping atau
perpanjangan tangan Petugas LAPAS

11
Universitas Sumatera Utara

6.

Sel tahanan merupakan suatu tempat bagi narapidana yang sering membuat
keributan, melanggar aturan penjara serta membahayakan narapidana lainnya
sehingga tidak dapat ditolerir oleh Petugas LAPAS.

7. Kekuasaan
Dalam konteks Sosiologi, kekuasaan adalah gejala kemasyarakatan
yang umum sifatnya, dimana dan pada bentuk masyarakat bagaimanapun
gejala ini selalu timbul namun yang lebih perlu digaris bawahi disini bahwa
Sosiologi selalu memandang netral dari seperangkat gejala-gejala sosial yang
menjadi obyek perhatiannya. Netral dalam arti tidak menilai suatu gejala itu
baik atau buruk, yang pasti gejala itu ada hidup dalam masyarakat. Walaupun
kekuasaan itu senantiasa ada dalam setiap masyarakat namun bukan berarti
bahwa kekuasaan dapat dibagi rata para semua anggota masyarakat. Dengan
ketidakmerataan ini justru kemudian timbul makna pokok dari kekuasaan yaitu
sebagai suatu kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain agar menurut pada
kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan. Adanya kekuasaan tergantung
dari hubungan antara yang berkuasa dengan yang dikuasai atau dengan kata
lain antara pihak yang memiliki kemampuan untuk melancarkan pengaruh dan
pihak lain yang menerima pengaruh ini dengan rela atau karena terpaksa.
Apabila kekuasaan itu diterjemahkan pada diri seseorang, maka
biasanya orang itu dinamakan pemimpin dan mereka yang menerima
pengaruhnya adalah pengikut-pengikutnya. Kekuasaan, dalam istilah umum
disebut

sebagai

power,

diartikan

sebagai

suatu

kemampuan

untuk

12
Universitas Sumatera Utara

mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang
kekuasaan tersebut, kekuasaan itu juga mencakup baik suatu kemampuan
untuk memerintah (agar yang diperintah itu patuh) dan juga untuk memberikan
keputusan-keputuasan yang secara langsung maupun tidak langsung akan
mempengaruhi tindakan-tindakan pihak lainnya. Max Weber mengatakan
bahwa kekuasaan adalah kesempatan dari seseorang atau sekelompok orangorang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauannya sendiri
dengan sekaligus menerapkannya terhadap tindakan dari orang-orang atau
golongan - golongan tertentu.

8. Remisi
Remisi atau pengurangan hukuman selama narapidana menjadi hukuman
pidana, juga berubah dari waktu kewaktu. Sistem kepenjaraan menempatkan
remisi sebagai anugrah. Artinya remisi adalah anugrah dari pemerintah kepada
narapidana. Dalam Gestichten Reglement, remisi hanya diberikan pada hari ulang
tahun Ratu Belanda. Jadi remisi benar-benar anugrah belaka. Pada tahun 1950
berdasarkan keppres Nomor 156 Tahun 1950 remisi diberikan setiap ulang tahun
kemerdekaan Republik Indonesia. Perubahan ini disambut dengan kelegahan hati
rakyat Indonesia, sebab setiap ulang tahun. kemerdekaan Republik Indonesia
banyak narapidana yang mendapat remisi. Sejak tahun 1950 remisi tidak lagi.
Dalam sistem pemasyarakatan remisi merupakan mata rantai dari suatu
proses pemasyarakatan yang merupakan hak dari setiap narapidana. Dimana hak
tersebut akan diterima apabila narapidana telah menjalankan kewajibannya yaitu
menunjukan tingkah laku yang baik menurut penilaian TPP dan disamping itu

13
Universitas Sumatera Utara

harus terlebih dahulu memenuhi persyaratan — persyaratan yang dilandaskan
kepada lamanya hukuman yang telah dijalankan. Pengertian remisi berdasarkan
Keputusan Menteri Hukum dan Perundang — undangan Republik Indonesia
Nomor: M.09.HN.02.01 Tahun 1999 pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa remisi
adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana yang telah
berkelakuan baik selama menjalani pidana.
Yang dimaksud dengan narapidana yang berkelakuan baik ialah
narapidana yang menaati perataturan yang berlaku dan tidak dikenakan disiplin
yang dicatat dalam buku register F selama kurun waktu yang diperhitungkan
untuk pemberian remisi. Buku register F adalah suatu buku yang khusus untuk
mencatat perilaku dan tindakan dari narapidana apabila melakukan suatu dan
tindakan yang menyimpang dari tats tertib dan peraturan Berta menjelaskan pula
jenis sanksi yang dijatuhkan. Remisi dibagi atas 3 berdasarkan. Keputusan
Menteri Hukum dan Perundang — undangan Republik Indonesia Nomor:
M.09.HN.02.01 Tahun 1999 pasal 1 ayat 2,3,4 terdiri atas :
1. Remisi umum yaitu pengurangan masam pidana yang diberikan kepada
narapidana pada peringatan proklamasi kemerdekaan RI,
2. Remisi khusus yaitu pengurangan masa pidana yang diberikan kepada
narapidana pada hari keagamaan yang dianut oleh yang oleh yang
bersangkutan dan dilaksanakan sebanyak — banyaknya satu kali dalam
setahun bagi masing — masing agama,
3. Remisi tambahan yaitu pengurangan masa pidana yang diberikan kepada
narapidana yang berjasa kepada negara, melakukan perbuatan bermanfaat bagi
negara atau kemanusiaan atau melakukan perbuatan yang membantu kegiatan

14
Universitas Sumatera Utara

lembaga pemasyarakatan Remisi tersebut diberikan oleh Menteri Hukum dan
Perundang — undangan yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi
bidang pemasyarakatan yang didelegasikan kepada kepada kantor wilayah.
Remisi tersebut diusulkan oleh kepada lembaga pemasyarakatan berdasarkan
pengamatan sehari — hari pegawai lembaga pemasyarakatan.
Dimana remisi umum adalah remisi yang diterima oleh narapidana pada
saat hari peringatan Proklamasi Republik Indonesia tanggal 17 Agustus setiap
tahunnya, sedangkan remisi khusus ialah remisi yang diperoleh oleh narapidana
pada hari besar keagamaan sesuai dengan agama yang dianut oleh narapidana
wajib dilakukan pendataan tentang agama. Menurut Pasal 3 (2) jika terdapat
keraguan tentang hari besar keagamaan yang dianut oleh narapidana atau anak
pidana. Menteri Hukum dan HAM mengkonsultasikannya dengan Menteri Agama
pemberian remisi khusus ini dilaksanakan pada :
1. Setiap Hari Raya Idul Fitri bagi narapidana yang beragama Islam
2. Setiap Natal bagi narapidana beragama. Kristen atau Khatolik
3. Setiap Hari Raya Nyepi bagi narapidana yang beragama Hindu
Setiap Hari Raya Waisak bagi narapidana yang beragama Budha Jadi
selain jenis hari rays di atas (seperti Hari Raya Haji, Paskah, Galungan)
narapidana tidak mendapatkan remisi.
Dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, remisi
merupakan

hak

narapidana.

Tujuan

pemasyarakatan

adalah

pembinaan

pelanggaran hukum yang bertumpu kepada. Community Base Oriented
(pelaksanaan pembinaan di tengahtengah masyarakat). Dalam hubungan ini
pemberian remisi bagi narapidana yang memenuhi persyaratan merupakan salah

15
Universitas Sumatera Utara

satu alternatif dalam rangka mempercepat proses reintegrasi, karena itu remisi
merupakan manifestasi dari tujuan Pemasyarakatan dimaksud. Remisi merupakan
salah satu bagian dari fasilitas pembinaan yang tidak bisa dipisahkan dari fasilitas
pembinaan yang lainnya, di mana hakekat pembinaan adalah selain memberikan
saksi yang bersifat punitif, juga memberikan reward sebagai salah satu dari upaya
pembinaan, agar program pembinaan dapat berjalan dan direspon oleh WBP,
sedangkan tujuan dari Sistem Pemasyarakatan adalah mengupayakan warga
binaan untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya melanggar hukum yang pernah
dilakukan dengan harapan kelak akan kembali dan diterima oleh masyarakat
sekitarnya sebagai warga masyarakat serta dapat berperan aktif sebagaimana
anggota masyarakat lainya.
9. Konsep pembinaan dalam sistem pemasyarakatan
Pembinaan narapidana adalah suatu sistem dimana didalam hal tersebut
mempunyai yang saling bekerja saling berkaitan untuk mencapai suatu tujuan.
Jika dilihat dari tujuan sistem kepenjaraan, tujuan pemidanaan adalah penjeraan
dengan kata lain tujuan didirikannya penjara sebagai tempat menampung para
pelaku tindak pidana dimaksudkan untik membuat jera dan tidak lagi melakukan
tindak pidana sehingga peraturan – peraturannya bersifat keras bahkan sering
tidak manusiawi. Dalam sistem pemasyarakatan, tujuan pemidanaan adalah
pembinaan dan bimbingan dengan tahap — tahap yaitu tahap orientasi merupakan
tahap dimana narapidana mampu mengenal cara hidup, peraturan dan tujuan dari
pembinaan atas dirinya.
Di dalam pembinaan, narapidana dibina dan dibimbing agar tidak lagi
melakukan tindak pidana dikemudian hari apabila keluar dari lembaga

16
Universitas Sumatera Utara

pemasyarakatan. Narapidana diberikan pendidikan agama serta keterampilan.
Pada tahap asimilasi, narapidana diasimilasikan ke tengah — tengah masyarakat
di luar lembaga pemasyarakat dengan tujuan sebagai upaya penyesuaian diri agar
narapidana tidak canggung lagi apabila keluar dari lembaga pemasyarakatan
apabila telah habis pidananya atau bila mendapatkan pembebasan bersyarat, cuti
menjelang bebas atau pembebasan karena mendapat remisi. Namun sistem
pemasyarakatan tersebut belum dapat terlefas dari sistem kepenjaraan setelah
dikeluarkannya Undang — undang No 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan.
Tujuan berubah menjadi meningkatkan kesadaran narapidana akan
eksistensi sebagai manusia. Kesadaran tersebut dicapai melalui introspeksi,
motivasi dan pengembangan diri. Kesadaran tersebut dimaksudkan agar
narapidana sadar akan eksistensinya sebagai manusia yang memiliki akal dan
budi. Perlakuan terhadap narapidana dalam konsep pemasyarakatan menempatkan
kedudukan narapidana sebagai objek, dimana sebagai objek narapidana tersebut
diperlakukan lebih rendah dari manusia lainnya. Sebagai objek, narapidana tidak
diberi pembinaan tetapi tenaga sering dipergunakan untuk kepentingan penjara,
pengurangan hukuman yang diberikan hanya sebagai anugerah.
Sistem pemasyarakatan telah mampu mengubah citra itu dengan
memperlakukan sebagai subjek. Disinilah faktor manusiawi lebih banyak
dipertimbangkan dengan cara menonjolkan harga diri dan kedudukannya sejajar
dengan manusia lainnya. Perlakuan yang bersifat keras dikendorkan dan
narapidana dibina agar setelah ia bebas kelak tidak lagi mengulangi perbuatannya
dan dapat beradaptasi dengan masyarakat. Dalam proses pembinaan ada beberapa
komponen pembinaan antara lain pembina, yang dibina, materi pembinaan,

17
Universitas Sumatera Utara

tempat pembinaan dan saranan pembinaan. Jadi narapidana adalah subjek
sekaligus objek pembinaan. Sering kali materi pembinaan bukan datang dari
pembinanya tetapi berasal dari narapidana itu sendiri.
Hal ini disebabkan oleh karena tumbuh rasa kesadaran dari narapidana itu
sendiri merubah dirinya. Dalam sistem pemasyarakatan, pekerjaan yang diberikan
kepada narapidana adalah pekerjaan yang bersifat melatih narapidana agar setelah
ia bebas nantinya dapat menerapkannya kepandaiannya sebagai bakal hidup tidak
lagi melakukan tindak pidana. Narapidana memperoleh pembinaan di dalam
lembaga pemasyarakatan tidak dirutan karena rutan hanya diperuntukan bagi para
tahanan. Narapidana yang menjalani pidana di lembaga pemasyarakatan pada
dasamya selam menjalani masa pidana kehilangan kebebasan bergerak artinya
narapidana tersebut hanya bebas bergerak dalam lembaga pemasyarakatan saja.
Kemerdekaan dan kebebasan bergerak telah dirampas untuk jangka waktu tertentu
namun pada kenyataannya buka saja kemerdekaan bergerak yang hilang,
kemerdekaan lainpun ikut terampas. Pada awalnya tujuan pemidanaan adalah
penjeraan terhadap pelaku tindak pidana untuk tidak melakukan kejahatan lagi.
Tujuan tersebut berkembang menjadi perlindungan hukum baik kepada pihak
yang dirugikan maupun pihak yang merugikan agar keduanya tidak melakukan
tindakan hukum sendiri — sendiri. Dengan kata lain pelaku tindak pidana dalam
menjalani pidananya mendapatkan perlakuan yang manusiawi mendapat jaminan
hukum yang memadai. Dalam melakukan pembinaan kepada narapidana juga
dibutuhkan sarana - sarana pendukung. Sarana — sarana yang diperlukan dalam
pembinaan narapidana tersebut adalah :
1. Sarana peraturan melalui UU No 12 Tahun 1995 Mengenai Pemasyarakatan,

18
Universitas Sumatera Utara

2. Sarana porsonalia meliputi penambahan tenaga pembina ahli sosiolog,
psikolog, teolog, Pengadaan pegawai melalui seleksi, pengangkatan dan
penempatan, Kepangkatan melalui sistem promosi dan mutasi, kode etik,
pendidikan dan latihan, tats usaha kepegawaian. Masalah kepegawaian adalah
masalah penting karena sangat berperan dalam pembinaan narapidana.
Berdasarkan standar keamanan 1 orang pegawai dapat dikatakan efisien dan
efektif jika membina dan mengawasi 5 orang narapidana karena terjadi over
kapasitas hampir di setiap lembaga pemasyarakatan di Indonesia maka standar
keamanan dari segi kepegawaian tersebut tidak dapat terpenuhi lagi.
3. Sarana fisik meliputi gedung, ruangan kerja, peralatan perkantoran,
perlengkapan keamanan kesehatan damn peralatan keamanan.
4. Sarana administrasi keuangan meliputi administrasi, penyusunan anggaran
keuangan dan makanan. Makanan yang diberikan kepada narapidana biasanya
disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Jumlah dan mute jatah makan
narapidana harus memenuhi standar miniml dan sesuai anggaran yang tersedia
namun kualitas dari makanan tersebut masih jauh dari standar kelayakan dari
segi kesehatan. Metode pembinaan yang dilakukan dengan 2 cara yaitu :
1) Pembinaan perseorangan merupakan pembinaan yang dilakukan secara
perseorangan oleh petugas dan harus diterapkan secara tersendiri karena
masing — masing narapidana yang akan dibina memiliki tingkat
intelektual, emosi dan logika yang tidak sama.
2) Pembinaan berkelompok merupakan pembinaan yang dilakukan secara
kelompok dengan cara ceramah, tanya jawab dan pembentukan tim.
Pemilihan metode tergantung pada tujuan yang hendak dicapai dari proses

19
Universitas Sumatera Utara

pembinaan.
Remisi atau pengurangan hukuman selama narapidana menjalani hukuman pidana
berubah dari waktu ke waktu. Sistem kepenjaraan menempatkan remisi sebagai
anugerah yang diberikan pemerintah kepada narapidana. Selain syarat
berkelakukan baik, lama pidana bagi narapidana yang akan mendapat remisi tidak
boleh kurang dari enam bulan dan narapidana yang dipidana seumur hidup
terlebih dahulu harus diubah menjadi pidana sementara.

20
Universitas Sumatera Utara