Gambaran Perawatan Diri Narapidana Wanita di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan

(1)

Gambaran Perawatan Diri Narapidana Wanita di Lembaga

Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan

SKRIPSI

Oleh Leliana Sijabat

111101034

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

(3)

(4)

Judul : Gambaran Perawatan Diri Narapidana Wanita di Lapas Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan

Nama : Leliana Sijabat

NIM : 111101034

Program : Sarjana Keperawatan

Tahun : 2015

Abstrak

Narapidana sangat rentan terhadap serangan berbagai macam penyakit karena kehidupan di dalam lapas jauh dari kelayakan khususnya narapidana wanita yang mempunyai kebutuhan pelayanan kesehatan khusus karena kerentanan dan kelemahan mereka, sehingga untuk dapat mempertahankan kesehatannya narapidana perlu melakukan perawatan diri.Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi perawatan diri narapidana wanita di Lapas Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan dengan menggunakan desain penelitian deskriptif. Pengambilan data dilakukan pada bulan April 2015 yang melibatkan 78 orang narapidana wanita dengan metode pengambilan sampel accidental sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas narapidana wanita yaitu sebanyak 76 orang (97,4%) memiliki perawatan diri yang baik dan perawatan diri cukup baik sebanyak 2 orang (2,6%). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa narapidana memiliki personal hygiene yang baik sebanyak 76 orang (97,4%), aktivitas toileting yang baik sebanyak 74 orang (94,9%), aktivitas berhias yang baik sebanyak 52 orang (66,7%), dan makan yang baik sebanyak 71 orang (91%). Dengan perawatan diri yang baik narapidana wanita tetap dalam kondisi kesehatan yang baik meskipun dengan berbagai kondisi dan masalah yang ada di lapas. Saran untuk lembaga pemasyarakatan agar semakin meningkatkan penyediaan fasilitas perawatan diri yang ada di lapas dan diberikan secara merata kepada narapidana.


(5)

Title of the Thesis : Description of Female Prisoners’ Self-Care at the Woman Penitentiary Class IIA Tanjung Gusta, Medan

Name of Student : Leliana Sijabat

Std. ID Number : 111101034

Program : S1 (Undergraduate) Nursing

Academic Year : 2015

Abstract

A prisoner is very susceptible to various kinds of disease since life in a penitentiary is far from suitability, especially female prisoners who need specific health care because of their vulnerability and frailty so that they have to take care of themselves to keep them healthy. The objective of the research was to identify female prisoners’ self-care at the Woman Penitentiary Class IIA Tanjung Gusta, Medan, by using descriptive approach. The samples consisted of 78 female prisoners as the respondents, taken by using accidental sampling technique in April, 2015. The result of the research showed that 76 respondents (97.4%) had good self-care while 2 respondents (2.6%) had moderate self-care. It was also found that 76 respondents (97.4%) had good personal hygiene, 74 respondents (94.9%) had good toileting activity, 52 respondents (66.7%) had good make-ups, and 71 respondents (91%) had good health condition. By taking care of themselves (self-care), female prisoners seemed to be in good health condition, regardless of facing various problems in the penitentiary. It is recommended that the management of the penitentiary improve the self-care facility in the penitentiary and distribute it equally to female prisoners.


(6)

PRAKATA

Puji dan syukur kepada Allah Bapa di surga karena berkat dan kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Gambaran Perawatan Diri Narapidana Wanita di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan”.

Selama mengerjakan skripsi ini penulis mendapatkan banyak bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Keperawatan Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes, Ibu Erniyati, S.Kp, MNS selaku Pembantu Dekan I, Ibu Evi Karota Bukit, S.Kp, MNS selaku Pembantu Dekan II, Bapak Ikhsanuddin Ahmad Harahap, S.Kp, MNS selaku Pembantu Dekan III.

2. Ibu Sri Eka Wahyuni, S.Kep, Ns, M.Kep selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu dan memberi saran serta kritik yang bermanfaat kepada saya dalam penyusunan skripsi ini.

3. Ibu Nurbaiti, S.Kep, Ns, M.Biomed selaku dosen penguji I, Ibu Wardiyah Daulay, S.Kep, Ns, M.Kep selaku dosen penguji II yang bersedia menguji saya dan memberikan masukan untuk perbaikan penyusunan skripsi ini. 4. Ibu Diah Arrum, S.Kep, Ns, M.Kep selaku dosen Fakultas Keperawatan

yang telah menguji validitas kuesioner perawatan diri serta memberikan tanggapan dan saran kepada penulis.


(7)

5. Kepada seluruh dosen Fakultas Keperawatan yang telah mendidik penulis

selama proses perkuliahan dan staf non akademik yang telah membantu memfasilitasi secara administrasi.

6. Seluruh keluarga tercinta, Ayahanda M.Sijabat, Ibunda T.Silitonga, serta

saudara-saudara saya (Kristina Magdalena, Marlina, Roy Valdo, Boi Frando, dan abang ipar Pantun Napitupulu) atas setiap dukungan doa, daya dan dana yang diberikan.

7. Saudara KTB saya “PAMEL VERCHIEL” (Priskila Milala, Ernawati Sitorus, dan Marista Rajagukguk), adik-adik KK “The Archangel” (Agustina, Ayu, Destri, Mery, Meylin, Rina, Widya), dan teman-teman koordinasi UKM KMK USU UP FKEP, serta teman-teman Mikha kost (Rea, Maria, Yanti, Leny, Naomi) terima kasih untuk doa dan semangat yang diberikan.

8. Teman-teman seperjuangan (Melina, Sri, Clara, Rita, Bertua, Tetty, Renta, Jernita, Inne) dan teman-teman Fkep stambuk 2011 terimakasih untuk bantuan dan semangat yang telah diberikan.

9. Pihak Lapas Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan yang telah memberikan saya izin untuk melakukan penelitian dan memberikan informasi terkait dengan penelitian.

10. Kepada seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu per satu yang telah mendukung penyelesaian skripsi ini.


(8)

Biarlah Tuhan yang mencurahkan berkat dan kasih-Nya kepada pihak yang telah membantu penulis menyelesaikanskripsi ini, dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi dunia keperawatan.

Medan, Juni 2015


(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

ABSTRAK ... iii

PRAKATA ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR SKEMA... xi

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar belakang ... 1

1.2 Rumusan masalah ... 7

1.3 Tujuan penelitian ... 7

1.4 Manfaat penelitian ... 8

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Perawatan diri ... 9

2.1.1 Definisi perawatan diri ... 9

2.1.2 Tujuan perawatan diri ... 9

2.1.3 Jenis-jenis perawatan diri ... 10

2.1.3.1 Personal hygiene ... 10

2.1.3.2 Toileting ... 19

2.1.3.3 Berhias ... 19

2.1.3.4 Makan ... 20

2.1.4 Jenis perawatan diri berdasarkan waktu pelaksanaan ... 20

2.1.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi praktik hygiene ... 21

2.1.6 Dampak perawatan diri ... 24

2.2 Narapidana wanita ... 25

2.2.1 Definisi narapidana wanita ... 25

2.2.2 Perawatan diri narapidana ... 25

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN ... 29

3.1 Kerangka konseptual ... 29

3.2 Definisi operasional ... 29

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN ... 32

4.1 Desain penelitian ... 32

4.2 Populasi, sampel, dan teknik sampling ... 32

4.3 Lokasi dan waktu penelitian ... 33

4.4 Pertimbangan etik ... 34

4.5 Instrumen penelitian ... 35


(10)

4.7 Pengumpulan data ... 37

4.8 Analisa data ... 38

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40

5.1 Hasil penelitian ... 40

5.1.1 Karakteristik demografi responden ... 40

5.1.2 Perawatan diri narapidana wanita ... 42

5.2 Pembahasan ... 44

5.2.1 Perawatan diri narapidana wanita ... 44

5.2.1.1 Personal hygiene ... 49

5.2.1.2 Toileting ... 52

5.2.1.3 Berhias ... 53

5.2.1.4 Makan ... 56

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 58

6.1 Kesimpulan ... 58

6.2 Saran ... 58

6.3 Keterbatasan penelitian ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 60

LAMPIRAN ... 64

1. Informed consent ... 65

2. Instrumen penelitian ... 66

3. Jadwal tentatif ... 71

4. Taksasi dana ... 72

5. Hasil uji validitas ... 73

6. Hasil uji reliabilitas ... 77

7. Master tabel ... 79

8. Hasil pengolahan data ... 87

9. Lembar persetujuan validitas ... 104

10. Surat etik penelitian ... 105

11. Surat izin survei awal ... 106

12. Surat izin reliabilitas dan pengambilan data ... 109

13. Surat selesai penelitian ... 111

14. Surat terjemahan abstrak ... 113


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Definisi Operasional ... 30 Tabel 5.1.1 Distribusi frekuensi dan persentasi karakteristik narapidana

wanita di Lapas Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan ... 41 Tabel 5.1.2 Distribusi frekuensi dan persentase perawatan diri narapidana

wanita di Lapas Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan ... 42 Tabel 5.1.3 Distribusi frekuensi dan persentase gambaran perawatan diri

berdasarkan empat komponen perawatan diri pada narapidana wanita di Lapas Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan ... 43


(12)

DAFTAR SKEMA


(13)

Judul : Gambaran Perawatan Diri Narapidana Wanita di Lapas Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan

Nama : Leliana Sijabat

NIM : 111101034

Program : Sarjana Keperawatan

Tahun : 2015

Abstrak

Narapidana sangat rentan terhadap serangan berbagai macam penyakit karena kehidupan di dalam lapas jauh dari kelayakan khususnya narapidana wanita yang mempunyai kebutuhan pelayanan kesehatan khusus karena kerentanan dan kelemahan mereka, sehingga untuk dapat mempertahankan kesehatannya narapidana perlu melakukan perawatan diri.Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi perawatan diri narapidana wanita di Lapas Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan dengan menggunakan desain penelitian deskriptif. Pengambilan data dilakukan pada bulan April 2015 yang melibatkan 78 orang narapidana wanita dengan metode pengambilan sampel accidental sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas narapidana wanita yaitu sebanyak 76 orang (97,4%) memiliki perawatan diri yang baik dan perawatan diri cukup baik sebanyak 2 orang (2,6%). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa narapidana memiliki personal hygiene yang baik sebanyak 76 orang (97,4%), aktivitas toileting yang baik sebanyak 74 orang (94,9%), aktivitas berhias yang baik sebanyak 52 orang (66,7%), dan makan yang baik sebanyak 71 orang (91%). Dengan perawatan diri yang baik narapidana wanita tetap dalam kondisi kesehatan yang baik meskipun dengan berbagai kondisi dan masalah yang ada di lapas. Saran untuk lembaga pemasyarakatan agar semakin meningkatkan penyediaan fasilitas perawatan diri yang ada di lapas dan diberikan secara merata kepada narapidana.


(14)

Title of the Thesis : Description of Female Prisoners’ Self-Care at the Woman Penitentiary Class IIA Tanjung Gusta, Medan

Name of Student : Leliana Sijabat

Std. ID Number : 111101034

Program : S1 (Undergraduate) Nursing

Academic Year : 2015

Abstract

A prisoner is very susceptible to various kinds of disease since life in a penitentiary is far from suitability, especially female prisoners who need specific health care because of their vulnerability and frailty so that they have to take care of themselves to keep them healthy. The objective of the research was to identify female prisoners’ self-care at the Woman Penitentiary Class IIA Tanjung Gusta, Medan, by using descriptive approach. The samples consisted of 78 female prisoners as the respondents, taken by using accidental sampling technique in April, 2015. The result of the research showed that 76 respondents (97.4%) had good self-care while 2 respondents (2.6%) had moderate self-care. It was also found that 76 respondents (97.4%) had good personal hygiene, 74 respondents (94.9%) had good toileting activity, 52 respondents (66.7%) had good make-ups, and 71 respondents (91%) had good health condition. By taking care of themselves (self-care), female prisoners seemed to be in good health condition, regardless of facing various problems in the penitentiary. It is recommended that the management of the penitentiary improve the self-care facility in the penitentiary and distribute it equally to female prisoners.


(15)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Sehat merupakan kebutuhan dasar manusia. Untuk mencapai kondisi sehat langkah awal yang harus dilakukan adalah dengan melakukan perawatan diri. Orem (1991) mendeskripsikan perawatan diri sebagai tindakan yang berkesinambungan yang diperlukan dan dilakukan oleh orang dewasa untuk mempertahankan hidup, kesehatan dan kesejahteraan. Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak terpeliharanya kebersihan diri dengan baik. Pembangunan kesehatan pada dasarnya menyangkut segala segi kehidupan masyarakat dan berlangsung pada setiap individu tak terkecuali para narapidana. Narapidana yang tinggal di lembaga pemasyarakatan(lapas) juga merupakan anggota masyarakat yang mempunyai hak yang sama dengan anggota masyarakat lainnya untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal.

Saat ini hampir seluruh lapas di Indonesia mengalamiover capacity (kelebihan muatan).Narapidana terkadang harus tidur bertumpuk-tumpuk karena sel penuh sesak. Berdasarkan data dari Dirjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (2014), jumlah napi dan tahanan di Indonesia saat ini sebanyak 160.231 orang dengan rincian napi 109.695 orang dan tahanan 50.536 orang. Jumlah ini tidak seimbang dengan kapasitas penjara 109.011 orang sehingga terjadi over capasity hingga 47%. Secara global, narapidana wanita mengambil porsi 5% dari seluruh populasi napi, namun proporsi ini cenderung


(16)

meningkat dengan cepat dan jauh lebih besar daripada laki-laki. Pada tahun 2005, di seluruh dunia pernah terjadi lebih dari setengah juta perempuan dan anak putri ditahan di lapas. Sekitar 1,5 juta orang akan dipenjarakan sepanjang tahun (UNODC, 2008). Dampak dari over capasity yaitu buruknya kondisi kesehatan dan suasana psikologis narapidana, mudah terjadinya konflik antar penghuni, meningkatnya ketidakpuasan penghuni, pembinaan tidak berjalan sesuai ketentuan dan terjadi pemborosan anggaran akibat meningkatnya konsumsi air, listrik, makanan dan pakaian (Nastami, 2012).

Napi wanita mempunyai kebutuhan pelayanan kesehatan khusus dan merupakan salah satu populasi unik pada lapas yang memiliki masalah kesehatan karena kerentanan dan kelemahan mereka. Isu kemiskinan, reproduksi, dan keluarga sangat kental pada narapidana perempuan. Sebelum ditahan para narapidana berasal dari latar belakang sosial ekonomi rendah yang memiliki keterbatasan mendapatkan pelayanan kesehatan.Pelayanan kesehatan yang selama ini diberikan juga belum cukup maksimal dan tidak efektif untuk memenuhi kebutuhan narapidana perempuan sebab sistem pelayanan di lapas dirancang dan dikembangkan untuk pria.

Narapidana wanita juga sangat rentan terhadap serangan berbagai macam penyakit seperti diabetes, penyakit jantung, HIV, hipertensi, gangguan jiwa, penyakit kecanduan, dan hepatitis (Glaser & Griefinger, 1993; Weisbuch, 1991 dalam Marshall et al, 2000). Hal ini disebabkan oleh kehidupan di dalam lapas memang jauh dari kelayakan. Kondisi lapas dari segi sarana dan prasarana, hunian kamar yang padat, fasilitas ventilasi, pencahayaan, sanitasi, dan pemenuhan


(17)

kebutuhan toilet yang masih terbatas membuat penghuni sulit untuk menciptakan kondisi higienis bagi diri mereka sendiri sehingga membuat mereka mudah terpapar infeksi menular selama berada di dalam lapas. Kebutuhan dasar perempuan seperti barang-barang untuk kebersihan menstruasi (pembalut, kain saniter yang bersih) sering tidak terpenuhi (UNODC, 2008). Tingkat kesehatan narapidana yang buruk merupakan suatu konsekuensi logis yang pasti dialami oleh narapidana (Wirawan, Nurullita, & Astuti, 2011).

Hasil laporan data kesehatan tahun 2006 dan 2007 yang diterima Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menunjukkan bahwa penyakit kulit menempati urutan pertama dari 10 besar penyakit di lapas dan rutan seluruh Indonesia. Herpes merupakan salah satu penyakit kulit yang sering terjadi di lapas. Di Lapas Wanita Klas IIA Semarang, berdasarkan data dari bagian administratif kesehatan tahun 2009, 80% dari jumlah total 176 warga binaan mempunyai riwayat menderita penyakit herpes simplek (Wirawan dkk, 2011).Zulfah (2008) menemukan bahwa narapidana menderita penyakit kulit berkaitan dengan perilaku yang mereka lakukan sebelum masuk atau selama mendekam di lapas. Penularan penyakit kulit terjadi karena sanitasi yang kurang baik, air bersih sulit diperoleh, dan perilaku napi yang kurang bersih. Sel yang kotor dan pengap juga turut berperan. Hasil rekapan di klinik kesehatan Lapas Klas IIA Kupang, diketahui pada tahun 2008 urutan teratas penyakit yang sering diderita adalah penyakit kulit yakni sebanyak 1903 kasus dan tahun 2009 masih yang tertinggi yakni sebanyak 1729 kasus (Astriyanti, Lerik, & Sahdan, 2010).


(18)

Praktek personal hygiene narapidana penderita penyakit kulit yang buruk ditunjukkan pada item frekuensi mandi, pemakaian sabun saat mandi, penggunaan alat makan secara bergantian tanpa dicuci terlebih dahulu, mengganti pakaian, dan meminjam/ meminjamkan pakaian dan handuk kepada orang lain. Berdasarkan hasil wawancara terhadap ketiga orang narapidana, diketahui bahwa seorang narapidana mandi satu kali sehari, banyak atau sedikit air yang ada tidak mempengaruhinya dalam berperilaku mandi. Narapidana tersebut beranggapan bahwa jika mandi dua atau tiga kali dalam sehari maka badannya akan menjadi lemah dan tidak kuat dalam bekerja. Dua orang narapidana lainnya mengatakan bahwa mereka mandi satu kali dalam sehari karena air bersih yang terbatas dan harus mengantri untuk mengambil air. Tidak hanya masalah mandi, narapidana juga sering meminjam atau meminjamkan pakaian dan handuk kepada orang lain. Sudah menjadi hal yang wajar bila sesama teman sekamar pinjam-meminjam pakaian dan handuk di latar belakangi oleh rasa setia kawan karena tidak enak menolak permintaan teman sekamar. Alasan lain juga karena persediaan baju yang minim, sehingga lebih mudah meminjam baju teman sekamar. Narapidana juga mengatakan bahwa di dalam kamarnya hanya terdapat satu buah handuk saja. Handuk tersebutlah yang mereka gunakan beramai-ramai setiap harinya (Astriyanti dkk, 2010).

Tidak hanya masalah personal hygiene, lapas di Indonesia saat ini kebanyakan belum dapat memenuhi standar makanan yang baik bagi penghuni, sehingga banyak penghuni yang lebih memilih membeli makanan daripada memakan makanan yang disediakan oleh lapas karena merasa bahwa makanan yang mereka


(19)

makan di lapas tersebut gizinya kurang memadai dan rasanya tidak enak.Narapidana wanita dapat menerima makanan dari luar lapas setelah terlebih dahulu mendapat izin dan diperiksa oleh petugas lapas, tetapi seringkali hal ini dapat memicu kecemburuan sosial dan pertengkaran antara sesama narapidana, sehingga menurut kepala bidang pembinaan kadang ada beberapa orang narapidana wanita yang ketahuan mencuri makanan narapidana wanita lainnya (Nelli, 2003).

Pada kenyataannya masih terdapat kasus mengenai penyediaan makanan di lapas yang kurang layak. Hal ini terjadi di Lapas Kajhu di Aceh (2010), ratusan napi melakukan protes keras dengan merobohkan jeruji besi pembatas ruang tahanan. Mereka melakukan aksi mogok makan dan menyampaikan keluh kesah mereka perihal ketersediaaan air dan jam makan napi yang selalu molor. Selain itu menurut berita VivaNews, di Lapas Nusa Kambangan, beberapa napi mencari makanan tambahan di luar jatah makanan. Beruntung napi di lapas ini beraktivitas atau bekerja di alam bebas. Mereka mencari bekicot dan simping karena anggaran dana untuk makan para napi hanya Rp.8000 per hari sehingga memaksa para napi harus beradaptasi dan cerdik dalam menyusun menu untuk memenuhi gizi mereka meskipun itu sangat mustahil. Menurut Suhendar, salah satu tahanan politik di Nusa Kambangan, pada tahun 1966 silam, terdapat beberapa kejadian kematian tahanan yang sebagian besar meninggal karena kelaparan. Kasus serupa juga terjadi di Lapas Nabire Papua pada bulan Juni 2010 (Avil, 2015).

Lapas juga mengalami kekurangan ruang untuk napi seperti kamar mandi dan WC. Sarana kamar mandi dan WC jumlahnya tidak banyak dan dibangun di luar


(20)

ruang tahanan. Tidak heran jika para penghuni lapas harus antri panjang untuk menggunakan sarana tersebut. Daryanto (2011, dalam Wardoyo, 2011) mengatakan bahwa kondisi Lapas Sragen sangat tidak layak. Kondisi kamar tahanan, kamar mandi hingga ruangan semuanya sangat tidak memenuhi syarat, antara toilet dan ruang tahanan tidak ada pembatas dan dibiarkan terbuka. Tidak hanya di Lapas Sragen, keadaan kamar mandi Rutan Pondok Bambu juga mengalami permasalahan yang sama, pembatas kamar mandi sangat rendah sehingga semua orang dapat melihat saat narapidana mandi. Ruang kamar mandi juga sangat sempit hanya terdiri dari beberapa petak dan berdempetan sehingga para narapidana sulit untuk membersihkan diri (Putri, 2014).

Hal ini membuat para napi kesulitan untuk buang air besar. Seorang tahanan mengatakan, banyaknya tahanan dalam satu kamar menyebabkan narapidana kesulitan buang air besar karena pada saat buang air besar narapidana harus antri (Putri, 2014). Di dalam kamar tahanan yang dihuni 60 jiwa maupun 106 jiwa tahanan hanya ada sebuah WC dan di depan kamar tahanan ada beberapa WC dan kamar mandi yang semi terbuka. Sebagai contoh di Lapas Tasikmalaya sebuah sel ukuran 6x4 meter memiliki satu kamar mandi yang diproyeksikan untuk 12 orang namun saat itu diisi oleh 32 orang.Berbagai masalah dan kondisi di lapastentu mempengaruhi bagaimana perawatan diri narapidana wanita.

Hasil wawancara dan survei awal yang dilakukan pada tanggal 19 dan 20 November 2014 dengan petugas dan narapidana di Lapas Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan saat ini jumlah narapidana dan tahanan 485 orang, dengan rincian napi 365 orang dan tahanan 120 orang ditambah 2 orang bayi. Jumlah ini


(21)

sangat tidak seimbang dengan kapasitas penjara 150 orang, terjadi over capasity hingga tiga kali lipat. Warga binaan mempunyai kebiasaan mandi 1 kali sehari dengan perlengkapan mandi milik pribadi dan air dibagi 1 ember per orang, makan 3 kali sehari.

Berdasarkan latar belakang diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang gambaran perawatan diri narapidana wanita di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan.

1.2Rumusan Masalah

Bagaimana gambaran perawatan diri narapidana wanita di Lapas Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan?

1.3Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum adalah untuk mengidentifikasi perawatan diri narapidana wanita di Lapas Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan

1.3.2 Tujuan khusus

1.3.2.1 Mengidentifikasi personal hygiene narapidana wanita di Lapas Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan

1.3.2.2 Mengidentifikasi toileting narapidana wanita di Lapas Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan

1.3.2.3 Mengidentifikasi berdandan/ berhias narapidana wanita di Lapas Wanita


(22)

1.3.2.4 Mengidentifikasi makan narapidana wanita di Lapas Klas IIA Wanita

Tanjung Gusta Medan.

1.4Manfaat Penelitian

1.4.1 Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan atau informasi tambahan bagi mahasiswa keperawatan tentang perawatan diri narapidana wanita di lembaga pemasyarakatan

1.4.2 Praktik Keperawatan

Sebagai informasi bagi profesi keperawatan agar dapat meningkatkan pelayanan keperawatan di lembaga pemasyarakatan

1.4.3 Penelitian Keperawatan

Sebagai data awal bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut tentang kesehatan narapidana wanita di lembaga pemasyarakatan.


(23)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perawatan Diri

2.1.1 Definisi Perawatan Diri

Perawatan diri merupakan perawatan diri sendiri yang dilakukan untuk mempertahankan kesehatan, baik secara fisik maupun psikologis (Alimul, 2009). Menurut Depkes (2000, dalam Scribd, 2011) perawatan diri adalah salah satu

kemampuan dasar manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna

mempertahankan kehidupannya, kesehatan dan kesejahteraan sesuai dengan kondisi kesehatannya, seseorang dinyatakan terganggu keperawatan dirinya jika tidak dapat melakukan perawatan diri. Perawatan diri berorientasi pada manusia, lingkungan, kesehatan, dan keperawatan yang saling mempengaruhi (Meleis, 2007 dalam Herlina, 2013). Penyakit mungkin saja teratasi dengan upaya pengobatan. Akan tetapi, tanpa perawatan penyakit itu akan tetap ada dan kondisi sehat tidak akan tercapai (Asmadi, 2008). Jadi, perawatan diri adalah suatu kemampuan dasar manusia dalam merawat dirinya sendiri yang dilakukan untuk mempertahankan kesehatannya.

2.1.2 Tujuan perawatan diri

Tujuan umum perawatan diri adalah untuk mempertahankan perawatan diri, baik secara sendiri maupun dengan menggunakan bantuan, dapat melatih hidup sehat/ bersih dengan cara memperbaiki gambaran atau persepsi terhadap


(24)

kesehatan dan kebersihan, serta menciptakan penampilan yang sesuai dengan kebutuhan kesehatan. Membuat rasa nyaman dan relaksasi dapat dilakukan untuk menghilangkan kelelahan serta mencegah infeksi, mencegah gangguan sirkulasi darah, dan mempertahankan integritas pada jaringan (Alimul, 2009).

Perawatan diri juga bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan seseorang, memelihara kebersihan diri, memperbaiki personal hygiene yang kurang, pencegahan penyakit, meningkatkan percaya diri, dan menciptakan keindahan (Tarwoto & Wartonah, 2003). Perawatan diri ini menggambarkan dan menjelaskan manfaat perawatan diri guna mempertahankan hidup, kesehatan, dan kesejahteraannya. Jika dilakukan secara efektif, upaya perawatan diri dapat memberi kontribusi bagi integritas struktural fungsi dan perkembangan manusia (Asmadi, 2008).

2.1.3 Jenis-jenis perawatan diri

2.1.3.1 Personal hygiene/ kebersihan diri

Higiene adalah ilmu kesehatan. Personal hygiene berasal dari bahasa Yunani yang berarti personal yang artinya perorangan dan hygiene berarti sehat. Kebersihan perorangan adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis (Tarwoto & Wartonah, 2010). Cara perawatan diri manusia untuk memelihara kesehatan mereka disebut higiene perorangan (Potter & Perry, 2005). Secara umum kebersihan diri/ mandi meliputi kemampuan membersihkan badan, memperoleh atau mendapatkan


(25)

sumber air, mengatur suhu atau aliran air mandi, mendapatkan perlengkapan mandi, mengeringkan tubuh, serta masuk dan keluar kamar mandi.

Tujuan mandi menurut Potter & Perry (2005):

1. Membersihkan kulit: pembersihan mengurangi keringat, beberapa bakteria,

sebum, dan sel kulit yang mati, yang meminimalkan iritasi kulit dan mengurangi kesempatan infeksi.

2. Stimulasi sirkulasi: sirkulasi yang baik ditingkatkan melalui penggunaan air hangat dan usapan yang lembut pada ekstremitas

3. Peningkatan citra diri: mandi meningkatkan relaksasi dan perasaan segar kembali

dan kenyamanan

4. Pengurangan bau badan: sekresi keringat yang berlebihan dari kelenjar aprokin berlokasi di area aksila dan publik menyebabkan bau badan yang tidak menyenangkan. Mandi dan penggunaan antiperspiran meminimalkan bau.

5. Peningkatan rentang gerak: gerakan ekstremitas selama mandi mempertahankan fungsi sendi.

Potter & Perry (2005) dan Alimul (2009) menyatakan kebersihan diri meliputi: 1. Perawatan kulit

Kulit merupakan salah satu bagian penting dari tubuh yang dapat melindungi tubuh dari berbagai kuman atau trauma, sehingga diperlukan perawatan yang adekuat (cukup) dalam mempertahankan fungsinya. Sebagai bagian dari organ pelindung, kulit secara anatomis terdiri atas dua lapisan, yaitu lapisan epidermis dan lapisan dermis. Kulit secara umum memiliki berbagai fungsi yaitu:


(26)

a. Melindungi tubuh dari masuknya berbagai kuman atau trauma jaringan bagian

dalam yang juga dapat membantu menjaga keurtuhan kulit

b. Mengatur keseimbangan suhu tubuh dan membantu produksi keringat serta penguapan.

c. Sebagai alat peraba yang dapat membatu tubuh menerima rangsangan dari luar melalui baru rasa sakit, sentuhan, tekanan, atau suhu.

d. Sebagai alat ekskresi keringat melalui pengeluaran air, garam dan nitrogen

e. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit yang bertugas mencegah pengeluaran cairan tubuh secara berlebihan.

f. Memproduksi dan menyerap vitamin D sebagai penghubung atau pemberi vitamin D dari sinar ultraviolet matahari.

Kulit juga berfungsi sebagai pertukaran oksigen, nutrisi, dan cairan dengan pembuluh darah yang berada dibawahnya; mensintesa sel baru; dan mengeliminasi sel mati, sel yang tidak berfungsi. Sel-sel integumen memerlukan nutrisi dan hidrasi yang cukup untuk menahan cedera dan penyakit. Sirkulasi yang adekuat penting untuk memelihara kehidupan sel. Selama kulit masih utuh dan sehat, fungsi fisiologisnya masih optimal (Potter & Perry ,2005).

Usaha untuk membersihkan kulit dapat dilakukan dengan cara mandi 2 kali sehari secara teratur (Alimul, 2009). Gunakan sabun yang tidak bersifat iritatif, sabuni seluruh tubuh terutama area lipatan kulit seperti sela-sela jari, ketiak, belakang telinga, dan lain-lain. Jangan gunakan sabun mandi untuk wajah. Segera keringkan tubuh dengan handuk dari wajah, tangan, badan hingga kaki. Faktor-faktor yang mempengaruhi kulit yaitu umur, jaringan kulit,


(27)

kondisi/keadaan lingkungan. 2. Perawatan kuku dan kaki

Menjaga kebersihan kuku merupakan salah satu aspek penting dalam mempertahankan perawatan diri karena berbagai kuman dapat masuk ke dalam tubuh melalui kuku. Oleh sebab itu, kuku seharusnya tetap dalam keadaan sehat dan bersih. Secara anatomis kuku terdiri atas dasar kuku, badan kuku, dinding kuku, kantung kuku, akar kuku, dan lunula. Kondisi normal kuku ini dapat terlihat halus, tebal kurang lebih 0,5 mm, transparan, dasar kuku berwarna merah muda (Potter & Perry, 2005). Kaki dan kuku seringkali memerlukan perhatian khusus untuk mencegah infeksi, bau, dan cedera pada jaringan. Perawatan dapat digabungkan selama mandi atau pada waktu yang terpisah. Seringkali, orang tidak sadar akan masalah kaki dan kuku sampai terjadi nyeri atau ketidaknyamanan. Masalah dihasilkan karena perawatan yang salah atau kurang terhadap kaki dan tangan seperti menggigit kuku atau pemotongan yang tidak tepat, pemaparan dengan zat-zat kimia yang tajam, dan pemakaian sepatu yang tidak pas. Ketidaknyamanan dapat mengarah pada stres fisik dan emosional.

Kaki penting untuk kesehatan fisik dan emosional. Nyeri pada kaki dapat menyebabkan seseorang berjalan berbeda, yang menyebabkan ketegangan pada kelompok otot yang bebeda. Banyak orang harus berjalan atau berdiri nyaman untuk melakukan pekerjaan mereka dengan efektif.

Masalah/ gangguan pada kuku:

a. Ingrown nail, kuku tangan yang tidak tumbuh-tumbuh dan dirasakan sakit pada daerah tersebut.


(28)

b. Paronychia, radang di sekitar jaringan kuku.

c. Ram’s horn nail, gangguan kuku yang ditandai pertumbuhan yang lambat disertai kerusakan dasar kuku atau infeksi.

d. Bau tidak sedap, reaksi mikroorganisme yang menyebabkan bau tidak sedap.

Cara-cara dalam merawat kuku antara lain: jangan memotong kuku terlalu pendek dan kuku jari kaki dipotong dalam bentuk lurus, jangan membersihkan kotoran dibalik kuku dengan benda tajam sebab akan merusak jaringan dibawah kuku, potong kuku seminggu sekali atau sesuai kebutuhan, khusus untuk jari sebaiknya kuku dipotong segera setelah mandi atau direndam, jangan menggigit kuku karena akan merusak bagian kuku.

3. Perawatan mulut

Mulut, atau bukal, rongga yang terdiri dari bibir sekitar pembukaan mulut, leher sepanjang sisi dinding rongga, lidah dan ototnya dan langit-langit mulut bagian depan dan belakang yang membentuk akar rongga. Mukosa mulut secara normal berwarna merah muda terang dan basah. Gigi berfungsi untuk mengunyah. Higiene mulut membantu mempertahankan status kesehatan mulut, gigi, gusi, dan bibir. Menggosok membersihkan gigi dari partikel-partikel makanan, plak, dan bakteri; memasase gusi; dan mengurangi ketidaknyamanan yang dihasilkan dari bau dan rasa yang tidak nyaman. Flossing membantu lebih lanjut dalam mengangkat plak dan tartar di antara gigi untuk mengurangi inflamasi gusi dan infeksi. Higiene mulut yang lengkap memberikan rasa sehat dan selanjutnya menstimulus nafsu makan. Higiene mulut yang baik termasuk kebersihan, kenyamanan, dan kelembaban struktur mulut. Perawatan yang tepat mencegah


(29)

penyakit mulut dan kerusakan gigi. Perawatan mulut harus diberikan teratur dan setiap hari. Frekuensi tindakan higiene bergantung pada kondisi rongga mulut klien. Tidak makan makanan yang terlalu manis atau asam, tidak menggunakan gigi untuk menggigit dan mencongkel benda keras, gosok gigi, membersihkan dengan serat (flossing), dan perlu pembersihan yang tepat, serta memeriksakan gigi secara teratur setiap 6 bulan sekali. Gosok gigi dengan teliti sedikitnya 4 kali sehari (setelah makan dan khususnya sebelum tidur) adalah dasar program higiene mulut yang efektif.

Masalah umum mulut:

a. Karies gigi (lubang) merupakan masalah mulut paling umum dari orang muda. Perkembangan lubang merupakan proses patologi yang melibatkan kerusakan email gigi pada akhirnya melalui kekurangan kalsium. Selanjutnya dengan berkembangnya lubang, gigi menjadi kecoklatan atau kehitaman.

b. Penyakit periodontal (pyorrhea): paling sering terjadi pada orang usia lebih dari 35 tahun. Penyakit ini adalah penyakit jaringan sekitar gigi, seperti peradangan membran periodontal atau ligamen periodontal.

c. Halitosis (bau napas) merupakan akibat higiene mulut yang buruk, pemasukan makanan tertentu, atau proses infeksi atau penyakit. Higiene mulut yang tepat dapat mengeliminasi bau kecuali penyebabnya adalah kondisi sistemik seperti penyakit liver atau diabetes.

d. Stomatitis adalah kondisi peradangan pada mulut karena kontak dengan

pengiritasi, seperti tembakau; defisiensi vitamin; infeksi oleh bakteri, virus, atau jamur; atau penggunaan obat kemoterapi.


(30)

e. Gingivitis adalah peradangan gusi, biasanya karena higiene mulut yang buruk atau

terjadi tanda leukemia, defisiensi vitamin, atau diabetes melitus. 4. Perawatan rambut

Rambut merupakan bagian dari tubuh yang memiliki fungsi sebagai proteksi serta pengatur suhu, melalui rambut perubahan status kesehatan diri dapat diidentifikasi. Secara anatomis, rambut terdiri atas bagian batang, akar rambut, sarung akar, folikel rambut, serta kelenjar sebasea. Penampilan dan kesejahteraan seseorang seringkali tergantung dari cara penampilan dan perasaan mengenai rambutnya. Penyakit atau ketidakmampuan mencegah klien untuk memelihara perawatan rambut sehari-hari.

Menyikat, menyisir, dan bersampo adalah cara-cara dasar higienis untuk semua klien. Klien juga harus diizinkan bercukur bila kondisi mengizinkan. Pertumbuhan, distribusi, dan pola rambut dapat menjadi indikator status kesehatan umum. Perubahan hormonal, stres emosional maupun fisik, penuaan, infeksi, dan penyakit tertentu atau obat-obatan dapat mempengaruhi karakteristik rambut. Rambut yang tidak bercahaya, kusut, kotor mengindikasikan perawatan rambut yang tidak tepat. Rambut yang tidak disisir mungkin karena kurangnya minat, depresi, atau ketidakmampuan fisik untuk merawat rambut. Penyikatan yang sering membantu mempertahankan kebersihan rambut dan mendistribusi minyak secara merata sepanjang helai rambut. Penyisiran hanya membentuk gaya rambut dan mencegah rambut kusut.

Klien yang mampu melakukan perawatan diri harus dimotivasi untuk memelihara perawatan rambut sehari-hari. Karena rambut dan kulit kepala


(31)

memiliki kecenderungan menjadi kering, maka mungkin diperlukan penyisiran sehari-hari, penyikatan yang lembut, dan aplikasi produk pelembab. Frekuensi bersampo tergantung rutinitas pribadi sehari-hari dan kondisi rambut. Jika klien mampu untuk mandi, biasanya rambut dapat dikeramas tanpa kesulitan. Pencukuran rambut yang berada di bagian wajah dapat dilakukan setelah mandi atau bersampo. Cara perawatan rambut yaitu: cuci rambut 1-2 kali seminggu (sesuai kebutuhan) dengan memakai sampo yang cocok, pangkas rambut agar terlihat rapi, gunakan sisir yang bergigi besar untuk merapikan rambut keriting dan olesin rambut dengan minyak, jangan gunakan sisir yang bergigi tajam karena bisa melukai kulit kepala, pijat-pijat kulit kepala pada saat mencuci rambut untuk merangsang pertumbuhan rambut, pada jenis rambut ikal dan keriting sisir rambut mulai dari bagian ujung hingga kepangkal dengan pelan dan hati-hati.

Masalah/gangguan pada rambut: ketombe, kutu, botak (alopecia), radang pada kulit di rambut (seborrheic dermatitis) (Potter & Perry, 2005).

5. Perawatan mata, telinga dan hidung

Secara normal tidak ada perawatan khusus yang diperlukan untuk mata karena secara terus-menerus dibersihkan air mata, dan kelopak mata dan bulu mata mencegah masuknya partikel asing. Seseorang hanya perlu memindahkan kotoran mata/ sekresi kering yang terkumpul pada kantus sebelah dalam atau bulu mata, melindungi mata dari kemasukan debu dan kotoran, dan bila menggunakan kacamata hendaklah selalu dipakai. Pembersihan mata dilakukan selama mandi dan melibatkan pembersihan dengan waslap bersih yang dilembabkan ke dalam air, dengan cara menyeka dari dalam ke luar kantus mata untuk mencegah sekresi


(32)

dari pengeluaran ke dalam kantung lakrimal. Tekanan langsung jangan digunakan di atas bola mata karena dapat menyebabkan cedera serius.

Higiene telinga mempunyai implikasi untuk ketajaman pendengaran bila substansi lilin atau benda asing berkumpul pada kanal telinga luar, yang mengganggu konduksi udara. Khususnya pada lansia rentan terkena masalah ini. Membersihkan telinga merupakan bagian rutin dalam kegiatan mandi. Bila ada kotoran yang menyumbat telinga keluarkan secara pelan-pelan, dan jangan menggunakan peniti atau jepitan rambut untuk membersihkan kotoran telinga karena dapat merusak gendang telinga.

Hidung memberikan indera penciuman tetapi juga memantau temperatur dan kelembaban udara yang dihirup serta mencegah masuknya partikel asing kedalam sistem pernapasan. Secara tipikal, perawatan higienis hidung adalah sederhana. Mengangkat sekresi hidung secara lembut dengan membersihkan ke dalam dengan tisu lembut menjadi higiene harian yang diperlukan. Jangan mengeluarkan kotoran dengan kasar atau dengan jari karena mengakibatkan tekanan yang dapat mengiritasi mukosa hidung, jaga agar lubang hidung tidak kemasukan air atau benda kecil sebab nantinya dapat terhisap dan menyumbat jalan nafas serta menyebabkan luka pada membran mukosa. Perdarahan hidung adalah tanda kunci dari pengeluaran yang kasar, iritasi mukosa, atau kekeringan.

6. Perawatan alat kelamin

Perawatan diri pada alat kelamin yang dimaksud adalah pada alat kelamin perempuan, yaitu perawatan diri pada organ eksterna yang terdiri atas mons veneris, terletak di depan simpisis pubis; labia mayora, labia minora, klitoris


(33)

(sebuah jaringan erektil yang serupa dengan penis laki-laki); kemudian bagian yang terkait di sekitarnya, seperti uretra, vagina, perenium, dan anus. Umumnya wanita lebih suka melakukannya sendiri tanpa bantuan orang apabila mereka masih mampu secara fisik.

2.1.3.2 Toileting (BAK/BAB)

Kegiatan toileting yang normal adalah adanya dorongan dan keinginan individu untuk melakukan eliminasi sisa metabolisme (menstruasi, urin, dan defekasi) dan membersihkan diri setelahnya secara mandiri tanpa bantuan setiap harinya. Toileting meliputi kemampuan dalam mendapatkan jamban/ kamar kecil, duduk atau bangkit dari jamban, melepaskan dan memakai kembali pakaian untuk toileting, membersihkan diri setelah BAB/ BAK dengan tepat, dan menyiram toilet atau kamar kecil (Fitria, 2009).

2.1.3.3 Berhias

Berhias terdiri dari kemampuan mengambil pakaian dari lemari dan menaruhnya kembali, menanggalkan/melepaskan pakaian, mengenakan pakaian dalam, mengancing baju dan celana (resleting dan kancing), menggunakan kaos kaki, menggunakan alat tambahan, memperoleh atau menukar pakaian, memilih pakaian, mempertahankan penampilan pada tingkat yang memuaskan, dan mengenakan sepatu secara tepat sesuai dengan iklim dan kondisi sosial (Fitria, 2009). Dan seluruh kegiatan ini tergantung pada kesukaan dan budaya seseorang. Bagi wanita memakai make up, mencukur bulu ketiak dan alis merupakan bagian


(34)

yang penting dari kerapian. Sedangkan untuk pria mencukur merupakan sesuatu yang penting sekali bagi penampilan dan harga diri mereka.

2.1.3.4 Makan

Individu memiliki kemampuan menelan makanan, mempersiapkan makanan, menangani perkakas, mengunyah makanan, menggunakan alat tambahan, mendapatkan makanan, membuka container, memanipulasi makanan dalam mulut, mengambil makanan dari wadah lalu memasukkannya ke mulut, melengkapi makan, mencerna makanan menurut cara yang diterima masyarakat, mengambil cangkir atau gelas, dan mencerna cukup makanan dengan makanan , serta berdoa sebelum makan (Fitria, 2009).

2.1.4 Jenis perawatan diri berdasarkan waktu pelaksanaan

Jenis perawatan diri berdasarkan waktu pelaksanaannya (Alimul, 2009): 1. Perawatan dini hari

Perawatan dini hari merupakan perawatan diri yang dilakukan pada waktu bangun tidur, untuk melakukan tindakan seperti perapian dalam pengambilan bahan pemeriksaan (urine atau feses), memberikan pertolongan, mempersiapkan pasien dalam melakukan makan pagi dengan melakukan tindakan perawatan diri, seperti mencuci muka, tangan, dan menjaga kebersihan mulut.

2. Perawatan Pagi hari

Perawatan yang dilakukan setelah melakukan makan pagi dengan melakukan perawatan diri seperti melakukan pertolongan dalam pemenuhan kebutuhan


(35)

eliminasi (buang air besar dan kecil), mandi atau mencuci rambut, melakukan perawatan kulit, melakukan pijatan pada punggung, mengganti pakaian, membersihkan mulut, kuku, dan rambut, serta merapikan tempat tidur pasien. 3. Perawatan siang hari

Perawatan diri yang dilakukan setelah melakukan berbagai tindakan pengobatan tau pemeriksaan dan setelah makan siang. Berbagai tindakan perawatan diri yang dapat dilakukan, antara lain mencuci muka dan tangan, membersihkan mulut, merapikan tempat tidur, dan melakukan pemeliharaan kebersihan lingkungan kesehatan pasien.

4. Perawatan menjelang tidur

Perawatan diri yang dilakukan pada saat menjelang tidur agar pasien dapat tidur atau beristirahat dengan tenang. Berbagai kegiatan yang dapat dilakukan, antara lain pemenuhan kebutuhan eliminasi (buang air besar dan kecil), mencuci tangan dan muka, membersihkan mulut, dan memijat daerah punggung.

2.1.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi praktik higiene

Sikap seseorang melakukan higiene perorangan dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Tidak ada dua orang yang melakukan perawatan kebersihan dengan cara yang sama, dan perawat dapat memberikan perawatan secara individual setelah mengetahui praktik higiene klien yang unik. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi praktik higiene menurut Potter & Perry (2005) adalah:


(36)

1. Citra tubuh

Penampilan umum dapat menggambarkan pentingnya higiene pada orang tersebut. Citra tubuh merupakan konsep subjektif seseorang tentang penampilan fisiknya. Citra tubuh ini dapat seringkali berubah. Citra tubuh mempengaruhi cara mempertahankan higiene. Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli dengan kebersihan dirinya. Klien yang kelihatan tidak rapi atau tidak tertarik pada higiene membutuhkan pendidikan tentang pentingnya higiene.

2. Praktik sosial

Kelompok-kelompok sosial wadah seseorang berhubungan dapat

mempengaruhi praktik higiene pribadi. Selama masa kanak-kanak, anak-anak mendapatkan praktik higiene dari orangtua mereka. Kebiasaan keluarga, jumlah orang di rumah, dan ketersediaan air panas dan/atau air mengalir hanya merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi perawatan kebersihan. Remaja dapat menjadi lebih perhatian pada higiene seperti peningkatan ketertarikan mereka pada teman kecannya. Selanjutnya dalam kehidupan, teman-teman dan kelompok kerja membentuk harapan orang mengenai penampilan pribadi mereka dan perawatan yang dilakukan dalam mempertahankan higiene yang adekuat. Praktik higiene lansia dapat berubah dikarenakan situasi kehidupan.

3. Status sosioekonomi

Sumber daya ekonomi seseorang mempengaruhi jenis dan tingkat praktik kebersihan yang digunakan. Personal higiene memerlukan alat dan bahan seperti


(37)

sabun, pasta gigi, sikat gigi, shampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk menyediakannya. Dalam lingkungan rumah ada kebutuhan untuk menambah alat-alat yang membantu klien dalam memelihara higiene dalam keadaan yang aman. Hal ini menjadi tidak mungkin jika klien mempunyai pendapatan yang tetap.

4. Pengetahuan

Pengetahuan tentang pentingnya higiene dan implikasinya bagi kesehatan mempengaruhi praktik higiene. Kendati demikian, pengetahuan itu sendiri tidaklah cukup. Seseorang juga harus termotivasi untuk memelihara perawatan diri. Seringkali, pembelajaran tentang penyakit atau kondisi mendorong seseorang untuk meningkatkan higiene. Misalnya, ketika klien diabetes sadar akan efek diabetes pada sirkulasi di kaki, mereka jadi lebih menyukai belajar teknik perawatan kaki yang tepat. Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan yang baik dapat meningkatkan kesehatan.

5. Kebudayaan

Kepercayaan kebudayaan klien dan nilai pribadi mempengaruhi perawatan higienis. Orang dari latar kebudayaan yang berbeda mengikuti praktik perawatan diri yang berbeda. Di Amerika Utara, misalnya banyak orang menggunakan shower sehari-hari atau bak mandi. Di Asia kebersihan dipandang penting bagi kesehatan. Di negara Eropa, bagaimanapun, hal ini biasa untuk mandi secara penuh hanya sekali dalam seminggu. Di sebagian masyarakat indonesia jika individu sakit tertentu tidak boleh dimandikan.


(38)

6. Pilihan pribadi

Setiap orang memiliki keinginan individu dan pilihan tentang kapan untuk mandi, bercukur dan melakukan perawatan rambut. Klien memilih produk yang berbeda (misalnya, sabun, sampo, deodoran, dan pasta gigi) menurut pilihan dan kebutuhan pribadi. Klien juga memiliki pilihan mengenai bagaimana melakukan higiene. Misalnya, seorang pria menyukai untuk bercukur sebelum mandi, padahal yang lalinnya bercukur setelah mandi.

7. Kondisi fisik

Orang yang berada pada suatu kondisi/menderita penyakit tertentu atau yang menjalani operasi sering kali kekurangan energi fisik atau ketangkasan untuk melakukan higiene pribadi. Kondisi jantung, neurologis, paru-paru, dan metabolik yang serius dapat melemahkan atau menjadikan klien tidak mampu dan memerlukan perawat untuk melakukan perawatan higienis total.

2.1.6 Dampak Perawatan Diri

Dampak yang sering timbul pada masalah personal hygiene antara lain: 1. Dampak fisik

Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak terpeliharanya kebersihan perorangan dengan baik, gangguan fisik yang sering terjadi adalah: gangguan integritas kulit karena kulit kotor maka akan mudah terkena luka, gangguan membran mukosa mulut, infeksi pada mata dan telinga dan gangguan fisik pada kuku.


(39)

2. Dampak psikososial

Masalah sosial yang berhubungan dengan personal hygiene adalah gangguan kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan dicintai dan mencintai, kebutuhan harga diri, aktualisasi diri, dan gangguan interaksi sosial (Tarwoto & Wartonah, 2010).

2.2 Narapidana Wanita

2.2.1 Definisi narapidana wanita

Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lapas (UU RI No.12 Th. 1995 tentang pemasyarakatan pasal 1 ayat 3). Terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sedangkan, menurut WHO (2009), narapidana wanita adalah wanita yang berusia minimal 18 tahun, ditahan di penjara, sedang menunggu pemeriksaan pengadilan atau telah menjalani hukuman di penjara.

2.2.2 Perawatan diri narapidana wanita

Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan mengatur tentang kehidupan narapidana di lapas. UU ini menjelaskan bahwa petugas harus menyediakan makan dan minum. Selaku institusi yang berwenang, lapas berwenang mendistribusikan makanan. Dengan kata lain narapidana wanita hanya mendapatkan makanan yang disediakan oleh lapas. Oleh karena itu, lapas harus selalu memperhatikan dan mengusahakan agar pengelolaan makanan bagi


(40)

narapidana wanita dapat terselenggara dengan baik dan menjaga kualitas maupun kuantitasnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Apabila makanan yang tidak sesuai dengan jumlahnya dan rendah kualitasnya disamping dapat menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban, dari segi kesehatan juga dapat menyebabkan penyakit kekurangan gizi. Narapidana wanita yang kekurangan gizi akan lebih mudah terserang penyakit, kurang motivasi, bereaksi lamban, apatis, prestasinya menurun, sehingga produktivitas kerjanya akan berkurang. Sedangkan kebutuhan lain yang bersifat pribadi dapat diperoleh dari keluarga yang sedang berkunjung atau belanja di koperasi yang telah disediakan (Andansari, 2014).

Para tahanan harus disediakan lingkungan yang sehat, udara yang bersih, pencahayaan, suhu, ventilasi, toilet yang sehat dan pantas, tempat mandi, dan sebagainya. Pihak manajemen penjara tidak boleh memaksa tahanan untuk mengenakan seragam tahanan, dan semua tahanan diberikan kebebasan untuk mengenakan pakaian yang mereka inginkan. Setiap narapidana yang tidak diperbolehkan memakai pakaiannya sendiri, harus disediakan pakaian yang sesuai dengan iklim dan cukup untuk menjaga dirinya tetap dalam keadaan sehat. Bagaimana pun, pakaian tersebut tidak boleh merendahkan martabat atau memalukan. Semua pakaian harus bersih dan terawat baik. Pakaian dalam harus diganti dan dicuci sesering yang diperlukan untuk menjaga kesehatan pribadi, dalam keadaan khusus jika seorang narapidana dibawa ke luar lembaga untuk tujuan yang sah, narapidana tersebut harus diizinkan untuk mengenakan pakaiannya sendiri atau pakaian lain yang tidak menarik perhatian (Handayani, 2012).


(41)

Lembaga pemasyarakatan merupakan tempat yang rentan dalam penyebaran penyakit, terutama penyakit kulit. Hal ini karena sanitasi yang kurang baik, air bersih sulit diperoleh, pakaian jarang diganti, dan kerap pula sehelai handuk dipakai beramai-ramai, serta sel yang kotor dan pengap. Hasil observasi yang dilakukan oleh Astriyanti, Lerik & Sahdan, (2010) di Lapas Klas IIA Kupang, menunjukkan bahwa narapidana tetap memakai pakaian yang dikenakan kemarin, selesai bekerja tidak mencuci kaki dan tangan dengan baik dan benar, serta tidak mencuci tangan dengan bersih sebelum makan. Berdasarkan hasil wawancara Astriyanti, dkk (2010) pada narapidana dan pegawai lapas menunjukkan bahwa narapidana tidur bersama dalam satu kamar dengan ukuran 5x2 m terdiri dari 7-9 narapidana, pakaian kotor digantung atau ditumpuk dalam kamar, dan tidak mengganti sprei tempat tidur secara berkala.

Praktek hygiene perorangan narapidana penderita penyakit kulit yang buruk ditunjukkan pada item frekuensi mandi, frekuensi mengganti pakaian, dan meminjam atau meminjamkan pakaian dan handuk pada orang lain. Para narapidana sering meminjam atau meminjamkan pakaian dan handuk kepada orang lain khususnya teman sekamar. Sudah menjadi hal yang wajar bila sesama teman sekamar pinjam meminjam pakaian dan sebagainya karena persediaan yang minim sehingga lebih mudah meminjam milik teman sekamar. Namun, setiap narapidana mempunyai pandangan dan perasaan yang berbeda-beda, serta adanya perbedaan kepercayaan atau keyakinan, kehidupan soaial, dan kecenderungan untuk bertindak, serta faktor-faktor lain yang mempengaruhi tindakan perawatan diri (Astriyanti dkk, 2010).


(42)

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wirawan, dkk (2011) menunjukkan higiene perorangan warga binaan Lapas Wanita Kelas II A Semarang dapat dilihat berdasarkan frekuensi mandi dua kali sehari sebanyak 27 orang (52,9%), frekuensi ganti pakaian satu kali sehari sebanyak 28 orang (54,9%), frekuensi pemakaian sabun pada saat mandi dua kali kali sehari sebanyak 27 orang (52,9%), frekuensi mencuci pakaian tidak tiap hari tapi pakai sabun sebanyak 27 orang (52,9%), frekuensi mencuci handuk lebih dari tiga hari tapi pakai sabun sebanyak 31 orang (60,8%), frekuensi mencuci sprai lebih dari dua minggu tapi pakai sabun sebanyak 26 orang (51,0%), dan kebiasaan menggunakan alat makan secara bergantian dengan dicuci menggunakan sabun terlebih dahulu 26 orang (51,0%). Hal ini memungkinkan terjadinya penularan herpes simplek pada warga binaan di Lapas wanita Semarang.


(43)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN 3.1 Kerangka Konseptual

Kerangka penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran perawatan diri narapidana wanita di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan.

Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna mempertahankan kehidupannya, kesehatan dan kesejahteraan sesuai dengan kondisi kesehatannya. Perawatan diri terdiri atas personal higiene, toileting, berhias, dan makan.

Skema 3.1 Kerangka Penelitian

3.2 Definisi Operasional

Definisi operasional merupakan penjelasan semua variabel dan istilah yang akan digunakan dalam penelitian secara operasional sehingga akhirnya mempermudah pembaca dalam mengartikan makna penelitian. Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional berdasarkan karakteristik yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti untuk melakukan

Perawatan diri: Personal hygiene Toileting

Berhias Makan

- Baik - Cukup baik - Kurang baik


(44)

observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena. Definisi operasional ditentukan berdasarkan parameter yang dijadikan ukuran dalam penelitian (Setiadi, 2007).

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala

1 Perawatan

Diri

Kemampuan dasar narapidana wanita merawat dirinya untuk mempertahankan kesehatannya yang terdiri dari personal hygiene, toileting, berhias, dan makan.

a. Personal hygiene yaitu kemampuan narapidana wanita membersihkan diri untuk mencegah penyakit secara fisik maupun psikologis mulai dari perawatan kulit, perawatan kuku dan kaki, perawatan mulut, perawatan rambut, perwatan mata, telinga, hidung,

perawatan alat kelamin b.Toileting yaitu

kemampuan narapidana wanita membersihkan diri setelah proses eliminasi BAK dan BAB Kuesioner dengan 35 pernyataaan tertutup dimana skor untuk pernyataan positif: SL=4, SR=3 JR=2, TP=1, dan pernyataan negatif: SL= 1, SR=2, JR=3, TP= 4 Kuesioner dengan 23 pernyataan tertutup, skor untuk pernyataan positif: SL=4, SR=3 JR=2, TP=1, dan pernyataan negatif: SL= 1, SR=2, JR=3, TP= 4

Kuesioner dengan 4 pernyataan tertutup skor untuk pernyataan positif: SL=4, SR=3 JR=2, TP=1, dan pernyataan negatif: SL= 1, SR=2, JR=3, TP= 4

Baik: skor 106-140 Cukup baik: skor 71-105 Kurang baik: skor 35-70 Baik: skor 70-92 Cukup baik: skor 47-69 Kurang baik: skor 23-46 Baik: skor 13-16 Cukup baik: skor 9-12 Kurang baik: 4-8 Ordinal Ordinal Ordinal


(45)

c.Berhias yaitu

kemampuan narapidana wanita untuk

mempertahankan penampilannya tampak rapi dan bersih

d.Makan yaitu kemampuan atau perilaku makan narapidana wanita Kuesioner dengan 4 pernyataan tertutup, skor untuk pernyataan positif: SL=4, SR=3 JR=2, TP=1, dan pernyataan negatif: SL= 1, SR=2, JR=3, TP= 4 Kuesioner dengan 4 pernyataan tertutup, skor untuk pernyataan positif: SL=4, SR=3 JR=2, TP=1, dan pernyataan negatif: SL= 1, SR=2, JR=3, TP= 4

Baik: skor 13-16 Cukup baik: skor 9-12 Kurang baik: skor 4-8 Baik: skor 13-16 Kurang baik: skor 9-12 Kurang baik: skor 4-8 Ordinal Ordinal


(46)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk membuat gambaran tentang suatu keadaan secara objektif (Setiadi, 2007). Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran perawatan diri narapidana wanita di Lapas Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan.

4.2 Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling 4.2.1 Populasi

Populasi adalah kelompok yang dipilih dan digunakan oleh mahasiswa atau peneliti karena kelompok itu akan memberikan hasil penelitian yang dapat digeneralisasi (Leo, 2013). Populasi dalam penelitian ini adalah narapidana wanita di Lapas Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan dengan jumlah populasi 365 orang (Laporan KaSub Lapas Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan, 2014). 4.2.2 Sampel

Sampel merupakan bagian populasi yang akan diteliti atau sebagian jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Hidayat, 2009). Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 78 orang. Penentuan jumlah sampel menggunakan rumus Slovin, yaitu:


(47)

� = + 33 , � = 78 orang Keterangan: N = besar populasi n = besar sampel

d = tingkat kepercayaan yang diinginkan

4.2.3 Teknik Sampling

Penelitian ini menggunakan teknik accidental sampling yaitu dilakukan dengan mengambil responden yang kebetulan ada atau tersedia di suatu tempat sesuai dengan konteks penelitian (Notoatmodjo, 2010). Jadi, sampel dalam penelitian ini adalah narapidana wanita yang kebetulan ada atau tersedia di Lapas Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan sebanyak 78 orang.

4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Lapas Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan. Alasan dilakukan penelitian di lokasi ini adalah karena Lapas Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan memungkinkan peneliti mendapatkan jumlah sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Selain itu, di lapas ini belum pernah diteliti mengenai perawatan diri narapidana wanita. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 31 Maret - 28 April 2015.


(48)

4.4Pertimbangan Etik

Penelitian dimulai setelah Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Keperawatan USU memberikan persetujuan bahwa proposal penelitian layak diteruskan untuk diteliti. Selanjutnya peneliti mendapatkan izin dari institusi pendidikan yaitu Fakultas Keperawatan USU dan Lapas Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan. Beberapa prinsip etik penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berupa:

1. Informed consent

Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan yang diberikan sebelum penelitian dilakukan. Tujuannya agar subjek mengerti maksud dan tujuan penelitian, mengetahui dampaknya. Jika subjek bersedia, maka ia harus menandatangani lembar persetujuan. Jika responden tidak bersedia, maka peneliti harus menghormati hak responden.

2. Anonimity (tanpa nama)

Anonimity artinya tidak memberikan atau mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode tertentu pada lembar kuesioner atau hasil penelitian yang akan disajikan.

3. Confidentiality (kerahasiaan)

Prinsip ini merupakan prinsip etika dengan memberikan jaminan kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset (Hidayat, 2007).


(49)

4. Justice (keadilan)

Prinsip ini menjamin bahwa semua subjek penelitian memperoleh perlakuan dan keuntungan yang sama dari peneliti, tanpa membedakan suku, ras, dan agama.

4.5 Instrumen Penelitian

Untuk memperoleh informasi dari responden, peneliti menggunakan pengumpul data berupa kuesioner yang disusun sendiri oleh peneliti dengan berpedoman pada konsep dan tinjauan pustaka. Instrumen ini terdiri dari dua bagian yaitu kuesioner data demografi dan kuesioner perawatan diri.

Kuesioner tentang data demografi meliputi: usia, penyakit yang diderita, frekuensi masuk ke lapas, agama, suku, pendidikan terakhir, pekerjaan, dan status perkawinan.

Kuesioner perawatan diri terdiri dari 35 pernyataan dengan 24 pernyataan positif (nomor 1, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 10, 11, 13, 16, 17, 18, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 27, 28, 30, 33, 35) dan 11 pernyataan negatif (nomor 3, 9, 12, 14, 15, 19, 26, 29, 31, 32, 34) yaitu 23 pernyataan personal higiene (nomor 1-23), 4 pernyataan toileting (nomor 24-27), 4 pernyataan berhias (nomor 28-31), 4 pernyataan makan (nomor 32-35). Cara pengisian lembar kuesioner adalah dengan menggunakan cheklist pada tempat yang tersedia. Kuesioner ini menggunakan skala likert dengan pilihan jawaban yaitu selalu, sering, jarang dan tidak pernah. Untuk pernyataan positif pilihan jawaban selalu=4, sering= 3, jarang= 2, tidak pernah=1. Pernyataan negatif pilihan jawaban selalu=1, sering=2, jarang= 3, tidak pernah= 4. Skor terendah yang didapatkan adalah 35 dan skor tertinggi adalah 140. Maka untuk


(50)

gambaran perawatan diri narapidana wanita di Lapas Wanita Klas IIA Tanjung Gusta Medan adalah:

Skor 106-140 : Kategori baik Skor 71-105 : Kategori cukup baik Skor 35-70 : Kategori kurang baik

4.6 Uji Validitas dan Reliabilitas 4.6.1 Uji Validitas

Sebuah instrumen dikatakan valid apabila dapat mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat (Arikunto, 2010).Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-benar mengukur apa yang diukur. Uji validitas yang digunakan peneliti adalah dengan menggunakan uji validitas isi (content validity) yaitu untuk menilai sejauh mana instrumen tersebut dapat mewakili faktor yang diteliti dan melibatkan pakar yang menguasai topik studi sehingga dapat menilai seberapa jauh keseluruhan poin instrumen mewakili isi yang sudah ditetapkan (Dempsey & Dempsey, 2002). Uji validitas dilakukan kepada pakar yang ahli dalam penelitian ini. Kuesioner penelitian diujikan kepada satu orang staf dosen keperawatan dasar Fakultas Keperawatan USU. Hasil uji validitas isi kuesioner perawatan diri narapidana wanita adalah 100% valid dengan nilai content validity indeks (CVI) adalah 1.

4.6.2 Uji Reliabilitas

Kuesioner penelitian ini disusun sendiri oleh peneliti. Oleh karena itu penting untuk dilakukan uji reliabilitas. Reliabilitas ialah indeks yang


(51)

menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hal ini berarti menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten atau tetap asas (ajeg) bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama, dengan menggunakan alat ukur yang sama (Notoatmodjo, 2010). Uji reliabilitas ini dilakukan kepada 20 orang narapidana wanita yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan diluar sampel penelitian, serta melakukan pengolahan data dengan menggunakan teknik komputerisasi yaitu dengan uji cronbach alpha. Nilai reliabilitas untuk instrumen perawatan diri narapidana wanita adalah 0.794. Hal ini diterima untuk instrumen yang baru, sesuai referensi Polit, Beck, & Hungler (1996) yang menyatakan suatu instrumen dikatakan reliabel jika nilai reliabilitasnya >0.70.

4.7 Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner atau angket. Pengumpulan data dimulai setelah peneliti mendapat surat izin pelaksanaan penelitian dari institusi pendidikan Fakultas Keperawatan USU dan surat izin dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Kantor Wilayah Sumut sertamendapatkan izin dari lokasi penelitian yaitu Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan. Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengumpulkan sampel penelitian yang ditemui disuatu tempat/ ruangan. Saat pengumpulan data, peneliti menjelaskan waktu, tujuan, manfaat dan prosedur pengumpulan data kepada calon responden. Jika bersedia peneliti meminta calon


(52)

responden untuk menandatangani informed consent sebagai bentuk persetujuan bersedia menjadi responden. Responden kemudian diwawancarai sesuai dengan panduan lembar kuesioner dan diberi kesempatan bertanya apabila ada pernyataan yang tidak dipahami. Bagi responden yang tidak dapat membaca dan menulis, peneliti mengambil data dengan berpedoman pada pernyataan yang terdapat di lembar kuesioner. Setelah selesai, peneliti kemudian memeriksa kelengkapan data. Jika masih ada data yang kurang lengkap maka dapat langsung dilengkapi. Selanjutnya, peneliti mengolah/ menganalisa data yang telah terkumpul.

4.8 Analisa Data

Setelah dilakukan pengumpulan data, maka dilakukan proses pengolahan data yang dilakukan melalui beberapa tahap.Pertama editing,yaitu memeriksa kembali kebenaran/ kelengkapan data yang diperoleh. Keduacoding, yaitu dengan memberi kode numerik (angka) pada lembar kuesioner yang berisi nomor responden dan nomor-nomor pernyataan. Peneliti menentukan beberapa kode pada kuesioner yaitu pada pernyataan positif memberi kode 1 untuk pilihan jawaban tidak pernah, kode 2 untuk pilihan jawaban jarang, kode 3 untuk pilihan jawaban sering, dan kode 4 untuk pilihan jawaban selalu. Untuk pernyataan negatif memberi kode 1 untuk pilihan jawaban selalu, kode 2 untuk pilihan jawaban sering, kode 3 untuk pilihan jawaban jarang, dan kode 4 untuk pilihan jawaban tidak pernah. Ketigadata entry, yaitu memasukkan data kedalam komputer untuk dilakukan analisis. Setelah itu dilanjutkan dengan analisa data statistik deskriptif untuk menganalisa data dengan cara mendeskripsikan atau


(53)

menggambarkan data yang terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan untuk digeneralisasikan. Hasil analisis ditampilkan dalam bentuk tabel frekuensi dan persentase. Variabel yang disajikan yaitu karakteristik demografi responden (usia, penyakit yang diderita, frekuensi masuk ke lapas, agama, suku, pendidikan terakhir, pekerjaan, dan status perkawinan), serta perawatan diri: personal hygiene, toileting, berhias, dan makan.


(54)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian

Bab ini menguraikan tentang hasil penelitian berdasarkan pengumpulan data pada bulan April terhadap 78 orang responden yaitu narapidana wanita di Lapas Tanjung Gusta Klas IIA Medan. Penyajian data meliputi deskripsi karakteristik responden dan deskripsi perawatan diri narapidana wanita di Lapas Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan.

5.1.1 Karakteristik Demografi Responden

Karakteristik demografi responden terdiri dari usia, penyakit yang diderita, frekuensi masuk lapas, agama, suku, pendidikan terakhir, pekerjaan, dan status perkawinan. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa kategori usia responden terbanyak adalah dewasa awal dengan rentang usia 20-40 tahun yaitu 54 orang

(69,2). Berdasarkan penyakit yang diderita lebih dari setengah narapidana tidak menderita penyakit yaitu sebanyak 48 orang (61,5). Mayoritas narapidana pertama kalinya masuk ke lapas yaitu sebanyak 73 orang (93,6). Berdasarkan agama mayoritas narapidana beragama Islam yaitu sebanyak 66 orang (84,6). Tingkat pendidikan terakhir hampir setengah narapidana lulusan SMA yaitu

sebanyak 36 orang (46,2). Berdasarkan pekerjaan, kebanyakan narapidana tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga sebelum masuk ke lapas yaitu sebanyak 35 orang (44,9). Status perkawinan rata-rata narapidana sudah menikah yaitu sebanyak 38 orang (48,7). Hasil penelitian mengenai karakteristik demografi responden secara singkat dapat dilihat pada tabel 5.1.


(55)

Tabel 5.1.1 Distribusi frekuensi dan persentasi karakteristik narapidana wanita di Lapas Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan (n=78) No Karakteristik Responden Frekuensi Persentase ()

1 Usia

a. Dewasa awal (20-40 tahun) 54 69.2

b. Dewasa madya (41-60

tahun)

24 30.8

2 Penyakit yang diderita

a. Tidak ada 48 61.5

b. Ada 30 38.5

3 Frekuensi masuk lapas

a. Pertama kali 73 93.6

b. Berulang 5 6.4

4 Agama

a. Kristen 11 14.1

b. Katolik 1 1.3

c. Islam 66 84.6

5 Suku

a. Batak 24 30.8

b. Melayu 4 5.1

c. Jawa 36 46.2

d. Minang 4 5.1

e. Lain-lain (Aceh) 10 12.8

6 Pendidikan terakhir

a. SD 8 10.3

b. SMP 28 35.9

c. SMA 36 46.2

d. Perguruan tinggi 6 7.7

7 Pekerjaan

a. Tidak bekerja 35 44.9

b. Petani 7 9

c. Pegawai swasta 9 11.5

d. Lain-lain 27 34.6

8 Status perkawinan

a. Menikah 38 48.7

b. Tidak menikah 11 14.1


(56)

5.1.2 Perawatan diri narapidana wanita

Tabel 5.2 dibawah ini menunjukkan bahwa gambaran perawatan diri narapidana wanita sebagian besar berada dalam kategori baik yaitu sebanyak 76 orang (97,4), dan kategori cukup baik sebanyak 2 orang (2,6), sedangkan kategori kurang baik tidak ada.

Tabel 5.1.2 Distribusi frekuensi dan persentase perawatan diri narapidana wanita di Lapas Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan (n=78)

Karakteristik Frekuensi Persentase ()

Baik 76 97.4

Cukup baik 2 2.6

Kurang baik 0 0

Perawatan diri narapidana wanita terdiri dari beberapa komponen yakni personal hygiene, toileting, berhias, dan makan dapat dijabarkan sebagai berikut:

5.1.2.1Personal hygiene

Komponen perawatan diri yang pertama yaitu personal hygiene. Komponen personal hygiene terdiri dari 23 pernyataan dengan 17 pernyataan positif dan 6 pernyataan negatif. Dari hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki personal hygiene yang baik yaitu sebanyak 76 orang (97,4%). Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.1.3.

5.1.2.1.Toileting

Komponen toileting terdapat 4 pernyataan dengan 3 pernyataan positif dan 1 pernyataan negatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki aktivitas toileting yang baik yaitu sebanyak 74 orang (94,9%). Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.1.3.


(57)

5.1.2.2Berhias

Komponen berhias terdapat 4 pernyataan dengan 2 pernyataan positif dan 2 pernyataan negatif. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa lebih dari setengah responden memiliki aktivitas berhias yang baik yaitu sebanyak 52 orang (66,7%). Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.1.3.

5.1.2.3Makan

Komponen ini terdapat 4 pernyataan dengan 2 pernyataan positif dan 2 pernyataan negatif. Hasil penelitian menujukkan bahwa dari keseluruhan responden, 71 orang (91%) memiliki aktivitas makan yang baik. hal ini dapat dilihat pada tabel 5.1.3.

Tabel 5.1.3 Distribusi frekuensi dan persentase gambaran perawatan diri berdasarkan empat komponen perawatan diri pada narapidana wanita di Lapas Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan (n=78)

No Karakteristik Frekuensi Persentase (%)

1 Personal hygiene

Baik 76 97.4

Cukup baik 2 2.6

2 Toileting

Baik 74 94.9

Cukup baik 4 5.1

3 Berhias

Baik 52 66.7

Cukup baik 23 29.5

Kurang baik 3 3.8

4 Makan

Baik 71 91

Cukup baik 6 7.7


(58)

5.2Pembahasan

5.2.1Perawatan diri narapidana wanita

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Lapas Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan didapatkan bahwa mayoritas narapidana memiliki perawatan diri yang baik sebanyak 76 orang (97,4%), perawatan diri cukup baik sebanyak 2 orang (2,6%), dan tidak ada narapidana yang memiliki perawatan diri kurang baik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa narapidana memiliki perawatan diri yang baik dalam personal hygiene, toileting, berhias, dan makan. Hal ini tampak dari hasil pengumpulan data dimana mayoritas narapidana menjawab selalu melakukan perawatan diri. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Acoca (1998) yang menyatakan bahwa narapidana di Amerika kesulitan untuk merawat dirinya sendiri,mereka telah kehilangan kebebasan untuk melakukannya karena fasilitas penjara yang tidak memadai sehingga narapidana sangat rentan mengalami penyakit. Hal senada disampaikan oleh Anderson (2003) bahwa kelalaian yang terjadi di lapas mengakibatkan narapidana defisit akan perawatan.

Perawatan diri responden yang baik kemungkinan dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Salah satunya adalah tingkat pendidikan responden. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan responden kebanyakan adalah lulusan SMA (46,2%). Menurut Notoadmojo (2003) tingkat pendidikan yang tinggi akan mempengaruhi pemahaman seseorang terhadap suatu pengetahuan dalam hal ini pengetahuan tentang perawatan diri itu sendiri. Pengetahuan tentang pentingnya hygiene dan implikasinya bagi kesehatan mempengaruhi praktik hygiene. Individu dengan pengetahuan tentang pentingnya personal hygiene akan selalu menjaga


(59)

kebersihan dirinya untuk mencegah dari kondisi atau keadaan sakit. Dengan kata lain, pengetahuan seseorang akan mempengaruhi kemampuan dalam merawat diri untuk membantu meningkatkan kesehatan dan kualitas hidupnya.

Kendati demikian, pengetahuan itu sendiri tidaklah cukup. Seseorang juga harus termotivasi untuk memelihara perawatan diri (Potter & Perry, 2005). Dari hasil observasi peneliti responden memiliki motivasi yang baik untuk melakukan perawatan diri, meskipun berada dalam penjara, memiliki penyakit dan dengan fasilitas yang ada mereka berjuang untuk menjaga kesehatan dirinya. Bagi mereka hidup terus berlanjut sehingga kesehatan harus tetap dijaga meskipun berada di lapas. Berbeda halnya dengan narapidana yang ada di penjara Texas. Salah seorang mantan narapidana bernama Renaud mengatakan bahwa kebersihan diri bukan suatu kekhawatiran besar selama mereka di penjara dan itu bukan hal yang harus dikeluhkan. Menurut pendapatnya, jika mereka tidak bersih dan bau itu tidak masalah karena itu tidak mengancam jiwa (Chammah, 2013).

Usia responden juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi perawatan diri. Hasil penelitian menunjukkan mayoritas usia responden adalah dewasa awal (20-40 tahun) yaitu sebanyak 54 orang (69,2 %). Pada umumnya, masa usia dewasa awal adalah masa paling sehat dalam kehidupan manusia (Delaune & Ladner, 2002). Usia tersebut merupakan usia dimana individu mendapatkan

tuntutan dari lingkungan sekitar (keluarga dan masyarakat) untuk

mengaktualisasikan dirinya. Kegagalan untuk memenuhi tuntutan dari lingkungan sekitar dan melaksanakan tugas perkembangannya sering diartikan sebagai ketidakmampuan yang akan mengakibatkan perhatian hanya tertuju pada diri


(60)

sendiri, perhatian pada orang lain berkurang, menyalahkan diri dan orang lain yang akhirnya ditunjukkan dengan penurunan motivasi untuk merawat diri atau defisit perawatan diri (Rochmawati, Keliat, &Wardani, 2013). Masa dewasa muda telah memiliki kematangan secara fisik, mereka harus terus menggali dan mematangkan hubungan emosional, sedangkan masa dewasa tengah terdapat perubahan fisiologis dan menghadapi realitas kesehatan tertentu, persepsinya tentang kesehatan, dan perilaku sehat. Usia dewasa menuruti pengajaran kesehatan karena takut akan akibatnya.

Kondisi fisik mempengaruhi praktik perawatan diri. Dengan tubuh yang sehat seseorang dapat dengan mudah melakukan perawatan diri dengan baik (Potter & Perry, 2005). Dari hasil penelitian didapatkan bahwa 48 orang (61,5%) responden tidak menderita penyakit. Kondisi ini menunjukkan bahwa napi tidak memiliki keterbatasan dan mampu melakukan perawatan diri secara mandiri tanpa bantuan dari teman atau pihak lapas.

Kebudayaan dan nilai pribadi juga mempengaruhi kemampuan perawatan diri. Seseorang dari latar belakang kebudayaan yang berbeda mengikuti praktek perawatan diri yang berbeda. Keyakinan yang didasari kultur sering menentukan defenisi tentang kesehatan dan perawatan diri. Responden pada penelitian ini adalah mayoritas suku Jawa sebanyak 36 orang (46,2%). Sejak zaman dahulu, praktik keperawatan dalam keluarga Jawa dipengaruhi oleh nilai-nilai pra-Islam dan Islam, yaitu sangat mementingkan kebersihan diri sebagaimana diatur didalam kitab suci agama Islam (Sudiharto, 2007). Dalam suku Jawa juga dikenal beberapa aktivitas kebersihan seperti padusan (ritual mandi) dan kramasan


(61)

(mencuci rambut) yang merupakan upacara membersihkan diri masyarakat Jawa secara simbolis (Dijk & Taylor, 2011).

Salah satu faktor yang juga sangat mempengaruhi narapidana dalam melakukan perawatan diri adalah fasilitas yang tersedia di lapas. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hidir dan Kartikowati (2012) di Lapas provinsi Riau, bahwa di dalam lapas tersebut semua narapidana diperlakukan seperti layaknya masyarakat pada umumnya yang memiliki hak asasi sesuai prinsip-prinsip demokrasi dan anti-diskriminasi. Lapas menyediakan fasilitas-fasilitas fisik dan berusaha memenuhi kebutuhan napi, termasuk pemenuhan kebebasan beribadah, fasilitas kesehatan, pendidikan dan kebutuhan utama lainnya. Fasilitas tersebut merupakan hak napi sebagai warga binaan Lapas sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang RI No 12 tahun 1995 tentang Sistem Pemasyarakatan Pasal 14 (ayat 1).Berbeda dengan apa yang terjadi di penjara Texas, di penjara tersebut para narapidana harus membeli barang-barang kebersihan seperti perlengkapan mandi dan perlengkapan berhias sebab fasilitas itu tidak disediakan oleh pemerintah. Hal itu dianggap bukan kebutuhan oleh pemerintah, tetapi dari waktu ke waktu muncul berbagai keluhan dari para narapidana dan anggota keluarga mereka (Chammah, 2013).

Berdasarkan wawancara dan observasi peneliti kepada narapidana dan petugas lapas, Lapas Klas IIA Wanita Tanjung Gusta menyediakan fasilitas untuk perawatan diri kepada narapidana setiap bulannya meskipun hanya beberapa perlengkapan saja seperti perlengkapan mandi, perawatan kuku. Namun,beberapa narapidana masih mengeluhkan kurangnya sarana dan prasarana di lapas seperti


(62)

air yang sangat sedikit karena tidak meratanya pembagian jatah air kepada setiap narapidana. Sehingga membuat beberapa dari mereka kesulitan untuk mandi bahkan mereka harus mengeluarkan uang untuk mendapatkan air. Keluhan tersebut juga sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nelli (2003) tentang pelaksanaan hak-hak narapidana di Lapas Wanita Klas IIA Tanjung Gusta, didapatkan bahwa banyak narapidana wanita yang menyampaikan keluhannya tentang kurangnya sarana dan prasarana di lapas seperti air minum, air mandi, makanan dan fasilitas kamar. Hanya sebagian saja dari perlengkapan tersebut yang dapat dibagi-bagikan kepada para narapidana sedangkan perlengkapan lainnya harus dipenuhi sendiri oleh masing-masing narapidana wanita. Hidir dan Kartikowati (2012) juga mendapatkan dari hasil penelitian yang mereka lakukan, karena setiap napi perempuan memiliki tingkat status yang berbeda, setidaknya ada tiga pola besar bagaimana napi perempuan mendapatkan kebutuhan perawatan diri setiap bulannya. Pertama, tergantung dari tingkat kedekatan hubungan sangat baik dengan petugas Lapas; kedua, tergantung dari lamanya napi telah menghuni Lapas; dan ketiga, tergantung pada kunjungan rutin keluarga napi ke Lapas. Namun dari hasil penelitian, narapidana yang ada di Lapas Wanita Klas IIA Tanjung Gusta tetap melakukan perawatan diri dengan baik dengan fasilitas yang ada.

Salah satu poin yang penting disini adalah bahwa semua manusia memiliki kehidupan hygienenya masing-masing, namun beberapa orang melakukannya lebih baik dari yang lainnya, dan sebagian besar hal ini tergantung pada budaya, sosial, dan norma keluarga masing-masing (Hassan, 2012). Ini dikarenakan dalam


(63)

diri setiap narapidana mempunyai pandangan dan perasaan yang berbeda-beda, serta adanya perbedaan kepercayaan atau keyakinan, kehidupan emosional, dan kecenderungan untuk bertindak. Disebutkan oleh Azwar (2009 dalam Astriyanti dkk, 2010) bahwa pandangan dan perasaan dipengaruhi oleh ingatan masa lalu, oleh apa yang diketahui, dan kesan terhadap apa yang sedang terjadi. Hal tersebut dapat membentuk sikap yang berbeda-beda antara narapidana yang satu dengan yang lain. Sejalan pula dengan yang dikemukakan oleh Notoatmodjo (2003) bahwa perilaku seseorang akan dipengaruhi oleh kepercayaan, keyakinan, kehidupan emosional dan kecenderungan untuk berperilaku yang semua itu merupakan komponen sikap yang dapat membentuk sikap secara utuh. (Astriyanti dkk, 2010). Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian bahwa ada narapidana yang memiliki perawatan diri yang cukup baik, dan ada juga yang kurang baik jika dilihat dari tiap komponen perawatan diri.

5.2.1.1Personal hygiene

Hasil penelitian menunjukkan mayoritas narapidana memiliki personal hygiene dalam kategori baik sebanyak 76 orang (97,4%), kategori cukup baik 2 orang (2,6%), dan tidak ada responden yang memiliki personal hygiene yang kurang baik. Hasil ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Astriyanti dkk (2010) bahwa narapidana di Lapas Klas IIA Kupang yang menderita penyakit kulit memiliki praktek hygiene perorangan yang baik sebanyak 16 orang (57.14%), sedangkan narapidana bukan penderita penyakit kulit memiliki praktek hygieneperorangan yang baik sebanyak 21 orang (75%). Namun hal ini bertentangan dengan hasil penelitian Rahimah dkk (2014) bahwa sebagian besar


(1)

109


(2)

110


(3)

111


(4)

112


(5)

113


(6)

114

RIWAYAT HIDUP

Nama : Leliana Sijabat

NIM : 111101034

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat tanggal lahir : Panei Tongah, 29 Desember 1993 Agama : Kristen Protestan

No Hp : 082367890183

Alamat : Jalan Jamin Ginting No 518B Medan

Riwayat pendidikan :

1. Tahun 1999- 2005 : SD Negeri No 091286 Panei Tongah 2. Tahun 2005- 2008 : SMP Negeri 1 Panei Tongah

3. Tahun 2008- 2011 : SMA Negeri 1 Pematangsiantar 4. Tahun 2011- Sekarang : Fakultas Keperawatan USU