Hubungan Kontrol Nyeri dengan Intensitas Nyeri pada Penderita Kanker di RSUP H. AdamMalik Medan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Kontrol nyeri (pain control)

2.1.1 Pengertian kontrol nyeri
Kontrol nyeri (pain control) adalah suatu cara atau metode yang dilakukan
pasien itu sendiri dalam hal mengendalikan nyeri yang dirasakannya (National
Cancer Institute, 2014). Menurut Johnson, Maas, Moorhead, & Swanson (2016)
bahwa kontrol nyeri adalah tindakan pribadi yang dilakukan untuk menghilangkan
nyeri .
2.1.2 Manfaat mengontrol nyeri
Kontrol nyeri dapat membuat perasaan seseorang lebih nyaman. Kontrol
nyeri yang baik harus sejalan dengan pikiran dan tubuh untuk fokus pada
penyembuhan,

penyembuhan

dapat


membantu

mencegah

komplikasi.

Intermountain Healthcare (2013) menjelaskan bahwa manfaat dari kontrol nyeri
adalah sebagai berikut:
a. Mengurangi Stres
Rasa nyaman dapat mengurangi perasaan stres yang dikarenakan rasa nyeri.
Stres yang berkurang menandakan bahwa pikiran dan tubuh bekerja keras dalam
penyembuhan.

6

Universitas Sumatera Utara

7

b. Meminimalkan timbulnya komplikasi

Apabila nyeri dapat dikendalikan sesuai dengan prosedur medis maka dapat
meminimalkan kompilkasi atau menghambat pertumbuhan sel-sel kanker.
Adapun komplikasi dari kanker, seperti ulserasi, obstruksi, hemoragi, nyeri, atau
infeksi ( Brunner & Suddarth, 2001).
c. Mampu berpindah dengan mudah
Kontrol nyeri dapat dilakukan dengan cara berpindah seperti berjalan atau
latihan bernafas, jika merasa nyeri ringan. Tindakan tersebut akan mengembalikan
keadaan seperti semula dengan cepat. National Cancer Institute (2014)
menjelaskan bahwa ketika nyeri kanker dapat dikontrol maka individu akan tidur
dengan lelap, menikmati kebersamaan dengan keluarga dan teman, meningkatkan
nafsu makan, menikmati hubungan seksual secara intim, dan mencegah depresi.
2.1.3

Kategori kontrol nyeri
Kontrol nyeri terbagi atas dua kategori yaitu dengan medikasi dan tanpa

medikasi (American Cancer Society, 2014).
2.1.3.1 Kontrol nyeri dengan medikasi
Farmakologi yang digunakan adalah non-opiod, opiod, dan pengobatan tipe
lainnya. Non-opiod adalah obat yang digunakan untuk mengobati nyeri ringan

sampai sedang. Non-opiod diberikan ketika skala nyeri berada pada skala 1
sampai 4 (National Cancer Institute, 2014). Opiod adalah obat yang digunakan
untuk mengobati nyeri sedang sampai berat. Seseorang yang mengalami nyeri
berat dan penyakit kanker yang semakin memburuk akan membutuhkan

Universitas Sumatera Utara

8

penambahan dosis opiod. Opiod sering disebut dengan obat narkotik maka harus
diperhatikan dalam peningkatan dosis (National Cancer Institute, 2014).
Adapun pengobatan jenis lainnya adalah anti depresan, anti kejang dan
steroid. Antidepresan digunakan untuk mengobati depresi, dapat juga membantu
mengendalikan perasaan terbakar saat nyeri. Anti kejang juga dapat membantu
mengendalikan perasaan terbakar saat nyeri. Steroid digunakan untuk mengobati
nyeri yang dikarenakan pembengkakan (National Cancer Institute, 2014).
2.1.3.2 Kontrol nyeri tanpa medikasi
Menurut American Cancer Society (2014) menjelaskan ada beberapa kontrol
nyeri tanpa medikasi yang dapat dilakukan pasien yaitu relaksasi, konsentrasi
visual, bernafas ritmik, imajinasi terbimbing, mendengarkan musik, relaksasi

progresif, distraksi, hipnosis, stimulasi kulit (massage, tekanan, getaran,
panas/dingin), akupuntur, dukungan emosional dan konseling.
Cara lain untuk mengontrol nyeri tanpa medikasi adalah relax atau santai,
megunakan benda yang dingin, meninggikan tungkai, dan alihkan dirimu. Relax
atau santai adalah menemukan posisi yang aman di tempat yang tenang. Bernafas
lambat dan dalam, cobalah untuk fokus dalam bernafas ritmik. Hal ini dilakukan
selama 20 menit (Robinson, 2016). Benda dingin digunakan ketika nyeri ringan,
letakkan pada bagian kulit yang mengalami nyeri dengan cara dibungkus
menggunakan handuk. Tindakan ini dapat dilakukan kapan saja jika dapat
memberikan rasa nyaman. Meninggikan tungkai dilakukan jika mengalami nyeri
pasca operasi, pada bagian tungkai atas maupun bawah. Mengalihkan diri dapat
dilakukan dengan banyak cara seperti memikirkan tentang sesuatu, menonton

Universitas Sumatera Utara

9

televisi, mendengarkan musik, bermain, membaca, atau mengunjungi teman
(Intermountain Healthcare, 2013).
2.1.4 Dimensi kontrol nyeri

Penderita kanker membutuhkan kontrol nyeri secara menyeluruh atau yang
dikenal dengan holistik. Bagian-bagian tersebut meliputi dimensi fisik, sosial,
spiritual, dan psikologis (Kozier, 1995 dalam Salbiah, 2006).
2.1.4.1 Dimensi fisik
Dimensi ini menunjukkan kemampuan penderita kanker dalam mengontrol
nyeri yang dirasakannya dengan melakukan aktivitas sehari-hari (Kozier, 1995
dalam Salbiah,2006).
Potter & Perry (2009) menjelaskan bahwa tindakan yang dapat dilakukan
saat nyeri datang adalah mengubah posisi, berjalan, menggosok bagian yang
nyeri, makan, dan mengompres yang nyeri. Individu memilih untuk tidur dalam
mengontrol nyeri. Intermountain Healthcare (2013) juga menjelaskan bahwa
yang dapat dilakukan adalah menonton televisi, mendengarkan musik, bermain,
dan

membaca.

American

Cancer


Society

(2014)

menyatakan

bahwa

mengkonsumsi obat pereda nyeri dapat digunakan untuk mengontrol nyeri kanker.
Prasetyo (2010) menjelaskan bahwa relaksasi dan distraksi menjadi tindakan non
farmakologis yang dapat dilakukan ketika pasien kanker merasakan nyeri.
2.1.4.2 Dimensi sosial
Dimensi ini menunjukkan kemampuan penderita kanker mengontrol nyeri
yang dirasakannya melalui berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan
(Kozier, 1995 dalam Salbiah, 2006). Salah satu cara pengontrol nyeri adalah

Universitas Sumatera Utara

10


mengunjungi teman dan mengikuti aktivitas sosial atau kegiatan di sekitar
lingkungan rumah (Intermountain Healthcare, 2013). Potter & Perry (2009)
menyatakan bahwa individu lebih suka menyendiri ketika merasakan nyeri.
Kehadiran keluarga atau teman dekat sangat efektif dalam meminimalkan nyeri
dikarenakan dapat mengurangi stres.
2.1.4.3 Dimensi spiritual
Dimensi ini menunjukkan kemampuan penderita kanker mengontrol nyeri
yang dirasakannya melalui keyakinan dalam dirinya dengan berserah kepada
Tuhan (Kozier, 1995 dalam Salbiah, 2006). Salah satu cara mengontrol nyeri
dengan berkonsultasi dengan ahli keagamaan (saran pendeta) dari klien, meditasi
atau berdoa kepada Tuhan (Potter & Perry, 2009).
2.1.4.4 Dimensi psikologis
Dimensi ini menunjukkan kemampuan penderita kanker mengontrol nyeri
yang dirasakannya melalui pikiran dan perasaan yang sifatnya kompleks (Potter &
Perry, 2009). Intermountain Healthcare (2013) menjelaskan bahwa salah satu
yang dapat dilakukan dalam kontrol nyeri adalah mendengarkan musik. Wall dan
Melzack (1999 dalam Potter & Perry, 2009) melaporkan bahwa stimulus nyeri
yang mengaktivasi bagian dari system limbik dipercaya dapat mengontrol emosi
terutama kecemasan untuk mengurangi nyeri. Junaidi (2008) bahwa bersikap
biasa-biasa saja dan tidak memikirkan penyakit, hal tersebut akan membuat pasien

dan keluarga merasa tenang. Potter & Perry (2009) menyatakan bahwa faktor lain
yang mempengaruhi respon nyeri adalah kehadiran orang terdekat yaitu keluarga.
Seseorang dalam keadaan nyeri sangat membutuhkan support, bantuan, bahkan

Universitas Sumatera Utara

11

perlindungan. Ketidakhadiran keluarga mungkin akan membuat nyeri semakin
bertambah.
2.1.5 Faktor yang mempengaruhi kontrol nyeri
LeMone

(2016)

menjelaskan

bahwa

faktor


yang

mempengaruhi

pengendalian nyeri adalah sebagai berikut:
2.1.5.1 Usia
Usia merupakan variabel yang penting dalam mempengaruhi nyeri pada
individu. Perbedaan kelompok umur mempengaruhi pengendalian nyeri yang
dilakukan setiap individu saat merasakan nyeri (Prasetyo, 2010).
2.1.5.2 Jenis kelamin
Pria dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam berespon terhadap
nyeri (Prasetyo, 2010). Kebudayaan yang berbeda mempengaruhi jenis kelamin
dalam mengendalikan nyeri yang dirasakan (Potter & Perry, 2009).
2.1.5.3 Lokasi nyeri
Lokasi nyeri adalah lokasi dimana tempat sel kanker bermetastasis
(Baradero,

2008). Lokasi tersebut adalah lokasi nyeri yang dirasakan pasien


setiap harinya dan sudah menjadi suatu pengalaman yang menetap baginya.
2.1.6 Tindakan untuk mengontrol nyeri
Sangat banyak kontrol nyeri yang dapat dilakukan oleh pasien kanker dan
berbeda-beda setiap individu. Upaya-upaya yang dapat dilakukan pasien untuk
mengontrol nyeri adalah dengan mengubah posisi, berjalan, berayun, menggosok,
makan, meditasi, berdoa atau memberikan sensasi hangat atau dingin pada lokasi
nyeri (Potter & Perry, 2009).

Universitas Sumatera Utara

12

2.1.7 Pengukuran kontrol nyeri
Pengukuran kontrol nyeri dilakukan menggunakan kuesioner pengendalian
nyeri (pain control) yang dimodifikasi dari peneliti terdahulu yaitu (Purba, 2015)
terdiri dari 35 pernyataan. Pernyataan yang dimodifikasi, yaitu pernyataan nomor
5, 6, 9, 10, 14, 19, 20, 25, 26, 28, 30, 34 dan 35 sehingga menjadi 27 pertanyaan
dengan pilihan jawaban menggunakan skala Likert.
2.2 Nyeri
2.2.1 Pengertian nyeri

Curton (1983 dalam Aziz, 2008) menjelaskan bahwa nyeri merupakan suatu
mekanisme produksi bagi tubuh, timbul ketika jaringan sedang rusak, dan
menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk menghilangkan rasa nyeri. Sesuai
dengan penjelasan The Interntional Association for the Study of Pain (1979 dalam
Potter Perry, 2009) nyeri didefinisikan sebagai perasaan sensori dan emosional
yang tidak menyenangkan, bersifat subjektif dan berhubungan dengan
pancaindera, serta merupakan suatu pengalaman emosional yang dikaitkan dengan
kerusakan jaringan baik aktual atau potensial yang menyebabkan kerusakan
jaringan.
Meskipun terdapat banyak definisi yang menjelaskan tentang nyeri, satu
yang paling relevan bagi perawat bahwa nyeri adalah segala sesuatu yang
dikatakan seseorang tentang nyeri tersebut dan terjadi kapan saja saat seseorang
mengatakan merasa nyeri (McCafferry, 1979). Definisi ini menunjukan bahwa
pasien adalah satu-satunyaa individu yang dapat mendefinisikan dan menjelaskan

Universitas Sumatera Utara

13

nyeri secara akurat yang mereka alami dan berfungsi sebagai dasar untuk
pengkajian keperawatan, dan asuhan keperawatan pasien terkait nyeri.
2.2.2 Mekanisme nyeri
Nyeri berdasarkan mekanismenya melibatkan persepsi dan responterhadap
nyeri tersebut. Mekanisme timbulnya nyeri melibatkan empat proses, yaitu:
tranduksi/transduction,

transmisi/transmission,

modulasi/modulation,

dan

persepsi/perception (McGuire & Sheilder, 1993; Turk & Flor, 1999). Keempat
proses tesebut dijelaskan oleh Ardinata (2007) sebagai berikut:
2.2.2.1. Transduksi
Transduksi adalah proses dari stimulus nyeri diubah ke bentuk yang dapat
diakses oleh otak (Turk & Flor, 1999). Proses transduksi dimulai ketika nosiseptor
yaitu reseptor yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri teraktivasi. Aktivasi
reseptor ini merupakan sebagai bentuk respon terhadap stimulus yang datang
seperti kerusakan jaringan. Nosiseptor yang terletak pada bagian perifer tubuh
distimulasi oleh berbagai stimulus, seperti faktor biologis, mekanis, listrik,
thermal, radiasi, dan lain-lain (Prasetyo, 2010).
2.2.2.2. Transmisi
Transmisi adalah serangkaian kejadian neural yang membawa impuls listrik
melalui sistem saraf ke area otak. Proses transmisi melibatkan saraf aferen yang
terbentuk dari serat saraf berdiameter kecil ke sedang serta berdiameter besar
(Davis, 2003). Saraf aferen akan ber-axon pada dorsal horn di spinalis.
Selanjutnya transmisi ini dilanjutkan melalui sistem contralateral spinalthalamic
melalui ventral lateral dari thalamus menuju cortex serebral.

Universitas Sumatera Utara

14

Kontrol nyeri (pain control) dapat dilakukan selama proses kedua ini yaitu
transmisi (Kozier, 2004 dalam Purba, 2015).
2.2.2.3 Modulasi
Modulasi mengacu kepada aktivitas neural dalam upaya mengontrol jalur
transmisi nosiseptor tersebut (Turk & Flor, 1999). Proses modulasi melibatkan
sistem neural yang komplek. Ketika impuls nyeri sampai di pusat saraf, transmisi
impuls nyeri ini akan dikontrol oleh sistem saraf pusat dan mentransmisikan
impuls nyeri ini kebagian lain dari sistem saraf seperti bagian cortex. Selanjutnya
impuls nyeri ini akan ditransmisikan melalui saraf descend ke tulang belakang
untuk memodulasi efektor (Ardinata, 2007 & LeMone, 2016).
2.2.2.4 Persepsi
Persepsi adalah proses yang subjective (Turk & Flor, 1999). Proses persepsi
ini tidak hanya berkaitan dengan proses fisiologis atau proses anatomis saja
(McGuire & Sheider, 1993) akan tetapi juga meliputi cognition (pengenalan) dan
memory (mengingat) (Davis, 2003). Oleh karena itu, faktor psikologis, emosional,
dan behavioral (perilaku) juga muncul sebagai respon dalam mempersepsikan
pengalaman nyeri tersebut. Proses persepsi ini jugalah yang menjadikan nyeri
tersebut suatu fenomena yang melibatkan multidimensional.

Universitas Sumatera Utara

15

2.2.3 Klasifikasi nyeri
Nyeri dikategorikan dengan durasi atau lamanya nyeri berlangsung (akut
atau kronis), dengan kondisi patologis (Seperti: kanker atau neuropatik).
2.2.3.1 Nyeri akut
Nyeri akut sering menyertai kerusakan jaringan akibat cedera atau penyakit.
Jenis nyeri ini memiliki intensitas yang bervariasi mulai dari nyeri yang ringan
hingga yang berat dan secara khas memiliki periode waktu yang singkat (kurang
dari 6 bulan), memiliki onset yang tiba-tiba dan terlokalisir (Robinson, 2016).
Nyeri ini biasanya diakibatkan oleh trauma, bedah, atau inflamasi. Hampir setiap
individu pernah merasakan nyeri ini, seperti saat sakit kepala, sakit gigi, tertusuk
jarum, terbakar, nyeri otot, nyeri saat melahirkan, nyeri sesudah tindakan
pembedahan, dan lainnya (prasetyo, 2010).
Nyeri akut memperingatkan cedera aktual atau potensial terhadap jaringan.
Sebagian stresor,nyeri ini memulai respon stress autonomic

fight or flight.

Respon fisik yang khas meliputi takikardia, pernafasan yang cepat, peningkatan
tekanan darah, dilatasi pupil, berkeringat dan pucat. Nyeri disertai dengan mual
dan muntah. Spasme otot reflex sekunder dapat terjadi meningkatkan nyeri.
Individu yang mengalami nyeri akut merespons ancaman ini dengan ansietas dan
ketakutan. Respon fisiologis ini lebih lanjut dapat meningkatkan respon fisik
terhadap nyeri akut (LeMone, 2016).
Reccurent acute pain, diidentifikasikan dengan nyeri yang mempunyai
periode berulang-ulang dan dirasakan sepanjang hidup klien. Contoh dari nyeri

Universitas Sumatera Utara

16

reccurent acute pain, adalah migrain, sickle cell pain, nyeri angina pectoris yang
berhubungan dengan hipoksia pada miokardium (Prasetyo, 2010).
2.2.3.2. Nyeri Kronik
Nyeri kronis merupakan nyeri yang memanjang, atau nyeri yang menetap
setelah kondisi yang menyebabkan nyeri hilang. Meskipun penyebabnya dapat
diidentifikasi. Nyeri kronis biasanya dianggap nyeri yang berlangsung lebih dari 6
bulan (atau 1 bulan lebih dari normal dimasa-masa akhir kondisi yang
menyebabkan nyeri) dan tidak diketahui kapan akan berakhir kecuali jika terjadi
penyembuhan yang lambat (Black, 2014).
a. Chronic acute pain, dapat dirasakan oleh klien hampir setiap harinya
dalam suatu periode yang panjang (beberapa bulan atau bahkan tahun), akan
tetapi chronic pain juga mempunyai probabilitas yang tinggi untuk berakhir.
Luka bakar yang parah dan kanker yang diderita klien dapat menyebabkan
chronic acute pain. Nyeri yang diakibatkan karena luka bakar yang parah atau
kanker akan dapat terus dirasakan sampai kondisi yang mendasari timbulnya
nyeri hilang atau terkontrol. Pada kasus kanker stadium terminal, nyeri
berakhir hanya dengan kematian (Prasetyo, 2010).
b. Chronic non Malignant pain, disebut juga cronic benign pain, nyeri ini
biasanya dirasakan setiap hari selama lebih dari 6 bulan dengan intensitas
nyeri ringan sampai berat (LeMone, 2016). Contoh dari berbagai patofisiologi
yang dapat menghantarkan klien pada Chronic non Malignant pain meliputi :
berbagai bentuk dari neuralgia, low back pain, rheumathoid arthritis,
ankylosing spondylitis, nyeri phantom, myofascial pain syndrom (LeMone,

Universitas Sumatera Utara

17

2016). Tanda dan gejala yang tampak pada nyeri kronis adalah keputusasaan
terhadap penyakit, kelesuan, penurunan libido dan berat badan, perilaku
menarik diri, mudah tersinggung, marah, tidak tertarik pada aktivitas fisik,
depresi, mengerang, menangis, dan menjerit kesakitan (Prasetyo, 2010).
2.2.3.3 Nyeri kanker
Tidak semua kanker mengalami nyeri karena nyeri tidak dirasakan pada
tahap awal karena kanker masih terlokalisasi (Baradero, 2008). Tetapi bagi
mereka yang merasakan nyeri, Agency for Healthcare Research and Quality
(AHRQ) melaporkan bahwa hampir hampir 90% klien dapat mengontrol nyeri
dalam arti yang sederhana (Jacox et al., 1994 dalam Potter & Perry, 2009). Nyeri
tersebut terkadang bersifat nosiseptif dan atau neuropatik. Nyeri kanker biasanya
disebabkan oleh berkembangnya tumor dan berhubungan dengan proses patologis,
prosedur invasif, toksin-toksin dari pengobatan, infeksi, dan keterbatasan secara
fisik.
Meskipun kebutuhan akan pengobatan kanker telah meningkat, tetapi
masalah mengenai tidak ada pengobatan masih berlanjut. Hampir 70-90% klien
dengan stadium lanjut mengalami nyeri. Enam puluh persen dari mereka
melaporkan adanya nyeri tingkat sedang hingga berat (Maxwell et al,. 2005 dalam
Potter& Perry, 2009).
2.2.3.4 Nyeri akibat patologis
Mengidentifikasi penyebab nyeri merupakan langkah pertama untuk
mencapai keberhasilan dalam pengobatan nyeri. Nyeri nosiseptif mencakup nyeri
somatic (musculoskeletal) dan nyeri viseral (organ dalam). Nyeri neuropatik

Universitas Sumatera Utara

18

timbul dari adanya saraf abnormal atau rusak . Proses patologis memilki karakter
nyeri yang berbeda-beda satu sama lain (Potter & Perry, 2009).
2.2.3.5 Nyeri ideopatik
Tidak semua nyeri memiliki penyebab yang dapat diidentifikasikan, maka
kategori ketiga yaitu nyeri idiopatik penting untuk dipertimbangkan. Nyeri
ideopatik adalah nyeri kronis dari ketiadaan penyebab fisik atau psikologis yang
dapat diidentifikasi atau nyeri yang dirasakan sebagai berlebihnya tingkat
patologis organ (Potter& Perry, 2009).
2.2.4 Teori pengontrolan nyeri
Teori kontrol Gerbang (Gate Control Theory) oleh Melzack dan Wall (1965
dalam Potter & Perry, 2009) menjelaskan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau
dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini
menjelaskan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan
impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Proses dimana terjadi interaksi
antara stimulus nyeri dan sensasi lain dan stimulasi serabut yang mengirim sensasi
tidak nyeri memblok atau menurunkan transmisi impuls nyeri melalui sirkuit
gerbang penghambat. Sel-sel inhibitori dalam kornu dorsalis medulla spinalis
mengandung enkefalin, yang menghambat transmisi nyeri.
Nyeri memiliki beberapa komponen yaitu emosional dan kognitif serta
sensasi secara fisik (Potter & Perry, 2009). Upaya menutup pertahanan tersebut
merupakan dasar teori menghilangkan nyeri. Penutupan gerbang merupakan dasar
terhadap intervensi nonfarmakologis dalam penanganan nyeri. Proses fisiologis,
emosional, dan kognitif dapat berpengaruh terhadap manajemen nyeri. Sebagai

Universitas Sumatera Utara

19

contoh: stress, latihan/olahraga dan faktor-faktor lain yang meningkatkan
pelepasan endorphin dapat meningkatkan ambang nyeri seseorang. Dikarenakan
jumlah subtansi-substansi sirkulasi bervariasi disetiap individu, maka respon
terhadap nyeri pun akan berbeda.
2.2.5

Faktor yang mempengaruhi nyeri
Mc Caffery dan Pasero (1999 dalam Prasetyo, 2010) menyatakan bahwa

klien yang paling mengerti dan memahami tentang apa yang dirasakannya saat
nyeri datang. Berbagai faktor yang dapat mempengaruhi persepsi dan reaksi
masing-masing individu terhadap nyeri. Perawat harus menguasai dan memahami
faktor-faktor tersebut agar dapat memberikan pendekatan yang tepat dalam
pengkajian dan perawatan terhadap klien yang mengalami masalah nyeri. Faktorfaktor tersebut adalah:
2.2.5.1 Usia
Usia merupakan variabel yang penting dalam mempengaruhi nyeri pada
individu. Perbedaan kelompok

umur

mempengaruhi

reaksi terhadap nyeri

(Prasetyo, 2010). Nyeri pada penderita kanker dapat menyerang semua umur.
Menurut Rikesdas (2013) prevalensi penyakit kanker tertinggi berada pada
kelompok umur 75 tahun ke atas, yaitu sebesar 5,0% dan prevalensi terendah pada
anak kelompok umur 1-4 tahun dan 5-14 tahun sebesar 0,1%. Terlihat
peningkatan prevalensi yang cukup tinggi pada kelompok umur 25-34 tahun, 3544 tahun, dan 45-54 tahun.

Universitas Sumatera Utara

20

2.2.5.2. Jenis kelamin
Pria dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam berespon terhadap
nyeri. Beberapa budaya menganggap bahwa perempuan dalam merasakan nyeri
tidak lebih berani dan memilih untuk menangis. Penelitian menyebutkan bahwa
hormon seks pada mamalia berpengaruh terhadap tingkat toleransi terhadap nyeri.
Hormon seks testosteron menaikkan ambang nyeri sedangkan estrogen
meningkatkan sensitivitas terhadap nyeri. Pada manusia rasa nyeri lebih
kompleks, dipengaruhi oleh personal, sosial, budaya, dan lain-lain. Namun,
tergantung dari individu bagaimana menanggapi nyeri (Prasetyo, 2010).
2.2.5.3. Kebudayaan
Kebudayaan mempengaruhi bagaimana seseorang belajar untuk bereaksi
dan mengekspresikan nyeri. Budaya mempengaruhi bagaimana seseorang
menginformasikan nyerinya kepada orang lain termasuk tenaga kesehatan.
Perawat seringkali berasumsi bahwa cara berespon setiap individu dalam masalah
nyeri adalah sama (Potter & Perry, 2009).
2.2.5.4 Makna nyeri
Makna nyeri pada seseorang mempengaruhi pengalaman nyeri dan cara
seseorang beradaptasi terhadap nyeri . Seorang wanita yang merasakan nyeri
bersalin akan merasakan nyeri secara berbeda dengan wanita lainnya yang nyeri
karena dipukuli suaminya (Prasetyo, 2010).

Universitas Sumatera Utara

21

2.2.5.5 Lokasi dan tingkat keparahan nyeri
Nyeri yang dirasakan bervariasi dalam intensitas dan tingkat keparahan pada
individu. Nyeri yang dirasakan terasa ringan, sedang, bahkan berat. Dalam
kaitannya dengan kualitas nyeri, masing-masing individu juga bervariasi
(Prasetyo, 2010).
2.2.5.6 Perhatian
Tingkat perhatian seseorang terhadap nyeri akan mempengaruhi persepsi
nyeri. Perhatian yang meningkat terhadap nyeri akan meningkatkan respon nyeri
sedangkan pasien yang melakukan upaya pengalihan dihubungkan dengan
penurunan respon nyeri (Gill, 1990 dalam Potter & Perry, 2009).
2.2.5.7 Ansietas (kecemasan)
Hubungan nyeri dengan ansietas bersifat

kompleks.

Ansietas yang

dirasakan pasien dapat meningkatkan persepsi nyeri, nyeri juga dapat
menimbulkan perasaan ansietas. Contoh yang dapat dipaparkan adalah seseorang
yang menderita kanker kronis dan merasa takut akan kondisi penyakitnya akan
semakin meningkatkan persepsi nyerinya (Prasetyo, 2010).
2.2.5.8 Keletihan
Keletihan/ kelelahan yang dirasakan seseorang akan meningkatkan sensasi
nyeri dan menurunkan kemampuan koping seseorang. Keletihan dapat menjadi
masalah umum pada individu yang menderita penyakit kronik dalam jangka lama.
Nyeri berkurang setelah individu mengalami suatu periode tidur yang lelap (Potter
& Perry, 2009).

Universitas Sumatera Utara

22

2.2.5.9 Pengalaman sebelumnya
Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri, bukan berarti dengan adanya
pengalaman pasien lebih mudah dalam menghadapi nyeri pada masa yang akan
datang. Seseorang yang terbiasa merasakan nyeri akan lebih siap dan mudah
mengantisipasi nyeri daripada individu yang mempunyai pengalaman sedikit
tentang nyeri (Prasetyo, 2010).
2.2.5.10 Dukungan keluarga dan sosial
Individu yang mengalami nyeri sangat membutuhkan dukungan, perhatian,
dan perlindungan dari keluarga atau teman terdekat. Nyeri memang masih
dirasakan pasien namun kehadiran orang terdekat akan meminimalkan kesepian
dan ketakutan (Prasetyo, 2010).
2.2.6 Pengukuran intensitas nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri yang
dirasakan oleh seseorang (Haryanto, 2015). Menurut Perry & Potter (2009), nyeri
merupakan salah satu kararkteristik yang paling subjektif. Pada pengkajian ini
pasien diminta untuk menggambarkan nyeri yang dialaminya

sebagai nyeri

ringan, sedang atau berat. Namun kesulitannya adalah makna dari istilah-istilah
ini berbeda bagi perawat dan klien serta tidak ada batasan-batasan khusus yang
membedakan antara nyeri ringan, sedang dan berat. Hal ini disebabkan
pengalaman nyeri masing-masing individu berbeda-beda (Prasetyo, 2010). Ada 4
metode yang umumnya digunakan untuk mengukur intensitas nyeri yaitu Verbal
Descriptor Scale (VDS), Visual Analogue Scala (VAS), dan Numerical Rating
Scale (NRS) dan skala Bourbanis.

Universitas Sumatera Utara

23

2.2.6.1 Skala intensitas nyeri deskriptif
Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan
sebuah alat ukur tingkat keparahan yang lebih bersifat objektif. Skala ini
merupakan sebuah garis yang terdiri dari beberapa kalimat pendeskripsian yang
tersusun dalam jarak yang sama sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari
“tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang paling hebat”. Perawat menunjukkan
klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru
yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling
menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS
ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri
(Prasetyo, 2010).

Gambar 2.1 Verbal Descriptor Scale (VDS)

2.2.6.2 Skala Intensitas Nyeri Numerik
Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) digunakan sebagai
pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan
menggunakan skala 0-10. Angka 0 diartikan kondisi klien tidak merasakan nyeri,
angka 10 mengindikasikan nyeri yang paling berat yang dirasakan klien. Skala
biasanya digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi
terapeutik (Prasetyo, 2010).

Universitas Sumatera Utara

24

Gambar 2.2 Numerical Rating Scales (NRS)

2.2.6.3 Skala analog visual
Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi.
VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus
dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan
penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan
pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif

karena klien dapat

mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata
atau satu angka (Potter& Perry, 2009).

Gambar 2.3 Visual Analog Scale (VAS)

2.2.6.4 Skala nyeri menurut Bourbanis
Kategori dalam skala nyeri Bourbanis sama dengan kategori VDS, yang
memiliki 5 kategori dengan menggunakan skala 0-10. Kriteria nyeri pada skala ini
yaitu:
0

: Tidak nyeri

1-3 : Nyeri ringan, secara obyektif klien dapat

Universitas Sumatera Utara

25

berkomunikasi dengan baik.
4-6 : Nyeri sedang, secara obyektif klien mendesis,
menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat
mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan
baik.
7-9 : Nyeri berat, secara obyektif klien terkadang tidak
dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap
tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat
mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih
posisi nafas panjang dan distraksi.
10 : Nyeri sangat berat, pasien sudah tidak mampu lagi
berkomunikasi, memukul.
2.3
2.3.1

Nyeri kanker
Pengertian Nyeri kanker
Nyeri pada kanker merupakan gejala yang sering ditemukan, biasanya

bersifat kronis atau menahaun (Junaidi, 2008). Nyeri adalah salah salah satu
akibat dari penyakit kanker yang paling ditakuti pasien (Baradero,2008). Nyeri
pada kanker dapat disebabkan langsung oleh sel kankernya sendiri atau secara
tidak langsung karena reaksi tubuh terhadap kanker (Junaidi, 2008).

Universitas Sumatera Utara

26

2.3.2

Penyebab nyeri kanker
Menurut Baradero (2008) terdapat lima perubahan fisiologis yang dapat

menimbulkan kanker, yaitu:
1. Kerusakan pada tulang paling sering
2. Obstruksi lumina (dapat organ-organ visceral, seperti pada traktus
gastrointestinal, dapat juga pembuluh darah atau saluran limfik).
3. Saraf perifer
4. Tekanan tumor yang membesar, adanya iskemia, distensi, atau inflamasi.
5. Infeksi atau nekrosis jaringan.
Nyeri kanker juga dikaitkan dengan unsur psikologis yaitu persepsi pasien
tentang ancaman dan stres yang disebabkan oleh kanker itu sendiri.
Persepsi ini berbeda pada setiap individu. Ada tiga kategori stresor yang
disebabkan oleh kanker ,yaitu:
1. Ancaman dari penyakit kanker itu sendiri.
2. Hilangnya bagian tubuh atau ancaman akan hilangnya bagian tubuh.
3.

Frustasi dalam memenuhi dorongan biologis karena ketidakmampuan yang
diakibatkan penyakit kanker, atau efek samping pengobatan kanker.
Respon pasien terhadap ketiga hal tersebut meliputi depresi, menurunnya

harga diri, permusuhan, dan mudah marah. Termasuk efek sosiologis, yaitu
berkurangnya interaksi dengan keluarga, teman, serta dapat mengurangi
partisipasi dalam kegiatan sehari-hari (Baradero, 2008).

Universitas Sumatera Utara

27

2.3.3 Pertumbuhan kanker
Kanker adalah istilah umum untuk pertumbuhan sel yang tidak normal yaitu
tumbuh sangat cepat, tidak terkontrol, dan tidak berirama yang dapat menyebar ke
jaringan tubuh normal dan menekan jaringan tersebut sehingga mempengaruhi
fungsi tubuh (Diananda, 2009). Sel-sel akan terus menerus membelah diri. Kanker
bisa terjadi di berbagai jaringan dalam berbagai organ seperti sel kulit, sel hati, sel
darah, sel otak, sel lambung, sel usus, sel paru, sel saluran kemih, dan berbagai sel
lainnya. Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangannya, sel-sel kanker
membentuk suatu massa dari jaringan ganas yang masuk ke jaringan di dekatnya
(invasif) dan bisa menyebar (metastasis) ke seluruh tubuh. Ada tiga langkah
perkembangan kanker, yaitu inisiasi, promosi, dan progresi (Baradero , 2008).
2.3.3.1

Tahap inisiasi

Pada tahap inisiasi yang dimulai dengan sel-sel yang normal mengadakan
kontak dengan karsinogen, yaitu zat-zat yang dapat menyebabkan kanker.
Karsinogen yang meliputi radiasi, virus, sinar ultraviolet matahari,bahan kimia,
obat, dan vaksin yang menyebabkan kerusakan genetic yang ireversible dan
proses ini disebut mutasi atau perubahan (Baradero, 2008).
2.3.3.2

Tahap promosi

Dalam tahap promosi perubahan ke arah prakanker terjadi akibat bahanbahan promotor , faktor keturunan, umur, dan lingkungan; semua itu berperan
dalam pembentukan kanker. Perubahan yang terjadi mempengaruhi promotor
yang berulang-ulang dalam jangka waktu yang lama. Tahap ini irreversible,
artinya resiko timbulnya kanker akan hilang bila promoter dihilangkan. Termasuk

Universitas Sumatera Utara

28

dalam faktor-faktor promosi,yaitu rokok, penyalahgunaan alkohol,dan komponen
makanan yang terus menerus mempengaruhi sel-sel yang sudah mengadakan
mutasi dan perubahan. Faktor promotor ini menambah perubahan struktur sel,
sehingga kecepatan mutasi spontan juga bertambah. Selain itu, jumlah sel-sel
tidak normal juga meningkat.
2.3.3.3

Tahap progresi

Pada tahap terakhir yaitu progresi terjadinya pertumbuhan kanker telah yang
tidak terkendali dari tumor malignan yang dapat bermetastasis (Baradero, 2008).
Metastasis atau penyebaran ini dapat melalui aliran darah, aliran getah bening ke
bagian-bagian lain dari tubuh serta mengantikan jarinagn normal (Diananda,
2009).
Pada saat sebuah sel menjadi ganas, sistem kekebalan tubuh sering dapat
merusaknya sebelum sel ganas berlipat ganda menjadi kanker. Namun apabila
sistem kekebalan tubuh tidak berfungsi secara normal, maka tubuh cenderung
rentan terhadap resiko kanker,seperti yang terjadi pada penderita AIDS, orangorang yang menggunakan obat penekan kekebalan, dan penyakit autoimun
(Diananda, 2009).
2.3.4 Jenis nyeri kanker
Menurut Junaidi (2008) nyeri kanker terdiri dari 3 jenis, yaitu sebagai
berikut:
a. Nyeri Nosiseptif
Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang timbul akibat kerusakan jaringan, saraf tepi,
dan saraf pusat.

Universitas Sumatera Utara

29

b. Nyeri Neuropatik
Nyeri neuropatik adalah nyeri yang terjadi akibat kerusakan saraf perifer.
c. Nyeri Idiopatik
Nyeri ideopatik adalah nyeri yang timbul tanpa kelainan organ atau tidak
proporsional dengan kelainan organ yang ditemukan.
2.3.5 Penatalaksanaan nyeri kanker
2.3.5.1 Farmakologis
World Health Organization (WHO) merekomendasikan petunjuk untuk
pengobatan nyeri kanker yang dikembangkan dalam bentuk tangga analgesik.
Pedoman yang dibuat WHO mengkombinasikan penggunaan obat-obatan
analgesik dan obat-obatan adjuvan yang efektif untuk mengontrol nyeri klien
(Prasetyo, 2010).
Analgesic Ladder yang direkomendasikan oleh WHO ditentukan oleh
tingkat keparahan dari nyeri yang dirasakan. Untuk nyeri ringan (skala nyeri 1-3
pada skala 0-10) direkomendasikan penggunaan pada tangga pertama yaitu nonopiat yang disertai atau tanpa obat-obatan adjuvan. Apabila nyeri yang dirasakan
klien menetap atau skala nyeri meningkat (nyeri sedang; skala 4-6 pada skala 010) direkomendasikan penggunaan opiat lemah, disertai atau tanpa nonopiat, dan
disertai atau tanpa obat-obatan adjuvan. Apabila dengan pemberian obat pada
tangga ketiga nyeri masih menetap atau bahkan meningkat (nyeri berat; skala
nyeri 7-10 pada skala 0-10) opiate kuat dapat digunakan, nonopiat sebaiknya
diteruskan dan obat-obatan adjuvan juga harus dipertimbangkan penggunaannya
pula AHCPR (1994 dalam Prasetyo, 2010).

Universitas Sumatera Utara

30

2.3.5.2 Nonfarmakologis
Walaupun terdapat berbagai jenis obat untuk meredakan nyeri, semua
memiliki resiko dan bahaya. Tindakan nonfarmakologis digunakan untuk
mendukung terapi Farmakologis yang sudah diberikan, untuk membantu
meredakan nyeri (Black, 2014). Dapat diuraikan, sebagai intervensi fisik dan
kognitif perilaku yang merupakan tindakan non invasif, pendekatan dengan
intervensi ini banyak digunakan karena beresiko rendah, hemat dan mudah
dilakukan (Black, 2014).
a. Intervensi fisik
Intervensi fisik dapat memberikan kenyamanan, meningkatkan mobilitas
dan membantu respon fisiologis. Teknik seperti ini dapat menangani nyeri dan
mempromosikan cara hidup sehat. Perubahan posisi dan pergerakan telah
diketahui secara umum sebagai intervensi yang dapat meredakan nyeri.
Walaupun menurunkan nyeri dalam tingkatan tertentu.
Macam terapi dalam intervensi fisik yaitu stimulasi kutaneus (Pijat,
kompres panas dan dingin, Transcutaneus Electrical Simulation (TENS),
akupuntur, akupresur).
b. Intervensi kognitif dan biobehavioral
Intervensi kongnitif dan perilaku dapat mengubah persepsi nyeri,
menurunkan ketakutan dan juga memberikan kontrol diri yang lebih pada
klien (Black, 2014).
Macam terapi dalam intervensi

kognitif dan perilaku adalah nafas

dalam, relaksasi progresif, nafas ritmik, musik, Imajinasi terbimbing (Guide

Universitas Sumatera Utara

31

Imagery), Biofeedback, distraksi, terapi sentuhan, meditasi, hipnotis, Rumor
dan Magnet (Black, 2014).
2.4

Hubungan Kontrol nyeri dengan intensitas nyeri
Menurut Curton (1983 dalam Prasetyo, 2010) nyeri merupakan respon yang

timbul saat jaringan mengalami kerusakan dan menyebabkan seseorang mencari
cara untuk mengontrol nyeri. Kontrol nyeri (pain control) adalah cara atau metode
yang dilakukan oleh pasien sendiri dalam mengontrol nyeri yang dirasakan
(National Cancer Institute, 2014). Untuk mengontrol nyeri dibutuhkan menejemen
nyeri yang efektif. Menurut Potter & Perry (2009) klien memiliki cara yang
efektif dalam mengontrol nyeri dengan mengubah posisi seperti: berjalan,
mengayun, menggosok, makan, meditasi, berdoa, memberikan sensasi hangat atau
dingin pada lokasi nyeri. Manajemen nyeri dengan terapi komplementer seperti
teknik relaksasi, imajinasi terbimbing, distraksi, stimulasi kutaneus, akupresur,
dan hypnosis telah berkontribusi terhadap peningkatan kemampuan untuk
mengatasi nyeri serta memberikan kepuasan terhadap pengurangan dan
pengontrolan nyeri (Black, 2014).
Intensitas nyeri adalah gambaran seberapa parah nyeri yang dirasakan
individu. Skala intensitas nyeri meliputi tidak nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang,
nyeri berat dan nyeri sangat berat (Hariyanto, 2015).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada hubungan kontrol nyeri
dengan intensitas nyeri. Hubungan kontrol nyeri dengan intensitas nyeri
merupakan hubungan dua arah yaitu : pasien dengan kontrol nyeri yang baik
biasanya memiliki kemampuan untuk mencari cara atau metode sehingga dapat

Universitas Sumatera Utara

32

menurunkan intensitas nyeri. Sedangkan pasien dengan kontrol nyeri rendah
menunjukkan intensitas nyeri yang berat. Sementara itu, pasien dengan intensitas
nyeri yang berat biasanya lebih memiliki kemampuan untuk mencari cara atau
metode untuk mengurangi nyerinya. Sedangkan pasien dengan intensitas nyeri
yang ringan dan sedang kurang memiliki kemampuan untuk mencari cara atau
metode untuk mengurangi nyerinya.

Universitas Sumatera Utara