Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Wilayah Dalam Penerapan Sanksi Atas Pelanggaran Administrasi Yang Dilakukan Notaris Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Hukum merupakan landasan pembangunan dibidang lainnya yang bermakna

teraktualisasinya fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial/ pembangunan (law as a
tool of sosial engineering), instrument penyelesaian masalah (dispute resolution), dan
instrument pengatur perilaku masyarakat (sosial control) 1.

Visi Pembangunan

Hukum Nasional adalah “terwujudnya Negara hukum yang adil dan demokratis
melalui pembangunan sistem hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan
rakyat dan bangsa didalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk
melindungi segenap rakyat dan bangsa, serta tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945.” Visi tersebut kemudian diimplementasikan dalam Misi Pembangunan

Hukum Nasional dengan 2 :
1. Mewujudkan materi hukum disegala bidang dalam rangka penggantian
terhadap peraturan perundang-undangan warisan kolonial dan hukum
1

Sumitro Djojohadikusumo, Indonesia dalam Perkembangan Dunia Kini dan Masa Datang,
LP3ES, Jakarta,2003, hal.10.
2
Komar Andasasmita, Notaris Selayang Pandang The Notary Public at a Glance, Bandung :
Alumni, 1983, hal. 5.

nasional yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat yang
mengandung kepastian, keadilan, dan kebenaran dengan memperhatikan
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat;
2. Mewujudkan budaya hukum dan masyarakat yang sadar hukum
3. Mewujudkan aparatur hukum yang berkualitas, professional, bermoral, dan
berintegritas tinggi; serta
4. Mewujudkan lembaga hukum yang kuat, terintegrasi, dan berwibawa.
Pembentukan Undang-Undang tersebut merupakan pengaturan lebih lanjut dari
UUD 1945, yang materinya mencakup aspek-aspek 3 (1) hak asasi manusia (HAM),

(2) hak dan kewajiban warga Negara, (3) pelaksanaan dan penegakan kedaulatan
Negara, (4) wilayah Negara dan pembagian daerah, (5) kewarganegaraan dan
kependudukan, serta (6) keuangan Negara. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi,
Jimly Asshiddiqie, disebuah kesempatan seminar hukum pada tahun 2005,
mengatakan bahwa sistem hukum yang komprehensif harus terdiri dari tiga elemen
hukum, yaitu kelembagaan (institusional), kaidah aturan (instrumental), dan perilaku
para subjek hukum yang menyandang hak dan kewajiban yang ditentukan oleh norma
dan aturan hukum. Salah satu kegiatan dari ketiga elemen hukum tersebut adalah
kegiatan pembuatan hukum (law making).

3

Ibid. hal. 15.

Kewenangan dapat efektif apabila didukung dengan kekuasaan yang nyata,
namun seringkali terjadi antara kekuasaan dan wewenang tidak berada dalam satu
tangan, sehingga antara keduanya tidak berjalan secara seimbang dalam mencapai
tujuan organisasi. Dalam kelompok masyarakat kecil dan susunannya sederhana, pada
umumnya kekuasaan dipegang oleh seseorang atau sekelompok orang yang
menguasai berbagai macam bidang keahlian, sehingga apabila kekuasaan tersebut

dipegang oleh seseorang terlalu lama, maka ada anggapan pemegang kekuasaan itu
adalah “penguasa”. Dalam kelompok sosial masyarakat yang lebih besar dengan
susunannya lebih kompleks, dimana tampak adanya berbagai golongan yang sifat dan
tujuannya berbeda-beda dan kepentingan tidak selalu sesuai dengan satu sama
lainnya, maka kekuasaan biasanya terbagi kedalam beberapa golongan, sehingga
terdapat perbedaan dan pemisahan yang nyata dari kekuasaan politik, militer,
ekonomi, agama dan sebagainya. Adanya kekuasaan yang terbagi itu tampak jelas
dalam masyarakat yang menganut dan melaksanakan demokrasi secara luas.
Penderitaan yang dikenakan kepada si pelanggar peraturan apabila sanksi
diselenggarakan oleh masyarakat adalah berupa pencabutan hak-hak kepemilikankehidupan, kesehatan, kebebasan, atau harta kekayaan, karena hak milik pribadi yang
diambil darinya bertentangan dengan kehendaknya, maka sanksi ini mempunyai
karakter tindakan paksa. 4 Ini tidak berarti bahwa dalam pelaksanaannya sanksi mesti
diterapkan paksaan fisik. Paksaan fisik ini hanya diperlukan jika dijumpai perlawanan

4

Sujamto, Aspek-Aspek Pengawasan di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 1987, hal. 54

dalam menerapkan sanksi. Paksaan fisik ini hanya merupakan kasus pengecualian,
ketika pejabat berwenang yang menerapkan sanksi memiliki kekuasaan yang

memadai.
Sanksi merupakan reaksi dari peraturan hukum terhadap delik, atau, dengan
ungkapan yang sama, reaksi kepada masyarakat, yang diciptakan oleh peraturan
hukum, terhadap pelaku delik, yakni terhadap pelanggar. Tatanan sosial mungkin
melekatkan keuntungan (ganjaran) tertentu kepada yang mematuhinya dan kerugian
(hukuman) tertentu kepada yang tidak mematuhinya, dan oleh karena itu,
membangkitkan keinginan atas keuntungan yang dijanjikan atau perasaan takut atas
kerugian yang diancamkan sebagai motif untuk berbuat. Perilaku yang sesuai dengan
tatanan yang berlaku dicapai melalui sanksi yang diberikan oleh tatanan itu sendiri.
Prinsip ganjaran dan hukuman yakni prinsip retribusi (ganti-rugi) yang sangat penting
bagi kehidupan sosial, terjadi dengan mempertautkan tindakan yang sesuai dan yang
bertentangan dengan tatanan tersebut disatu pihak, dengan suatu keuntungan yang
dijanjikan atau kerugian yang diancamkan dipihak lain, secara berturut-turut sebagai
sanksi-sanksi.
Menurut sistem hukum Indonesia, organ-organ dan/ atau alat-alat perlengkapan
Negara yang mempunyai kewajiban memberikan pelayanan kepada masyarakat
antara lain adalah : 5

5


Jimly Asshiddiqqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta : Konstitusi Press,
2006, hal. 55

1.

Institusi Peradilan dengan pengadilan dan aparatnya sebagai Hakim atau
Majelis Hakim, yaitu organ negara yang memeberikan pelayanan hukum
kepada masyarakat yang mencari keadilan, berkenaan dengan perkara atau
sengketa yang sedang dihadapi, yang penyelesaiannya memerlukan putusan
pengadilan. Pelayanan kepada masyarakat dibidang Peradilan ini diberikan oleh
Negara khususnya pengadilan menurut kasusnya dapat dilakukan berdasarkan
Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum Tata Usaha Negara, Hukum Adat dan
Hukum Agama.

2.

Institusi Pemerintah dengan Pejabat Pemerintahan/ Eksekutif, yaitu organ
Negara yang memberikan pelayanan umum kepada masyarakat berdasarkan
hukum publik. Yang dimaksud dengan Pemerintah atau Pejabat Pemerintahan /
Eksekutif antara lain adalah mulai dari Presiden dan pembantu-pembantunya

yaitu para menteri dan segenap aparatnya sampai ke tingkat yang paling bawah
termasuk didalamnya Aparatur Penegak Hukum seperti kepolisian dan
Kejaksaan.

3.

Institusi Legislatif atau Perwakilan Rakyat, yaitu organ Negara dengan tugas,
kewajiban, kewenangan dan tanggungjawab antara lain dalam bidang legislasi,
pembuatan undang-undang dari melakukan pengawasan umum atas kinerja
Eksekutif, sedangkan hal-hal yang bertalian dengan keuangan Negara,
pemeriksaannya dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.

4.

Organ Negara lain, yaitu Notaris sebagai Pejabat Umum, yaitu Organ Negara
yang dilengkapi dengan kewenangan Hukum untuk memeberikan pelayanan
umum kepada masyarakat umum khusus dalam pembuatan akta otentik sebagai
alat bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan Hukum dibidang
keperdataan.
Dunia kenotariatan pada saat ini setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 2


Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2004 merupakan implikasi dari perkembangan hukum di masyarakat, dalam
pembuatan alat bukti yang sempurna dalam bidang keperdataan atau hukum privat
yang seharusnya mengandung asas keadilan, kemamfaatan dan kepastian hukum.
Didalam memberikan jasa kepada masyarakat oleh Notaris, maka jabatan ini harus
memperoleh pengawasan. 6 Sejak kehadiran institusi Notaris di Indonesia,
pengawasan terhadap Notaris selalu dilakukan oleh lembaga peradilan dan
pemerintah, bahwa tujuan dari pengawasan agar para Notaris ketika menjalankan
tugas jabatannya memenuhi semua persyaratan yang berkaitan dengan pelaksanaan
tugas jabatan Notaris, demi untuk pengamanan kepentingan masyarakat, karena
Notaris diangkat oleh pemerintah, bukan untuk kepentingan diri Notaris sendiri
melainkan untuk kepentingan masyarakat yang membutuhkan alat bukti berupa akta
otentik sesuai permintaan kepada Notaris. Sehingga tanpa adanya masyarakat yang
membutuhkan Notaris, maka Notaris tidak ada gunanya.
6

12

Sujamto, Beberapa Pengertian di Bidang Pengawasan, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983, hal.


Pada dasarnya yang mempunyai wewenang melakukan pengawasan dan
pemeriksaan terhadap Notaris adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang
dalam pelaksanaannya Menteri sebagai kepala Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagai
urusan pemerintah di bidang hukum dan hak asasi manusia. 7 Dengan demikian
kewenangan pengawasan terhadap Notaris ada pada pemerintah, sehingga berkaitan
dengan cara pemerintah memperoleh wewenang pengawasan tersebut.
Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, menegaskan yang dimaksud dengan
Pengawasan adalah kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas
terhadap Notaris. Dengan demikian ada 3 (tiga) tugas yang dilakukan Majelis
Pengawas, yaitu :
1. Pengawasan Prefentif
2. Pengawasan Kuratif
3. Pembinaan
Pengawasan yang dilakukan oleh Majelis tidak hanya pelaksanaan tugas jabatan
Notaris agar sesuai dengan UUJN, tapi juga Kode Etik Notaris dan tindak-tindak atau
perilaku kehidupan Notaris yang dapat melakukan perbuatan yang tidak baik bagi


7

Komar Andasasmita, Notaris Selayang Pandang The Notary Public at a Glance, Bandung :
Alumni, 1983, hal. 88

martabat jabatan Notaris. Dalam pengawasan Majelis Pengawas diatur pada Pasal 67
ayat 5 UUJN, hal ini menunjukkan sangat luas yang lingkup pengawasannya
dilakukan oleh Majelis Pengawas.
Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas jabatan Notaris dengan ukuran yang
pasti pada UUJN dengan maksud agar semua ketentuan UUJN yang mengatur
pelaksanaan tugas jabatan Notaris dipatuhi oleh Notaris, dan jika terjadi pelanggaran,
maka Majelis Pengawas dapat menjatuhkan sanksi kepada Notaris yang
bersangkutan. Majelis Pengawas juga diberi wewenang untuk menyelenggarakan
sidang adanya dugaan pelanggaran jabatan Notaris (Pasal 70 huruf a UUJN).
Pemberian wewenang seperti itu telah memberikan wewenang yang sangat besar
kepada Majelis Pengawas. Bahwa pelanggaran administrasi atas pekerjaan sebagai
notaris tidak menutup kemungkinan juga melanggar Kode Etik Notaris yang
merupakan pengaturan yang berlaku untuk anggota organisasi Notaris, jika terjadi
pelanggaran atas Kode Etik Notaris tersebut, maka organisasi Notaris melalui Dewan
Kehormatan Notaris (Daerah, Wilayah, dan Pusat) berkewajiban untuk memeriksa

Notaris tersebut dan menyelenggarakan sidang pemeriksaan atas pelanggaran
tersebut. Jika terbukti, Dewan Kehormatan Notaris dapat memberikan sanksi atas
keanggotaan yang bersangkutan pada organisasi jabatan Notaris.
Majelis Pengawas Wilayah mempunyai wewenang sebagai berikut : 8

8

Pasal 71 Undang-Undang Tentang Jabatan Notaris

a. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas
laporan masyarakat yang dapat disampaikan melalui Majelis Pengawas
Daerah;
b. Memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan atas laporan
sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. Memberikan izin cuti lebih dari 6 (enam) bulan sampai 1 (satu) tahun
d. Memeriksa dan memutus atas keputusan Majelis Pengawas Daerah yang
menolak cuti yang diajukan oleh Notaris Pelapor
e. Memberikan sanksi baik peringatan lisan maupun peringatan tertulis
f. Mengusulkan pemberian sanksi terhadap Notaris kepada Majelis Pengawas
Pusat berupa :

1) Pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan;
atau
2) Pemberhentian dengan tidak hormat
Penjaminan atas kepastian hukum dibutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat
otentik mengenai suatu keadaan, peristiwa atau suatu perbuatan hukum yang dapat
diperoleh salah satunya melalui pembuatan akta notaris dan notaris mempunyai
jabatan tertentu dalam melakukan serta menjalankan profesi hukumnya dalam hal

memberikan pelayanan hukum kepada anggota masyarakat. 9 Karenanya, notaris
memiliki tanggung jawab dalam bidang hukum privat, hukum pajak, hukum pidana
dan kode etik notaris dalam rangka menjamin kepastian hukum serta memberikan
perlindungan hukum kepada anggota masyarakat yang sesuai dengan UndangUndang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Undang-Undang nomor 30 tahun
2004 tentang Jabatan Notaris yang telah diundangkan sejak tanggal 15 Januari
2014. 10
Notaris sebagai pejabat umum yang dalam istilah bahasa Belanda yaitu
Openbare Ambtenaren yang terdapat dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris
(Reglement op Het Notaris Ambt In Indonesia, Stb. 1860-3) menyebutkan Notaris
adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik
mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh suatu
peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam
suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya, dan
memberikan grosse, salinan, dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu
oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat
atau orang lain. 11 Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 tahun
2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris (UUJN) menyebutkan bahwa “Notaris adalah Pejabat umum yang berwenang
9

Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum,Sinar Grafika, Jakarta, 1993, hal. 8
Liliana Tedjosaputro, Etika Profesi Notaris Dalam Penegakan Hukum Pidana,Bigraf
Publishing, Yogyakarta, 1995, hal. 29
11
Budiono Herlien, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan Buku Kedua,
Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2013, hal. 33
10

untuk membuat akta otentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya”.
Notaris sebagai pejabat umum yang menjalankan pelayanan jasa hukum, maka
terhadap kesalahan Notaris perlu dibedakan antara kesalahan yang bersifat pribadi
(faute personelle atau personal fault) dan kesalahan didalam menjalankan tugas
(faute de serive atau service fault). 12 Artinya sengketa hukum yang terjadi bukan
hanya terkait pada Notaris yang membuat akta itu saja, tetapi bisa saja terkait pada
akta itu sendiri. Dalam proses pelanggaran administrasi yang terjadi tentunya Notaris
harus mengalami proses penyelidikan, penyidikan dan persidangan.
Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) memiliki norma-norma hukum yang
mengatur aturan main terhadap Notaris, aturan main tentu tak lengkap jika tidak
diikuti dengan sebuah hukuman. Tampaknya, UUJN memberikan perhatian penuh
atas pemberlakuan sanksi, tercatat setidaknya ada beberapa Pasal yang mengatur
dengan tegas sanksi yang diancam kepada Notaris yang melakukan kesalahan
sebagaimana diatur dalam Pasal-Pasal tersebut. Pasal-pasal yang memuat sanksi itu
adalah Pasal 7 ayat (2) tentang menjalankan jabatannya setelah pengambilan sumpah
atau janji;Pasal 16 ayat (1) yaitu pelanggaran terhadap bertindak amanah, jujur,
saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam
perbuatan hukum dan pelanggaran lain yang ada didalam UUJN.

Pelanggaran

terhadap pasal-pasal tersebut dikenakan sanksi yang dimulai dari peringatan tertulis
12

R. Sugondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
2007, hal. 34

hingga pemberhentian tidak hormat. Sementara itu, terhadap notaris yang melakukan
kesalahan sehingga menyebabkan kekuatan pembuktian akta berubah menjadi akta
dibawah tangan, para pihak dapat meminta ganti rugi kepada Notaris yang
bersangkutan. Hal itu dapat terjadi apabila Notaris melanggar tidak bertindak
amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak
yang terkait dalam perbuatan hukum dan melanggar aturan dalam isi akta dengan
mengganti, menambah tanpa diberi tanda pengesahan oleh penghadap, saksi, dan
Notaris serta hal lainnya yang dilarang dalam UUJN.
Ketentuan normatif ini mengatur Notaris agar Notaris dalam menjalankan
profesinya selalu terkontrol dengan formalitas yang telah digariskan. Artinya tuntutan
profesi Notaris lebih merujuk pada bentuk dari akta yang dihasilkan bukan substansi
(materi) dari akta. 13 Materi akta dan tanggung jawab atas isinya berada pada pundak
para pihak yang mengadakan perjanjian. Namun terkadang suatu akta memuat
konstruksi-konstruksi hukum tertentu yang sebenarnya dilarang untuk dilakukan
dibidang hukum perjanjian. Mengenai hal ini, Notaris berkewajiban untuk
mengingatkan atau memberi tahu kepada para pihak bahwa pebuatannya bertentangan
dengan hukum yang berlaku. Mengenai tanggung jawab materiil terhadap akta yang
dibuat dihadapan Notaris perlu ditegaskan bahwa kewenangan Notaris dalam
pembuatan akta Notaris bukan berarti notaris secara bebas sesuai dengan
kehendaknya untuk membuat akta otentik tanpa adanya para pihak yang meminta

13

Ibid, hal. 55

untuk dibuatkan akta. 14 Akta Notaris dengan demikian sesungguhnya adalah aktanya
pihak-pihak yang berkepentingan, bukan aktanya Notaris yang bersangkutan. Karena
itulah dalm terjadinya sengketa dari perjanjian yang termuat dalam akta Notaris yang
dibuat bagi mereka dan dihadapan Notaris maka yang terikat adalah mereka yang
mengadakan perjanjian itu sendiri, sedangkan Notaris tidak terikat untuk memenuhi
janji ataupun kewajiban apapun seperti yang tertuang dalam akta Notaris yang dibuat
dihadapannya dan Notaris sama sekali berada diluar mereka yang menjadi pihakpihak. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan akan adanya akta Notaris
yang tendensius. 15 Maksudnya adalah dalam pembuatan akta keterlibatan Notaris
tidak sekedar legalisasi suatu akta namun menyangkut substansi akta. Hal ini bisa
terjadi ketika Notaris sebagai pihak yang semestinya netral melakukan hal-hal
tertentu yang menyebabkan salah satu pihak diuntungkan dan disatu sisi merugikan
pihak lainnya dengan akta notariil tersebut. Ketidaknetralan Notaris dalam membuat
suatu akta ini dikenai tanggung jawab atas materi akta yang dibuatnya.
Terminologi upaya hukum sesungguhnya lebih dikenal sebagai istilah teknis
hukum acara. Definisi upaya hukum sendiri adalah hak terdakwa atau penuntut umum
untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau
kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan peninjauan kembali dalam hal serta
merta menurut yang diatur oleh Undang-Undang. Definisi yang sama juga berlaku

14

Kohar Andasasmita , Notaris Berkomunikasi, Bandung : Alumni, 1984, hal. 30
R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, Jakarta : PT.
RajaGrafindo Persada, 1993, hal. 12
15

pula dalam hukum acara perdata, bedanya hak demikian adalah hak milik para pihak
yang bersengketa, penggugat maupun tergugat. Substansi perlindungan hukum yang
diperoleh dari upaya hukum pada hakekatnya sama yakni memberikan jaminan
perlindungan kepada mereka yang berhak secara normatif. 16 Namun ketika wilayah
pembicaraan menginjak persoalan aspektual dan lebih teknis, tentulah akan tampak
terlihat perbedaan. Perlindungan hukum bagi Notaris dari banyaknya sanksi-sanksi
yang terdapat dalam UUJN sangat berbeda dibandingan dengan aspek kepidanaan.
Dalam ranah UUJN perlindungan hukum lebih bersifat intern/administratif.
Pranata UUJN yang dilanggar oleh seorang Notaris adalah ukuran standar
profesionalisme yang seharusnya wajib ditaati oleh semua Notaris sebagai
pengemban kewenangan Negara dalam pembuatan akta otentik. Diranah ini
perlindungan terhadap Notaris dari putusan-putusan administratif, bertujuan untuk
memberikan jaminan bagi seorang Notaris untuk dapat membela diri dan
mempertahankan haknya atas pekerjaan sebagai Notaris. 17
Kewenangan yang berupa keputusan oleh Majelis Pengawas Wilayah diperoleh
dari UUJN bersifat final adalah keputusan yang bersifat peringatan lisan maupun
peringatan tertulis, dan memberikan berita acara persidangan pada setiap
keputusannya atas

peringatan, teguran maupun pemberhentian sementara dan

pemberhentian tidak hormat. 18 Sebelum pengambilan putusan ini Majelis Pengawas
16

Ibid, hal. 22
Muhammad Abdulkadir, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal. 66
18
Lumban Tobing, Selayang Pandang Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1998, hal 33
17

Wilayah berkewajiban untuk melakukan sidang untuk memberikan kesempatan
kepada Notaris yang tersandung masalah hukum yang berkaitan dengan pekerjaannya
untuk membela diri atas tuduhan atas laporan masyarakat ataupun penemuan dari
pengurus di wilayah Notaris. Tata cara ini dikenal dengan Hukum Acara dimana
pihak-pihak yang menelusuri kebenaran atas tuduhan tersebut serta dasar untuk
pengenaan sanksi-sanksi terhadap Notaris tersebut. 19
Menurut UUJN sifat final putusan Majelis Pengawas terhadap pengenaan
sanksi terhadap Notaris yang melanggar belum mencerminkan asas keadilan dan
kepastian hukum serta tidak ada satu pasal yang khusus mengatur tentang
perlindungan hukum terhadap Notaris serta tidak adanya kejelasan dan kepastian
hukum atas golongan pelanggaran yang membuat Notaris itu bisa dikenakan sanksi
peringatan berbentuk lisan, berbentuk tulisan, pemberhentian sementara, ataupun
pemberhentian tetap. Apabila Notaris tersebut terbukti tidak melakukan pelanggaran
administrasi dalam melaksanakan pekerjaannya sebagai notaris pada sidang Majelis
Pengawas Wilayah maka norma hukum dalam UUJN juga tidak secara tegas adanya
upaya-upaya hukum dalam mengembalikan nama baik Notaris atas tuduhan tersebut.
Mengingat hal tersebut tugas jabatan Notaris memerlukan perlindungan hukum yang
proporsional, sehingga Notaris akan merasa aman, tenang dan tentram dalam
menjalankan jabatannya dikarenakan ada perlindungan hukum terhadapnya sebagai
Pejabat Umum.
19

Soetandyo Wignyosoebroto, Profesi, Profesionalisme dan Etika Profesi,makalah pengantar
untuk sebuah diskusi tentang profesionalisme khususnya Notariat, 2003, hal. 15

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul “Analisis Hukum Terhadap Kewenangan Majelis Pengawas Wilayah
Dalam Penerapan Sanksi Atas Pelanggaran Administrasi Yang Dilakukan Notaris
Ditinjau Dari Undang-Undang No 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris”
B.

Permasalahan
Berdasarkan uraian-uraian pada latar belakang tersebut diatas maka terdapat

beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini, yakni :
1. Bagaimanakah kewenangan MPW dalam melakukan penerapan sanksi yang
terhadap pelanggaran administrasi yang dilakukan oleh Notaris ?
2. Bagaimanakah akibat hukum terhadap notaris dan para pihak setelah
dijatuhkan sanksi oleh Majelis Pengawas Wilayah atas pelanggaran
administrasi yang berlaku bagi Notaris ?
3. Bagaimanakah upaya hukum yang dilakukan notaris dan/atau pihak yang
dirugikan atas putusan sanksi oleh Majelis Pengawas Wilayah terhadap
pelanggaran yang dilakukan Notaris?
C.

Tujuan Penelitian
Mengacu pada topik penelitian dan permasalahan yang diajukan diatas, maka

tujuan yang hendak dicapai pada penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis terhadap tata cara (proses) dari
penerapan sanksi-sanksi di Undang-Undang Jabatan Notaris oleh Majalis
Pengawas Wilayah kepada Notaris atas pelanggaran administrasi yang
dilakukannya.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis terhadap akibat hukum dari
penerapan sanksi-sanksi oleh Majalis Pengawas Wilayah kepada Notaris
dan pekerjaannya.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis bentuk upaya hukum terhadap
Notaris dari penerapan sanksi-sanksi oleh Majalis Pengawas Wilayah
kepada Notaris.
D.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan
praktis, yaitu :
1. Secara Teoritis
Diharapkan hasil peneitian ini dapat memberikan masukan secara
akademis dalam memberikan manfaat dan memberikan gambaran
mengenai perkembangan hukum kenotariatan, khususnya dalam hal
perlindungan hukum kenotaritan, khususnya dalam hal perlindungan
hukum terhadap Notaris dalam menjalankan rahasia jabatan.

2. Secara Praktis
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan-masukan dan
pemikiran-pemikiran baru bagi kalangan Notaris dalam menjalankan
profesi dan jabatannya sebagai pejabat umum dalam hal mendapatkan hak
perlindungan hukum atas sanksi-sanksi Notaris sesuai dengan UndangUndang Jabatan Notaris(UUJN)
E.

Keaslian Penelitian
Berdasarkan

penelusuran

kepustakaan

yang

ada

dilingkungan

Universitas Sumatera Utara, khususnya pada sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul “Analisis
Hukum Terhadap Kewenangan Majelis Pengawas Wilayah Dalam Penerapan
Sanksi Atas Pelanggaran Administrasi Yang Dilakukan Notaris Ditinjau Dari
Undang-Undang No 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris” belum ada yang
membahasnya sehingga tesis ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya
secara akademis. Meskipun terdapat peneliti-peneliti yang terdahulu yang
pernah melakukan penelitian terkait jabatan Notaris dan Undang-Undang
Jabatan Notaris, namun secara judul dan substansi berbeda dengan penelitian
ini. Adapun penelitian yang berkaitan dengan tugas jabatan Notaris dan
Undang-Undang Jabatan Notaris tersebut adalah :

1.

Silvia Sumbogo, NIM : 127011144, dengan judul Penelitian “ Analisis
Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut
UU No. 30 Tahun 2004 Dan Permen Hukum Dan HAM RI No.
M.02.PR.08.10 Tahun 2004”; dengan pokok permasalahan adalah :
1. Bagaimanakah Kewenangan Majelis Pengawas Notaris dalam pengawasan
Notaris menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris Dan HAM RI No. M.02.PR.08.10 Tahun 2004?
2. Bagaimanakah akibat hukum dari Putusan Majelis Pengawas Notaris terhadap
Notaris berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris Dan HAM RI No. M.02.PR.08.10 Tahun 2004?
3. Bagaimanakah hambatan dalam pelaksanaan kewenangan Majelis Pengawas
Notaris serta upaya-upaya untuk mengatasinya ditinjau dari Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris Dan HAM RI No.
M.02.PR.08.10 Tahun 2004?

2.

Desni Prianty Eff. Manik, NIM : 077005007 dengan judul penelitian “
Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris
Menurut Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris”,
dengan pokok permasalahan adalah :

1. Bagaimanakah Kewenangan Majelis Pengawas Notaris dalam pengawasan
Notaris menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris?
2. Bagaimanakah akibat hukum dari Putusan Majelis Pengawas Notaris
terhadap Notaris berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris?
3. Bagaimanakah kendala yang timbul dalam pelaksanaan kewenangan
Majelis Pengawas Notaris serta upaya-upaya untuk mengatasinya?
3.

Susanna. NIM : 067011127, dengan judul Penelitan “ Analisis Yuridis
Pengambilan Fotokopi Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris Ditinjau Dari
Undang-Undang Jabatan Notaris dan Peraturan Pelaksanaannya” dengan
pokok permasalahan adalah :
1. Bagaimanakah

prosedur

pengambilan

fotocopi

minuta

akta

dan

pemanggilan Notaris di Indonesia?
2. Apakah kendala yang dihadapi dalam pengambilan fotocopi minuta akta
dan pemanggilan Notaris ?
3. Apakah upaya untuk mengatasi kendala dalam pengambilan fotocopi
minuta akta dan pemanggilan Notaris ?

4.

Junita Sila Kariani Zebua. NIM : 087011059, dengan judul Penelitian
“Analisis Yuridis Tugas Jabatan Notaris dan Perlindungan Hukum Terhadap
Notaris” dengan pokok permasalahan adalah :
1. Bagaimanakah tanggung jawab Notaris selaku pejabat umum dalam
menjalankan jabatannya ?
2. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap Notaris selaku pejabat
umum dalam menjalankan jabatannya ?
3. Bagaimanakah kendala-kendala yang terjadi dalam melakukan tugas
jabatan Notaris ?
Beberapa judul penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu dengan

permasalahan yang beragam, bahwa tidak ada satupun dari permasalahan yang telah
diteliti sebelumnya yang sama dengan permasalahan dalam penelitian ini, sehingga
dapat dinyatakan bahwa penelitian dengan topik “Analisis Hukum Terhadap
Kewenangan Majelis Pengawas Wilayah Dalam Penerapan Sanksi Atas Pelanggaran
Administrasi Yang Dilakukan Notaris Ditinjau Dari Undang-Undang No 2 Tahun
2014

Tentang

Jabatan

Notaris”

dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

adalah

asli

dan

kebenarannya

dapat

F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori berasal dari kata “theoria” dalam bahasa latin yang berarti
“perenungan”, yang berasal dari kata “thea” dalam bahasa Yunani yang
secara hakiki berarti “realitas”. 20 Pada teori menjelaskan suatu fenomena atau
merupakan proses atau produk atau aktivitas, atau merupakan suatu sistem. 21
Menurut William J. Goode dan Paul K. Hatt, teori adalah hubungan
antara dua variabel atau lebih, yang telah diuji kebenarannya.
“… relationships between facts, or …the ordering of them in some
meaningful way” 22
Sedangkan teori hukum menurut Bruggink adalah suatu keseluruhan
pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturanaturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut untuk
sebahagian penting dipositifkan. 23 Didalam suatu teori sedikitnya terdapat tiga
unsur, yakni: Pertama, penjelasan mengenai hubungan antara berbagai unsur
dalam suatu teori. Kedua, Teori menganut sistem deduktif, yaitu bertolak dari
suatu yang umum dan abstrak menuju suatu yang khusus atau nyata. Ketiga,
20

H.R Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum( Mengingat, Mengumpulkan Dan
Membuka Kembali), Refika Aditama, Bandung, 2004, hal. 21.
21
Salim HS, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, Jakarta : Rajawali Pers, 2012, hal. 1.
22
Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, Indhill-co, Jakarta,
1990, hal.66
23
Op.Cit. hal. 53

Teori memberikan penjelasan atau gejala yang dikemukannya. 24 Fungsi teori
dalam suatu penelitian adalah untuk memberikan pengarahan kepada
penelitian yang akan dilakukan. Hukum merupakan sarana untuk mengatur
kehidupan

sosial.

Tujuan

hukum

adalah

mewujudkan

keadilan

(rechtsgerechtigheid) dan Kepastian Hukum (rechtzekerheid). 25
Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori
keadilan hukum dan teori kepastian hukum, terkhususnya pencapaian nilai
keadilan dan kepastian terhadap tata cara pembuktian serta penerapan
penjatuhan sanksi administratif berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2014 tentang Jabatan Notaris terhadap Notaris di Majelis Pengawas Wilayah
Notaris.
Sebagai pisau analisis, Plato mengemukakan tentang teori keadilan.
Teori keadilan mempunyai dua jenis keadilan yaitu : 26
1.

Keadilan Moral. Suatu perbuatan dapat dikatakan adil secara moral
apabila telah mampu memberikan perlakukan yang seimbang antara hak
dan kewajibannya.

24

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, PT. Gunung
Agung Tbk, Jakarta, 2002, hal. 85
25
Ibid. hal. 86
26
E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan, Tinjauan Hukum Kodrat dan
Antinomi Nilai ,Kompas, jakarta, 2007, hal.88

2.

Keadilan Prosedural. Suatu perbuatan dikatakan adil secara prosedural
apabila seseorang telah mampu melaksanakan perbuatan adil berdasarkan
tata cara yang telah diharapkan.
Dalam membangun teori keadilan diharapkan mampu menjamin

distribusi yang adil antara hak dan kewajiban dalam suatu masyarakat yang
teratur. Kondisi ini dapat dicapai atau dirumuskan apabila ada kondisi awal.
Sebagai status quo awal yang menegaskan bahwa kesepakatan fundamental
dicapai secara fair. 27 Roscoe Pound melihat indikator keadilan dalam hasilhasil konkret yang bisa diberikan kepada masyarakat. Ia melihat bahwa hasil
yang diperoleh itu hendaknya berupa perumusan kebutuhan manusia
sebanyak-banyaknya dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya. Paradigma
Positivisme hukum, keadilan dipandang sebagai tujuan hukum. Hanya saja
disadari pula sepenuhnya tentang relativitas dari keadilan ini harus dilihat
secara luas, ukuran untuk mengukur sesuatu adil atau tidak adalah seberapa
besar dampaknya bagi kesejahteraan manusia. Perspektif tentang keadilan
menurut Satjipto Rahardjo bahwa keadilan mencerminkan bagaimana
seseorang melihat tentang hakikat manusia dan bagaimana seseorang
memperlakukan manusia. 28

27

Andre Ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi, Telaah Filsafat Politik John Rawls, Kanisius,
Yogyakarta, 2005, hal. 25-26
28
Munir Fuady, Dinamika teori Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor: Graha Ilmu,2009, hal. 25

Pendapat Gustav Radbruch makna kepastian hukum adalah hukum itu
positif, artinya bahwa hukum positif itu adalah perundang-undangan. Kedua,
bahwa hukum itu didasarkan pada fakta, artinya didasarkan pada kenyataan.
Ketiga, bahwa fakta harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga
menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, disamping mudah dilaksanakan.
Keempat, hukum positif tidak boleh diubah. Pendapat tersebut didasarkan
pada pandangannya bahwa kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum
itu sendiri. Kepastian hukum merupakan produk dari hukum atau lebih khusus
dari perundang-undangan. 29. Dalam kaitannya dengan teori kepastian hukum
melakukan penerapan sanksi oleh Majelis Pengawas Wilayah kepada Notaris
harus didukung oleh aturan-aturan hukum yang jelas, konsisten, dan yang
diterbitkan oleh kekuasaan negara,

Majelis Pengawas Wilayah dalam

menerapkan sanksi harus mengikuti aturan-aturan hukum tersebut secara
konsisten serta tunduk dan taat kepada aturan tersebut, Majelis Pengawas
Wilayah yang mandiri dan tidak berpihak dalam menerapkan aturan-aturan
hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa
hukum, dan keputusan tersebut secara kongkrit dilaksanakan. 30
Penerapan sanksi oleh Majelis Pengawas Wilayah kepada notaris
harus melalui proses yang memberikan rasa keadilan hukum dan kepastian

29

Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif & Kualitatif, Yogyakarta : Mandar Maju,
2008, hal. 74
30
Jan M. Otto, Teori Hukum dan Aplikasinya, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hal. 45

hukum bagi penegakan terhadap jabatan notaris. Proses ini memerlukan aturan
yang baku untuk memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang
didalamnya berisikan norma-norma hukum yang mengandung hak dan
kewajiban para pihak dalam mengikuti proses sidang di Majelis Pengawas
Wilayah. Tata cara penyelidikan sampai dengan sidang yang dilakukan oleh
Majelis Pengawas Wilayah terhadap pelanggaran administrasi yang dilakukan
oleh notaris harus jelas.
Sebelum berlakunya UUJN, pengawasan notaris diatur dalam berbagai
peraturan sebagai berikut 31 :
1. Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der
Justitie in Indonesia (Lembaran Negara 1847 Nomor 57 jo
Lembaran Negara 1848 Nomor 57).
2. Rechsreglement Buitengewesten (Lembaran negara 1927 Nomor
227)
3. Peraturan Jabatan Notaris (Lembaran Negara 1860 Nomor 3)
4. Ordonantie Buitengerechtelijke Verrichtingen (Lembaran Negara
1946 Nomor 135)
5. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Susunan dan
Kekuasaan Mahkamah Agung
6. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan umum
31

Nico, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Yogyakarta : CDSBL,2003, hlm. 62-71

Selain itu terdapat juga beberapa Surat Edaran tentang Pengawasan
terhadap Notaris yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung dan Menteri
Kehakiman, yaitu 32 :
1. Surat Edaran Departemen Kehakiman Republik Indonesia tanggal
17 Februari 1981 Nomor JHA 5/13/16 yang ditujukan kepada
Ketua Pengadilan Negeri di Seluruh Indonesia
2. Surat Edaran Menteri Kehakiman Republik Indonesia tanggal 1
Maret 1984 Nomor MA/Pemb/1392/84 yang ditujukan kepada
Ketua Pengadilan Tinggi dan Ketua Pengadilan Negeri di seluruh
Indonesia
3. Surat Edaran Menteri Kehakiman Republik Indonesia tanggal 1
Mei 1985 Nomor M-24HT.03.10 Tahun 1985 Tentang Pembinaan
dan Penertiban Notaris.
2. Kerangka Konsepsi
Kerangka konsepsional merupakan kerangka yang menggambarkan
hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti. Suatu
konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan
suatu abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu sendiri biasa dinamakan fakta.

32

Ibid. hal. 75

Sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai hubungan-hubungan
dalam fakta tersebut. 33
Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau
pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum. Agar
terdapat persamaan persepsi dalam membaca dan memahami penulisan
dalam penelitian ini, maka dipandang perlu untuk menguraikan beberapa
konsepsi dari pengertian dari istilah yang digunakan sebagaimana yang
terdapat dibawah ini :
a.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris adalah
Peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang dan mengikat secara khusus bagi Jabatan Notaris dan
mengikat secara umum.

b.

Notaris adalah pejabat umum 34yang berwenang untuk membuat akta
autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan Undang-Undang lainnya. 35

33

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Jakarta : Rajawali Pers, 2013, hal. 7.
34
Pejabat umum merupakan suatu jabatan yang disandang atau diberikan kepada mereka yang
diberi wewenang oleh aturan hukum dalam pembuatan akta autentik, dan Notaris sebagai Pejabat
umum kepadanya diberikan kewenangan untuk membuat akta autentik.
35
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

c.

Majelis Pengawas Wilayah adalah suatu badan yang mempunyai
kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pengawasan dan
pembinaan terhadap Notaris yang berkedudukan di ibukota provinsi. 36

d.

Sanksi Hukum adalah Suatu perasaan yang tidak enak (sengsara) yang
dijatuhkan oleh penengak hukum, penegak peraturan atau penguasa
kepada orang yang melanggarnya. 37

e.

Sanksi Administrasi/ Administratif adalah hukuman yang dikenakan
terhadap pelanggaran administrasi atau ketentuan undang-undang yang
bersifat administratif. 38

G. Metode Penelitian
Metode (Inggris : method, Latin : methodus, Yunani : methodos- meta
berarti sesudah, diatas, sedangkan hodos berarti suatu jalan, suatu cara). Van
Peursen mula-mula mengartikan metode sebagai suatu jalan yang harus
ditempuh, kemudian menjadi : penyelidikan atau penelitian berlangsung
menurut suatu rencana tertentu. 39
Metode yang diterapkan didalam suatu penelitian adalah kunci utama
untuk menilai baik buruknya suatu penelitian. Metode ilmiah itulah yang

36

Pasal 72 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris.
Ibid. hal. 101
38
Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, Aneka, Semarang, 1997, hal. 66
39
Johny Ibrahim, Teori & Metode Penelitian Hukum Normatif, Malang : Bayumedia Publishing,
2005, hal. 25
37

menetapkan alur kegiatannya, mulai dari pemburuan data sampai ke
penyimpulan suatu kebenaran yang diperoleh dalam penelitian itu. 40
1. Sifat dan Jenis Penelitian
Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu
pengetahuan maupun teknologi. Sedangkan penelitian hukum adalah suatu
proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun
doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. 41
Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum
yang timbul, yaitu memeberikan preskripsi mengenai apa yang seharusnya
atas isu yang diajukan. 42
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
yuridis normatif. Penelitian hukum doktrinal (doctrinal research) adalah
penelitian yang bertujuan untuk memberikan eksposisi yang bersifat
sistematis mengenai aturan hukum yang mengatur bidang hukum tertentu,
menganalisis hubungan antara hukum yang satu dengan yang lain,
menjelaskan bagian-bagian yang sulit untuk dipahami dari suatu aturan

40

Tampil Anshari Siregar, Metodelogi penelitian Hukum Penulisan Skripsi, Medan : Pustaka
Bangsa Press, 2005, hal. 15.
41
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008,
hal. 35.
42
Dyah Ochtorina Susanti dan A’an Efendi, Penelitian Hukum (legal Research), Jakarta : Sinar
Grafika, 2014, hal. 1.

hukum, bahkan mungkin juga mencakup prediksi perkembangan suatu aturan
hukum tertentu pada masa mendatang. 43
Penelitian yuridis normatif tersebut mengacu kepada norma-norma
hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusanputusan pengadilan serta norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat.
Selain itu, dengan melihat sinkronisasi suatu aturan dengan aturan lainnya
secara hierarki. 44
Ditinjau dari segi sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif,
maksudnya adalah bahwa penelitian ini berdasarkan teori, atau konsep yang
bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data
dengan seperangkat data yang lain. 45
Dalam kaitannya dengan penelitian hukum normatif, maka disini
digunakan pendekatan undang-undang. Pendekatan undang-undang (statute
approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi
yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Bagi
penelitian untuk kegiatan praktis, pendekatan undang-undang ini akan
membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan
kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang yang lainnya

43

Ibid. hal. 11.
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2009, hal. 105
45
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997,
hal. 38-39
44

atau antara undang-undang dengan undang-undang dasar ataupun antara
regulasi dari indang-undang tersebut. 46
2. Sumber Data
Pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang
dalam ilmu penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Dalam penelitian
hukum, data sekunder mencakup : 47
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri
dari :
1. Peraturan Perundang-undangan :
a. Reglement op Rechtelijke Organisatie en Het Beleid Der Justitie
(Stbl. 1847 No. 23)
b. Lembaran Negara Tahun 1946 Tentang Notaris
c. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris dan peraturan yang setaraf;

46
47

Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit, hal. 93.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.Cit, hal. 24.

d. Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor
M.02.PR.08.10 Tahun 2004
e. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 Tentang ganti Rugi
dan Tata Cara Pelaksanaannya Pada Peradilan Tata Usaha Negara
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan
hukum mengenai pengawasan dan pembinaan terhadap Notaris.
c. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya adalah
kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan bahan dari hasil penelitian kepustakaan
yakni dengan pengumpulan data sekunder yang meliputi bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier.
Bahan hukum primer berupa dokumen-dokumen maupun peraturanperaturan perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan dengan perilaku
dalam jabatan maupun diluar jabatan Notaris yang mengandung konflik yang
dapat menyebabkan Notaris dikenakan sanksi administratif oleh Majelis
Pengawas Wilayah. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang

memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yaitu pandangan para
ahli hukum. Selanjutnya bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang
memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan dokumen yang terkait
selanjutnya digunakan untuk kerangka teoritis pada penelitian lapangan
hukum primer dan sekunder.
4. Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan metode kualitatif. Metode ini tidak
memerlukan populasi dan sampel. Penelitian dengan Metode ini mengacu
pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan serta
norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. 48
Semua data yang diperoleh kemudian dikelompokkan atas data yang
sejenis untuk kepentingan analisis, disusun secara logis sistematis untuk
selanjutnya ditarik kesimpulan dengan metode pendekatan deduktif atas
permasalahan yang diteliti, sehingga diharapkan akan memberikan solusi atas
permasalahan dalam penelitian ini sehingga diperoleh suatu kesimpulan.
Kemudian dalam analisa ini ditarik kesimpulan dengan menggunakan
logika deduktif. Logika deduktif digunakan untuk menarik kesimpulan dari
hal yang bersifat umum ke hal yang bersifat khusus.

48

Zainuddin Ali, Op.Cit, hal. 107

Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Atas Turunnya Kekuatan Pembuktian Akta Notaris Menurut Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris

6 96 116

Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

3 78 167

PERANAN MAJELIS PENGAWAS TERHADAP PROFESI NOTARIS DALAM KAITANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2OO4 TENTANG JABATAN NOTARIS.

0 1 9

Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Wilayah Dalam Penerapan Sanksi Atas Pelanggaran Administrasi Yang Dilakukan Notaris Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris

0 0 14

Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Wilayah Dalam Penerapan Sanksi Atas Pelanggaran Administrasi Yang Dilakukan Notaris Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris

0 0 2

Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Wilayah Dalam Penerapan Sanksi Atas Pelanggaran Administrasi Yang Dilakukan Notaris Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris

0 0 28

Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Wilayah Dalam Penerapan Sanksi Atas Pelanggaran Administrasi Yang Dilakukan Notaris Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris

0 0 6

Analisis Yuridis Tentang Mal Administrasi Kantor Notaris Ditinjau Berdasarkan Pasal 16 Undang undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris

0 0 14

Analisis Yuridis Tentang Mal Administrasi Kantor Notaris Ditinjau Berdasarkan Pasal 16 Undang undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris

0 1 31

Analisis Yuridis Atas Turunnya Kekuatan Pembuktian Akta Notaris Menurut Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris

0 0 14