Studi Sintesis dan Karakteristik Film Tipis ZnO dengan Metode Sol-Gel Spin Coating
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Nanopartikel Seng Oksida (ZnO)
Seng oksida merupakan senyawa anorganik dengan rumus ZnO, berbentuk
bubuk putih jika dingin, kuning jika panas, pahit dan tidak bau. ZnO sulit atau
hampir tidak larut dalam air atau alkohol, tetapi larut dalam garam-garam
ammonium, asam atau basa dan tidak beracun (Adi dkk, 2007). Pada struktur
kristal, ZnO mempunyai sifat piezoelectric dan thermocromic. ZnO merupakan
salah satu bahan kandidat yang telah menarik perhatian karena memiliki lebar
celah pita energi sebesar 3.37 eV dan energi ikat eksitasi 60 meV pada suhu
kamar ( Shakti dan Gupta, 2010 dan Khan dkk, 2011). Oleh karena itu, ZnO
merupakan bahan yang penting untuk laser UV dan devais optoelektronik, dan
juga ZnO memiliki sifat listrik dan optik sehingga banyak digunakan sebagai
fotokonduktor, sensor terintegrasi (Suwanboon dkk, 2008).
ZnO merupakan salah satu persenyawaan dari logam Zn yang tergolong
senyawa oksida. Secara umum, ZnO dapat dibuat dengan cara mereaksikan logam
Zn dan oksigen pada suhu tinggi. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :
2Zn + O2 ―› 2ZnO
(2.1)
ZnO terjadi sebagai bubuk putih umumnya dikenal sebagai seng putih atau
sebagai zincite mineral. Mineral biasanya berisi sejumlah unsur mangan dan
lainnya dan kuning ke warna merah. Oksida seng kristal termo-kromat, berubah
dari putih ke kuning ketika dipanaskan dan di udara beralih ke putih pada
pendinginan. Perubahan warna seperti ini terjadi karena perbedaan temperatur,
dikenal sebagai sifat termokromik. Perubahan warna seng oksida tersebut karena
pemanasan, beberapa atom oksigen hilang dari kisi kristalnya sehingga dalam
keadaan kelebihan muatan negatif ini menghasilkan warna yang berbeda.
Kelebihan muatan negatif yang dapat di pindahkan melalui kisi kristal dengan
perbedaan potensial. Jadi, seng oksida ini bersifat sebagai semikonduktor. Pada
pendinginan, atom-atom oksigen yang keluar dari kisi dan pada pemanasan
kembali lagi ke posisi semula sehingga diperoleh warna semula. Sebagian besar
9
ZnO mempunyai karakterisasi n-type semikonduktor, bahkan tanpa adanya
pengotor atau dopant. Hal ini dikarenakan adanya cacat kristal alami ZnO seperti
oxygen excess dan atom intersitisi dari zinc. Sifat inilah yang menjadi dasar
aplikasi ZnO dalam teknologi film tipis antara lain adalah penggunaan ZnO
sebagai transparent conducting oxide (TCO) dan thin film solar cell. Dalam
bentuk lapisan tipisnya, material oksida ini transparan terhadap cahaya
dikarenakan band gap-nya yang moderate. Sifat konduktifnya (lebih tepatnya
semikonduktif) yang diaplikasikan untuk TCO pada layar LCD, LED,
electrochromic windows (jendela yang bisa mengatur dirinya menjadi transparangelap) hingga lapisan pertama pada sel surya film tipis. Struktur kristal dan ukuran
bulir partikel pada film tipis ZnO sangat mempengaruhi sifat optik dan
elektriknya. Pada dasarnya orientasi dari nanokristal yang membentuk film tipis
sangat bergantung pada jenis substrat yang digunakan, hal ini berkaitan dengan
energi permukaan yang terbentuk antara substrat dan lapisan yang ditumbuhkan.
Penggunaan substrat yang memiliki lattice mismacth yang kecil, akan
mempermudah pembentukan kristal menjadi lebih teratur (preferred orientation)
dan seragam.
2.2. Struktur Kristal dan Parameter kisi ZnO
Dalam kristal zat padat, atom-atom dan molekulnya tersusun secara teratur
dalam pola tiga dimensi. Tiap atom atau molekul tempatnya tertentu dalam suatu
titik dalam ruang pada jarak tertentu pula. Demikian pula arah sudutnya dengan
semua atom atau molekul di sekelilingnya. Kesemetrian jarak internal dari arah
atom atau molekuler ini merupakan ciri dasar dari suatu kristal. Susunan sudut
dalam ruang dari atom-atom dalam kristal disebut kisi ruang atau susunan kisi.
Jadi kisi ruang adalah susunan yang tak terbatas dari titik-titik dalam tiga dimensi
dimana setiap titik dikelilingi oleh titik-titik lainnya yang identik. Struktur dan
simetri suatu zat padat mempunyai peran penting dalam menentukan sifatsifatnya, seperti struktur pita energi dan sifat optiknya. Seng Oksida (ZnO)
merupakan kristal senyawa ionik terdiri atas kation-kation dan anion-anion yang
tersusun secara teratur dan berulang (periodik). Pola susunan yang teratur dan
10
berulang dari ion-ion yang terdapat dalam suatu kristal menghasilkan kisi kristal
dengan bentuk struktur tertentu. Seng Oksida mempunyai struktur intan dengan
jaringan ikatan kovalen. Berdasarkan struktur tersebut, ikatan kimia antara atom
Zn dan atom O cenderung mengarah kepada ikatan ion karena kuatnya sistem
polarisasi antara kedua atom tersebut. Ikatan Zn-O menyebabkan atom Zn
menjadi sangat positif dan atom O menjadi sangat negatif. Tetapi pada akhirnya,
kedua atom tersebut membentuk molekul yang netral. Kristal ZnO memiliki 3
bentuk umum, yaitu wurtzite hexagonal, zincblende kubus, dan rocksalt kubus.
Struktur kristal ZnO adalah wurtzite seperti yang ditunjukan pada Gambar
2.1 merupakan struktur yang paling stabil dan paling banyak dijumpai (Arsyad,
2001). Bentuk zincblende dari ZnO terbentuk pada waktu pertumbuhan kristal dan
mencapai kestabilan ketika membentuk struktur kubus. Bentuk roksalt hanya
dijumpai pada tekanan 10 GPa.
Gambar 2.1.Struktur wurtzite ZnO. Atom O ditampilkan sebagai
bulatan hijau, atom Zn sebagai bulatan hitam
11
Kisi hexagonal kemudian dikarakterisasi untuk melihat hubungan subkisi
(sublattice) Zn2+ dan O2-, dimana ion Zn dikelilingi oleh ion tetrahedral dan
sebaliknya. Struktur kristal wurtzite yang yang simetrinya hexagonal, dikarenakan
ada 12 ion oksigen (O2-) yang berada ditiap sudut atas dan bawah yang
membentuk suatu prisma hexagonal. Setiap ion Zn2+ maupun O2- merupakan
pusat tethahedral dari keempat ion tetangganya. ZnO yang memiliki struktur
kristal wurtzite hexagonal dengan parameter kisi a dan c yang dapat dihitung
dengan persamaan (Shakti dan Gupta, 2010):
1
3 sin
a
c
(2.2)
sin
Ukuran kristal ZnO
(2.3)
dapat dihitung dengan menggunakan persamaan
Scherrer (Cuility dan Stock, 2001) yaitu :
D
0.9
cos
dengan D adalah ukuran kristal,
(2.4)
adalah Panjang gelombang,
adalah FWHM
(full width half maximum), θ adalah sudut difraksi dan a, c adalah parameter kisi.)
2.3. Celah pita energi
Salah satu topik yang hangat dalam riset nanomaterial karena memiliki
potensi aplikasi yang sangat luas adalah band gap engineering. Band gap
engineering adalah rekayasa pita energi material untuk menghasilkan sifat optik,
elektronik, maupun optoelektronik sesuai dengan yang diinginkan. Rekayasa ini
umumnya meliputi pengontrolan lebar celah pita energi (energy band gap)
sehingga energi yang diperlukan untuk mengeksitasi elektron atau hole dalam
material atau energi yang dipancarkan elektron atau hole ketika kembali ke
keadaan dasar dapat diubah-ubah sesuai dengan yang diinginkan. Pengaturan
12
lebar celah pita energi ini juga berdampak pada konduktivitas listrik material
tersebut, karena makin kecil lebar celah pita energi maka konduktivitas umumnya
makin besar. Salah satu aplikasi menarik yang dilahirkan oleh rekayasa pita energi
nanopartikel adalah pengembangan displai baru yang jauh lebih mudah dan murah
daripada displai yang ada saat ini. Setiap displai memiliki tiga jenis material
luminisens yang masing-masing menghasilkan cahaya luminisens biru, hijau, dan
merah (BGR). Warna-warna yang dihasilkan displai merupakan kombinasi ke tiga
warna tersebut dalam perbandingan intensitas yang sesuai. Hingga saat ini,
material penghasil cahaya biru, hijau, dan merah yang digunakan dalam displai
tersebut berbeda. Perbedaan sifat fisika dan kimiawi material tersebut
menimbulkan sejumlah persoalan ketika diintegrasikan saat pembuatan displai
(tidak sepenuhnya kompatibel). Hal ini sering menyulitkan perancangan, atau
menuntut tahapan yang banyak dan rumit sebelum integrasi akhir. Perancangan
displai akan menjadi sederhana jika digunakan satu jenis material saja karena
hanya memiliki satu sifat kimiawi maupun fisika. Gambar 2.2 adalah warna yang
berbeda-beda yang dihasilkan oleh nanopartikel ZnO akibat perbedaan ukuran.
Nanopartikel tersebut didespersi dalam polimer (Abdullah, 2010)
Gambar 2.2. Nanopartikel ZnO memancarkan warna yang berbeda jika ukurannya
berbeda.
13
Dalam bahan semikonduktor murni, energi yang dimiliki elektron hanya
mungkin berada pada salah satu pita energi, yaitu pita valensi atau pita konduksi.
Gambar 2.3 merupakan ilustrasi pita valensi dan konduksi dalam bahan
semikonduktor. Pada suhu yang sangat rendah, elektron hanya menempati tingkat
energi pada pita valensi. Antara pita valensi dan pita konduksi terdapat nilai-nilai
energi yang tidak dapat dimiliki oleh elektron. Daerah tersebut disebut celah pita
energi (energy band gap).
Gambar 2.3. Ilustrasi Pita Valensi, pita konduksi, dan celah pita
energi bahan semikonduktor
Jika mendapat energi yang cukup misalnya dari foton, atau panas, atau
tumbukan oleh partikel lain, elektron yang semula berada di pita velensi dapat
meloncat ke pita konduksi. Energi yang diterima elektron minimal harus sama
dengan celah pita energi. Loncatan tersebut meninggalkan keadaan kosong di pita
konduksi. Keadaan kosong tersebut berperilaku seolah-olah sebagai sebuah
partikel bermuatan positif dan dinamakan hole. Persyaratan bagi elektron agar
dapat mencapai pita konduksi adalah energi yang diterima harus lebih besar dari
celah pita energi, Eg. Misalkan eksitasi dilakukan dengan gelombang cahaya
(frekuensi rendah), maka frekuensi cahaya pengeksitasi harus memenuhi hf > Eg
dengan h adalah konstanta Planck dan f adalah frekuensi cahaya pengeksitasi.
Umumnya, cahaya yang digunakan untuk mengeksitasi elektron dari pita valensi
ke pita konduksi adalah cahaya ultraviolet karena hanya cahaya inilah yang
memiliki energi foton yang lebih besar daripada energi celah pita energi
kebanyakan bahan semikonduktor. Sebagai contoh, untuk bahan semikonduktor
14
dengan lebar celah pita energi 3,4 eV dapat dieksitasi dengan cahaya yang
memiliki panjang gelombang di bawah 364 nm. Panjang gelombang ini berada di
daerah ultraviolet. Keadaan tereksitasi bukan merupakan keadaan stabil, elektron
hanya bertahan beberapa saat di keadaan eksitasi dan setelah itu kembali ke
keadaan awal mengisi kembali keadaan kosong yang semula ditinggalkannya di
pita valensi. Proses ini disebut deeksitasi atau rekombinasi. Disebut rekombinasi
karena elektron bergabung kembali dengan hole, sehingga hole menjadi hilang.
Saat proses deksitasi ini dilepaskan energi yang bisa berupa panas (getaran atomatom dalam bahan) atau bisa berupa pemancaran cahaya. Deeksitasi yang disertai
pelepasan panas disebut radiationless transition, sedangkan deeksitasi yang
disertai pemancaran gelombang elektromagnetik disebut radiative transition. Pada
transisi radiatif, energi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan kira-kira
sama dengan lebar celah pita energi, yaitu hf’ ≈ Eg, sehingga frekuensi gelombang
elektromagnetik yang dipancarkan adalah f’ ≈ Eg/h. Karena frekuensi
merepresentasikan warna, maka tampak disini bahwa warna yang dihasilkan
material ketika terjadi proses deeksitasi sangat bergantung pada lebar celah pita
energi. Ini merupakan salah satu dasar rekayasa pita energi. Jika dapat melakukan
pengontrolan lebar celah pita energi material maka akan dihasilkan material yang
menghasilkan warna yang berbeda-beda. Lebar celah pita energi nanopartikel
semikonduktor terhadap ukuran partikel diturunkan secara sistematik oleh Brus
dengan menggunakan pendekatan massa efektif, yang persamaannya sebagai
berikut:
E g ( R ) E g ( )
2h2 1
1 1.8e 2
2 R 2 me* mh* R
(2.5)
dengan Eg adalah lebar celah pita energi, h adalah konstanta Planck, me* adalah
massa efektif elektron, mh* adalah massa efektif hole, dan e adalah muatan
elektron. Besaran
yang memenuhi :
1
1
1
*
*
me mh
disebut massa tereduksi elektron dan hole.
(2.6)
15
2.4. Film Tipis
Deposisi film tipis telah menjadi subjek studi intensif selama hampir satu
abad, dengan berbagai metode yang telah dikembangkan dan ditingkatkan. Teknik
deposisi film tipis semakin banyak dikembangkan dan digunakan dalam industri,
dan semakin banyak pula bidang yang dijangkau, umpama di bidang optik untuk
kacamata, lensa , filter dan lain-lain, yang selanjutnya memberikan kekuatan besar
untuk mendorong pengembangan lebih lanjut dan perbaikan teknik deposisi.
Metode pertumbuhan film tipis secara umum dapat dibagi menjadi dua kelompok
yaitu: tanpa menggunakan vakum yaitu: spin coating, dip coating, spray coating,
electronic deposition, dan dengan menggunakan vakum yaitu: teknik PVD
(Physical Vapor Deposition) yang meliputi: termal Evaporation, teknik
sputtering, teknik reactive sputtering, teknik electron beam evaporation (EB),
teknik ion assited deposition dan teknik CVD (Chemical Vapour Deposition).
Deposisi film tipis melibatkan proses dominan yang heterogen termasuk
reaksi kimia yang heterogen, penguapan, adsorbs dan desorbsi pada pertumbuhan
permukaan. Pertumbuhan film tipis, untuk semua fase transformasi, melibatkan
proses nukleasi dan pertumbuhan pada substrat atau pertumbuhan permukaan.
Proses nukleasi memainkan peran yang sangat penting dalam menentukan
kristalinitas dan mikrostruktur film tipis yang dihasilkan. Untuk deposisi film tipis
dengan ketebalan dalam ukuran nanometer, proses nukleasi awal bahkan lebih
penting. Nukleasi dalam pembentukan film tipis adalah nukleasi heterogen, energi
penghalang dan ukuran nukleus kritis. Ukuran dan bentuk awal inti yang dianggap
hanya bergantung pada perubahan volume energi bebas Gibbs, karena untuk
supersaturation, dan efek gabungan energi permukaan dan antarmuka diatur oleh
persamaan Young. Interaksi antara film tipis dan substrat memainkan peran yang
sangat penting dalam menentukan nukleasi awal dan pertumbuhan film.
16
Berdasarkan hasil eksperimental dinyatakan bahwa ada tiga model dasar
nukleasi yaitu (Ohring, 1992):
1. Pertumbuhan gugusan atau Volmer-Weber,
2. Pertumbuhan lapisan atau Frank-van der Merwe
3. Gugusan-lapisan atau Stranski-Krastonov.
Gambar 2.4 mengilustrasikan tiga model dasar nukleasi awal dalam
pertumbuhan film. Pertumbuhan gugusan terjadi ketika spesies pertumbuhan lebih
kuat terikat satu sama lain daripada substrat. Banyak sistem logam pada substrat
isolator, halida alkali, grafit dan mika menampilkan jenis nukleasi selama awal
deposisi film. Hasil pertumbuhan berikutnya terjadinya pengabungan gugusangugusan dan membentuk lapisan film. Pertumbuhan lapisan adalah kebalikan dari
pertumbuhan gugusan, di mana pertumbuhan spesies sama-sama terikat lebih kuat
ke substrat daripada satu sama lain. Monolayer lengkap pertama dibentuk,
sebelum deposisi lapisan kedua terjadi.
Gambar 2.4. Mengilustrasikan tiga model dasar nukleasi awal dalam
pertumbuhan film.
17
Pertumbuhan gugusan, pertumbuhan lapisan dan pertumbuhan gugusanlapisan umumnya melibatkan stress selama terjadi pembentukan inti atau film.
Perhitungan ukuran nukleus kritis r*, dan energi penghalang ∆G*, menggunakan
persamaan yaitu:
2 vf
r *
Gv
sin 2 . cos 2 cos 2
3
2 3 cos cos
(2.7)
16 vf 2 3 cos cos3
G
2
4
3Gv
(2.8)
*
Untuk pertumbuhan gugusan, dimana sudut kontak harus lebih besar dari
nol, atau
θ > 0. Menurut persamaan Young, maka persamaannya dapat ditulis
sebagai berikut :
sv fs vf
(2.9)
Jika deposito tidak membasahi substrat sama sekali atau θ = 180 ", maka
nukleasi adalah nukleasi homogen. Untuk pertumbuhan lapisan, dimana deposito
membasahi substrat sepenuhnya dan sudut kontak sama dengan nol, persamaan
yang sesuai yang menjadi:
sv fs vf
(2.10)
Pada pertumbuhan lapisan yang paling penting adalah deposisi film kristal
tunggal baik melalui homoepitaxy, di mana film harus memiliki struktur kristal
dan komposisi kimia yang sama dengan substrat, atau heteroepitaxy, di mana
deposito film kristal memiliki struktur kristal yang tidak sesuai dengan substrat.
Homoepitaxy merupakan ekstensi sederhana dari substrat, dan hampir tidak ada
antarmuka antara substrat dan deposito film kristal dan tidak ada proses nukleasi.
Meskipun deposito memiliki komposisi kimia yang berbeda dari substrat, spesies
18
pertumbuhan lebih mudah untuk mengikat substrat daripada satu sama lain.
Karena perbedaan dalam komposisi kimia, konstanta kisi deposito kemungkinan
besar akan berbeda dari substrat. Perbedaan semacam itu umumnya mengarah ke
pengembangan stres dalam deposito. Stres adalah salah satu alasan umum untuk
pertumbuhan gugusan-lapisan. Pembahasan tentang pertumbuhan lapisan gugusan
lebih rumit dan melibatkan stres. Pada awalnya pengendapan akan mengikuti
model lapisan pertumbuhan, dan ketika deposito tegangan elastisitas terjadi hal ini
disebabkan karena ketidaksesuaian antara kisi deposito dan substrat, maka
tegangan energi harus dinaikkan. Jika untuk setiap lapisan deposito yang
ditambahkan, akan menyebabkan stres meningkat dan terjadi energi tegangan.
Energi tegangan tersebut sebanding dengan volume deposito, dengan asumsi ada
relaksasi tidak plastik. Oleh karena itu, untuk menghitung besarnya energi
penghalang ∆G* maka harus memasukkan energi tegangan dan persamaan (2.8)
menjadi :
16 vf
2 3 cos cos3
G *
2
4
3Gv
(2.11)
di mana ω adalah energi regangan per satuan volume yang dihasilkan oleh stres
dalam deposito. Karena tanda ∆Gv adalah negatif, dan tanda ω adalah positif,
maka hambatan energi secara keseluruhan untuk meningkatkan nukleasi. Ketika
stres melebihi titik kritis dan tidak bisa dilepaskan, energi regangan per satuan
luas deposito menjadi besar yang berhubungan dengan
vf,
dan memungkinkan
awal inti untuk terbentuk di atas deposit berlapis. Dalam hal ini, energi permukaan
substrat lebih besar dari kombinasi energi permukaan deposito dan energi
antarmuka antara substrat dan deposito yaitu:
sv fs vf
(2.12)
Jika terjadi perubahan yang meningkat pada energi bebas Gibbs secara
keseluruhan, maka penghalang energi untuk nukleasi awal berkurang dan ukuran
kritis inti menjadi kecil. Model nukleasi dan mekanisme yang berlaku untuk
19
pembentukan kristal tunggal, polikristalin dan deposito amorf, dan deposito
anorganik, organik dan hibrida yang tergantung pada kondisi pertumbuhan dan
substrat. Deposisi suhu dan tingkat pertumbuhan spesies merupakan dua faktor
yang paling penting dalam hal ini.
1. Pertumbuhan film kristal tunggal merupakan yang paling sulit dan
membutuhkan: (i) substrat kristal tunggal dengan pertandingan jarak kisi , (ii)
permukaan substrat yang bersih sehingga untuk menghindari terjadinya
nukleasi sekunder, (iii) suhu pertumbuhan yang tinggi sehingga untuk
menjamin mobilitas yang cukup dari spesies pertumbuhan dan (iv) tingkat
spesies pertumbuhan rendah sehingga untuk memastikan waktu yang cukup
untuk difusi permukaan dan penggabungan spesies pertumbuhan ke dalam
struktur kristal dan untuk relaksasi struktural sebelum munculnya spesies
pertumbuhan berikutnya.
2. Pengendapan amorf film biasanya terjadi : (i) ketika pertumbuhan dilakukan
pada suhu rendah, sehingga tidak cukup mobilitas permukaan
untuk
pertumbuhan spesies dan (ii) ketika masuknya pertumbuhan spesies ke
permukaan pertumbuhan sangat tinggi, pertumbuhan spesies tidak memiliki
cukup waktu untuk menghasikan pertumbuhan dengan energi terendah.
3. Kondisi untuk pertumbuhan film polikristalin kristal terjadi antara kondisi
pertumbuhan kristal tunggal dan deposisi film amorf. Secara umum, suhu
deposisi yang cukup memastikan mobilitas permukaan untuk pertumbuhan
spesies dan fluks pertumbuhan spesies cukup tinggi.
Kondisi pertumbuhan untuk polikristalin kristal tunggal, dan film amorf
silikon dengan metode uap kimia juga dapat berlaku untuk film elemen tunggal.
Namun, proses pertumbuhan ini merupakan kasus yang kompleks dalam sistem
yang disebabkan adanya materi kotoran dan aditif. Epitaksial adalah proses yang
sangat khusus, dan mengacu pada pembentukan atau pertumbuhan kristal tunggal
di atas substrat. Tingginya pertumbuhan epitaksial menyebabkan terjadinya
homoepitaxy dan heteroepitaxy. Homoepitaxial merupakan untuk tumbuh film
20
pada substrat, di mana keduanya bahan yang sama. Pertumbuhan homoepitaxial
biasanya digunakan untuk menumbuhkan kualitas film yang lebih baik atau
memperkenalkan dopan menjadi film yang lebih baik. Heteroepitaxy mengacu
pada kasus bahwa film dan substrat adalah bahan yang berbeda. Perbedaan antara
film homoepitaxial dan film heteroepitaxial adalah perbandingan kisi antara film
dan substrat. Tidak ada mismatch kisi antara film dan substrat pada pertumbuhan
homoepitaxial. Sebaliknya, akan ada mismatch kisi antara film dan substrat pada
pertumbuhan heteroepitaxial. Mismatch kisi disebut juga ketidakcocokan, yang
dirumuskan sebagai berikut :
f
as a f
af
(2.13)
dengan as adalah konstanta kisi unstrained substrat dan af adalah konstanta kisi
unstrained film.
Jika f = 0, film dalam keadaan tegang, sedangkan jika f < 0, film dalam
kompresi. Persamaan untuk menentukan besarnya energi tegangan Es yang
berhubungan dengan tegangan film adalah :
1 v 2
Es 2 f
hA
1 v
(2.14)
dengan µf adalah modulus geser film, v adalah Nisbah Poisson (< 1/2 untuk
kebanyakan material), ε adalah tegangan lateral, h adalah ketebalan dan A adalah
luas permukaan. Energi tegangan Es meningkat dengan meningkatnya ketebalan.
Besarnya energi tegangan Es disebabkan oleh tegangan film dan juga karena
ketidakcocokan relatif substrat kecil, atau karena film menjadi kendur disebabkan
pembentukan dislokasi dan terjadi ketidakcocokan yang besar. Homoepitaxial dan
heteroepitaxial pertumbuhan film telah telah diaplikasi, terutama dalam industri
elektronik
21
2.5. Sifat Optik Film Tipis ZnO
Sifat optik yaitu transmitansi dan absorbansi dari lapisan film tipis ZnO
diamati dengan menggunakan spektrometer UV-Vis yang bertujuan untuk
menentukan sumber cahaya yang di gunakan saat film tipis ZnO dijadikan sensor.
Spektrum absorbansi dan spektrum transmitansi film tipis ZnO hasil dari
spektrometer UV-Vis diperlihatkan pada Gambar 2.5 dan 2.6. dari film tipis.
Gambar 2.5. Spektrum Serapan UV yang diperoleh dari sampel
Gambar 2.6. Spektrum fotoluminesen PL yang diperoleh dari sampel
Bahan transparan dengan tingkat keionikan yang tinggi, polarisasi yang
terjadi akan semakin besar karena adanya ion-ion yang terdapat dalam bahan
transparan yang turut andil dalam mempengaruhi besarnya polarisasi, sedangkan
untuk bahan dengan tingkat keelektrolitan rendah dan nonelektrolit, polarisasi
yang terjadi hanya dipengaruhi oleh sifat-sifat optis dari bahan. Sifat optik film
tipis ZnO sangat dipengaruhi oleh struktur pita energi dan terletak diantara 1,9 eV
sampai 2,8 eV dan dikenal sebagai green band. Untuk material dengan celah pita
22
langsung, hubungan koefisien absorbsi terhadap frekuensi foton yang memenuhi
persamaan (Sridevi dan Rajendran, 2009):
hv2 CD hv Eopt
(2.15)
Koefisien absorbsi diperoleh berdasarkan persamaan (Ilican dkk, 2008):
α = (1/t ) ln (1/T)
(2.16)
dengan α adalah koefisien absorbsi optik , t adalah ketebalan, T adalah transmisi,
h adalah konstanta Planck,
adalah frekuensi foton insiden, CD adalah konstanta,
dan Eopt adalah celah energi dari sampel. Indeks bias film tipis (n) dapat dihitung
dengan menggunakan persamaan (Hussein dkk, 2011):
(1 R1/ 2 )
n
(1 R1/ 2 )
(2.17)
dengan : n = indeks bias film tipis dan R = reaktansi
Ketebalan lapisan tipis dengan metode optik ditentukan berdasarkan
hubungan indeks bias film tipis yang dihitung dengan persamaan (Bilalodin,
2012):
d
1. 2
2 n ( 2 1 )
dengan d adalah ketebalan film tipis dan
(2.18)
1,
2
masing-masing adalah panjang
gelombang yang menghasilkan reaktansi maksimum dan minimum.
2.6. Metode Sol-gel
Metode sol-gel dikenal sebagai salah satu metode sintesis nanopartikel
yang cukup sederhana dan mudah serta tidak memerlukan biaya tinggi, sehingga
banyak digunakan beberapa tahun belakangan ini, seperti membuat keramik,
material gelas. Metode sol-gel merupakan metode dengan menggunakan proses
kimia dimulai dari bentuk ion yang lebih besar (bulk) ditambah pereaksi kimia
sehingga ion yang dihasilkan berukuran nanopartikel, dan ini akan mengalami
perubahan fase yaitu dari fase solid yang berupa serbuk akan berubah menjadi
fase sol lalu berubah menjadi gel. Pada proses sol-gel, prekursor molekular
dirubah menjadi partikel berukuran nano untuk membentuk suspensi koloid atau
23
sol. Nanopartikel koloid ini kemudian berikatan satu dengan yang lain melalui
proses polimerisasi untuk membentuk gel. Kemudian gel tersebut dikeringkan dan
dikalsinasi untuk menghasilkan bubuk. Kalsinasi dilakukan untuk menghilangkan
atau mengurangi kadar air, pengotor dan sisa senyawa prekusor yang tidak dapat
hilang pada suhu rendah. Kalsinasi dilakukan dengan menggunakan alat yang
dapat menghasilkan suhu yang seragam sehingga proses pencampuran bahan
memungkinkan untuk pembentukan produk yang lebih seragam. Kalsinasi akan
menyebabkan terbentuknya agregat partikel, dimana penggerusan dari agregat
yang besar tersebut diperoleh serbuk yang baik. Sintesis metode sol-gel untuk
menghasilkan powder, film, aerogel, atau serat, struktur dan sifat fisik gel sangat
bergantung pada beberapa hal, diantaranya:
1. Pemilihan bahan baku material
2. Laju hidrolisis dan kondensasi
3. Modifikasi kimiawi dari sistem sol-gel
Metode sol-gel cocok untuk preparasi film tipis dan material berbentuk bubuk.
Tujuan preparasi ini agar suatu material keramik dapat memiliki fungsional
khusus (elektric, optic, magnetic, dll). Metode sol-gel memiliki keuntungan yaitu:
1. Biaya murah
2. Untuk partikel halus, rentang ukuran 0,1 sampai beberapa micron
3. Mudah dalam kontrol komposisi (kehomogenan komposisi kimia baik)
4. Temperatur proses rendah
Diagram proses tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.7.
katalis
Larutan
awal
Larutan dan
katalis
Dipanaskan pada tempeatur tertentu
Selama beberapa jam kadang-kadang
juga di rebus
Di rebus
Pemisahan padatan
dengan larutan
Karakterisasi produk
Gambar 2.7. Diagram proses metode sol-gel (aguspur.wordpress.com)
24
2.7. Pelapisan
Pelapisan (coating) pada dasarnya adalah proses untuk melapisi suatu
bahan dasar atau substrat dengan maksud dan tujuan tertentu. Hal yang
menentukan sifat-sifat suatu coating adalah komposisi dari coating itu sendiri.
Umumnya pelapisan mengandung empat bahan dasar, yaitu binder, pigmen,
solven dan aditif. Sangatlah penting untuk memahami fungsi dari bahan-bahan
dasar ini dan mengetahui bagaimana mereka saling berinteraksi.
1. Binder
Binder berfungsi sebagai pengikat antara komponen coating dan juga
bertanggung jawab terhadap gaya adhesi pelapisan terhadap substrat. Terdapat
banyak binder yang telah dikenal, diantaranya alkyd, vinyl, resin alam, epoxy dan
urethane. Hal yang perlu diketahui tentang binder adalah bagaimana mereka
mengalami curing. Pada umumnya binder dapat mengalami curing dengan dua
cara. Pertama adalah melalui evaporasi solven. Binder yang mengalami curing
seperti ini disebut binder thermoplastic atau non-covertible. Kedua adalah lewat
reaksi kimia selama atau setelah proses pengecatan. Binder ini dikenal sebagai
binder thermosetting. Selain itu, hal yang harus dipahami dari binder merupakan
viskositas.
2. Pigmen
Pigmen merupakan pemberi warna dari coating. Selain berfungsi dalam
hal estetika, pigmen juga mempengaruhi ketahanan korosi dan sifat fisika dari
coating itu sendiri. Pigmen dapat dikelompokkan menjadi pigmen organik dan
anorganik. Pigmen anorganik contohnya adalah titanium oksida dan besi oksida.
TiO2 merupakan pigmen putih yang paling banyak digunakan, biasanya untuk
coating eksterior. TiO2 mempunyai indeks refleksi yang tinggi dan stabil terhadap
sinar ultraviolet dari sinar matahari yang dapat mendegradasi binder coating. Besi
oksida merupakan pigmen merah yang digunakan untuk coating primer atau
topcoat. Terdapat juga extender pigmen yang memberikan sedikit pengaruh
terhadap warna dan ketahanan korosi namun banyak mempengaruhi sifat-sifat
coating seperti densitas, aliran, hardness dan permeabilitas. Contohnya adalah
kalsium karbonat, kaolin, talc dan brium sulfat,
25
3. Solven
Kebanyakan coating memerlukan solven untuk melarutkan binder dan
memodifikasi viscositas. Hal terpenting yang harus diperhatikan dalam penentuan
solven adalah kemampuannya dalam melarutkan binder dan komponen coating
yang lain. Prinsip kelarutan sangatlah sederhana, yaitu like dissolves like. Artinya
solven polar akan melarutkan senyawa yang polar juga. Selain itu laju penguapan
solven juga perlu diperhatikan. Solven yang mempunyai tekanan uap tinggi
sehingga menguap dengan cepat disebut fast atau hot solvent, sedangkan yang
lambat disebut slow solven. Laju penguapan mempengaruhi sifat-sifat coating dan
beberapa cacat dapat disebabkan karena ketidak cocokan dalam pemilihan solven.
Jika solven menguap terlalu cepat, coating tidak cukup waktu untuk membentuk
lapisan halus dan kontinu.
4. Aditif
Aditif merupakan senyawa-senyawa kimia yang biasanya ditambahkan
dalam jumlah sedikit, namun sangat mempengaruhi sifat-sifat coating. Contoh
bahan additive antara lain driers untuk mempercepat pengeringan di udara, anti
oxidant untuk mencegah proses oksidasi coating selama disimpan ditempatnya,
dispersant untuk mendispersikan pigmen dalam coating agar homogen, thickeners
untuk menambah viscositas coating, filter untuk meningkatkan volume coating,
dan lain-lain.
Dari campuran bahan-bahan tersebut coating memiliki beberapa sifat
tertentu, antara lain :
1. Adhesion, yaitu daya ikat antara permukaan coating dengan substrat.
2. Flexibelity, yaitu kelenturan caoting atau kemampuan lapisan coating
untuk tidak merobek ketika diberi rengangan.
3. Hardness, yaitu kekerasan pada permukaan coating.
4. Abration resistance, yaitu ketahanan terhadap abrasi.
5. Permeability, yaitu sifat untuk melewatkan molekul atau ion pada lapisan
coating.
26
6. Resistance to microorganism, yaitu ketahanan terhadap pertumbuhan
mikroorganisme seperti jamur dan bakteri pada permukaan coating.
7. Ageing of faint film, yaitu umur coating pada lingkungan tertentu.
2.7.1. Sifat Adhesive Coating
Ketahanan coating sangat dipengaruhi oleh kemampuan coating untuk
menempel (sifat adhesive) pada material substrat. Jika daya adhesive tidak kuat
maka selain coating tidak menempel dengan baik, hal ini dapat juga memberi
kesempatan kepada udara lembab masuk ke celah antara coating dan substrat
yang menyebabkan korosi. Ada beberapa jenis daya ikatan (adhesive) antara
coating dengan material substrat, antara lain :
1. Daya ikat kimia (chemical bonding adhesion), yaitu daya ikat yang terjadi
antara coating dan material substrat berupa ikatan atom. Contohnya yaitu
pada coating size (seng) untuk melapisi baja, atau yang biasanya disebut
galvanized steel. Zinc berikatan dengan baja dan membentuk paduan
intermetalik FeZn. Jenis ikatan ini adalah ikatan yang paling kuat.
2. Daya ikat polar (polar adhesion), yaitu daya ikat yang terjadi karena gaya
tarik menarik material polar. Contohnya yaitu coating organik, yang
banyak mengandung senyawa polar. Jenis ikatan ini tidak akan bekerja
dengan baik apabila terdapat zat pengotor di permukaan substrat seperti
kotoran, minyak, air, dan lain-lain.
3. Daya ikat mekanik (mechanical adhesion), yaitu daya ikat yang terjadi
karena ikatan secara mekanik (mechanical interlocking). Contohnya yaitu
dengan penggunaan coating pada permukaan substrat yang kasar, seperti
penggunaan sand blast sebelum proses coating. Selain itu bisa juga
penggunaan coating yang akan mengkerut ketika curing sehingga akan
membungkus material substrat dengan baik, seperti epoxy, polyester, dan
lain-lain.
27
2.7.2. Pelapisan Putaran (Spin Coating)
Spin-coating berasal dari dua kata yaitu ‘spin’ dan ‘coating’. Bila
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, ‘spin’ berarti putaran, dan ‘coating’
berarti pelapisan. Maka secara singkat spin coating diartikan sebagai suatu metode
pelapisan dengan menggunakan putaran. Spin coating merupakan prosedur yang
digunakan untuk menerapkan film tipis seragam untuk substrat datar. Sejumlah
bahan pelapis ditempatkan pada substrat, kemudian diputar dengan kecepatan
tinggi untuk menyebarkan cairan dengan gaya sentrifugal. Sejumlah mesin yang
digunakan untuk coating spin disebut coater spin atau spinner seperti Gambar 2.8.
Metode spin coating adalah suatu proses yang mudah dan umum
dilakukan untuk pelapisan polimer atau photoresist pada wafer silicon. Setelah
penetesan pelapisan pada wafer, tingkat pelapisan
dikendalikan oleh gaya
sentrifugal dari putaran yang tegak lurus dengan wafer. Pada kecepatan putaran
yang rendah, bahan pelapis menyebar pada wafer, pada kecepatan putaran yang
tinggi (2000 - 6000 rpm) akan membentuk film tipis. Metode spin coating adalah
suatu cara yang sederhana dan efektif untuk membuat film tipis dengan variasi
ketebalan yang dikendalikan
parameter waktu dan kecepatan putaran juga
kekentalan dan kerapatan dari bahan pelapis yang digunakan. Semakin tinggi
kecepatan sudut putar, lapisan yang diperoleh akan semakin tipis. Ketebalan film
ini juga tergantung pada konsentrasi larutan. Spin coating secara luas digunakan
dalam microfabrication, dimana dapat digunakan untuk membuat film tipis
dengan ketebalan lapisan dibawah 10 nm. Hal ini digunakan secara intensif dalam
photolithography, untuk lapisan photorisest dengan tebal sekitar 1 mikrometer.
Gambar 2.8.Spincoater
28
2.7.2.1. Preparasi Pre Coating
Proses pre coating terdiri dari dua jenis, yaitu mechanical cleaning dan
chemical cleaning.
1. Mechanical cleaning, yaitu dengan menggunakan material abrasif untuk
menghilangkan kotoran pada permukaan. Proses mechanical yang
digunakan umumnya yaitu grinding, sand blasting, dan lain-lain.
Kontaminan yang dapat dibersihkan antara lain scale, produk korosi,
maupun sisa coating sebelumnya dengan mengikis permukaan material
substrat tersebut.
2. Chemical cleaning, yaitu proses pembersihan dengan menggunakan bahan
kimia. Cara pengaplikasiannya dapat diusapkan, disemprot, diuapkan, dan
dicelupkan. Ada beberapa jenis chemical cleaning, antara lain :
a. Emulsion cleaning, yaitu dengan menggunakan larutan berbahan dasar
organik (surfactant) yang dapat membersihkan kotoran dari minyak
seperti detergent atau emulsifier.
b. Alkaline cleaning, yaitu dengan menggunakan larutan garam alkali
untuk membersihkan kotoran dan minyak. Larutan yang umum
digunakan antara lain sodium hydroxide (NaOH) dan sodium
carbonate (Na2 CO3). Biasanya garam tersebut dilarutkan dengan air
hangat sebanyak 80-40%. Setelah proses alkaline cleaning, semua zat
alkaline harus dibersihkan dengan air atau uap agar tidak mengganggu
kinerja coating.
c. Pickling atau Acid cleaning, yaitu dengan menggunakan larutan asam
untuk membersihkan scale dan korosi. Larutan asam yang biasa
digunakan yaitu asam sulfat (H2SO4) yang akan melarutkan oksida
pada permukaan.
29
2.7.2.2. Proses Spin coating.
Secara umum proses spin coating terdiri dari tiga tahap, yaitu :
a. Tahap penetesan cairan (dispense)
Pada bagian ini cairan dideposisikan di atas permukaan substrat seperti
pada Gambar 2.9, kemudian diputar dengan kecepatan tinggi. Kemudian lapisan
yang telah dibuat akan dikeringkan sampai pelarut pada lapisan tersebut benarbenar sudah menguap. Proses ini dibagi menjadi dua macam, yaitu: Static
dispense merupakan proses disposisi sederhana yang dilakukan pada larutan di
atas pusat substrat dan dynamic dispense merupakan proses deposisi dengan
kecepatan putar yang kecil kira-kira 500 rpm.
Gambar 2.9.Tahap penetesan sol
b. Tahap percepatan spin coating
Setelah tahap penetesan cairan, larutan dipercepat dengan kecepatan yang
relatif tinggi. Kecepatan yang digunakan pada substrat ini akan mengakibatkan
adanya gaya sentrifugal dan turbulensi cairan. Kecepatan yang digunakan antara
1500 - 6000 rpm dan tergantung pada sifat cairan terhadap substrat yang
digunakan. Waktu yang digunakan kira-kira 10-30 detik bahkan sampai 10 menit.
c. Tahap pengeringan
Tahap ini merupakan tahap yang sangat penting untuk menghasilkan film
tipis. Proses ini akan menghilangkan sisa-sisa pelarut dan bahan tambahan lain
yang ada pada bahan pelapis. Pada tahap ini terbentuk lapisan tipis murni dengan
suatu ketebalan tertentu. Tingkat ketebalan lapisan yang terbentuk bergantung
30
pada tingkat kelembaban dasar substrat. Kelembaban yang kecil menyebabkan
ketebalan lapisan murni yang terbentuk akan menjadi semakin besar.
2.7.3. Substrat
Substrat diperlukan sebagai tempat untuk tumbuhnya film tipis. Substrat
yang digunakan haruslah memiliki parameter kisi dan koefisien termal yang
hampir sama dengan film tipis. Beberapa material yang umumnya digunakan
sebagai substrat antara lain safir (Al2O3), kaca, silicon dan sebagainya. Kaca
merupakan bahan yang tidak padat, molekul-molekulnya disusun secara acak
seperti zat cair, namun kohesinya membuat bentuknya menjadi stabil. Karena
susunannya acak seperti zat cair itulah maka kaca terlihat transparan. Pada
penumbuhan film tipis diperlukan substrat sebagai tempat untuk tumbuhnya film
tipis. Selain itu, kaca juga merupakan material non-organik hasil dari proses
pendinginan tanpa melalui proses kristalisasi.
Berdasarkan segi fisika, kaca merupakan zat cair yang sangat dingin
karena struktur-struktur partikel penyusunnya yang saling berjauhan seperti dalam
zat cair namum wujud padat. Ini terjadi akibat proses pendinginan (cooling) yang
sangat cepat. Dari segi kimia, kaca merupakan gabungan dari berbagai oksida
organik yang tidak mudah menguap, yang dihasilkan dari dekomposisi dan
peleburan senyawa alkali dan alkali tanah, pasir serta berbagai penyusun lainnya.
Fungsi substrat dalam pembuatan film tipis adalah
1. Sebagai penunjang interkoneksi dan perakitan devais
2. Sebagai isolator dan tempat pelapisan serta pembentukan pola jalur
konduktor dan komponen pasif
3. Media panas penyalur rangkaian
4. Sebagai lapisan dielektrik untuk rangkaian-rangkaian frekuensi tinggi.
2.8. Pemanasan (Pre-heating dan Post-heating)
Proses perlakuan panas merupakan kombinasi operasi pemanasan dan
pendinginan dengan kecepatan tertentu yang dilakukan terhadap material dalam
keadaan padat sebagai suatu upaya untuk memperoleh sifat-sifat tertentu. Proses
31
perlakuan panas pada dasarnya terdiri dari beberapa tahapan dimulai dengan
pemanasan sampai temperatur tertentu, lalu diikuti dengan penahanan selama
beberapa saat lalu kemudian dilakukan pendinginan atau penurunan secara
perlahan hingga ke suhu ruang.
Proses pre-heating
yang berfungsi untuk menghilangkan pelarut dan
gugus asam, dan memfasilitasi perubahan ZnOH menjadi ZnO seiring dengan
pemanasan (hidrolisis) dengan menggunakan tanur (furnace) mulai dari suhu
ruang hingga ke suhu yang diinginkan. Suhu dinaikkan secara perlahan-lahan
hingga ke suhu yang diinginkan selama beberapa jam. Sampel didiamkan selama
beberapa menit pada suhu yang diinginkan, kemudian diturunkan secara perlahan
hingga suhu ruang. Peningkatan pemanasan secara teratur bertujuan untuk
memfasilitasi terbentuknya kristal dengan orientasi seragam dan teratur.
Post-heating atau annealing merupakan pemanasan pada suhu yang lebih
tinggi dari pre-heating yang berfungsi untuk pembentukan kristal dari partikel
ZnO. Peningkatan suhu dilakukan secara teratur selama beberapa jam hingga ke
temperatur yang diinginkan. Sampel didiamkan selama beberapa menit pada suhu
yang diinginkan, kemudian diturunkan secara alami hingga kembali ke suhu
ruang. Tahap pemanasan untuk sampel yang mengalami pre-heating (230oC) dan
post-heating (500oC) dapat dilihat pada Gambar 2.10 (Aprilla dkk, 2010)
Gambar 2.10. Proses pre-heating dan post-heating.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Nanopartikel Seng Oksida (ZnO)
Seng oksida merupakan senyawa anorganik dengan rumus ZnO, berbentuk
bubuk putih jika dingin, kuning jika panas, pahit dan tidak bau. ZnO sulit atau
hampir tidak larut dalam air atau alkohol, tetapi larut dalam garam-garam
ammonium, asam atau basa dan tidak beracun (Adi dkk, 2007). Pada struktur
kristal, ZnO mempunyai sifat piezoelectric dan thermocromic. ZnO merupakan
salah satu bahan kandidat yang telah menarik perhatian karena memiliki lebar
celah pita energi sebesar 3.37 eV dan energi ikat eksitasi 60 meV pada suhu
kamar ( Shakti dan Gupta, 2010 dan Khan dkk, 2011). Oleh karena itu, ZnO
merupakan bahan yang penting untuk laser UV dan devais optoelektronik, dan
juga ZnO memiliki sifat listrik dan optik sehingga banyak digunakan sebagai
fotokonduktor, sensor terintegrasi (Suwanboon dkk, 2008).
ZnO merupakan salah satu persenyawaan dari logam Zn yang tergolong
senyawa oksida. Secara umum, ZnO dapat dibuat dengan cara mereaksikan logam
Zn dan oksigen pada suhu tinggi. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :
2Zn + O2 ―› 2ZnO
(2.1)
ZnO terjadi sebagai bubuk putih umumnya dikenal sebagai seng putih atau
sebagai zincite mineral. Mineral biasanya berisi sejumlah unsur mangan dan
lainnya dan kuning ke warna merah. Oksida seng kristal termo-kromat, berubah
dari putih ke kuning ketika dipanaskan dan di udara beralih ke putih pada
pendinginan. Perubahan warna seperti ini terjadi karena perbedaan temperatur,
dikenal sebagai sifat termokromik. Perubahan warna seng oksida tersebut karena
pemanasan, beberapa atom oksigen hilang dari kisi kristalnya sehingga dalam
keadaan kelebihan muatan negatif ini menghasilkan warna yang berbeda.
Kelebihan muatan negatif yang dapat di pindahkan melalui kisi kristal dengan
perbedaan potensial. Jadi, seng oksida ini bersifat sebagai semikonduktor. Pada
pendinginan, atom-atom oksigen yang keluar dari kisi dan pada pemanasan
kembali lagi ke posisi semula sehingga diperoleh warna semula. Sebagian besar
9
ZnO mempunyai karakterisasi n-type semikonduktor, bahkan tanpa adanya
pengotor atau dopant. Hal ini dikarenakan adanya cacat kristal alami ZnO seperti
oxygen excess dan atom intersitisi dari zinc. Sifat inilah yang menjadi dasar
aplikasi ZnO dalam teknologi film tipis antara lain adalah penggunaan ZnO
sebagai transparent conducting oxide (TCO) dan thin film solar cell. Dalam
bentuk lapisan tipisnya, material oksida ini transparan terhadap cahaya
dikarenakan band gap-nya yang moderate. Sifat konduktifnya (lebih tepatnya
semikonduktif) yang diaplikasikan untuk TCO pada layar LCD, LED,
electrochromic windows (jendela yang bisa mengatur dirinya menjadi transparangelap) hingga lapisan pertama pada sel surya film tipis. Struktur kristal dan ukuran
bulir partikel pada film tipis ZnO sangat mempengaruhi sifat optik dan
elektriknya. Pada dasarnya orientasi dari nanokristal yang membentuk film tipis
sangat bergantung pada jenis substrat yang digunakan, hal ini berkaitan dengan
energi permukaan yang terbentuk antara substrat dan lapisan yang ditumbuhkan.
Penggunaan substrat yang memiliki lattice mismacth yang kecil, akan
mempermudah pembentukan kristal menjadi lebih teratur (preferred orientation)
dan seragam.
2.2. Struktur Kristal dan Parameter kisi ZnO
Dalam kristal zat padat, atom-atom dan molekulnya tersusun secara teratur
dalam pola tiga dimensi. Tiap atom atau molekul tempatnya tertentu dalam suatu
titik dalam ruang pada jarak tertentu pula. Demikian pula arah sudutnya dengan
semua atom atau molekul di sekelilingnya. Kesemetrian jarak internal dari arah
atom atau molekuler ini merupakan ciri dasar dari suatu kristal. Susunan sudut
dalam ruang dari atom-atom dalam kristal disebut kisi ruang atau susunan kisi.
Jadi kisi ruang adalah susunan yang tak terbatas dari titik-titik dalam tiga dimensi
dimana setiap titik dikelilingi oleh titik-titik lainnya yang identik. Struktur dan
simetri suatu zat padat mempunyai peran penting dalam menentukan sifatsifatnya, seperti struktur pita energi dan sifat optiknya. Seng Oksida (ZnO)
merupakan kristal senyawa ionik terdiri atas kation-kation dan anion-anion yang
tersusun secara teratur dan berulang (periodik). Pola susunan yang teratur dan
10
berulang dari ion-ion yang terdapat dalam suatu kristal menghasilkan kisi kristal
dengan bentuk struktur tertentu. Seng Oksida mempunyai struktur intan dengan
jaringan ikatan kovalen. Berdasarkan struktur tersebut, ikatan kimia antara atom
Zn dan atom O cenderung mengarah kepada ikatan ion karena kuatnya sistem
polarisasi antara kedua atom tersebut. Ikatan Zn-O menyebabkan atom Zn
menjadi sangat positif dan atom O menjadi sangat negatif. Tetapi pada akhirnya,
kedua atom tersebut membentuk molekul yang netral. Kristal ZnO memiliki 3
bentuk umum, yaitu wurtzite hexagonal, zincblende kubus, dan rocksalt kubus.
Struktur kristal ZnO adalah wurtzite seperti yang ditunjukan pada Gambar
2.1 merupakan struktur yang paling stabil dan paling banyak dijumpai (Arsyad,
2001). Bentuk zincblende dari ZnO terbentuk pada waktu pertumbuhan kristal dan
mencapai kestabilan ketika membentuk struktur kubus. Bentuk roksalt hanya
dijumpai pada tekanan 10 GPa.
Gambar 2.1.Struktur wurtzite ZnO. Atom O ditampilkan sebagai
bulatan hijau, atom Zn sebagai bulatan hitam
11
Kisi hexagonal kemudian dikarakterisasi untuk melihat hubungan subkisi
(sublattice) Zn2+ dan O2-, dimana ion Zn dikelilingi oleh ion tetrahedral dan
sebaliknya. Struktur kristal wurtzite yang yang simetrinya hexagonal, dikarenakan
ada 12 ion oksigen (O2-) yang berada ditiap sudut atas dan bawah yang
membentuk suatu prisma hexagonal. Setiap ion Zn2+ maupun O2- merupakan
pusat tethahedral dari keempat ion tetangganya. ZnO yang memiliki struktur
kristal wurtzite hexagonal dengan parameter kisi a dan c yang dapat dihitung
dengan persamaan (Shakti dan Gupta, 2010):
1
3 sin
a
c
(2.2)
sin
Ukuran kristal ZnO
(2.3)
dapat dihitung dengan menggunakan persamaan
Scherrer (Cuility dan Stock, 2001) yaitu :
D
0.9
cos
dengan D adalah ukuran kristal,
(2.4)
adalah Panjang gelombang,
adalah FWHM
(full width half maximum), θ adalah sudut difraksi dan a, c adalah parameter kisi.)
2.3. Celah pita energi
Salah satu topik yang hangat dalam riset nanomaterial karena memiliki
potensi aplikasi yang sangat luas adalah band gap engineering. Band gap
engineering adalah rekayasa pita energi material untuk menghasilkan sifat optik,
elektronik, maupun optoelektronik sesuai dengan yang diinginkan. Rekayasa ini
umumnya meliputi pengontrolan lebar celah pita energi (energy band gap)
sehingga energi yang diperlukan untuk mengeksitasi elektron atau hole dalam
material atau energi yang dipancarkan elektron atau hole ketika kembali ke
keadaan dasar dapat diubah-ubah sesuai dengan yang diinginkan. Pengaturan
12
lebar celah pita energi ini juga berdampak pada konduktivitas listrik material
tersebut, karena makin kecil lebar celah pita energi maka konduktivitas umumnya
makin besar. Salah satu aplikasi menarik yang dilahirkan oleh rekayasa pita energi
nanopartikel adalah pengembangan displai baru yang jauh lebih mudah dan murah
daripada displai yang ada saat ini. Setiap displai memiliki tiga jenis material
luminisens yang masing-masing menghasilkan cahaya luminisens biru, hijau, dan
merah (BGR). Warna-warna yang dihasilkan displai merupakan kombinasi ke tiga
warna tersebut dalam perbandingan intensitas yang sesuai. Hingga saat ini,
material penghasil cahaya biru, hijau, dan merah yang digunakan dalam displai
tersebut berbeda. Perbedaan sifat fisika dan kimiawi material tersebut
menimbulkan sejumlah persoalan ketika diintegrasikan saat pembuatan displai
(tidak sepenuhnya kompatibel). Hal ini sering menyulitkan perancangan, atau
menuntut tahapan yang banyak dan rumit sebelum integrasi akhir. Perancangan
displai akan menjadi sederhana jika digunakan satu jenis material saja karena
hanya memiliki satu sifat kimiawi maupun fisika. Gambar 2.2 adalah warna yang
berbeda-beda yang dihasilkan oleh nanopartikel ZnO akibat perbedaan ukuran.
Nanopartikel tersebut didespersi dalam polimer (Abdullah, 2010)
Gambar 2.2. Nanopartikel ZnO memancarkan warna yang berbeda jika ukurannya
berbeda.
13
Dalam bahan semikonduktor murni, energi yang dimiliki elektron hanya
mungkin berada pada salah satu pita energi, yaitu pita valensi atau pita konduksi.
Gambar 2.3 merupakan ilustrasi pita valensi dan konduksi dalam bahan
semikonduktor. Pada suhu yang sangat rendah, elektron hanya menempati tingkat
energi pada pita valensi. Antara pita valensi dan pita konduksi terdapat nilai-nilai
energi yang tidak dapat dimiliki oleh elektron. Daerah tersebut disebut celah pita
energi (energy band gap).
Gambar 2.3. Ilustrasi Pita Valensi, pita konduksi, dan celah pita
energi bahan semikonduktor
Jika mendapat energi yang cukup misalnya dari foton, atau panas, atau
tumbukan oleh partikel lain, elektron yang semula berada di pita velensi dapat
meloncat ke pita konduksi. Energi yang diterima elektron minimal harus sama
dengan celah pita energi. Loncatan tersebut meninggalkan keadaan kosong di pita
konduksi. Keadaan kosong tersebut berperilaku seolah-olah sebagai sebuah
partikel bermuatan positif dan dinamakan hole. Persyaratan bagi elektron agar
dapat mencapai pita konduksi adalah energi yang diterima harus lebih besar dari
celah pita energi, Eg. Misalkan eksitasi dilakukan dengan gelombang cahaya
(frekuensi rendah), maka frekuensi cahaya pengeksitasi harus memenuhi hf > Eg
dengan h adalah konstanta Planck dan f adalah frekuensi cahaya pengeksitasi.
Umumnya, cahaya yang digunakan untuk mengeksitasi elektron dari pita valensi
ke pita konduksi adalah cahaya ultraviolet karena hanya cahaya inilah yang
memiliki energi foton yang lebih besar daripada energi celah pita energi
kebanyakan bahan semikonduktor. Sebagai contoh, untuk bahan semikonduktor
14
dengan lebar celah pita energi 3,4 eV dapat dieksitasi dengan cahaya yang
memiliki panjang gelombang di bawah 364 nm. Panjang gelombang ini berada di
daerah ultraviolet. Keadaan tereksitasi bukan merupakan keadaan stabil, elektron
hanya bertahan beberapa saat di keadaan eksitasi dan setelah itu kembali ke
keadaan awal mengisi kembali keadaan kosong yang semula ditinggalkannya di
pita valensi. Proses ini disebut deeksitasi atau rekombinasi. Disebut rekombinasi
karena elektron bergabung kembali dengan hole, sehingga hole menjadi hilang.
Saat proses deksitasi ini dilepaskan energi yang bisa berupa panas (getaran atomatom dalam bahan) atau bisa berupa pemancaran cahaya. Deeksitasi yang disertai
pelepasan panas disebut radiationless transition, sedangkan deeksitasi yang
disertai pemancaran gelombang elektromagnetik disebut radiative transition. Pada
transisi radiatif, energi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan kira-kira
sama dengan lebar celah pita energi, yaitu hf’ ≈ Eg, sehingga frekuensi gelombang
elektromagnetik yang dipancarkan adalah f’ ≈ Eg/h. Karena frekuensi
merepresentasikan warna, maka tampak disini bahwa warna yang dihasilkan
material ketika terjadi proses deeksitasi sangat bergantung pada lebar celah pita
energi. Ini merupakan salah satu dasar rekayasa pita energi. Jika dapat melakukan
pengontrolan lebar celah pita energi material maka akan dihasilkan material yang
menghasilkan warna yang berbeda-beda. Lebar celah pita energi nanopartikel
semikonduktor terhadap ukuran partikel diturunkan secara sistematik oleh Brus
dengan menggunakan pendekatan massa efektif, yang persamaannya sebagai
berikut:
E g ( R ) E g ( )
2h2 1
1 1.8e 2
2 R 2 me* mh* R
(2.5)
dengan Eg adalah lebar celah pita energi, h adalah konstanta Planck, me* adalah
massa efektif elektron, mh* adalah massa efektif hole, dan e adalah muatan
elektron. Besaran
yang memenuhi :
1
1
1
*
*
me mh
disebut massa tereduksi elektron dan hole.
(2.6)
15
2.4. Film Tipis
Deposisi film tipis telah menjadi subjek studi intensif selama hampir satu
abad, dengan berbagai metode yang telah dikembangkan dan ditingkatkan. Teknik
deposisi film tipis semakin banyak dikembangkan dan digunakan dalam industri,
dan semakin banyak pula bidang yang dijangkau, umpama di bidang optik untuk
kacamata, lensa , filter dan lain-lain, yang selanjutnya memberikan kekuatan besar
untuk mendorong pengembangan lebih lanjut dan perbaikan teknik deposisi.
Metode pertumbuhan film tipis secara umum dapat dibagi menjadi dua kelompok
yaitu: tanpa menggunakan vakum yaitu: spin coating, dip coating, spray coating,
electronic deposition, dan dengan menggunakan vakum yaitu: teknik PVD
(Physical Vapor Deposition) yang meliputi: termal Evaporation, teknik
sputtering, teknik reactive sputtering, teknik electron beam evaporation (EB),
teknik ion assited deposition dan teknik CVD (Chemical Vapour Deposition).
Deposisi film tipis melibatkan proses dominan yang heterogen termasuk
reaksi kimia yang heterogen, penguapan, adsorbs dan desorbsi pada pertumbuhan
permukaan. Pertumbuhan film tipis, untuk semua fase transformasi, melibatkan
proses nukleasi dan pertumbuhan pada substrat atau pertumbuhan permukaan.
Proses nukleasi memainkan peran yang sangat penting dalam menentukan
kristalinitas dan mikrostruktur film tipis yang dihasilkan. Untuk deposisi film tipis
dengan ketebalan dalam ukuran nanometer, proses nukleasi awal bahkan lebih
penting. Nukleasi dalam pembentukan film tipis adalah nukleasi heterogen, energi
penghalang dan ukuran nukleus kritis. Ukuran dan bentuk awal inti yang dianggap
hanya bergantung pada perubahan volume energi bebas Gibbs, karena untuk
supersaturation, dan efek gabungan energi permukaan dan antarmuka diatur oleh
persamaan Young. Interaksi antara film tipis dan substrat memainkan peran yang
sangat penting dalam menentukan nukleasi awal dan pertumbuhan film.
16
Berdasarkan hasil eksperimental dinyatakan bahwa ada tiga model dasar
nukleasi yaitu (Ohring, 1992):
1. Pertumbuhan gugusan atau Volmer-Weber,
2. Pertumbuhan lapisan atau Frank-van der Merwe
3. Gugusan-lapisan atau Stranski-Krastonov.
Gambar 2.4 mengilustrasikan tiga model dasar nukleasi awal dalam
pertumbuhan film. Pertumbuhan gugusan terjadi ketika spesies pertumbuhan lebih
kuat terikat satu sama lain daripada substrat. Banyak sistem logam pada substrat
isolator, halida alkali, grafit dan mika menampilkan jenis nukleasi selama awal
deposisi film. Hasil pertumbuhan berikutnya terjadinya pengabungan gugusangugusan dan membentuk lapisan film. Pertumbuhan lapisan adalah kebalikan dari
pertumbuhan gugusan, di mana pertumbuhan spesies sama-sama terikat lebih kuat
ke substrat daripada satu sama lain. Monolayer lengkap pertama dibentuk,
sebelum deposisi lapisan kedua terjadi.
Gambar 2.4. Mengilustrasikan tiga model dasar nukleasi awal dalam
pertumbuhan film.
17
Pertumbuhan gugusan, pertumbuhan lapisan dan pertumbuhan gugusanlapisan umumnya melibatkan stress selama terjadi pembentukan inti atau film.
Perhitungan ukuran nukleus kritis r*, dan energi penghalang ∆G*, menggunakan
persamaan yaitu:
2 vf
r *
Gv
sin 2 . cos 2 cos 2
3
2 3 cos cos
(2.7)
16 vf 2 3 cos cos3
G
2
4
3Gv
(2.8)
*
Untuk pertumbuhan gugusan, dimana sudut kontak harus lebih besar dari
nol, atau
θ > 0. Menurut persamaan Young, maka persamaannya dapat ditulis
sebagai berikut :
sv fs vf
(2.9)
Jika deposito tidak membasahi substrat sama sekali atau θ = 180 ", maka
nukleasi adalah nukleasi homogen. Untuk pertumbuhan lapisan, dimana deposito
membasahi substrat sepenuhnya dan sudut kontak sama dengan nol, persamaan
yang sesuai yang menjadi:
sv fs vf
(2.10)
Pada pertumbuhan lapisan yang paling penting adalah deposisi film kristal
tunggal baik melalui homoepitaxy, di mana film harus memiliki struktur kristal
dan komposisi kimia yang sama dengan substrat, atau heteroepitaxy, di mana
deposito film kristal memiliki struktur kristal yang tidak sesuai dengan substrat.
Homoepitaxy merupakan ekstensi sederhana dari substrat, dan hampir tidak ada
antarmuka antara substrat dan deposito film kristal dan tidak ada proses nukleasi.
Meskipun deposito memiliki komposisi kimia yang berbeda dari substrat, spesies
18
pertumbuhan lebih mudah untuk mengikat substrat daripada satu sama lain.
Karena perbedaan dalam komposisi kimia, konstanta kisi deposito kemungkinan
besar akan berbeda dari substrat. Perbedaan semacam itu umumnya mengarah ke
pengembangan stres dalam deposito. Stres adalah salah satu alasan umum untuk
pertumbuhan gugusan-lapisan. Pembahasan tentang pertumbuhan lapisan gugusan
lebih rumit dan melibatkan stres. Pada awalnya pengendapan akan mengikuti
model lapisan pertumbuhan, dan ketika deposito tegangan elastisitas terjadi hal ini
disebabkan karena ketidaksesuaian antara kisi deposito dan substrat, maka
tegangan energi harus dinaikkan. Jika untuk setiap lapisan deposito yang
ditambahkan, akan menyebabkan stres meningkat dan terjadi energi tegangan.
Energi tegangan tersebut sebanding dengan volume deposito, dengan asumsi ada
relaksasi tidak plastik. Oleh karena itu, untuk menghitung besarnya energi
penghalang ∆G* maka harus memasukkan energi tegangan dan persamaan (2.8)
menjadi :
16 vf
2 3 cos cos3
G *
2
4
3Gv
(2.11)
di mana ω adalah energi regangan per satuan volume yang dihasilkan oleh stres
dalam deposito. Karena tanda ∆Gv adalah negatif, dan tanda ω adalah positif,
maka hambatan energi secara keseluruhan untuk meningkatkan nukleasi. Ketika
stres melebihi titik kritis dan tidak bisa dilepaskan, energi regangan per satuan
luas deposito menjadi besar yang berhubungan dengan
vf,
dan memungkinkan
awal inti untuk terbentuk di atas deposit berlapis. Dalam hal ini, energi permukaan
substrat lebih besar dari kombinasi energi permukaan deposito dan energi
antarmuka antara substrat dan deposito yaitu:
sv fs vf
(2.12)
Jika terjadi perubahan yang meningkat pada energi bebas Gibbs secara
keseluruhan, maka penghalang energi untuk nukleasi awal berkurang dan ukuran
kritis inti menjadi kecil. Model nukleasi dan mekanisme yang berlaku untuk
19
pembentukan kristal tunggal, polikristalin dan deposito amorf, dan deposito
anorganik, organik dan hibrida yang tergantung pada kondisi pertumbuhan dan
substrat. Deposisi suhu dan tingkat pertumbuhan spesies merupakan dua faktor
yang paling penting dalam hal ini.
1. Pertumbuhan film kristal tunggal merupakan yang paling sulit dan
membutuhkan: (i) substrat kristal tunggal dengan pertandingan jarak kisi , (ii)
permukaan substrat yang bersih sehingga untuk menghindari terjadinya
nukleasi sekunder, (iii) suhu pertumbuhan yang tinggi sehingga untuk
menjamin mobilitas yang cukup dari spesies pertumbuhan dan (iv) tingkat
spesies pertumbuhan rendah sehingga untuk memastikan waktu yang cukup
untuk difusi permukaan dan penggabungan spesies pertumbuhan ke dalam
struktur kristal dan untuk relaksasi struktural sebelum munculnya spesies
pertumbuhan berikutnya.
2. Pengendapan amorf film biasanya terjadi : (i) ketika pertumbuhan dilakukan
pada suhu rendah, sehingga tidak cukup mobilitas permukaan
untuk
pertumbuhan spesies dan (ii) ketika masuknya pertumbuhan spesies ke
permukaan pertumbuhan sangat tinggi, pertumbuhan spesies tidak memiliki
cukup waktu untuk menghasikan pertumbuhan dengan energi terendah.
3. Kondisi untuk pertumbuhan film polikristalin kristal terjadi antara kondisi
pertumbuhan kristal tunggal dan deposisi film amorf. Secara umum, suhu
deposisi yang cukup memastikan mobilitas permukaan untuk pertumbuhan
spesies dan fluks pertumbuhan spesies cukup tinggi.
Kondisi pertumbuhan untuk polikristalin kristal tunggal, dan film amorf
silikon dengan metode uap kimia juga dapat berlaku untuk film elemen tunggal.
Namun, proses pertumbuhan ini merupakan kasus yang kompleks dalam sistem
yang disebabkan adanya materi kotoran dan aditif. Epitaksial adalah proses yang
sangat khusus, dan mengacu pada pembentukan atau pertumbuhan kristal tunggal
di atas substrat. Tingginya pertumbuhan epitaksial menyebabkan terjadinya
homoepitaxy dan heteroepitaxy. Homoepitaxial merupakan untuk tumbuh film
20
pada substrat, di mana keduanya bahan yang sama. Pertumbuhan homoepitaxial
biasanya digunakan untuk menumbuhkan kualitas film yang lebih baik atau
memperkenalkan dopan menjadi film yang lebih baik. Heteroepitaxy mengacu
pada kasus bahwa film dan substrat adalah bahan yang berbeda. Perbedaan antara
film homoepitaxial dan film heteroepitaxial adalah perbandingan kisi antara film
dan substrat. Tidak ada mismatch kisi antara film dan substrat pada pertumbuhan
homoepitaxial. Sebaliknya, akan ada mismatch kisi antara film dan substrat pada
pertumbuhan heteroepitaxial. Mismatch kisi disebut juga ketidakcocokan, yang
dirumuskan sebagai berikut :
f
as a f
af
(2.13)
dengan as adalah konstanta kisi unstrained substrat dan af adalah konstanta kisi
unstrained film.
Jika f = 0, film dalam keadaan tegang, sedangkan jika f < 0, film dalam
kompresi. Persamaan untuk menentukan besarnya energi tegangan Es yang
berhubungan dengan tegangan film adalah :
1 v 2
Es 2 f
hA
1 v
(2.14)
dengan µf adalah modulus geser film, v adalah Nisbah Poisson (< 1/2 untuk
kebanyakan material), ε adalah tegangan lateral, h adalah ketebalan dan A adalah
luas permukaan. Energi tegangan Es meningkat dengan meningkatnya ketebalan.
Besarnya energi tegangan Es disebabkan oleh tegangan film dan juga karena
ketidakcocokan relatif substrat kecil, atau karena film menjadi kendur disebabkan
pembentukan dislokasi dan terjadi ketidakcocokan yang besar. Homoepitaxial dan
heteroepitaxial pertumbuhan film telah telah diaplikasi, terutama dalam industri
elektronik
21
2.5. Sifat Optik Film Tipis ZnO
Sifat optik yaitu transmitansi dan absorbansi dari lapisan film tipis ZnO
diamati dengan menggunakan spektrometer UV-Vis yang bertujuan untuk
menentukan sumber cahaya yang di gunakan saat film tipis ZnO dijadikan sensor.
Spektrum absorbansi dan spektrum transmitansi film tipis ZnO hasil dari
spektrometer UV-Vis diperlihatkan pada Gambar 2.5 dan 2.6. dari film tipis.
Gambar 2.5. Spektrum Serapan UV yang diperoleh dari sampel
Gambar 2.6. Spektrum fotoluminesen PL yang diperoleh dari sampel
Bahan transparan dengan tingkat keionikan yang tinggi, polarisasi yang
terjadi akan semakin besar karena adanya ion-ion yang terdapat dalam bahan
transparan yang turut andil dalam mempengaruhi besarnya polarisasi, sedangkan
untuk bahan dengan tingkat keelektrolitan rendah dan nonelektrolit, polarisasi
yang terjadi hanya dipengaruhi oleh sifat-sifat optis dari bahan. Sifat optik film
tipis ZnO sangat dipengaruhi oleh struktur pita energi dan terletak diantara 1,9 eV
sampai 2,8 eV dan dikenal sebagai green band. Untuk material dengan celah pita
22
langsung, hubungan koefisien absorbsi terhadap frekuensi foton yang memenuhi
persamaan (Sridevi dan Rajendran, 2009):
hv2 CD hv Eopt
(2.15)
Koefisien absorbsi diperoleh berdasarkan persamaan (Ilican dkk, 2008):
α = (1/t ) ln (1/T)
(2.16)
dengan α adalah koefisien absorbsi optik , t adalah ketebalan, T adalah transmisi,
h adalah konstanta Planck,
adalah frekuensi foton insiden, CD adalah konstanta,
dan Eopt adalah celah energi dari sampel. Indeks bias film tipis (n) dapat dihitung
dengan menggunakan persamaan (Hussein dkk, 2011):
(1 R1/ 2 )
n
(1 R1/ 2 )
(2.17)
dengan : n = indeks bias film tipis dan R = reaktansi
Ketebalan lapisan tipis dengan metode optik ditentukan berdasarkan
hubungan indeks bias film tipis yang dihitung dengan persamaan (Bilalodin,
2012):
d
1. 2
2 n ( 2 1 )
dengan d adalah ketebalan film tipis dan
(2.18)
1,
2
masing-masing adalah panjang
gelombang yang menghasilkan reaktansi maksimum dan minimum.
2.6. Metode Sol-gel
Metode sol-gel dikenal sebagai salah satu metode sintesis nanopartikel
yang cukup sederhana dan mudah serta tidak memerlukan biaya tinggi, sehingga
banyak digunakan beberapa tahun belakangan ini, seperti membuat keramik,
material gelas. Metode sol-gel merupakan metode dengan menggunakan proses
kimia dimulai dari bentuk ion yang lebih besar (bulk) ditambah pereaksi kimia
sehingga ion yang dihasilkan berukuran nanopartikel, dan ini akan mengalami
perubahan fase yaitu dari fase solid yang berupa serbuk akan berubah menjadi
fase sol lalu berubah menjadi gel. Pada proses sol-gel, prekursor molekular
dirubah menjadi partikel berukuran nano untuk membentuk suspensi koloid atau
23
sol. Nanopartikel koloid ini kemudian berikatan satu dengan yang lain melalui
proses polimerisasi untuk membentuk gel. Kemudian gel tersebut dikeringkan dan
dikalsinasi untuk menghasilkan bubuk. Kalsinasi dilakukan untuk menghilangkan
atau mengurangi kadar air, pengotor dan sisa senyawa prekusor yang tidak dapat
hilang pada suhu rendah. Kalsinasi dilakukan dengan menggunakan alat yang
dapat menghasilkan suhu yang seragam sehingga proses pencampuran bahan
memungkinkan untuk pembentukan produk yang lebih seragam. Kalsinasi akan
menyebabkan terbentuknya agregat partikel, dimana penggerusan dari agregat
yang besar tersebut diperoleh serbuk yang baik. Sintesis metode sol-gel untuk
menghasilkan powder, film, aerogel, atau serat, struktur dan sifat fisik gel sangat
bergantung pada beberapa hal, diantaranya:
1. Pemilihan bahan baku material
2. Laju hidrolisis dan kondensasi
3. Modifikasi kimiawi dari sistem sol-gel
Metode sol-gel cocok untuk preparasi film tipis dan material berbentuk bubuk.
Tujuan preparasi ini agar suatu material keramik dapat memiliki fungsional
khusus (elektric, optic, magnetic, dll). Metode sol-gel memiliki keuntungan yaitu:
1. Biaya murah
2. Untuk partikel halus, rentang ukuran 0,1 sampai beberapa micron
3. Mudah dalam kontrol komposisi (kehomogenan komposisi kimia baik)
4. Temperatur proses rendah
Diagram proses tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.7.
katalis
Larutan
awal
Larutan dan
katalis
Dipanaskan pada tempeatur tertentu
Selama beberapa jam kadang-kadang
juga di rebus
Di rebus
Pemisahan padatan
dengan larutan
Karakterisasi produk
Gambar 2.7. Diagram proses metode sol-gel (aguspur.wordpress.com)
24
2.7. Pelapisan
Pelapisan (coating) pada dasarnya adalah proses untuk melapisi suatu
bahan dasar atau substrat dengan maksud dan tujuan tertentu. Hal yang
menentukan sifat-sifat suatu coating adalah komposisi dari coating itu sendiri.
Umumnya pelapisan mengandung empat bahan dasar, yaitu binder, pigmen,
solven dan aditif. Sangatlah penting untuk memahami fungsi dari bahan-bahan
dasar ini dan mengetahui bagaimana mereka saling berinteraksi.
1. Binder
Binder berfungsi sebagai pengikat antara komponen coating dan juga
bertanggung jawab terhadap gaya adhesi pelapisan terhadap substrat. Terdapat
banyak binder yang telah dikenal, diantaranya alkyd, vinyl, resin alam, epoxy dan
urethane. Hal yang perlu diketahui tentang binder adalah bagaimana mereka
mengalami curing. Pada umumnya binder dapat mengalami curing dengan dua
cara. Pertama adalah melalui evaporasi solven. Binder yang mengalami curing
seperti ini disebut binder thermoplastic atau non-covertible. Kedua adalah lewat
reaksi kimia selama atau setelah proses pengecatan. Binder ini dikenal sebagai
binder thermosetting. Selain itu, hal yang harus dipahami dari binder merupakan
viskositas.
2. Pigmen
Pigmen merupakan pemberi warna dari coating. Selain berfungsi dalam
hal estetika, pigmen juga mempengaruhi ketahanan korosi dan sifat fisika dari
coating itu sendiri. Pigmen dapat dikelompokkan menjadi pigmen organik dan
anorganik. Pigmen anorganik contohnya adalah titanium oksida dan besi oksida.
TiO2 merupakan pigmen putih yang paling banyak digunakan, biasanya untuk
coating eksterior. TiO2 mempunyai indeks refleksi yang tinggi dan stabil terhadap
sinar ultraviolet dari sinar matahari yang dapat mendegradasi binder coating. Besi
oksida merupakan pigmen merah yang digunakan untuk coating primer atau
topcoat. Terdapat juga extender pigmen yang memberikan sedikit pengaruh
terhadap warna dan ketahanan korosi namun banyak mempengaruhi sifat-sifat
coating seperti densitas, aliran, hardness dan permeabilitas. Contohnya adalah
kalsium karbonat, kaolin, talc dan brium sulfat,
25
3. Solven
Kebanyakan coating memerlukan solven untuk melarutkan binder dan
memodifikasi viscositas. Hal terpenting yang harus diperhatikan dalam penentuan
solven adalah kemampuannya dalam melarutkan binder dan komponen coating
yang lain. Prinsip kelarutan sangatlah sederhana, yaitu like dissolves like. Artinya
solven polar akan melarutkan senyawa yang polar juga. Selain itu laju penguapan
solven juga perlu diperhatikan. Solven yang mempunyai tekanan uap tinggi
sehingga menguap dengan cepat disebut fast atau hot solvent, sedangkan yang
lambat disebut slow solven. Laju penguapan mempengaruhi sifat-sifat coating dan
beberapa cacat dapat disebabkan karena ketidak cocokan dalam pemilihan solven.
Jika solven menguap terlalu cepat, coating tidak cukup waktu untuk membentuk
lapisan halus dan kontinu.
4. Aditif
Aditif merupakan senyawa-senyawa kimia yang biasanya ditambahkan
dalam jumlah sedikit, namun sangat mempengaruhi sifat-sifat coating. Contoh
bahan additive antara lain driers untuk mempercepat pengeringan di udara, anti
oxidant untuk mencegah proses oksidasi coating selama disimpan ditempatnya,
dispersant untuk mendispersikan pigmen dalam coating agar homogen, thickeners
untuk menambah viscositas coating, filter untuk meningkatkan volume coating,
dan lain-lain.
Dari campuran bahan-bahan tersebut coating memiliki beberapa sifat
tertentu, antara lain :
1. Adhesion, yaitu daya ikat antara permukaan coating dengan substrat.
2. Flexibelity, yaitu kelenturan caoting atau kemampuan lapisan coating
untuk tidak merobek ketika diberi rengangan.
3. Hardness, yaitu kekerasan pada permukaan coating.
4. Abration resistance, yaitu ketahanan terhadap abrasi.
5. Permeability, yaitu sifat untuk melewatkan molekul atau ion pada lapisan
coating.
26
6. Resistance to microorganism, yaitu ketahanan terhadap pertumbuhan
mikroorganisme seperti jamur dan bakteri pada permukaan coating.
7. Ageing of faint film, yaitu umur coating pada lingkungan tertentu.
2.7.1. Sifat Adhesive Coating
Ketahanan coating sangat dipengaruhi oleh kemampuan coating untuk
menempel (sifat adhesive) pada material substrat. Jika daya adhesive tidak kuat
maka selain coating tidak menempel dengan baik, hal ini dapat juga memberi
kesempatan kepada udara lembab masuk ke celah antara coating dan substrat
yang menyebabkan korosi. Ada beberapa jenis daya ikatan (adhesive) antara
coating dengan material substrat, antara lain :
1. Daya ikat kimia (chemical bonding adhesion), yaitu daya ikat yang terjadi
antara coating dan material substrat berupa ikatan atom. Contohnya yaitu
pada coating size (seng) untuk melapisi baja, atau yang biasanya disebut
galvanized steel. Zinc berikatan dengan baja dan membentuk paduan
intermetalik FeZn. Jenis ikatan ini adalah ikatan yang paling kuat.
2. Daya ikat polar (polar adhesion), yaitu daya ikat yang terjadi karena gaya
tarik menarik material polar. Contohnya yaitu coating organik, yang
banyak mengandung senyawa polar. Jenis ikatan ini tidak akan bekerja
dengan baik apabila terdapat zat pengotor di permukaan substrat seperti
kotoran, minyak, air, dan lain-lain.
3. Daya ikat mekanik (mechanical adhesion), yaitu daya ikat yang terjadi
karena ikatan secara mekanik (mechanical interlocking). Contohnya yaitu
dengan penggunaan coating pada permukaan substrat yang kasar, seperti
penggunaan sand blast sebelum proses coating. Selain itu bisa juga
penggunaan coating yang akan mengkerut ketika curing sehingga akan
membungkus material substrat dengan baik, seperti epoxy, polyester, dan
lain-lain.
27
2.7.2. Pelapisan Putaran (Spin Coating)
Spin-coating berasal dari dua kata yaitu ‘spin’ dan ‘coating’. Bila
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, ‘spin’ berarti putaran, dan ‘coating’
berarti pelapisan. Maka secara singkat spin coating diartikan sebagai suatu metode
pelapisan dengan menggunakan putaran. Spin coating merupakan prosedur yang
digunakan untuk menerapkan film tipis seragam untuk substrat datar. Sejumlah
bahan pelapis ditempatkan pada substrat, kemudian diputar dengan kecepatan
tinggi untuk menyebarkan cairan dengan gaya sentrifugal. Sejumlah mesin yang
digunakan untuk coating spin disebut coater spin atau spinner seperti Gambar 2.8.
Metode spin coating adalah suatu proses yang mudah dan umum
dilakukan untuk pelapisan polimer atau photoresist pada wafer silicon. Setelah
penetesan pelapisan pada wafer, tingkat pelapisan
dikendalikan oleh gaya
sentrifugal dari putaran yang tegak lurus dengan wafer. Pada kecepatan putaran
yang rendah, bahan pelapis menyebar pada wafer, pada kecepatan putaran yang
tinggi (2000 - 6000 rpm) akan membentuk film tipis. Metode spin coating adalah
suatu cara yang sederhana dan efektif untuk membuat film tipis dengan variasi
ketebalan yang dikendalikan
parameter waktu dan kecepatan putaran juga
kekentalan dan kerapatan dari bahan pelapis yang digunakan. Semakin tinggi
kecepatan sudut putar, lapisan yang diperoleh akan semakin tipis. Ketebalan film
ini juga tergantung pada konsentrasi larutan. Spin coating secara luas digunakan
dalam microfabrication, dimana dapat digunakan untuk membuat film tipis
dengan ketebalan lapisan dibawah 10 nm. Hal ini digunakan secara intensif dalam
photolithography, untuk lapisan photorisest dengan tebal sekitar 1 mikrometer.
Gambar 2.8.Spincoater
28
2.7.2.1. Preparasi Pre Coating
Proses pre coating terdiri dari dua jenis, yaitu mechanical cleaning dan
chemical cleaning.
1. Mechanical cleaning, yaitu dengan menggunakan material abrasif untuk
menghilangkan kotoran pada permukaan. Proses mechanical yang
digunakan umumnya yaitu grinding, sand blasting, dan lain-lain.
Kontaminan yang dapat dibersihkan antara lain scale, produk korosi,
maupun sisa coating sebelumnya dengan mengikis permukaan material
substrat tersebut.
2. Chemical cleaning, yaitu proses pembersihan dengan menggunakan bahan
kimia. Cara pengaplikasiannya dapat diusapkan, disemprot, diuapkan, dan
dicelupkan. Ada beberapa jenis chemical cleaning, antara lain :
a. Emulsion cleaning, yaitu dengan menggunakan larutan berbahan dasar
organik (surfactant) yang dapat membersihkan kotoran dari minyak
seperti detergent atau emulsifier.
b. Alkaline cleaning, yaitu dengan menggunakan larutan garam alkali
untuk membersihkan kotoran dan minyak. Larutan yang umum
digunakan antara lain sodium hydroxide (NaOH) dan sodium
carbonate (Na2 CO3). Biasanya garam tersebut dilarutkan dengan air
hangat sebanyak 80-40%. Setelah proses alkaline cleaning, semua zat
alkaline harus dibersihkan dengan air atau uap agar tidak mengganggu
kinerja coating.
c. Pickling atau Acid cleaning, yaitu dengan menggunakan larutan asam
untuk membersihkan scale dan korosi. Larutan asam yang biasa
digunakan yaitu asam sulfat (H2SO4) yang akan melarutkan oksida
pada permukaan.
29
2.7.2.2. Proses Spin coating.
Secara umum proses spin coating terdiri dari tiga tahap, yaitu :
a. Tahap penetesan cairan (dispense)
Pada bagian ini cairan dideposisikan di atas permukaan substrat seperti
pada Gambar 2.9, kemudian diputar dengan kecepatan tinggi. Kemudian lapisan
yang telah dibuat akan dikeringkan sampai pelarut pada lapisan tersebut benarbenar sudah menguap. Proses ini dibagi menjadi dua macam, yaitu: Static
dispense merupakan proses disposisi sederhana yang dilakukan pada larutan di
atas pusat substrat dan dynamic dispense merupakan proses deposisi dengan
kecepatan putar yang kecil kira-kira 500 rpm.
Gambar 2.9.Tahap penetesan sol
b. Tahap percepatan spin coating
Setelah tahap penetesan cairan, larutan dipercepat dengan kecepatan yang
relatif tinggi. Kecepatan yang digunakan pada substrat ini akan mengakibatkan
adanya gaya sentrifugal dan turbulensi cairan. Kecepatan yang digunakan antara
1500 - 6000 rpm dan tergantung pada sifat cairan terhadap substrat yang
digunakan. Waktu yang digunakan kira-kira 10-30 detik bahkan sampai 10 menit.
c. Tahap pengeringan
Tahap ini merupakan tahap yang sangat penting untuk menghasilkan film
tipis. Proses ini akan menghilangkan sisa-sisa pelarut dan bahan tambahan lain
yang ada pada bahan pelapis. Pada tahap ini terbentuk lapisan tipis murni dengan
suatu ketebalan tertentu. Tingkat ketebalan lapisan yang terbentuk bergantung
30
pada tingkat kelembaban dasar substrat. Kelembaban yang kecil menyebabkan
ketebalan lapisan murni yang terbentuk akan menjadi semakin besar.
2.7.3. Substrat
Substrat diperlukan sebagai tempat untuk tumbuhnya film tipis. Substrat
yang digunakan haruslah memiliki parameter kisi dan koefisien termal yang
hampir sama dengan film tipis. Beberapa material yang umumnya digunakan
sebagai substrat antara lain safir (Al2O3), kaca, silicon dan sebagainya. Kaca
merupakan bahan yang tidak padat, molekul-molekulnya disusun secara acak
seperti zat cair, namun kohesinya membuat bentuknya menjadi stabil. Karena
susunannya acak seperti zat cair itulah maka kaca terlihat transparan. Pada
penumbuhan film tipis diperlukan substrat sebagai tempat untuk tumbuhnya film
tipis. Selain itu, kaca juga merupakan material non-organik hasil dari proses
pendinginan tanpa melalui proses kristalisasi.
Berdasarkan segi fisika, kaca merupakan zat cair yang sangat dingin
karena struktur-struktur partikel penyusunnya yang saling berjauhan seperti dalam
zat cair namum wujud padat. Ini terjadi akibat proses pendinginan (cooling) yang
sangat cepat. Dari segi kimia, kaca merupakan gabungan dari berbagai oksida
organik yang tidak mudah menguap, yang dihasilkan dari dekomposisi dan
peleburan senyawa alkali dan alkali tanah, pasir serta berbagai penyusun lainnya.
Fungsi substrat dalam pembuatan film tipis adalah
1. Sebagai penunjang interkoneksi dan perakitan devais
2. Sebagai isolator dan tempat pelapisan serta pembentukan pola jalur
konduktor dan komponen pasif
3. Media panas penyalur rangkaian
4. Sebagai lapisan dielektrik untuk rangkaian-rangkaian frekuensi tinggi.
2.8. Pemanasan (Pre-heating dan Post-heating)
Proses perlakuan panas merupakan kombinasi operasi pemanasan dan
pendinginan dengan kecepatan tertentu yang dilakukan terhadap material dalam
keadaan padat sebagai suatu upaya untuk memperoleh sifat-sifat tertentu. Proses
31
perlakuan panas pada dasarnya terdiri dari beberapa tahapan dimulai dengan
pemanasan sampai temperatur tertentu, lalu diikuti dengan penahanan selama
beberapa saat lalu kemudian dilakukan pendinginan atau penurunan secara
perlahan hingga ke suhu ruang.
Proses pre-heating
yang berfungsi untuk menghilangkan pelarut dan
gugus asam, dan memfasilitasi perubahan ZnOH menjadi ZnO seiring dengan
pemanasan (hidrolisis) dengan menggunakan tanur (furnace) mulai dari suhu
ruang hingga ke suhu yang diinginkan. Suhu dinaikkan secara perlahan-lahan
hingga ke suhu yang diinginkan selama beberapa jam. Sampel didiamkan selama
beberapa menit pada suhu yang diinginkan, kemudian diturunkan secara perlahan
hingga suhu ruang. Peningkatan pemanasan secara teratur bertujuan untuk
memfasilitasi terbentuknya kristal dengan orientasi seragam dan teratur.
Post-heating atau annealing merupakan pemanasan pada suhu yang lebih
tinggi dari pre-heating yang berfungsi untuk pembentukan kristal dari partikel
ZnO. Peningkatan suhu dilakukan secara teratur selama beberapa jam hingga ke
temperatur yang diinginkan. Sampel didiamkan selama beberapa menit pada suhu
yang diinginkan, kemudian diturunkan secara alami hingga kembali ke suhu
ruang. Tahap pemanasan untuk sampel yang mengalami pre-heating (230oC) dan
post-heating (500oC) dapat dilihat pada Gambar 2.10 (Aprilla dkk, 2010)
Gambar 2.10. Proses pre-heating dan post-heating.