Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari D 902008006 BAB IV

Bab Empat

DARI MAYORITAS MENJADI
MINORITAS

Pengantar
Bab ini akan menjelaskan migrasi sekelompok orang Bali ke
Alas Cekik. M igrasi ini terjadi sebagai akibat dari ketegangan yang
dialami oleh orang-orang Bali-Kristen dengan orang-orang Bali
lainnya. Ketegangan dan tekanan ini terjadi di seputar hak atas tanah
kuburan dan masalah-masalah lain. Ketegangan itu terjadi sebagai
akibat perpindahan (penulisan kata perpindahan selanjutnya akan
disebut konversi) agama orang-orang itu dari Hindu menjadi Kristen.
Konversi dan penolakan tersebut pada akhirnya membawa implikasi
terbentuknya Desa Blimbingsari.

Sejarah M igrasi
Awal mula berdirinya Desa Blimbingsari dimulai dari kasus
penduduk melakukan konversi agama dari Hindu ke agama Kristen.
Hal ini karena Pulau Bali dijadikan ladang misi Kristen sejak tahun
16301, dimana terjadi pembaptisan beberapa orang Hindu yang

menggemparkan di Tukad Yeh Poh, Untal-Untal Dalung 11 Nopember
1931. Sejak saat itu, Kekristenan terus merambah Bali hingga konversi
mencapai sekurangnya 27.500 jiwa. Angka ini baru yang berhasil
dihimpun oleh misi Protestan, sementara Katolik diperkirakan
mendapatkan pengikut yang setara. Konversi agama ini tidak terjadi
secara kebetulan, melainkan dengan upaya yang terstruktur, sistematis
dan dinaungi oleh badan misi dunia.

1

Ketut Suyaga Ayub, [1999], 2004, 2013.

53

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

Sejumlah sumber mengungkapkan, konversi agama di Bali
terbagi atas tiga periode. Periode pertama tahun 1597- 1928, periode
kedua tahun 1929-1936 berdasarkan efektifitas usaha penginjilan yang
dilakukan. Kemudian periode terakhir 1937-1949 sebagai masa

persiapan kelahiran Gereja Kristen Protestan Bali (Surpi, 2009).
Sejumlah ahli yang sesungguhnya merupakan misionaris ini
mempelajari dan mengkaji berbagai lontar kuno di Bali. Ternyata di
balik kokohnya sistem adat, sudah banyak masyarakat Bali yang tidak
puas dengan sistem adat dan agama mereka. Hoeval (1993) menyatakan
bahwa banyak orang Bali merasakan sistem kasta yang ada dalam
agama Hindu Bali tidak adil dan banyaknya upacara dan kewajiban
sehubungan dengan penyelenggaraan upacara dan persembahyangan
menyebabkan mereka jadi miskin. Inilah yang dipandang oleh Hoeval
sebagai celah masuk untuk menyebarkan Kekristenan di Bali.
Namun walau Zending terus bergulir di Bali dengan
dikirimnya sejumlah penginjil, upaya pada tahap awal gagal. Tiga
Pekabar Injil Belanda yang dikirim, yaitu van Eck, de Vroom, van der
Jogt setelah 13 tahun usaha mereka, tahun 1873 hanya berhasil
membaptis satu orang Bali yakni I Goesti W ajan Karangasem dari Bali
Timur, Jagaraga Singaraja (Dokumen GKPB, Ripe dkk, 2012). W alau
demikian badan misi tidak menyerah. Di tengah tertutupnya aktivitas
penginjilan, penginjil pribumi Salam W atias yang berasal dari Kediri,
bekerja untuk Gereja Kristen Jawi W etan (GKJW ) datang ke Bali
menjual buku-buku Kristen. W atias menggunakan pendekatan

kultural dan mendekati orang-orang Bali karena sesama “W ong
M ajapahit.” Ia menjual buku-buku tersebut hingga ke pelosok-pelosok
desa khususnya di Bali utara.
Karena orang Bali mempunyai kesenangan membaca
pelajaran-pelajaran agama, maka ribuan buku terjual. Buku yang paling
digemari adalah Injil Lukas yang ditulis dalam bahasa Bali. Tidak
tertutup kemungkinan para pendukung Surya Kanta yang tidak puas
dengan kondisi riil adat dan agama Bali menjadi pembeli buku Salam
W atias. Sekitar 80 orang Bali akhirnya minta dibabtis oleh W atias.
Namun pekerjaan penginjilan yang sangat berhasil, dilakukan oleh Dr.
54

Dari M ayoritas M enjadi Minoritas

R.A. Jaffray, Ketua C.M.A. dengan mempekerjakan Penginjil Cina yang
bernama Tsang Kam Fuk, yang kemudian menyebut dirinya Tsang To
Hang.

Dari H indu Ke Kristen
Proses konversi agama dari Bali-Hindu ke Bali Kristen tidak

terlepas dari kepemimpinan Tsang To Hang, Pdt. I M ade Rungu, I
M ade Tjaduk yang lebih menekankan nilai spiritual dan etos kerja bagi
penduduk yang baru memeluk agama Kristen.
Sejak Belanda mulai menginjakkan kakinya di Bali pada abad
ke-19, orang-orang Belanda sudah tidak setuju Injil diberitakan di
Bali 2. Kemungkinan Pemerintah kolonian Belanda tidak ingin
pengijilan akan menghancurkan Agama Hindu, agama masyarakat
lokal yang dianggap eksotik. Usaha Pemerintah Belanda akhirnya
mendapat alasan yang cukup kuat melarang Injil masuk Bali dengan
terbunuhnya pendeta utusan Injil Yacob de Vroom pada 8 Juni 1881 di
Singaraja. Pembunuhan tersebut dilakukan orang Bali yang bernama I
Klana yang kemudian menjadi Kristen. Peristiwa pembunuhan pendeta
de Vroom itu dipakai menjadi alasan bahwa pulau Bali akan menjadi
tidak aman bila Injil diberitakan di Bali. Dengan alasan keamanan
tersebut dikeluarkanlah Undang-Undang nomer 177, Tahun 1881 yang
melarang segala usaha pekabaran Injil masuk ke Bali 3. Larangan ini
berlangsung selama 48 tahun. Baru tahun 1929 Pemerintah Belanda
mengijinkan CM A dari Amerika bekerja di Bali dengan mengutus
Pendeta Tsang To Hang dari Chinesse M ission. Pada awalnya
penginjilan Pendeta Tsang To Hang hanya fokus pada masyarakat

Tionghoa di Bali. Setelah satu setengah tahun upaya pendeta tersebut
2 Karena hal itu dianggap merusak agama dan kebudayaan Bali. Sebab pemerintah
Belanda menghendaki agar Bali tetap menjadi cagar budaya atau museum hidup.
Dengan cara ini Pemerintah Belanda akan dapat menarik keuntungan yang besar, baik
politis maupun ekonomis. (Dokumen GKPB, dalam Ripe dkk, 2012).

Dengan dikeluarkan undang-undang tersebut maka secara resmi Injil telah dilarang
masuk ke Bali, atau dengan kata lain: Bali ditutup bagi pekabaran Injil. (Dokumen
GKPB, dalam Ripe dkk, 2012).

3

55

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

di Denpasar hanya mampu membawa empat orang Tionghoa masuk
Kristen. Tsang To Hang secara sadar melanggar surat ijin yang
diberikan Pemerintah Kolonial belanda dan mulai menginjili orangorang Bali.
Dalam perkembangan lebih lanjut, pekabaran Injil terus

berjalan di Bali yang dilakukan sejumlah lembaga dan perorangan.
Pertama, M as Salam W atias, seorang pemuda asal Kediri yang dibuang
keluarganya karena berpindah agama dari M uslim menjadi Kristen
pada tahun 1926. Pada tahun 1929, ia pergi ke Bali bersama temannya
Petrus Tukiran menjual buku-buku (Alkitab)4. Kedua, I Nengah
M ukiarna alias Pak Yakub seorang bekas narapidana asal Gitgit yang
mendapat hukuman penjara di Ambon karena dipersalahkan
membunuh pacarnya. Di Ambon ia menjadi Kristen. Dan setelah bebas
dari hukumannya pada M ei 1931 ia kembali ke Desa Gitgit dan
memberitakan Injil 5. Ketiga, Pendeta Tartib Efrayim, pada bulan
Januari 1932. Ia memulai pekerjaannya di Bubunan, Singaraja. Pada
M ei 1933, beberapa orang Bali dibaptis, antara lain, Pan Sandi dan
W ayan Sondra Trimurti,6.
Ada beberapa alasan mengapa orang Bali-Hindu berpindah
agama menjadi Kristen. Pertama, terjadi penyembuhan ilahi atas
penyakit yang diderita Pak
Enteg7 selama bertahun-tahun.
Penyembuhan ini mengakibatkan warga Bali percaya dan menjadi
Kristen. Kedua, beberapa pemilik ilmu hitam di Bali (salah satunya
4 Setelah menjadi Kristen, ia mendapat tugas sebagai kolportir (penjual buku) dari

British and Foreign Bible Society yang berpusat di Singaraja. Mereka menjelajahi
seluruh Pulau Bali dan banyak buku-buku yang terjual, termasuk diantaranya Pan
Loting yang kemudian menjadi tokoh Kristen pertama di Badung. (lihat dokumen
GKPB, surat-surat, wawancara dari beberapa tokoh pelaku sejarah, dalam Ripe dkk,
2012).
5 Di desanya ia mulai menyaksikan kepercayaannya yang baru, yang menyebabkan
beberapa orang menerima I njil dan menjadi Kristen, diantaranya ialah I Gusti
Kompyang Mataram. (Ripe dkk, 2012).
6 Dengan ini mulailah timbul Jemaat baru di Bubunan. (Dokumen GKPB, dalam Ripe
dkk, 2012).
7 Pak Enteg seorang yang pertama kali menjadi Kristen di Desa Legian. W awancara
dengan Pak Nyoman Sukartika, 2 November 2009.

56

Dari M ayoritas M enjadi Minoritas

adalah Pan Loting, dari Desa Buduk) yang ingin menguji kesaktian
yang dimiliki misionaris Tsang To Hang, mengetahui kehebatan
pemberita Injil yang dilindungi oleh sebuah “kuasa”. M ereka kemudian

berpindah agama menjadi Kristen. Kehebatan pemberita Injil
digambarkan dengan adanya keberanian atau tidak takut kepada siapa
pun. Ketiga, ada pemberitaan Injil yang dilakukan oleh misionaris
dengan cara yang santun. M emberi contoh hidup yang baik, mengasihi,
sabar dengan mengelola ekonomi, sehingga hidupnya lebih sejahtera
membuat sejumlah warga Bali menjadi Kristen.
Di bawah ini adalah petikan wawancara seorang informan
kunci, Bapak Gusti Rata,8 tentang bagaimana perpindahan agama
mengubah iman percayanya:

“ Orang tua saya berasal dari Bongan, Kabupaten Tabanan.
Nama bapak saya adalah Gusti Putu Griya. Awalnya dia
mendapat berita Injil tentang Kristen dari desa Buduk. Orang
yang menyampaikan berita tersebut namanya adalah bapak
Gusti Putu Sanur. W alaupun orang tua saya masih beragama
Hindu tetap saja bapak Gusti Putu Sanur datang berkunjung
ke rumah orang tua saya dengan menceritakan “kabar baik”
dan sabar sampai akhirnya orang tua saya berpindah agama
menjadi pemeluk agama Kristen. Katanya bahwa jikalau
bapak memeluk agama Kristen dan percaya serta

menyembah Yesus yang adalah damai maka keselamatan,
sukacita dan sejahtera akan anda miliki. Mulai dari sanalah
berkembang lebih banyak lagi kekristenan dari kakak dan
adik orang tua saya. Sampai saudara orang tua saya ada yang
disekolahkan di sekolah penginjilan di Penyobekan. Saya
tidak tahu mengapa dahulu perkembangan kekristenan
sangat cepet, padahal mereka saat ini sudah akur (tidak ada
penderitaan) dan malah justru saat kita berpindah agama dan
banyak Orang Hindu yang mesepekang (menekan) kita
malah perkembangan kekristenannya sangat cepat. Saat itu,
di Bongan, Tabanan masyarakat saling bantu antar umat
beragama, misalnya kalau di agama Kristen ada yang
mengalami kedukaan atau meninggal dunia, maka warga
yang beragama Hindu ikut membantu dan sebaliknya“.

8 W awancara dengan I Gusti Rata, dilakukan di Blimbingsari, tanggal 14 Oktober 2009,
Pukul 09.30 W ita

57


Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

M elalui seorang wanita Bali, istri seorang Tionghoa, ia
berkenalan dengan beberapa orang Bali yang ingin keluar dari tradisi
Hindu-Bali. Perpindahan agama yang agak besar terjadi dengan
pembatisan yang menggemparkan pada tanggal 11 November 1931. Dr.
Jaffray membabtis 12 orang Bali yang dipimpin oleh Pan Loting, di
Sungai Yeh Poh9.
Pan Loting awalnya menentang ajaran Kristen, karena bagi
masyarakat sekitarnya dia adalah dukun sakti dan tokoh leak dari
Buduk, yang oleh Tsang To Hang disebut sebagai tukang sihir. Pan
Loting yang bernama asli I M ade Gepek memiliki pengaruh yang luas
karena ia dianggap orang sakti balian yang bisa membuat maupun
menyembuhkan penyakit. (wawancara dengan Pdt. Ketut Suyaga
Ayub, 25 November 2009)
Tsang To Hang diusir Belanda tahun 1933 namun saat itu ia
telah berhasil membaptis sekitar 260 orang Bali. Setelah itu, Bali
semakin terbuka dengan penginjilan dan puluhan badan misi terus
bekerja di Bali menambah pengikut dan jumlah gereja.
Dengan kesadaran baru, keberanian, dan fanatisme,orang Bali

yang baru menjadi Kristen mulai memberitakan Injil kepada tetangga
dan kawan sekampungnya dan kepada sanak keluarganya yang dekat
maupun yang jauh. Akibatnya tumbuhlah beberapa kelompok orang
Kristen (Buduk, Padang Tawang, Plambingan, Tuka, Untal-Untal,
Abianbase, Ulun Uma, dan Carangsari)10. Kelompok-kelompok orang
Kristen inilah yang nantinya melakukan perpindahan/migrasi ke
Blimbingsari, yang akan dijelaskan dibagian berikut.

9 W awancara di Blimbingsari, dengan Pdt. Ketut Suyaga Ayub, tanggal 24 Oktober
2009, pukul 09.00).
10 (I r. Chrisnawan Solaiman, CES, Field Notes, Catatan-catatan penting, surat-surat,
wawancara dari beberapa tokoh pelaku sejarah, dalam Ripe dkk, 2012).

58

Dari M ayoritas M enjadi Minoritas

Berawal Dari Kuburan
“Indik kuburan, sane keatur saking Budaya baline punika,
inggih punuka uli konsep Tri Hita Karana, terutama sane pawangon,
ngatur hidup manuse” (W awancara dengan sesepuh Blimbingsari, Ibu
W ayan Kari, 2009) yang artinya dalam budaya Bali, kuburan diatur
berdasarkan konsep Tri Hita Karana11, terutama items pawongan
(manusianya) yang mengatur hubungan antara manusia dengan
manusia. Setiap desa memiliki tanah setra12, yang diletakkan
berlawanan arah dengan letak gunung. Nalar atau keyakinan orang
Bali, bahwa gunung (kaja), adalah simbol kesucian, sedangkan laut
(kelod) simbol kotor (leteh). M asyarakat Bali-Hindu tidak akan mau
menerima Bali-Kristen, jika orang-orang Bali-Kristen tidak mau
mengikuti tradisi kaja-kelod ini. Karena itu mereka tidak bisa
sembarangan menggunakan tanah, sekalipun tanah milik sendiri
dijadikan kuburan. Di sisi lain, apabila ada orang yang meninggal dan
memerlukan penguburan pada pihak Bali-Kristen, satu-satunya jalan
adalah mereka (Bali-Kristen) harus menggunakan tanah kuburan
orang-orang Bali-Hindu untuk penguburan mayat orang Bali-Kristen.
Disinilah timbul ketegangan antara orang-orang Bali-Hindu dan orangorang Bali-Kristen karenaorang-orang Bali-Kristen mengunakan tanah
kuburan orang-orang Bali-Hindu. Orang-orang Bali-Kristen merasa
berhak menguburkan mayat, namun dari pihak orang-orang BaliHindu tidak memperbolehkan mereka karena sudah dianggap keluar
dari agama Hindu. Karena orang-orang Bali-Kristen dianggap sudah
tidak melaksanakan kewajibannya merawat keberadaan setra dan
segala keperluan upacara (piodalan), maka dengan sendirinya hak
tradisi mereka dianggap hilang. Dengan semakin banyaknya orang Bali
berpindah ke agama Kristen, semakin banyak pula orang yang
meninggalkan pelaksanaan adat dan agama Hindu. Di sinilah
ketegangan antara orang-orang Bali-Kristen dan Bali-Hindu tidak
dapat dielakkan lagi.
Tri Hita Karana artinya hubungan manusia yang harmonis dengan Tuhan, Manusia
dan Lingkungan.

11

12

Setra artinya tanah kuburan (dalam bahasa Bali).

59

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

Pertikaian orang Bali Hindu dan Bali Kristen bisa disimak dari
hasil wawancara dengan Ibu W ayan Kari 13. Petikan kalimat di bawah
ini mengandung makna yang dalam, mengekspresikan tekanan dan
penderitaan orang-orang Bali-Kristen, karena masalah kuburan.
Ketegangan karena masalah kesekaratan ini mengakibatkan orang BaliKristen harus bermigrasi ke Blimbingsari. “Anake Kristen mrasa ngelah
hak nganggo tanah punuka anggontanah kuburan, nanging Anake
Hindu punike ngorang Tusing dadi, ulian tusing buin megama Hindu
yang artinya “Kehidupan biasanya dimulai dari kelahiran, namun
Blimbingsari memulai kehidupan baru dari kesekaratan”
Adalah seorang pepimpin Tsang To Hang yang pertama kali
“bekerja“ dan bersemangat masuk ke desa-desa di sekitar Badung
mewartakan Injil. Tsang To Hang berhasil masuk ke Bali tahun 1931
setelah CM A berhasil mendapatkan surat ijin khusus untuk menginjil
orang-orang Tionghoa di Bali. M ereka telah menunggu bertahuntahun untuk mendapatkan surat ijin masuk ke Bali, tetapi karena ijin
itu tidak kunjung didapatkan, mereka menyiasati dengan meminta ijin
untuk penginjilan terbatas pada orang-orang Tionghoa dan Belanda
akhirnya mengabulkan permohonan itu. Dia bekerja keras dan
menolak semua budaya yang dianggap berbau kafir, penyembahan
berhala dan pembakaran mayat 14. Orang-orang Bali Kristen yang baru
percaya itu menghancurkan sanggah mereka (family temple).
Akibatnya terjadi ketegangan dan kekacauan di pemukiman orangorang Bali Kristen. Orang Kristen baru ini menjadi asing di desanya,
tidak mau ikut dalam suka duka, memakai celana pendek atau celana
panjang padahal orang Bali memakai kamben. Ketegangan bertambah
dan orang-orang Bali Kristen diasingkan. Orang Bali-Hindu tidak boleh
berbicara dengan orang Bali Kristen, tidak boleh berbelanja di warung
orang Kristen. Sawah orang Bali Kristen tidak boleh mendapat air
karena air sawah oleh orang Hindu dipercayai berasal dari Dewi Sri.
Sawah mereka menjadi kering. Rumah orang Bali Kristen dilempari,
gedung gereja dibakar, isi lumbung padi dijarah. Orang Bali Kristen
13

Wawancara tanggal 20 November 2009.

14

W awancara dengan Pdt. Suyaga Ayub, 25 November 2009

60

Dari M ayoritas M enjadi Minoritas

juga tidak diperbolehkan menguburkan mayat di kuburan desa, karena
dianggap najis (leteh). Orang-orang Bali Kristen yang baru ini
mengalami banyak kesulitan, tantangan, tekanan dan kesengsaraan15.
Ketegangan terjadi dimana-mana, seperti di Untal-untal, Buduk,
Abianbase, Plambingan, Sading, Carang Sari, Bongan, Buleleng.
Kekristenan tumbuh dari masyarakat bawah yang miskin, yang bekerja
sebagai penggarap. Tidak ubahnya seperti “budak” yang tidak memiliki
hak.
Pada tahun 1930-an orang-orang Bali-Kristen yang sudah
menerima Injil 16 merasa terlepas dari tradisi adat atau ikatan yang
selama ini mereka lakukan, seperti metajen (sabung ayam). M etajen
adalah suatu kegiatan sabung ayam yang dilakukan orang-orang BaliHindu dimana kegiatan tersebut menjadi satu hal yang wajib dilakukan
karena berkenaan dengan upacara tabuh rah (dalam agama Hindu
diartikan menumpahkan darah ayam yang disabung)17. Sabung ayam
itu masih dilakukan di semua desa di Bali saat ini. Namun, sabung
ayam kadang-kadang diselewengkan menjadi arena perjudian18.
Di samping itu juga orang-orang Bali-Kristen yang sudah
menerima Injil merasa terbebas dari segala beban. Beban yang
dimaksud berkenaan dengan upacara-upacara kegiatan keagamaan
yang menggunakan banten 19 dalam sembahyang umat Hindu.
Pembiayaan banten sangat tinggi, apalagi ada upacara-upacara besar
seperti manusa yadnya, melis, galungan dan kuningan dan banyak lagi
lainnya. Selain itu juga ada beban yang sangat besar ditanggung yaitu
W awancara dengan I Nyoman Sukartika, W awancara dilakukan di Legian, tanggal
10 November 2009.

15

16

Menerima Injil maksudnya (memiliki I man percaya kepada Tuhan Yesus).

17

W awancara dengan Pdt. I W ayan Sunarya, 20 November 2009

Biasanya warga tersebut main memakai uang yang dipertaruhkan, apabila ayam
jagoannya menang maka mereka akan menerima uang, dan jika kalah maka akan
kehilangan uang yang dipertaruhkannya. Sabung ayam ini menjadi sesuatu yang tidak
baik dalam pandangan orang-orang Bali Kristen, wawancara dengan I Nyoman
Sukartika, 10 November 2009.

18

Banten adalah sesaji yang dibuat dari daun kelapa yang masih muda, berisikan bunga
(sari).

19

61

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

dalam upacara ngaben 20. Ngaben adalah pembakaran mayat yang
dilakukan masyarakat Bali-Hindu sesuai kasta keluarganya dengan
membuat suatu lembu (terbuat dari kayu yang di dalamnya berisi
mayat/jenazah yang akan dibakar) atau sejenisnya setelah itu dibakar
dan abunya dibuang ke laut. Setelah menerima Injil dan melepas
kepercayaan lama menjadikan orang-orang Bali Kristen merasa ada
kebebasan dari tradisi-tradisi. M ereka memandang tidak perlu
menanggung beban yang banyak lagi dalam hal sembahyang cara
Hindu.
Namun kebebasan itu menjadi “malapetaka” karena apabila
sudah keluar dari agama Hindu dan desa adat berarti mereka sudah
tidak bisa menggunakan kuburan sebagai tempat menguburkan mayat
(jenasah) keluarga mereka. Dalam keyakinan Bali-Hindu, hanya ada
satu tanah kuburan dalam satu desa, tidak boleh ada dua.
Kekacauan dan ketegangan antara orang-orang Bali-Hindu dan
orang-orang Bali Kristen masih saja terjadi. Tekanan terhadap orang
Bali Kristen dialami oleh bapak Gusti Rata21 berikut petikan
wawancaranya:
“Kita orang-orang Bali Kristen yang percaya pada Yesus
Kristus disepekang (dijauhkan). Ada peraturan yang
menyebutkan pada waktu itu bahwa barang siapa yang
berbicara dengan orang-orang Bali-Kristen akan dikenai
denda oleh desa adat saat itu. Jumlah dendanya sangat
banyak yang tidak mungkin bisa dibayar oleh warga.
Sehingga nyame-nyame (saudara-saudara) saya yang masih
beragama Hindu sangat takut berbicara dengan orang-orang
Bali Kristen. Di samping itu juga, ada aturan bahwa orang
Bali Kristen tidak boleh berbelanja di pedagang yang
orangnya beragama Hindu yang ada di Desa Bongan.
Akhirnya kebutuhan-kebutuhannya, didapatkan dengan
berbelanja di pasar Bongan (di luar kampungnya). Berbelanja
20 Setelah penulis telusuri sejarah orang-orang Bali-Hindu menganggap 2 peristiwa
besar dalam agamanya adalah peristiwa Ngaben dan Potong gigi. I tulah sebabnya
Ngaben yang berkenaan dengan penguburan orang mati menjadi masalah yang besar
yang dianggap “leteh” jika mayat Bali Kristen bersama-sama dikuburkan di setra tanah
Bali-Hindu.

W awancara informan dengan penulis. Wawancara dilakukan di Blimbingsari,
tanggal 14 Oktober 2009, Pukul 09.30 wita

21

62

Dari M ayoritas M enjadi Minoritas

di pasar lebih memudahkan kita. Mereka tidak bisa melarang
kita belanja, karena mereka tidak tahu dan tidak mungkin
mengecek. Itulah strategi yang kami pakai, sehingga
kebutuhan kami saat itu bisa terpenuhi. Mereka yang BaliHindu sangat marah betul kepada kita karena kita berpindah
agama dan mereka hanya berani bersorak-sorak di antara
mereka, mengejek tetapi hanya di luar rumah. Kalau masuk
dan menyerbu ke rumah kami, mereka tidak berani.
Tekanan-tekanan yang lain juga kami lalui seperti sawah
kami tidak mendapatkan air untuk irigasi, sehingga
bagaimana kita bisa mendapatkan hasil padi yang baik dan
tumbuh dengan baik apabila tidak ada air, tekanan lainnya
tidak mendapat tanah kuburan seperti tersebut di atas.
Sebenarnya hubungan kami sangat baik dengan saudarasaudara saya yang beragama Hindu, namun karena adat yang
mengatur begitu, makanya mereka menjadi takut semua.
Suatu saat, malam-malam dengan diam-diam saudarasaudara saya datang ke rumah saya dan membawa beras
untuk membantu dan lain-lainnya yang kami butuhkan,
katanya: ”Ne kangwang bedik, apa je ade abe cang mai (ini
seadanya, apa saja yang ada saya bawakan ke sini), sambil
ngomong-ngomong”, tetapi jika ada orang yang melihat hal
itu pasti niatnya akan diurungkan (tidak jadi main ke
rumah), karena saking takutnya dengan awig-awig/aturan
adat yang mengatur tersebut ”

Ketegangan antara orang-orang Bali-Kristen dan Bali-Hindu
yang tidak dapat dihindari adalah seperti di bawah ini. Ada beberapa
kasus ketegangan seperti, peristiwa yang terjadi di Pelambingan,
Buduk, dimana tubuh manusia yang telah meninggal tidak boleh
dikuburkan, walaupun di tanahnya sendiri 22. Bahkan sampai tahun
1965 juga masih terjadi hal seperti itu, yaitu keluarga M ade Repeg
sebagai saksi yang lahir tahun 1915 dengan istri Ni Ketut Rapig lahir
tahun 1920, memiliki 12 anak 23. (2). Ada juga satu kasus yang sama
Pada saat itu yang menjadi Gubernur Bali adalah Bapak Sukarmen dari Malang,
dengan kasus tersebut, diantara mereka tidak ada jalan pemecahan, sehingga mayatnya
dibawa ke kantor Gubernur. Dalam pemecahan masalah itu Gubernur Bali tahun 1965
mengatakan bahwa tanah ini milik kita bersama bukan hanya milik sekelompok orang.
Dengan penjelasan tersebut pada akhirnya pemerintah memberikan tanah kuburan
bagi orang-orang Bali Kristen.
22

W awancara dengan Bapak W ayan Nyatrianta, di Blimbingsari, tanggal 21 Nopember
2009, pukul: 19.00)

23

63

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

tentang mayat yang sudah dikuburkan harus dibongkar kembali 24,
terjadi di Legian tahun 1966 pada keluarga Bapak W ayan Enteg25.
Ketegangan itu muncul dalam berbagai bentuk dan salah satu
yang paling menonjol terjadi dalam penguburan. Bagaimanapun orangorang Bali Kristen memerlukan tanah kuburan. Orang-orang BaliHindu tidak begitu saja dapat menerima keinginan itu, karena konsep
penguburan mereka sangat jauh berbeda dengan yang dilakukan orang
Bali-Kristen. Hal ini akhirnya menjadi salah satu faktor pemicu
terjadinya migrasi orang-orang Bali-Kristen ke Alas Cekik, Jembrana,
Negara.
Pada jaman kolonial Pemerintah Belanda tidak senang dengan
kekacauan seperti itu. Dilakukanlah upaya-upaya perdamaian antara
orang-orang Bali-Hindu dan orang-orang Bali-Kristen agar tidak terjadi
ketegangan. Namun upaya-upaya yang dilakukan Pemerintah Belanda
tidak menyentuh akar persoalan.

M igrasi M enuju ke Blimbingsari
Desa Blimbingsari, berlokasi di Kecamatan M elaya,
Kabupaten Jembrana, Bali. Sebelum tahun 1939 Jembrana terpilih
sebagai tempat pemukiman orang-orang Bali-Kristen, dan ini tidak
terlepas dari kebijakan Pemerintah Belanda tentang lokasi
pembuangan para pelanggar adat. Sesuai dengan paswara tahun 1910
(kemudian diubah tahun 1927), seorang laki-laki sudra yang
mengawini wanita dari kasta brahmana atau ksatria dianggap telah
melakukan pelanggaran adat yang disebut asumundung. Pada zaman
kerajaan, pelanggaran ini dikenai hukuman mati. Pemerintah HindiaBelanda kemudian menggantinya dengan hukuman pembuangan
(maselong) seumur hidup di Desa Parigi (Pulau Sulawesi), kemudian
Saat itu, Bapak Nyoman Sukartika yang berasal dari Legian melaporkan ke
pemerintah, dan pada akhirnya pemerintah memberikan tanah kuburan bagi orangorang Bali-Kristen di sebelah tanah kuburan orang-orang Bali-Hindu di Legian yang
sekarang beralamat di jalan Majapahit.

24

W awancara dengan Bapak Nyoman Sukartika (mantan majelis pertama di jemaat
GKPB Philadelphia Legian) di Legian, tanggal 17 Oktober 2009, pukul 10.00.

25

64

Dari M ayoritas M enjadi Minoritas

diubah menjadi pembuangan selama sepuluh tahun di Lombok atau
kepulauan lain diluar Bali. Sekitar tahun 1937 peraturan ini diubah,
pembuangan bisa dilakukan di Bali, umumnya ke Jembrana. W aktu
yang sepuluh tahun diubah menjadi tiga tahun, kemudian diubah lagi
menjadi satu tahun.
Selain itu sejak tahun 1935 Jembrana dijadikan daerah
transmigrasi, sebagai tindak lanjut dari kebijakan pengaturan
pemukiman yang disebut kolonisasi. Para transmigran diberi izin
membuka hutan di wilayah timur dan barat negara. Di wilayah timur,
ada tiga daerah, yang terletak di Distrik M endoyo, yakni Badingkayu,
Asah Duren (300 hektar), dan Nusa M ara. Di Badingkayu, para
transmigran dari Desa Lebih, Karangasem mulai membuka hutan seluas
120 hektar pada awal bulan Januari, yang ternyata cocok ditanami
padi. Sekitar bulan Juni 1936 mereka berhasil memanen padi pertama
kali. Pada akhir tahun 1938 dan awal 1939 mereka mulai menanam
kopi, kapuk dan jeruk. Sedangkan lahan di Nusa M ara diberikan
kepada para transmigran dari Nusa Penida. M ereka kebanyakan terdiri
dari para korban wabah penyakit desentri yang terjangkit tahun 1936.
Di Jembrana Barat, disediakan lahan di wilayah
Candikusuma, yang dikenal dengan nama Alas Cekik dan mulai dibuka
tahun 1937. Ada tiga lokasi yang disediakan untuk para transmigran,
yakni Blimbingsari, Palasari dan Nusasari. Pembukaan hutan
Blimbingsari mulai disosialisasikan tahun 1938, tetapi baru dapat
dilakukan akhir tahun 1939. Setelah Blimbingsari barulah beberapa
desa disebelah timur Blimbingsari dibuka untuk transmigran. Hutan
Palasari dengan luas areal 200 hektar dibuka pertengahan tahun 1940
oleh 18 orang kepala keluarga Bali-Kristen-Katolik. Karena luas lahan
tidak sebanding dengan jumlah para transmigran yang sedikit,
akhirnya masih tersisa tanah untuk sekitar 75 kepala keluarga.
Pemerintah Kolonial juga mengijinkan pembukaan hutan seluas 500
hektar (yang kemudian diberi nama Nusasari) bagi orang-orang dari
Nusa Penida. M ereka mulai merabas hutan pada bulan Oktober 1940,
dengan jumlah anggota 106 kepala keluarga. Dengan demikian

65

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

kedatangan orang orang Nusa Penida lebih lambat sekitar satu hingga
dua tahun daripada orang-orang Bali-Kristen Protestan di Blimbingsari.
Dari uraian di atas, tampak sekali kebijakan kolonisasi
Pemerintah Hindia-Belanda mengutamakan asas pemerataan kesejahteraan, artinya tidak hanya diberikan kepada orang-orang Bali-Hindu,
tetapi juga Bali-Kristen (Protestan dan Katolik). Pemerataan
kesejahteraan dapat juga dilihat dari pembagian tanah tegalan untuk
masing-masing transmigran yang luasnya kurang lebih dua hektar.
Selain itu, ada juga tunjangan yang diberikan pemerintah kolonial
untuk pembangunan bedeng-bedeng penampungan dan subsidi pangan
hingga musim panen, sebanyak 1.5 kaci beras untuk setiap hari,
ditambah garam, terasi, kacang dan kedelai.
Selain menggunakan asas pemerataan, Pemerintah Belanda
memperhitungkan juga faktor keamanan dan kenyamanan. Hal ini
dapat dilihat dari lokasi areal para transmigran yang disesuaikan
dengan kadar permasalahannya. Setiap kelompok transmigran
mempunyai latar belakang masalah sosial yang berbeda satu dengan
yang lainnya. Orang-orang Bali-Hindu yang dari Tabanan, Badung,
Gianyar, Klungkung dan Karangasem kebanyakan terbelit masalah
sosial ekonomi dan kesehatan. Tetapi masyarakat Bali-Kristen baik
yang Katolik maupun Protestan tidak saja menghadapi masalah
tersebut di atas, tetapi juga masalah sosial-budaya dan sosial politik,
terutama konflik dengan orang-orang Bali-Hindu di tempat asal
mereka masing-masing.
Sebagian besar masyarakat Bali-Kristen sudah dianggap
sebagai orang bermasalah, karena telah berani melawan otoritas desa
pekraman. M ereka memang tidak melakukan pelanggaran adat
perkawinan asumundung atau alangkahi karang ulu, yang
hukumannya berupa pembuangan, tetapi keberanian berpindah agama,
apalagi disertai dengan pembongkaran sanggah, sudah dianggap oleh
orang-orang Bali-Hindu sebagai bentuk pelanggaran adat, yang harus
mendapat hukuman.

66

Dari M ayoritas M enjadi Minoritas

Sesuai dengan perundangan pemerintah, hukuman yang
paling cocok bagi orang Bali yang berpindah agama adalah selong atau
dibuang ke Jembrana. Apabila pemerintah berani menjatuhkan
hukuman kepada orang orang ini, berarti rasa keadilan masyarakat
sudah terpenuhi, sehingga kekerasan fisik yang bersumber dari konflik
tersebut bisa dihilangkan. Berdasarkan pemikiran seperti itu, secara
hukum adat dapat dikatakan orang-orang Bali-Kristen telah dikenai
hukuman “maselong” ke Jembrana. Tetapi dalam pengertian formal,
mereka termasuk para transmigran yang datang ke Jembrana sesuai
dengan proyek kolonisasi pemerintah.
Pemerintah Belanda tentu sadar dengan pertimbangan
hukum adat seperti itu, tetapi mereka tidak gegabah menentukan
lokasi. Dipilihnya lokasi Alas Cekik, yang menurut hasil survey tim
medis tahun 1938 ternyata berpotensi rawan penyakit malaria, tentu
akan memberikan rasa puas bagi orang-orang Bali-Hindu yang anti
dengan penyebaran agama Kristen. Tetapi di sisi lain, pilihan ini justru
menyelamatkan mereka dari gangguan orang-orang Bali-Hindu.
Bahaya kematian yang ditimbulkan oleh konflik sosial jauh lebih tinggi
daripada bahaya penyakit malaria, karena saat itu sudah dikenal obat
Kina, sebagai penolak penyakit itu.
Kebijakan pemerintah kolonial dilandasi ketakutan akan
serbuan orang Bali-Hindu terhadap orang Bali-Kristen di tempat
tinggal yang baru. Berpikir seperti itu, Pemerintah Belanda tidak
memberikan orang Bali-kristen hutan yang kini menjadi wilayah
Nusasari, yang terletak tidak begitu jauh dari jalan raya yang
seharusnya lebih memungkinkan orang-orang tersebut mendapat lahan
ini dibandingkan dengan orang-orang dari Nusa Penida, karena
merekalah yang diberi kesempatan bertransmigrasi lebih awal. Akan
tetapi demi keselamatan dan memenuhi keinginan orang-orang BaliHindu, maka orang-orang Bali-Kristen akhirnya ditempatkan di hutan
yang letaknya jauh dari jalan raya, yang tidak saja relatif lebih sulit
ditempuh, tetapi cukup menakutkan.
Blimbingsari ini terletak di sebelah tenggara gunung
Kelatakan dengan ketinggian 698 meter dari permukaan laut. Topografi
67

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

atau keadaan permukaannya, dipenuhi pepohonan besar berdaun lebat
dan rimbun, disana-sini diselingi semak belukar. Di atas pepohonan
bergelayut kera-kera liar dan di bawah banyak satwa, seperti
menjangan, kijang dan babi. Di dekat gunung Kelatakan, masih ada
harimau dan binatang buas lainnya. Orang-orang Bali-Hindu
menyebutnya sebagai hutan paling angker, konon sudah beberapa kali
Pemerintah Belanda membawa para pembuka hutan, tetapi tidak ada
satupun yang kembali, semuanya mati. Ada yang mengatakan mereka
mati karena sarap macan, diterkam harimau, dimakan buaya dan
digigit nyamuk malaria. Mungkin orang-orang Kristen dibawa ke
tempat ini, dengan maksud supaya mereka mati seperti nasib para
pembuka hutan sebelumnya.
Harapan dan bayangan akan kematian ini, sepertinya tidak
mengada-ada. Ini tercermin dari kondisi kejiwaan saat keberangkatan.
Sebelum kedua bus Sapakira memberangkatkan ke 30 pendaftar
transmigran, tampak ada suasana duka pada wajah sanak saudara yang
ditinggalkan dan orang-orang yang bersimpati kepada mereka. M ereka
ditangisi seperti orang yang berangkat ke tiang gantungan, yang
sebentar lagi akan menghadapi kematian. M ereka dianggap tidak akan
pernah lagi kembali ke kampung masing-masing. Anggapan-anggapan
seperti itu adalah suatu hal yang wajar saat itu, karena hutan yang akan
dirabas oleh orang-orang Bali-Kristen, termasuk daerah yang tidak
tersentuh oleh manusia, paling-paling hanya dilalui oleh para juru
boros, para pemburu binatang. Letaknya di daerah M elaya, ke arah
utara, sekitar tujuh kilometer, melewati jalanan berlumpur dan penuh
dengan kubangan sedalam leher kerbau (I Nyoman W ijaya, 2003).
Ada perbedaan pandangan antara pemerintah kolonial dengan
Zending tentang penanganan orang Bali-Kristen. Pemerintah
memandang hal ini sebagai jalan yang paling baik untuk mengatasi
ketegangan-ketegangan, tetapi sebaliknya Gereja dan Zending
keberatan dengan pendapat ini. Kebijakan membentuk kampung
tersendiri bagi orang Kristen bertentangan dengan prinsip dasar yang
menjadi titik tolak pekerjaan Zending di Bali. Prinsipnya seseorang
menjadi Kristen, dia harus tetap di desanya dan identitas tetap sebagai
68

Dari M ayoritas M enjadi Minoritas

orang Bali. Sebab itu mereka bisa menjalani kehidupan yang layak di
desanya. Tetapi perpindahan ke Blimbingsari ada juga pertimbangan
lain yaitu kepentingan ekonomi, seperti kebutuhan akan lahan yang
bisa diolah dan digarap. Di Bali bagian tengah yang padat
penduduknya, terdapat orang-orang yang tidak memiliki tanah
garapan, di antara mereka terdapat juga orang-orang Kristen. M ereka
hanya bisa hidup dari sistem bagi hasil, yaitu menggarap sawah orang
lain, lalu membagi hasil garapannya.
Dari sudut pandang Pemerintah Belanda, kekacauan yang
muncul di desa-desa akibat Kekristenan dapat membawa malapetaka
yang lebih besar tahun 193926. Karena itulah Pemerintah Belanda
mempunyai keinginan untuk memindahkan orang Kristen. Keputusan
ini seperti pedang bermata dua, di satu pihak, upaya memindahkan
orang Kristen jauh dari masyarakat umum adalah memberhentikan
perkembangan agama Kristen, dipihak lain, kalaupun mereka hidup,
biarlah mereka hidup di tempat terasing.
Oleh karena pesatnya perkembangan ajaran Kristen maka
diadakan pertemuan antara pemuka Bali-Hindu dan orang BaliKristen. Pertemuan tersebut dilangsungkan tahun 1939 di Bale Banjar
Gede Abianbase yang dihadiri oleh Perbekel, Punggawa, Kontrolir dan
Asisten Residen. Jika benar Kontrolir dan Asisten Residen ikut hadir
dalam sebuah pertemuan di tingkat desa, berarti pokok persoalan yang
sedang dibahas sudah termasuk sangat penting. M enurut I Gede Dikit,
kelian adat Banjar Gede berkata, “kalau orang-orang Kristen tidak
dipindahkan, mungkin tidak lama lagi semua anggota banjar akan
masuk agama Kristen”.
Kuatnya daya tahan masyarakat Bali-Kristen, terlihat dari
dialog antara Punggawa dengan salah seorang Bali-Kristen, peserta
rapat yang berkisar pada keseriusan berpindah agama. “Apakah kalian
berani mati beragama Kristen?”. Orang-orang Bali Kristen dari desa
Untal-Untal, Buduk, Pelambingan, Padangtawang dan sebagainya yang
hadir dalam rapat tersebut serentak menjawab: “Berani”.
26

W awancara dengan Pdt. Ketut Suyaga Ayub, 26 November 2009
69

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

M endengar jawaban seperti itu, Asisten Residen Bali dan
Lombok mengajukan pertanyaan. Sang punggawa ingin mendapat
kepastian apakah ada unsur keterpaksaan atau hal itu datang dari diri
sendiri: Punggawa: “Pak, apakah memang betul-betul bersedia pindah
ke agama Kristen, bukankah sudah dari dulu kita beragama Hindu?”
Salah seorang Bali-Kristen: “Betul, Pak, karena saya tidak cocok
beragama Hindu,” jawabnya. Punggawa: “Kalau sudah sengsara begini,
bagaimana?” Si Kristen: “Biarpun sengsara, asalkan sudah menyembah
Hyang W idhi, Hyang Yesus, saya senang. Saya berani menanggung
sengsara asalkan sudah menyembahNya.”
Rapat menghasilkan keputusan, orang-orang Kristen harus
dipindahkan ke tengah hutan, yang paling angker di Bali, yaitu Alas
Cekik. Setelah rapat usai, asisten residen menyambut baik keberanian
dan tekad orang-orang Bali-Kristen, seraya berkata dirinya juga
beragama Kristen, dan menyarankan tidak perlu takut, karena agama
Kristen lebih kuat.
Pemerintah telah mengijinkan orang-orang Bali-Kristen baru
ini membuka perkampungan baru dan ditunjukkan di Bali Barat. Lalu
kira-kira bulan Agustus 1936 diutuslah beberapa orang untuk
menyelidiki tanah di Bali Barat. Pemimpin yang diutus pada waktu itu
adalah: Pekak Luh W artini (I M ade Sela), I Nyoman Regig dan M as
Renggo. M ereka berangkat ke Negara untuk menjumpai Kepala Distrik
di sana. M enginap semalam, besoknya mereka berangkat ke M elaya di
antar oleh Sedan Agung waktu itu Gst. Bagus W astra Utama. Di
M elaya rombongan disambut oleh Joyo Sentono (lurah M elaya)
kemudian menuju ke utara sajauh kurang lebih 6 km. masuk hutan
belantara dengan pohon-pohon yang sangat besar. Daerah ini terkenal
sangat angker dan banyak binatang buas. Rombongan menelusup
diantara kayu-kayu besar, kira-kira di sebelah utara rumah Bapak
Ketut Nambrig sekarang, tanah diperiksa dengan mencangkul.
Kemudian terus ke utara kira-kira di muka rumah M en W ayan Sudri,
tanah diperiksa lagi, ternyata tanahnya baik. Ke timur kira-kira di
muka rumah Pak Luh Ratna tanah diperiksa lagi, terus ke timur lagi
sampai kira-kira di tegalan Pan Luh Darpi tanah dicangkul lagi dan
70

Dari M ayoritas M enjadi Minoritas

ternyata juga baik. Rombongan lalu istirahat di Ceburan toye (nama
sebuah jembatan di sebelah timur desa sekarang). Nampaknya menurut
ketiga utusan tadi sangat cocok untuk membuka daerah ini untuk
perkampungan.
Hal ini jelas dari percakapan mereka ketika istirahat di
ceburan toye. Sedan Agung bertanya: “Kenken jani Bapak-bapak sube
merekse tanahe ene ape setuju teken tanahe ene?” Terjemahannya:
”Bagaimana sekarang bapak-bapak sudah melihat tanah tersebut,
apakah setuju atau tidak dengan tanah ini”? Pekak Luh W artini
menjawab: “Titiang lebih setuju, duaning asapunika titiang dot pisan”.
Terjemahannya: “ Saya setuju, karena saya ingin sekali”. Rombongan
lalu kembali.
Ketiga utusan ini kemudian melaporkan hasil penelitian
mereka kepada pemimpin-pemimpin Gereja di Denpasar. M elalui
persidangan Pasikian Kristen Bali yang diadakan di Desa Sading
diputuskan untuk membuka perkampungan di daerah Bali Barat.
Tetapi segera setelah itu keluarlah pengumuman dari Pemerintah yang
menyatakan bahwa hutan ini ditutup (tidak boleh dibuka untuk
perkampungan).
Pemerintah
mengajukan
untuk
membuka
perkampungan di Sekar Kecula di sebelah utara Yeh Embang). Pekak
Luh W artini dan kawan-kawan meninjau tanah tersebut dan menolak,
dan tetap berkeinginan membuka perkampungan di sebelah utara
M elaya.
Pada permulaan tahun 1939, Pekak Luh wartini mencoba lagi
mohon kepada Pemerintah agar hutan di sebelah utara M elaya boleh
dibuka. Permohonan pun dikabulkan. Kemudian oleh pemimpinpemimpin Gereja diutuslah beberapa orang untuk mencek tanah
tersebut sambil membawa surat dari Pemerintah Belanda di Denpasar
untuk Regent Negara. M ereka yang diutus para pemimpin itu adalah:
M ade Rungu, Nyoman Soken (Pekak Gede Susadia), Pan Nade, Pan
Riak.
Dengan persetujuan Regent Jembrana dan Sedan Agung,
orang Bali-Kristen baru ini diperkenankan membuka hutan yang telah
71

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

ditinjau oleh team. Untuk persiapan kedatangan orang Kristen dari
berbagai desa ke hutan ini, pemerintah telah menugaskan bogolan
untuk membangun sebuah barak di dekat tibuan buaya (nama sebuah
dam) yang sekarang disebut Dam Eka Santosa. Setelah melalui banyak
pembicaraan yang melelahkan mengenai tanah yang akan mereka
dapatkan, maka pada 30 November 1939 berangkat angkatan pertama,
belum bersama keluarga.
Sebelum berangkat ke pemukiman baru Alas Cekik, mereka
didoakan agar selamat dalam perjalanan, rombongan pelopor ini
berjumlah 30 orang. M ereka berkumpul di Abianbase, kemudian
berangkat menggunakan dua bus bernama Sapakira, milik seorang
pengusaha dari Jembrana. Kisah pembangunan desa Blimbingsari yang
melalui proses dan tindakan tansformasi sosial ini dimulai dari
perjuangan 30 orang dewasa untuk memulai kehidupan baru dengan
menaklukan kawasan yang masih hijau dan belum pernah dijamah dan
diolah manusia. Dari titik nol inilah, dalam pengertian belum ada
infraktsruktur yang menunjang, baik jalan, irigasi, atau bangunan
penunjang apa pun. M odal kelompok masyarakat ini adalah tekad
yang kuat untuk maju dan membangun kawasan baru, dengan nilai dan
semangat iman, mereka percaya bahwa Tuhan beserta mereka dan
memberikan rahmat dan berkat bagi mereka. M ereka tidak gentar dan
ragu, yang ada hanya jiwa untuk maju dan menaklukan alam,
menguasai dan mengolahnya bagi anak cucunya.

Proses M igrasi
Sebuah team kepemimpinan yang terdiri dari M ade Sela, M ade
Rungu, dan Nyoman Regig berangkat sebagai pemimpin rombongan
pembuangan ini 27. Pembuangan ke Alas Cekik yang sekarang bernama
Blimbingsari, bagi mereka orang Bali Kristen adalah sesuatu yang
menakutkan, mengerikan karena tidak jelas dan tidak tahu mau

W awancara di Blimbingsari, dengan Pdt. Ketut Suyaga Ayub, tanggal 24 Oktober
2009, pukul 09.00

27

72

Dari M ayoritas M enjadi Minoritas

dibuang ke mana. Hutan yang penuh dengan nyamuk malaria,
binatang buas seperti ular, harimau dan buaya28.
Blimbingsari, M elaya merupakan sebuah tanah yang diolah
pertama bagi para keluarga yang jumlahnya 30 orang sebagai perintis.
Ada pun nama 30 orang tersebut bisa dilihat dibawah. Nama-nama
perintis yang masuk ke Blimbingsari antara lain sebagai berikut (lihat
tabel 4.1):
Tabel 4.1 Daftar nama-nama perintis pertama yang masuk
ke Blimbingsari 29
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24

28

Nama
I Made Tjadug
I W ayan Ribet
I Nyoman Cangker
I Nyoman Sutji
I W ayan Redes
I W ayan Rebes
I Made Sela
I W ayan Regug
I W ayan Garus
I Made Lembut
I Nyoman Duduk
I Nyoman Legit
I Nyoman Tiyeb
I Nyoman Suda
I W ayan Dedet
I W ayan Gerenjit
I Nyoman Gusat
I Nyoman Djata
W ayan Rembon
I Ketut Kawit
I W ayan Tegeg
I Made Rentan
Pan Made Ranti
I Made Djirna

Alias
Pan Luh Sudarmi
Pan Yunus
Pan Noniah
Pan Simon
Pan Puspa
Pan Made Yahya
Pan Sapreg
Pan Sukraning
Pan Muriani
Pekak Darsa
Pan Luh Ratna
Pekak Sudibya
Pan Degir
Pekak Buleleng
Pan Renduh
Pekak Natan
Pan Lison
Pekak Panus
Pekak Kanah
Pan De Arid
Pan Puja
Pan Sari
Pekak Luh Siki
Pan Luh Marta

Daerah Asal
Desa Abianbase, Badung
Desa Pelambingan, Kuta-Badung
Desa Pelambingan, Kuta-Badung
Desa Pelambingan, Kuta-Badung
Desa Pelambingan, Kuta-Badung
Desa Pelambingan, Kuta-Badung
Br. Untal-untal, Dalung-Kuta
Br. Untal-untal, Dalung-Kuta
Br. Untal-untal, Dalung-Kuta
Br. Untal-untal, Dalung-Kuta
Br. Untal-untal, Dalung-Kuta
Br. Untal-untal, Dalung-Kuta
Br. Untal-untal, Dalung-Kuta
Desa Bubunan, Singaraja
Desa Carangsari, Denpasar
Desa Carangsari, Denpasar
Desa Carangsari, Denpasar
Desa Carangsari, Denpasar
Desa Carangsari, Denpasar
Desa Carangsari, Denpasar
Desa Carangsari, Denpasar
Desa Carangsari, Denpasar
Desa Sading, Denpasar
Desa Sading, Denpasar

W awancara dengan Pdt. Sunarya, 25 Oktober 2009

W awancara di Blimbingsari, dengan Pdt. Wayan Sunarya, tanggal 22 Oktober 2009,
pukul 10.00

29

73

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari
No. Nama
25
I Gede Rangkep
26
I W ayan Rika
27
I W ayan Siket
28
I Made Dug
29
I W ayan Keran
30
I W ayan Congker
Sumber: data Sekunder (Pdt
2012)

Alias
Pan Gendri
Pan Sandi
Ketut Suyaga Ayub,

Daerah Asal
Desa Sading, Denpasar
Desa Sading, Denpasar
Desa Sading, Denpasar
Desa Sading, Denpasar
Desa Buduk, Denpasar
Desa Tumbakbayuh, Denpasar
Blimbingsari, The Promise Land,

Sebuah perusahaan bus dengan nama Sapakira merupakan
kendaraan antar daerah swapraja Badung – Jembrana yang populer
pada 1930. Kendaraan ini juga yang mengangkut para perintis (orangorang Bali Kristen) pada tahun 1939 sebanyak 30 orang, tepatnya
tanggal 1 Juni 1939 yang berangkat dari bangsal Untal-Untal, Dalung
Gaji menuju M elaya, wilayah Bali Barat.30
Dari M elaya, rombongan perintis berjalan melewati Pangkung
Tanah untuk masuk Desa Blimbingsari. Dengan persetujuan Regent
Jembrana dan Sedan Agung, orang orang Bali-Kristen berhasil
membuka lahan baru. Untuk persiapan kedatangan orang-orang BaliKristen dari berbagai desa ke hutan ini, pemerintah telah menugaskan
bogolan untuk membangun sebuah barak di dekat tibuan buaya atau
sekarang disebut sebagai Dam Eka Santosa. Orang-orang Bali-Kristen
masuk dan menempati barak yang telah disiapkan. Ukuran barak nya
kira-kira 19x20 meter, yang menampung 30 orang perintis mula-mula.
Dari barak ini mereka memulai menerabas dan membakar pohonpohon dan tumbuh-tumbuhan yang tidak dipakai dan mencabut akarakar pohon. Perintis memulainya dari wilayah timur ke barat dan
terbentuk jalan-jalan yang bisa menghubungkan tegalan/ladang yang
satu dengan yang lainnya.
30 Pertama-tama memang ada 30 orang pertama yang membuka barak/jalan tanpa
keluarga, hanya yang pria atau kepala keluarga. Memang susah sekali karena alas itu
berlumpur dan jalannya berawa, pokoknya gelap. Setelah 3 bulan kemudian ada datang
lagi 85 orang untuk membantu menerabas sehingga lebih cepat. Masing-masing
keluarga mendapat tanah 2 ha perkebunan dan 20 are pekarangan. Sunarya, 2009.
“Lentera Di Tengah Hutan Mandurgama: Selayang Pandang Sejarah Blimbingsari”

74

Dari M ayoritas M enjadi Minoritas

Proses perpindahan digambarkan Pdt. W ayan Sunarya (2009),
sungguh sangat mengerikan. Saat perintis menerabas alas Cekik
pertama kali, hutan ini penuh dengan pohon-pohon besar, ada kera
yang bergelantungan di sana-sini, juga ada babi, rusa (kijang), harimau,
ular dan buaya serta banyak lagi yang lainya31. Orang Bali-Kristen yang
pertama kali datang ke Blimbingsari tidak langsung menetap,
melainkan mengadakan penjajakan, kemudian bermukim setelah
sarana dan prasarana pembukaan hutan terpenuhi. M ereka membuka
hutan menjadi tanah pemukiman di Blimbingsari.
Angkatan pertama yang membuka hutan tidur, memulai
pekerjaan dengan berdoa di waktu pagi dan mengakhiri pekerjaan
mereka di sore hari dengan ibadah, bersyukur dan bernyanyi lagu Bali.
Judul lagu tersebut ”Suryane sampun surup”.
Artinya bahwa
masyarakat Blimbingsari harus beristirahat dan memuliakan Tuhan
dalam pekerjaan satu hari yang telah diberikan tersebut. M ereka
membangun desa sesuai dengan budaya Bali yaitu nyegara gunung
berbentuk salib. Gunung di utara, laut di selatan. Jalan yang
menghubungkan satu rumah dengan rumah yang lainya ternyata
dibuat dengan formasi tiang salib. Desa di tengah hutan ini membuat
kaget orang yang terbang melintasi daerah ini, karena mereka melihat
jalan seperti salib besar di tengah hutan (lihat gambar 3.1). Dengan
berjalannya waktu, mereka terus bekerja dan berusaha membuka
lahan-lahan yang lainnya. Dengan semangat kerja keras yang tidak
kenal lelah akhirnya hutan-hutan yang tadinya gelap dan mengerikan,
menjadi lahan atau areal yang lapang dan menjadi tempat pemukiman
keluarga-keluarga yang belum memiliki rumah.
Pdt. W ayan Sunarya (2009) menyatakan bahwa “mereka
mengucap syukur karena sudah dapat merayakan hari Natal bersama
keluarga pada tahun 1939” 32 setelah mereka membuka lahan hutan
yang mengerikan tersebut. “len tusing je ade pak Pdt. M ade Rungu, ane
dados pemimpin ane nganggo etos megae, nilai spiritual totone, pasti i
31

W awancara dengan Pdt. W ayan Sunarya, di Blimbingsari November 2009.

32

W awancara dengan Pdt. W ayan Sunarya, di Blimbingsari Oktober 2009.

75

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

rage sukeh ngewangun desane to”, begitu ungkap Pdt. W ayan Sunarya,
2009. Artinya jikalau tidak ada bapak Pdt. M ade Rungu sebagai
pemimpin yang menggalang etos kerja dan nilai spiritual tersebut,
niscaya sulit membangun Desa Blimbingsari itu. M ereka bersukacita
menggarap lahan yang telah diberi oleh Pemerintah Belanda saat itu
dengan semangat kerja keras, dan saling bahu-membahu.

Kesimpulan
Pada bagian ini penulis menjelaskan bahwa peran
kepemimpinan sangat penting dalam proses migrasi dari desanya mulamula menuju Alas Cekik ini (Blimbingsari) dan mendorong dan
mengarahkan warga desa Blimbingsari, untuk bekerja keras dengan
menggalang nilai spiritualitas dan etos kerja untuk membangun
desanya. Pemimpin yang dimaksud adalah pemimpin desa I M ade Sela,
dan pemimpin Rohani Pdt. I M ade Rungu dan I M ade Tjaduk, sehingga
desa ini menjadi desa yang makmur. Disamping itu juga penulis
menjelaskan mengenai sejarah konversi agama sampai terbentuknya
desa baru, Blimbingsari. Yang didalamnya berisi tentang peran
kepemimpinan saat perpindahan dari Hindu ke Kristen, tekanan atau
penderitaan orang-orang Bali Kristen, perpindahan Bali-Kristen
menuju ke Blimbingsari, proses migrasi hingga tiba di Alas Cekik.
Penulis menjelaskan dinamika atau usaha-usaha penginjilan di
Pulai Bali dari tahun 1633, Ketegangan antar Bali-Hindu dan BaliKristen yang ditunjukkan melalui tanah pekuburan, sampai terjadinya
transmigrasi ke Alas Cekik oleh Pemerintah Belanda sebagai satu
alasan agar Bali tetap menjadi M useum Hidup.
Di samping itu juga, dalam bab ini dibahas juga mengenai
bagaimana proses migrasi dari desanya mula-mula menuju Alas Angker
ini (Blimbingsari).
Alas Cekik yang akhirnya berubah menjadi perkampungan
Bali-Kristen Protestan dengan menaklukkan alam yang tidak ramah
(malaria, ular, buaya dan harimau) yang di mulai dari penempatan
76

Dari M ayoritas M enjadi Minoritas

barak yang berlokasi dekat dengan dam Eka Santosa. M asyarakat
Blimbingsari yang mayoritas Kristen dan yang sudah melakukan
migrasi ke Jembrana berjuang dan mencoba mencari car