Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Esmaket: Peranan Esmaket Bagi Masyarakat Desa Mepa di Tinjau dari Perspektif Sosio-Teologis T2 752013010 BAB IV

BAB IV
ESMAKETDALAM PERSPEKTIF SAKRAL DAN PROFAN

A. Analisis Tentang Esmaket Pada Masyarakat Desa Mepa
Berdasarkan hasil penelitian pada bab III, diketahui bahwa agama Kristen
masuk di desa Mepa sekitar tahun 1842. Hal ini membuktikan bahwa pada saat
agama Kristen belum masuk ke desa Mepa, masyarakat Mepa masih berpegang
teguh pada adat istiadat atau agama asli atau kepercayaan asli. Pada saat itu
masyarakat masih mempercayai dan menyembah tete nene moyangatau leluhur
yang dianggap dapat menjadi pelindung bagi mereka.
Kehidupan masyarakat pada saat itu diatur oleh sejumlah aturan-aturan
yang disebut sebagai adat. Adat tersebut dihormati dan dijunjung tinggi oleh
masyarakat setempat, karena bentuk dan nilai-nilai yang dianggap sakral dan
berguna bagi masyarakat setempat. Seperti yang dikemukakan oleh E.B. Tylor
adat

atau

kebudayaan

adalah


kompleks

yang

mencakup

pengetahuan,

kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat isti-adat dan kemampuan-kemampuan
serta kebiasaan lain yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota komunitas. Di
dalam adat juga terdapat aturan-aturan yang telah digariskan serta diturunkan oleh
leluhur, demikian juga yang terjadi dalam kehidupan masyarakat desa Mepa.
Salah satu adat istiadat yang menonjol atau yang sangat disakralkan dalam adat
Mepa adalah Esmaket.
Kehidupan masyarakat Mepa juga tidak terlepas dari berbagai aktifitas
yang terbagi dalam dua ranah yaitu aktifitas dalam ranah profan dan ranah sakral.
72

Nilai-nilai dalam Esmaket merupakan nilai-nilai yang mengatur kehidupan

masyarakat Mepa dalam dua ranah tersebut. Dalam Esmaket terdapat banyak
bentuk dan nilai-nilai yang dianggap sakral. Bentuk-bentuk dan nilai-nilai ini
tercermin dalam perilaku yang dimiliki oleh masing-masing masyarakat baik
dalam bentuk adat istiadat, kepercayaan maupun sosial kemasyarakatan. Nilainilai Esmaket tersebut masih tetap utuh dan bertahan bahkan telah menjadi darah
daging dalam diri setiap individu.
Namun seiring dengan perkembangan zaman, tidak jarang orang
menganggap Esmaketsebagai penyembahan berhala karena mereka percaya akan
keberadaan roh-roh leluhur. Menurut informasi yang didapat dilapangan, apa
yang seringkali orang lain pahami tersebut merupakan pemahaman yang salah,
karena bagi masyarakat Mepa sendiri, tete nene moyang atau leluhur bukanlah
berhala melainkan mereka adalah yang memiliki kuasa yang tertinggi yang
mampu menjaga dan melindungi kehidupan manusia.
Esmaketsebagai

budaya

dan

kepercayaan


masyarakat

setempat

mengajarkan nilai-nilai yang sampai saat ini tertanam dalam sikap, tindakan
bahkan cara berpikir setiap individu. Oleh karena itu, tidak heran apabila nilainilai yang dipercaya masih tetap dijaga dan dipelihara serta dilakukan sampai saat
ini. Dikatakan pula bahwa Esmaketmerupakan ritual adat yang penting karena
didalamnya terdapat nilai, norma dan lain sebagainya yang benar-benar hidup dan
terlembagakan dalam adat sehingga terus berperan sebagai pembentuk maupun
turut membentuk perilaku masyarakat.Karena itu, masyarakat Mepa maupun
masyarakat Buru Selatan secara umum juga melihat Esmaketsebagai sebuah ritual

73

yang dipandang sebagai upaya untuk melestarikan dan menjaga budaya orang
Buru sendiri.
Kebudayaan masyarakat Buru merupakan kebudayaan yang berakar di
dalam agama, sehingga bisa dikatakan nilai-nilai Esmakettetap ada dan tertanam
dalam diri setiap individu. Hal ini didukung oleh fakta bahwa sebelum masuknya
agama Kristen di Buru Selatan, masyarakat Buru Selatan sudah memiliki

kepercayaan dan agama sendiri yang disebut agama asli atau kepercayaa asli
(agama suku) dibanding dengan agama atau kepercayaan resmi 1 karena ia
merupakan warisan tete nene moyangatau leluhur yang menumbuhkan rasa
tanggung jawab dan penghormatan yang tinggi dari setiap individu. Nilai-nilai
tersebut diterapkan dalam dua ranah yaitu ranah sakral dan ranah profan. Dengan
demikian nampak bahwa ritual Esmaketmerupakan bentuk usaha masyarakat
untuk mengatur hubungan antara Manusia dengan Tuhan,

manusia dengan

sesama bahkan manusia dengan alam. Ritual ini dilakukan masyarakat Mepa pada
dasarnya tertuju pada hal-hal yang sakral.
Dalam pemahaman Durkheim hal yang dikategorikan sakral diistilahkan
dengan “sesuatu yang spiritual” dimana ia tidak hanya terbatas pada sosok pribadi
tertentu melainkan mencakup juga apa yang terdapat di alam semesta. Oleh
karena itu satu-satunya hal yang dapat menghubungkan manusia dengan yang
spiritual itu hanyalah apa yang dilekatkan manusia padanya. Sesuatu yang
spiritual tadi adalah sesuatu yang berkesadaran dan kita dapat mempengaruhinya

1


Agama atau kepercayaan resmi yang disahkan oleh negara

74

sebagaimana kita dapat mempengaruhi kesadaran secara umum dengan
menggunkan

sarana-sarana

psikologi,berusaha

meyakinkan

dan

membangkitkannya dengan kata-kata dan simbol-simbol yang digunakan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa yang sakral diciptakan melalui ritual-ritual yang
mengubah kekuatan moral masyarakat kedalam simbol-simbol yang mengikat
para individu pada kelompok.Durkheim menyebutkan bahwa ikatan moral itu

menjadi ikatan kognitif karena kategori-kategori untuk pemahaman, seperti
klasifikasi, waktu, ruang, dan penyebab, juga berasal dari ritual-ritual.
Ritual Esmaketsebagai bentuk usaha masyarakat untuk mengekspresikan
rasa kagum dan hormat terhadap leluhur tentu saja melibatkan masyarakat secara
umum dalam pelaksanaannya.Bukan hanya itu saja melainkan dari pelaksanaan
Esmaketdan

pemahaman

masyarakat

tentang

hal

tersebut

Pada

Bab


sebelumnya,dianalisis maka ada nilai-nilai yang terkandung didalamnya dan dapat
berguna bagi masyarakat Mepa. Sistem nilai tersebut dipegang teguh oleh
masyarakat dan dijadikan pedoman untuk bertingkah laku.Nilai-nilai itu diajarkan
dan diwariskan pada generasi muda melalui proses belajar dari media yang dekat
dengannya agar selanjutnya dikembangkan dan dilestarikan sesuai dengan
perkembangan zaman.
Dalam tradisi Esmaketberkembang nilai-nilai yang hidup dan berkembang
dimasyarakat yang digunakan sebagai pedoman untuk kehidupan masyarakat
setempat. Nilai-nilai tersebut antara lain :
a. Nilai kekeluargaan dan kekerabatan

75

Kekeluargaan dan kekerabatan ini merupakan salah satu ciri khas
dari pelaksanaan Esmaket, karena nilai ini tercermin solidaritas diantara
masyarakat.Hal ini beralasan karena dalam pelaksanaan ritual adat
Esmaket tidak terlepas dari bantuan keluarga, matarumah maupun
masyarakat. Sebelum melakukan Esmaket, umumnya diadakan suatu
tradisi oleh masyarakat Mepa yaitu kumpul keluarga2, dimana kegiatan ini

bertujuan untuk mengumpulkan keluarga maupun masyarakat untuk saling
membantu dan menunjang proses acara tersebut. Usaha tolong menolong
ini dapat berupa uang maupun bahan yang siap pakai, hal ini
mencerminkan bahwa masyarakat mempunyai kesadaran bersama sebagai
suatu komunitas sehingga hubungan kekeluargaan ini terus terbina.
Selain itu dengan adanya rasa solidaritas yang tinggi sebagai
bagian dari masyarakat desa

Mepa menuntut adanya tanggung jawab

setiap individu untuk terlibat di dalam pelaksanaan upacara tersebut.
Sebagai bagian dari masyarakat setempat pelaksanaan ritual ini merupakan
cara untuk mengekspresikan rasa kekeluargaan dan wujud tanggung jawab
moral sebagai masyarakat Mepa.
b. Nilai persekutuan dan relasi antar masyarakat
Dalam pelaksanaan Esmaket.Ditampilkan nilai persekutuan dan
relasi untuk saling mengasihi.Relasi tersebut bukan hanya pada
pelaksanaan adat Esmaket, tetapi terus berlanjut dalam kehidupan setiap
hari, karena dalam pelaksanaan tersebut, semua orang disatukan dalam
2


Tradisi ini berlaku pada seluruh masyarakat Buru Selatan, ketika masyarakat hendak

melakukan salah satu pelaksanaan adat.

76

ikatan kekeluargaan dan memiliki tanggung jawab bersama untuk
membina hubungan tersebut.Akan tetapi, dalam realitas kehidupan
masyarakat, nilai ini tidak diterapkan dengan baik, karena itu ada
masyarakat yang hidup dalam perselisihan dam pertentangan yang tidak
mencerminkan persekutuan dan relasi untuk saling mengasihi.
c. Saling berbagi berkat
Sikap hidup saling berbagi berkat dalam kehidupan masyarakat
Mepa semakin berkembang.Hidup

saling berbagi berkat tidak hanya

dalam bentuk material saja, tetapi juga berada daya atau tenaga dan
pemikiran dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi. Kehidupan yang

saling

berbagi

berkat,

masih

sangat

kuat

bertumbuh

dalam

masyarakat.Hingga saat ini bagi masyarakat Mepa kesusahan seseorang
merupakan kesusahan bersama dan kebahagian seseorang merupakan
kebahagian bersama pula, dan hal ini harus dilestarikan pada setiap
generasi.

d. Makna hidup gotong royong
Semua pekerjaan dalam adat Esmaket dilaksanakan dalam bentuk
gotong royong seperti : masak bersama, membuat rumah pelantikan,
semua orang perempuan saling membantu untuk mempersiapkan semua
jenis makanan
Cara hidup gotong royong seperti ini telah membudaya dalam
hidup anak-anak negeri sehingga dalam segala bentuk pekerjaan baik
dalam keluarga, masyarakat maupun gereja masih mempergunakan cara

77

gotong royong. Hal ini merupakan suatu kebiasan yang baik dalam
kehidupan masyarakat desa Mepa.
Selain nilai-nilai yang terkandung dalam pelaksanaan Esmaket, ada
juga makna adat Esmaket bagi kehidupan mereka, yaitu :
e. Sikap saling Menghargai dan menghormati
Penghormatan yang tinggi dan keyakinan yang kuat akan adanya
keberadaan leluhur yang telah memberikan tradisi bagi mereka tetapi juga
leluhur sebagai yang diberi kewenangan untuk menjaga, memberi
ketenangan, ketentraman serta kedamaian di desa yang ditempati. Tidak
hanya itu leluhur merupakan orang yang dijadikan tempat untuk memohon
berkat dan pertolongan.
Menghargai

juga

merupakan

satu

sikap

menghormatiatau

mengindahkan orang lain, Sikap saling menghargai dalam kehidupan
masyarakat, biasanya lebih terlihat dalam tinggkah laku seharihari.Contohnya yang

muda menghargai dan menghormati yang tua.

Saling menghormati merupakan sikap yang didasarkan pada kesadaran
bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan dangan harkat dan martabat yang
sama. Dalam kaitan dengan pelaksanaan ritual Esmaket, sikap saling
menghargai ini sangat dibutuhkan, karena di dalam masyarakat perbedaan
itu pasti ada baik perbedaan usia, agama maupun kedudukan sosial. Maka
untuk kelancaran pelaksanaan Esmaketmasyarakat harus mempunyai
kesadaran untuk berbagi rasa dan bersatu menciptakan suasana yang
harmonis dengan meninggalkan adanya perbedaan diantara mereka.

78

f. Sikap tanggung jawab
Lancarnya pelaksanaan upacara Esmaket memerlukan kerjasama
yang baik antar warga masyarakat.Masing-masing warga mempunyai
tanggung jawab.Tanpa adanya tanggung jawab suatu kegiatan tidak pernah
mencapai tujuan yang baik. Nilai tanggung jawab mempengaruhi
kehidupan masyarakat karena bertanggung jawab menjadi dasar untuk
bertingkahlaku dalam masyarakat, baik sebagai individu maupun
komunitas.
Nilai-nilai Esmaketini tidak datang atau hadir secara mendadak, tetapi
melalui proses yang panjang. Dalam realitas kehidupana masyarakat Mepa, nilainilai Esmakettersebut sebagai suatu keyakinan yang teraktualisasi dalam sistem
budaya yang berperan untuk mengatur pergaulan hidup, noram-norma sosial, adat
istiadat, kebudayaan dan lainnya.

Semua yang berkaitan dengan nilai

Esmaketyang berperan dalam kehidupan masyarakat Mepa muncul berdasarkan
pengalaman hidup yang dijalani secara bersama.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa adanya suatu beban psikis
yang dirasakan oleh setiap individu yang kemudian mendorongnya untuk terlibat
dalam pelaksanaan Esmaket. Beban psikis tersebut muncul ketika mereka
meyakini adanya “kuasa tertinggi” yang menguasai kehidupan mereka.
Terdapat pula larangan-larangan yang harus dipatuhi seseorang yang
dipilih tersebut bahkan juga oleh masyarakat desa Mepa berhubungan dengan
Esmaket. Larangan-larangan tersebut juga disampaikan dalam rangka membangun
hubungan yang baik dengan sesuatu yang sakral. Jika larangan tersebut dilanggar,

79

maka mereka meyakini bahwa tete nene moyangatau leluhur sebagai orang yang
sakral akan marah dan mendatangkan hukuman bagi manusia yang melanggarnya.
Jadi larangan itu merupakan suatu upaya yang diciptakan oleh masyarakat, agar
setiap individu secara bersama-sama dapat masuk dalam kehidupan ranah sakral
dengan terlibat langsung dalam satu upacara. Pada saat individu terlibat dalam
upacara atau ritual, maka larangan yang dipatuhi akan mengikat setiap individu
dalam satu keyakinan yang sama yaitu bahwa hal-hal yang sakral harus diisolasi
dari hal yang profan.
Kehidupan diranah sakral akan membawa setiap individu melupakan
kesibukan mereka didunia profan dan untuk beberapa saat berkumpul guna
mengekspresikan rasa hormat dan kekaguman mereka terhadap hal-hal yang
sakral tersebut. Ketika mereka berkumpul dan ada dalam kebersamaa yang erat,
maka ada kekuatan religius dirasakan setiap indivudu dan mempengaruhi psikis
mereka, seperti yang dikatakan oleh Durkheim bahwa kekuatan religious tersebut
tidak lain melupakan kekuatan yang dibanding secara kolektif. Kekuatan kolektif
inilah yang menciptakan ide mengenai hal yang sakral dan mengusahakan agar
yang sakral tetap bertahan melalui pemujaan dan tidak tercemar oleh hal-hal yang
profan dengan cara membuat atau menciptakan larangan. Jadi segala sesuatu dapat
dikatakan sakral apabila ada suatu larangan yang berhubungan erat dengan yang
sakral tersebut, guna menjauhkan yang sakral dari yang profan.
Dengan adanya kekuatan moral yang tidak lain adalah kekuatan kolektif
itu sendiri, maka muncul respek yang besar dalam diri individu yaitu
penghormatan terhadap yang sakral dan masyarakat. Penghormatan terhadap hal80

hal yang bersifat sakral dan penghormatan terhadap masyarakatmerupakan suatu
bentuk kekuatan moral yang tidak yang tidak lain adalah kekuatan kolektif yang
disalurkan ke dalam diri setiap individu. Pemahaman seperti ini semakin
dipertegas ketika secara umum narasumber yang adalah masyarakat desa Mepa
berpendapat bahwa ketelibatan mereka dalam ritual Esmaketdikarenakan dua hal,
yaitu penghormatan dan keyakinan yang kuat akan keberadaan leluhur yang
menjaga kehidupan manusia. Kedua rasa penghormatan terhadap masyarakat yang
melaksanan ritual Esmaket.
Masyarakat adalah suatu kekuatan yang lebih besar daripada kita.
Iamelampaui kita, menuntut pengorbanan kita, menindas tendensi-tendensi egois
kita,dan memenuhi kita dengan energi. Bagi Durkheim, Masyarakat melaksanakan
kekuatan-kekuatan tersebut melalui representasi-representasi.Sehingga dapat
dikatakan Tuhan tidak lebih dari sekedar hasil pengejewantahan wujud Tuhan dan
simbolisasinya.3Oleh

karena

itu

masyarakat

adalah

sumber

dari

yang

sakral.Dengan demikian dapat dilihat bahwa Hubungan antara yang spiritual atau
yang sakral dalam masyarakat sangat erat kaitannya. Bagi Durkheim semua yang
berhubungan dengan masyarakat masuk ranah sakral
Ketika masyarakat Mepa telah melakukan pemujaan negatif seperti dalam
istilah Durkheim, maka setiap individu akan dihentarkan untuk masuk dalam
ranah kehidupan sakral. Objek-objek tertentu seperti siri pinang yang diletakan

3

Daniel Pals, Seven Theories Of Religion (Terj.). (Jogjakarta: IRCiSoD, Edisi baru Cet-2

2012), 159

81

dalam baskom merupakan objek yang memperoleh kekuatan kesakralannya,
dikarenakan adanya kepercayaan dari setiap individu, oleh karena untuk tetap
dipertahankan agar ia tetap memiliki kekuatan sakral.
Bertititolak dari pandangan tersebut maka ritual Esmaketwajib dilakukan
oleh masyarakat Mepa setiap ada pelantikan adat, Sebab ritus Esmaketini
berhubungan dengan masyarakat sehingga dalam ritus Esmaketatau upacara
pengangkatan seorang pemimpin masyarakat Mepa disakralkan.Samahalnya
dalam pemahaman Durkehim, memang ritus atau upacara dilakukan secara
periodik bukan hanya dalam rangka mewujudkan aksi nyata dari kepercayaan
mereka melainkan untuk tetap menghidupkan dan mempertahankan kepercayaan
tersebut,karena itu segala sesuatu yang dianggap sakral tidak akan hilang
kesakralannya.
Melihat kembali pemahaman Durkheim teorinya pada Bab II mengenai
pembagian kehidupan manusia menjadi dua ranah yaitu yang sakral dan profan,
maka kita dapat melihat bagaimana pengertian mengenai sesuatu yang sakral
menurut Durkehim dan sesuatu yang sakral menurut masyarakat Mepa. Bagi
Durkheim yang sakral berada dalam masyarakat sementara yang profan berada
dalam konteks individu.Hal-hal yang sakral itu selalu identik dengan dewi-dewi,
roh-roh, ritus-ritus, batu-batu, kau-kayu, mata air, pohon, dan sebagainya.Bagi
masyarakat Mepa nilai yang sakral disini terletak pada ritual Esmaket dan juga
benda-benda

atau

simbol-simbol

yang

digunakan

upacara

atau

ritus

Esmaket.Dengan demikian terdapat kesamaan Pemahaman terhadap yang sakral

82

menurut masyarakat Mepa dan Durkheim mengenai hal-hal yang sakral dan
profan.
Dalam ritus Esmaket, Benda-benda atau simbol-simbol yang digunakan
dalam ritus Esmaket juga memiliki nilai yang sakral dan yang profan. Yang
sakral nampak dalam gagasan bahwa bahwa ada kekuatan yang mendiami bendabenda atau simbol-simbol tersebut yang disakralkan, oleh karena itu benda atau
simbol yang disakralkan tersebut akan mendapat perhatian atau bahkan mendapat
pemujaan secara khusus. Selain itu, masyarakat Mepa menganggap bahwa apa
yang dianggap sakral ini berhubungan dengan bukan hanya simbol-simbol atau
benda-benda yang digunakan dalam ritual Esmaket melainkan juga perkataan
maupun tindakan dianggap sakral. Dengan demikian semua yang berhubungan
dengan masyarakat dianggap sakral.
Sementara itu, simbol atau benda yang digunakan dalam ritus Esmaket
juga memiliki nilai profan.Bagi masyarakat Mepa hal-hal yang dianggap profan
berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Hal ini dikarenakan adanya
penggunaan benda atau simbol dalam ranah sakral juga digunakan dalam ranah
profan, meskipun benda atau simbol tersebut di rawat dengan baik bukan berarti
memiliki nilai sakral, melainkan masyarakat Mepa tetap menganggap hal tersebut
sebagai hal yang profan, pemeliharaan serta penggunaan benda atau simbol
tersebut tidak berarti menaikan nilai dari ranah profan ke ranah sakral.
B. Kedudukan Leluhur Kehidupan Masyarakat Desa Mepa
Dalam ritual upacara adat biasanya disebut juga para leluhur seperti yang
sudah disebutkan pada Bab-bab sebelumnya, maka dapat dilihat bahwa dalam
83

kepercayaan masyarakat Mepa terhadap leluhur,

mereka menjalankan dan

mematuhi segala bentuk adat serta aturan-aturannya

yang berlaku dalam

kehidupan masyarakat, sebab hal tersebut merupakan tradisi yang diwarikan dari
tete nene moyangatau leluhur masyarakat Mepa.
Masyarakat Mepa dipercaya memiliki kemapuan kuatan-kekuatan spiritual
yang oleh karenannya mereka selalu tunduk dan menghormati leluhur mereka.
Kekuatan spiritual yang berasal dari tete nene moyangatau leluhur masyarakat
Buru yang tidak dapat dipelajari.

Kekuatan tersebut akan menurun secara

otomatis kepada keturunannya. Segala kemampuan spiritual maupun kekuatan
lain yang dimiliki oleh mereka semuanya berasal dari tete nene moyangatau
leluhur saat itu yakni Opolastalah. Apabila kemampuan yang sudah diberikan
tidak digunakan dengan baik atau untuk hal-hal yang negatif, hal itu akan menjadi
tanggung jawab pribadinya dalam melaksanakannya.4
Berdasarkan data dan teori yang dipakai dalam penelitian, maka leluhur
merupakan orang yang dianggap sakral, oleh karena itu, apapun yang
berhubungan dengan leluhur atau yang diamanatkan oleh leluhur tidak akan
pernah diabaikan oleh masyarakat desa Mepa. Hal inipula nampak dalam
pandangan Eliade dalam melihat yang sakral sebagai sesuatu yang supernatural,
luar biasa, amat penting, dan tidak mudah dilupakan.Di dalam Yang Sakral
mengandung kesempurnaan dan keteraturan, yang di dalamnya bersemayam roh,

4

Hal ini pernah terjadi pada salah satu pejabat pemerintah di desa mepa. Ia mengalami

kelalaian dalam menjalankan tugasnya. Menurut masyarakat ia di tegur oleh Opolahtasah dan tete
nene moyang

84

nenek moyang, tempat tinggal Dewa-Dewi dan Tuhan. Sementara,Yang Profan
adalah sesuatu yang biasa, bersifat keseharian, hal-hal yang dilakukan sehari-hari
secara teratur dan acak, dan sebenarnya tidak terlalu penting, bersifat mudah
hilang, terlupakan, dan tidak nyata. Di dalamnya, manusia selalu berbuat salah,
manusia selalu berubah, dan mengalami kekacauan.
Berbicara mengenai kedudukan tete nene moyangatau leluhur dalam
kehidupan masyarakat, hal yang tidak lepas pisah ialah kepercayaan masyarakat
kepada tete nene moyangyang mereka jumpai dalam kehidupan mereka, yang
memberikan sesuatu yang benar-benar luar biasa dasyat dan agung. Seperti yang
diungkapkan oleh bapak A. Solissa,5bahwa hidup masyarakat Mepa bahkan Buru
Selatan secara umum tidak bisa dilepas-pisahkan keberadaannya dengan leluhur
mereka. Masyarakat Buru Selatan memiliki pandangan bahwa kehidupan mereka
menyatu dengan tete nene moyangatau leluhur sebagai suatu persekutuan. Melalui
adat, penyatuan itu terjadi sebagai sebuah persekutuan. Sehingga penyatuan ini
mengarah kepada pemeliharaan adat yang telah dibentuk oleh para leluhur. Dalam
pendekatan ini, leluhur mendapat tempat yang penting dalam nilai kepercayaan,
bahkan para leluhur ini disembah dan dipuja sebagai bentuk penghayatan.
Olehnya dengan memelihara adat, masyarakat akan mendapat berkat, dan
sebaliknya yang melanggarnya akan mendapat kutukan, melalui bencana atau
penyakit, dan sebagainya.
Masyarakat

Mepa

percaya bahwa, kehidupan yang mereka jalani

sekarang ini tidak luput dari pemeliharaan dan pengawasan juga tete nene
5

Hasil wawancara dengan Bapak A. Solissa, tanggal 18 November 2014

85

moyangatau leluhur. Tete nene moyangatau leluhur diyakini sebagai orang yang
sudah mati raga, tetapi roh mereka tidak akan mati. Roh tete nene moyangberada
bersama anak cucu di dalam desa Mepa dan akan membantu jika anak-anak cucu
menghadapi kesakitan, melindungi dari bahaya yang mengancam keselamatan
negeri.
Pemujaan dan penghormatan terhadap roh tete nene moyang atau roh para
leluhur sebagaimana yang dilakukan oleh suku Arunta, samahalnya dengan yang
dilakukan oleh masyarakat Mepa. Alasannya, tete nene moyang atau leluhur telah
memberikan atau warisan yang mampu mengatur kehidupan bersama sebagai
suatu komunitas masyarakat adat.
Tete nene moyangatau leluhur dalam pandangan masyarakat BuruSelatan
tidak saja dilihat sebagai bagian dari persekutuan hidup dalam kosmologi, namun
lebih jauh telah membentuk sistem kepercayaan masyarakat. Pemujaan terhadap
leluhur adalah fakta yang tidak bisa dilepaspisahkan dalam kehidupan masyarakat
Buru. Karena itu, sistem adat dirancang untuk memastikan dan mengikat manusia
bahwa pengaruhnya negatif atau positif.
Masyarakat desa Mepa memiliki keyakinan akan adanya hal-hal yang
memberikan arti bagi kehidupan mereka. Dalam alam pemikiran mereka bahwa
leluhur dapat mengabulkan permohonan mereka sehingga perlakuan terhadap
leluhur mendapat posisi yang tinggi. Selain memohon kepada Tuhan Allah
(Opolahtalah ) juga leluhur disebutkan. Oleh karena itu leluhur dianggap sakral
oleh masyarakat desa Mepa. Sama seperti yang dikatakan oleh Eliade bahwa
yang sakral itu bukan hanya merujuk pada Tuhan yang personal melainkan ide
86

mengenai yang sakral tersebut sangant luas. Yang sakral tersebut bisa berarti
kekuatan-kekuatan dewa-dewi, arwah para leluhur, serta jiwa-jiwa abadi.
Kepercayaan dan rasa hormat kepada leluhur sebagai yang menempati posisi
tertinggi dari hal-hal yang dianggap sakral. Melalui perjumpaan kepercayaan dan
rasa hormat kepada leluhur, sehingga

masyarakat Mepa dalam keseharian

hidupnya, tidak terlepas dari apa yang dianggap pantas untuk dilakukan dan
menempatkan hal-hal yang sakral sebagai sumber moral. Tampak jelas bahwa
yang sakral diketahui oleh manusia karena ia memanifestasikan dirinya secara
berbeda dari dunia profan.
Masyarakat

mengatakan

bahwa tete nene

moyang

atau

leluhur

masyarakatMepabahkan masyarakat Buru Selatan secara keseluruhan memiliki
peranan yaitu dapat melindungi bahkan juga dapat menghukum anak cucunya.
Gambaran di atas sebetulnya memperlihatkan bahwa konsep leluhur pada Mepa
adalah suatu konsep yang berusaha membina dan menjaga hubungan secara terus
menerus dan teratur antara manusia yang masih hidup, para leluhur dan
lingkungan hidupnya.Terpeliharanya tete nene moyang akan berdampak langsung
pada terpeliharanya lingkungan alam maupun sosialnya. Dalam hubungan ini
Cooley mangatakan bahwa masyarakat Maluku merupakan persekutuan yang
terdiri dari orang-orang hidup dan juga orang mati. Dikatakan demikian karena
melalui adat, orang-orang yang masih hidup dan arwah para leluhur dipersatukan.
Penyatuan ini didasarkan pada kepentingan menjaga adat. Para leluhur adalah
orang-orang yang telah menciptakan adat dan manusia yang masih hidup sekarang

87

adalah pelaksana adat. Mereka yang memenuhi tuntutan adat akan berhasil,
sedangkan yang tidak peduli akan tertimpa kesulitan.6
Kuatnya ikatan hubungan masyarakat Mepa yang masih hidup dengan
leluhur mereka dengan serta merta menimbulkan sistem kepercayaan yang
sebetulnya bertumpuh pada kenyataan kosmologi yang dimaksud. Oleh karenanya
dalam mengerti masyarakat Mepa maupun Maluku secara umum, kita tidak bisa
melepaskannya dari bentukan budaya. Dalam totalitas kebudayaan yang terus
berkembang itu, sistem kepercayaan juga dimengerti sebagai hasil kegiatan dan
penciptaan batin atau akal budi manusia, disamping ritual adat istiadat
Melihat kembali pandangan Mircea Eliade

dalam teorinya pada bab

sebelumnya, ia melihat realitas perjumpaan yang sakral ini memberikan perasaan
yang nyata, agung, tinggi, dan menakjubkan. Perasaan ini tidak sama dengan
perasaan-perasaan lainnya yang bersifat duniawi. Pengalaman tentang yang sakral
terjadi apabila orang menjumpai sesuatu yang benar-benar luar biasa dan dasyat,
terpikat oleh suatu yang sama sekali lain, sesuatu yang misterius, menawan,
berkuasa dan indah, sesuatu yang menakutkan tetapi sekaligus menawan. Ketika
manusia mengalami pengalaman yang sakral itu, manusia selalu menyadari bahwa
dirinya bukan apa-apa. Dalam pengalaman yang mengesankan dan menggetarkan
ini, terletak emosional dari semua manusia yang kita sebut agama. perhatian
agama adalah terhadap yang supernatural, yang jelas dan sederhana yang berpusat
pada yang sakral.

6

F. L. Cooley, Mimbar dan Takhta , Hubungan Lembaga-Lembaga Keagamaan dan
Pemerintahan di Maluku Tengah. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987), 109

88

Dengan demikian dalam interaksi kehidupan masyarakat Mepa maupun
masyarakat Buru Selatan pada umunya, mereka selalu mengedepankan perasaan
damai. Prinsip mereka adalah selama berbuat baik, mereka pasti akan mendapat
yang baik atau tidak terjadi apa-apa. Kalau semuanya itu dilakukan dengan baik
pasti kehidupan selalu damai. Sebaliknya kalau kita melanggar aturan yang sudah
ada atau melanggar itu semua maka kehidupan kita akan sengsara. 7Dengan
bertititolak dari pandangan Eliade yang melihat yang sakral sebagai sesuatu yang
tertinggi dalam hal ini Tuhan atau dewa-dewi (dunia roh), maka dalam
pelaksanaan ritus Esmaket, yang ditempatkan sebagai Yang Sakral itu ialah Tuhan
Allah dan leluhur.
C. Analisis nilai Sosio-Teologis dan makna kepemimpinan dalam Ritus
Esmaket padaMasyarakat Mepa
Dalam pandangan masyarakat Mepa ritual Esmaket yang dilakukan
mampu mengikat kehidupan keluarga maupun kehidupan masyarakat. Apabila
Esmaket yang sudah dilakukan tersebut ditepati baik sebagai individu, keompok
maupun masyarakat, maka akan ada keberhasilan bersama baik dalam keluarga
maupun keberhasilan dalam masyarakat dan negeri akan tercipta suasana yang
nyaman. Seperti dalam pemahaman Durkehim yang menghubungkan ritus dengan
kesadaran kolektif

bahwa kesadaran kolektif itu merupakan kebutuhan asasi

dalam diri setiap manusia sehingga perlu diaktifkan kembali dengan upacarauparaca religious yang dianggap sakral. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
ritual Esmaket dilakukan untuk mempersatukan individu dalam kegiatan bersama

7

Wawancara dengan bapak J. Lesnussa, tanggal 20 November 2014

89

dan satu tujuan bersama dengan memperkuat kepercayaan, perasaan dan
komitmen moral terhadap kehidupan kelompok. Tampak jelas bahwa lingkungan
sosial telah membentuk mata rantai yang sangat penting dalam siklus kehidupan
mereka sebagai orang satu asal yang menyatuh untuk saling menjaga, melindungi
yang satu terhadap yang lain dan telah berlangsung ratusan tahun.
Kekuatan moral yang dimiliki oleh manusia mendorong setiap individu
untuk meyakini, dan menghormati baik kepada hal yang sakral tetapi juga kepada
masyarakat. Hal ini menuntut adanya keterlibatan setiap individu dalam setiap
kegiatan yang dibentuk dan dilakukan oleh masyarakat dalam hubungan dengan
yang sakral tersebut. Keterlibatan mereka dalam ritus Esmaketmerupakan bagian
dari ekspresi atas penyertaan leluhur dan penghormatan terhadap adat masyarakat
Mepa.
Berdasarkan pendapat dari beberapa informasi, dapat disimpulkan bahwa
Esmaketberfungsi sebagai sebuah Ritual dalam masyarkat.

Menurut saya

Esmaketberfungsi sebagai ritual. Esmaketmerupakan bagian dari ritus pelantikan
adat pada masyarakat Mepa maupun Buru Selatan secara umum. Ritus
Esmaketsecara tidak langsung mengajak setiap individu yang memiliki keyakinan
yang sama untuk berkomunikasi dengan hal-hal yang dianggap sakral.
1. Nilai Sosiologis
Keterlibatan
menekankan fungsi

masyarakat

secara

sosiologis. Nilai

umum

dalam

ritus

Esmaketjuga

sosiologis ritus Esmaketberkaitan erat

dengan adat atau kebudayaan sebagai hasil bentukan masyarakat Mepa maupun

90

Buru Selatan. Oleh karena itu setiap individu memiliki tanggung jawab untuk
tetap melaksanakan guna mempertahankan adat atau kebudayaan yang sudah dan
berlangsung selama bertahun-tahun.
Ritus Esmaketyang diciptakan oleh masyarakat dan menjadi bagian dari
budaya, tidak diciptakan begitu saja tanpa memiliki tujuan dan makna tertentu
dalam kehidupan masyarakat Mepa. Secara umum ritus Esmaketdipahami sebagai
sebagai ritus yang mengekspresikan adanya hubungan kekelurgaan, kekerabatan
bahkan persekutan yang terjalin erat dalam masyarakat Mepa sebagai satu
komunitas dan sebagai salah satu cara melestarikan adat-istiadat masyarakat
Mepa. Pemahaman ini kemudian menjadi pemahaman yang tertanam dalam diri
setiap individu dan mendorong mereka untuk ikut terlibat dalam pelaksaan ritus
Esmaket tersebut. Ketika setiap individu memiliki pemahaman yang sama
terhadap ritus Esmaket, maka mereka didorong oleh suatu perasaan atau emosi
yang sama, maka mereka akan melibatkan diri dalam ritus Esmaket dan disitulah
mereka diikatkan oleh suatu kebersamaan sebagai bagian dari masyarakat Mepa
tanpa melihat perbedaan status sosial. Di sinilah terlihat bentuk kekerabatan yang
erat di antara individu yang satu dengan yang lainnya dimana melalui ritus
Esmaket mereka boleh mengekspresikan kekerabatan dan kebersamaan serta
penghargaan terhadap ritus Esmaket sebagai kebudayaan masyarakat desa Mepa.
Melalui pemahaman yang sama terhadap ritus Esmaketdan melalui
kesatuan perasaan sebagai bagian dari masyarakat Mepa, maka keterlibatan setiap
individu dalam ritus Esmakettidak membedakan status sosial.

Keterlibatan

tersebut didorong oleh kekuatan moral yang mempengaruhi psikis setiap individu.
91

Kekuatan moral tidak lain adalah kekuatan kolektif yang menuntut setiap individu
untuk tunduk di bawah kekuatan tersebut. Secara emosional, masyarakat yang ikut
dalam pelaksanaan ritus Esmaketsaling terlibat dalam suasana kekeluargaan.
Ketika setiap individu berkumpul dalam satu upacara dan telibat dalam ritus
Esmaketmaka secara emosi mereka akan diikat dengan perasaan yang sama dan
akan menciptakan hubungan yang erat antar setiap individu. Hal ini di sebabkan
karena ritus Esmakettidak hanya menciptakan suatu kebersamaan tetapi juga
adanya harmonisasi dimana setiap individu mengesampingkan berbagai macam
permasalahan yang pernah terjadi antar individu demi terciptanya kebersamaan
dan kelancaran pelaksanaan ritus Esmaket. Dengan demikian secara sosiologi
ritus Esmaketmemiliki nilai kekerabatan

atau sebagai alat pemersatu dari

masyarakat desa Mepa itu sendiri.
Hal yang samapula diungkapkan oleh Emile Durkheim dalam teorinya
mengenai agama. Ia memaparkan bahwa

agama merupakan representasi

masyarakat yang bersifat kolektif. Dasar pemikiran Durkheim ini dijelaskan
dengan apa yang dia sebut dengan fakta sosial. Fakta sosial merupakan gejala
yang berada di luar individu dan memiliki kekuatan memaksa individu untuk
tunduk di bawahnya, artinya bahwa fakta sosial akan berlaku umum

bagi

masyarakat dan bukan mencerminkan satu keinginan individu.
Dengan demikian ritus Esmaket yang merupakan bagian dari ritual adat
mampu mempererat hubungan persekutuan tetapi juga mampu melahirkan
solidaritas yang kuat diantara sesamanya, sehingga dengan adanya kepercayaan
dan emosi yang sama, setiap orang akan berkumpul dan hubungan antar mereka
92

semakin dipererat. Solidaritas dapat dipikirkan sebagai suatu persekutuan yang
berbeda-beda untuk saling membantu.8Pendapat ini dimaksudkan bahwa sikap
solidaritas yang dibangun mencerminkan suatu persekutuan, karena melibatkan
komponen orang banyak atau masyarakat untuk saling membantu.Sikap
masyarakat ini merupakan bagian dari fungsi mereka sebagai makhluk sosial.
Oleh karena itu ritus Esmaket dapat berfungsi sosiologis, inilah hal yang juga
dipaparkan oleh Durkheim dalam teorinya mengenai agama.
2. Nilai Teologis
Ritus Esmakettidak hanya di lihat dari pandangan sosiologis tetapi juga
dari pandangan teologis yang membantu penulis dalam memahami pandangan
jemaat tentang adat ini.
Esmaketsebagai bagian dalam proses ritual pelantikan adat tentunya
memiliki ketertarikan atau hubungan yang erat dengan tujuan dari pelaksanaan
Esmaket. Esmaketmerupakan suatu wujud tindakan nyata dari keyakinan
masyarakat Mepa terhadap keberadaan leluhur. Oleh karena itu setiap proses
dalam

pelaksanaan

Esmaketdipercayaai

sebagai

proses

yang membantu

masyarakat untuk berhubungan dengan leluhur. Sebagai bagian dari proses ritual
adat maka Esmaketmemiliki nilaiteologis karena Esmaketjuga berhubungan
dengan keyakinan masyarakat terhadap hal-hal yang sakral atau leluhur.
Nilai teologis dari Esmaketharus dilihat pada fungsinya dalam ritual.
Ketika Esmaketberfungsi sebagai ritual, maka ia bertujuan membangun
8

Sobrino Jhon, Teologi Solidaritas. (Jakarta: PT. Kanisius, 1989), 15

93

komunikasi dengan hal-hal yang dianggap sakral oleh masyarakat Mepa.
Esmaketmampu membangun hubungan yang harmonis antara manusia dengan
Tuhan bahkan juga leluhur. Sebagai orang yang percaya kepada Tuhan dan juga
leluhur, maka melalui ritual Esmaketmereka membangun kepercayaan bahwa
Tuhan dan leluhur yang penuh kuasa akan mendengarkan permohonan telah
disampaikan oleh mereka. Melalui ritus tersebut masyarakat membangun
kepercayaan bahwa leluhur akan mendengar dan menjawab permohonan mereka.
Kepercayaan terhadap leluhur bukan hanya dalam bentuk ritual, tetapi juga dalam
bentuk pandangan hidup, dalam arti bahwa ketika masyarakat menjalani
kehidupannya di ranah sakral dengan baik yaitu melaksanakan amanat dan
mematuhi berbagai peraturan yang sudah diberikan, maka mereka meyakini
bahwa Tuhan dan leluhur akan menjaga, memberi ketentraman dan kebaikan,
dalam kehidupan mereka di ranah profan.
Tampak jelas bahwa didalam pelaksanaan Esmaket, ada unsur keagamaan
(agama Kristen), karena selain masyarakat melakukan tradisi, mereka juga
mengucap syukur kepada Tuhan atas anugerah berkat yang diberikan kepada
invidu, keluarga bahkan komunitas. Bentuk syukur ini dilakukan dalam bentuk
doa dan juga makan bersama, sehingga ada nilai religius yang ditampilkan dalam
pelaksanaan ritus Esmaketyaitu disatu sisi, merupakan rasa ungkapan syukur
kepada Tuhan dan di sisi lain ada peran leluhur tetapi juga peran dari Tuhan. Hal
ini dipertegaskan lagi sebab jauh sebelum masuknya agama Kristen di Buru
Selatan masyarakat Mepa bahkan masyarakat Buru secara umum telah memiliki
sistem kepercayaan (apa yang disebut sebagai agama). Bahkan untuk memberikan

94

nama kepada “kekuatan tertinggi” yang mengendalikan hidup mereka pun,
terungkap dalam ungkapan-ungkapan yang bertolak dari identitas budaya yakni
Opolahtalah. Setelah masuknya agama Kristen maka terjadilah proses
transformasi agama suku yaitu posisi leluhur tertinggi (Opolahtalah ) diganti
dengan Tuhan Allah orang kristen, sementara leluhur-leluhur dibawah Tuhan
Allah orang Kristen.
Dengan demikian Tuhan Allah dalam perspektif orang Kristen,
mempunyai posisi sebagai “kuasa atau kekuatan tertinggi” pertama dan tete nene
moyang mempunyai posisi sebagai “kuasa atau kekuatan tertinggi” kedua. Ini
bukan berarti tete nene moyang merupakan perantara antara manusia dan Tuhan,
sebab keberadaan keduanya adalah mutlak dan tidak dapat dihilangkan.
Secara sosiologis maupun teologis, keduanya memilki keterkaitan yang
erat. Secara sosiologis, masyarakat Mepa menjalani kehidupan sosialnya dalam
dua identitas, yakni sebagai jemaat dan sebagai anak negeri. Sedangkan secara
teologi, mereka hidup dalam dialektika ideologis-teologis anatar injil dan adat
tanpa mengeliminasi salah satunya.
Makna ritus Esmaketyang diungkapkan oleh masyarakat Mepa adalah
suatu budaya yang diwariskan oleh para leluhur yang harus dijaga dan dilestarikan
oleh masyarakat desa Mepa, karena ritus ini merupakan ritus yang sakral, yang
didalamnya mengandung sumpah atau janji dan nilai-nilai teologis yang harus
dijalankan baik oleh invidu maupun komunitas masyarakat sebagai bagian dari

95

masyarakat desa Mepa dan merupakan ikatan antara Tuhan dan manusia tetapi
juga ikatan dengan para leluhur.
Sikap mengandalkan adat saja akan dianggap berdosa; sementara dari sisi
ada percaya kepada Tuhan dan meninggalkan tete nene moyangakan dianggap
sebagai tidak tahu adat atau tidak menghormati orang tatua. Masing-masing
mengandung konsekuensi yang berat, karena keduanya diterima sebagai bagian
integral dari dinamika kehidupan berjemaat.Ketaatan masyarakat terhadap adat
Esmaketmerupakan sikap beradab. Apa yang dilakukan masyarakat dalam ritus
Esmaketmerupakan sikap saling menghargai apa yang telah menjadi tradisi,
karena adat itu muncul dari perbuatan yang bersama diulang. Perbuatan yang
diulang tersebut karena pertamakalinya menjalankan perbuatan tersebut mereka
menemukan bahwa perbuatan tersebut menyenangkan atau berguna dan mereka
menghendaki hal tersebut kembali.
Terkadang sebagian orang mengklaim bahwa pelaksanaan ritus Esmaket
bertentangan dengan kehidupan masyarakat, mengingat bahwa masyarakat Mepa
telah beralih 100% memeluk agama Kristen. Jika demikian, maka pada awalnya,
para penginjil yang menyebarkan agama (injil) menilai bahwa Esmaket
bertentangan dengan kekristenan, maka harus ditinggalkan, namun sampai
sekarang ini ritus tersebut tetap dihargai dan dilaksanakan meskipun masyarakat
sudah beralih memeluk agama Kristen. Kita tahu bahwa setiap agama berasal dan
dibungkus oleh budaya tertentu, termasuk kekristenan. Tentunya ketika
diwartakan, kekristenan mau tidak mau harus bertemu dengan agama suku atau
kepercayaan asli. Agar kekristenan dapat diterima dengan baik, maka ia juga
96

harus memperhatikan konteks dimana ia hadir. Itu berarti, budaya, kosmologi,
agama asli (kepercayaan asli) setempat, stuktur sosial masyarakatnya yang telah
berakar

dalam kehidupan masyarakat tidak dapat diabaikan begitu saja.

Karenanya dibutuhkan suatu upaya konstekstualisasi.
Inilah yang merupakan

tugas dan tanggung jawab gereja terhadap

masyarakat Mepa yang melaksanakan ritus Esmakettersebut. Gereja sebagai
bagian dari masyarakat Mepa

memiliki tugas dan tanggung jawab dalam

memahami dan memaknai ritus Esmaketitu sendiri. Dalam hal ini bahwa gereja
menerima ritus Esmaketini untuk tetap dipertahankan dan dilestarikan oleh
masyarakat Mepa sebagai masyarakat adat yang adalah warga jemaat sendiri.
Gereja juga ikut serta dalam pelaksanaan ritus Esmaket. Karena bagi gereja
budaya itu dianggap baik dan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia
salah satunya adalah budaya dapat mengatur kehidupan manusia menurut norma
atau aturan yang berlaku, sehingga hal ini akan membimbing seseorang kearah
yang lebih baik.
Bagi gereja ritus Esmaketmempunyai manfaat yang besar karena mampu
membina masyarakat untuk taat dan patuh terhadap perintah yang diberikan
melalui ritus Esmaket. Masyarakat mampu bertanggung jawab terhadap tugas dan
tanggung jawab yang diberikan Allah

dalam hidupnya. Selain itu juga,

masyarakat Mepa selalu menjunjung tinggi dan menghargai akan roh para leluhur
sebagai pendahulu mereka dengan warisan yang sudah tinggalkan kepada anak
cucu dalam bentuk adat. Yang penting lagi ialah dalam kehidupan masyarakat

97

sampai sekarang ini mereka tetap menjadi masyarakat yang setia pada Tuhan
sebagai sang pencipta dan sang pemberi kehidupan.
Hal ini menandakan bahwa baik sebagai warga gereja maupun warga
masyarakat, mereka tetap percayadan taat kepada perintah Allah selaku warga
gereja sekaligus selaku warga masyarakat dalam menghargai dan menghormati
warisan atau peninggalan para leluhur bagi kehidupan generasi sekarang ini.
Sikap yang dibangun oleh masyarakat

desa Mepa merupakan sikap

teologis karena ketika mereka melakukan ritus Esmaket, mereka tidak hanya
melakukan kewajiban mereka sebagai komunitas adat tetapi juga telah belajar
menghargai apa yang diajarkan oleh kekristenan. Sikap teologis masyarakat
adalah sikap yang dibangun untuk menempatkan ritus Esmaketdalam terang injil.
Peran leluhur dalam karya yang diwariskan, menghendaki masyarakat adat hidup
dalam kedamaian dengan moral yang baik. Untuk itu secara religius, sikap
teologis masyarakat ini tidak bertentangan dengan kekristenan karena apa yan
dikehendaki oleh para leluhur lewat pelaksanaan ritus Esmaketsejalan dengan apa
yang diajaran juga dalam kekristenan sehingga kedua hal ini daling mengisi dan
membangun moralitas masyarakat. Apa yang diajarkan oleh kekristenan sejalan
dengan apa yang diajarkan oleh ritus Esmaketsehingga hal-hal yang saling
mengasihi dalam kekristenan dapat menggambarkan nilai-nilai positif tersebut
dalam masyarakat sebagai pembentuk moralitas ke arah yang lebih baik.
3. Makna Kepemimpinan

98

Sejarah munculnya kepemimpinan sudah ada sejak jaman dahulu kala.
Kerjasama dan saling melindungi telah muncul bersama-sama dengan peradaban
manusia. Kerjasama tersebut muncul pada tata kehidupan sosial masyarakat dalam
rangka untuk mempertahankan kehidupan masyarakat yang ada. Berangkat dari
kebutuhan bersama tersebut, terjadi kerjasama antar manusia dan mulai unsurunsur kepemimpinan.
Kepemimpinan merupakan bagian yang penting dalam sepanjang sejarah
manusia.Kehadiran seorang pemimpin selalu dibutuhkan pada setiap kelompok
dan masyarakat. Pengaruh pemimpin akan mempunyai dampak yang luar biasa
bagi kelompok masyarakat yang dipimpinnya.9
Dalam kaitan denga Esmaket, masyarakat Mepa memahami bahwa
Esmaketmerupakan bagian dari adat dan adat adalah bagian dari kebudayaan yang
sudah tercipta dan sudah ada sejak jaman dahulu, sehingga Esmaketsebagai adat
masyarakat Mepa yang sudah di buat harus ditepati. Esmaketmerupakan bagian
dari adat yang sudah ada sejak jaman dahulu sehingga bagi masyarakat,
Esmaketadalah hal yang disakralkan dan tidak boleh diucapkan sembarangan
sebab jika terjadi pengingkaran maka ada konsekuensi yang harus diterima. Oleh
karena itu, Esmaketyang menyangkut kepemimpinan seseorang harus ditepati,
sebab hal ini sudah ada sejak para leluhur. Masyarakat Mepa yakin bahwa apa
yang telah dibuat, diatur bahkan ditetapkan oleh para leluhur, mampu mengontrol
persekutuan hidup mereka dengan baik secara individu maupun kelompok (sosial)

9

Retnowati Wiranto, Kepemimpinan Transformatif Menuju Kepemimpinan Baru
Gereja (Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana), 13

99

Kepemimpinan merupakan masalah sosial yang di dalamnya terjadi
interaksi antara pihak yang memimpin dengan pihak yang dipimpin untuk
mencapai tujuan bersama, baik dengan cara mempengaruhi, memotivasi dan
mengkoordinasi, dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya; faktor berasal
dari diri kita sendiri, pandangan kita terhadap manusia, keadaan kelompok dan
situasi waktu kepemimpinan kita dilaksanakan.10

Oleh karena itu sebagai

pemimpin kita perlu mengerti diri sendiri, terutama yang berhubungan dengan
peranan kita sebagai pemimpin, orang yang kita pimpin, masing-masing dan
sebagai kelompok serta situasi dimana kepemimpinan kita berlangsung.
Pemimpin adalah orang yang menuntun, membina dan memberi teladan
serta membimbing suatu organisasi baik dalam suka maupun duka.Sehingga
tujuan utama seorang pemimpin adalah melayani kepentingan mereka yang
dipimpin.Seorang pemimpin sejati justru memiliki kerinduan untuk membangun
dan mengembangkan orang dipimpinnya sehingga tumbuh banyak pemimpin
dalam kelompoknya.Keberhasilan seorang pemimpin sangat tergantung dari
kemampuannya untuk membangun orang-orang disekitarnya, karena keberhasilan
sebuah organisasi sangat tergantung pada potensi sumber daya manusia dalam
orgnisasi tersebut. Sebuah organisasi mempunyai banyak anggota dengan kualitas
pemimpin, maka organisasi tersebut akan berkembang dan menjadi kuat.
Pemimpin yang melayani memiliki kasih dan perhatian kepada mereka
yang dipimpinnya. Kasih itu diwujud nayatkan dalam bentuk kepedulian akan

10

Charles J. Keating, Kepemimpinan: Teori Dan Pengembangannya, (Yogyakarta:
Kanisius, 1986), 18-20

100

kebutuhan, kepentingan, impian dan harapan dari mereka yang dipimpinnya.
Pemimpin yang melayani adalah pemimpin yang mau mendengar setiap
kebutuhan, impian dan harapan dari warga masyarakat, dapat mengendalikan ego
dan kepentingan pribadinya melebihi orang lain atau mereka yang dipimpinnya.
Mengendalikan ego berarti dapat mengendalikan diri ketika tekanan maupun
tantangan yang dihadapi menjadi begitu berat.Sebab seorang pemimpin sejati
selalu dalam tenang, penuh pengendalian diri dan tidak mudah emosi.Pemimpin
tidaklah cukup hanya mempunyai pengalaman dan kemampuan intelektual yang
baik, namun perlu juga kecakapan atau kecerdasan emosi dan spiritual. Pemimpin
tanpa kecerdasan emosi dan spiritual akan menjadi pemimpin yang mudah goyah,
tidak tahan uji dan mudah jatuh. Oleh karena itu kelengkapan spiritual dan
kecerdasan emosi akan membantu keberhasilan pemimpin terutama dalam
membangun relasi dengan sesama. Hal ini dapat dikatakan bahwa seseorang yang
mengguganakan kecerdasan emosi dan spiritual memiliki kecenderungan untuk
menggunakan pola kepemimpinan transformatif.
Pola kepemimpinan transformatif11 merupakan pola kepemimpinan yang
diteladankan Yesus yakni seorang pemimpin yang mampu menjadi teladan bagi
pengikutnya

bukan

hanya

perkataa

saja

tetapi

juga

dengan

perbuatannya.Kepemimpinan yang diteladankan oleh yesus adalah kepemimpinan
yang memiliki motivasi yang insporatioan, melalui visi yang diterima dari Allah

11

Friedman dan Lagbert yang dikutip oleh Retnowati Wiranto, menjelsakan bahwa pola
kepemimpinan transformative merujuk pada seorang pemimpin yang mampu mengerakan para
pengikutnya melalui idealized, influence, inspiration, intellectual stimulation dan individualized.
Retnowati Wiranto, Kepemimpinan Transformatif Menuju Kepemimpinan Baru Gereja (Salatiga:
Universitas Kristen Satya Wacana), 21-22

101

sendiri.

Pemimpin transformatif mampu mendorong pengikutnya

untuk

mengembangkan potensi diri dan kreatifitas, mampu menghadapi masalah besar
dan serumit apapun dengan cara yang bijaksana dan agamais. Pemimpin
transformatif selalu berupaya untuk memberi peluang bagi pengikutnya untuk
mengembangkan dirinya. Allah memberi kebebasan kepada manusia untuk
mengembangkan dirinya.Allah telah memilih manusia untuk menjadi alatNya dan
berkenan terus memelihara dan menyertainya.12
Dalam Perjanjian Baru yang menjadi dasar dari kepemimpinan adalah
keteladanan yesus dalam kehambaNya, bahwa karakter pemimpin seorang kristen
sangat penting dan kepribadian seorang pemimpin sangat menentukan
pelaksanaan tugasnya, karena kepribadian itu selalu mendapat perhatian untuk
diikuti maupun diteladani. Dalam konteks kepemimpinan Kristen, mensyaratkan
nilai-nilai kasih dan pelayanan sebagai pokok penting bagi setiap pemimpin, maka
dibutuhkanlah sikap seperti kerendahan hati, kesediaan untuk melayani dengan
tulus serta dapat mempengaruhi orang lain dengan keunikannya sendiri sebagai
pribadi yang telah ditebus dan dibaraui oleh kristus.13Dengan demikian secara
teologis pemimpin Kristen merupakan alat dalam tangan Tuhan.

12

Retnowati Wiranto, Kepemimpinan Transformatif Menuju Kepemimpinan Baru
Gereja (Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana), 133-135
13
Retnowati Wiranto .., 14

102