ISOLASI SENYAWA AKTIF FRAKSI N HEKSANA D (1)

ISOLASI SENYAWA AKTIF FRAKSI N-HEKSANA DARI KULIT BATANG
KELOR (Moringa oleifera) DAN UJI EFEKTIVITAS SEBAGAI LARVASIDA
TERHADAP LARVA NYAMUK Aedes aegypti

PROPOSAL PENELITIAN

Oleh

HAMDANI JANORI
G1C 014 011

PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS MATARAM
2018

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan yang
dialami oleh berbagai negara di seluruh dunia. Sebelum tahun 1970, hanya 9 negara

yang mengalami DBD, namun sekarang DBD menjadi penyakit endemik pada lebih
dari 100 negara, diantaranya adalah Afrika, Amerika, Mediterania Timur, Asia
Tenggara dan Pasifik Barat dimana Asia Tenggara memiliki angka tertinggi kasus
DBD dengan jumlah 1,2 juta kasus di tahun 2008 dan dan lebih dari 2,3 juta kasus di
tahun 2010 (WHO, 2014). Di Indonesia sendiri kasus DBD semakin bertambah baik
dari jumlah penderitanya ataupun luas penyebarannya. Pada tahun 2015, tercatat
sebanyak 126.675 penderita DBD di 34 provinsi di Indonesia, dan 1.229 orang
diantaranya meninggal dunia. Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan tahun
sebelumnya, yakni sebanyak 100.347 penderita (Kementerian Kesehatan RI, 2016).
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue yang penyebarannya terjadi melalui
gigitan nyamuk Aedes aegypti. Belum ada vaksin yang dapat mencegah seseorang
terkena virus dangue tersebut, sehingga cara efektif yang dapat dilakukan untuk
menghentikan penyebaran virus tersebut dengan pengendalian melalui pemberantasan
jentik nyamuk. Pengendalian dapat dilakukan secara mekanik, biologi, kimia, atau
perubahan sifat genetik (Susanna, 1999: 228). Pengendalian yang paling sering
dilakukan saat ini adalah pengendalian secara kimia dikarenakan lebih efektif
dibandingkan secara mekanik ataupun biologi (Wahyuni, 2010).
Pengendalian secara kimia dilakukan dengan pemberian pestisida (larvasida)
untuk membunuh jentik nyamuk tersebut. Akan tetapi jenis larvasida yang beredar di
masyarakat merupakan jenis larvasida sintetik yang apabila digunakan dalam jangka

panjang akan menimbulkan dampak negatif seperti kerusakan lingkungan, keracunan
pada organisme lain, kontaminasi residu dan munculnya resistensi terhadap larvasida
tersebut (Nugroho, 2013). Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu usaha untuk
mendapatkan larvasida alami (biolarvasida) yang dibuat dari tumbuhan yang

mengandung bahan aktif, dimana bahan aktif inilah yang dapat menghambat
pertumbuhan ataupun membunuh organisme pengganggu.
Indonesia merupakan negara kepulauan seluas sekitar 9 juta km2 yang terletak
diantara dua benua dan dua samudera dengan jumlah pulau sekitar 17.500 dan
panjang garis pantainya sekitar 95.181 km. Dengan kondisi geografis tersebut
menyebabkan Indonesia menjadi salah satu negara megabiodiversitas di dunia dan
mempunyai keragaman tumbuh-tumbuhan yang sangat besar (Kusmana dan Agus,
2015). Lebih dari 400 jenis tumbuhan telah teridentifikasi bahan kimianya dan 10
ribu diantaranya mengandung metabolit sekunder yang potensial sebagai bahan baku
pestisida alami (Saenong, 2016). Pemakaian tumbuhan sebagai pestisida meningkat
sejalan dengan berkembangnya kesadaran masyarakat tentang pemikiran kembali ke
alam (back to nature). Selain itu, pemakaian tumbuhan sebagai biopestisida tidak
akan merusak lingkungan karena residu yang dihasilkan bersifat degradable (Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, 2012).
Beberapa penelitian telah dilakukan mengenai potensi tumbuhan sebagai

larvasida. Salah satunya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Boesri dkk (2015),
menunjukkan bahwa ekstrak etanol tembakau dengan konsentrasi minimal 1,56%,
ekstrak etanol lengkuas dengan konsentrasi minimal 1,56% dan ekstrak etanol serai
wangi dengan konsentrasi minimal 1,56% efektif sebagai biolarvasida terhadap larva
Aedes aegypty karena mengandung asam lemak, alkaloid, dan flavonoid. Selain itu
penelitian yang dilakukan oleh Noshirma, dkk (2016), menunjukkan bahwa ekstrak
etanol kunyit putih, cengkeh, jeruk limau, jeruk bali, lidah buaya dan mimba efektif
sebagai larvasida karena mengandung minyak atsiri, saponin dan flavonoid.
Salah satu jenis tanaman yang mempunyai potensi sebagai biolarvasida adalah
kelor (Moringa oleifera). Tanaman kelor telah dikenal selama berabad-abad sebagai
tanaman multi guna. Mengandung senyawa aktif yang lebih banyak dibandingkan
tanaman lain sehingga berpotensi untuk dijadikan antioksidan, antikanker,
antiinflamasi ataupun pestisida (Krisnadi, 2013: 1). Beberapa penelitian telah
dilakukan untuk mengetahui kandungan aktif pada kelor yang dapat digunakan
sebagai larvasida. Penelitian yang dilakukan oleh Maung, dkk (2016), menunjukkan
bahwa ekstrak etanol daun kelor efektif sebagai biolarvasida terhadap larva

Anopheles aconitus L karena mengandung senyawa flavonoid, alkaloid, saponin, dan
tanin. Selain itu penelitan yang dilkukan oleh Ferreira, dkk (2009), menunjukkan
bahwa ekstrak air biji kelor dengan konsentrasi 1260 µg/mL efektif sebagai

biolarvasida terhadap larva Aedes aegypti.
Penelitian- penelitian di atas hanya terbatas pada uji aktivitas ekstrak tanpa
melakukan isolasi dan screening senyawa-senyawa tertentu yang berfungsi sebagai
larvasida. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi senyawa aktif
pada fraksi n-heksana ekstrak metanol kulit batang tanaman kelor (Moringa oleifera)
dan untuk menguji efektivitasnya sebagai larvasida terhadap larva Aedes aegypti.
Isolasi senyawa dilakukan sebagaimana lazimnya dalam suatu penelitian bahan alam
yaitu tahap ekstraksi, dimana metode ekstraksi yang digunakan adalah sokletasi
dengan menggunakan pelarut metanol. Metanol dipilih karena metanol merupakan
pelarut yang dapat melarutkan banyak metabolit sekunder (Djamil, 2015). Menurut
Sudarma (2014) metanol dapat menarik alkaloid, steroid, saponin dan flavonoid dari
tanaman.
Tahap pemisahan yang terdiri dari beberapa tahap partisi dilakukan dengan cara
ekstraksi cair-cair menggunakan beberapa pelarut yang memiliki kepolaran berbeda,
kemudian diikuti pemilihan fraksi yang potensial yang dilakukan dengan uji fitokimia
dan uji pendahuluan kemudian dilanjutkan dengan proses pemisahan dengan
menggunakan Kromatografi Vakum Cair (KVC) dan Kromatografi Kolom Gravitasi
(KKG). Prinsip dasar KVC adalah adalah pemisahan secara adsopsi dan partisi yang
dipercepat dengan bantuan pompa vakum (Poople, 2017 :444). Sedangkan KKG
merupakan jenis teknik kromatografi yang paling awal untuk memisahkan senyawa

berdasarkan gaya gravitasi (Sastrohamidjojo, 2002: 45). Kelebihan dari KVC adalah
adalah waktu yang dibutuhkan relatif lebih singkat karena adanya bantuan vakum
(Muntasiroh, 2010). Karakterisasi senyawa-senyawa yang terkandung dalam fraksi nhexana ekstrak metanol kulit batang kelor dilakukan dengan instrumen Gas
Chromatography-Mass Spectrometry (GC-MS). Kromatografi gas dipilih untuk
metode analisis karena memiliki kelebihan diantaranya teknik analisis yang cepat,
dapat menghasilkan batas deteksi yang lebih rendah, akurat, serta dapat digunakan

untuk analisis kualitatif dan kuantitatif senyawa dalam suatu campuran (Nollet,
2004).
Pada penelitian ini hasil isolasi fraksi n-hexana ektraks metanol akan diuji
efektifitas biolarvasidanya terhadap larva Aedes aegypty dengan menggunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan yang terdiri dari lima konsentrasi
berbeda, satu kontrol positif dan satu kontrol negatif dan dilakukan tiga kali
pengulangan.

1.1 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan, maka rumusan masalah adalah sebagai
berikut:
1 Senyawa apa saja yang terdapat pada fraksi n-heksana ekstrak metanol kulit
2


batang kelor (Moringa oleifera) ?
Apakah senyawa hasil isolasi fraksi n-heksana ekstrak metanol kulit batang
tanaman kelor (Moringa oleifera) efektif sebagai larvasida terhadap larva
Aedes aegypty ?

1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui senyawa apa saja yang terdapat pada fraksi n-heksana ekstrak
metanol kulit batang kelor (Moringa oleifera)
2. Mengetahui apakah senyawa hasil isolasi fraksi n-heksana ekstrak metanol
kulit batang tanaman kelor (Moringa oleifera) efektif sebagai larvasida
terhadap larva Aedes aegypty
1.3 Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai
senyawa apa saja yang terdapat pada fraksi n-heksana ekstrak metanol kulit batang
kelor (Moringa oleifera) yang teridentifikasi sebagai larvasida terhadap larva Aedes
aegypty disamping itu juga memberi sumbangan bagi perkembangan ilmu
pengetahuan.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Kelor

Kelor (Moringa oleifer) tumbuh dalam bentuk pohon, berumur panjang
(perenial) dengan tinggi 7-12 m. Batang berkayu (lignosus), tegak, berwarna putih
kotor, kulit tipis, permukaan kasar. Percabangan simpodial, arah cabang tegak atau
miring, cenderung tumbuh lurus dan memanjang. Perbanyakan bisa secara generatif
(biji) maupun vegetatif (stek batang). Tumbuh di dataran rendah maupun dataran
tinggi sampai di ketinggian ± 1000 m dpl, banyak ditanam sebagai tapal batas atau
pagar di halaman rumah atau ladang (Krisnadi, 2015). Tanaman kelor di Indonesia
dikenal dalam berbagai macam nama, misalnya : Kelor (Indonesia, Jawa, Sunda, Bali,
Lampung), Kerol (Buru), Marangghi (Madura), Moltong (Flores), Kelo (Gorontalo),
Keloro (Bugis), Kawano (Sumba), Ongge (Bima), Hau fo (Timor). Menurut
sejarahnya, tanaman kelor atau marongghi (Moringa oleifera), berasal dari daerah
kawasan Himalaya dan India, kemudian menyebar ke kawasan di sekitarnya sampai
ke Benua Afrika dan Asia Barat (Nurcahyati, 2014). Bentuk tanaman kelor dapat
dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Pohon Kelor

Menurut Krisnadi (2015), klasifikasi tanaman kelor dalam kingdom Plantae
adalah sebagai berikut:
Subkingdom : Tracheobionta

Super Divisi : Spermatophyta
Divisi

: Magnoliophyta

Kelas

: Magnoliopsida

Sub Kelas

: Dillenidae

Ordo

: Capparales


Family

: Moringaceae

Genus

: Moringa

Spesies

: Moringa oleifera Lam

2.2.1 Morfologi Tanaman Kelor
2.2.1.1 Akar
Akar tunggang, berwarna putih. Kulit akar berasa pedas dan berbau tajam, dari
dalam berwarna kuning pucat, bergaris halus tapi terang dan melintang. Tidak keras,
bentuk tidak beraturan, permukaan luar kulit agak licin, permukaan kulit dalam agak
berserabut, bagian kayu warna cokelat muda, atau krem berserabut, sebagian besar
terpisah. Akar tunggung berwarna putih, membesar seperti lobak (Krisnadi, 2015).

Akar kelor bermanfaat sebagai antimikroba, mengatasi karang gigi, flu, demam,
asma, penguat jantung, anti inflamasi, rematik, bengkak kaki (edema), epilepsi, sakit
kepala (Andareto, 2015).
2.2.1.2 Batang
Kelor termasuk jenis tumbuhan perdu yang dapat memiliki ketinggian batang 712 meter. Merupakan tumbuhan berbatang dan termasuk jenis batang berkayu,
sehingga batangnya keras dan kuat. Bentuknya sendiri adalah bulat (teres) dan
permukaannya kasar. Arah tumbuhnya lurus ke atas atau biasa yang disebut dengan
tegak lurus (erectus) (Krisnadi, 2015). Hasil skrining fitokimia menunjukkan bahwa
kulit batang kelor (Moringa oleifera) mengandung golongan senyawa steroid,
flavonoid, alkaloid, fenol, dan tanin (Ikalinus, 2015). Selain itu kulit batang kelor
juga mengandung fitosterol seperti β-sitosterol dan β-sitostenone (Bennet dkk,2003).
Kulit batang kelor juga mengandung protein mentah sebanyak 21,88%; minyak

mentah 3,40%; serat 44,74%; abu 5,025%; dan karbohidrat 18,74% (Fagwalawa dkk,
2015).
2.2.1.3 Daun
Daun majemuk, bertangkai panjang, tersusun berseling (alternate), beranak daun
gasal (imparipinnatus), helai daun saat muda berwarna hijau muda – setelah dewasa
hijau tua, bentuk helai daun bulat telur, panjang 1-2 cm, lebar 1-2 cm, tipis lemas,
ujung dan pangkal daun tumpul (obtusus), tepi rata, susunan pertulangan menyirip

(pinnate), permukaan atas dan bawah halus (Krisnadi, 2015). Daun kelor
mengandung zat besi lebih tinggi daripada sayuran lainnya yaitu sebesar 17,2 mg/100
g (Yameogo dkk, 2011). Selain itu, daun kelor juga mengandung berbagai macam
asam amino, antara lain asam amino yang berbentuk asam aspartat, asam glutamat,
alanin, valin, leusin, isoleusin, histidin, lisin, arginin, venilalanin, triptopan, sistein,
dan methionin (Simbolan dkk, 2007). Kandungan fenol dalam daun segar sebesar
3,4% sedangkan pada daun kelor yang telah diekstrak sebesar 1,6% (Folid dkk, 2007)
2.2.1.4 Bunga
Bunga muncul di ketiak daun, bertangkai panjang, kelopak berwarna putih agak
krem, menebar aroma khas. Bunganya berwarna putih kekuning-kuningan terkumpul
dalam pucuk lembaga di bagian ketiak dan tudung pelepah berwarna hijau. Memiliki
5 kelopak yang mengelilingi 5 benang sari dan 5 staminodia. Bunga kelor keluar
sepanjang tahun dengan aroma bau semerbak (Krisnadi, 2015).
2.2.1.5 Buah atau Polong
Kelor berbuah setelah berumur 12-18 bulan. Buah atau polong kelor berbentuk
segitiga memanjang yang disebut klenteng (Jawa) dengan panjang 20-60 cm, ketika
muda berwarna hijau – setelah tua menjadi cokelat, biji didalam polong berbentuk
bulat, ketika muda berwarna hijau terang dan berubah berwarna coklat kehitaman
ketika polong matang dan kering. Ketika polong membuka menjadi 3 bagian. Dalam
setiap buah rata-rata berisi antara 12-35 biji (Krisnadi, 2015).

2.2 Metabolit Sekunder
Metabolit sekunder adalah senyawa organik yang dihasilkan tumbuhan yang
tidak memiliki fungsi langsung pada fotosintesis, pertumbuhan atau respirasi,
transport solut, translokasi, sintesis protein, asimilasi nutrien, diferensiasi,
pembentukan karbohidrat, protein dan lipid. Metabolit sekunder yang seringkali
hanya dijumpai pada satu spesies atau sekelompok spesies berbeda dari metabolit
primer yang dijumpai hampir disemua kingdom tumbuhan (Mastuti, 2016). Metabolit
sekunder yang sudah dapat diketahui fungsinya dalam biologi antara lain tanin,
alkaloid, terpenoid dan flavonoid (Robinson, 1995).
2.2.1 Alkaloid
Alkaloid adalah senyawa bahan alam yang mempunyai atom nitrogen yang
bersifat basa pada strukturnya. Nama alkaloid diturunkan dari kata alkaline yang
mendiskripsikan berbagai nitrogen yang bersifat basa. Alkaloid dihasilkan oleh
berbagai mahluk hidup antara lain bakteri, jamur, tumbuhan, dan binatang (Sudarma,
2014). Alkaloid sering kali bersifat racun bagi manusia dan banyak dari alkaloid yang
memiliki aktivitas fisiologi yang menonjol sehingga banyak dimanfaatkan dalam
bidang pengobatan. Umumnya alkaloid ini berbentuk kristal (Harborne, 1996).
N

CH3

O
H3C
O
CH3
HO

Gambar 2.2 Struktur Senyawa Armepavina (Yanti, 2014)
Alkaloid memiliki fungsi sebagai senyawa bioaktif dimana alkaloid dapat masuk
ke dalam tubuh larva melalui kutikula dan mulut karena larva biasanya mengambil

makanan dari tempat hidupnya (Yunita dkk, 2009). Senyawa bioaktif tersebut akan
terakumulasi di dalam tubuh larva dan akan berperan sebagai racun. Racun akan
terdistribusi ke seluruh sel-sel tubuh melalui sistem peredaran darah atau haemolimfa
(Ningsih dkk, 2013). Dari penelitan yang dilakukan oleh Yanti (2014), terhadap
ekstrak daun sirsak hutan yang diduga senyawa alkaloid yang terdapat merupakan
senyawa armepavina dari hasil analisis dengan LC-MS, spektrofotometer UV-Vis dan
FTIR. Struktur senyawa armepavina dapat dilihat pada Gambar 2.2
2.2.2 Saponin
Saponin adalah glykosida yang steroidnya terdiri dari 27 karbon atau triterpen 30
karbon dan banyak terdapat pada tumbuhan. Dijumpai pada berbagai bagian
tumbuhan seperti daun, batang akar, bunga, buah. Saponin dikarekterisasi dari rasa
pahit dan kemampuannya untuk melakukan hemolisa pada sel darah merah. Saponin
larut dalam air membentuk buih seperti buih sabun, hal ini disebabkan karena saponin
mempunyai amphiphilik (Sudarma, 2014). Saponin bersifat sebagai natural detergent
yang dapat merusak membran sel biologis yang tersusun atas fosfolipid dan kolesterol
(Idowu dkk, 2015). Salah satu struktur senyawa saponin dapat dilihat pada Gambar
2.3

HO

CH3

HO

HO

O

H3C

HO

H

H

N

O
H

HO

O

O
OH

O

O

HO

H
H3C

H

CH3

OH
OH

Gambar 2.3 Struktur Senyawa Saponin (Wibowo, 2012)
2.2.3 Terpenoid

CH3

Terpenoid adalah senyawa yang tersusun dari kerangka isopren (C 5), yakni rantai
beranggota lima karbon bercabang (branching) metil pada karbon nomor dua atau
kelipatannya. Senyawa-senyawa seskuiterpen, asam ursolat yang terdapat pada
berbagai tanaman dan bersifat sebgai penghambat kanker dan menurunkan gula
darah, asam betulinat yang terkandung dalam berbagai tanaman termasuk buah kayu
putih yang bersifat antidiabetes, azadikratin dari biji mimba (Azadirachta indica)
sebagai pestisida, berbagai macam parfum dan aroma kebanyakan adalah senyawasenyawa terpenoid (Saifudin, 2014). Terpena memiliki struktur dasar (C 5H8)n dimana
n adalah jumlah unit isoprena. Hal ini dikenal dengan nama isoprena rule atau C5
rule (Sudarma, 2014). Sturuktur isoprena dapat dilihat pada Gambar 2.4
CH3

CH3
H2C

Gambar 2.4 Struktur Senyawa Terpenoid
Dari penelitian yang dilakukan oleh Inoue dkk. (2004), bahwa aktivitas terpena
dengan rantai panjang dapat merusak dinding sel. Aktivitas dari terpena tidak hanya
ditentukan dari panjang gugus alkil yang terikat pada rantai induk tetapi juga dari
gugus fungsi yang terikat dan ikatan rangkap pada sturkturnya.
2.2.4 Steroid
Steroid adalah lipid terpenoid yang dicirikan dengan empat ring karbon yang
menyatu satu sama lain (“ four fised ring”) yang setiap ringnya tersusun dengan pola
6-6-6-5. Pola ring tersebut sering disimbolkan dengan huruf A,B,C,D. Steroid kaya
akan gugus fungsi yang terikat pada ring-ring tersebut. Ratusan steroid yang memiliki
peranan penting ditemukan pada tumbuhan, hewan, manusia, dan jamur (Sudarma,
2014). Struktur dasar steroid dapat dilihat pada Gambar 2.5

A

Gambar 2.5 Struktur Senyawa Steroid
Menurut Cowan (1999), mekanisme penghambatan bakteri oleh senyawa steroid
diduga dengan cara merusak membran sel bakteri. Steroid dapat meningkatkan
permeabilitas membran sel sehingga akan terjadi kebocoran sel yang diikuti dengan
keluarnya materi intraseluler. Dari penelitian yang dilakukan oleh Novadiana dkk.
(2014), bahwa senyawa steroid hasil isolasi dari fraksi kloroform ekstrak etanol
diperoleh nilai LC50 sebesar 96,4096 ppm yang membuktikan bahwa steroid yang
diisolasi bersifat toksik terhadap larva udang.
2.2.5 Flavonoid
Flavonoid merupakan senyawa fenolik terbesar yang ditemukan di alam.
Senyawa ini memiliki kerangka dasar yang terdiri dari 15 atom karbon, dimana dua
cincin benzena (C6) terikat pada satu rantai propan (C3) sehingga membentuk suatu
susunan C6-C3-C6. Susunan ini dapat menghasilkan tiga jenis struktur, yakni 1,3diarilpropan atau flavonoid, 1,2-diarilpropan atau isoflavonoid, dan 1,1-diarilpropan
atau neoflavonoid (Achmad, 1986).
H3C

CH3

Flavonid

Isoflavonoid

Neoflavonoid

Gambar 2.6 Struktur Senyawa Flavonoid
Senyawa-senyawa flavon ini mempunyai kerangka 2-fenilkroman, dimana posisi
orto dari cincin A atau atom karbon yang terikat pada cincin B dari 1,3-diarilpropan
dihubungkan oleh jembatan oksigen, sehingga membentuk suatu cincin heterosiklik
yang baru (cincin C) (Achmad, 1986).

Menurut Leone dkk (2015), flavonoid mampu menghambat enzim tripsin yang
berada di mid-gut larva nyamuk dan akan menyebabkan larva kekurangan nutrisi
serta perkembangannya terhambat.
2.3 Metode Isolasi
2.3.1 Ekstraksi kulit batang kelor yang pernah dilakukan
Ekstraksi adalah proses pemisahan suatu bahan alam dari campurannya, biasanya
dengan menggunakan pelarut. Tujuan ekstraksi adalah untuk menarik semua senyawa
organik atau komponen kimia yang terdapat dalam sampel dengan pelarut tertentu.
Ekstraksi ini didasarkan pada perpindahan massa komponen zat padat ke dalam
pelarut dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka, kemudian
berdifusi masuk ke dalam pelarut (Sudarma, 2014).
Pemilihan pelarut dalam mengekstraksi senyawa bahan alam merupakan hal yang
sangat penting karena dengan pelarut yang tepat akan mendapatkan hasil yang
ekstraksi yang maksimal. Metabolit sekunder yang terdapat pada makhluk hidup
mempunyai kelarutan yang berbeda-beda artinya mempunyai tingkat kepolaran yang
berbeda beda. Tahapan ekstraksi untuk senyawa yang tidak diketahui sifatnya dimulai
dari pelarut non polar kemudian dilanjutkan dengan pelarut polar. Tahapan ekstraksi
tersebut tidak dapat dibalik artinya tidak bisa dimulai dengan pelarut polar karena
pelarut polar tidak bersifat selektif sehingga senyawa non polar atau medium polar
mungkin juga dapat terekstrak dengan pelarut polar, selain itu kelarutan tidak saja
dipengaruhi oleh polaritas namun juga dipengaruhi oleh volume pelarutnya
(Sudarma, 2014).
Ada beberapa metode ekstraksi sampel bahan alam antara lain maserasi,
infusdasi, digesti, perkolasi dan soxletasi (Atun, 2014).
a.

Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan

penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel
yang mengandung bahan aktif, zat aktif akan larut karena pelarut karena adanya
perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang ada di luar

sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut terjadi secara
berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar dan di
dalam sel. Filtrat yang diperoleh dari proses tersebut diuapkan dengan alat penguap
putar vakum (rotary evaporator) hingga menghasilkan ekstrak pekat (Kristanti, 2008).
Keuntungan utama metode ekstraksi maserasi yaitu, prosedur dan peralatan yang
digunakan sederhana, tidak dilakukan pemanasan sehingga bahan alam tidak menjadi
terurai. Ekstraksi dingin memungkinkan banyak senyawa yang dapat terekstraks,
meskipun beberapa senyawa memiliki kelarutan terbatas dalam pelarut ekstraksi pada
suhu kamar (Heinrich, 2004).
b.

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru dan sempurna yang

umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Prinsip perkolasi adalah dengan
menempatkan serbuk simplisia pada suatu bejana silinder, yang bagian bawahnya
diberi sekat berpori. Proses terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap maserasi
antara, tahap perkolasi sebenarnya, terus menerus sampai diperoleh ekstrak yang
jumlahnya dua kali lebih banyak dari sampel awal yang diekstrak (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 2000).
c.

Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya

dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah
pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendinginan balik. Biomassa ditempatkan
dalam wadah soklet yang dibuat dari kertas saring, melalui alat ini pelarut akan terus
direfluks. Alat soklet ini akan mengkosongkan isinya kedalam labu dasar bulat
setelah pelarut mencapai kadar tertentu. Setelah pelarut segar melewati alat ini
melalui pendingin refluks, ekstraksi berlangsung sangat efisien dan senyawa dari
biomassa secara efektif ditarik kedalam pelarut karena konsentrasi awalnya rendah
dalam pelarut (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000). Keuntungan utama
metode sokletasi adalah merupakan metode ekstraksi terbaik untuk memperoleh hasil
ekstrak yang banyak dan juga pelarut yang digunakan lebih sedikit (efisien bahan)
waktu yang digunakan lebih cepat, sampel yang diekstraksi secara sempurna karena
dilakukan berulang-ulang. Selain itu karena aktivitas biologi tidak hilang saat
dipanaskan teknik ini dapat digunakan dalam pencarian induk obat (Heinrich, 2004).

d.

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama

waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya
pendinginan balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama
sampai tiga kali sehingga dapat termasuk ektraksi sempurna
Beberapa penelitian tentang ektraksi kulit batang kelor telah dilakukan.
Penelitian yang dilakukan oleh Kumbhare (2012) menunjukkan bahwa ekstraksi
senyawa fenolik dilakukan menggunakan tiga pelarut yang berbeda yaitu petroleum
eter, kloroform dan metanol dengan menggunakan metode sokletasi. Diperoleh hasil
terbesar terdapat pada ekstrak metanol sebesar 16,63 %, ekstrak kloroform 3,6% dan
ekstrak petroleum eter sebesar 0,89%. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ikalinus
dkk. (2015) menunjukkan bahwa ekstraksi kulit batang kelor dengan menggunakan
metode maserasi dan pelarut metanol mengandung senyawa steroid, flavonoid,
alkaloid, fenol, dan tanin.
2.3.2 Fraksinasi
Fraksinasi adalah proses pemisahan dan pemurnian untuk mendapatkan
kandungan senyawa tertentu (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000).
Jumlah dan senyawa yang dapat dipisahkan menjadi fraksi berbeda-beda tergantung
pada kandungan senyawa di setiap tumbuhan.
Fraksinasi dilakukan secara bertingkat berdasarkan tingkat kepolarannya yaitu
dari non polar, semi polar, dan polar. Senyawa yang memiliki sifat non polar akan
larut dalam pelarut non polar, yang semi polar akan larut dalam semi polar dan yang
bersifat polar akan larut dalam pelarut polar (Harborne, 1996). Fraksinasi ini
umumnya dilakukan dengan menggunakan metode corong pisah atau kromatografi
kolom. Kromatografi kolom merupakan salah satu metode pemurnian senyawa
dengan menggunakan kolom. Corong pisah merupakan peralatan laboratorium yang
digunakan untuk memisahkan komponen-komponen dalam campuran antara dua fase
pelarut yang memiliki massa jenis berbeda dan tidak saling bercampur (Haznawati,
2012).

2.4 Uji Fitokimia Kulit Batang Kelor
Uji fitokimia merupakan uji kualitatif untuk mengetahui senyawa aktif yang
terkandung dalam tanaman. Prinsip dasarnya adanya reaksi pengujian warna dengan
suatu reaksi warna (Kristanti, 2008). Uji fitokimia yang sering digunakan antara lain
uji saponin, tanin, flavonoid, alkaloid, terpenoid, triterpenoid, dan steroid. Pengujian
ini termasuk langkah awal yang penting dalam penelitian mengenai tumbuhan obat
atau pencarian senyawa aktif baru dari bahan alam yang dapat menjadi prekusor bagi
sintesis obat-obat baru (Iskandar dan Susilawati, 2012).
Beberapa penelitian uji fitokimia ekstrak kulit batang kelor telah dilakukan.
Penelitan yang dilakukan oleh Rafshanjani dkk. (2014) di dapatkan bahwa ekstrak
metanol kulit batang kelor mengandung alkaloid, glikosida, flavonoid, steroid,
karbahidrat, tanin dan saponin. Penelitian yang dilakukan oleh Ikalinus dkk. (2015),
menunjukkan bahwa pada kulit batang kelor mengandung senyawa aktif golongan
steroid, flavonoid, alkaloid, fenol dan tanin.
2.5 Karakterisasi Kulit Batang Kelor dengan Menggunakan GC-MS
Kromatografi gas-Spektrometri massa atau GC-MS, merupakan sejenis
kromatografi dimana fase geraknya adalah gas yang biasanya bersifat inert seperti
helium atau nitrogen dan fase diamnya adalah lapisan mikroskopik dari cairan atau
polimer yang juga bersifat inert (Hussain, 2014). GC-MS merupakan metode
pemisahan senyawa organik yang menggunakan dua metode analisis senyawa yaitu
kromatografi gas (GC) untuk menganalisis sejumlah senyawa secara kuantitatif dan
spektrofotometri massa (MS) untuk menganalisis struktur molekul senyawa analit.
Gas kromatografi merupakan salah satu teknik spektroskopi yang menggunakan
prinsip pemisahan campuran berdasarkan perbedaan kecepatan migrasi komponenkomponen penyusunnya (Pavia dkk., 2006). Kelebihan dari metode ini adalah teknik
analisis yang cepat, dapat menghasilkan batas deteksi yang lebih rendah, akurat, serta
dapat digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif senyawa dalam campuran
(Nollet, 2004).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Balamurugan dkk. (2015) untuk
mengetahui senyawa yang terkandung dalam batang kelor melalui metode GC-MS
dengan menggunakan pelarut metanol dan didapatkan hasil karakterisasi diantaranya
isooctanol, 4-nonene,3 methyl, 1,14-tertadecanediol, dibutyl phthalate, heptanoic
acid,2-ethyl, 1-hepten-4-ol, 4-dodecanol, squalene.
2.6 Nyamuk Aedes aegypti
Aedes aegypti tersebar diseluruh negara tropis dan subtropis di Asia Tenggara. Ia
tersebar pada garis lintang 40º utara dan 40º selatan, distribusi nyamuk ini terbatas
pada ketinggian 1000-1500 meter dari permukaan air laut (WHO, 2011). Nyamuk
Aedes aegypti sendiri lebih banyak tersebar didaerah perkotaan dengan penyebaran
telur pada penampungan air, gelas dan bak mandi (Hendra, 2007).
2.6.1 Taksonomi
Menurut Ananya (2009), klasifikasi nyamuk Aedes aegypti dalam kingdom
Animalia adalah sebagai berikut:
Filum : Atyhropoda
Kelas

: Insecta

Ordo

: Diptera

Family

: Culicidae

Genus

: Aedes

Spesies

: Aedes aegypti L.

2.6.2 Morfologi
Telur Aedes aegypti berbentuk lonjong, panjangnya ± 0,6 mm dan beratnya
0,0113 mg. Pada waktu diletakkan telur berwarna putih, 15 menit kemudian telur
berubah menjadi abu-abu dan setelah 40 menit menjadi hitam. Pada dindingnya
terdapat garis-garis menyerupai kawat kasa atau sarang tawon (Sungkar, 2005).
Larva Aedes aegypti melalui 4 stadium larva dari instar I, II, III, dan IV. Larva
instar I, tubuhnya sangat kecil, warna transparan, panjang 1-2 mm, duri pada dada

belum begitu jelas, dan corong pernapasan belum menghitam. Larva instar II
bertambah besar, ukuran 2,5-3,9 mm, duri di dada belum jelas dan corong pernapasan
sudah berwarna hitam. Larva instar III berukuran 4-5 mm, duri-duri pada dada sudah
mulai jelas dan corong pernapasan berwarna coklat kehitaman. Larva instar IV telah
lengkap struktur anatominya dan tubuh dapat dibagi menjadi bagian kepala (caput),
dada (thorax), dan perut (abdoment). Larva instar IV mempunyai tanda khas yaitu
pelana yang terbuka pada segmen anal, sepasang bulu siphon dan gigi sisir yang
berduri lateral pada segmen abdomen ke tujuh (Sunkar, 2005).
Pupa nyamuk Aedes aegypti bentuk tubuhnya bengkok, dengan bagian kepaladada lebih besar bila dibandingkan dengan bagian perutnya, sehingga tampak seperti
tanda baca “koma”. Pada bagian punggung dada terdapat alat bernafas seperti
terompet. Pada ruas perut ke delapan terdapat sepasang alat pengayuh yang berguna
untuk berenang. Alat pengayuh tersebut berjumbai panjang pada tuas ke delapan
(Hendra, 2007).
Nyamuk Aedes aegypti berukuran kecil, berwarna hitam dengan bintik- bintik
putih ditubuhnya dan cincin putih dibagian kakinya. Bagian tubuh terdiri atas kepala,
thorax dan abdomen. Tanda khas Aedes aegypti berupa gambaran lyre form pada
bagian dorsal thorax. Sayap berukuran 2,5-3 mm, bersisik hitam, mempunyai vena
yang permukaannya ditumbuhi sisik-sisik sayap yang letaknya mengikuti vena. Pada
pinggir sayap terdapat sederet rambut yang disebut fringe (Sunkar, 2005).
2.6.3 Habitat
Telur, larva dan pupa nyamuk Aedes aegypti tumbuh dan berkembang di dalam air.
Genangan yang disukai sebagai tempat perindukan nyamuk ini berupa genangan air
yang tertampung di suatu wadah yang biasanya kontainer atau tempat penampungan
air bukan genangan air di tanah. Tempat perindukan yang paling potensial adalah
Tempat Penampungan Air (TPA) yang digunakan sehari-hari. Tempat perindukan
tambahan adalah disebut non-TPA, seperti tempat minuman hewan, barang bekas, vas
bunga dan lain-lainnya, sedangkan TPA alamiah seperti lubang pohon, lubang batu,
kulit keran, pangkal pohon pisang dan lain-lainnya. Nyamuk Aedes aegypti lebih

tertarik untuk meletakkan telurnya pada TPA berwarna gelap, paling menyukai warna
hitam, terbuka lebar, dan terutama yang terletak di tempat- tempat terlindung sinar
matahari langsung (Hendra, 2007).
Nyamuk Aedes aegypti hidup domestik, lebih menyukai tinggal di dalam rumah
daripada luar rumah. Kebiasaan istirahat lebih banyak di dalam rumah pada bendabenda yang bergantung, berwarna gelap dan di tempat-tempat lain yang terlindung
(Hendra, 2007).
2.6.4 Siklus hidup
Telur nyamuk Aedes aegypti di dalam air dengan suhu 20-40º C akan menetas
menjadi larva dalam waktu 1-2 hari. Kecepatan pertumbuhan dan perkembangan
larva dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu temperatur, tempat, keadaan air dan
kandungan zat makanan yang ada di dalam tempat perindukan. Pada kondisi
optimum, larva berkembang menjadi pupa dalam waktu 4-9 hari, kemudian pupa
menjadi nyamuk dewasa dalam waktu 2-3 hari. Jadi pertumbuhan dan perkembangan
telur, larva, pupa sampai dewasa memerlukan waktu kurang lebih 7-14 hari (Hendra,
2007).

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat eksperimen. Penelitian ini
dilakukan dalam beberapa tahap yaitu persiapan sampel berupa serbuk kulit batang
kelor, ekstraksi sampel, partisi ekstrak metanol, identifikasi metabolit sekunder kulit
batang kelor dengan uji fitokimia, fraksinasi ekstrak metanol kulit batang kelor,

analisis senyawa kulit batang kelor dengan menggunakan instrumen GC-MS dan
isolat yang didapat diuji efektivitasnya sebagai larvasida terhadap Aedes aegypti.
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini bertempat di Laboratorium Kimia Dasar dan Laboratorium Biologi
Dasar, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Mataram yang
dimulai dari bulan November 2017.
3.3 Persiapan Penelitian
3.3.1 Alat-alat penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah blender laboratory, alatalat gelas pada umumnya, tabung reaski, chamber, corong pisah, botol vial, corong
kaca, oven, timbangan analitik, rotary evaporator, set alat sokletasi, set alat
kromatografi kolom vakum cair (KVC), set alat kromatografi kolom gravitasi (KKG),
spektrofotometri GC-MS, pinset, saringan teh.
3.3.2. Bahan-bahan penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit batang kelor
kering, metanol, n-heksana, DCM, asam asetat glasial, etil asetat, aquades, pereaksi
meyer, logam Mg (magnesium), larutan yodium, larutan HCl 2M, larutan H 2SO4
pekat, asetat anhidrat, larutan HCl pekat, larutan HNO3 pekat, silika gel GF60, plat
KLT, temefos , larva Aedes aegypti, kertas saring, alat-alat tulis, kertas label, gunting,
aluminium foil.
3.4 Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini terdiri dari beberapa tahap preparasi sampel, ekstraksi
kulit batang kelor, partisi ekstrak metanol kulit batang kelor, identifikasi metabolit
sekunder dengan uji fitokimia, proses pemisahan sampai diperoleh isolat, analisis
senyawa dengan menggunakan GC-MS, uji larvasida.

3.4.1 Preparasi sampel
Sampel berupa kulit batang kelor sebanyak 1 kg yang diperoleh di wilayah
Taliwang, Sumbawa Barat. Sampel diambil dari kulit batang kelor kemudian
dibersihkan dari pengotornya. Sampel selanjutnya dicuci dengan air mengalir.
Kemudian dikeringanginkan selama 7 hari dan di oven selama 2 hari. Sampel
kemudian diblender untuk memperkecil ukuran dan memperluas permukaan (bidang
sentuh). Dilakukan juga preparasi pelarut yang digunakan yaitu n-heksana dan
metanol dengan cara distilasi, dimana distilasi pelarut n-heksana dilakukan pada suhu
penguapan konstan 68 ºC dan pelarut metanol pada suhu penguapan konstan 70 ºC.
3.4.2 Analisis kadar air
Sampel kering yang telah dipreparasi, dianalisis kandungan airnya dengan analisis
gravimetri metode penguapan. Langkah awal yaitu dipanaskan cawan pada suhu 105º
C selama ± 15 menit untuk menghilangkan kadar airnya, lalu didinginkan di dalam
desikator selama 10 menit. Kemudian cawan ditimbang dan diulangi perlakuan
sampai diperoleh berat yang konstan. Sampel ditimbang sebanyak 5 gram dan
dipanaskan dalam oven pada suhu 105º C selama 1 jam untuk menguapkan air yang
ada pada sampel. Setelah itu, didinginkan sampel kering dalam desikator selama ± 15
menit dan ditimbang kembali. Perlakuan ini dilakukan sampai tercapainya berat
konstan. Kadar air dihitung dengan menggunakan rumus berikut :
w=

( b−c)
x 100
(b−a)

(3.1)

Keterangan:
w = kadar air (%)
a = berat konstan cawan kosong
b = berat cawan + sampel sebelum dikeringkan
c = berat konstan cawan + sampel yang telah dikeringkan

Diharapkan kadar air tidak melebihi 10 % untuk menghindari tumbuhnya mikroba
dan jamur yang dapat merusak senyawa aktif di dalam sampel.
3.4.3 Ekstraksi kulit batang kelor
Ekstraksi kulit batang kelor dilakukan dengan menggunakan metode sokletasi.
Alat sokletasi dipasang, kemudian serbuk kulit batang kelor 100 gram dibungkus
dengan kertas saring, diikat dengan benang, kemudian dimasukkan dalam alat soklet.
Sokletasi dilakukan sampai tetesan siklus tidak berwarna lagi. Ekstraksi dilakukan
menggunakan pelarut metanol dan dilakukan pada suhu 70º C. Ekstraksi dilakukan
sampai pelarut yang menguap sudah tidak berwarna lagi. Ekstrak yang diperoleh
kemudian dievaporasi menggunakan rotary evaporator sehingga diperoleh ekstrak
kental metanol. Ekstrak kental metanol yang diperoleh selanjutnya ditimbang
beratnya.
3.4.4 Fraksinasi ekstrak metanol kulit batang kelor
Fraksinasi ekstrak kental metanol kulit batang kelor dilakukan dengan ekstraksi
cair-cair menggunakan corong pisah. Fraksinasi dilakukan dengan mensuspensi
ekstrak metanol kulit batang kelor dengan menggunakan dengan tingkat kepolaran
yang berbeda. Pelarut yang digunakan adalah pelarut etil asetat dan n-heksana.
Kemudian ekstrak metanol diekstraksi berurutan menggunakan n-heksana dan etil
asetat. Setiap fraksi kemudian dievaporasi untuk mendapatkan ekstrak kentalnya.
Ekstrak kental masing-masing fraksi yang diperoleh selanjutnya ditimbang.
Selanjutnya dilakukan uji fitokimia terhadap ekstrak yang diperoleh.

3.4.5 Uji Fitokimia pada hasil ekstraksi
3.4.5.1 Uji alkaloid

Tabung reaksi yang bersih disiapkan untuk uji fitokimia. Pada tiap-tiap tabung
ditambahkan 1 mL ekstrak kental. Selanjutnya ditambahkan 2-3 tetes reagen Mayer.
Hasil positif alkaloid apabila terbentuk endapan putih atau kekuning-kuningan.
3.4.5.2 Uji saponin
Ekstrak kental diambil sebanyak 1 mL, dimasukkan ke dalam tabung reaksi,
ditambahkan air sebanyak 1 mL (1:1) dan dikocok selama 1 menit, apabila
menimbulkan busa dan dapat bertahan selama 10 menit, maka ekstrak positif
mengandung saponin.
3.4.5.3 Uji steroid/terpenoid
Ekstrak kental diambil sebanyak 1 mL, dimasukkan dalam tabung reaksi,
dilarutkan dalam 0,5 mL kloroform dan ditambah dengan 0,5 mL asam asetat
anhidrat. Campuran ini selanjutnya ditambah dengan 1-2 mL H 2SO4 pekat melalui
dinding tabung. Jika hasil yang diperoleh berupa cincin kecoklatan atau violet pada
perbatasan dua pelarut maka ekstrak tersebut menunjukkan adanya terpenoid,
sedangkan jika hasil yang diperoleh terbentuk warna hijau kebiruan maka ekstrak
tersebut menunjukkan adanya steroid.
3.4.5.4 Uji flavonoid
Tabung reaksi sebanyak empat buah disiapkan untuk diuji. Pada tiap tabung reaski
ditambahkan 2 mL ekstrak kental. NaOH encer sebanyak 1 mL ffditambahkan ke
dalam tabung I, tabung II ditambahkan dengan 1 mL natrium asetat (CH 3COO- Na+),
tabung III ditambahkan logam Mg dan 4-5 tetes HCl pekat dan 1 mL H2SO4 pekat
ditambahkan ke dalam tabung IV. Perubahan warna merah atau kuning menunjukkan
positif flavonoid.

3.4.6 Kromatografi lapis tipis

Sebelum dilakukan pemisahan, fraksi n-hexana dianalisis menggunakan metode
kromatografi lapis tipis (KLT). Tujuannya adalah untuk melihat pola pemisahan
senyawa-senyawa yang ada di dalamnya. Disiapkan peralatan yang diperlukan seperti
chamber dan plat KLT. Pada plat KLT dibuat garis sebagai batas atas dan batas bawah
dengan jarak masing-masing 1 cm dari pinggirnya. Sebelum sampel ditotolkan
terlebih dahulu dibuat larutan pengembangnya (eluen). Eluen dibuat dengan pelarut
tunggal atau campuran pelarut dengan perbandingan tertentu, kemudian eluen
dijenuhkan beberapa saat di dalam chamber. Sampel selanjutnya ditotolkan pada
garis batas bawah plat KLT, kemudian saat eluen mencapai garis batas atas, plat KLT
diangkat, ditunggu hingga kering atau sambil digoyangkan, kemudian untuk
mendeteksi senyawa flavonoid maka plat KLT dianalisis dibawah lampu UV pada
panjang gelombang 365 nm.
3.4.7 Kromatografi kolom vakum cair (KVC)
Fraksi n-heksana difraksinasi dengan menggunakan kromatografi kolom vakum
dengan fase diam berupa silika gel GF60 dan fase gerak berupa berupa pelarut organik
dengan kepolaran yang berbeda yaitu dari pelarut yang memiliki kepolaran rendah
sampai pelarut yang memiliki kepolaran tinggi. Pelarut yang digunakan adalah
campuran eluen yang telah diperoleh pada proses KLT sebelumnya. Persiapan untuk
kromatografi kolom vakum cair ini dilakukan dengan metode basah. Kedalam ujung
kolom kromatografi (tempat keluarnya fase diam) di atas keran diletakkan kapas,
tidak perlu ditekan terlalu kuat. Diatasnya ditaburkan pasir sehingga membentuk
lapisan tebal ± 1 cm. Selanjutnya dimasukkan pelarut non polar sambil mencoba
kecepatan menetes fase gerak dengan pelarut non polar. Dengan bantuan batang
pengaduk bubur dimasukkan ke dalam kolom berisi pelarut non polar. Sambil
diketuk-ketuk butir-butir fase diam akan turun dan tersusun rapi di dalam kolom. Bila
kolom penuh maka keran dibuka untuk menurunkan permukaan dan pelarut yang
keluar dapat digunakan lagi untuk membuat bubur fase diam. Packing dihentikan
sampai panjang kolom yang dikehendaki. Selapis pasir diletakkan pada bagian atas

kolom untuk melindungi kolom. Kolom juga dijaga untuk tidak kering, maka di atas
lapisan pasir harus selalu ada selapis fase gerak.
Sampel selanjutnya

dimasukkan ke

dalam,

dimana sebelumnya telah

diimpregnasi terlebih dahulu dengan menambahkan silika gel. Eluen yang sesuai
selanjutnya ditambahkan ke dalam kolom. Hasil pemisahan ditampung dan diberi
nomor, kemudian penggantian fase gerak dilakukan ketika eluen yang dimasukkan
sebelumnya telah habis digunakan untuk mengaliri kolom. Semua fraksi yang
diperoleh kemudian diuji dengan menggunakan KLT untuk melihat pola
pemisahannya. Fraksi-fraksi yang memiliki pola pemisahan yang ditandai dengan
nilai Rf yang sama digabungkan menjadi satu untuk selanjutnya dilakukan
kromatografi kolom gravitasi (KKG).
3.4.8 Kromatografi kolom gravitasi (KKG)
Persiapan untuk kromatografi kolom gravitasi ini dilakukan seperti metode
sebelumnya yaitu metode basah, dimana cara basa lebih mudah untuk mendapatkan
packing yang memberikan pemisahan yang baik. Proses pemisahan dilakukan seperti
proses sebelumnya. Kemudian dilakukan pemisahan sampai diperoleh beberapa
fraksi. Fraksi-fraksi yang dihasilkan dari kromatografi kolom tekan ini selanjutnya di
KLT. Fraksi-fraksi yang memiliki kesamaan noda dan nilai Rf digabungkan menjadi
F1, F2, F3 dan seterusnya. Fraksi yang memiliki pemisahan yang paling baik
selanjutnya dianalisis dengan menggunakan instrumen GC-MS.
3.4.9 Instrumentasi Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC-MS)
Fraksi yang memiliki pemisahan yang paling baik yang dihasilkan dari
kromatografi kolom gravitasi selanjutnya dianalisis dengan menggunakan GC-MS.
Tujuannya yaitu untuk mengetahui senyawa-senyawa yang terkandung di dalam
fraksi tersebut. Gas pembawa yang digunakan adalah gas helium. Kolom yang
digunakan adalah Rtx®-5MS dengan bahan pengisi 5 % dipheyl 95 % dimethyl
polysiloxane.

3.5 Uji Efektifitas Larvasida
3.5.1

Sampel

3.5.1.1 Kriteria inklusi


Larva Aedes aegypti



Larva Aedes aegypti instar 3



Larva hidup



Larva yang bergerak aktif

3.5.1.2 Kriteria eksklusi


Bukan larva Aedes aegypti



Bukan larva Aedes aegypti instar 3



Larva mati

3.5.1.3 Besar sampel
Jumlah larva yang digunakan adalah 10 ekor untuk setiap larutan larutan uji
dengan konsentrasi yang telah ditentukan. Adapun konsentrasi pada uji ini berjumlah
lima konsetrasi berbeda, satu kontrol positif dan satu kontrol negatif kemudian
dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali. Sehingga jumlah sampel total yang
dibutuhkan adalah 210 larva Aedes aegypti
3.6.1 Variabel Penelitian
3.6.1.1 Variabel bebas
Variabel bebas atau independent variable pada penelitian ini adalah isolat dari
kulit batang kelor dan larva Aedes aegypti.
3.6.1.2 Variabel terikat

Variabel terikat atau dependent variable pada penelitian ini adalah Letal
Conceration 50 (LC50).

3.6.3 Cara Kerja
3.6.3.1 Pembuatan larutan
a.

Larutan uji
Larutan uji dibuat dengan melarutkan isolat dengan n-heksana murni dengan cara

menimbang isolat sebanyak 25 gram dalam 50 mL pelarut (larutan induk 500 ppm).
Kemudian dilakukan pengenceran dengan konsentrasi 250 ppm, 125 ppm, 62,5 ppm
dan 31,25 ppm.
b.

Pembuatan larutan temefos 1% (kontrol positif)
Ditimbang 0,5 g bubuk temefos. Dilarutkan dalam aquades steril. Kemudian

larutan yang telah homogen dipindahkan ke dalam labu takar 50 mL. Kemudian
ditambahkan aquades sampai tanda batas.
c.

Pembuatan larutan kontrol negatif
Larutan kontrol negatif adalah aquades.

3.6.3.2 Uji larvasida
a.

Uji eksplorasi
Uji eksplorasi digunakan guna mengetahui konsentrasi dari larutan yang

menyebabkan kematian sebanyak 50% pada larva yang digunakan dalam penelitian.
Kriteria mati pada larva yaitu jika larva tidak bergerak dan tidak bereaksi jika
disentuh.


Larutan uji yang telah dibuat dimasukkan ke dalam gelas plastik.



Larva yang sudah sesuai untuk digunakan dimasukkan ke dalam gelas
plastik.



Larva yang sudah berada di gelas plastik disaring menggunakan saringan
teh, kemudian dimasukkan kedalam larutan uji.



Kemudian dilakukan pengamatan setelah 24 jam.

b. Uji utama


Dibuat larutan induk untuk uji utama, dimana larutan induk yang
digunakan adalah larutan dengan konsentrasi terendah yang dapat
membunuh 100% larva.



Larutan diencerkan setengah dari konsentrasi awal sehingga didapat lima
variasi konsentrasi yang berbeda.



Hasi pengenceran dimasukkan kedalam gelas plastik.



Larva yang sudah sesuai untuk digunakan dimasukkan ke dalam gelas
plastik.



Larva yang sudah berada di gelas plastik disaring menggunakan saringan
teh, kemudian dimasukkan kedalam larutan uji.



Kemudian dilakukan pengamtan setiap 12 jam sekali.

3.6.8 Analisis dan Interpretasi Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian berupa mortalitas larva nyamuk, maka
dilakukan perhitungan statiska sebagai berikut:

a. Uji Normalitas
Uji ini dilakukan untuk mengetahui nilai sebaran data pada sebuah kelompok
data, apakah sebaran data telah terdistribusi normal atau tidak. Jika data yang
ditemukan normal, maka dapat dilakukan uji One-Way Annova.
b. Uji Homogenitas
Uji ini dilakukan untuk mengetahui nilai kesamaan data pada sebuah kelompok
data, apakah sebaran data telah terdistribusi normal atau tidak. Jika data yang
ditemukan normal, maka dapat dilakukan uji One-Way Annova.

c.

Uji One-Way Annova
Uji ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan jumlah kematian larva pada

setiap konsentrasi. Namun, syarat dilakukan uji ini adalah data yang terdistribusi
normal.
d. Analisis Probit
Uji ini dilakukan untuk mengetahui nilai LC50.

DAFTAR PUSTAKA
Andareto, Obi, 2015, Apotik Herbal di Sekitar Anda (Solusi Pengobatan 1001
Penyakit Secara Alami dan Sehat Tanpa Efek Samping), Jakarta, Pustaka Ilmu
Semesta.
Atun, Sri, 2014, Metode Isolasi dan Identifikasi Struktur Senyawa Organik Bahan
Alam Senyawa Alam Metabolit Sekunder Teori, Konsep, dan Teknik
Pemurnian, Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Vol 8, No. 2, hal 5361.
Avriani, B.E.J, 2017, Isolasi Senyawa Antibakteri dari Ekstrak Metanol Daun Asam
Jawa (Tamarindus Indica L.), Skripsi, Mataram, Universitas Mataram.
Balamurugan, V, Veluchamy, B., Arjunan, S., 2015, GC-MS Analysis of Leaf and
Bark Extract of Moringa concanensis Nimmo, a Siddha Medicinal Plant of
South India,European Journal of Biotechnology and Bioscience, Vol 8,Issue 12,
hal 57-61.

Bargah, R. K, dan Chinmoyee, D., 2010, Isolation of Flavonoid Glycoside from
Moringa pterygosperma, Oriental Journal of Chemistry, Vol 26, No. 3, hal
1203-1205.
Boesri, Hasan. Bambang, H., Sri, W.H., Tri, S., 2015, Uji Toksisitas Beberapa
Ekstrak Tanaman terhadap Larva Aedes aegypti Vektor Demam Berdarah
Dengue, Vektora, Vol7, No. 1, hal 29-38.
Bonang, G., 1992, Mikrobiologi untuk Profesi Kesehatan Edisi 16, Jakarta, Buku
Kedokteran EGC.
Brooks, G.F, Butel J.S, Carroll, K.C., 2007, Medical Microbiology 24th Ed, USA, Mc
Graw Hill.
Chairunnisa, Firda. Alima dan Ana, Medawati, 2014, Pengaruh Daya Antibakteri
Obat Kumur Ekstrak Etanol Daun Ciplukan (Physalis angulata) terhadap
Bakteri Streptococcus mutans In Vitro, Yogyakarta, Deepublish.
Departeman KesehatanRI, 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak Obat, Jakarta,
Diktorat Jendral POM-Depkes RI.
Djamil, Ratna dan Cathrina, Yenni, 2015, Isolasi dan Identifikasi Senyawa Flavonoid
dalam Fraksi n-Butanol Daun Dewa (Gynura pseudochina (L.)DC) secara
Spektrofotometri UV-Cahaya Tampak. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia, Vol
12, No. 1, hal 93-98.
Ferreira, P.M.P., Ana, F.U.C., Davi,F.F., Nara, G.C., Vania, M.M.M., Maria, G.R.Q.,
Alice, M.C.M., Joaquim, G.M.N., 2009, Larvicidal Activity of the Water
Extract of Moringa oleifera Seeds Against Aedes aegypti and Its Toxicity upon
Laboratory Animals, Anais da Academia Brasileira de Ciencias, Vol 2, No. 81,
hal 207-216.
Forssten, S.D., Marika, B., Arthur, C.O., 2010, Streptococcus mutans,Caries and
Simulation Models. Journal Nutrient, Vol 5, No. 2, hal 290-298.
Greenwood, 1995, Antibiotic Susceptibility (Sensitivity) test, Antimicrobial and
Chemotherapy, USA, Mc Graw Hill Company.
Heinrich, M., Barnes, J., Gibbons, S., Elizabeth M., 2004, Fundamental of
Pharmacognosy an Phytotherapi, Hungary, Elsevier.

Idowu, Kehinde, Oseni, Abass, O., 2015, Compositional Investigation of
Phytochemical and Antioxidant Properties of Various part of Moringa oleifera
Plant, Jurnal Basic Appl Sci, Vol 2, No. 2, hal 2059-3058.
Grotewold, Erich, 2006, The Science of Flavonoids, Ohio, Springer.
Kementerian Kesehatan RI., 2016, Infodatin Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan RI Situasi DBD di Indonesia, Kementerian Kesehatan RI, Jakarta.
Kusmana, Cecep dan Agus Hikmat., 2015, Keanekaragaman Hayati Flora di
Indonesia, Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Vol 5,
No.2, hal 187-198.
Krisnadi, A. D., 2015 , Kelor Super Nutrisi, Blora, LSM-MEPELING.
Kristianti, A.N., Aminah, N.S., Tanjung, M., dan Kurniadi, B., 2008, Buku Ajar
Fitokimia, Surabaya, Unair Press.
Leone, A., Spada, A., Battezzati, A., Schiralddi, A., Bertoli, S., 2015, Cultivation,
Genetic, Ethnopharmacology, Phytochemistry and Pharmacology of Moringa
oleifera Leaves, International Journal Mol Sci, No. 16, hal 12791-12835.
Markham, K. R., 1998, Cara Mengidentifikasi Flavonoid, Bandung, ITB.
Markham, K. R, dan Oyvind, M. A., 2006, Flavonoids Chemistry, Biochemistry and
Applications, USA, CRC Pres