Model Pengembangan Profesi Guru (1)

MAKALAH

SIMPOSIUM NASIONAL PENELITIAN DAN INOVASI PENDIDIKAN TAHUN 2009 MODEL PENGEMBANGAN PROFESI GURU SECARA OTENTIK

Sitti Maesuri Patahuddin, S.Pd., M.Pd., Ph.D.

(Dosen Pendidikan Matematika di Universitas Negeri Surabaya)

PUSLITJAKNOV – BALITBANG DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

Mei 2009

Abstrak

Undang-undang Guru dan Dosen Tahun 2005 menjadi momentum yang sangat penting dalam pembentukan guru-guru profesional di Indonesia. Pelaksanaan sertifikasi guru melalui kebijakan portofolio dan diklat bagi yang tidak lulus portofolio menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah langkah tersebut secara efektif dapat membawa para guru menjadi profesional dan bagaimana dampak yang sebenarnya terhadap pembelajaran siswa di kelas. Makalah ini dimaksudkan untuk menyajikan satu alternatif program pengembangan profesi guru yang bersifat otentik, dilaksanakan pada konteks sekolah dengan tetap memperhatikan kebutuhan dan karakteristik guru, situasi lapangan, perbaikan kualitas pembelajaran, dan peningkatan hasil belajar siswa.

Model pengembangan profesi guru secara otentik dapat diterapkan untuk memfasilitasi guru dalam mengembangkan keprofesionalannya. Melalui penerapan ini, faktor-faktor individual dan kontekstual yang mendukung atau menghambat pengembangan profesi guru-guru dapat sekaligus diselidiki. Penggunaan pendekatan ethnography dalam model ini memungkinkan peneliti memahami kompleksitas dari pengajaran dengan berbagai teknik dan bukan mendeskripsikan kondisi ideal yang hanya ada dalam bayangan. Selain itu, ethnography berusaha menemukan apa yang sebenarnya terjadi di situasi riil di lapangan.

Urgensi penelitian yang menerapkan model pengembangan profesi guru secara otentik, dapat dilihat dari empat aspek, yaitu: kesesuaian dengan kebijakan pemerintah yang memacu terbentuknya guru yang profesional; aspek pengembangan institusional (institusi pendidikan yang turut bertanggung jawab mempersiapkan guru profesional di masa depan perlu memahami perkembangan pembelajaran di situasi riil guru); aspek peningkatan hasil belajar siswa, dan implikasi teoretis dari penerapan model otentik ini pada konteks sekolah.

Kata kunci: guru profesional, otentik, ethnography

Pendahuluan

Amanah UU No. 20 Tahun 2003, bahwa “setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang bermutu” berimplikasi pada pentingnya guru

melaksanakan pengajaran yang berkualitas. Namun kenyataan menunjukkan, terdapat banyak guru yang belum memenuhi standar minimal layak mengajar (Sinar Harapan, 2006). Klaim rendahnya kualitas pengajaran matematika biasanya ditunjukkan oleh rendahnya hasil Ujian Nasional (UNAS) matematika.

Di sisi lain, pengajaran adalah tugas yang sangat kompleks karena guru dituntut memahami materi yang diajarkan, strategi pengajarannya, karakter dan kemampuan siswanya, dan lain-lain (Borko, 2004; Borko & Putnam, 1996; Soedijarto, 2008; Sousa, 2008). Tugas ini semakin kompleks ketika para guru dituntut mengajar dengan cara yang berbeda dari apa yang telah mereka pelajari atau alami, dituntut mengikuti perkembangan teknologi, atau ketika guru dihadapkan pada tuntutan UNAS, perubahan kurikulum, rendahnya motivasi belajar dan kemampuan prasyarat siswa (Patahuddin, 2008).

Salah satu cara membantu guru mengembang tugas pengajaran yang kompleks tersebut adalah menyiapkan program pengembangan profesi guru ( teacher professional development). Program tersebut seharusnya menjadi alat pembaharuan pengetahuan guru dan perbaikan praktek pengajaran guru di kelas (Goos, Stillman, & Vale, 2007; William, Barry, Ryoko, & Lawrence, 2007).

Di Indonesia, Undang-undang Guru dan Dosen Tahun 2005 pun ditetapkan. Undang-undang ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas guru dan penghasilan guru yang profesional. Guru dianggap memenuhi standar profesional bilamana latar belakang akademik minimal S1/Diploma 4 dan guru harus mempunyai sertifikat pendidik (Jalal, 2007; Kedaulatan Rakyat, 2006).

Untuk mendapatkan sertifikat pendidik, guru harus mampu menunjukkan kompetensinya melalui portofolio yang berisi dokumen yang mendeskripsikan 10 hal berikut: (1) kualifikasi akademik, (2) pendidikan dan pelatihan, (3) pengalaman mengajar ditunjukkan oleh berapa lama mengajar, (4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran ditunjukkan oleh RPP atau Rencana Pelaksanaan Pengajaran, (5) penilaian dari atasan dan pengawas, (6) prestasi akademik, (7) karya pengembangan profesi, (8) keikutsertaan dalam forum ilmiah misalnya konferensi, seminar, loka karya, Untuk mendapatkan sertifikat pendidik, guru harus mampu menunjukkan kompetensinya melalui portofolio yang berisi dokumen yang mendeskripsikan 10 hal berikut: (1) kualifikasi akademik, (2) pendidikan dan pelatihan, (3) pengalaman mengajar ditunjukkan oleh berapa lama mengajar, (4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran ditunjukkan oleh RPP atau Rencana Pelaksanaan Pengajaran, (5) penilaian dari atasan dan pengawas, (6) prestasi akademik, (7) karya pengembangan profesi, (8) keikutsertaan dalam forum ilmiah misalnya konferensi, seminar, loka karya,

Namun demikian, pelaksanaan kebijakan portofolio ini menghadapi banyak tantangan, antara lain: masalah kecemburuan sosial, perasaan diperlakukan secara tidak adil, kekurangpahaman para guru tentang persyaratan dan penyusunan portofolio, dan beberapa kasus ketidakjujuran guru karena mengumpulkan data/bukti palsu (baca Kompas, 2007a, 2007b, 2007c, 2007d, 2007e). Bagi guru yang tidak lulus dalam penilaian portofolio, mereka diharuskan mengikuti pendidikan dan pelatihan (DIKLAT) selama kurang lebih dua minggu. Pelaksanaan diklat ini pun menghadapi banyak tantangan baik bagi guru yang harus meninggalkan siswanya cukup lama akibat mengikuti pelatihan tersebut.

Implementasi kebijakan di atas telah menghabiskan dana yang sangat besar tetapi tidak diketahui seberapa jauh dampak perbaikan pembelajaran di kelas. Hal ini sejalan dengan gejala yang diungkapkan oleh Borko (2004), yaitu banyaknya program pengembangan profesi guru yang menghabiskan dana dalam jumlah besar tetapi “ intellectually superficial ” dan “ woefully inadequate ” (hal.3).

Menurut pengamatan penulis, salah satu dampak kebijakan sertifikasi adalah, „menjamurnya‟ seminar, penataran, pelatihan-pelatihan, atau pun workshop. Penulis

juga telah beberapa kali menjumpai program pelatihan guru yang dilaksanakan di hotel- hotel yang sudah tentu membutuhkan biaya yang relatif mahal. Ini adalah fenomena yang relatif baru yang agak berbeda dari program pelatihan sebelum tahun 2000. Namun demikian, informasi tentang dampak pelatihan terhadap perbaikan pembelajaran siswa di kelas sangat terbatas. Bahkan pelatihan yang dilaksanakan di luar sekolah, bagi sebagian guru, menimbulkan masalah baru. Misalnya, banyak kegiatan pembelajaran di kelas kosong karena guru harus mengikuti pelatihan. Guru pun harus mengejar ketertinggalan materi yang ditargetkan oleh kurikulum akibat guru meninggalkan kelas. Masalah lain yang penulis temukan adalah keluhan sebagian guru akan sulitnya menerapkan konsep yang mereka peroleh dari penataran karena merasakan ketidaksesuaian dengan konteks sekolah mereka.

Berdasarkan kenyataan ini, muncul pertanyaan: dapatkah dilaksanakan program pengembangan profesi guru pada konteks sekolah masing-masing dengan tetap memperhatikan kebutuhan guru (misalnya pendalaman matematika, strategi Berdasarkan kenyataan ini, muncul pertanyaan: dapatkah dilaksanakan program pengembangan profesi guru pada konteks sekolah masing-masing dengan tetap memperhatikan kebutuhan guru (misalnya pendalaman matematika, strategi

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dalam makalah ini, disajikan model pengembangan profesi guru secara otentik ( Authentic Teacher Professional Development ). Model yang dikembangkan oleh Patahuddin (penulis makalah ini) dalam studi PhDnya, memadukan tiga konsep, yaitu lima karakteristik pengembangan profesi guru yang efektif ( Five Characteristics of Effective Professional Development ), zone pembelajaran guru, dan pendekatan ethnography. Karena model ini sangat mempertimbangkan konteks sekolah, maka model ini dapat diterapkan di sekolah- sekolah baik pada jenjang pendidikan dasar maupun pendidikan menengah, baik di sekolah perkotaan maupun di luar perkotaan.

Sehubungan dengan konsep pertama, kelima karakteristik yang dimaksud adalah: berkelanjutan (K-1), bersifat kolaboratif (K-2), berorientasi pada kebutuhan belajar siswa (K-3) mempertimbangkan/memperhitungkan individu guru dan konteksnya (K-4), dan berfokus pada upaya pendalaman materi matematika dan strategi pengajarannya (K-5) (Patahuddin & Dole, 2006).

Pada konsep yang kedua, teori zone pembelajaran guru yang dimaksud adalah “ the three zones of influence in teacher professional learning ” yang dikembangkan oleh Goos (Goos, 2005a, 2005b; Goos, Stillman et al., 2007). Pada hakekatnya, teori ini menyatakan bahwa proses pembelajaran atau pengembangan guru ditentukan oleh berbagai macam faktor yang saling berkaitan, antara lain pengetahuan tentang keguruan, pengetahuan tentang isi matematika yang diajarkan, keyakinan tentang apa yang perlu diajarkan dan bagaimana mengajarkannya, persepsi guru terhadap kemampuan dan motivasi siswa, kurikulum atau pemahaman guru terhadap kurikulum, tuntutan ujian nasional, fasilitas, sistem atau kebijakan sekolah, budaya masyarakat, latar belakang akademik guru, pengalaman mengajar, dan lain-lain. Faktor-faktor tersebut dikelompokkan dalam tiga zone, yaitu the Zone of Proximal Development (ZPD), the Zone of Free Movement (ZFM) dan the Zone of Promoted Action (ZPA). Pemahaman faktor-faktor yang ada dalam ketiga zone tersebut dapat membantu dalam upaya memfasilitasi guru dalam proses belajarnya.

Konsep yang ketiga adalah ethnography. Ethnography yang dimaksudkan dalam makalah ini adalah suatu metode penelitian kualitatif atau pendekatan untuk menginvestigasi secara mendalam proses pembelajaran guru dari dalam konteks tempat pelaksanaan program pengembangan profesi guru. Dengan demikian, program pengembangan profesi guru ini dilaksanakan di sekolah dan peneliti atau dosen atau pendamping guru yang bermaksud membawa inovasi pembelajaran berperan bukan hanya sebagai fasilitator tetapi sebagai pengamat partisipatif ( participant observer) .

Penjelasan ketiga konsep dan keterkaitan antara konsep-konsep tersebut di atas disajikan secara lebih rinci pada bagian kajian pustaka berikut.

Kajian Teori

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa model pengembangan profesi guru secara otentik merupakan perpaduan tiga konsep utama, yaitu lima karakteristik pengembangan profesi guru yang efektif ( Five Characteristics of Effective Professional Development ), zone pembelajaran guru, dan pendekatan ethnography. Sebelum menguraikan model otentik tersebut terlebih dahulu dijelaskan masing-masing konsep tersebut di atas.

Program Pengembangan Profesi Guru: 5 Karakteristik

Berikut ini adalah lima karakteristik pengembangan profesi guru yang efektif yang telah diidentifikasi dari berbagai literatur yang berbeda antara lain oleh Borko (2004), Little (1993), Putnam & Borko (1997), Wilson dan Berne (1999) dan Wiske, Sick, dan Wirsig (2001).

Berkelanjutan (K-1) Dalam menjelaskan perlunya program pengembangan guru yang berkelanjutan, Little (1993) mengatakan bahwa program pengembangan profesi guru seharusnya dilaksanakan dalam waktu yang cukup panjang untuk meyakinkan adanya perolehan pengetahuan, keterampilan, dan rasa percaya diri. Sejalan dengan itu, Abdal-Haqq (1996) menjelaskan bahwa program ini harus berkelanjutan sedemikian sehingga dapat memberikan kesempatan pada guru untuk berlatih, mendapat umpan balik, dan berefleksi. Hal ini juga diperkuat oleh beberapa temuan bahwa sering Berkelanjutan (K-1) Dalam menjelaskan perlunya program pengembangan guru yang berkelanjutan, Little (1993) mengatakan bahwa program pengembangan profesi guru seharusnya dilaksanakan dalam waktu yang cukup panjang untuk meyakinkan adanya perolehan pengetahuan, keterampilan, dan rasa percaya diri. Sejalan dengan itu, Abdal-Haqq (1996) menjelaskan bahwa program ini harus berkelanjutan sedemikian sehingga dapat memberikan kesempatan pada guru untuk berlatih, mendapat umpan balik, dan berefleksi. Hal ini juga diperkuat oleh beberapa temuan bahwa sering

Kolaboratif (K-2) Pentingnya kolaborasi dalam suatu program pengembangan profesi guru telah dikemukakan oleh beberapa pakar antara lain Abdal-Haqq (1995), Little (1988), dan Wilson dan Berne (1999). Menurut Abdal-Haqq secara implisit berpendapat bahwa fasilitator program harus mendorong terjadinya kolaborasi antar guru. Hal ini dapat diciptakan dengan cara memberi mereka kesempatan untuk mendiskusikan mengenai materi ajar, siswa dan pengajaran mereka (Wilson & Berne, 1999). Sedangkan Little menegaskan pentingnya kolaborasi guna membangun pemahaman bersama, pengembangan pemikiran, dan bersama-sama menguji kejelasan atau ketepatan ide-ide tertentu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa aspek kolaborasi ini seharusnya terjadi baik antara fasilitator dengan guru maupun antar guru- guru yang terlibat dalam program tersebut. Oleh karena itu, dalam program pengembangan profesi guru di sekolah, disarankan agar peneliti, dosen atau pendamping guru merekrut sekurang-kurangnya dua guru dari satu sekolah untuk memungkinkan terjadinya kerjasama antar guru.

Aspek ini telah ditekankan oleh Abdal Haqq (1996), bahwa program pengembangan profesi guru harus menfokuskan pada pengembangan pembelajaran dan peningkatan hasil belajar siswa. Kualitas guru ditingkatkan dengan tujuan agar kualitas pembelajaran siswa di kelas semakin meningkat. Ini berarti keberhasilan program pengembangan profesi guru, salah satu dapat dilihat dari keberhasilan pembelajaran di kelas.

Berorientasi pada pembelajaran siswa (K3)

Karakteristik keempat dari program pengembangan guru yang efektif adalah mempertimbangkan individu guru serta konteks kelas maupun sekolahnya. Putnam dan Borko (1997) dan Abdal Haqq (1996) mengatakan bahwa guru harus diperlakukan sebagai pebelajar aktif yang mengkonstruksi pemahaman mereka sendiri sebagaimana layaknya orang dewasa. Guru juga harus diperlakukan sebagai profesional (Abdal-Haqq, 1996; Putnam & Borko, 1997). Lebih jauh, Putnam dan Borko (1997) menekankan pentingnya memperlakukan guru sebagaimana guru diharapkan memperlakukan siswa. Putnam dan Borko (1997) dan Abdal Haqq (1996) setuju bahwa program pengembangan profesi guru harus mempertimbangan konteks kelas dan sekolah guru tersebut.

Mempertimbangan individu dan konteks guru (K4)

Memperkuat pemahaman matematika dan aspek pengajarannya (K5)

Karakteristik terakhir yang diidentifikasi dari berbagai literatur yang berbeda adalah bahwa program pengembangan profesi guru seharusnya membangun pedagogical content knowledge (PCK). PCK didefinisikan oleh Shulman sebagai perpaduan dari isi materi matematika dan pengajaran, yaitu pemahaman tentang bagaimana topik-topik tertentu atau masalah-masalah tertentu di susun, dipresentasikan, diajarkan, dan disesuaikan dengan ketertarikan dan kemampuan siswa yang beragam (Goos, Stillman et al., 2007, p.8). Sehubungan dengan ini, Abdal Haqq (1996) dan Little (1993) menyatakan bahwa program tersebut harus berakar pada pengetahuan dasar tentang pengajaran dan harus berfokus pada masalah-masalah penting yang ada dalam kurikulum dan pengajaran.

Zone Pembelajaran Guru

T eori “ the three zones of influence in teacher professional learning ” dikembangkan oleh Goos (Goos, 2005a, 2005b; Goos, Stillman et al., 2007). Model teoretis ini mengadopsi Valsiner’s zone theory (Valsiner, 1997), suatu perluasan dari Vygotsky‟s Zone of Proximal Development (ZPD). Dalam studi Valsiner terhadap perkembangan anak, dia menambahkan dua zone yaitu the Zone of Free Movement (ZFM) dan the Zone of Promoted Action (ZPA).

Goos mengusulkan model teoretis ini untuk pengembangan dan pembelajaran guru. Ia menjelaskan elemen-elemen dari ketiga zone di atas seperti berikut ini. ZPD menyatakan pengetahuan dan kepercayaan guru. Zone ini meliputi pengetahuan guru pada disiplin ilmu matematika dan strategi pengajarannya ( pedagogical content of knowledge) serta kepercayaan guru pada disiplin ilmu matematika tersebut (misalnya keyakinan guru tentang matematika apa yang penting diajarkan dan bagaimana cara terbaik mengajarkannya). Menurut Goos, ZPD ini menyatakan potensi pengembangan profesi guru.

ZFM menyatakan konteks profesi guru, yang memberi batasan tentang tindakan apa yang dapat dilakukan oleh guru. Unsur dari zone ini dapat berupa kurikulum, persyaratan penilaian, ketersediaan sumber pembelajaran, struktur organisasi sekolah, budaya, persepsi guru terhadap latar belakang siswa, kemampuan siswa, dan motivasi siswa.

ZPA menyatakan sumber bantuan yang tersedia bagi guru dalam pengembangan pengajaran tertentu, misalnya yang disediakan oleh program pendidikan guru, guru pamong atau konsultan, kolega yang profesional atau mentor di sekolah, atau kegiatan yang lebih formal berupa workshop atau pelatihan-pelatihan guru.

Goos (2006) menyatakan bahwa hubungan dari ketiga zone tersebut bermanfaat untuk menganalisis sejauh mana guru dapat mengadopsi praktek-praktek pengajaran yang baru. Dia mengatakan bahwa pengembangan guru ditentukan oleh hubungan antara semua unsur dari ketiga zone tersebut.

Sebagai contoh, sebuah studi yang dirancang untuk membantu guru melaksanakan silabus matematika yang baru di Queensland, Australia. Dalam studi tersebut Goos, Dole, dan Makar (2007b) menganalisis faktor-faktor individu dan konteks guru yang mendukung dan menghambat terjadinya proses pembelajaran guru. Tim peneliti bekerja dengan pasangan-pasangan guru di empat sekolah yang berbeda untuk mengembangkan pembelajaran investigasi sebagaimana diharapkan oleh silabus. Dengan demikian tim peneliti menyiapkan ZPA untuk mendukung pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan pesan silabus mereka. Pada umumnya para guru mempunyai pengetahuan dan kepercayaan yang bersesuaian dengan pendekatan pengajaran yang ditawarkan tersebut. Mereka juga mempunyai pemahaman yang memadai tentang materi matematika yang akan diajarkannya. Namun demikian konteks profesi tempat mereka mengajar tidak mendukung pelaksanaan pengajaran ini.

Dalam satu sekolah, guru dihadapkan pada masalah rendahnya prestasi dan motivasi belajar siswa, terbatasnya sumber-sumber belajar dan fasilitas belajar, dan persepsi guru tentang rendahnya peran orang tua dalam membantu anaknya belajar. Tetapi interaksi positif antara elemen konteks guru (ZFM) dan pengetahuan serta kepercayaan guru (ZPD) membawa guru tersebut memformulasi tujuan pembelajarannya, yaitu melibatkan siswa-siswanya dalam pembelajaran matematika secara bermakna. Hal ini tampaknya dapat terwujud karena: (a) kepala sekolah memberi dukungan, yaitu mengatur kembali jadwal sehingga memungkinkan pasangan guru di sekolah tersebut membuat perencanaan secara bersama dan melakukan tim teaching di kelas, (b) dukungan yang diberikan oleh tim peneliti sejalan dengan pemahaman guru, dan (c) guru mempunyai kemauan untuk mencoba pendekatan-pendekatan baru. Dengan demikian, tidak ada satu pun dari unsur ZPD, ZPA, dan ZPM yang berdiri sendiri Dalam satu sekolah, guru dihadapkan pada masalah rendahnya prestasi dan motivasi belajar siswa, terbatasnya sumber-sumber belajar dan fasilitas belajar, dan persepsi guru tentang rendahnya peran orang tua dalam membantu anaknya belajar. Tetapi interaksi positif antara elemen konteks guru (ZFM) dan pengetahuan serta kepercayaan guru (ZPD) membawa guru tersebut memformulasi tujuan pembelajarannya, yaitu melibatkan siswa-siswanya dalam pembelajaran matematika secara bermakna. Hal ini tampaknya dapat terwujud karena: (a) kepala sekolah memberi dukungan, yaitu mengatur kembali jadwal sehingga memungkinkan pasangan guru di sekolah tersebut membuat perencanaan secara bersama dan melakukan tim teaching di kelas, (b) dukungan yang diberikan oleh tim peneliti sejalan dengan pemahaman guru, dan (c) guru mempunyai kemauan untuk mencoba pendekatan-pendekatan baru. Dengan demikian, tidak ada satu pun dari unsur ZPD, ZPA, dan ZPM yang berdiri sendiri

Contoh lainnya adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh Patahuddin (2008) untuk mengetahui faktor-faktor yang telah membawa seorang guru SD di Australia, Any (nama samaran) mengoptimalkan internet untuk pengembangan profesinya dan untuk pengajaran matematikanya.

Ann adalah seorang guru yang telah mengajar lebih dari 20 tahun. Saat penelitian ini dilakukan, dia mengajar di SD kelas IV. Ruang kelas Any sempit dan fasilitasnya agak terbatas dibandingkan dengan kebanyakan sekolah lain di Queensland, Australia. Meskipun terdapat enam komputer di kelas Any, hanya dua komputer yang terkoneksi dengan internet. Komputer-komputer yang ada sudah cukup tua bahkan ada satu komputer yang sangat tua dan tidak bisa lagi menyimpan file, tetapi masih tetap dimanfaatkan untuk pembelajaran siswa. Pihak sekolah pun tidak menyiapkan teknisi komputer sehingga Any kadang-kadang mengalami kesulitan bila terjadi masalah pada sistem komputer tersebut.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam situasi yang terbatas, Any berhasil memanfaatkan internet secara optimal untuk pembelajaran murid-muridnya. Dia mengatakan bahwa internet sebagai pendukung dalam menjalankan perannya sebagai fasilitator seperti tergambar pada interview:

I often find that I can engage them into some appropriate math learning related to what I am teaching, using the i nternet. … whereas normally, being the facilitator without the internet is quite hard because you are there and you've got a whole class in front of you, and you can't often

have a focus or enough focus … to kee p the children discusing. Whereas, I find the i nternet very good for sustaining kids’ discussions

and focus. Dia juga percaya bahwa setiap siswa mempunyai tingkat kemampuan atau

pemahaman yang berbeda-beda dan internet dapat dimanfaatkan untuk melayani kebutuhan siswa yang berbeda-beda, seperti yang dinyatakan berikut.

…you can offer extensions through the internet. If you have children that are extra gifted who want to go into something a little further than …you can offer extensions through the internet. If you have children that are extra gifted who want to go into something a little further than

them. Ann meyakini bahwa keterampilan menggunakan teknologi informasi dan

komunikasi termasuk Internet adalah penting bagi kehidupan siswa seperti dikatakan oleh Any “understanding and using ICT is an essential skill in today’s society so students need the opportunity to develop these skills as soon as is applicable. ”

Tampaknya, pemahaman Any bahwa pengajaran matematika haruslah merupakan proses yang berpusat pada siswa dan teknologi dapat memperkaya pembelajaran atau pun pengajaran matematika (sebagai unsur dari ZPD) membawa Any memanfaatkan internet yang telah tersedia secara optimal, meskipun hanya terdapat dua komputer yang terkoneksi dengan internet (unsur dari ZFM). Sedangkan internet itu sendiri yang kaya dengan sumber-sumber belajar menjadi tempat bagi Any untuk berkolaborasi dengan guru lain atau sebagai tempat atau sumber belajar Any (unsur ZPA).

Ethnography

Ethnography secara literal berarti menulis tentang orang (Burns, 2000) atau membuat gambaran tentang kehidupan sekelompok orang (Wolcott, 1988, p. 188). Dalam arti lain, ethnography pada dasarnya merupakan upaya memahami kehidupan sekelompok orang dan selanjutnya mendeskripsikan aktivitas sosio-kultural dan pola kehidupannya (Burns, 2000; Freebody, 2003).

Ethnography pada awalnya digunakan dalam penelitian sosiologi dan secara khusus dalam anthropology (LeCompte & Preissle, 1993). Saat ini, ethnography telah diterima secara luas oleh para peneliti di bidang pendidikan (Freebody, 2003; Gordon, Holland, & Lahelma, 2001; Hammersley, 1990), termasuk pendidikan matematika (Ernest, 1997; Millroy, 1992).

Ethnography mencoba menangkap kompleksitas dari sesuatu dengan menggunakan berbagai teknik dan bukan mendeskripsikan kondisi ideal yang hanya ada dalam bayangan (2000). Ethnography bermaksud melaporan situasi ini secara masuk akal. Lebih jauh, menurut Allan (1991), Tedlock (2000) dan Wolcott (1988), Ethnography mencoba menangkap kompleksitas dari sesuatu dengan menggunakan berbagai teknik dan bukan mendeskripsikan kondisi ideal yang hanya ada dalam bayangan (2000). Ethnography bermaksud melaporan situasi ini secara masuk akal. Lebih jauh, menurut Allan (1991), Tedlock (2000) dan Wolcott (1988),

Ethnography biasanya tidak mengikuti proses linier yang telah ditentukan sebelumnya (Burns, 2000; Wolcott, 1988). Oleh karena itu, penelitian dengan pendekatan ethnography hanya dapat direncanakan secara umum sebelumnya. Fleksibilitas ethnography bermanfaat karena memungkinkan peneliti menangkap esensi dari fenomena sosial, yang biasanya bersifat dinamis (Freebody, 2003). Namun demikian, ethnography tetap menghendaki cara sistematis dalam mengumpulkan data dan menguji ide-ide (1991), sangat dimungkinkan untuk merumuskan hipotesis yang bersifat umum dan hipotesis ini dapat diperhalus sejalan dengan proses penelitian (Burns, 2000). Ethnography dapat dilaksanakan pada satu tempat atau pada beberapa tempat yang berbeda. Peneliti perlu menyelidiki tempat penelitian tersebut dan memunculkan sejumlah pertanyaan untuk penyelidikan lebih lanjut (Freebody, 2003).

Dalam ethnography, peneliti langsung terlibat dalam setting penelitian (Fetterman, 1989, 1998; Freebody, 2003). Dengan demikian, ada dua tuntutan yang harus dijalani oleh peneliti yaitu sebagai pengamat/pengumpul data dan sebagai partisipan dalam setting tersebut (2003). Oleh karena itu, metode penelitian ini memerlukan keterampilan khusus dari peneliti ethnography (ethnographer) selaku instrumen kunci dalam penelitian ini.

Ethnographer memerlukan keterampilan mendekati para partisipan/informan, kemampuan mengobservasi dan/atau menginterviu, dan kemampuan dalam merekam data. Pada tahap awal, peneliti perlu membangun hubungan yang baik dengan para partisi pan dan khususnya dengan “gatekeepers” (orang yang mempunyai peran yang bisa mendukung dan menghambat akses penelitian di tempat yang diteliti), peneliti perlu bersifat terbuka dan sensitif pada ide-ide yang baru, situasi yang baru, atau terhadap saran-saran orang lain (Wolcott, 1988). Keterampilan penting lainnya adalah kemampuan ethnographer memposisikan dirinya sebagai orang luar tapi juga terlibat di dalam konteks yang diteliti (1991). Hal ini diperlukan demi memperoleh pemahaman yang mendalam terhadap situasi setempat tanpa memanipulasi kondisi alamiah dari tempat penelitian.

Dalam Ethnography, pengamat harus berwawasan luas (Allan, 1991). Pengamat yang demikian adalah orang yang mampu merekam semua informasi/data yang relevan untuk dianalisis sesegera mungkin dan kemudian digunakan dalam merumuskan pertanyaan untuk eksplorasi berikutnya. Dengan demikian pengamat tersebut adalah orang yang secara berkelanjutan menginvestigasi, menganalisis data, bertanya dan menyelidiki data-data yang kontradiktif, membuat rangkuman-rangkuman, dan terus membangun hipotesis yang lebih cocok saat penelitian berlangsung.

Penelitian ethnography salah satu metode yang dapat membantu mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang kompleksitas dari tugas pengajaran guru dan menginvestigasi bagaimana cara yang tepat untuk mendukung pengembangan profesi guru. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa memahami pengajaran, pembelajaran, dan keprofesionalan guru, bukanlah sebuah tugas yang mudah (Borko, 2004). Permasalahan pengembangan profesi guru memerlukan metode yang memungkinkan penyelidikan secara mendalam. Metode yang tepat untuk tujuan ini adalah metode penelitian kualitatif (e.g., Allan, 1991; Gay & Airasian, 2000; Silverman, 2000). Salah satu di antaranya adalah ethnography.

Seperti dikemukakan oleh Hammersley dan Atkinson (2007), In terms of data collection, ethnography usually involves the researcher

participating, overtly or covertly, in people’s daily lives for an extended period of time, watching what happens, listening to what is said, and/or asking questions through informal and formal interviews, collecting documents and artefacts – in fact, gathering whatever data are available to throw light on the issues that are the emerging focus of inquiry. Generally speaking ethnographers draw on a range of sources of data, though they may sometimes rely primarily on one (hal.3).

Oleh karena itu, dalam penelitian ethnography dapat digunakan berbagai macam metode pengumpulan data, yaitu: kuesioner, interviu, participant-observation (pengamatan partisipatif), catatan lapangan ( fieldnotes ), dan sumber-sumber tertulis misalnya dokumen kurikulum, contoh Rencana Pelaksanaan Pengajaran (RPP) guru, contoh pekerjaan siswa, catatan harian guru, dan lain-lain.

Penggunaan berbagai macam metode pengumpulan data memberi kesempatan yang lebih luas untuk melakukan triangulasi pada data-data yang saling bertolakbelakang, atau guna mengecek kekonsistenannya (Allan, 1991; Burns, 2000; Ernest, 1997; Patton, 2002; Wolcott, 1988). Namun demikian, pada umumnya

“ participant observation and/or relatively informal conversations ” biasanya menjadi sumber data utama dalam penelitian ethnography (Hammersley & Atkinson, 2007, hal.

3). Burns juga menyarankan bahwa survei dapat digunakan, sebagai contoh, untuk menginvestigasi pengalaman-pengalaman terdahulu dari partisipan.

Seperti dikemukakan oleh Allan (1991: 180), “ ethnography especially does not have the tidy, relatively linear progression of discrete stages common in experimental or questionnaire survey design ”. Jadi, rencana yang rinci tidak dapat ditentukan

sebelum melaksanakan penelitian ini. Namun demikian, seperti dikemukakan sebelumnya, bahwa penelitian ethnography tetap memerlukan cara yang sistematik dalam mengumpulkan data dan menguji ide-ide (Allan, 1991).

Meskipun dalam studi ethnography, rencana penelitian tidak dapat disajikan secara rinci, karena sangat bergantung keadaan lapangan, tetapi rencana umum dapat dirumuskan untuk membantu peneliti dalam antisipasi tindakan. Sebagai contoh, dapat diantisipasi membantu guru memecahkan masalah kesulitan belajar siswa, mengembangkan alat penilaian untuk topik tertentu baik yang mengakomodasi ujian nasional maupun penilaian yang lebih bersifat otentik, cara merancang tugas-tugas belajar untuk melibatkan siswa secara aktif dalam pembelajaran yang lebih bermakna, atau merancang tugas-tugas memecahkan masalah non-routine untuk latihan siswa berfikir logis, kritis, dan kreatif.

Kerangka Teori: Model Pengembangan Profesi Guru Secara Otentik

Patahuddin (2008) menemukan model baru yang menggabungkan tiga konsep yang telah dibahas sebelumnya, yaitu lima karakteristik pengembangan profesi guru yang efektif ( Five Characteristics of Effective Professional Development )-[Ks-1], zone pembelajaran guru [Ks-2], dan pendekatan ethnography [Ks-3] seperti dipresentasikan pada Gambar 1 di bawah ini. Proses pelaksanaannya akan diuraikan pada bagian metodologi. Hubungan ketiga konsep di atas dijelaskan sebagai berikut.

Gambar 1 Model Pengembangan Profesi Guru secara Otentik

Hubungan [Ks-1] dan [Ks-3]

Program pengembangan profesi guru dengan lima karakteristik (sisi segilima pada gambar di atas) sangat bersesuaian dengan sifat penelitian ethnography. Program yang ongoing dapat dicapai karena ethnography mensyaratkan waktu pelaksanaan penelitian yang cukup lama. Sifat kolaboratif juga merupakan salah satu prinsip dasar ethnography, yaitu bahwa ethnographer harus membangun hubungan yang baik dengan partisipan (guru dan siswa). Pendekatan student-oriented dapat diterapkan karena peneliti menjadi pengamat partisipatif. Ini berarti peneliti mempunyai kesempatan untuk memahami karakteristik dan kebutuhan belajar siswa untuk selanjutnya mendiskusikan dengan pihak guru tentang cara melibatkan mereka dalam pembelajaran secara lebih baik. Demikian juga dengan karakteristik considering the individual teacher dan school context sangat bersesuaian dengan sifat ethnography. Pemahaman terhadap individu guru dan konteks sekolah dapat tercapai sebab ethnographer harus menjadi “ insider ”, yakni orang yang berada dalam sistem tersebut (tidak menjadi orang asing). Sedangkan karakteristik terakhir ( enhancing PCK ), yaitu membangun pemahaman guru dalam hal pembelajaran dan pengajaran matematika. Hal ini dapat dicapai karena ethnography mensyaratkan pengamatan dan analisis data secara berkelanjutan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa, penelitian ethnography memungkinkan peneliti mengakses pembelajaran guru dari dalam, dan secara simultan menerapkan kelima karakteristik program pengembangan profesi guru yang efektif.

Hubungan [Ks-2] dan [Ks-3]

Teori zone pembelajaran guru dapat diterapkan dalam lingkup ethnography. Demikian juga sebaliknya, pemahaman zone tersebut membantu mengimplementasikan ethnography. Sebagai contoh, karena ethnography mensyaratkan peneliti membangun kepercayaan guru dan membangun hubungan baik dengan gate keeper , maka jika ini terwujud, peneliti mempunyai kesempatan yang lebih luas dalam memahami elemen- elemen dari ZPD, ZFM, dan ZPA guru, demikian juga hubungan antara unsur-unsur ketiga zone tersebut.

Hubungan [Ks-1] dan [Ks-2]

Hubungan antara kelima karakteristik dari program pengembangan profesi guru dan zone pembelajaran guru juga sangat kuat. Seperti dibahas sebelumnya, program ini bersifat terbuka sehingga peneliti tidak mungkin membuat perencanaan secara rinci. Oleh karena itu, pelaksanaan program pengembangan profesi guru memerlukan analisis, proses refleksi, perencanaan kembali, dan pembuatan keputusan secara terus menerus. Dalam hal ini, pemahaman terhadap elemen-elemen zone di atas berguna dalam menganalisis mengapa suatu strategi (dalam proses memfasilitasi guru) berjalan dengan baik atau tidak. Ini membantu peneliti dalam membuat keputusan tentang strategi selanjutnya. Patahuddin (2009) dalam penelitiannya telah membantu guru dalam memanfaatkan internet sebagai alat belajar dan mengajar matematika dan ia menemukan bahwa implementasi kelima karakteristik program pengembangan profesi guru menyebabkan kejadian-kejadian kritis yang membantunya memahami elemen ZPD dan ZFM dari guru serta hubungan-hubungan elemen dari zone tersebut.

Penerapan Model Pengembangan Profesi Guru Secara Otentik

Bagian ini menyajikan contoh proses penelitian model pengembangan profesi guru secara otentik. Model ini diterapkan kepada seorang guru bernama Adam (nama samaran). Adam telah mengajar selama dua tahun di sekolah dasar ( primary school ) di Queensland, Australia. Tujuan penelitian ini adalah untuk membantu Adam mengoptimalkan teknologi internet yang telah tersedia di kelasnya sebagai alat pembelajaran dan pengajaran matematika.

Pengumpulan data dilakukan dengan berbagai cara antara lain: kuesioner, interviu, participant-observation (pengamatan partisipatif), catatan lapangan ( fieldnotes ) atau diari penelitian, dan sumber-sumber tertulis misalnya dokumen kurikulum. Pelaksanaan penelitian ini mengacu pada ketiga konsep yang telah dipaparkan, yaitu lima karakteristik program pengembangan profesi guru yang efektif, zone pembelajaran, dan pendekatan ethnography.

Keikutsertaan Adam dalam penelitian ini bersifat „voluntary’ atau tanpa paksaan karena Adam berkeinginan belajar lebih banyak tentang penggunaan internet untuk pembelajaran matematika. Setelah melalui diskusi, Adam tampaknya memahami tujuan dari penelitian ini. Dia memahami bahwa peneliti datang ke kelasnya bukan untuk mengubah program pengajarannya tetapi akan menyesuaikan atau akan menawarkan sesuatu yang dianggap dapat berjalan, dan dapat mendukung pengajarannya, serta kehadiran peneliti adalah untuk membantu perbaikan pembelajaran siswa.

Tahap persiapan penelitian ini adalah mengidentifikasi kerangka teori dalam bekerja dengan Adam, menginvestigasi seorang guru berpengalaman Any (bukan nama sebenarnya), seorang guru yang cakap menggunakan internet untuk pembelajaran dan pengajarannya. Peneliti juga mengikuti tutorial teknologi informasi, termasuk cara membuat website dan blog, mengeksplorasi berbagai website pembelajaran matematika, baik yang ditemukan sendiri, maupun yang direkomendasikan oleh Any, dan secara intensif menggunakan internet untuk merasakan potensi internet baik sebagai sumber informasi, alat kolaborasi dan komunikasi. Tahap ini sangat bermanfaat dalam membangun rasa percaya diri peneliti untuk bekerja dengan Adam, sekaligus Tahap persiapan penelitian ini adalah mengidentifikasi kerangka teori dalam bekerja dengan Adam, menginvestigasi seorang guru berpengalaman Any (bukan nama sebenarnya), seorang guru yang cakap menggunakan internet untuk pembelajaran dan pengajarannya. Peneliti juga mengikuti tutorial teknologi informasi, termasuk cara membuat website dan blog, mengeksplorasi berbagai website pembelajaran matematika, baik yang ditemukan sendiri, maupun yang direkomendasikan oleh Any, dan secara intensif menggunakan internet untuk merasakan potensi internet baik sebagai sumber informasi, alat kolaborasi dan komunikasi. Tahap ini sangat bermanfaat dalam membangun rasa percaya diri peneliti untuk bekerja dengan Adam, sekaligus

Dalam ethnography, peneliti disyaratkan menjadi bagian dari konteks, menjadi orang dalam atau bukan seperti orang asing, being an insider instead of an outsider (Wolcott, 1988). Kesuksesan ethnography sangat ditentukan oleh tingkat kepercayaan guru terhadap peneliti (Hammersley & Atkinson, 1995). Oleh karena itu, dalam tiga bulan pertama, peneliti lebih banyak berperan seperti seorang asisten guru, membantu Adam dalam bentuk apa saja yang diperlukan saat itu, misalnya, bekerja dengan sekelompok siswa, bekerja dengan individu siswa yang memerlukan bantuan khusus, membantu membagikan alat peraga pada siswa, membagikan lembar kerja, memeriksa pekerjaan siswa, mengetik bahan-bahan pengajaran yang diperlukan oleh Adam, dan lain-lain meskipun bukan untuk keperluan pengajaran matematika.

Setelah bekerja agak lama dengan Adam, beberapa kejadian penting menunjukkan bahwa peneliti telah mendapatkan kepercayaan dari Adam. Sebagai contoh, ketika peneliti menemani murid-murid Adam bermain di halaman sekolah, Adam mendatangi peneliti, menceriterakan program pengajarannya, mengundang peneliti untuk melihat dia melakukan asesmen dan wawancara pada siswanya untuk keperluan program remidi sekolah. Adam juga mempersilahkan peneliti menggunakan komputer yang ada di kelasnya, termasuk komputer yang secara rutin digunakan oleh Adam.

Sejalan dengan peran peneliti sebagai pengamat partisipatif, peneliti secara terus menerus melakukan refleksi terhadap apa yang telah peneliti amati, dan mencoba menjawab bagaimana cara membantu Adam menggunakan internet sebagai alat belajar. Peneliti selalu berefleksi tentang hal apa yang telah peneliti pelajari dari Any, dari berbagai literatur, dan berupaya mencari cara mengarahkan Adam menggunakan internet tanpa bersifat paksaan.

Setelah bekerja dengan Adam selama kurang lebih setahun, banyak strategi yang digunakan untuk menfasilitasi Adam menggunakan internet sebagai alat pengembangan profesinya atau alat pembelajaran matematika. Strategi yang dimaksud antara lain penggunakan email sebagai alat komunikasi, pengorganisasian website-website Setelah bekerja dengan Adam selama kurang lebih setahun, banyak strategi yang digunakan untuk menfasilitasi Adam menggunakan internet sebagai alat pengembangan profesinya atau alat pembelajaran matematika. Strategi yang dimaksud antara lain penggunakan email sebagai alat komunikasi, pengorganisasian website-website

Dari sejumlah strategi yang digunakan untuk mendukung Adam, peneliti mengkategorikannya ke dalam lima fase. Dalam makalah ini hanya akan disajikan satu fase, yaitu fase pertama. Pada fase tersebut, pembaca dapat mencermati strategi-strategi yang telah digunakan peneliti mendorong Adam memanfaatkan internet sebagai alat belajar mengajar serta respon Adam terhadap strategi yang peneliti gunakan. Pada bagian akhir, kejadian-kejadian di kelas Adam akan dianalisis menggunakan kerangka teori model pengembangan profesi guru secara otentik.

Namun demikian, sebelumnya akan diuraikan terlebih daulu konteks di mana Adam mengajar serta latar belakang tentang Adam.

Konteks Adam

Adam termasuk guru pemula, karena baru dua tahun mengajar di sekolah SD. Adam adalah sarjana pendidikan dan dia juga telah mengikuti beberapa program penataran guru, namun demikian tidak terkait dengan penggunaan internet untuk pembelajaran matematika.

Dibandingkan dengan rata-rata sekolah negeri yang ada di Queensland, sekolah Adam termasuk sekolah kaya. Meskipun sekolah Adam disubsidi secara penuh oleh pemerintah dan sekolah tersebut gratis bagi semua siswa, komunitas orang tua banyak menyumbang pada sekolah tersebut, baik berupa bantuan finansial untuk mendukung operasional sekolah dan kegiatan sekolah, maupun dukungan secara akademik, misalnya banyaknya orangtua yang bersedia menjadi tenaga sukarela, membantu guru dalam proses pembelajaran siswa di dalam atau di luar kelas.

Adam mengajar di Kelas II. Ruang kelas Adam lumayan luas dan memiliki fasilitas yang lengkap. Meja dan kursi untuk 25 anak disusun menjadi 5 kelompok dengan model L sedemikian sehingga terdapat bagian dari ruangan kelas tersebut yang kosong yang memungkinkan seluruh murid Adam duduk melingkar di atas lantai yang berkarpet.

Di kelas tersebut, terdapat empat komputer yang terkoneksi dengan internet seperti terlihat pada Gambar 2. Di sana juga terdapat sebuah printer dan data proyektor. Kelas itu juga dapat mengakses video jika mereka membutuhkannya. Di dalam kelas tersebut, terdapat banyak alat peraga. Hasil-hasil pekerjaan siswa dipajang di kelas. Murid-murid Adam juga dapat mengakses laboratorium komputer yang juga terkoneksi dengan internet. Meskipun sekolah tersebut mempunyai perpustakaan yang cukup besar dengan koleksi buku-buku yang banyak termasuk buku-buku terbitan baru, di kelas Adam juga terdapat lemari pajangan buku, sehingga murid-murid dapat dengan mudah mengambil buku ketika ada kegiatan silent reading atau kegiatan bebas di kelas. Di sekolah tersebut juga ada teknisi TIK, yang dapat dihubungi kapan saja diperlukan.

Gambar 2 Kelas Adam yang dilengkapi dengan empat komputer

Murid-murid Adam adalah heterogen, karena mereka berasal dari beberapa negara yang berbeda. Pada saat pelaksanaan penelitian ini, ada beberapa siswa yang belum lancar berbahasa Inggris sehingga pada jam-jam tertentu mereka meninggalkan kelas untuk mengikuti pelajaran khusus bahasa Inggris.

Peran selaku pengamat partisipatif selama beberapa bulan di kelas Adam, membantu peneliti menjadi lebih memahami tingkat keahlian Adam dalam menggunakan internet. Ketika pertama bertemu Adam, dia diperkenalkan kepada peneliti sebagai seorang pakar TIK. Peneliti pun menemukan bahwa Adam telah terbiasa menggunakan beberapa program komputer, termasuk Microsoft Word, PowerPoint, Excel, dan Kid Pix . Dia bahkan mengetahui cara membuat website dengan program FrontPage.

Adam mempunyai akses internet yang cukup stabil dan cepat baik di rumah maupun di sekolah. Dia sudah terbiasa dengan internet, bahkan kegiatan sehari-harinya misalnya komunikasi, akses bank, dan berbelanja banyak yang menggunakan internet. Dia menjelaskan bahwa dirinya mulai mengenal internet saat di sekolah menengah sekitar tahun 1994, tetapi baru menggunakannya untuk belajar saat di Universitas. Dia pernah menggunakan internet sebagai bagian dari pengajaran sains dan bahasa.

Pada awal Cawu 1 dalam periode penelitian ini, peneliti mengamati Adam mengelompokkan siswa dalam pembelajaran matematika, disebut sebagai rotasi matematika. Peneliti menyaksikan beberapa siswa sering membuat keributan atau kekacauan. Suatu hari, pada saat pembelajaran matematika dengan menggunakan alat peraga, seorang anak menghamburkan dan melempar alat peraga yang ada di meja kelompoknya. Adam tampak berusaha untuk mengendalikan kelas, berupaya menerapkan teori pembelajaran kooperatif yang telah dipelajarinya. Dia memberikan peran pada setiap kelompok, misalnya sebagai ketua, sebagai pemonitor agar kelompoknya tidak bising, sebagai pemonitor atas terlaksananya tugas, dan lain-lain. Namun demikian tampak sebagian siswa tetap ribut dan Adam sering memberi peringatan. Hingga akhirnya pada suatu hari ia mengumumkan bahwa tidak ada lagi kegiatan rotasi. Sejak itu, Adam mengubah pembelajaran matematika dari yang bersifat kelompok menjadi pembelajaran klasikal.

Melalui pengamatan tersebut, juga ditemukan beberapa pola dari pengajaran Adam. Dia biasanya memberikan tes kepada siswanya sebelum mengajarkan suatu topik baru. Dia menjelaskan bahwa tujuan pemberian tes adalah untuk membantunya mengidentifikasi apa yang perlu diajarkan kepada muridnya. Dalam mengajar, Adam sering mengikuti pola yang sama, yaitu menjelaskan konsep matematika, kemudian Melalui pengamatan tersebut, juga ditemukan beberapa pola dari pengajaran Adam. Dia biasanya memberikan tes kepada siswanya sebelum mengajarkan suatu topik baru. Dia menjelaskan bahwa tujuan pemberian tes adalah untuk membantunya mengidentifikasi apa yang perlu diajarkan kepada muridnya. Dalam mengajar, Adam sering mengikuti pola yang sama, yaitu menjelaskan konsep matematika, kemudian

Penggunaan Internet oleh Adam

Dalam upaya memahami penggunaan internet oleh Adam, peneliti memintanya menyelesaikan kuesioner yang berkaitan dengan penggunaan internet sebagai sumber informasi, alat komunikasi dan kolaborasi, serta bagaimana menggunakan internet untuk pengajaran matematika.

Dalam hubungan dengan internet sebagai sumber informasi, Adam mengindikasikan bahwa yang dia lakukan melalui internet adalah mengakses koran, dan ide-ide rencana pelajaran. Adam tidak menggunakan internet untuk menemukan informasi dari laporan penelitian, jurnal, atau buku-buku. Adam mengatakan bahwa dia menggunakan internet untuk menemukan bahan-bahan pengajaran matematika, misalnya rancangan pembelajaran, lembar kerja siswa, dan rubric asesmen. Ketika Adam ditanya apakah internet digunakan untuk keperluan pengembangan profesinya, Adam meresponi “limited and very time consuming”, artinya terbatas dan banyak buang waktu secara sia-sia.

Pada kuesioner itu juga diberi daftar penggunaan internet sebagai alat komunikasi, antara lain komunikasi email dengan pakar atau dengan guru lain, mailing lists, diskusi online, chat rooms, dan bulletin boards . Dari semua pilihan, yang

dicentang oleh Adam adalah mailing list, yaitu “ Education Queensland Curriculum ” . Adam menjelaskan bahwa manfaat internet untuk pengembangan profesi guru terbatas. Dia k atakan “a good book is better. internet is very time consuming.”

Dalam hal kolaborasi, Adam memberikan informasi yang terbatas. Adam mengatakan bahwa dia pernah menggunakan EPALS (http://www.epals.com/) in 2005. Dari website ini, ditemukan informasi bahwa “ EPALS connects learners around the Dalam hal kolaborasi, Adam memberikan informasi yang terbatas. Adam mengatakan bahwa dia pernah menggunakan EPALS (http://www.epals.com/) in 2005. Dari website ini, ditemukan informasi bahwa “ EPALS connects learners around the

EPALS untuk menyelidiki perbedaan gaya hidup dan lingkungan. Ketika diminta menilai kemanfaatan internet sebagai alat kolaborasi, bagi Adam, hal itu tidak terlalu bermanfaat.